Anda di halaman 1dari 176

SAMBUTAN

KEPALA DINAS PEKERJAAN UMUM DAN PENATAAN RUANG


PROVINSI SUMATERA BARAT

Selamat datang para peserta pelatihan Penyusunan Kajian Lingkungan Hidup


Strategis (KLHS), kami sangat menghargai para peserta yang telah hadir dalam
kegiatan Penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang akan secara
nyata meningkatkan kapasitas pengetahuan dan keterampilan Aparatur Sipil Negara
dari Organisasi Perangkat Daerah di seluruhKabupaten/ Kota di Provinsi Sumatera
Barat. Dengan mengikuti pelatihan ini diharapkan terwujudnya kesamaan pemahaman
baik secara aturan dan teknis dari penyusunan suatu Kajian Lingkungan Hidup Strategis
(KLHS) RTR Kabupaten/Kota serta tersedianya Sumberdaya Manusia di Kabupaten/
Kota yang memiliki kemampuan dalam penyusunan KLHS.

KLHS merupakan proses mengintegrasikan pembangunan berkelanjutan yang


berwawasan lingkungan hidup dalam pengambilan keputusan terhadap kebijakan,
rencana, dan/atau program (KRP), melalui antisipasi kemungkinan dampak negatif KRP
terhadap lingkungan hidup dan evaluasi sejauh mana KRP yang akan diterbitkan
berpotensi: meningkatkan risiko perubahan iklim; meningkatkan kerusakan, kemerosotan,
atau kepunahan keanekaragaman hayati.

Diharapkan dengan adanya peran KLHS dalam Perencanaan Tata Ruang menjadi
suatu bentuk tindakan stratejik dalam menuntun, mengarahkan, dan menjamin tidak
terjadinya efek negatif terhadap lingkungan dan keberlanjutan dipertimbangkan secara
inheren dalam kebijakan, rencana dan program [KRP] dalam perencanaan tata ruang..

Kepala Dinas

Ir. Fathol Bari, MSc. Eng


KATA PENGANTAR

Modul Pelatihan Penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)


merupakan acuan yang dapat digunakan oleh peserta pelatihan Penyusunan
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dalam rangka Peningkatan
Pemahaman Kapasitas SDM Bidang Penataan Ruang. Kegiatan ini merupakan
tugas pokok dan fungsi Bidang Penataan Ruang Dinas Pekerjaan Umum dan
Penataan Ruang Provinsi Sumatera Barat yang mana akan dilaksanakan 5
(lima) kali pelatihan yang salah satunya adalah Pelatihan Penyusunan Kajian
Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).

Dengan adanya modul pelatihan Penyusunan Penyusunan Kajian Lingkungan


Hidup Strategis (KLHS) ini diharapkan dapat memudahkan peserta memahami
prosedur dan tahapan penyusunan KLHS untuk Rencana Tata Ruang secara
terstruktur.

Demikian modul Pelatihan Penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis


(KLHS) ini dibuat sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2016 tentang
Tata Cara Penyelenggaraan Kajian Lingkungan Hidup Strategis serta sesuai dengan
Kerangka Acuan Kerja (KAK) yang diharapkan dapat menjabarkan tahapan –
tahapan dalam Penyusunan KLHS.

Koordinator

Drs. Danang W. Jati, DUM, MUP


BIDANG PE NATAAN RUANG

MATERI POKOK 1
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
2. Tujuan
3. Pengguna Modul
4. Fasilitator
5. Evaluasi

P E L A TI HA N R E N CA NA D E TAI L T A TA R U AN I-3
MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS I-1
MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .................................................................................................................................................. I - 2


PENDAHULUAN .......................................................................................................................................... I - 3
Latar Belakang............................................................................................................................................. I - 3
Tujuan ........................................................................................................................................................... I – 5
Pengguna Modul ......................................................................................................................................... I - 5
Fasilitator .................................................................................................................................................... I – 5
Evaluasi .......................................................................................................................................................... I - 6

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS I -2


PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) adalah rangkaian analisis yang


sistematis, menyeluruh, dan partisipatif digunakan untuk memastikan bahwa
prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam
pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program sesuai
dengan (UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup).

Makna strategis mengandung arti sangat penting dan sangat berpengaruh. KLHS
mengevaluasi kondisi dan rencana daerah yang sangat penting dan berpengaruh,
karena komponen yang sangat penting dan berpengaruh tersebut jika dibiarkan akan
berdampak pada pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. Pendekatan strategis
yang digunakan dalam kebijakan, rencana, dan/atau program dapat digunakan untuk
memperkirakan apa yang terjadi di masa depan, merencanakan dan mengendalikan
langkah-langkah yang diperlukan sehingga menjamin keutuhan lingkungan hidup serta
keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan masa
depan.

Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang


memadukan aspek Lingkungan Hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi
pembangunan untuk menjamin keutuhan Lingkungan Hidup serta keselamatan,
kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa
depan. (Pasal 1 Ayat 3 UU 32 Tahun 2009 PPLH dan Pasal 1 Ayat 3 PP 46 Tahun 2016
KLHS).

KLHS merupakan proses mengintegrasikan pembangunan berkelanjutan yang


berwawasan lingkungan hidup dalam pengambilan keputusan terhadap kebijakan,
rencana, dan/atau program (KRP), melalui antisipasi kemungkinan dampak negatif KRP
terhadap lingkungan hidup dan evaluasi sejauh mana KRP yang akan diterbitkan
berpotensi: meningkatkan risiko perubahan iklim; meningkatkan kerusakan,
kemerosotan, atau kepunahan keanekaragaman hayati; meningkatkan intensitas
bencana banjir, longsor, kekeringan, dan/atau kebakaran hutan dan lahan terutama

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS I -3


pada daerah yang kondisinya telah tergolong kritis; menurunkan mutu dan kelimpahan
sumber daya alam terutama pada daerah yang kondisinya telah tergolong kritis;
mendorong perubahan penggunaan dan/atau alih fungsi kawasan hutan terutama pada
daerah yang kondisinya telah tergolong kritis; meningkatkan jumlah penduduk miskin
atau terancamnya keberlanjutan penghidupan sekelompok masyarakat; dan/atau
meningkatkan risiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia.

Sebagaimana disebutkan dalam UU 32/2009 tentang PPLH Pasal 15 dan PP


46/2016 tentang KLHS Pasal 2, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib
membuat KLHS untuk memastikan bahwa prinsip Pembangunan Berkelanjutan telah
menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau Kebijakan,
Rencana dan/atau Program (KRP).

Peran KLHS dalam Perencanaan Tata Ruang adalah sebuah bentuk tindakan
stratejik dalam menuntun, mengarahkan, dan menjamin tidak terjadinya efek negatif
terhadap lingkungan dan keberlanjutan dipertimbangkan secara inheren dalam
kebijakan, rencana dan program [KRP] dalam perencanaan tata ruang. Oleh karena
tidak ada mekanisme baku dalam siklus dan bentuk pengambilan keputusan dalam
perencanaan tata ruang, maka manfaat KLHS bersifat khusus bagi masing-masing
hirarki rencana tata ruang wilayah [RTRW]. KLHS bisa menentukan substansi RTRW,
bisa memperkaya proses penyusunan dan evaluasi keputusan, bisa dimanfaatkan
sebagai instrumen metodologis pelengkap (komplementer) atau tambahan
(suplementer) dari penjabaran RTRW, atau kombinasi dari beberapa atau semua
fungsi-fungsi diatas.

Penerapan KLHS dalam penataan ruang juga bermanfaat untuk meningkatkan


efektifitas pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) dan
atau instrumen pengelolaan lingkungan lainnya menciptakan tata pengaturan yang
lebih baik melalui pembangunan keterlibatan para pemangku kepentingan yang
strategis dan partisipatif, kerjasama lintas batas wilayah administrasi, serta
memperkuat pendekatan kesatuan ekosistem dalam satuan wilayah.

Sesuai dengan amanat dalam PP 46/2016 pasal 4 ayat 3 yaitu Kebijakan, Rencana,
dan/atau Program tingkat Kabupaten/Kota yaitu pada point a bahwa Rencana Tata

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS I -4


Ruang Wilayah Kabupaten/Kota; diwajibkan dilaksanakannya penyusunan KLHS, maka
untuk mendukung terlaksananya amanat ini, SDM aparatur dari sektor yang terkait
langsung dalam perencanaan tata ruang perlu dibekali pemahaman serta dilatih
kemampuannya untuk dapat menyusun dokumen KLHS. Hal ini mengingat hingga saat
ini masih aparatur yang mengerti dan menguasai kompleksnya proses perumusan isu-
isu strategis dan prioritas, analisa KRP hingga tervalidasinya dokumen KLHS tersebut
sangatlah terbatas. Untuk itu, pelatihan penyusunan KLHS menjadi sangat urgen untuk
dilaksanakan, agar dapat mencetak aparatur yang handal dalam menyusun dokumen
KLHS rencana tata ruang.

B. TUJUAN

Tujuan disusunnya modul ini adalah :


- bahan acuan agar peserta memiliki kemampuan dalam menyusun dokumen
KLHS rencana tata ruang di Lingkungan Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota
di Sumatera Barat.
- Untuk memudahkan peserta pelatihan memahami tahapan,-tahapan dalam
penyusunan KLHS rencana tata ruang.

C. PENGGUNA MODUL
Pengguna modul merupakan peserta pelatihan penyusunan KLHS rencana tata
ruang yang berasal dari organisasi perangkat daerah (OPD) pemerintah provinsi
maupun OPD pemerintah dari 19 kabupaten/kota di Sumatera Barat yang terkait
dengan penyelenggaraan penataan ruang.

D. FASILITATOR/NARASUMBER
Pelaksanaan pelatihan penyusunan KLHS rencana tata ruang ini mendatangkan
fasilitator/ narasumber dari :
- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
- Pusat Studi Lingkungan Hidup, Intitut Teknologi Bandung.
- Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Barat
- Praktisi/Ahli Lingkungan Hidup

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS I -5


E. EVALUASI
Pelaksanaan evaluasi dari pelatihan ini dilakukan sebanyak 2 (dua) kali, yaitu :

- Pre Test
Pre test atau tes awal dilakukan hanya untuk melihat sejauh mana pengetahuan
dasar peserta mengenai KLHS. Sehingga nantinya pada saat pelatihan berakhir
dapat mengukur progres yang dicapai oleh setiap peserta.
- Post Test/Evaluasi Akhir
Evaluasi akhir dilakukan setelah semua materi dibahas dan peserta melakukan
best practice/ praktek analisa dalam setiap tahapan penyusunan KLHS.

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS I -6


BIDANG PE NATA AN RUANG

MATERI POKOK 2
PERSIAPAN PENYELENGGARAAN KLHS

1. Pembentukan POKJA
2. Identifikasi Pemangku Kepentingan
3. Penyusunan Kerangka Acuan Kerja

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS II -1


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................................................................................. II - 2


DAFTAR GAMBAR..................................................................................................................................... II - 5
DAFTAR TABEL ........................................................................................................................................ II – 5
RANCANG BANGUN PEMBELAJARAN MATA AJAR (RBPMA) ............................................. II - 4
Pembentukan Kelompok Kerja (POKJA) KLHS .......................................................................... II - 5
Identifikasi Pemangku Kepentingan .............................................................................................. II - 7
Penyusunan Kerangka Acuan Kerja ............................................................................................. II - 13

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS II -2


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Fungsi dan Peran Pemangku Kepentingan ..................................................... II – 11


Gambar 2.2 Penyusunan KAK KLHS ............................................................................................................. II – 14

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Pemetaan Pemangku Kepentingan .......................................................................... II – 10


Tabel 2.2 Contoh Instrumen Pemangku Kepentingan ........................................................ II – 13

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS II -3


1. Pembentukan Kelompok Kerja (POKJA) KLHS
Dalam membuat dan melaksanakan KLHS, penyusun KRP membentuk Kelompok kerja
(POKJA) KLHS yang dapat dibentuk tersendiri atau menjadi bagian dari kelompok kerja
penyusunan atau evaluasi KRP. Kelompok kerja KLHS tersebut terdiri dari unsur:
a. perwakilan kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian terkait, untuk
Kebijakan, Rencana, dan/atau Program tingkat nasional;
b. perwakilan Perangkat Daerah terkait, untuk Kebijakan, Rencana, dan/atau Program
tingkat daerah.

Dalam membuat dan melaksanakan KLHS, POKJA KLHS dapat dibantu oleh pakar.
Dipersyaratkan dalam Kelompok kerja KLHS sedikitnya 1 (satu) anggota yang
memenuhi standar kompetensi berupa:
a. kriteria ketepatan keahlian pada isu yang dikaji;
b. pengalaman di bidang pembuatan dan pelaksanaan KLHS atau kajian Lingkungan
Hidup yang sejenis.

Kelompok kerja KLHS memiliki tugas antara lain:


a. menyusun kerangka acuan kerja (KAK);
b. melaksanakan konsultasi publik;
c. membuat dan melaksanakan KLHS melalui mekanisme sesuai dalam peraturan
perundangan;
d. melaksanakan pengintegrasian hasil KLHS ke dalam Kebijakan, Rencana, dan/atau
Program (KRP);
e. melaksanakan penjaminan kualitas KLHS;
f. melaksanakan pendokumentasian KLHS.

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS II -5


Kelompok Kerja KLHS Untuk Kebijakan, Rencana, Dan/Atau Program Tingkat
Provinsi Atau Kabupaten/Kota

Pembentukan di tingkat Provinsi atau Kabupaten/Kota mengikuti kaidah-kaidah


sebagai berikut:
a. Ketua Kelompok Kerja yang dijabat oleh Kepala Dinas Lingkungan Hidup
Provinsi/Kabupaten/Kota atau Kepala Perangkat Daerah Penyusun Kebijakan,
Rencana dan/atau Program Provinsi/Kabupaten/Kota;
b) Wakil Ketua Kelompok Kerja yang dijabat oleh Kepala PD Penyusun Kebijakan,
Rencana, dan/atau Program apabila ketua Kelompok Kerja dijabat oleh Kepala
Dinas Lingkungan Hidup, atau sebaliknya.
c. Sekretaris yang dijabat oleh pejabat eselon III/kepala bidang dari Perangkat Daerah
yang menyusun Kebijakan, Rencana, dan/atau Program.

Contoh:

- kepala bidang pada Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan


bidang perencanaan pembangunan daerah;

- kepala bidang pada Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan


bidang penataan ruang; atau

- kepala bidang pada Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan


bidang kelautan.

d) Anggota yang berasal dari unsur Perangkat Daerah terkait.


e) Anggota lain yang terdiri dari satu atau lebih tenaga ahli yang memiliki standar
kompetensi KLHS dan relevan terhadap isu dan/atau muatan Kebijakan, Rencana
dan/atau Program.

Syarat-syarat keberhasilan Pokja KLHS


 Perlu adanya Tim Inti(6 s/d 15 orang) dalam POKJA PL

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS II -6


 Perlu anggota POKJA PL yang memiliki akses data spasial dan dapat
mengoperasikan Sistem Informasi Geografis (SIG)
 Perlu anggota dari unsur non-pemerintah
 Media komunikasi bersama (Media Sosial)
 Kordinasi kerja dengan Tenaga Ahli Pendamping

2. Identifikasi Pemangku Kepentingan

Sebagaimana sifat dari KLHS sendiri yaitu partisipatif, dalam proses identifikasi
dan perumusan isu Pembangunan Berkelanjutan (PB) dilakukan melalui konsultasi
publik dengan melibatkan pemangku kepentingan yang relevan. Untuk itu, penting
dalam tahap persiapan dilakukan identifikasi para pemangku kepentingan yang akan
dilibatkan dalam penyusunan KLHS.
Berdasarkan PP No. 46 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan KLHS
(Pasal 32) Penyusun Kebijakan, Rencana, dan/atau Program dalam membuat KLHS
melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan. Keterlibatan masyarakat dan
pemangku kepentingan sebagaimana dimaksud diantaranya adalah:
a. pemberian pendapat, saran, dan usul;
b. pendampingan tenaga ahli;
c. bantuan teknis; dan
d. penyampaian informasi dan/atau pelaporan.

