Diharapkan dengan adanya peran KLHS dalam Perencanaan Tata Ruang menjadi
suatu bentuk tindakan stratejik dalam menuntun, mengarahkan, dan menjamin tidak
terjadinya efek negatif terhadap lingkungan dan keberlanjutan dipertimbangkan secara
inheren dalam kebijakan, rencana dan program [KRP] dalam perencanaan tata ruang..
Kepala Dinas
Koordinator
MATERI POKOK 1
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
2. Tujuan
3. Pengguna Modul
4. Fasilitator
5. Evaluasi
P E L A TI HA N R E N CA NA D E TAI L T A TA R U AN I-3
MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS I-1
MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS
DAFTAR ISI
A. LATAR BELAKANG
Makna strategis mengandung arti sangat penting dan sangat berpengaruh. KLHS
mengevaluasi kondisi dan rencana daerah yang sangat penting dan berpengaruh,
karena komponen yang sangat penting dan berpengaruh tersebut jika dibiarkan akan
berdampak pada pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. Pendekatan strategis
yang digunakan dalam kebijakan, rencana, dan/atau program dapat digunakan untuk
memperkirakan apa yang terjadi di masa depan, merencanakan dan mengendalikan
langkah-langkah yang diperlukan sehingga menjamin keutuhan lingkungan hidup serta
keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan masa
depan.
Peran KLHS dalam Perencanaan Tata Ruang adalah sebuah bentuk tindakan
stratejik dalam menuntun, mengarahkan, dan menjamin tidak terjadinya efek negatif
terhadap lingkungan dan keberlanjutan dipertimbangkan secara inheren dalam
kebijakan, rencana dan program [KRP] dalam perencanaan tata ruang. Oleh karena
tidak ada mekanisme baku dalam siklus dan bentuk pengambilan keputusan dalam
perencanaan tata ruang, maka manfaat KLHS bersifat khusus bagi masing-masing
hirarki rencana tata ruang wilayah [RTRW]. KLHS bisa menentukan substansi RTRW,
bisa memperkaya proses penyusunan dan evaluasi keputusan, bisa dimanfaatkan
sebagai instrumen metodologis pelengkap (komplementer) atau tambahan
(suplementer) dari penjabaran RTRW, atau kombinasi dari beberapa atau semua
fungsi-fungsi diatas.
Sesuai dengan amanat dalam PP 46/2016 pasal 4 ayat 3 yaitu Kebijakan, Rencana,
dan/atau Program tingkat Kabupaten/Kota yaitu pada point a bahwa Rencana Tata
B. TUJUAN
C. PENGGUNA MODUL
Pengguna modul merupakan peserta pelatihan penyusunan KLHS rencana tata
ruang yang berasal dari organisasi perangkat daerah (OPD) pemerintah provinsi
maupun OPD pemerintah dari 19 kabupaten/kota di Sumatera Barat yang terkait
dengan penyelenggaraan penataan ruang.
D. FASILITATOR/NARASUMBER
Pelaksanaan pelatihan penyusunan KLHS rencana tata ruang ini mendatangkan
fasilitator/ narasumber dari :
- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
- Pusat Studi Lingkungan Hidup, Intitut Teknologi Bandung.
- Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Barat
- Praktisi/Ahli Lingkungan Hidup
- Pre Test
Pre test atau tes awal dilakukan hanya untuk melihat sejauh mana pengetahuan
dasar peserta mengenai KLHS. Sehingga nantinya pada saat pelatihan berakhir
dapat mengukur progres yang dicapai oleh setiap peserta.
- Post Test/Evaluasi Akhir
Evaluasi akhir dilakukan setelah semua materi dibahas dan peserta melakukan
best practice/ praktek analisa dalam setiap tahapan penyusunan KLHS.
MATERI POKOK 2
PERSIAPAN PENYELENGGARAAN KLHS
1. Pembentukan POKJA
2. Identifikasi Pemangku Kepentingan
3. Penyusunan Kerangka Acuan Kerja
DAFTAR TABEL
Dalam membuat dan melaksanakan KLHS, POKJA KLHS dapat dibantu oleh pakar.
Dipersyaratkan dalam Kelompok kerja KLHS sedikitnya 1 (satu) anggota yang
memenuhi standar kompetensi berupa:
a. kriteria ketepatan keahlian pada isu yang dikaji;
b. pengalaman di bidang pembuatan dan pelaksanaan KLHS atau kajian Lingkungan
Hidup yang sejenis.
Contoh:
Sebagaimana sifat dari KLHS sendiri yaitu partisipatif, dalam proses identifikasi
dan perumusan isu Pembangunan Berkelanjutan (PB) dilakukan melalui konsultasi
publik dengan melibatkan pemangku kepentingan yang relevan. Untuk itu, penting
dalam tahap persiapan dilakukan identifikasi para pemangku kepentingan yang akan
dilibatkan dalam penyusunan KLHS.
Berdasarkan PP No. 46 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan KLHS
(Pasal 32) Penyusun Kebijakan, Rencana, dan/atau Program dalam membuat KLHS
melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan. Keterlibatan masyarakat dan
pemangku kepentingan sebagaimana dimaksud diantaranya adalah:
a. pemberian pendapat, saran, dan usul;
b. pendampingan tenaga ahli;
c. bantuan teknis; dan
d. penyampaian informasi dan/atau pelaporan.
Teknik komunikasi yang akan digunakan dalam penyusunan KLHS RTRW ialah
pemanfaatan dokumen atau kajian, melaksanakan konsultasi publik (FGD), pelaksanaan
lokakarya serta pembentukan tim ahli dan wakil-wakil komunitas yang ada, di
antaranya:
a. Lembaga Adat
Masyarakat yang Terkena Dampak b. Asosiasi Pengusaha
c. Tokoh masyarakat
d. Organisasi masyarakat
e. Kelompok masyarakat tertentu
(nelayan, petani dll)
(Akademisi, peneliti, pakar, profesional, kelompok peneliti, asosiasi profesi, LSM, dan
lainnya)
Perseorangan atau kelompok orang yang terpengaruh dan terkena dampak KRP:
yang akan melaksanakan KRP
yang akan terkena akibat pelaksanaan KRP
(tokoh masyarakat, wakil masyarakat pada skala wilayah, LSM, dunia usaha,
penanggung jawab perlindungan dan pelestarian lingkungan, dan lainnya)
Perseorangan atau kelompok orang sebagai pemerhati (termasuk media massa)
Kiat untuk membangun komunikasi dan dialog agar proses KLHS berjalan efektif, yaitu:
1. bahan tertulis disiapkan secara ringkas, lengkap dan jelas;
2. waktu dan tempat ditentukan secara tepat;
3. presentasi dilakukan secara jelas dan tegas;
4. tidak berkesan menggurui; dan
5. tersedia moderator atau fasilitator yang handal dan efektif serta dapat diterima oleh
para pemangku kepentingan.
1.
2.
Pemerintah
3.
dst.
1.
LSM/Ormas 2.
dst.
1.
Perguruan
2.
Tinggi/Akademisi
dst.
1.
Dunia Usaha 2.
dst.
1.
Tokoh Masyarakat
2.
Lainnya
Secara umum, dalam penyusunan Kerangka Acuan Kerja KLHS harus memenuhi hal-hal
sebagai berikut :
1. Daftar Isi
2. Bahan Ajar
3. Lampiran
DAFTAR TABEL
b. Tanpa Kelaparan
Menghilangkan kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan gizi yang baik, serta
meningkatkan pertanian berkelanjutan. (Menurunnya penduduk dengan asupan
kalori minimum pada tahun 2019 menjadi 8,5 % (2015: 17,4%).
d. Pendidikan Berkualitas
Menjamin kualitas pendidikan yang inklusif dan merata serta meningkatkan
kesempatan belajar sepanjang hayat untuk semua. (Meningkatnya rata-rata angka
melek aksara di atas umur 15 tahun pada tahun 2019 sebesar 96,1%).
e. Kesetaraan Gender
Mencapai kesetaraan gender dan pemberdayakan kaum perempuan.
(Meningkatnya jumlah kebijakan yang responsif gender mendukung
pemberdayaan perempuan pada tahun 2019 bertambah sebanyak 16 (2015: 19).
j. Berkurangnya Kesenjangan
Mengurangi kesenjangan intra- dan antarnegara (Jumlah daerah tertinggal yang
terentaskan sebanyak 80 kabupaten dan berkurangnya desa tertinggal sebanyak
5.000 desa pada tahun 2019)
n. Ekosistem Lautan
Melestarikan dan memanfaatkan secara berkelanjutan sumber daya kelautan dan
samudera untuk pembangunan berkelanjutan. (Terkendalinya Illegal, Unreported,
Unregulated (IUU) fishing dan kegiatan di laut yang merusak ditandai dengan
kepatuhan sebanyak 87% pelaku usaha pada tahun 2019 (2015: 66 %).
o. Ekosistem Daratan
Melindungi, merestorasi, dan meningkatkan pemanfaatan berkelanjutan
ekosistem daratan, mengelola hutan secara lestari, menghentikan penggurunan,
memulihkan degradasi lahan, serta menghentikan kehilangan keanekaragaman
hayati. (Berkurangnya luasan lahan kritis melalui rehabilitasi seluas 5,5 juta
hektar di dalam Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) dan Daerah Aliran Sungai
(DAS) Prioritas hingga tahun 2019 (2015: 1,25 juta hektar).
Hasil diskusi dalam konsultasi publik dikumpulkan menjadi Isu PB dalam daftar
panjang, lalu ditelaah berdasar kesamaan dan sebab akibat isu, lalu dipusatkan.
Pemusatan isu-isu pembangunan berkelanjutan dilakukan berdasarkan :
5. Memutuskan isu yang strategis dan prioritas, antara lain dapat dengan menyusun
daftar pendek yang telah memperhatikan hasil konsultasi kepada masyarakat dan
telah dikonfirmasikan dengan data yang dapat dipertanggungjawabkan.