Masyarakat dan pemangku kepentingan sebagaimana dimaksud meliputi:


a. masyarakat dan pemangku kepentingan yang terkena dampak langsung dan tidak
langsung dari Kebijakan, Rencana, dan/atau Program; dan
b. masyarakat dan pemangku kepentingan yang memiliki informasi dan/atau
keahlian yang relevan dengan substansi Kebijakan, Rencana, dan/atau Program.

Teknik komunikasi yang akan digunakan dalam penyusunan KLHS RTRW ialah
pemanfaatan dokumen atau kajian, melaksanakan konsultasi publik (FGD), pelaksanaan
lokakarya serta pembentukan tim ahli dan wakil-wakil komunitas yang ada, di
antaranya:

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS II -7


a. Pembuat keputusan dan/atau penyusun KRP:
 Pejabat Perangkat Daerah tertentu
b. Pejabat Perangkat Daerah tertentu
 DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota
 Instansi yang membidangi LH
 Instansi yg membidangi kehutanan, pertanian, perikanan, pertambangan
 Perangkat Daerah terkait lainnya
c. Masyarakat yang memiliki informasi dan/atau keahlian (perorangan/tokoh/
kelompok)
 Perguruan tinggi atau lembaga penelitian lainnya
 Asosiasi profesi
 Forum-forum PB dan LH (DAS, air)
 LSM
 Perorangan/tokoh/
 kelompok yang mempunyai data dan informasi berkaitan dengan SDA
 Pemerhati LH
 Masyarakat yang Terkena Dampak
 Lembaga Adat
 Asosiasi Pengusaha
 Tokoh masyarakat
 Organisasi masyarakat
 Kelompok masyarakat tertentu (nelayan, petani dll.)

Adapun tujuan identifikasi pemangku kepentingan antara lain :


1. Menentukan secara tepat pihak-pihak yang akan dilibatkan dalam pelaksanaan
KLHS
2. Menjamin diterapkannya asas partisipasi yang diamanatkan UU 32 tahun 2009
3. Menjamin hasil perencanaan dan evaluasi KRP memperoleh legitimasi atau
penerimaan oleh publik

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS II -8


4. Agar masyarakat dan pemangku kepentingan mendapatkan akses untuk
menyampaikan informasi, saran, pendapat, dan pertimbangan tentang
pembangunan berkelanjutan melalui proses penyelenggaraan KLHS

Kewajiban Pemerintah Dan Pemerintah Daerah Dalam Pelibatan Masyarakat pada


penyusunan KLHS adalah :
 Memberikan informasi dan menyediakan akses informasi kepada masyarakat
tentang proses penyusunan dan penetapan KRP melalui media komunikasi yang
memiliki jangkauan sesuai dengan tingkat dan skala KRP
 Melakukan sosialisasi dan penyebar luasan informasi mengenai perencanaan
KRP
 Menyelenggarakan kegiatan untuk menerima masukan dari masyarakat
terhadap perencanaan KRP
 Memberikan tanggapan kepada masyarakat atas masukan yang diberikan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
 Membangun kesadaran dan tanggung jawab masyarakat atas KRP yang
diputuskan dan pengaruhnya terhadap segi kehidupan masyarakat luas

Dalam penyusunan KLHS dilakukan pendekatan:


- Teknokratik, yaitu menggunakan metodologi analisis ilmiah & dapat
dipertanggungjawabkan secara birokrasi
- Partisipatif, yaitu melibatkan pemangku kepentingan terkait
- Deliberatif, yaitu perpaduan antara Teknokratik-Birokratik dan Partisipatif

Untuk memudahkan memahami siapa-siapa saja yang menajdi pemangku kepentingan


dalam penyusunan KLHS dapat dilihat pada tabel pemetaan pemangku kepentingan
dibawah ini :

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS II -9


Tabel 2.1 Pemetaan Pemangku Kepentingan

Masyarakat dan Pemangku


Contoh Lembaga
Kepentingan

Pembuat keputusan a. Menteri/kepala lembaga


pemerintah/gubernur/ bupati/wali
kota
b. DPR/DPRD

Penyusun kebijakan, rencana dan/atau a. Kementerian/lembaga pemerintah


program) non-kementerian
b. Bappeda/SKPD tertentu

Instansi a. Instansi yang membidangi


lingkungan hidup
b. Instansi yg membidangi kehutanan,
pertanian, perikanan, pertambangan
c. SKPD terkait lainnya

a. Perguruan tinggi atau lembaga


penelitian lainnya
b. Asosiasi profesi
c. Forum-forum pembangunan
berkelanjutan dan lingkungan hidup
(DAS, air)
d. LSM
e. Perorangan/tokoh/kelompok yang
Masyarakat yang memiliki informasi
mempunyai data dan informasi
dan/atau keahlian (perorangan/
berkaitan dengan SDA
tokoh/kelompok)
f. Pemerhati Lingkungan Hidup

a. Lembaga Adat
Masyarakat yang Terkena Dampak b. Asosiasi Pengusaha
c. Tokoh masyarakat
d. Organisasi masyarakat
e. Kelompok masyarakat tertentu
(nelayan, petani dll)

Fungsi dan peran pemangku kepentingan dalam penyusunan KLHS dapat


dijelaskan sebagai berikut :

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS II -10


Gambar 2.1
Fungsi dan Peran Pemangku Kepentingan

Identifikasi dan pelibatan masyarakat sebagai pemangku kepentingan dalam peraturan


perundangan, antara lain :

UU No. 32 Tahun 2009 Pasal 18 ayat (1) & Penjelasan


 KLHS dilaksanakan dengan melibatkan masyarakatdan pemangku kepentingan
 Pelibatan masyarakat dilakukan melalui dialog, diskusi, dan konsultasi publik

PP No 46 thn 2016. Psl 32 :


 Dalam pemuatan KLHS, Penyusun KRP melibatkan masyarakat dan pemangku
kepentingan untuk : (a) pemberian pendapat, usul, (b) pendampingan tenaga
ahli, (c) bantuan teknis dan (d) penyampaian informasi.
 Pemangku Kepentingan: (a) masyarakat yg terkena dampak langsung dan tidak
langsung akibat KRP dan (b) masyarakat yg memiliki informasi terkait materi
KRP.

 Masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya adalah orang perseorangan atau


kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat, korporasi, dan pemangku
kepentingan lain

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS II -11


 Perseorangan atau kelompok orang yang memiliki informasi dan keahlian sesuai
kebutuhan penyelenggaraan KLHS

(Akademisi, peneliti, pakar, profesional, kelompok peneliti, asosiasi profesi, LSM, dan
lainnya)
 Perseorangan atau kelompok orang yang terpengaruh dan terkena dampak KRP:
 yang akan melaksanakan KRP
 yang akan terkena akibat pelaksanaan KRP

(tokoh masyarakat, wakil masyarakat pada skala wilayah, LSM, dunia usaha,
penanggung jawab perlindungan dan pelestarian lingkungan, dan lainnya)
 Perseorangan atau kelompok orang sebagai pemerhati (termasuk media massa)

Berdasarkan hasil pemetaan pemangku kepentingan, nantinya dapat ditentukan


teknik konsultasi publik atau teknik komunikasi yang sesuai dalam pembuatan dan
pelaksanaan KLHS. Dalam banyak kasus, lebih diperlukan metode diskusi kelompok
terfokus (focus group discussion) untuk membahas beberapa isu secara khusus dengan
anggota yang terbatas daripada model diskusi publik terbuka (public hearing).
Kelebihan metode ini agar diskusi mengenai beberapa isu spesifik dapat dilakukan
secara khusus dan tajam dengan peserta yang terbatas, sehingga dialog dan
pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan lebih efektif. Dengan cara ini,
keberatan publik atas hasil KLHS diharapkan dapat ditanggapi melalui dialog yang
konstruktif.

Kiat untuk membangun komunikasi dan dialog agar proses KLHS berjalan efektif, yaitu:
1. bahan tertulis disiapkan secara ringkas, lengkap dan jelas;
2. waktu dan tempat ditentukan secara tepat;
3. presentasi dilakukan secara jelas dan tegas;
4. tidak berkesan menggurui; dan
5. tersedia moderator atau fasilitator yang handal dan efektif serta dapat diterima oleh
para pemangku kepentingan.

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS II -12


Fasilitator berperan penting antara lain dalam:
1. meluruskan dan mengklarifikasi komunikasi yang dapat menimbulkan intepretasi
yang berbeda untuk menghindari kesalahpahaman;
2. menjelaskan pesan yang belum jelas disampaikan oleh para pemangku kepentingan;
3. menjaga kesantunan komunikasi dari para pemangku kepentingan; dan
4. membantu menyimpulkan dan menyepakati hasil diskusi.

Tabel 2.2 Contoh Instrumen Pemangku Kepentingan

PEMANGKU YANG MEMPENGARUHI YANG DIPENGARUHI


KEPENTINGAN PENYUSUNAN KRP PELAKSANAAN KRP

1.

2.
Pemerintah
3.

dst.

1.

LSM/Ormas 2.

dst.

1.
Perguruan
2.
Tinggi/Akademisi
dst.

1.

Dunia Usaha 2.

dst.

1.
Tokoh Masyarakat
2.

Lainnya

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS II -13


3. Penyusunan Kerangka Acuan Kerja
Penyusunan Kerangka Acuan Kerja (KAK) sangat penting dan menjadi salah satu tugas
dari POKJA KLHS. Kerangka acuan ini menjadi pedoman kerja dan dasar pengukuran
kinerja POKJA KLHS. Dalam penyusunan Kerangka Acuan Kerja untuk membuat KLHS
minimal harus memuat:
a. latar belakang;
b. maksud dan tujuan
c. sasaran;
d. lingkup kegiatan;
e. referensi hukum
f. hasil yang diharapkan;
g. cara pembuatan dan pelaksanaan;
h. rencana kerja yang mencakup jadwal kerja;
i. kebutuhan tenaga ahli yang diperlukan;
j. pembiayaan.

Secara umum, dalam penyusunan Kerangka Acuan Kerja KLHS harus memenuhi hal-hal
sebagai berikut :

Gambar 2.2 Penyusunan Kerangka Acuan Kerja KLHS

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS II -14


MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS II -15
BIDANG PE NATAAN RUANG

MATERI POKOK III


PELAKSANAAN KLHS (1)

1. Daftar Isi
2. Bahan Ajar
3. Lampiran

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS III -1


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................................................... III - 2


DAFTAR GAMBAR................................................................................................................................... III - 3
DAFTAR TABEL ..................................................................................................................................... III – 3
RANCANG BANGUN PEMBELAJARAN MATA AJAR (RBPMA) ........................................... III - 4
Identifikasi/Perumusan Isu Pembangunan Berkelanjutan ............................................... III - 5
Identifikasi Isu Pembangunan Berkelanjutan Strategis ................................................... III - 12
Identifikasi Isu Pembangunan Berkelanjutan Prioritas ................................................... III - 20

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS III -2


DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Perumusan Isu Pembangunan Berkelanjutan .............................................. III – 8


Gambar 3.2 Tahap pengkajian Isu PB Strategis (KLHK-RI, 2018) ..................................... III - 11

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Penapisan Isu Pembangunan Berkelanjutan ....................................................... III – 9


Tabel 3.2 Matrik Penentuan Isu Pembangunan Berkelanjutan Strategis ................ III – 12
Tabel 3.3 Alternatif Perumusan isu PB strategis (Kementerian LHK-RI, 2018) .....III –13
Tabel 3.3 Matrik Penilaian dan Pembobotan Isu Pembangunan Berkelanjutan Strategis
dengan Kriteria Isu Pembangunan Prioritas .......................................................................... III - 19

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS III -3


1. Identifikasi / Perumusan Isu Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan dalam Pasal 1 Ayat 3 UU 32 Tahun 2009 PPLH dan
Pasal 1 Ayat 3 PP 46 Tahun 2016 KLHS adalah upaya sadar dan terencana yang
memadukan aspek Lingkungan Hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi
pembangunan untuk menjamin keutuhan Lingkungan Hidup serta keselamatan,
kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa
depan.
Tujuan pembangunan berkelanjutan ini diwujudkan melalui pencapaian 17
program/ agenda SDGs 2030, antara lain :
a. Tanpa Kemiskinan
Mengakhiri segala bentuk kemiskinan di mana pun.

b. Tanpa Kelaparan
Menghilangkan kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan gizi yang baik, serta
meningkatkan pertanian berkelanjutan. (Menurunnya penduduk dengan asupan
kalori minimum pada tahun 2019 menjadi 8,5 % (2015: 17,4%).

c. Kehidupan sehat dan sejahtera


Menjamin kehidupan yang sehat dan meningkatkan kesejahteraan seluruh
penduduk semua usia. (Menurunnya angka kematian ibu per 100 ribu kelahiran
hidup pada tahun 2019 menjadi 306 (pada 2010: 346). Dan Menurunnya angka
kematian bayi per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2019 menjadi 24 (2012-2013:
32 jiwa).

d. Pendidikan Berkualitas
Menjamin kualitas pendidikan yang inklusif dan merata serta meningkatkan
kesempatan belajar sepanjang hayat untuk semua. (Meningkatnya rata-rata angka
melek aksara di atas umur 15 tahun pada tahun 2019 sebesar 96,1%).

e. Kesetaraan Gender
Mencapai kesetaraan gender dan pemberdayakan kaum perempuan.
(Meningkatnya jumlah kebijakan yang responsif gender mendukung
pemberdayaan perempuan pada tahun 2019 bertambah sebanyak 16 (2015: 19).