Latihan 1 :
Dalam pelaksanaan konsultasi publik perumusan isu PB, peserta yang hadir
dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok. Pengelompokan ini dapat disesuaikan
berdasarkan jumlah dan/atau spesialisasi dari tiap-tiap pemangku kepentingan yang
hadir dan/atau pertimbangan lainnya dari POKJA KLHS. Hasil diskusi yang didapatkan
dari setiap kelompok kemudian dikumpulkan ke dalam tabel daftar isu PB, lalu ditelaah
berdasar kesamaan dan sebab akibat isu.
Berdasarkan daftar isu yang telah dibuat pada tahap identifikasi isu PB kemudian
dilakukan tahap identifikasi dan perumusan isu PB Strategis dengan cara melakukan
penapisan antara hasil pemusatan isu PB dengan unsur-unsur paling sedikit (Pasal 9
ayat 1 PP 46/2016), yaitu :
1. Telaah karakteristik wilayah
Analisis ini dilakukan dengan analisis yang menggunakan data spasial, antara
lain:
a. Peta Rupa Bumi Indonesia
b. Peta Rencana Tata Ruang
c. Peta Tutupan Lahan
Analisis ini dilakukan dengan cara melakukan overlay peta-peta isu
pembangunan strategis yang terdapat di Provinsi Sumatera Barat dengan
overlay peta RBI, peta pola ruang yang tertuang dalam RTRW dan peta tutupan
lahan (penggunaan lahan). Hasil analisis dapat digunakan untuk menentukan
tingkat pentingnya potensi dampak.
Berikut adalah bagan tahap pengkajian Isu Pembangunan Berkelanjutan (PB) Strategis
Analisis yang dilakukan untuk dapat mengisi Tabel Identifikasi dan Perumusan Isu
PB Strategis ialah sebagai berikut:
a. Karakteristik Wilayah, analisis isu PB Strategis terhadap karakteristik wilayah
dilakukan dengan cara menumpang susunkan Isu PB dengan Peta Topografi dan
Peta Tutupan Lahan yang selanjutnya ditelaah sesuai dengan aturan yang
berlaku;
b. Tingkat Pentingnya Potensi Dampak, analisis Isu PB terhadap tingkat
pentingnya potensi dampak dilaksanakan dengan cara mencari informasi dari
pemangku kepentingan terhadap luas dan frekuensi isu PB strategis yang
dituangkan dalam peta sebaran dan ditelaah sesuai dengan aturan yang berlaku;
c. Keterkaitan antar Isu Strategis PB, analisis isu PB Strategis dilaksanakan dengan
cara mencari informasi sebab akibat dan ditelaah sesuai dengan aturan yang
berlaku;
d. Keterkaitan dengan materi muatan KRP berupa KRP awal yang ditinjau oleh
KLHS;
e. Keterkaitan dengan muatan RPPLH, analisis isu PB Strategis terhadap materi
muatan RPPLH dilaksanakan dengan cara menumpangsusunkan isu PB
Strategis dengan Peta RPPLH;
f. Hasil KLHS dari KRP pada hierarki yang diatasnya yang harus diacu, serupa dan
berada pada wilayah yang berdekatan, dan/atau memiliki keterkaitan dan/atau
Keterangan:
Lintas sektor
Lintas wilayah
Lintas pemangku wilayah
Lintas waktu
Ps 9 (1) PP 46/2016
Hasil KLHS
Tingkat pentingnya Keterkaita Strategis/ Tidak
No Isu Pembangunan Berkelanjutan KARAKTERISTIK WILAYAH Katerkaitan dari KRP
potensi dampak n dengan Muatan Strategis
antar isu pada
muatan RPPLH
Strategis PB hirarki di
Luas KRP
Peta RBI Peta RTR Peta PL Frekuensi atasnya.
(Ha)
1 2 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Tanaman Tahunan,
Pertanian Tanaman
Dataran rendah, terkait
Pangan Lahan Basah,
dataran rendah dengan
Pertanian Tanaman
pedalaman, Perkebunan, Ada, banjir, Tidak ada
Pangan Lahan Kering,
perbukitan Sawah, Sawah kekeringan, yaitu Tidak ada KLHS
1 Kekeringan 12 Kecamatan Hutan Lindung, 23.609 sering sangat strategis
rendah, Tadah Hujan, banjir dan musim RPPLH Provinsi
Kawasan Pengamanan
perbukitan, Tegalan longsor panas dan NTT
Sungai, Permukiman
perbukitan tinggi, misum
Pedesaaan,
Datar, Landai hujan
Permukiman Perkotaan,
Hutan Produksi
Tastim, Kakuluk Dataran rendah,
2 Banjir Tanaman Tahunan sawah 179 jarang
Mesak datar
12 Kec rawan
longsor. Sangat
Rawan Longsor
Lamaknen
3 Longsor Selatan, Tastim - - - sering
Raihat, Lasiolat,
Kakuluk Mesak,
Nanaet dan
Raimanuk
Hutan Lahan
Kering
Primer, Hutan
Terganggunya
Mangrove,
Ekosistem Lamknen, Nanaet Dataran rendah
4 Hutan Lindung Pertanian 11670 sedang
Hutan Dubesi, Tasti, dan pegunungan
Lahan Kering,
(perambahan)
Pertanian
Campuran
dan Semak
Alih Fungsi
Lahan
(pertanian ke Tastim Kakuluk
6 - - -
pemukiman, Mesak, Tasbar,
kawasan hutan
ke pertanian)
Tanaman Tahunan,
Dataran rendah, Pertanian Tanaman
dataran rendah Pangan Lahan Basah,
pedalaman, Pertanian Tanaman Perkebunan,
Kakuluk mesak,
perbukitan Pangan Lahan Kering, Sawah, Sawah
7 Gagal Panen Raimanuk 7476
rendah, Hutan Lindung, Tadah Hujan,
Lamaknen
perbukitan, Kawasan Pengamanan Tegalan
perbukitan tinggi, Sungai, Permukiman
Datar, Landai Pedesaaan,
Permukiman Perkotaan
Rusaknya
Ekosistem
Kawasan Pantai
Pesisir Tastim dan Dataran rendah, Hutan
9 Berhutan Bakau, 284
(Pemukiman Kakuluk Mesak datar Mangrove
Tanaman Tahunan
ilegal di Hutan
Mangrove)
Udara : 12 Kec
Pencemaran
11 Air, Udara dan Air : 3 Kec Kota
Tanah Tanah : tdk ada
Peningkatan
14 Tidak ada
Kebisingan
3 Kec. Kota,
15 Sampah
Kakuluk Mesak
Kota, Atb Barat
16 Limbah Industri (limbah industri
tahu)
Gangguan
17 12 Kecamatan
Kesehatan
Peningkatan
18 Kecelakaan Lalu 12 Kecamatan
Lintas
Kesenjangan
20 12 Kecamatan
Ekonomi
22 Kemiskinan 12 Kec
23 Konflik Sosial 12 Kec
Isu pembangunan berkelanjutan prioritas diperoleh dengan cara menapis hasil isu-isu
pembangunan berkelanjutan strategis dengan unsur-unsur pada Pasal 9 (2), yaitu:
Penentuan
Isu PB
No A B C D E F G H I J Jumlah` Peringkat Isu PB
Strategis
Prioritas
Keterangan:
Materi penilaian:
A. Kapasitas daya dukung dan daya tampung
B. perkiraan dampak dan/atau resiko lingkungan hidup
C. kinerja layanan atau jasa ekosistem
D. intensitas dan cakupan wilayah bencana alam
E. status mutu dan ketersediaan SDA
F. ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati
G. kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim
H. tingkat dan status jumlah penduduk miskin
I. risiko terhadap kesehatan dan keselamatan masyarakat
J. ancaman terhadap perlindungan terhadap kawasan tertentu secara tradisional
Keterangan Bobot :
1. Sangat tidak penting
2. Tidak penting
3. Cukup penting
4. Penting
5. Sangat penting
MATERI POKOK 4
PELAKSANAAN KLHS (II)
(TAHAP ANALISIS)
1. Daftar Isi
2. Bahan Ajar
3. Lampiran
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1. Matrik Uji Silang Dalam Proses Penapisan KRP Yang Berpotensi
Menimbulkan Dampak/Resiko Lingkungan Hidup ...................................... IV - 4
Tabel 4.2. Matrik Uji Silang Dalam Analisa Pengaruh Materi Muatan KRP dengan Isu
Prioritas ........................................................................................................................... IV - 6
Tabel 4.3. Analisis Uji Silang Muatan KRP dengan KLHS ............................................... IV- 10
Tabel 4.4. Matrik Uji Silang Materi Muatan Kebijakan Rencana Program dengan
Muatan Kajian ...............................................................................................................IV - 11
Keterangan :
+ = Berdampak positif terhadap lingkungan hidup
- = Berdampak negatif terhadap lingkungan hidup
Analisis pengaruh dilakukan dengan cara menguji keterkaitan antara materi muatan
Kebijakan, Rencana dan/atau Program dengan isu pembangunan berkelanjutan
prioritas. Hasil analisis pengaruh dikonsultasikan dengan masyarakat dan pemangku
kepentingan untuk pengayaan dan penajaman hasil analisis pengaruh.
Adapun bagan tahap analisis pengaruh Isu PB Prioritas adalah sebagai berikut
Gambar 4.1 Tahap analisis pengaruh materi muatan Isu PB Prioritas (KLHK-RI, 2018)
Keterangan :
+ = Materi muatan KRP berpengaruh positif terhadap isu PB prioritas
0 = Materi muatan KRP tidak berpengaruh terhadap isu PB prioritas
- = Materi muatan KRP berpengaruh negatif terhadap isu PB prioritas
Materi muatan KRP berdampak LH yang terkait dengan sebagian besar Isu PB Prioritas
yang kemudian akan dikaji mendalam pada tahap selanjutnya yaitu pada kajian
muatan atau kajian 6 (enam) muatan KLHS.
a) Kapasitas daya dukung dan daya tampung Lingkungan Hidup untuk pembangunan;
Kajian ini mengukur kemampuan suatu ekosistem untuk mendukung
satu/rangkaian aktivitas dan ambang batas kemampuannya berdasarkan kondisi
Bisa diukur dalam bermacam variabel yang mencerminkan jasa dan produk dari
ekosistem, misalnya daya dukung tanah/kemampuan lahan, air, habitat spesies,
dan lain sebagainya. Beberapa teknik yang dapat digunakan antara lain adalah
mengukur kinerja jasa lingkungan, mengukur populasi optimal yang dapat
didukung, maupun mengukur tingkat kerentanan, kerawanan dan
kerusakan.Teknik-teknik perhitungan dan penentuan daya dukung lingkungan
hidup dapat mengikuti ketentuan yang ada atau metodologi yang telah diakui
secara ilmiah.
Daya tampung lingkungan hidup dapat diukur dari tingkat asimilasi media (air,
tanah, udara) ketika menerima gangguan dari luar. Indikator yang digunakan dapat
berupa kombinasi antara beban pencemaran dengan kemampuan media
mempertahankan fungsinya sejalan dengan masuknya pencemaran tersebut.
Kajian ini mengukur besar dan pentingnya dampak dan/atau risiko suatu
kebijakan, rencana, dan/atau program terhadap perubahan-perubahan lingkungan
hidup dan kelompok masyarakat yang terkena dampak dan/atau risiko. Teknik
analisis mengikuti ketentuan yang telah tersedia (misalnya Pedoman Dampak
Penting) dan metodologi yang diakui secara ilmiah (misalnya metodologi
Environmental Risk Assessment).
Kajian ini mengukur tingkat optimal pemanfaatan sumberdaya alam yang dapat
dijamin keberlanjutannya. Dilakukan dengan cara:
Mengukur kesesuaian antar tingkat kebutuhan dan ketersediaannya
Mengukur cadangan yang tersedia, tingkat pemanfaatannya yang tidak
menggerus cadangan, serta perkiraan proyeksi penyediaan untuk
kebutuhan di masa mendatang
Mengukur dengan nilai dan distribusi manfaat dari sumber daya alam
tersebut secara ekonomi
a) peraturan perundangan;
b) keberadaan pedoman, acuan, standar, contoh praktek terbaik, dan informasi
tersedia yang diakui secara ilmiah;
c) keberadaan hasil penelitian yang akuntabel; dan/atau
d) kesepakatan antarahli.
Bentuk dari analisis kajian muatan KLHS dapat berbentuk sub bab tersendiri maupun
dalam tabel seperti contoh berikut:
Tabel 4.3 Analisis Uji Silang Muatan KRP dengan Kajian Muatan KLHS
Materi Muatan Muatan Kajian KLHS
KRP Hasil Pasal 13(1) PP 46/2016
No
Analisis
1) 2) 3) 4) 5) 6)
Pengaruh
KRP 1 Analisis.. Analisis.. Analisis.. Analisis.. Analisis.. Analisis..
1
KRP 2 Analisis.. Analisis.. Analisis.. Analisis.. Analisis.. Analisis..
2
KRP 3 Analisis.. Analisis.. Analisis.. Analisis.. Analisis.. Analisis..
3
Dst ... Analisis.. Analisis.. Analisis.. Analisis.. Analisis.. Analisis..
4
Telaahan :
Keterangan :
DDDT : Daya dukung daya tampung
SDA : Sumberdaya alam
MATERI POKOK 5
PERUMUSAN ALTERNATIF & REKOMENDASI
1. Daftar Isi
2. Bahan Ajar
3. Lampiran
Sebagai catatan bahwa tingkat ketajaman dari suatu dokumen KLHS akan dapat
dilihat dari rekomendasi perbaikan yang diberikan. Rekomendasi yang diberikan
harus sejalan dengan keseluruhan kajian yang dilakukan serta dapat menjawab isu
serta permasalahan yang ada.
MATERI POKOK 6
PENJAMINAN KUALITAS &
PENDOKUMENTASIAN
1. Daftar Isi
2. Bahan Ajar
3. Lampiran
DAFTAR TABEL
Integrasi substansi muatan KLHS ke dalam muatan KRP adalah hasil langsung dari
integrasi proses penyusunannya. Bentuk dari integrasi muatan KLHS ke dalam muatan
Kebijakan, Rencana, dan/atau Program adalah dokumentasi tertulis masukan-masukan
KLHS dalam butir-butir substansi Kebijakan, Rencana, dan/atau Program, yang
diantaranya dapat berupa:
1. Penulisan kembali rekomendasi substansi teknis KLHS ke dalam materi teknis
Kebijakan, Rencana dan/atau Program
2. Penulisan kembali rekomendasi KLHS yang bersifat pengaturan dalam materi
pengaturan pada Kebijakan, Rencana dan/atau Program dan/atau pasal
pengaturan dalam peraturan yang memayungi keabsahan Kebijakan, Rencana
dan/atau Program tersebut
3. Melakukan interpretasi penulisan muatan teknis arahan KLHS ke dalam
bahasa hukum yang sesuai dalam Kebijakan, Rencana, dan/atau Program yang
dikuatkan sebagai peraturan
4. Menuliskan muatan ketentuan baru dalam Kebijakan, Rencana, dan/atau
Program yang dianggap dapat menampung rekomendasi KLHS sesuai dengan
lingkup Kebijakan, Rencana, dan/atau Program.
Muatan KRP
No. Muatan KRP Rekomendasi KLHS
Sesudah Integrasi KLHS
1 KRP 1 Rekomendasi 1 Hasil Integrasi 1
2 KRP 2 Rekomendasi 2 Hasil Integrasi 1
3 KRP 3 Rekomendasi 3 Hasil Integrasi 1
4 Dst.. ………………… ………………….
Atau pun alternatif matriks sanding dalam mengintegrasikan KLHS ke dalam KRP
Muatan KRP
No. Rekomendasi KLHS Letak perbaikan
Sesudah Integrasi KLHS
1 Rekomendasi 1 (bab/sub bab/halaman) Hasil Integrasi 1
2 Rekomendasi 2 (bab/sub bab/halaman) Hasil Integrasi 1
3 Rekomendasi 3 (bab/sub bab/halaman) Hasil Integrasi 1
4 Dst.. ………………… ………………….
Kunci dalam Penjaminan Kualitas menurut Permen LHK 69/2017 antara lain:
Adapun bentuk kriteria penilain dari penjaminan kualitas adalah sebagai berikut :
Nama KLHS
Nama Kebijakan, Rencana, atau Program
(KRP)
K/L Penanggung Jawab
Tahun Pelaksanaan
Harus menjelaskan apakah proses KLHS sesuai ketentuan dan rekomendasinya layak?
(relevan, memenuhi kaidah ilmiah, memenuhi kaidah peraturan perundangan yang
terkait)
Belum lengkap
Lengkap
Terpenuhi sebagian
KLHS
Ada catatan
(jelaskan dalam
keterangan)
Apakah hasil identifikasi isu strategis telah sedikitnya Uraikan
mempertimbangkan : penilaiannya
dalam keterangan
1. Karakteristik wilayah
2. Tingkat pentingnya potensi dampak
3. Keterkaitan antar isu strategis
4. Keterkaitan dengan muatan Kebijakan, Rencana,
dan/atau Program
5. Muatan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup/RPPLH dan/atau
6. Hasil KLHS dari Kebijakan, Rencana, dan/atau
Program pada hirarki diatasnya yang harus diacu,
Penilaian : Pengkajian
Kriteria Penilaian Ket.
Uraikan
penilaiannya
dalam keterangan
Apakah pengkajian memuat :
1. Kapasitas daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup untuk pembangunan
2. Perkiraan mengenai dampak dan risiko
lingkungan hidup
3. Kinerja layanan atau jasa ekosistem
4. Efisiensi pemanfaatan sumber daya alam
5. Tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi
terhadap perubahan iklim
6. Tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman
hayati
Apakah pengkajian yangbersifat kuantitatif dilengkapi
dengan perhitungan yang akuntabel?
Apakah pengkajian menyebutkanlandasan pedoman,
acuan/referensi, standar, jaminan akuntabilitas dari
ahli yang jelas?
Apakah pengkajian dilakukan dengan pendekatan
Adapun outline dari dokumen KLHS berdasarkan arahan dari KLHK-RI antara lain:
Bab I : Pendahuluan
Bab II : Karakteristik wilayah kajian
Bab III : Proses penyelenggaraan KLHS
Bab IV : Hasil proses penyelenggaraan KLHS
Bab V : Kesimpulan
MATERI POKOK 7
VALIDASI
1. Daftar Isi
2. Bahan Ajar
3. Lampiran
Validasi merupakan salah satu tahapan yang wajib dilalui dalam penyelenggaraan KLHS
penyusunan dan/atau evaluasi Kebijakan, Rencana, dan/atau Program (KRP). Tujuan
dari validasi KLHS yaitu untuk memastikan penjaminan kualitas telah dilaksanakan
secara akuntabel dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Berdasarkan Pasal
5 dari Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2016 bahwa penyelenggaraan KLHS
dilakukan dengan tahapan:
Penyusun KRP mengajukan permohonan validasi KLHS secara tertulis kepada Menteri
dan gubernur dengan melampirkan:
Dalam hal Menteri atau gubernur tidak menerbitkan persetujuan validasi KLHS dalam
waktu sebagaimana dimaksud, terhadap KLHS yang dimohonkan persetujuan
validasinya oleh Penyusun KRP dianggap telah memperoleh persetujuan validasi KLHS.
Menteri atau gubernur mengumumkan persetujuan validasi KLHS kepada masyarakat
dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak diterbitkannya persetujuan validasi.