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS III -4


f. Air Bersih dan Sanitasi Layak
Menjamin ketersediaan serta pengelolaan air bersih dan sanitasi yang
berkelanjutan untuk semua. (Meningkatnya akses terhadap layanan air minum
dan berkelanjutan pada tahun 2019 menjadi 100% (2015: 70,9%) dan
meningkatnya akses terhadap sanitasi yang layak dan berkelanjutan pada tahun
2019 menjadi 100% (2015: 62,14 %).

g. Energi Bersih dan Terjangkau


Menjamin akses energi yang terjangkau, andal, berkelanjutan, dan modern untuk
semua (Meningkatnya konsumsi listrik per kapita menjadi 1.200 KWh pada tahun
2019 (2014: 843 KWh).

h. Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi


Meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan,
kesempatan kerja yang produktif dan menyeluruh, serta pekerjaan yang layak
untuk semua (Meningkatnya Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita per tahun
menjadi lebih dari Rp 50,000 juta pada tahun 2019 (2015: Rp 45,180 45,2juta).

i. Industri, Inovasi dan Infrastruktur


Membangun infrastruktur yang tangguh, meningkatkan industri inklusif dan
berkelanjutan, serta mendorong inovasi. Terbangunnya jalan tol sepanjang 1.000
km pada tahun 2019 (2014: 820 km) , Bertambahnya panjang jalur kereta api
sepanjang 3.258 km pada tahun 2019 (2014: 954 km), Meningkatnya jumlah
bandara menjadi 252 pada tahun 2019 (2014: 237), dan Meningkatnya jumlah
dermaga penyeberangan menjadi 275 pada tahun 2019 (2014: 210).

j. Berkurangnya Kesenjangan
Mengurangi kesenjangan intra- dan antarnegara (Jumlah daerah tertinggal yang
terentaskan sebanyak 80 kabupaten dan berkurangnya desa tertinggal sebanyak
5.000 desa pada tahun 2019)

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS III -5


k. Kota dan Permukiman Berkelanjutan
Menjadikan kota dan permukiman inklusif, aman, tangguh, dan
berkelanjutan.(Target tersedia 3,7 juta akses rumah layak di tahun 2019)

l. Konsumsi dan Produksi yang Bertanggungjawab


Menjamin Pola Produksi dan Konsumsi yang Berkelanjutan (Meningkatnya
pengelolaan limbah B3 menjadi 150 juta ton pada tahun 2019)

m. Penanganan Perubahan Iklim


Mengambil tindakan cepat untuk mengatasi perubahan iklim dan dampaknya
(Terwujudnya penyelenggaraan inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK), serta
monitoring, pelaporan dan verifikasi Emisi GRK yang dilaporkan dalam dokumen
Biennial Update Report (BUR) ke-3 hingga tahun 2019 (2015: dokumen BUR ke-1).

n. Ekosistem Lautan
Melestarikan dan memanfaatkan secara berkelanjutan sumber daya kelautan dan
samudera untuk pembangunan berkelanjutan. (Terkendalinya Illegal, Unreported,
Unregulated (IUU) fishing dan kegiatan di laut yang merusak ditandai dengan
kepatuhan sebanyak 87% pelaku usaha pada tahun 2019 (2015: 66 %).

o. Ekosistem Daratan
Melindungi, merestorasi, dan meningkatkan pemanfaatan berkelanjutan
ekosistem daratan, mengelola hutan secara lestari, menghentikan penggurunan,
memulihkan degradasi lahan, serta menghentikan kehilangan keanekaragaman
hayati. (Berkurangnya luasan lahan kritis melalui rehabilitasi seluas 5,5 juta
hektar di dalam Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) dan Daerah Aliran Sungai
(DAS) Prioritas hingga tahun 2019 (2015: 1,25 juta hektar).

p. Perdamaian, Keadilan dan Kelembagaan yang Tangguh


Menguatkan masyarakat yang inklusif dan damai untuk pembangunan
berkelanjutan, menyediakan akses keadilan untuk semua, dan membangun
kelembagaan yang efektif, akuntabel, dan inklusif di semua tingkatan.

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS III -6


(Menurunnya prevalensi kekerasan terhadap anak pada tahun 2019 (2013:
38,62% untuk anak laki-laki dan 20,48% untuk anak perempuan).

q. Kemitraan untuk mencapai tujuan


Menguatkan sarana pelaksanaan dan merevitalisasi kemitraan global untuk
pembangunan berkelanjutan. (Tercapainya rasio penerimaan perpajakan
terhadap PDB di atas 10% per tahun (2015: 10,7%).

Untuk memudahkan tahapan Identifikasi isu pembangunan berkelanjutan dapat ditapis


dengan cara :

1. Mengumpulkan isu pembangunan berkelanjutan melalui :


 telaah literatur
 curah pendapat Kelompok Kerja
 konsultasi publik

2. Memusatkan isu-isu pembangunan berkelanjutan (pelingkupan isu), yang dilakukan


dengan cara :

Hasil diskusi dalam konsultasi publik dikumpulkan menjadi Isu PB dalam daftar
panjang, lalu ditelaah berdasar kesamaan dan sebab akibat isu, lalu dipusatkan.
Pemusatan isu-isu pembangunan berkelanjutan dilakukan berdasarkan :

a. Melihat kesamaan substansi dan/atau menelaah sebab-akibat dengan


memperhatikan
 isu lintas sektor
 isu lintas wilayah
 isu lintas pemangku kepentingan
 isu lintas waktu

b. Melakukan konsultasi dengan masyarakat dan pemangku kepentingan untuk


pengayaan dan penajaman isu pembangunan berkelanjutan

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS III -7


c. Melakukan konfirmasi dari data atau informasi yang dapat
dipertanggungjawabkan

3. Melakukan telaah cepat hasil pelingkupan yang mempertimbangkan unsur-unsur


paling sedikit:
a. karakteristik wilayah yang ditelaah dalam bentuk spasial (misalnya dengan
menggunakan peta Rupa Bumi, peta rencana tata ruang, dan peta tutupan lahan);
b. tingkat pentingnya potensi dampak;
c. keterkaitan antar isu strategis pembangunan berkelanjutan

4. Membuat perkiraan tentang :


a. tingkat pentingnya potensi dampak, berdasarkan indikasi cakupan wilayah dan
frekuensi/intensitas dampak.
b. keterkaitan antar isu strategis pembangunan berkelanjutan hasil telaah sebab-
akibatnya

5. Memutuskan isu yang strategis dan prioritas, antara lain dapat dengan menyusun
daftar pendek yang telah memperhatikan hasil konsultasi kepada masyarakat dan
telah dikonfirmasikan dengan data yang dapat dipertanggungjawabkan.

Adapun proses perumusan isu pembangunan berkelanjutan dapat digambarkan


sebagai berikut :

Gambar 3.1 Perumusan Isu Pembangunan Berkelanjutan

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS III -8


Sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam Pasal 8 ayat 1 PP 46/2016 bahwa
perumusan isu pembangunan berkelanjutan ini dilakukan untuk dapat menentukan isu-
isu pembangunan berkelanjutan strategis, yang hasilnya nanti akan dibahas pada
konsultasi publik bersama masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya.

Latihan 1 :

Dalam pelaksanaan konsultasi publik perumusan isu PB, peserta yang hadir
dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok. Pengelompokan ini dapat disesuaikan
berdasarkan jumlah dan/atau spesialisasi dari tiap-tiap pemangku kepentingan yang
hadir dan/atau pertimbangan lainnya dari POKJA KLHS. Hasil diskusi yang didapatkan
dari setiap kelompok kemudian dikumpulkan ke dalam tabel daftar isu PB, lalu ditelaah
berdasar kesamaan dan sebab akibat isu.

Untuk lebih memudahkan pemahaman kita bagaimana tahapan identifikasi isu


pembangunan berkelanjutan ini, berikut contoh form penapisan isu yang dapat
disesuaikan dengan karakteristik wilayah masing-masing :

Tabel 3.1 Form Penapisan Isu Pembangunan Berkelanjutan


No Nama Isu

Kelompok 1 Isu Lingkungan


1 Persampahan
2
Dst ...
Kelompok 2 Isu Ekonomi
1 Pertumbuhan ekonomi masyarakat rendah
2
Dst ...
Kelompok 3 Isu Sosial
1 Tingginya kesenjangan sosial
2
Dst ...
Kelompok 4 Isu Hukum dan Tata Kelola
1 Penegakan aturan lingkungan hidup
2
Dst ...

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS III -9


Tabel tersebut hanya merupakan contoh dalam merumuskan isu PB. Klasifikasi
pemusatan isu PB dapat disesuaikan berdasarkan isu yang berhasil dihimpun serta
didiskusikan baik dengan peserta konsultasi publik dan/atau diskusi antar anggota
POKJA KLHS.

2. IDENTIFIKASI ISU PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN STRATEGIS

Berdasarkan daftar isu yang telah dibuat pada tahap identifikasi isu PB kemudian
dilakukan tahap identifikasi dan perumusan isu PB Strategis dengan cara melakukan
penapisan antara hasil pemusatan isu PB dengan unsur-unsur paling sedikit (Pasal 9
ayat 1 PP 46/2016), yaitu :
1. Telaah karakteristik wilayah
Analisis ini dilakukan dengan analisis yang menggunakan data spasial, antara
lain:
a. Peta Rupa Bumi Indonesia
b. Peta Rencana Tata Ruang
c. Peta Tutupan Lahan
Analisis ini dilakukan dengan cara melakukan overlay peta-peta isu
pembangunan strategis yang terdapat di Provinsi Sumatera Barat dengan
overlay peta RBI, peta pola ruang yang tertuang dalam RTRW dan peta tutupan
lahan (penggunaan lahan). Hasil analisis dapat digunakan untuk menentukan
tingkat pentingnya potensi dampak.

2. Telaahan tingkat potensi dampak dilakukan dengan memperhatikan:


a. indikasi cakupan wilayah;
b. frekuensi dan/atau intensitas.

3. Telaah keterkaitan antar isu strategis pembangunan berkelanjutan dilakukan


dengan cara analisis sebab akibat atau analisis sejenis lainnya.

4. Telaah materi muatan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program dilakukan dengan


cara pemetaan lokasi dan/atau analisis potensi pengaruh.

5. Telaah muatan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


dilakukan dengan cara analisis keterkaitan isu pembangunan berkelanjutan
dengan muatan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS III -10


6. Telaah hasil KLHS dari Kebijakan, Rencana dan/atau Program pada hierarki
diatasnya yang harus diacu, serupa dan berada pada wilayah yang berdekatan,
dan/atau memiliki keterkaitan dan/atau dilakukan dengan cara analisis
keterkaitan isu pembangunan berkelanjutan dengan hasil KLHS dimaksud.

Hasil telaahan isu-isu pembangunan berkelanjutan prioritas dikonsultasikan


dengan masyarakat dan pemangku kepentingan untuk pengayaan dan penajaman isu
pembangunan berkelanjutan yang paling strategis. Hasil konsultasi menjadi dasar
telaahan pada tahap identifikasi isu-isu pembangunan berkelanjutan yang paling
strategis.

Sebagaimana yang telah di tetapkan dalamPermen LH dan Kehutanan no 69


tahun 2017 pasal 20 bahwa penentunan isu pembangunan berkelanjutan strategis dan
prioritas di dasarkan pada hasil telaahan terhadap isu pembangunan berkelanjutan.
Dari hasil telaah terhadap isu-isu pembangunan berkelanjutan, selanjutnya dilakukan
analisis matrik uji silang /tekniks scoring dan pembobotan antara isu-isu pembangunan
berkelanjutan dengan ktriteria isu pembangunan berkelanjutan strategis dan prioritas.

Berikut adalah bagan tahap pengkajian Isu Pembangunan Berkelanjutan (PB) Strategis

Gambar 3.2. : Tahap pengkajian Isu PB Strategis (KLHK-RI, 2018)

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS III -11


Adapun contoh tabel identifikasi dan perumusan Isu PB Strategis sebagai berikut :

Tabel 3. 2 Contoh Matrik Penentuan Isu Pembangunan Berkelanjutan yang Paling


Strategis

Kriteria Isu Pembangunan Berkelanjutan

Telaahan Karakteristik Tingkat Pentingnya Hasil


Wilayah Potensi Dampak Keterkaitan Keterkaitan KLHS
Isu
No Pembangunan antara Isu dengan Muatan dari KRP
Berkelanjutan Peta Indikasi Frekuensi Pembangunan muatan RPPLH pada Jumlah
Peta Peta Berkelanjutan KRO Hirarki Penilaian
Tutupan Cakupan dan/atau
RBI RTRW diatasnya
Lahan Wilayah Intensitas

20% 40% 10% 10% 10% 10%

Analisis yang dilakukan untuk dapat mengisi Tabel Identifikasi dan Perumusan Isu
PB Strategis ialah sebagai berikut:
a. Karakteristik Wilayah, analisis isu PB Strategis terhadap karakteristik wilayah
dilakukan dengan cara menumpang susunkan Isu PB dengan Peta Topografi dan
Peta Tutupan Lahan yang selanjutnya ditelaah sesuai dengan aturan yang
berlaku;
b. Tingkat Pentingnya Potensi Dampak, analisis Isu PB terhadap tingkat
pentingnya potensi dampak dilaksanakan dengan cara mencari informasi dari
pemangku kepentingan terhadap luas dan frekuensi isu PB strategis yang
dituangkan dalam peta sebaran dan ditelaah sesuai dengan aturan yang berlaku;
c. Keterkaitan antar Isu Strategis PB, analisis isu PB Strategis dilaksanakan dengan
cara mencari informasi sebab akibat dan ditelaah sesuai dengan aturan yang
berlaku;
d. Keterkaitan dengan materi muatan KRP berupa KRP awal yang ditinjau oleh
KLHS;
e. Keterkaitan dengan muatan RPPLH, analisis isu PB Strategis terhadap materi
muatan RPPLH dilaksanakan dengan cara menumpangsusunkan isu PB
Strategis dengan Peta RPPLH;
f. Hasil KLHS dari KRP pada hierarki yang diatasnya yang harus diacu, serupa dan
berada pada wilayah yang berdekatan, dan/atau memiliki keterkaitan dan/atau

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS III -12


relevansi langsung; Analisis dilaksanakan dengan cara menelaah sinkronisasi
isu dengan struktur dan pola ruang yang terdapat pada KLHS RTRW dan KLHS
RPJMD.

Adapun alternatif matriks perumusan isu PB strategis berdasarkan arahan teknis


kementerian LHK-RI adalah sebagai berikut.

Tabel 3.3 Alternatif Perumusan isu PB strategis (Kementerian LHK-


RI, 2018)
Parameter
No Isu PB Ket.
1) 2) 3) 4)
1 Isu Lingkungan /X /X /X /X Strategis/tidak
2 Isu Ekonomi /X /X /X /X Strategis/tidak
3 Isu Sosial /X /X /X /X Strategis/tidak
4 Dst ... /X /X /X /X Strategis/tidak

Keterangan:
Lintas sektor
Lintas wilayah
Lintas pemangku wilayah
Lintas waktu

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS III -13


Contoh Perumusan Isu PB Strategis

Ps 9 (1) PP 46/2016

Hasil KLHS
Tingkat pentingnya Keterkaita Strategis/ Tidak
No Isu Pembangunan Berkelanjutan KARAKTERISTIK WILAYAH Katerkaitan dari KRP
potensi dampak n dengan Muatan Strategis
antar isu pada
muatan RPPLH
Strategis PB hirarki di
Luas KRP
Peta RBI Peta RTR Peta PL Frekuensi atasnya.
(Ha)
1 2 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Tanaman Tahunan,
Pertanian Tanaman
Dataran rendah, terkait
Pangan Lahan Basah,
dataran rendah dengan
Pertanian Tanaman
pedalaman, Perkebunan, Ada, banjir, Tidak ada
Pangan Lahan Kering,
perbukitan Sawah, Sawah kekeringan, yaitu Tidak ada KLHS
1 Kekeringan 12 Kecamatan Hutan Lindung, 23.609 sering sangat strategis
rendah, Tadah Hujan, banjir dan musim RPPLH Provinsi
Kawasan Pengamanan
perbukitan, Tegalan longsor panas dan NTT
Sungai, Permukiman
perbukitan tinggi, misum
Pedesaaan,
Datar, Landai hujan
Permukiman Perkotaan,
Hutan Produksi
Tastim, Kakuluk Dataran rendah,
2 Banjir Tanaman Tahunan sawah 179 jarang
Mesak datar
12 Kec rawan
longsor. Sangat
Rawan Longsor
Lamaknen
3 Longsor Selatan, Tastim - - - sering
Raihat, Lasiolat,
Kakuluk Mesak,
Nanaet dan
Raimanuk
Hutan Lahan
Kering
Primer, Hutan
Terganggunya
Mangrove,
Ekosistem Lamknen, Nanaet Dataran rendah
4 Hutan Lindung Pertanian 11670 sedang
Hutan Dubesi, Tasti, dan pegunungan
Lahan Kering,
(perambahan)
Pertanian
Campuran
dan Semak