Dalam pelaksanaanya, validasi KLHS dilakukan secara bertahap pada setiap proses
pembuatan dan pelaksanaan KLHS; atau pada tahap akhir pembuatan dan pelaksanaan
KLHS.Proses validasi yang umum dilaksanakan yaitu pada tahap akhir pembuatan dan
pelaksanaan KLHS. Dengan demikian, sebelum diajukannya surat permohonan validasi
KLHS, perlu dipastikan bahwa pembuatan dan pelaksanaan KLHS telah selesai hingga
tahapan penjaminan kualitas dan pendokumentasian.
Penyusun KRP mengajukan surat permohonan validasi KLHS kepada Menteri atau
gubernur beserta seluruh persyaratan yang perlu dilampirkan;
Dalam waktu 3 (tiga) hari kerja sejak surat atau disposisi diterima dilakukan
pengecekkan kelengkapan dokumen persyaratan validasi KLHS;
Apabila sudah dinyatakan lengkap maka akan dilakukan telaahan teknis serta
dijadwalkan rapat pembahasan validasi KLHS untuk menentukan apakah KLHS
sudah bisa mendapatkan persetujuan validasi KLHS dalam rentang waktu 20 (dua
puluh) hari kerja;
Apabila dokumen persyaratan dinyatakan tidak lengkap atau diputuskan belum
bisa mendapatkan persetujuan validasi maka dokumen akan dikembalikan kepada
Penyusun KRP untuk dilengkapi;
Terhadap KLHS yang telah mendapat persetujuan validasi, Menteri atau Gubernur
akan menerbitkan surat hasil validasi kepada Penyusun KRP serta mengumumkan
persetujuan validasi KLHS kepada masyarakat dalam waktu paling lama 7 (tujuh)
hari kerja sejak diterbitkannya persetujuan validasi.
Adapun kelengkapan permohonan validasi dapat disampaikan dengan dua cara, yaitu :
a. Bertahap, harus melengkapi :
- surat permohonan
- rancangan KRP;
- laporan KLHS sampai dengan tahap pengkajian pengaruh KRP terhadap
kondisi Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan; dan
- bukti pemenuhan standar kompetensi Penyusun KLHS
- Penjaminan Kualitas
Tahapan penyelenggaraan KLHS untuk Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) secara
umum sama dengan proses penyelenggaraan KLHS yang diatur dalam Peraturan
Menteri LHK – RI No. 69 Tahun 2017. Hal yang secara khusus menjadi poin penting
dalam KLHS RDTR yaitu terkait adanya pengecualian kewajiban menyusun dokumen
Analsisi Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Pengecualian kewajiban menyusun
AMDAL untuk usaha dan/atau kegiatan yang berlokasi di daerah kabupaten/kota yang
telah memiliki RDTR diatur dalam Permen LHK 24/208. KLHS RDTR sendiri menjadi
syarat dalam penyusunan dokumen KRP RDTR.
Kriteria KLHS RDTR yang dibuat dan dilaksanakan secara komprehensif dan rinci
terdiri atas:
pengkajian pengaruh RDTR terhadap kondisi lingkungan hidup;
perumusan alternatif penyempurnaan RDTR; dan
penyusunan rekomendasi perbaikan untuk pengambil keputusan RDTR
yang mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan.
1. Kapasitas Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup untuk VIII-2
Pembangunan
1.1 Daya Dukung Lingkungan dalam Studi Ekologi VIII-4
1.2 Daya Dukung Lingkungan Hidup dalam Penataan Ruang Wilayah VIII-5
1.4 Diagram Alir Pembuatan Peta Kemampuan Lahan dalam Tingkat VIII-9
Kelas
2.1 Risk Management Model COSO VIII-14
- kapasitas daya dukung dan daya tampung Lingkungan Hidup untuk pembangunan;
- perkiraan dampak dan risiko Lingkungan Hidup;
- kinerja layanan atau jasa ekosistem;
- efisiensi pemanfaatan sumber daya alam;
- tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim;
- tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.
Kajian muatan ini dilakukan pada masing-masing materi muatan KRP yang didapatkan
dari hasil tahapan Analisis Pengaruh. Penting dalam melakukan analisis untuk
memerhatikan lokus dan besaran untuk mendapatkan analisis yang lebih bersifat
kuantitatif. Penentuan lingkup, metode, teknik, dan kedalaman analisis kajian muatan
dilakukan berdasarkan:
- jenis dan tema KRP;
- tingkat kemajuan penyusunan atau evaluasi KRP;
- relevansi dan kedetilan informasi yang dibutuhkan;
- input informasi KLHS dan kajian Lingkungan Hidup lainnya yang terkait dan
relevan untuk diacu;
- ketersediaan data.
Kajian muatan KLHS dalam Rencana Tata Ruang dapat dijabarkan sebagai berikut :
Disamping UU PPLH Nomor 32/2009, daya dukung dan daya tampung lingkungan juga
sudah menjadi dasar pertimbangan utama dalam perencanan tata ruang dan
pembangunan sektor. Sebagai contoh antara lain:
Untuk daya dukung lingkungan hidup dapat dihitung atau ditentukan dengan
mengukur kinerja jasa lingkungan, mengukur populasi optimal yang dapat didukung,
maupun mengukur tingkat kerentanan, kerawanan dan kerusakan pada lingkungan
hidup. Teknik-teknik perhitungan dan penentuan untuk daya dukung lingkungan hidup
dapat mengikuti ketentuan yang ada atau metodologi yang telah diakui secara ilmiah.
Untuk daya tampung lingkungan hidup dapat diukur dari tingkat asimilasi media (air,
tanah, udara) ketika menerima gangguan dari luar. Indikator yang digunakan dapat
berupa kombinasi antara beban pencemaran dengan kemampuan media
mempertahankan fungsinya sejalan dengan masuknya pencemaran tersebut. Terdapat
banyak sekali kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang ada
dan dapat dikaji. Beberapa contoh analisis kapasitas daya dukung dan daya tampung
untuk pembangunan yang umum dikaji dalam KLHS dijabarkan sebagai berikut.
Gambar 1.2 Hubungan Antara Kelas Kemampuan Lahan Dengan Intensitas, Spektrum
dan Hambatan Penggunaan Tanah
2. Non-pertanian.
Gambar 1.3 Contoh cara penamaan kelas dan sub kelas kemampuan lahan
Dari overlay peta, didapat kombinasi keempat parameter di atas, sehingga dapat
dilakukan identifikasi kelas lahan. Besarnya hambatan yang ada untuk masing-masing
parameter menentukan masuk ke dalam kelas dan subkelas mana lahan tersebut. Dari
hasil identifikasi, dapat dideliniasi kelas dan subkelas kemampuan lahan. Sebagai
contoh, lahan yang memiliki lereng datar dan tidak mempunyai hambatan dari
paramater lainnya masuk ke dalam kelas I. Contoh yang lebih rinci untuk
mengidentifikasi kelas dan subkelas lahan sebagaimana dijabarkan pada Tabel 1.2.
Kelas II
Mesotrof adalah status trofik air danau dan/atau waduk yang mengandung unsur hara
dengan kadar sedang, status ini menunjukkan adanya peningkatan kadar Nitrogen dan
Fosfor namun masih dalam batas toleransi karena belum menunjukkan adanya
indikasi pencemaran air.
Eutrof adalah status trofik air danau dan/atau waduk yang mengandung unsur hara
dengan kadar tinggi, status ini menunjukkan air telah tercemar oleh peningkatan kadar
Nitrogen dan Fosfor .
Berikut merupakan tabel kriteria status trofik danau dan/ atau waduk yang digunakan
untuk menentukan kategori status trofik danau dan/atau waduk.
Dampak suatu kegiatan terhadap perubahan lingkungan hidup yang mendasar dapat
diukur dari beberapa media lingkungan antara lain ialah tanah, air, udara, dsb. Yang
tertuang dalam penjelasan UUPPLH Pasal 15 ayat (2) huruf b meliputi:
Quantitative techniques menghasilkan data berbentuk angka yang diperoleh dari tools
seperti probability based, non probabilistic models, dan benchmarking
Respon orang terhadap risiko pun akan konsisten dengan persepsi mereka
sehinga mempengaruhi perilaku atau tindakan mereka. Dalam analisis risiko perlu
dipahami juga bahwa analisis risiko mengandung ketidakpastian. Hal ini karena
terbatasnya pemahaman, asumsi yang salah atau variabilitas statistic yang
mempengaruhi tingkat kepercayaan terhadap kesimpulan dari analisis risiko. Dengan
Dalam suatu pendekatan kajian analisis risiko lingkungan yang berbasis tata
ruang, ketidakpastian muncul akibat adanya aktivitas manusia yang mengubah bentuk
alam. Hal ini dapat menggangu proses alamiah yang secara natural berlangsung
kontinu. Manusia memanfaatkan banyak sumber daya alam untuk kepentingannya.
Seperti air, udara, tanah untuk pertanian dan tempat tinggal, sumber energi dan lain-
lain. Perubahan akibat penggunaan lahan bisa bersifat positif bila daya dukung
ekosistem lebih besar dari demand manusia (positive risk). Bila daya dukung ekosistem
lebih kecil, ditambah dengan adanya polusi dan pengrusakan lingkungan kontinu maka
perubahan akan ke arah negative (negative risk) bagi manusia. Seperti munculnya
bencana longsor, banjir, habisnya SDA, dll. Dalam konsep ini, dikenal istilah hazard
sebagai sumber bahaya, vulbnerability sebagai faktor yang dapat berperan
meningkatkan kemungkinan terjadinya risiko atau memperparah kejadian, serta risiko
akhir. Pemahaman terhadap konsep ini dapat dillihat dalam gambar berikut.
Dengan adanya peta risiko, dapat menjadi dasar dalam pengambilan keputusan, seperti
area yang risikonya lebih tinggi dapat lebih diutamakan, seperti yang ditunjukan pada
gambar berikut.
Jasa Penyediaan (provisioning); menyediakan pangan, air bersih, serat kayu, dan
bahan bakar.
Jasa Pengaturan (regulating); mengatur tingkat iklim, tata air dan banjir, penyakit,
dan pemurnian air.
Jasa Budaya (cultural); menyediakan potensi estetika, ekoturisme, dan ruang hidup
Jasa Pendukung (supporting); mendukung daur ulang unsur hara, pembentukan
tanah, dan produksi primer.
Nilai guna ialah nilai yang timbul dari penggunaan barang dan jasa ekosistem.
Nilai guna meliputi nilai guna langsung (direct use value), nilai guna tidak langsung
(indirect use value) dan nilai pilihan. Nilai guna langsung terdiri dari produk dan jasa
yang langsung disediakan eksositem seperti kayu, rotan, buah-buahan dan obat-
obatan. Nilai guna tak langsung terdiri dari banyak fungsi ekosistem. Nilai ini
mendukung dan melindungi kegiatan ekonomi yang memberikan manfaat pasar secara
langsung. Sebagai contoh dari nilai guna tidak langsung suatu ekosistem ialah berupa
pengendalian sedimentasi dan kerusakan banjir yang mempengaruhi pertanian,
pemancingan, persediaan air dan kegiatan ekonomi ke arah muara (Bishop, 1999).
Nilai pilihan (option value) merupakan nilai guna yang berhubungan dengan kegunaan
suatu ekosistem (hutan tropis) di masa depan. Nilai ini muncul karena masyarakat
memiliki pilihan tentang kegunaan hutan tropis di masa yang akan datang.
Konsekuensinya adalah konservasi hutan, maka tingkat pemanfaatannya akan
berkelanjutan dengan harapan di masa depan mempunyai nilai yang lebih tinggi dalam
lingkup ilmu dan teknologi, pendidikan, serta kegunaan ekonomi lainnya.
Nilai bukan guna (non use value) merupakan nilai yang muncul karena adanya
keinginan masyarakat untuk melindungi hutan tropis sekalipun mereka tidak
menikmati manfaat secara langsung atau tidak langsung dari hasil hutan tropis yang
bersangkutan. Nilai bukan guna sering disebut sebagai nilai eksistensi atau nilai
intrinsik, nilai ini diperoleh dari kesenangan murni terhadap keberadaan suatu barang
tidak berhubungan dengan bermanfaat atau tidaknya barang tersebut.
Metodologi
Metodologi yang digunakan untuk menentukan DDDT dalam konteks manfaat yang
diperoleh masyarakat adalah dengan mengetahui kapasitas lingkungan alam dan
sumber daya untuk mendukung kegiatan pembangunan di suatu daerah. Besarnya
kapasitas tersebut dipengaruhi oleh keadaan dan karakteristik sumber daya yang ada di
hamparan ruang yang bersangkutan. Kapasitas lingkungan hidup dan sumber daya akan
menjadi faktor pembatas dalam penentuan pemanfaatan ruang yang sesuai. Analisis
tersebut meliputi penyusunan peta jasa ekosistem perekoregion, penyusunan peta
Analisis overlay (intersect) dilakukan menggunakan data ekoregion dan penutup lahan
yang sudah berisi nilai bobot JE. Hasil analisis yaitu berupa data spasial interseksi yang
berisi nilai-nilai bobot JE untuk kedua unit analisis. Data hasil analisis spasial jasa
ekosistem ini kemudian digunakan untuk perhitungan indeks daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup.
IJE=f(ieco, iLC)
Dengan,
IJE : Indeks Jasa Ekosistem,
iec
o : indeks berdasarkan ekoregion, dan
iLC : indeks berdasarkan penutup lahan.
Berdasarkan pola distribusi nilai yang dihasilkan oleh keempat skenario, maka dipilih
skenario pertama. Adapun pemilihan skenario model matematika dilakukan dengan
pertimbangan sebagai berikut:
Distribusi nilai lebih baik dan tidak ada satu parameter yang lebih dominan dari
parameter lainnya (seperti pada skenario 3 dan 4).
Perkalian lebih dekat dengan logika hubungan antara ekoregion sebagai pembawa
karakteristik dasar dari suatu bentang lahan dan penutup lahan sebagai cerminan
pemanfaatan bentang alam oleh manusia (sebagai jasa ekosistem).
Skenario kedua memberikan informasi yang sama dengan skenario pertama.
Sedangkan skenario ke 3 dan ke 4 selalu menghasilkan magnifikasi (karena
penambahan) terhadap hasilnya. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka dipilih
skenario pertama, dengan melakukan penyekalaan maka diperoleh perhitungan Indeks
daya dukung LH adalah sebagai berikut:
√IJEeco×IJELC
maks
IJE= (√IJE eco×IJELC)
denga
n,
IJE : Indeks Jasa Ekosistem,
: nilai maksimum dari perhitungan hasil perkalian dan akar
maks terhadap nilai
Pada akhirnya, pendistribusian energi bahan pangan dan potensi air bersih dalam
sistem grid dilakukan melalui perkalian IJE masing-masing grid dengan 1IJE pada
kabupaten/kota yang sama.
Qi = A i × I × q
Qi : jumlah penggunaan air tutupan lahan dalam setahun untuk grid ke-i (m3/tahun),
Ai : luas lahan grid ke-i (hektare),
: intensitas tanaman dalam persen (%) musim per tahun, dan
q : standar penggunaan air (1 liter/detik/hektare),
q : 0,001 m3/detik/ha × 3600 × 24 × 120 hari per musim.
Ti=Di+Qi
Ti: total kebutuhan air grid ke-i (m3/tahun),
Di : kebutuhan air domestik untuk grid ke-i (m3/tahun), dan
Qi : jumlah penggunaan air untuk tutupan/guna lahan dalam setahun untuk grid ke-i
(m3/tahun).
Sementara itu, ambang batas DDLH berdasarkan jasa ekosistem penyedia air tiap grid
dihitung melalui persamaan berikut (Norvyani dan Taradini, 2016):
TAij= Wij-Qij
KHL
dengan,
Status DDLH untuk tiap kabupaten/kota adalah total dari nilai status DDLH semua grid
dari masing-masing kabupaten/kota. Status DDLH tiap grid per kabupaten/kota,
ditentukan oleh selisih antara ambang batas jumlah penduduk dengan jumlah
penduduk pada grid kabupaten/kota yang sama saat ini. Persamaan untuk menentukan
status DDLH per grid adalah sebagai berikut (Norvyani dan Taradini, 2016):
Sij= Tij - Pij
dengan,
Sij : nilai status ambang batas DDLH grid ke-i kabupaten/kota j (kapita),
Tij : ambang batas DDLH untuk jasa ekosistem di grid ke-i kabupaten/kota j (kapita),
Pij : jumlah penduduk grid ke-i di kabupaten/kota j (kapita).
Status DDLH ditentukan berdasarkan nilai status ambang batas yang diperoleh dari
persamaan diatas. Status ambang batas yang bernilai negatif menunjukkan daya dukung
lingkungan hidup di grid tersebut telah melampaui ambang batasnya, dan status
ambang batas yang bernilai positif menunjukkan grid tersebut masih mendukung
kebutuhan pangan ataupun air di wilayah grid tersebut. Untuk memperoleh status per
ekoregion, dilakukan agregasi grid-grid dari ekoregion yang bersangkutan.
Gambar 4.1 Kerangka Total Economic Value (sumber: Grant et al., 2003)
Menaksir nilai ekonomi untuk produk atau jasa ekosistem yang secara langsung
mempengaruhi harga pasar suatu barang. Menurut Djajadiningrat et al.(2014) metode
ini dapat digunakan untuk memperkirakan biaya-biaya atau manfaat ekonomi yang
behubungan dengan mutu lingkungan dan kenyamanan lingkungan
Metode Biaya Perjalanan (Travel Cost Method)
Menaksir nilai nilai ekonomi yang berhubungan dengan ekosistem atau lokasi yang
digunakan untuk rekreasi. Diasumsikan bahwa nilai suatu lokasi dicerminkan dengan
berapa banyak uang yang dikeluarkan orang untuk mengunjungi lokasi tersebut,
sehingga kesediaan orang untuk membayar pada saat mengunjungi lokasi dapat
diperkirakan berdasarkan banyaknya perjalanan dengan perjalanan yang berbeda
(Djajadiningrat et al.(2014).
Kenaikan suhu yang terjadi di bumi berdampak besar bagi iklim dunia yang dikenal
dengan istilah perubahan iklim. Perubahan iklim kini telah dilihat sebagai isu global
yang mungkin menjadi ancaman manusia. Menurut Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan nomor p.7/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2018 perubahan iklim
adalah berubahnya iklim yang diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktivitas
manusia yang menyebabkan perubahan komposisi atmosfir secara global dan selain itu
juga berupa perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang
dapat dibandingkan. Perubahan iklim dapat ditunjukkan oleh beberapa hal diantaranya
peningkatan suhu rata-rata, perubahan rata-rata curah hujan, kenaikan suhu dan tinggi
muka laut (TML), terjadinya pergeseran musim, dan sebagainya (Hairiah, Rahayu,
Suprayogo, & Prayogo, 2016). Berikut merupakan contoh dampak dari perubahan iklim:
- Dampak dari peningkatan suhu bumi dapat meningkatkan konsumsi energi dan
ancaman kelaparan akibat penurunan produksi tanaman, serta meningkatnya
beberapa serangan wabah penyakit seperti malaria, demam berdarah, diare, dan
gangguan pernafasan.
- Dampak dari perubahan curah hujan dapat menyebabkan banjir dan longsor jika
curah hujan meningkat di musim penghujan, sedangkan pada musim kemarau
mengalami kekeringan yang berkepanjangan.
- Dampak dari kenaikan suhu dan TML diantaranya dapat merusak terumbu
karang, berpengaruh terhadap pola migrasi ikan sehingga berdampak besar
terhadap penghasilan nelayan, dan sebagainya.