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS III -14


Nanaet Dubesi,
Raimanuk,
Terganggunya
Tasbar, Tastim,
5 Kerapatan - - -
Lamaknen,
Vegetasi
Lamaknen
Selatan

Alih Fungsi
Lahan
(pertanian ke Tastim Kakuluk
6 - - -
pemukiman, Mesak, Tasbar,
kawasan hutan
ke pertanian)

Tanaman Tahunan,
Dataran rendah, Pertanian Tanaman
dataran rendah Pangan Lahan Basah,
pedalaman, Pertanian Tanaman Perkebunan,
Kakuluk mesak,
perbukitan Pangan Lahan Kering, Sawah, Sawah
7 Gagal Panen Raimanuk 7476
rendah, Hutan Lindung, Tadah Hujan,
Lamaknen
perbukitan, Kawasan Pengamanan Tegalan
perbukitan tinggi, Sungai, Permukiman
Datar, Landai Pedesaaan,
Permukiman Perkotaan

Tastim dan Dataran rendah,


8 Abrasi Pantai Jalan Arteri Jalan 100 m
Kakuluk Mesak datar dan landai

Rusaknya
Ekosistem
Kawasan Pantai
Pesisir Tastim dan Dataran rendah, Hutan
9 Berhutan Bakau, 284
(Pemukiman Kakuluk Mesak datar Mangrove
Tanaman Tahunan
ilegal di Hutan
Mangrove)

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS III -15


Rusaknya tidak
Tastim dan Terumbu
10 Terumbu Laut 0 -500 m Laut ada
Kakuluk Mesak Karang
Karang data

Udara : 12 Kec
Pencemaran
11 Air, Udara dan Air : 3 Kec Kota
Tanah Tanah : tdk ada

Peningkatan Kec Kota, Atb


12
Debu di Udara Selatan, Tastim

Penurunan Kota dan Atb


13
Kualitas Udara Selatan

Peningkatan
14 Tidak ada
Kebisingan
3 Kec. Kota,
15 Sampah
Kakuluk Mesak
Kota, Atb Barat
16 Limbah Industri (limbah industri
tahu)
Gangguan
17 12 Kecamatan
Kesehatan

Peningkatan
18 Kecelakaan Lalu 12 Kecamatan
Lintas

19 Perubahan Iklim 12 Kecamatan

Kesenjangan
20 12 Kecamatan
Ekonomi

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS III -16


Ledakan
21 Tidak ada
Penduduk

22 Kemiskinan 12 Kec
23 Konflik Sosial 12 Kec

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS III -17


3. IDENTIFIKASI ISU PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN PRIORITAS

Setelah didapatkan isu-isu PB strategis selanjutnya akan dirumuskan isu PB prioritas.


Dalam menentukan dan/atau merumuskan isu pembangunan berkelanjutan strategis
menjadi isu pembangunan berkelanjutan prioritas, dilakukan dengan melakukan
pembobotan terhadap hasil identifikasi isu pembangunan berkelanjutan strategis
dengan Pasal 9 (2) pada PP 46/2016.

Isu pembangunan berkelanjutan prioritas diperoleh dengan cara menapis hasil isu-isu
pembangunan berkelanjutan strategis dengan unsur-unsur pada Pasal 9 (2), yaitu:

a. Kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk


pembangunan
b. Perkiraan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup
c. Kinerja layanan atau jasa ekosistem
d. Intensitas dan cakupan wilayah bencana alam
e. Status mutu dan ketersediaan sumber daya alam
f. Ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati
g. Kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim
h. Tingkat dan status jumlah penduduk miskin atau penghidupan
sekelompok masyarakat serta terancamnya keberlanjutan penghidupan
masyarakat
i. Risiko terhadap kesehatan dan keselamatan masyarakat
j. Ancaman terhadap perlindungan kawasan tertentu yang secara
tradisional dilakukan oleh masyarakat dan masyarakat hukum adat

Daftar isu pembangunan berkelanjutan prioritas dilakukan dengan cara pembobotan.


Hasil pembobotan menetapkan paling sedikit tiga isu pembangunan berkelanjutan
prioritas. Hasil pembobotan dikonsultasikan dengan masyarakat dan pemangku
kepentingan untuk pengayaan dan penajaman isu pembangunan berkelanjutan
prioritas.

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS III -18


Contoh matriks penetapan Isu Pembangunan Berkelanjutan Prioritas dapat dilihat
pada tabel berikut.
Tabel 3.4 Contoh Matrik Penilaian dan Pembobotan Isu Pembangunan
Berkelanjutan Strategis dengan Kriteria Isu Pembangunan Prioritas

Penentuan
Isu PB
No A B C D E F G H I J Jumlah` Peringkat Isu PB
Strategis
Prioritas

Keterangan:

Materi penilaian:
A. Kapasitas daya dukung dan daya tampung
B. perkiraan dampak dan/atau resiko lingkungan hidup
C. kinerja layanan atau jasa ekosistem
D. intensitas dan cakupan wilayah bencana alam
E. status mutu dan ketersediaan SDA
F. ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati
G. kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim
H. tingkat dan status jumlah penduduk miskin
I. risiko terhadap kesehatan dan keselamatan masyarakat
J. ancaman terhadap perlindungan terhadap kawasan tertentu secara tradisional

Keterangan Bobot :
1. Sangat tidak penting
2. Tidak penting
3. Cukup penting
4. Penting
5. Sangat penting

Keterkaitan dari masing-masing isu PB strategis dengan parameter kemudian


diakumulasikan ke dalam skoring dan diurutkan untuk mendapatkan ranking isu PB
paling prioritas. Tidak ada batasan maksimal yang diatur dalam peraturan
perundangan untuk jumlah isu PB prioritas tetapi dalam praktisnya ditentukan
sebanyak 5-10 isu PB prioritas.

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS III -19


BIDANG PE NATAAN RUANG

MATERI POKOK 4
PELAKSANAAN KLHS (II)
(TAHAP ANALISIS)

1. Daftar Isi
2. Bahan Ajar
3. Lampiran

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS IV -1


DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ............................................................................................................................................... IV - 2
DAFTAR GAMBAR................................................................................................................................... IV - 3
DAFTAR TABEL ....................................................................................................................................... IV - 3
I. IDENTIFIKASI MUATAN KRP BERDAMPAK PADA LINGKUNGAN ................. IV - 4
II. ANALISIS PENGARUH MUATAN KRP .............................................................................. IV - 5
III. ANALISIS KAJIAN MUATAN .................................................................................................. IV- 6

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS IV -2


DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1. Taap Analisis Materi Muatan Isu PB Prioritas............................................ IV- 5

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1. Matrik Uji Silang Dalam Proses Penapisan KRP Yang Berpotensi
Menimbulkan Dampak/Resiko Lingkungan Hidup ...................................... IV - 4
Tabel 4.2. Matrik Uji Silang Dalam Analisa Pengaruh Materi Muatan KRP dengan Isu
Prioritas ........................................................................................................................... IV - 6
Tabel 4.3. Analisis Uji Silang Muatan KRP dengan KLHS ............................................... IV- 10
Tabel 4.4. Matrik Uji Silang Materi Muatan Kebijakan Rencana Program dengan
Muatan Kajian ...............................................................................................................IV - 11

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS IV -3


IDENTIFIKASI MUATAN KRP BERDAMPAK PADA LINGKUNGAN HIDUP

Identifikasi materi muatan KRP dilakukan dengan menelaah dasar-dasar


penyusunannya (visi, misi, tujuan, sasaran, latar belakang), konsepnya (konsep makro,
desain besar, peta jalan), dan/atau muatan arahannya (strategi, skenario, desain,
struktur, teknis pelaksanaan) sesuai dengan tingkat kemajuan penyusunan Kebijakan,
Rencana, dan Program pada saat mulai dilakukan KLHS.

Identifikasi materi muatan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program dilakukan


dengan cara uji silang antara materi muatan Kebijakan, Rencana dan/atau Program
dengan kriteria dampak dan/atau risiko lingkungan hidup dan pembangunan
berkelanjutan. Hasil uji silang dijadikan dasar untuk analisis pengaruh materi muatan
Kebijakan, Rencana dan/atau Program yang berpotensi menimbulkan pengaruh
terhadap kondisi lingkungan hidup.
Tabel 4. 1Contoh Matrik Uji Silang dalam Proses Penapisan Kebijakan, Rencana,
dan/ atau Program yang Berpotensi Menimbulkan Dampak dan/atau
Risiko Lingkungan Hidup

Materi Kriteria Dampak/Risiko LH


No Keterangan
Muatan KRP 1 2 3 4 5 6 7
1. KRP 1 - - - + - + - > 2 kriteria negatif, perlu KLHS
2. KRP 2 + - - + - - + > 2 kriteria negatif, perlu KLHS
3. KRP 3 - - + - - - - > 2 kriteria negatif, perlu KLHS
4. KRP 4 - - - - + + + > 2 kriteria negatif, perlu KLHS
5. dst

Keterangan :
+ = Berdampak positif terhadap lingkungan hidup
- = Berdampak negatif terhadap lingkungan hidup

Kriteria Dampak/Resiko Lingkungan Hidup :


1. perubahan iklim;
2. kerusakan, kemerosotan, dan/atau kepunahan keanekaragaman hayati;
3. peningkatan intensitas dan cakupan wilayah bencana banjir, longsor,
kekeringan, dan/atau kebakaran dan lahan;
4. penurunan mutu dan kelimpahan sumber daya alam;
5. peningkatan alih fungsi kawasan hutan dan/atau lahan;

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS IV -4


6. peningkatan jumlah penduduk miskin atau terancamnya keberlanjutan
penghidupan sekelompok masyarakat; dan/atau
7. peningkatan risiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia.

ANALISIS PENGARUH MUATAN KRP

Analisis pengaruh dilakukan dengan cara menguji keterkaitan antara materi muatan
Kebijakan, Rencana dan/atau Program dengan isu pembangunan berkelanjutan
prioritas. Hasil analisis pengaruh dikonsultasikan dengan masyarakat dan pemangku
kepentingan untuk pengayaan dan penajaman hasil analisis pengaruh.

Adapun bagan tahap analisis pengaruh Isu PB Prioritas adalah sebagai berikut

Gambar 4.1 Tahap analisis pengaruh materi muatan Isu PB Prioritas (KLHK-RI, 2018)

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS IV -5


Tabel 4. 2 Contoh Matrik Uji Silang dalam Analisis Pengaruh Materi Muatan KRP
dengan Isu PB Prioritas

Isu PB Prioritas Jumlah


Materi Muatan KRP Isu PB 1 Isu PB 2 dst Pengaruh Ringkasan
Negatif

KRP yang perlu KLHS 1 - - + 2 Perlu kajian KLHS

KRP yang perlu KLHS 2 - - - 3 Perlu kajian KLHS

KRP yang perlu KLHS 3 0 - 0 1 Tidak perlu kajian


KLHS

KRP yang perlu KLHS 4 0 - 0 1 Tidak perlu kajian


KLHS

KRP yang perlu KLHS 5 - - + 2 Perlu kajian KLHS

dst - - + 2 Perlu kajian KLHS

Keterangan :
+ = Materi muatan KRP berpengaruh positif terhadap isu PB prioritas
0 = Materi muatan KRP tidak berpengaruh terhadap isu PB prioritas
- = Materi muatan KRP berpengaruh negatif terhadap isu PB prioritas

Materi muatan KRP berdampak LH yang terkait dengan sebagian besar Isu PB Prioritas
yang kemudian akan dikaji mendalam pada tahap selanjutnya yaitu pada kajian
muatan atau kajian 6 (enam) muatan KLHS.

Tahap Analisis Kajian Muatan


Tahap pengkajian muatan atau biasa disebut dengan Kajian 6 (enam) Muatan KLHS
merupakan inti kajian yang dilakukan dalam KLHS. Sebagaimana diatur dalam Pasal 13
dari PP 46/2016, hasil analisis paling sedikit memuat kajian:

a) Kapasitas daya dukung dan daya tampung Lingkungan Hidup untuk pembangunan;
Kajian ini mengukur kemampuan suatu ekosistem untuk mendukung
satu/rangkaian aktivitas dan ambang batas kemampuannya berdasarkan kondisi

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS IV -6


yang ada. Kepentingan kajian ini terutama adalah untuk menentukan apakah
intensitas pembangunan masih dapat dikembangkan atau ditambahkan.

Bisa diukur dalam bermacam variabel yang mencerminkan jasa dan produk dari
ekosistem, misalnya daya dukung tanah/kemampuan lahan, air, habitat spesies,
dan lain sebagainya. Beberapa teknik yang dapat digunakan antara lain adalah
mengukur kinerja jasa lingkungan, mengukur populasi optimal yang dapat
didukung, maupun mengukur tingkat kerentanan, kerawanan dan
kerusakan.Teknik-teknik perhitungan dan penentuan daya dukung lingkungan
hidup dapat mengikuti ketentuan yang ada atau metodologi yang telah diakui
secara ilmiah.

Daya tampung lingkungan hidup dapat diukur dari tingkat asimilasi media (air,
tanah, udara) ketika menerima gangguan dari luar. Indikator yang digunakan dapat
berupa kombinasi antara beban pencemaran dengan kemampuan media
mempertahankan fungsinya sejalan dengan masuknya pencemaran tersebut.

b) Perkiraan dampak dan risiko Lingkungan Hidup;

Kajian ini mengukur besar dan pentingnya dampak dan/atau risiko suatu
kebijakan, rencana, dan/atau program terhadap perubahan-perubahan lingkungan
hidup dan kelompok masyarakat yang terkena dampak dan/atau risiko. Teknik
analisis mengikuti ketentuan yang telah tersedia (misalnya Pedoman Dampak
Penting) dan metodologi yang diakui secara ilmiah (misalnya metodologi
Environmental Risk Assessment).

c) Kinerja layanan atau jasa ekosistem;


Kajian ini terutama ditujukan untuk memperkirakan kinerja layanan atau fungsi
ekosistem yang terdiri atas:

 Layanan/fungsi penyedia (provisioning services): Ekosistem memberikan


jasa/produk darinya, seperti misalnya sumber daya alam, sumber daya
genetika, air dll.

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS IV -7


 Layanan/fungsi pengatur (regulating services): Ekosistem memberikan
manfaat melalui pengaturan proses alam, seperti misalnya pengendalian
banjir, pengendalian erosi, pengatur iklim dll.
 Layanan/fungsi budaya (cultural services): Ekosistem memberikan
manfaat non material yang memperkaya kehidupan manusia, seperti
misalnya pengkayaan perasaan dan nilai spiritual, pengembangan tradisi
dan adat istiadat, pengalaman batin, nilai-nilai estetika dan pengetahuan.
 Layanan/fungsi pendukung kehidupan (supporting services): Ekosistem
menyediakan dan/atau mendukung pembentukan faktor produksi primer
yang diperlukan makhluk hidup, seperti misalnya produksi biomasa,
produksioksigen, nutrisi, air, dll.

Kajian yang dilakukan terutama ditujukan untuk mengidentifikasi jenis-jenis


layanan/fungsi suatu ekosistem serta gambaran kemampuan dan
keberfungsiannya.

d) Efisiensi pemanfaatan sumber daya alam;

Kajian ini mengukur tingkat optimal pemanfaatan sumberdaya alam yang dapat
dijamin keberlanjutannya. Dilakukan dengan cara:
 Mengukur kesesuaian antar tingkat kebutuhan dan ketersediaannya
 Mengukur cadangan yang tersedia, tingkat pemanfaatannya yang tidak
menggerus cadangan, serta perkiraan proyeksi penyediaan untuk
kebutuhan di masa mendatang
Mengukur dengan nilai dan distribusi manfaat dari sumber daya alam
tersebut secara ekonomi

e) Tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim;

Kajian tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim


dilakukan dengan cara:
 mengkaji kerentanan dan risiko perubahan iklim
 menyusun pilihan adaptasi perubahan iklim
 menentukan prioritas pilihan aksi adaptasi perubahan iklim

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS IV -8


f) Tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.

Kajian tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati dilakukan dengan


cara:
 Mengkaji pemanfaatan dan pengawetan spesies/jenis tumbuhan dan satwa,
yang meliputi:
- Penetapan dan penggolongan yang dilindungi atau tidak dilindungi
- Pengelolaan tumbuhan dan satwa serta habitatnya
- Pemeliharaan dan pengembangbiakan
- Pendayagunaan jenis atau bagian-bagian dari tumbuhan dan satwa
liarnya
- Tingkat keragaman hayati dan keseimbangannya
 Mengkaji ekosistem, yang meliputi :
- Interaksi jenis tumbuhan dan satwa
- Potensi jasa yang diberikan dalam konteks daya dukung dan daya
tampung
 Mengkaji genetik, yang meliputi :
- Keberlanjutan sumber daya genetik
- Keberlanjutan populasi jenis tumbuhan dan satwa

Hasil analisis menjadi dasar perumusan alternatif penyempurnaan Kebijakan, Rencana,


dan/atau Program.
Kajian muatan ini dilakukan pada masing-masing materi muatan KRP yang didapatkan
dari hasil tahapan Analisis Pengaruh. Penting dalam melakukan analisis untuk
memerhatikan lokus dan besaran untuk mendapatkan analisis yang lebih bersifat
kuantitatif.Penentuan lingkup, metode, teknik, dan kedalaman analisis kajian muatan
dilakukan berdasarkan:
a) Jenis dan tema KRP;
b) tingkat kemajuan penyusunan atau evaluasi KRP;
c) relevansi dan kedetilan informasi yang dibutuhkan;
d) input informasi KLHS dan kajian Lingkungan Hidup lainnya yang terkait dan
relevan untuk diacu;
e) ketersediaan data.

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS IV -9


Analisis dalam kajian muatan KLHS memerhatikan:

a) peraturan perundangan;
b) keberadaan pedoman, acuan, standar, contoh praktek terbaik, dan informasi
tersedia yang diakui secara ilmiah;
c) keberadaan hasil penelitian yang akuntabel; dan/atau
d) kesepakatan antarahli.

Bentuk dari analisis kajian muatan KLHS dapat berbentuk sub bab tersendiri maupun
dalam tabel seperti contoh berikut:

Tabel 4.3 Analisis Uji Silang Muatan KRP dengan Kajian Muatan KLHS
Materi Muatan Muatan Kajian KLHS
KRP Hasil Pasal 13(1) PP 46/2016
No
Analisis
1) 2) 3) 4) 5) 6)
Pengaruh
KRP 1 Analisis.. Analisis.. Analisis.. Analisis.. Analisis.. Analisis..
1
KRP 2 Analisis.. Analisis.. Analisis.. Analisis.. Analisis.. Analisis..
2
KRP 3 Analisis.. Analisis.. Analisis.. Analisis.. Analisis.. Analisis..
3
Dst ... Analisis.. Analisis.. Analisis.. Analisis.. Analisis.. Analisis..
4

U ntuk contoh lebih jelasnya dapat dijabarkan sebagai berikut :

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS IV -10


Tabel 4. 4 Contoh Matrik Uji Silang Materi Muatan KRP dengan Muatan Kajian Analisis

Muatan Kajian Analisis


Risiko
No Muatan KRP Jasa dan Perubahan
DDDT SDA Biodiversity
Ekosistem Dampak Iklim
LH
1 Pembangunan
Jalan Primer A

Telaahan :

a. Trace AB Terlampaui Jasa Analisis Banjir, land Semakin Tidak ada,


berada ekosistem kebutuhan subsudance, panas karena dari
pada air/Pangan SDA untuk kualitas air pemukiman
pola terganggu pembangunan menurun ke tanggul
ruang : tidak ada
permuki vegetasi
man
padat
2 dst

Keterangan :
DDDT : Daya dukung daya tampung
SDA : Sumberdaya alam

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS IV -11


BIDANG PE NATAAN RUANG

MATERI POKOK 5
PERUMUSAN ALTERNATIF & REKOMENDASI

1. Daftar Isi
2. Bahan Ajar
3. Lampiran

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS V -1


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................................................................................. V - 2


I. PERUMUSAN ALTERNATIF.............................................................................................. ... V – 3
II. PERUMUSAN REKOMENDASI .............................................................................................. V – 4

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS V -2


Tahap Perumusan Alternatif Penyempurnaan Kebijakan, Rencana dan/atau
Program
Dalam perumusan alternatif penyempurnaan KRP didasari oleh hasil analisis dari
kajian muatan. Maksud dari perumusan alternatif ini adalah memberikan opsi-opsi
rekomendasi perbaikan/penyempurnaan KRP berdasarkan hasil kajian muatan
sebelumnya yang menggunakan data-data valid, kajian ilmiah serta pendapat pakar
pada bidangnya. Bentuk dari rumusan alternatif penyempurnaan KRP dapat berupa:
 perubahan tujuan atau target;
 perubahan strategi pencapaian target yang lebih memenuhi pertimbangan
pembangunan berkelanjutan;
 perubahan atau penyesuaian ukuran skala, dan lokasi yang lebih memenuhi
pertimbangan pembangunan berkelanjutan;
 perubahan atau penyesuaian proses, metode, dan adaptasi terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang lebih memenuhi
pertimbangan pembangunan berkelanjutan;
 penundaan, perbaikan urutan, atau perubahan prioritas pelaksanaan;
 pemberian arahan atau rambu-rambu untuk mempertahankan atau
meningkatkan fungsi ekosistem; dan/atau
 pemberian arahan atau rambu-rambu mitigasi dampak dan risiko lingkungan
hidup

Hasil perumusan alternatif penyempurnaan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program


dijadikan dasar dalam menyusun rekomendasi perbaikan untuk pengambilan
keputusan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program yang mengintegrasikan prinsip
pembangunan berkelanjutan.

Alternatif penyempurnaan dipilih berdasarkan:


 manfaat yang lebih besar;
 risiko yang lebih kecil;
 kepastian keselamatan dan kesejahteraan masyarakat yang rentan terkena
dampak;
 mitigasi dampak dan risiko yang lebih efektif;

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS V -3


dengan mempertimbangkan:
 mandat, kepentingan, atau kebijakan nasional yang harus diamankan;
 situasi sosial-politik;
 kapasitas kelembagaan pemerintah;
 kapasitas dan kesadaran masyarakat;
 kesadaran, ketaatan dan keterlibatan dunia;
 kondisi pasar dan potensi investasi;

Tahap Perumusan Rekomendasi


Penyusunan rekomendasi perbaikan dilakukan berdasarkan hasil perumusan
alternatif penyempurnaan KRP. Rekomendasi perbaikan disusun untuk pengambilan
keputusan KRP yang mengintegrasikan prinsip Pembangunan Berkelanjutan (PB)
yang memuat:
 materi perbaikan KRP;
 informasi jenis usaha dan/atau kegiatan yang telah melampaui daya dukung
dan daya tampung Lingkungan Hidup beserta tindak lanjutnya.

Rekomendasi perbaikan dapat juga ditambahkan muatan


 usulan KRP lain yang relevan untuk disusun agar mendukung tercapainya tujuan
pembangunan berkelanjutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
 tindak lanjut yang relevan untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan.

Sebagai catatan bahwa tingkat ketajaman dari suatu dokumen KLHS akan dapat
dilihat dari rekomendasi perbaikan yang diberikan. Rekomendasi yang diberikan
harus sejalan dengan keseluruhan kajian yang dilakukan serta dapat menjawab isu
serta permasalahan yang ada.

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS V -4


BIDANG PE NATAAN RUANG

MATERI POKOK 6
PENJAMINAN KUALITAS &
PENDOKUMENTASIAN

1. Daftar Isi
2. Bahan Ajar
3. Lampiran

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VI -1


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................................................... VI - 2


DAFTAR GAMBAR................................................................................................................................... VI - 5
DAFTAR TABEL ....................................................................................................................................... VI - 5
6. Penjaminan Kualitas dan Pendokumentasian KLHS ....................................... VI - 4

6.1 Proses Penjaminan Kualitas ...................................................................................... VI - 4

6.1.1 Pengintegrasian KLHS .................................................................................................. VI - 4

6.1.2 Penjaminan Kualitas KLHS ......................................................................................... VI – 8

6.2 Pendokumentasian KLHS ........................................................................................... VI - 16

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VI -2


DAFTAR GAMBAR

Gambar 6.1. Alternatif Pelaksanaan KLHS dengan KRP .................................................. VI - 6

DAFTAR TABEL

Gambar 6.1. Matrik Sanding Pengintegrasian KLHS ......................................................... VI - 7


Gambar 6.2. Matrik Sandingan KLHS ...................................................................................... VI - 8

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VI -3


IV. PENJAMINAN KUALITAS, DAN PENDOKUMENTASIAN
Tahapan penyelenggaraan KLHS setelah pembuatan dan pelaksanaan KLHS yaitu
penjaminan kualitas dan pendokumentasian KLHS. Berdasarkan Pasal 5 dari Peraturan
Pemerintah No. 46 Tahun 2016 bahwa penyelanggaraan KLHS dilakukan dengan
tahapan:
- pembuatan dan pelaksanaan;
- penjaminan kualitas dan pendokumentasian KLHS; dan
- validasi KLHS.

Dalam tahapan pembuatan dan pelaksanaan KLHS setelah dirumuskannya alternatif


penyempurnaan dan rekomendasi perbaikan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program
(KRP) dan/atau alternatif proyeksi pencapaian TPB, diperlukan adanya tahapan
pengintegrasian KLHS ke dalam KRP yang dilakukan oleh Penyusun KRP. Dengan
demikian baik secara langsung maupun tidak, pengintegrasian KLHS ini menjadi tahap
yang perlu dilalui dan menjadi bagian dalam penyelenggaraan KLHS.

6.1 Proses Penjaminan Kualitas dan Pendokumentasian KLHS

6.1.1 Pengintegrasian KLHS

Pengintegrasian KLHS dalam penyusunan dan evaluasi kebijakan, rencana, dan/atau


program (KRP) menjadi kunci efektivitas penyelenggaraan KLHS. Dalam konteks ini,
tidak terdapat formula atau rumus baku yang dapat memandu pengintegrasian ini
karena setiap kebijakan, rencana, dan/atau program memiliki karakteristik proses, dan
prosedur yang tertentu, sehingga menjadi penting untuk memahami secara rinci
masing-masing proses dan prosedur penyusunan dan evaluasi KRP dengan segala
dinamikanya.

Hasil akhir yang diperoleh dari rekomendasi diintegrasikan ke dalam rumusan


kebijakan, rencana, dan/atau program. Pelaksanaan proses dialog, konsultasi publik,
maupun berbagai bentuk keterlibatan masyarakat yang dilaksanakan dalam KLHS
diintegrasikan ke dalam Kebijakan, Rencana, dan/atau Program, sehingga:

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VI -4


- Menghemat waktu dan biaya
- Antisipatif terhadap aspirasi masyarakat tentang dampak dan risiko lingkungan
hidup sejak dini
- Lebih mudah mengintegrasikan masukan-masukan perbaikan sejak awal
perencanaan

Penggabungan proses dialog KLHS dan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program


seperti ini berimplikasi pada kebutuhan lebih luasnya cakupan dialog, dan
dibutuhkannya kemitraan yang erat antara penyusun KLHS dengan penyusun KRP.

Integrasi substansi muatan KLHS ke dalam muatan KRP adalah hasil langsung dari
integrasi proses penyusunannya. Bentuk dari integrasi muatan KLHS ke dalam muatan
Kebijakan, Rencana, dan/atau Program adalah dokumentasi tertulis masukan-masukan
KLHS dalam butir-butir substansi Kebijakan, Rencana, dan/atau Program, yang
diantaranya dapat berupa:
1. Penulisan kembali rekomendasi substansi teknis KLHS ke dalam materi teknis
Kebijakan, Rencana dan/atau Program
2. Penulisan kembali rekomendasi KLHS yang bersifat pengaturan dalam materi
pengaturan pada Kebijakan, Rencana dan/atau Program dan/atau pasal
pengaturan dalam peraturan yang memayungi keabsahan Kebijakan, Rencana
dan/atau Program tersebut
3. Melakukan interpretasi penulisan muatan teknis arahan KLHS ke dalam
bahasa hukum yang sesuai dalam Kebijakan, Rencana, dan/atau Program yang
dikuatkan sebagai peraturan
4. Menuliskan muatan ketentuan baru dalam Kebijakan, Rencana, dan/atau
Program yang dianggap dapat menampung rekomendasi KLHS sesuai dengan
lingkup Kebijakan, Rencana, dan/atau Program.

Berikut merupakan gambaran untuk alternatif pelaksanaan

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VI -5


Gambar 6.1 Alternatif Pelaksanaan KLHS dengan KRP

Untuk metode pertama, proses penyusunan KLHS dilakukan secara menyatu


dengan penyusunan KRP. Sedangkan untuk metode kedua dilakukan secara terpisah.
Terdapat dua alternatif yaitu penyusunan KLHS dilakukan saat penyusunan KRP sudah
berjalan atau dapat dilakukan secara paralel dan terintegrasi dengan proses
penyusunan KRP. Kekurangan dari metode ini, menghabiskan waktu lebih lama, dan
dapat terdapat distorsi informasi. Detil pengintegrasian KLHS dalam masing-masing
kebijakan, rencana, dan/atau program dirumuskan oleh masing-masing
kementerian/lembaga yang berwenang.
Bukti dari integrasi muatan KLHS kedalam muatan Kebijakan, Rencana,
dan/atau Program adalah dokumentasi tertulis masukan-masukan KLHS dalam butir-
butir substansi Kebijakan, Rencana, dan/atau Program yang diantaranya dapat berupa:

- Penulisan kembali rekomendasi substansi teknis KLHS ke dalam materi teknis


Kebijakan, Rencana dan/atau Program;
- Penulisan kembali rekomendasi KLHS yang bersifat pengaturan dalam materi
pengaturan pada Kebijakan, Rencana dan/atau Program dan/atau pasal

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VI -6


pengaturan dalam peraturan yang memayungi keabsahan Kebijakan, Rencana
dan/atau Program tersebut;
- Melakukan interpretasi penulisan muatan teknis arahan KLHS ke dalam bahasa
hukum yang sesuai dalam Kebijakan, Rencana, dan/atau Program yang dikuatkan
sebagai peraturan; dan/atau
- Menuliskan muatan ketentuan baru dalam Kebijakan, Rencana, dan/atau Program
yang dianggap dapat menampung rekomendasi KLHS sesuai dengan lingkup
Kebijakan, Rencana, dan/atau Program itu.

Pokok-pokok pengintegrasian hasil KLHS dituangkan dalam Berita Acara yang


ditandatangani oleh penyusun Kebijakan, Rencana, dan/atau Program (KRP) dan ketua
kelompok kerja KLHS. Berita Acara pengintegrasian hasil KLHS disusun dengan
muatan berikut:
- Ditandatangani secara bersama-sama oleh Penyusun Kebijakan, Rencana,
dan/atau Program atau pejabat yang ditunjuk, dan Ketua Kelompok kerja KLHS;
dan
- Menyatakan telah dilaksanakannya proses pengintegrasian hasil KLHS terhadap
Kebijakan, Rencana, dan/atau Program yang dijelaskan nama dan jenisnya.