Indonesia merupakan salah satu negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim
seperti kenaikan muka air laut, kebakaran lahan, dan gangguan di sektor pertanian yang
menimbulkan ancaman ketahanan pangan nasional. Pada tahun 2014 diperoleh hasil
bahwa dari total desa di Indonesia sebanyak 72,34% desa masuk ke dalam kelas
kerentanan sedang (Gambar 5.2)
Pada tahun 2018, KLHK juga telah mengeluarkan pedoman penentuan aksi
mitigasi perubahan iklim. Ruang lingkup dari pedoman tersebut mencakup aksi
mitigas yang berdampak langsung dan tidak langsung terhadap penurunan emisi yang
disusun menurut beberapa komponen diantaranya:
Aksi mitigasi merupakan bentuk aksi yang dilakukan pada kegiatan pembangunan
berbagai sektor dalam mengurangi emisi GRK. Beberapa sektor tersebut meliputi
energi, kehutanan, pertanian, limbah, serta proses industri dan penggunaan produk
(IPPU).
Kriteria adalah kondisi yang ingin dicapai dari suatu aksi mitigasi peribahan iklim
Indikator adalah komponen yang mengindikasikan pelaksanaan suatu aksi mitigasi
yang ingin dicapai suatu kriteria.
Bukti fisik indikator adalah data atau informasi yang diperlukan untuk memberikan
bukti capaian indikator.
Dalam pedoman aksi mitigasi tersebut juga mencantumkan tahapan proses dalam
menentukan aksi mitigasi perubahan iklim adalah sebagai berikut:
a) Menentukan kegiatan pembangunan ke dalam kategori sektor (energi, IPPU,
limbah, atau lainnya).
b) Memilah kegiatan pembangunan yang tergolong aksi mitigasi perubahan iklim
yang berdampak langsung dan tidak langsung
c) Memastikan kesesuaian antara kegiatan pembangunan dengan yang tercantum
pada pedoman aksi mitigasi yang telah dikeluarkan oleh KLHK.
d) Menentukan kriteria, indicator, dan ketersediaan bukti fisik indicator dari
setiap kegiatan pembangunan
Bagi kegiatan mitigasi perubahan iklim yang belum tercakup dalam pedoman tersebut,
kementerian/lembaga menyusun komponen kegiatan mitigasi, kriteria, indicator, dan
ketersediaan bukti fisik indicator sebagaimana yang dicontohkan dalam pedoman
tersebut.
Dalam tujuan untuk menilai risiko, klariikasi mengenai konsep umum yang
berhubungan dengan risiko iklim berikut ini dapat membantu untuk memahami
dengan lebih baik terhadap konsep dan aplikasinya:
Penyusunan strategi dan aksi adaptasi untuk merespon dampak perubahan iklim yang
terjadi dalam dokumen selanjutnya yaitu dokumen strategi ketahanan kota/city
resilience strategy (CRS).
Kajian risiko iklim dirancang untuk menganalisis dan membangun pemahaman
mengenai kerentanan terhadap perubahan iklim guna mendukung dan memberi
informasi dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan di suatu kota.
Tujuan utama dari pendekatan kajian risiko iklim adalah untuk menyediakan informasi
mengenai proil, pola, dan perubahan risiko dengan tujuan untuk mendeinisikan
prioritas, memilih alternatif strategi, atau memformulasikan respon strategi baru
(IPCC, 2012).
Kajian risiko iklim distrukturkan sebagai suatu proses identiikasi dan deskripsi
yang terdiri dari dua komponen yaitu bahaya dan kerentanan. Proses ini dimulai
dengan mengumpulkan dan menganalisis data untuk membentuk framework dan
konteks penilaian (assessment), dan juga menilai kondisi kerentanan saat ini. Tahapan
berikutnya adalah melihat kondisi di masa depan; seperti skenario/prediksi di masa
Dengan penjelasan tahapan dalam menyusun kajian risiko iklim sebagai berikut
(ACCCRN, 2016)
Profil Kota
Merupakan gambaran kondisi umum wilayah perkotaan yang dapat dideskripsikan
berdasarkan gambaran kondisi fisik dan lingkungan perkotaan, kondisi sosial
perkotaan, dan kondisi ekonomi perkotaan. Proil kota dapat diperoleh dari dokumen-
dokumen perencanaan pembangunan kota maupun dokumen statistik perkotaan.
Berikut ini merupakan informasi yang dibutuhkan untuk mendeskripsikan profil kota
Informasi umum
Lengkapi informasi spesiik seperti koordinat kota, unit administratif, area, dan
pemetaan dalam skala wilayah dan juga skala kota, sertakan tabel mengenai informasi
dasar mengenai kota. Jelaskan pula mengenai kondisi politik/pemerintahan (seperti
periode pemerintahan kota saat ini) dan batasan administratif kota yang lebih rinci
(jumlah kecamatan, kelurahan, RW, RT, dll)
Aspek sosial
Meliputi kondisi demograi, pendidikan, dan kesehatan. Kondisi demograi memberikan
gambaran mengenai populasi saat ini di kota. Jika memungkinkan, disediakan dalam
bentuk tabel dan peta dari jumlah populasi dalam tingkat kelurahan/kecamatan dan
dibuat pertumbuhan rata-rata penduduk dalam kurun waktu 20 tahun terakhir untuk
diproyeksikan dalam 20 hingga 30 tahun yang akan datang. Akses terhadap pendidikan
dan kesehatan juga merupakan hal yang penting untuk mendeskripsikan akses
terhadap pelayanan dasar. Beberapa data yang menarik seperti rata-rata
ketidakhadiran partisipasi sekolah, distribusi daerah yang terkena wabah penyakit, dan
lokasi dari pusat-pusat pelayanan kesehatan dan pendidikan dapat ditampilkan jika
tersedia.
Aspek Ekonomi
Meliputi kondisi ekonomi dan kemiskinan. Profil ekonomi kota menggambarkan sektor-
sektor ekonomi yang berbeda-beda yang berkontribusi terhadap ekonomi kota (dalam
bentuk diagram lingkaran), dan juga mendeskripsikan sektor ekonomi yang paling
berperan besar dalam ekonomi kota. Data yang dapat digunakan untuk
mendeskripsikan kondisi tersebut adalah data PDRB (Pendapatan Domestik Regional
Bruto). Untuk tiga sektor ekonomi utama, jelaskan mengapa sektor tersebut berperan
besar terhadap kota dan jelaskan pula kecenderungannya di masa lalu dan saat ini
apakah meningkat atau menurun. Untuk profil kemiskinan, kumpulkan data mengenai
Proyeksi iklim
Tahapan pertama adalah menganalisis kecenderungan kondisi iklim dalam skala makro:
di tingkatan regional dan nasional. Kecenderungan perubahan iklim di tingkat regional
untuk Indonesia mengacu pada wilayah Asia Tenggara. Sementara dalam konteks kota,
maka iklim makro mengacu pada kondisi iklim tingkat nasional atau mengacu pada apa
yang terjadi terhadap iklim di Indonesia. Penting untuk memeriksa ketersediaan
sumber data karena kecenderungan perubahan iklim dapat berubah.
Berikut ini beberapa kecenderungan kondisi iklim di tingkat regional berdasarkan data
dari Laporan Penilaian ke-4 IPCC (2007):
- Terjadi peningkatan kejadian iklim ekstrim seperti gelombang panas dan curah
hujan yang tinggi.
- Terjadi peningkatan suhu rata-rata, yang dibuktikan dengan semakin
bertambahnya jumlah siang yang panas dan malam yang hangat dibandingkan
siang dan malam yang dingin diantara tahun 1961 dan 1998.
- Keanekaragaman hayati di tingkat regional terpapar oleh penambahan suhu
rata-rata.
- Keterpaparan terhadap ENSO (El Niño Southern Oscillation), atau dikenal
dengan “El Nino” dan “La Nina”.
- Di Indonesia, perubahan iklim diproyeksikan memberikan dampak:
- Menghangatnya suhu udara yang terus meningkat dari 0.2 ke 0.3oCper dekade.
- Adanya sedikit peningkatan curah hujan tahunan di sebagian besar pulau-pulau
di Indonesia, terutama di bagian utara.
- Terjadi penundaan pergantian musim tahunan hingga 30 hari.
Oleh karena itu perlu untuk merubah fokus kecenderungan iklim ke tingkatan
kota, sehingga bisa menganalisis kecenderungan dan proyeksi iklim di kota. Proyeksi
iklim dapat diperoleh dari data meteorologi untuk kota, seperti curah hujan dan pola
perubahan suhu permukaan dalam 20 hingga 30 tahun terakhir, dan membandingkan
data tersebut dengan model iklim, sehingga kita dapat melihat iklim kota di masa depan
melalui data iklim global di masa depan (downscale).
SRES belum mempertimbangkan kebijakan global untuk penurunan emisi gas rumah
kaca. Maka dari itu, dalam IPCC 5th Assessment Report, dikeluarkan skenario baru,
yaitu RCP (Representative Concentration Pathways). RCP merupakan skenario yang
sudah mempertimbangkan target global agar perubahan iklim yang terjadi tidak
melebihi suhu 2°C.
Tabel 5.2 Hubungan Nilai Peluang dan Periode Ulang Kejadian Iklim
Dalam kajian ini, analisis penetapan tinggi hujan yang dapat menimbulkan
bencana tidak dilakukan. Namun digunakan asumsi, bahwa tinggi hujan yang periode
ulang 5 dan 10 tahun sekali akan menimbulkan bencana iklim sedang dan besar. Untuk
mendapatkan tinggi hujan dengan peluang kejadian seperti Tabel di atas, dilakukan
dengan cara mengurutkan data historis dari nilai yang terbesar sampai nilai terkecil.