Berikut merupakan contoh matriks sanding dalam mengintegrasikan KLHS ke


dalamKRP.

Tabel 6.1 Matriks sanding pengintegrasian KLHS (Contoh 1)

Muatan KRP
No. Muatan KRP Rekomendasi KLHS
Sesudah Integrasi KLHS
1 KRP 1 Rekomendasi 1 Hasil Integrasi 1
2 KRP 2 Rekomendasi 2 Hasil Integrasi 1
3 KRP 3 Rekomendasi 3 Hasil Integrasi 1
4 Dst.. ………………… ………………….

Atau pun alternatif matriks sanding dalam mengintegrasikan KLHS ke dalam KRP

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VI -7


Tabel 6.2 Matriks sanding pengintegrasian KLHS (Contoh 2)

Muatan KRP
No. Rekomendasi KLHS Letak perbaikan
Sesudah Integrasi KLHS
1 Rekomendasi 1 (bab/sub bab/halaman) Hasil Integrasi 1
2 Rekomendasi 2 (bab/sub bab/halaman) Hasil Integrasi 1
3 Rekomendasi 3 (bab/sub bab/halaman) Hasil Integrasi 1
4 Dst.. ………………… ………………….

6.1.2 Penjaminan Kualitas KLHS

Penjaminan kualitas KLHS dilaksanakan melalui penilaian mandiri oleh


Penyusun KRP, dibuktikan dengan tandatangan Penyusun KRP dalam berita acara,
untuk memastikan bahwa kualitas dan proses pembuatan dan pelaksanaan KLHS
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dalam peraturan perundangan.

Penilaian mandiri dalam penjaminan kualitas KLHS harus mempertimbangkan:


- dokumen Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH)
yang relevan;
- laporan KLHS dari KRP yang terkait dan relevan.

Dalam hal dokumen RPPLH belum tersusun maka penilaian mandiri


mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung Lingkungan Hidup. Dalam rangka
melakukan penjaminan kualitas KLHS, penyusun KLHS wajib memenuhi standar
kompetensi.

Kunci dalam Penjaminan Kualitas menurut Permen LHK 69/2017 antara lain:

- Desain proses klhs


- laporan klhs
- isu pembangunan berkelanjutan paling strategis dan prioritas
- analisis krp dan isu pembangunan berkelanjutan prioritas
- pengkajian 6 muatan

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VI -8


- alternatif dan rekomendasi
- dokumentasi pembuatan dan pelaksanaan KLHS
- integrasi hasil KLHS/pengambilan keputusan
- partisipasi pemangku kepentingan

Dalam penjaminan kualitas, menyampaikan :

 kesimpulan kelayakan proses dan dokumen klhs, dinyatakan layak / tidakdari


segi relevansi, memenuhi kaidah ilmiah, dan memenuhi peraturan perundangan
yang terkait;
 kesimpulan kelayakan penyusun, metodologi, muatan serta hasil KLHS telah
memenuhi ketentuan serta memenuhi kaidah ilmiah;
 catatan dan/atau rekomendasi yang dianggap perlu terhadap KLHS, KRP
dan/atau proses keseluruhan;
 catatan dan/atau rekomendasi mengenai hal-hal yang bersifat keterbatasan klhs
yang perlu menjadi pertimbangan;
 rekomendasi dan catatan keterbatasan ilmiah/metodologi KLHS yang disadari
penyusun;
 lingkup integrasi hasil klhs ke dalam KRP

Hasil penjaminan kualitas KLHS nantinya digunakan sebagai masukan penyempurnaan


KLHS serta harus disusun secara tertulis dengan memuat informasi tentang:
- kelayakan KLHS jika telah memenuhi ketentuan peraturan perundangan;
- rekomendasi perbaikan KLHS yang telah diikuti dengan perbaikan KRP

Adapun bentuk kriteria penilain dari penjaminan kualitas adalah sebagai berikut :

Nama KLHS
Nama Kebijakan, Rencana, atau Program

(KRP)
K/L Penanggung Jawab
Tahun Pelaksanaan

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VI -9


Penilaian : Desain proses KLHS
Kriteria Penilaian Ket
Apakah KLHS dilakukan sebagai satu kesatuan proses
perencanaan KRP?
- Bila ”Ya” lanjutkan ke c
- Bila ”Tidak” lanjutkan ke a, lalu b dan c
a. Apakah ada mekanisme komunikasi antara tim perencana
dengan kelompok kerja KLHS?
b. Apakah rekomendasi yang diusulkan KLHS didiskusikan
tim perencana dengan pembuat KRP?
c. Apakah disampaikan secara jelas siapa penyusun KLHS?
(SDM internal institusi pembuat KRP, SDM institusi yang
ditunjuk sebagai penyusun KLHS, tenaga ahli eksternal,
perusahaan konsultan, pokja yang dibentuk oleh SK,
pegawai pemerintah atau lainnya)
Ringkasan kesimpulan :

Harus menjelaskan apakah proses KLHS sesuai ketentuan dan rekomendasinya layak?
(relevan, memenuhi kaidah ilmiah, memenuhi kaidah peraturan perundangan yang
terkait)

Penilaian : Laporan KLHS


Kriteria Penilaian Ket.
Apakah laporan KLHS telah memuat : Nilai :

Belum lengkap

Lengkap

Terpenuhi sebagian

Tidak bisa dilakukan


penilaian
(dijelaskan dalam
keterangan)
1. Dasar pertimbangan KRP sehingga perlu
dilengkapi

KLHS

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VI -10


2. Metode, teknik, rangkaian langkah-langkah dan
hasil pengkajian pengaruh KRP terhadap kondisi
lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan

3. Metode, teknik, rangkaian langkah-langkah dan


hasil perumusan alternatif muatan KRP
4. Pertimbangan, muatan dan konsekuensi
rekomendasi perbaikan untuk pengambilan
keputusan KRP yang mengintegrasikan prinsip
pembangunan berkelanjutan
5. Gambaran pengintegrasian hasil KLHS dalam
KRP
6. Pelaksanaan partisipasi masyarakat dan
keterbukaan informasi KLHS
7. Hasil penjaminan kualitas KLHS
8. Ringkasan eksekutif yang menuangkan
rekomendasi-rekomendasi KLHS untuk
pengambil keputusan secara jelas
Penilaian : Isu Pembangunan Berkelanjutan Paling Strategis dan Prioritas
Kriteria Penilaian Ket.
Apakah isu-isu pembangunan berkelanjutan paling Nilai :
strategis sudah disepakati oleh pemangku kepentingan
sebagai akar masalah dan telah disampaikan dengan Sudah
jelas
Belum

Ada catatan
(jelaskan dalam
keterangan)
Apakah hasil identifikasi isu strategis telah sedikitnya Uraikan
mempertimbangkan : penilaiannya
dalam keterangan
1. Karakteristik wilayah
2. Tingkat pentingnya potensi dampak
3. Keterkaitan antar isu strategis
4. Keterkaitan dengan muatan Kebijakan, Rencana,
dan/atau Program
5. Muatan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup/RPPLH dan/atau
6. Hasil KLHS dari Kebijakan, Rencana, dan/atau
Program pada hirarki diatasnya yang harus diacu,

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VI -11


serupa dan berada pada wilayah yang berdekatan,
dan/atau memiliki keterkaitan dan/atau relevansi
langsung.

Penilaian : Isu Pembangunan Berkelanjutan Paling Strategis dan Prioritas


Kriteria Penilaian Ket.
Apakah rumusan prioritas juga sudah memperhatikan Uraikan
aspek-aspek berikut : penilaiannya
dalam keterangan
1. Kapasitas daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup untuk pembangunan
2. Perkiraan mengenai dampak dan resiko
lingkungan hidup
3. Kinerja layanan/jasa ekosistem
4. Intensitas dan cakupan wilayah bencana alam
5. Status mutu dan ketersediaan SDA
6. Ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati
7. Kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap
perubahan iklim
8. Tingkat dan status jumlah penduduk miskin atau
penghidupan sekelompok masyarakay serta
terancamnya keberlanjutan penghidupan
masyarakat
9. Risiko terhadap kesehatan dan keselamatan
masyarakat, dan/atau
10. Ancaman terhadap perlindungan kawasan
tertentu secara tradisional yang dilakukan oleh
masyarakat dan masyarakat hukum adat
Apakah lingkup geografis disampaikan dengan jelas? Uraikan
penilaiannya
dalam keterangan
Jika YA, apakah melingkupi wilayah di luar cakupan Uraikan
KRP? penilaiannya
dalam keterangan
Apakah lingkup pihak terkena dampak/berisiko dan Uraikan
berkepentingan disampaikan dengan jelas? penilaiannya
dalam keterangan

Penilaian : Analisis KRP dan Isu Pembangunan Berkelanjutan Prioritas


Kriteria Penilaian Ket.
Uraikan

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VI -12


Penilaian : Analisis KRP dan Isu Pembangunan Berkelanjutan Prioritas
Kriteria Penilaian Ket.
penilaiannya
dalam keterangan

Apakah kondisi terkini dan pemetaan dari isu prioritas


dideskripsikan dengan jelas?
Apakah tersedia informasi yang menjelaskan kondisi
daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup
terkini dan/atau kecenderungannya?
Apakah telah dilakukan analisis semua dampak KRP
terhadap isu prioritas?
Apakah hasil analisis diatas dideskripsikan dengan
jelas?
Apakah hasil analisis diatas dijelaskan secara spasial?
Jika ”Ya”, apakah dibedakan tingkat kerinciannya?
Contoh : isu skala nasional, skala pulau atau skala lokasi

Penilaian : Pengkajian
Kriteria Penilaian Ket.
Uraikan
penilaiannya
dalam keterangan
Apakah pengkajian memuat :
1. Kapasitas daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup untuk pembangunan
2. Perkiraan mengenai dampak dan risiko
lingkungan hidup
3. Kinerja layanan atau jasa ekosistem
4. Efisiensi pemanfaatan sumber daya alam
5. Tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi
terhadap perubahan iklim
6. Tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman
hayati
Apakah pengkajian yangbersifat kuantitatif dilengkapi
dengan perhitungan yang akuntabel?
Apakah pengkajian menyebutkanlandasan pedoman,
acuan/referensi, standar, jaminan akuntabilitas dari
ahli yang jelas?
Apakah pengkajian dilakukan dengan pendekatan

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VI -13


Penilaian : Pengkajian
Kriteria Penilaian Ket.
spasial?
Apakah dijelaskan pada tahap penyusunan KRP yang
mana, proses telaahan KLHS dilaksanakan?
Apakah semua dampak dan risiko terhadap isu
prioritas telah dianalisis?
Apakah perkiraan dampak dan risiko dilakukan secara
kuantitatif?
Apakah dilakukan simulasi berbasis skenario untuk
perkiraan?
Apakah perkiraan dampak dan risiko dituangkan secara
spasial?
Apakah ada penjelasan antara hasil telaahan dengan
pengaruhnya pada daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup?

Penilaian : Alternatif dan Rekomendasi


Kriteria Penilaian Ket.
Uraikan
penilaiannya
dalam keterangan
Bagaimana bentuk penyempurnaan Kebijakan, Rencana
dan/atau Program? Uraikan dalam bagian-bagian yang
sesuai di bawah ini :
1. Perubahan tujuan atau target
2. Perubahan strategi pencapaian target
3. Perubahan atau penyesuaian ukuran, skala dan
lokasi
4. Perubahan, penyesuaian atau adaptasi proses
atau metode terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan dna teknologi
5. Penundaan, perbaikan urutan atau perubahan
prioritas pelaksanaan
6. Pemberian arahan atau rambu-rambu untuk
mempertahankan atau meningkatkan fungsi
ekosistem
7. Pemberian arahan atau rambu-rambu mitigasi
dampak dan risiko lingkungan hidup
Apakah dijelaskab bagaimana cara menyusun dan
memutuskan alternatif KRP serta rekomendasi KLHS?
Apakah langkah-langkah untuk pencegahan dan

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VI -14


Penilaian : Alternatif dan Rekomendasi
Kriteria Penilaian Ket.
pengurangan dampak dan risiko dari KRP telah
diidentifikasikan dengan jelas?

Apakah langkah-langkah mitigasi mencantumkan apa


perkiraan dampak/risiko tambahan/sisa
dampak/risiko yang mungkin/masih akan muncul?
Adakah rekomendasi KLHS terkait hasil kajian
terutama pengaruhnya pada daya dukung dan daya
tampung LH diidentifikasikan dengan jelas?
Apakah hasil rekomendasi konsisten dan relevan
sebagai hasil dari rangkaian proses penetapan isu
prioritas, pengkajian, dan penyusunan alternatif?
Apakah disusun rekomendasi tindak lanjut tambahan
sebagai konsekuensi implementasi KLHS untuk KRP?

Penilaian : Dokumentasi Pembuatan dan Pelaksanaan KLHS


Kriteria Penilaian Ket.
Apakah telah terpenuhi : Uraikan
penilaiannya dalam
keterangan
Data dukung proses konsultasi publik (foto,absen,
berita acara)
Dokumen KRP sebelum dan sesudah KRP diperbaiki
dan/atau matriks yang menjelaskan perubahan
sebelum dan sesudah
Dokumen penjaminan kualitas
Bukti pemenuhan kompetensi penyusunan KLHS
SK kelompok kerja KLHS

Penilaian : Integrasi Hasil KLHS/Pengambilan Keputusan


Kriteria Penilaian Ket.
Apakah telah terpenuhi : Uraikan
penilaiannya
dalam keterangan
Rekomendasi yang dihasilkan KLHS ditulis/dimasukkan
materi teknis KRP
Rekomendasi yangdihasilkan KLHS ditulis/dijadikan
ketentuan pengaturan KRP
Rekomendasi yang dihasilkan KLHS
dijembatani/diinterpretasikan kembali penulisannya

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VI -15


Penilaian : Integrasi Hasil KLHS/Pengambilan Keputusan
Kriteria Penilaian Ket.
dalam bahasa peraturan pada KRP
Rekomendasi KLHS diatur tersendiri dalam ketentuan
KRP (tidak ditulis kembali)
Penjelasan tentang KRP lainnya yang juga harus
mempertimbangkan rekomendasi KLHS ini?
Rekomendasi khusus untuk penyusunan KLHS bagi KRP
turunannya
Rekomendasi khusus tentang pelaksanaan AMDAL dan
UKL/UPL sebagai tindak lanjut KRP ini

6.2 Pendokumentasian KLHS

Setelah selesai dilakukan pengintegrasian KLHS ke dalam KRP serta


penjaminan kualitas, tahapan selanjutnya yaitu melengkapi seluruh persyaratan
dokumen KLHS disebut dengan pendokumentasian. Proses pendokumentasian ini
penting dilakukan untuk persiapan proses selanjutnya yaitu validasi KLHS.

Laporan atau dokumen KLHS memuat informasi tentang:


- Dasar pertimbangan KRP sehingga perlu dilengkapi KLHS;
- metoda, teknik, rangkaian langkah-langkah dan hasil pengkajian pengaruh
KRP terhadap kondisi LH
- metoda, teknik, rangkaian langkah-langkah dan hasil perumusan alternatif
muatan KRP;
- pertimbangan, muatan, dan konsekuensi rekomendasi perbaikan untuk
pengambilan keputusan KRP yang mengintegrasikan prinsip PB;
- gambaran pengintegrasian hasil KLHS dalam KRP;
- pelaksanaan partisipasi masyarakat dan keterbukaan informasi KLHS;
- hasil penjaminan kualitas KLHS.

Dari keseluruhan informasi tersebut, secara umum kelengkapan dokumen KLHS


untuk diajukan validasi antara lain:
- dokumen KLHS;
- ringkasan eksekutif KLHS;

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VI -16


- dokumen atau materi teknis KRP awal dan akhir;
- lampiran tahapan;
- lampiran data dan album peta;
- bukti pemenuhan kompetensi tenaga ahli.

Adapun outline dari dokumen KLHS berdasarkan arahan dari KLHK-RI antara lain:

Bab I : Pendahuluan
Bab II : Karakteristik wilayah kajian
Bab III : Proses penyelenggaraan KLHS
Bab IV : Hasil proses penyelenggaraan KLHS
Bab V : Kesimpulan

Kemudian lampiran tahapan terdiri atas pendokumentasian untuk masing-masing


tahapan berupa:
- kerangka acuan kerja;
- surat keputusan pembentukan Kelompok kerja KLHS;
- surat undangan kegiatan;
- daftar hadir kegiatan;
- notulen kegiatan;
- dokumentasi foto kegiatan;
- berita acara kegiatan (untuk konsultasi publik, pengintegrasian dan penjaminan
kualitas KLHS).

Kelengkapan dokumentasi tersebut dibuat untuk masing-masing tahapan


sebagai bukti bahwa tahapan tersebut telah dilaksanakan sesuai peraturan
perundangan. Dokumen KLHS merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
dokumen KRP dan menjadi informasi pendukung sistem pengendalian dan evaluasi
pelaksanaan rencana pembangunan serta sistem akuntabilitas kinerja instansi
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.Sebagai catatan bahwa dokumen KLHS yang
telah memenuhi seluruh ketentuan informasi pada Pasal 23(2) dari PP 46/2016
bersifat terbuka dan dapat diakses oleh publik.

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VI -17


MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VI -18
BIDANG PE NATAAN RUANG

MATERI POKOK 7
VALIDASI

1. Daftar Isi
2. Bahan Ajar
3. Lampiran

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VII -1


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .............................................................................................................................................. VII - 2


DAFTAR GAMBAR............................................................................................................................... VII – 6
7. Validasi .................................................................................................................................. VII – 4

7.1 Validasi KLHS ..................................................................................................................... VII – 4

7.2 Validasi KLHS RDTR ...................................................................................................... VII – 7

7.2.1 Penelaahan Muatan KLHS RDTR................................................................................. VII – 8

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VII -2


DAFTAR GAMBAR

Gambar 7.1. Alur Tahapan Validasi KLHS ............................................................................. VII - 6

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VII -3


VII. VALIDASI

Validasi merupakan salah satu tahapan yang wajib dilalui dalam penyelenggaraan KLHS
penyusunan dan/atau evaluasi Kebijakan, Rencana, dan/atau Program (KRP). Tujuan
dari validasi KLHS yaitu untuk memastikan penjaminan kualitas telah dilaksanakan
secara akuntabel dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Berdasarkan Pasal
5 dari Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2016 bahwa penyelenggaraan KLHS
dilakukan dengan tahapan:

pembuatan dan pelaksanaan;


penjaminan kualitas dan pendokumentasian KLHS; dan
validasi KLHS.

7.1 Validasi KLHS

Berbeda dengan penjaminan kualitas yang merupakan penilaian mandiri, proses


validasiKLHS sendiri dilakukan oleh:

Menteri, untuk Kebijakan, Rencana, dan/atau Program tingkat nasional dan


provinsi; ataugubernur, untuk Kebijakan, Rencana, dan/atau Program tingkat
kabupaten/kota.

Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang


perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam melaksanakan validasi KLHS,
Menteri dan gubernur sesuai kewenangannya dapat menunjuk pejabat yang berwenang.
Pada umumnya, gubernur menunjuk organisasi perangkat daerah yang
menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.

Penyusun KRP mengajukan permohonan validasi KLHS secara tertulis kepada Menteri
dan gubernur dengan melampirkan:

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VII -4


rancangan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program;
laporan KLHS;
bukti pemenuhan standar kompetensi Penyusun KLHS.

Menteri atau gubernur melakukan pemeriksaan kelengkapan permohonan dalam waktu


paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya permohonan. Jika hasil pemeriksaan
menunjukkan permohonan tersebut lengkap, Menteri atau gubernur menerbitkan
persetujuan validasi KLHS dalam waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja kepada
Penyusun KRP yang paling sedikit memuat:
kesesuaian hasil KLHS dengan penjaminan kualitas: dan
rekomendasi.

Dalam hal Menteri atau gubernur tidak menerbitkan persetujuan validasi KLHS dalam
waktu sebagaimana dimaksud, terhadap KLHS yang dimohonkan persetujuan
validasinya oleh Penyusun KRP dianggap telah memperoleh persetujuan validasi KLHS.
Menteri atau gubernur mengumumkan persetujuan validasi KLHS kepada masyarakat
dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak diterbitkannya persetujuan validasi.
Dalam pelaksanaanya, validasi KLHS dilakukan secara bertahap pada setiap proses
pembuatan dan pelaksanaan KLHS; atau pada tahap akhir pembuatan dan pelaksanaan
KLHS.Proses validasi yang umum dilaksanakan yaitu pada tahap akhir pembuatan dan
pelaksanaan KLHS. Dengan demikian, sebelum diajukannya surat permohonan validasi
KLHS, perlu dipastikan bahwa pembuatan dan pelaksanaan KLHS telah selesai hingga
tahapan penjaminan kualitas dan pendokumentasian.

Adapun alur tahapan validasi KLHS berdasarkan arahan Kementerian LHK – RI


ditunjukkan pada gambar berikut.

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VII -5


Gambar 7.1 Alur tahapan validasi KLHS (KLHK-RI, 2018)

Alur tahapan validasi KLHS adalah sebagai berikut:

Penyusun KRP mengajukan surat permohonan validasi KLHS kepada Menteri atau
gubernur beserta seluruh persyaratan yang perlu dilampirkan;
Dalam waktu 3 (tiga) hari kerja sejak surat atau disposisi diterima dilakukan
pengecekkan kelengkapan dokumen persyaratan validasi KLHS;
Apabila sudah dinyatakan lengkap maka akan dilakukan telaahan teknis serta
dijadwalkan rapat pembahasan validasi KLHS untuk menentukan apakah KLHS
sudah bisa mendapatkan persetujuan validasi KLHS dalam rentang waktu 20 (dua
puluh) hari kerja;
Apabila dokumen persyaratan dinyatakan tidak lengkap atau diputuskan belum
bisa mendapatkan persetujuan validasi maka dokumen akan dikembalikan kepada
Penyusun KRP untuk dilengkapi;
Terhadap KLHS yang telah mendapat persetujuan validasi, Menteri atau Gubernur
akan menerbitkan surat hasil validasi kepada Penyusun KRP serta mengumumkan
persetujuan validasi KLHS kepada masyarakat dalam waktu paling lama 7 (tujuh)
hari kerja sejak diterbitkannya persetujuan validasi.

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VII -6


Permohonan validasi KLHS diajukan oleh :
 Menteri/Kepala lembaga nonkementerian penyusun KRP kepada Menteri LHK;
 Gubernur kepada Menteri LHK;
 Bupati/Walikota kepada Gubernur.

Adapun kelengkapan permohonan validasi dapat disampaikan dengan dua cara, yaitu :
a. Bertahap, harus melengkapi :
- surat permohonan
- rancangan KRP;
- laporan KLHS sampai dengan tahap pengkajian pengaruh KRP terhadap
kondisi Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan; dan
- bukti pemenuhan standar kompetensi Penyusun KLHS
- Penjaminan Kualitas

b. Tahap Akhir , dengan kelengkapan :


- surat permohonan
- rancangan KRP;
- laporan KLHS sampai dengan tahap penjaminan kualitas KLHS; dan
- bukti pemenuhan standar kompetensi Penyusun KLHS
- Penjaminan Kualitas

7.2 Validasi KLHS RDTR

Tahapan penyelenggaraan KLHS untuk Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) secara
umum sama dengan proses penyelenggaraan KLHS yang diatur dalam Peraturan
Menteri LHK – RI No. 69 Tahun 2017. Hal yang secara khusus menjadi poin penting
dalam KLHS RDTR yaitu terkait adanya pengecualian kewajiban menyusun dokumen
Analsisi Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Pengecualian kewajiban menyusun
AMDAL untuk usaha dan/atau kegiatan yang berlokasi di daerah kabupaten/kota yang
telah memiliki RDTR diatur dalam Permen LHK 24/208. KLHS RDTR sendiri menjadi
syarat dalam penyusunan dokumen KRP RDTR.

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VII -7


Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) adalah rencana secara terperinci tentang tata
ruang wilayah daerah kabupaten/kota yang dipengkapi dengan peraturan zonasi
kabupaten/kota. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) adalah kajian
mengenai dampak penting suatu Usaha dan/atau Kegiatan yang direncanakan pada
lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan Usaha dan/atau Kegiatan.

Sebagai catatan bahwa tidak semua KLHS RDTR menghasilkan pengecualian


kewajiban dalam menyusun AMDAL. Terdapat kriteria-kriteria yang menjadi
persyaratan untuk pengecualian tersebut yang diatur dalam Peraturan Menteri LHK No.
24 Tahun 2018.

Peraturan Menteri LHK No. 24 Tahun 2018 dimaksudkan untuk memperkuat


sistem perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tahap perencanaan dan
pelaksanaan RDTR. Peraturan ini juga bertujuan untuk memberikan pedoman
Pengecualian kewajiban Amdal untuk rencana usaha dan/atau kegiatan yang berlokasi
di daerah kabupaten/kota yang telah memiliki RDTR.

7.2.1 Penelaahan Muatan KLHS RDTR

Setiap Usaha dan/atau Kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan


hidup wajib menyusun Amdal dan dapat dikecualikan apabila lokasi rencana Usaha
dan/atau Kegiatannya berada pada daerah kabupaten/kota yang telah memiliki RDTR
dengan kewajiban menyusun UKL-UPL berdasarkan RDTR yang mengacu pada
pedoman penyusunan dokumen lingkungan hidup. Pengecualian kewajiban menyusun
Amdal hanya berlaku apabila rencana usaha dan/atau kegiatannya masih dalam
skala/besaran kajian KLHS dan RDTR.

A. Persyaratan Pengecualian Amdal


Pengecualian kewajiban penyusunan Amdal dilakukan apabila memenuhi kriteria
sebagai berikut:

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VII -8


a. RDTR telah dilengkapi dengan KLHS yang dibuat dan dilaksanakan secara
komprehensif dan rinci; dan
b. RDTR telah mengintegrasikkan hasil KLHS sebagaimana dimaksud dalam huruf a.

Kriteria KLHS RDTR yang dibuat dan dilaksanakan secara komprehensif dan rinci
terdiri atas:
pengkajian pengaruh RDTR terhadap kondisi lingkungan hidup;
perumusan alternatif penyempurnaan RDTR; dan
penyusunan rekomendasi perbaikan untuk pengambil keputusan RDTR
yang mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan.

B. Tata laksana pengecualian kewajiban menyusun Amdal


Gubernur atau bupati/walikota mengajukan permohonan secara tertulis Pengecualian
kewajiban penyusunan Amdal kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK)
yang dilengkapi dengan:

dokumen RDTR yang telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah;


dokumen KLHS RDTR yang telah divalidasi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
surat validasi KLHS RDTR yang ditandatangani oleh Menteri LHK dan
gubernur sesuai dengan kewenangannya.

Berdasarkan permohonan tersebut, Menteri LHK menugaskan Ditjen untuk


membentuk tim evaluasi untuk melakukan evaluasi terhadap permohonan
Pengecualian kewajiban penyusunan Amdal berdasarkan kriteria KLHS RDTR.
Berdasarkan hasil evaluasi, Menteri LHK menetapkan keputusan menyetujui atau
menolak Pengecualian kewajiban penyusunan Amdal paling lama 20 (dua puluh) hari
kerja sejak permohonan dinyatakan lengkap untuk dilakukan evaluasi.

Berdasarkan hasil evaluasi, Menteri LHK sesuai kewenangannya menerbitkan


surat keputusan persetujuan Pengecualian Wajib Amdal; ataumenugaskan Ditjen
menerbitkan surat penolakan Pengecualian wajib Amdal, apabila dinyatakan tidak
disetujui.

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VII -9


MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VII -10
MODUL II

KAJIAN MUATAN KLHS

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................................................... VIII - 2


DAFTAR GAMBAR................................................................................................................................ VIII – 6
DAFTAR TABEL ................................................................................................................................... VIII – 6

1. Kapasitas Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup untuk VIII-2

Pembangunan
1.1 Daya Dukung Lingkungan dalam Studi Ekologi VIII-4

1.2 Daya Dukung Lingkungan Hidup dalam Penataan Ruang Wilayah VIII-5

1.3 Daya Tampung VIII-10

2. Perkiraan Dampak dan Resiko Lingkungan Hidup VIII-5

3. Kinerja Layanan / Jasa Ekosistem VIII-25

4. Efisiensi Pemanfaatan Sumber Daya Alam VIII-40

5. Tingkat Kerentanan dan Kapasitas Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim VIII-44

6. Tingkat Ketahanan dan Potensi Keanekaragaman Hayati VIII-72

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS


DAFTAR GAMBAR

1.1 Kurva Daya Dukung Lingkungan Hidup VIII-5

1.2 Hubungan Antara Kelas Kemampuan Lahan dengan Intensitas VIII-5


Spektrum dan Hambatan
1.3 Cara Penamaan Sub Kelas Kemampuan Lahan VIII-8

1.4 Diagram Alir Pembuatan Peta Kemampuan Lahan dalam Tingkat VIII-9
Kelas
2.1 Risk Management Model COSO VIII-14

2.2 Map & QuantifyRisk VIII-15

2.4 Konsep Analisis Resiko Lingkungan VIII-19

2.5 Langkah Analisis Resiko Spasial Multifaktor VIII-22

2.6 Contoh Peta Spasial Resiko Lingkungan VIII-23

2.7 Penggunaan Analisis Resiko Dalam Penentuan Tindakan Strategis VIII-24

3.1 Tipe Jasa Ekosistem VIII-26

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS


DAFTAR TABEL

1.1 Klasifikasi Kemampuan Lahan dalam Tingkat Kelas VIII-6

1.2 Identifikasi Kelas dan Sub Kelas Lahan VIII-9

1.3 Kriteria Status Trofik Danau/Waduk VIII-11

2.1 Pendekatan Terhadap Analisa Resiko Lingkungan VIII-18

2.2 Indikator Mengukur Ketahanan Banjir VIII-20

2.3 Sistem Penilaian Indikator untuk Evaluasi Lingkungan VIII-22

3.1 Jenis-jenis Ekosistem Alami VIII-27

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS


KAJIAN MUATAN KLHS
Kajian muatan atau biasa disebut dengan Kajian 6 (enam) Muatan KLHS merupakan
inti kajian yang dilakukan dalam KLHS. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 13 dari PP
46/2016, hasil analisis paling sedikit memuat kajian:

- kapasitas daya dukung dan daya tampung Lingkungan Hidup untuk pembangunan;
- perkiraan dampak dan risiko Lingkungan Hidup;
- kinerja layanan atau jasa ekosistem;
- efisiensi pemanfaatan sumber daya alam;
- tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim;
- tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.