Tinggi hujan terendah dengan peluang ulang kejadian sekali lima tahun (20%) akan
berada pada urutan data yang ke 0,2 x 30 = 6 dari nilai terbesar, sedangkan yang
periode ulang kejadian sekali 10 tahun akan berada pada urutan data ke 0,1 x 30 = 3
Skala Konsekuensi
Konsekuensi yang dimaksud adalah besarnya kerusakan yang disebabkan suatu
kejadian (bahaya, bencana dan non-bencana) akibat perubahan iklim terhadap kota,
khususnya terhadap kapasitas adaptif pemerintah kota dalam menghadapi perubahan
iklim. Skala konsekuensi dapat dibagi menjadi tiga, yaitu tidak nyata, menengah, luar
biasa (katastropik).
Tabel 5.6 Penentuan Skala Konsekuensi Bahaya
Analis Kerentanan
Merupakan gambaran kondisi internal perkotaan dalam menghadapi dampak
perubahan iklim. Penilaian kerentanan dilakukan menggunakan rumusan IPCC
(Intergovernmental Panel on Climate Change) bahwa kerentanan merupakan fungsi
dari singkapan (Exposure), sensitivitas (Sensitivity) dan kapasitas adaptif (Adaptive
Capacity). Singkapan merupakan derajat (seberapa jauh) suatu sistem (sosial dan
ekosistem) secara alamiah rentan terhadap perubahan iklim. Sensitivitas merupakan
tingkat suatu sistem terkena dampak sebagai akibat dari semua elemen perubahan
iklim, termasuk karakteristik iklim rata - rata, variabilitas iklim, dan frekuensi serta
besaran ekstrim. Kapasitas adaptif merupakan kemampuan satu sistem untuk
menanggulangi konsekuensi dari perubahan atau menyesuaikan diri pada perubahan
iklim, mengurangi potensi kerusakan, atau mengambil keuntungan dari perubahan
iklim tersebut.
Normalisasi
Setiap indikator perlu untuk dinormalisasi jika nilai rasionya lebih besar dari 1
dan lebih rendah dari 0. Hal ini diperlukan agar dapat dibandingkan dengan indikator
lainnya. Normalisasi perlu dilakukan sebelum tahapan pembobotan. Untuk
memperoleh data yang telah dinormalisasi, kita harus membagi setiap data yang
terdapat dalam satu indikator dengan nilai maksimum dari indikator tersebut.
Pembobotan
Setelah menyusun indikator-indikator yang telah dinormalisasikan, diperlukan
proses pembobotan untuk membandingkan satu indikator dengan indikator lainnya.
Setiap kota mungkin dapat memberikan pembobotan yang berbeda-beda karena
memiliki prioritas yang berbeda pula. Sebagai contoh, sektor pertanian untuk suatu
kota lebih rendah prioritasnya dibandingkan sektor penyediaan air sehingga memiliki
nilai pembobotan yang lebih rendah. Hal ini mungkin dapat berbeda dengan kota lain.
Jumlah dari total seluruh pembobotan dalam seluruh indikator harus sama dengan 1
(satu). Terdapat beberapa cara untuk menentukan pembobotan dari setiap indikator
tersebut diantaranya; (1) Expert judgement, keputusan/saran dari tenaga ahli (orang
yang paling memahami kondisi kota) atau; (2) Metode Rangking, keputusan
pembobotan indikator ditentukan berdasarkan ketersediaan data, kondisi masa lalu
dan proyeksi masa depan tentang kejadian bahaya. Nilai indikator yang sudah
dikalikan dengan nilai pembobotannya disebut dengan indikator yang dibobotkan
Jumlah dari indikator yang sudah dinormalisasi dan dibobotkan akan menjadi Indeks
Keterpaparan dan Sensitiitas (IKS) dan Indeks Kapasitas Adaptif (IKA)
Penentuan Kuadran
Setelah melakukan perhitungan indikator untuk masing-masing Indeks
Keterpaparan dan Sensitiitas (IKS) dan Indeks Kapasitas Adaptif (IKA), maka akan
diperoleh nilai IKS dan IKA untuk masing-masing kelurahan (menyesuaikan dengan
tingkat administrasi yang disepakati). Nilai IKS dan IKA dikalikan dengan bobot
masing-masing indikator dan dinormalisasi untuk mendapatkan indeks IKS dan IKA
Tabel 5.9 Kategori Tingkat Kerentanan berdasarkan Nilai IKS dan IKA
(CCROM,2008)
Anomali ialah deviasi dari nilai rata-rata. Nilai rata adalah 0,5. Misalnya nilai IKS
sebesar 0,1 untuk menghitung Ano IKS adalah 0,1 – 0,5 ; maka nilai Ano IKS adalah -
0,4.
Kuadran 1 = Tingkat keterpaparan dan sensitivitas rendah; kapasitas adaptasi tinggi.
Kuadran 2 = Tingkat keterpaparan dan sensitivitas tinggi; kapasitas adaptasi tinggi.
Kuadran 3 = Tingkat keterpaparan dan sensitivitas; kapasitas adaptasi menengah.
Kuadran 4 = Tingkat keterpaparan dan sensitivitas rendah; kapasitas adaptasi rendah.
Kuadran 5 = Tingkat keterpaparan dan sensitivitas tinggi; kapasitas adaptasi rendah.
Risiko merupakan produk dari tingkat ancaman/bahaya (H) dan kerentanan (V).
Analisis ini diperlukan untuk mendapatkan informasi mengenai tingkat risiko bagi
masing-masing sektor rentan, kemungkinan risiko tersebut terjadi, dan seberapa besar
dampaknya terhadap sistem kota
Dengan, kategori risiko yaitu SST = Sangat Sangat Tinggi; ST = Sangat Tinggi; T = Tinggi;
S = Sedang; R = Rendah; SR = Sangat Rendah; SSR = Sangat Sangat Rendah
Kajian risiko kota perubahan iklim juga harus disinkronkan dengan penanggulangan
bencana dalam bingkai adaptasi perubahan iklim. Di sini dibutuhkan adanya
pemahaman yang utuh antara kedua hal tersebut untuk mengidentiikasi praktik
pengurangan risiko dan dampak bencana dalam kerangka adaptasi perubahan iklim.
Hal tersebut merupakan hal yang coba disampaikan juga oleh IPCC (2012) dalam
dokumen special report.
Contoh Penerapan
1. Analisis Kerentanan untuk Ekosistem Pegunungan a. Singkapan
Singkapan diukur dengan analisis kausalitas antara variable iklim (suhu dan curah
hujan) dengan kejadian bencana klimatis (climatic hazard) yang berhubungan dengan
kehidupan manusia menurut EEPSEA and IDRC (2009) yang relevan di ekosistem.
Untuk ekosistem pegunungan, bencana alam yang diukur adalah longsor. Penilaian
tingkat eksposur potensi longsor dilakukan menurut pendekatan Suranto (2008)
mengikuti Tabel di bawah ini :
Total nilai pada setiap lokasi dan atribut/indikator diklasifikasi menggunakan skala
interval (SI). Hasil pengolahan nilai skor kemudian diinterpretasi ke dalam 3 kelas
kerentanan (sensitivitas), yaitu : tinggi, sedang dan rendah
Kapasitas Adaptif
Kapasitas adaptif dianalisis dengan metode scoring. Aspek kapasitas adaptif yang
dianalisis meliputi aspek yang sama dengan variabel sensitivitas, yaitu: sosial,
ekonomi, infrastruktur dan ekologi (Benson & Twig, 2007 dalamLassa & Nakmofa,
2007). Jika indikator tersebut menunjukkan sifat melemahkan maka tergolong
sensitivitas, sedangkan jika menguatkan maka tergolong kapasitas adaptif.
Tujuan studi keanekaragaman hayati ini adalah untuk mengetahui data dan informasi
tentang potensi dan kondisi keanekaragaman hayati dalam berbagai tingkatan yang
terdapat di suatu lokasi yang nantinya dapat digunakan untuk mendukung upaya
konservasi atau pelestarian lingkungan. Studi ini dapat digunakan dalam mengevaluasi
status dan kecenderungan sumber daya keanekaragaman hayati dan sumber daya
biologis yang dapat dikelola lebih lanjut.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.69 Tahun 2017, Analisis tingkat ketahanan dan
potensi keanekaragaman hayati dilakukan dengan cara :
a. Mengkaji pemanfaatan dan pengawetan spesies/jenis tumbuhan dan satwa, yang
meliputi:
- Penetapan dan penggolongan yang dilindungi atau tidak dilindungi
- Pengelolaan tumbuhan dan satwa serta habitatnya
- Pemeliharaan dan pengembangbiakan
- Pendayagunaan jenis atau bagian-bagian dari tumbuhan dan satwa liarnya
- Tingkat keragaman hayati dan keseimbangannya
b. Mengkaji ekosistem, yang meliputi :
Adapun output yang akan dihasilkan dari studi ini adalah sebagai berikut :
Memberikan gambaran status keanekaragaman hayati (flora dan fauna) di suatu
lokasi .
Keberadaan jenis-jenis satwa atau tumbuhan liar (jika ada)
Rekomendasi upaya pelestarian atau konservasi
Melakukan prediksi dampak positif terhadap komponen ekosistem perbaikan
kondisi hidrologis
Merekomendasikan program untuk lokasi perlindungan Kehati menjadi media
penelitian, penyebaran informasi & pengetahuan terkait community
development.
Melakukan prediksi dampak positif keankeragaman hayati terhadap community
development
Status keanekaragaman tersebut dinyatakan dalam:
Flora
- Indeks Nilai Penting (INP) : Kerapatan relatif, Frekuensi Relatif, dan Dominasi
Relatif
- Indeks Keanekaragaman Jenis
Fauna:
- Indeks Keanekaan Jenis
- Indeks Kesamaan Jenis
- Kelimpahan Relatif
Keberadaan jenis-jenis satwa atau tumbuhan liar (jika ada) baik yang bersifat
ekonomis, endemis, langka, maupun dilindungi peraturan nasional maupun
internasional.
Metode kualitatif
Lakukan pengumpulan data berupa pencatatan jenis-jenis tumbuhan yang berada di
sekitar wilayah studi.
Lakukan pencatatan terhadap jenis tumbuhan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi,
jenis yang biasa digunakan sebagai bahan bangunan, tumbuhan berstatus langka dan
dilindungi berdasarkan peraturan perundangan nasional maupun internasional serta
tumbuhan khas daerah tersebut.
Metode Kuantitatif
Metode pengambilan data secara kuantitatif yang digunakan adalah metode kuadrat
pada jalur sabuk transek sepanjang 200 m dengan lebar 20 m. Sabuk transek
ditempatkan pada lahan yang telah mengalami gangguan/perubahan hingga ke dalam
hutan yang kondisi vegetasinya masih baik/belum terganggu. Hal ini dimaksudkan
untuk dapat melihat gradasi perubahan kondisi flora sepanjang jalur sabuk transek.
Strata pertumbuhan dibedakan sebagai berikut:
• Tumbuhan bawah : Tumbuhan sebagai penutup lahan, ex : rumput-rumputan
• Semai: Mulai dari anakan sampai tanaman yang tingginya kurang dari 1,5 meter;
• Pancang : Mulai dari 1,5m dan berdiameter ≤ 10cm;
• Tiang: Berdiameter antara 10–30cm
• Pohon : Berdiameter antara ≥ 30cm
Khusus untuk Mangrove di Kampung Baru dan Desa Kersik tiap-tiap strata dibedakan
sebagai berikut :
• Semai: Mulai dari anakan sampai tanaman yang tingginya kurang dari 1,5 meter;
Keterangan:
a = Petak ukur tingkat semai dan penutup lantai (2 m x 2 m)
b = Petak ukur tingkat pancang (5 m x 5 m)
c = Petak ukur tingkat Tiang (10 m x 10 m)
d =Petak ukur tingkat pohon (20 m x 20 m)
Analisis Data
Indeks Nilai Penting (INP)
INP = KR + FR + DR
Dimana:
INP= Indeks Nilai Penting
KR= Kerapatan Relatif (%)
FR= Frekuensi Relatif (%)
DR= Dominansi Relatif (%)
Fauna Terestrial
Metode yang digunakan dalam pengumpulan data fauna terestrial adalah dengan cara
pengamatan langsung (survei) lapangan dan wawancara dengan penduduk setempat.
Pengumpulan data dengan pengamatan langsung dilakukan dengan observasi dan
penangkapan.
Avifauna
Analisis Data
Untuk mengetahui nilai indeks keanekaan, kesamaan dan kelimpahan jenis fauna
terestrial (khususnya avifauna) dilakukan perhitungan dengan menggunakan rumus:
Indeks Keanekaan Jenis:
Dimana :
S = 2C/(A+B)
Dimana :
S =Indeks kesamaan
= Jumlah jenis yang terdapat pada komunitas A
= Jumlah jenis yang terdapat pada komunitas B
= Jumlah jenis yang terdapat pada kedua komunitas
Kelimpahan Jenis:
Mammalia
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data primer mammalia dilakukan dengan observasi lapangan
dengan cara penjelajahan. Setiap temuan baik langsung maupun tidak langsung (jejak,
Herpetofauna
Metode Pengumpulan Data
Pengambilan data herpertofauna berupa observasi di lapangan dengan menggunakan
metode modifikasi dari metode Visual Encounter Survey (VES) dengan metode Recce
Walks (Doan, 2003). Metode VES mencakup Line Transect dan Night Stream. Jalur yang
digunakan untuk pengambilan data adalah jalur-jalur bekas aktivitas manusia, jalan
setapak, sungai, danau, kolam, kanal, dan genangan air.
VES Line Transect dilakukan pada pukul 06.00 hingga 11.00 dan VES Night Stream
dilakukan dari pukul 17.00 hingga 21.00. Hasil observasi dicatat jenis dan jumlah
individunya. Lakukan dokumentasi untuk keperluan identifikasi di laboratorium.
Proses identifikasi menggunakan berbagai referensi dari Inger and Stuebing (1997),
Cox van Dijk, Nabithabatha, and Thirakupt (1998), Stuebing and Inger (1999), Iskandar
(2000), Das (2004), Das (2007), Das (2010), Kusrini (2013).
Cs = ( a + b )
Keterangan:
Cs = Indeks Kesamaan
= jumlah jenis di lokasi a
= jumlah jenis di lokasi b
j = jumlah jenis yang sama pada dua lokasi
Analisis data juga dilakukan untuk mengetahui keberadaan jenis-jenis satwa liar baik
yang bersifat ekonomis, endemis, langka, maupun dilindungi berdasarkan peraturan
dan perundang-undangan di Indonesia dan konvensi internasional seperti CITES
(Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna) atau
Konvensi Internasional yang mengatur perdagangan antar negara spesies-spesies
satwa dan tumbuhan liar yang terancam punah serta berdasarkan Redlist IUCN
(International Union Conservation Nature).
BAPPENAS, 2016. Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) 2015-
2020. Jakarta:Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional.
Barbier, E.B. 1991. The economic value of ecosystems 2 _ Tropical forests. LEEC
Gatekeeper Series 91-01. London, London Environmental Economics
Centre.
Barbour, M., Burk, J.H., Pitts, W.D., Gilliam, F.S., Schwartz, M.W. (1998).
Terrestrial Plant Ecology.Benjamin Cummings.
Begon, M., Towsend, C.R. & Harper, J.L., (2006). Ecology: From individual to
ecosystems. Fourth Edition ed. Oxford: Blackwell Publishing.
Betts, C.P., Choquette, W.H., Haughton, J.G., Knoop, S.L., McClintock, R., Nuckolls,
R.T. et al. (2002). Physical security assessment for Department of Veterans
Affairs Facilities: recommendations of the National Institute of Building
Sciences Task Group. Washington, DC: Department of Veterans Affairs.
Burkhard, B., Kandziora, M., Hou, Y., Muller, F., 2014. Ecosystem service
potentials, flows and demands–concepts for spatial localisation,
indication and quantification. Landsc. Online 32, 1–32
Cox, M.J., Dijk, P.P. van, Nabhitabhata, J. & K. Thirakupt. 1998. A Photographic
Guide to Snakes and Other Reptiles of Thailand and Southeast Asia. Asia
Books, Co. Ltd., Bangkok. 144pp.
Dai, A., 2011: Characteristics and trends in various forms of the Palmer Drought
Severity Index during 1900–2008. J. Geophys. Res., 116.
Doan, T.M. (2003). Which methods are most effective for surveying rain forest
herpetofauna? Journal of Herpetology 37:72–81.
Eckart, K., McPhee, Z., dan Bolisetti, T. 2017. Performance and implementation of
low impact development. Science of The Total Environment, Vol. 607-608,
Pages 413-432.
Grant, S. M., Hill, S. L., Trathan, P. N., & Murphy, E. J. (2013). Ecosystem services of
the Southern Ocean: trade-offs in decision-making. Antarctic science, 25(5),
603-617.
Indonesian Biodiversity Strategy Action and Plan 2015 – 2020 Bappenas 2016.
Iskandar, D.T. 2000. Turtles and Crocodiles of Insular Southeast Asia and New
Guinea. Bandung, Palmedia – ITB, 224 pp.
Kottelat, M and A.J. Whitten. 1996. Freshwater fishes of Western Indonesia and
Sulawesi: Addition and correction. 1996. Periplus Editions Limited.
Kurnianto, S., Warren, M., Talbot, J., Kauffman, J.B., Murdiyarso, D. & Frolking, S.
(2015).
KLHK. (2017). Laporan Investasi GRK dan monitoring, pelaporan dan verigikasi
2017. Jakarta: Direktorat Jenderal Pemgendalian Perubahan Iklim,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
KLHK. (2017). SIDIK. Sistem Informasi Data Indeks Kerentanan Perubahan Iklim.
Jakarta: Direktorat Adaptasi Perubahan Iklim, Direktorat Jenderal
Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan.
Lahr, J dan Kooistra, L. 2010. Enviromental Risk Mapping of poluttants: State of the
art and communication aspects. Science of the Total Enviroment. Issue 18,
pages 3899 – 3907.
Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. New Jersey:
Princeton University Press.
Molles, M.C., 2010. Ecology : Concepts and applications. Fifth Edition ed. New
York: Mc Graw Hill.
Montagnini, F. & Jordan, C.F., 2005. Tropical forest ecology: The basis for
conservation and management. Berlin: Spinger.
Odum, E.P.; Barret, G.W. (1993). Fundamentals of Ecology. Boston, U.S. : Cengage
Learning. Pawitan H. 2010. Arti Perubahan Iklim Global dan
Pengaruhnya dalam Pengelolaan Daerah Aliran
Payne, J.; Francis, C.M.; Phillips, K.; dan Kartikasari, S.N. (2000). Panduan
Lapangan Mamalia Di Kalimantan, Sabah, Sarawak Dan Brunei
Darussalam. WCS Indonesia Program, The Sabah Society, dan WWF
Malaysia, Kuala Lumpur.
Poggio, L., Vrscaj, B., Hepperle, E., Schulin, R., & Marsan, F. A. (2008). Introducing
a method of human health risk evaluation for planning and soil quality
management of heavy metal-polluted soils—An example from Grugliasco
(Italy). Landscape and Urban Planning, 88(2-4), 64–72.
PPPES, 2016. Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup Ekoregion
Sumatera Berbasis Jasa Ekosistem. Pekanbaru: Pusat Pengendalian
Pembangunan Ekoregion Sumatera.
Pramesty, Anggun R., Nirmala, A., dan Aspan, A.,. (2013): Perhitungan Daya
Dukung Lingkungan Berdasarkan Ketersediaan Air dan Produktivitas
Lahan Di Kecamatan Tujuh Belas Kabupaten Bengkayang, Jurnal Program
Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik,
UniversitasTanjungpura(http://jurnal.untan.ac.id/index.php/jmtluntan/
article/viewFile/7660/ 7767).