Kajian muatan ini dilakukan pada masing-masing materi muatan KRP yang didapatkan
dari hasil tahapan Analisis Pengaruh. Penting dalam melakukan analisis untuk
memerhatikan lokus dan besaran untuk mendapatkan analisis yang lebih bersifat
kuantitatif. Penentuan lingkup, metode, teknik, dan kedalaman analisis kajian muatan
dilakukan berdasarkan:
- jenis dan tema KRP;
- tingkat kemajuan penyusunan atau evaluasi KRP;
- relevansi dan kedetilan informasi yang dibutuhkan;
- input informasi KLHS dan kajian Lingkungan Hidup lainnya yang terkait dan
relevan untuk diacu;
- ketersediaan data.

Analisis dalam kajian muatan KLHS memerhatikan:


- peraturan perundangan;
- keberadaan pedoman, acuan, standar, contoh praktek terbaik, dan
informasi tersedia yang diakui secara ilmiah;
- keberadaan hasil penelitian yang akuntabel; dan/atau
- kesepakatan antar ahli.

Kajian muatan KLHS dalam Rencana Tata Ruang dapat dijabarkan sebagai berikut :

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -1


1. Kapasitas Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup untuk
Pembangunan
Pembangunan yang menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan (PB) harus
dilakukan secara bijaksana, yaitu dengan memperhatikan kemampuan daya dukung
dan daya tampung lingkungan hidup. Berdasarkan asas kelestarian dan keberlanjutan,
bahwa setiap orang memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi
mendatang dan terhadap sesamanya dalam satu generasi dengan melakukan upaya
pelestarian daya dukung ekosistem dan memperbaiki kualitas lingkungan hidup. Hal
tersebut yang mendasari adanya pelestarian fungsi lingkungan hidup berupa
serangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup.
Definisi daya dukung dan daya tampung sendiri berdasarkan UU 32/2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah sebagai berikut:
a. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk
mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan
antar keduanya;
b. Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk
menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke
dalamnya.

Disamping UU PPLH Nomor 32/2009, daya dukung dan daya tampung lingkungan juga
sudah menjadi dasar pertimbangan utama dalam perencanan tata ruang dan
pembangunan sektor. Sebagai contoh antara lain:

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -2


- UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 20, Pasal 23 dan Pasal 25 :
menyiratkan bahwa penyusunan rencana tata ruang wilayah
nasional/provinsi/kabupaten /kota harus memperhatikan daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup;
- UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan Pasal 1 (ayat 6) menyatakan bahwa
pembangunan kelautan adalah pembangunan yang memberi arahan dalam
pendayagunaan sumber daya Kelautan untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi,
pemerataan kesejahteraan, dan keterpeliharaan daya dukung ekosistem pesisir
dan laut;
- UU No. 39 tahun 2014 tentang Perkebunan, Pasal 6 (ayat 1 huruf d) menyatakan
bahwa perencanaan perkebunan dilakukan berdasarkan daya dukung dan daya
tampung lingkungan;
- UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba, Pasal 32 (huruf c)
(termasuk juga Pasal 18 dan Pasal 28), menyatakan bahwa kriteria untuk
menetapkan 1 (satu) atau beberapa WIUPK (Wilayah Izin Usaha Pertambangan
Khusus) dalam 1 (satu) WUPK (Wilayah Usaha Pertambangan Khusus) adalah
Daya Dukung Lingkungan.
- UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, pasal 7 (huruf c) menyatakan bahwa
perencanaan pangan harus memperhatikan daya dukung sumber daya alam,
teknologi, dan kelestarian lingkungan.

Sebagai konsekuensi adanya peraturan perundangan tersebut, daya dukung


dan daya tampung lingkungan hidup penting untuk diketahui, dipahami dan dijadikan
dasar dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Dalam peraturan perundangan
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), yaitu PP 46/2016 dan Permen LHK
69/2017, kajian daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk
pembangunan menjadi salah satu hal yang wajib ada dan dilakukan pada tahap kajian
6 (enam) muatan KLHS. Dalam menghitung atau menentukan kapasitas daya dukung
dan daya tampung lingkungan hidup diperlukan beberapa pertimbangan antara lain:

- ruang dan sifatnya;


- tipe pemanfaatan ruang;
- ukuran produk lingkungan hidup utama (udara dan air);

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -3


- penggunaan/penutupanlahan mendukung publik (hutan);
- penggunaan tertentu untuk keperluan pribadi.

Untuk daya dukung lingkungan hidup dapat dihitung atau ditentukan dengan
mengukur kinerja jasa lingkungan, mengukur populasi optimal yang dapat didukung,
maupun mengukur tingkat kerentanan, kerawanan dan kerusakan pada lingkungan
hidup. Teknik-teknik perhitungan dan penentuan untuk daya dukung lingkungan hidup
dapat mengikuti ketentuan yang ada atau metodologi yang telah diakui secara ilmiah.
Untuk daya tampung lingkungan hidup dapat diukur dari tingkat asimilasi media (air,
tanah, udara) ketika menerima gangguan dari luar. Indikator yang digunakan dapat
berupa kombinasi antara beban pencemaran dengan kemampuan media
mempertahankan fungsinya sejalan dengan masuknya pencemaran tersebut. Terdapat
banyak sekali kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang ada
dan dapat dikaji. Beberapa contoh analisis kapasitas daya dukung dan daya tampung
untuk pembangunan yang umum dikaji dalam KLHS dijabarkan sebagai berikut.

Daya Dukung Lingkungan dalam Studi Ekologi


Di dalam studi ekologi, konsep daya dukung lingkungan digunakan sebagai
terjemahan dari carrying capacity, yang secara konseptual dapat diartikan sebagai
batas populasi makhluk hidup yang dapat didukung oleh suatu ekosistem. Prinsip
dasar dari perhitungan daya dukung lingkungan adalah bahwa populasi makhluk
hidup akan terus tumbuh dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada di ekosistem,
sampai sumberdaya tersebut menipis dan laju pertumbuhan populasi pada akhirnya
menurun. Daya dukung lingkungan didefinisikan sebagai ukuran populasi maksimum
yang dapat dicapai oleh makhluk hidup tersebut (kurva mencapai garis asimptotik;
lihat Gambar x). Di dalam konteks pertumbuhan populasi manusia, konsep daya
dukung ekosistem menjadi tidak relevan karena manusia dapat memanfaatkan
teknologi untuk meningkatkan sumberdaya yang tersedia atau mendatangkannya dari
daerah lain. Meskipun demikian, konsep daya dukung tetap dapat digunakan di dalam
pengelolaan lingkungan hidup.

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -4


Gambar 1.1 Kurva Daya Dukung Lingkungan Hidup (Sumber: Encyclopedia
Britannica, 2011)

1.2 Daya Dukung Lingkungan Hidup dalam Penataan Ruang Wilayah


a. Klasifikasi Kemampuan Lahan
Klasifikasi kemampuan lahan dengan memanfaatkan peta kemampuan lahan.
- Peta kemampuan lahan menggambarkan tingkat kelas potensi lahan secara
keruangan dan dapat dipakai untuk menentukan arahan penggunaan lahan secara
umum
- Spektrum penggunaan lahan (ditunjukkan pada Gambar 1.2) apabila tingkat
bahaya/risiko kerusakan dan hambatan penggunaan meningkat, spektrum
penggunaan lahan menurun seperti yang diilustrasikan dalam Gambar 1 (Klingebiel
dan Montgomery, 1961).

Gambar 1.2 Hubungan Antara Kelas Kemampuan Lahan Dengan Intensitas, Spektrum
dan Hambatan Penggunaan Tanah

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -5


Kemampuan lahan dalam tingkat kelas
Lahan diklasifikasikan ke dalam 8 (delapan) kelas, yang ditandai dengan huruf romawi I
sampai dengan VIII. Dua kelas pertama (kelas I dan kelas II) merupakan lahan yang
cocok untuk penggunaan pertanian dan 2 (dua) kelas terakhir (kelas VII dan kelas VIII)
merupakan lahan yang harus dilindungi atau untuk fungsi konservasi. Keterangan lebih
rinci mengenai klasifikasi kelas lahan dan penggunaannya dapat dilihat pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1 Klasifikasi Kemampuan Lahan dalam Tingkat Kelas


Kls Kriteria Penggunaan

I 1. Tidak mempunyai atau hanya sedikit Pertanian:


hambatan yang membatas penggunaannya. a. Tanaman pertanian semusim.
2. Sesuai untuk berbagai penggunaan, terutama b. Tanaman rumput.
pertanian. c. Hutan dan cagar alam
3. Karakteristik lahannya antara lain: topografi
hampir datar - datar, ancaman erosi kecil,
kedalaman efektif dalam, drainase baik,
mudah diolah, kapasitas menahan air baik,
subur, tidak terancam banjir.

II 1. Mempunyai beberapa hambatan atau Pertanian:


ancaman kerusakan yang mengurangi pilihan a. Tanaman semusim.
penggunaannya atau memerlukan tindakan b. Tanaman rumput.
konservasi yang sedang. c. Padang penggembalaan
2. Pengelolaan perlu hati-hati termasuk tindakan d. Hutan produksi.
konservasi untuk mencegah kerusakan e. Hutan lindung.
f. Cagar alam.

III 1. Mempunyai beberapa hambatan yang berat 1. Pertanian:


yang mengurangi pilihan penggunaan lahan a. Tanaman semusim.
dan memerlukan tindakan konservasi khusus b. Tanaman yang memerlukan
dan keduanya. pengolahan tanah.
2. Mempunyai pembatas lebih berat dari kelas II c. Tanaman rumput.
dan jika dipergunakan untuk tanaman perlu d. Padang rumput.
pengelolaan tanah dan tindakan konservasi e. Hutan produksi.
lebih sulit diterapkan.
3. Hambatan pada angka I membatasi lama 2. Non-pertanian.
penggunaan bagi tanaman semusim, waktu
pengolahan, pilihan tanaman atau kombinasi
dari pembatas tersebut. f. Hutan lindung dan
cagar alam.
IV 1. Hambatan dan ancaman kerusakan tanah 1. Pertanian:
lebih besar dari kelas III, dan pilihan tanaman a. Tanaman semusim dan
juga terbatas. Tanaman pertanian pada
2. Perlu pengelolaan hati-hati untuk tanaman umumnya
semusim, tindakan konservasi lebih sulit b. Tanaman rumput
diterapkan. c. Hutan produksi.
d. Padang penggembalaan.

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -6


e. Hutan lindung
f. dan suaka alam.

2. Non-pertanian.

V 1. Tidak terancam erosi tetapi mempunyai 1. Pertanian:


hambatan lain yang tidak mudah untuk a. Tanaman rumput.
dihilangkan, sehingga membatasi pilihan b. Padang penggembalaan.
penggunaannya. c. Hutan produksi.
2. Mempunyai hambatan yang membatasi d. Hutan lindung dan suaka alam.
pilihan macam penggunaan dan tanaman.
3. Terletak pada topografi datar-hampir datar 2. Non-pertanian
tetapi sering terlanda banjir, berbatu atau
iklim yang kurang sesuai.

VI 1. Mempunyai faktor penghambat berat yang 1. Pertanian:


menyebabkan penggunaan tanah sangat a. Tanaman rumput.
terbatas karena mempunyai ancaman b. Padang penggembalaan.
kerusakan yang tidak dapat dihilangkan. c. Hutan produksi.
2. Umumnya terletak pada lereng curam, d. Hutan lindung dan cagar alam.
sehingga jika dipergunakan untuk
penggembalaan dan hutan produksi harus 2. Non-pertanian.
dikelola dengan baik untuk menghindari erosi.

VII 1. Mempunyai faktor penghambat dan ancaman a. Padang rumput.


berat yang tidak dapat dihilangkan, karena itu b. Hutan produksi
pemanfaatannya harus bersifat konservasi.
Jika digunakan untuk padang rumput atau
hutan produksi harus dilakukan pencegahan
erosi yang berat.

VIII 1. Sebaiknya dibiarkan secara alami. a. Hutan lindung.


2. Pembatas dan ancaman sangat berat dan b. Rekreasi alam.
tidak mungkin dilakukan tindakan konservasi, c. Cagar alam.
sehingga perlu dilindungi

Kemampuan Lahan dalam tingkat Subkelas


Kategori subkelas hanya berlaku untuk kelas II sampai dengan kelas VIII karena lahan
kelas I tidak mempunyai faktor penghambat. Kelas kemampuan lahan seperti tersebut
di atas (kelas II) sampai dengan kelas VIII) dapat dirinci ke dalam subkelas.
Berdasarkan empat faktor penghambat, yaitu:

- Kemiringan lereng (t)


- Penghambat terhadap perakaran tanaman (s)

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -7


- Tingkat erosi/bahaya erosi (e)
- Genangan air (w)
Cara penamaan kelas dan subkelas dilakukan dengan menuliskan faktor penghambat di
belakang angka kelas, contoh: lahan kelas III dengan faktor penghambat kelerengan (t)
ditulis IIIt, lahan kelas II dengan faktor penghambat erosi (e) ditulis IIe, lahan kelas II
dengan faktor penghambat drainase (w) ditulis IIw; dan lahan kelas IV dengan faktor
penghambat perakaran tanaman karena kedalaman tanah (s) ditulis IVs. Untuk jelasnya
dapat dilihat pada Gambar 1.3

Gambar 1.3 Contoh cara penamaan kelas dan sub kelas kemampuan lahan

Kemampuan Lahan dalam tingkat Unit Pengelolaan


Dalam kategori unit pengelolaan telah diindikasikan kesamaan potensi dan
hambatan/risiko sehingga dapat dipakai untuk menentukan tipe pengelolaan atau
teknik konservasi yang dibutuhkan.
Kemampuan lahan pada tingkat unit pengelolaan memberikan keterangan yang
lebih spesifik dan detil dari subkelas. Tingkat unit pengelolaan lahan diberi simbol
dengan menambahkan angka di belakang simbol subkelas. Angka ini menunjukkan
besarnya tingkat faktor penghambat yang ditunjukkan dalam subkelas, misalnya IIw1,
IIIe3, IVs3, dan sebagainya.
Evaluasi kecocokan penggunaan lahan diperlukan sebagai masukan bagi revisi
rencana tata ruang atau penggunaan lahan yang sudah ada. Klasifikasi pada kategori
unit pengelolaan memperhitungkan faktor-faktor penghambat yang bersifat permanen
atau sulit diubah seperti tekstur tanah, lereng permukaan, drainase, kedalaman efektif
tanah, tingkat erosi yang telah terjadi, liat masam (cat clay), batuan di atas permukaan
tanah, ancaman banjir atau genangan air yang tetap. Faktor-faktor tersebut digolongkan
berdasarkan besarnya intensitas faktor penghambat atau ancaman.

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -8


Gambar 1.4 Diagram Alir Pembuatan Peta Kemampuan Lahan Dalam Tingkat Kelas

Dari overlay peta, didapat kombinasi keempat parameter di atas, sehingga dapat
dilakukan identifikasi kelas lahan. Besarnya hambatan yang ada untuk masing-masing
parameter menentukan masuk ke dalam kelas dan subkelas mana lahan tersebut. Dari
hasil identifikasi, dapat dideliniasi kelas dan subkelas kemampuan lahan. Sebagai
contoh, lahan yang memiliki lereng datar dan tidak mempunyai hambatan dari
paramater lainnya masuk ke dalam kelas I. Contoh yang lebih rinci untuk
mengidentifikasi kelas dan subkelas lahan sebagaimana dijabarkan pada Tabel 1.2.

Tabel 1.2 Contoh Identifikasi Kelas dan Subkelas Lahan


No. No Sampel 1 Kode Kemampuan
Faktor Pembatas Data Lahan

1 Kemiringan Lereng (l) 0-2% l0 I

2 Kepekaan Erosi (KE) 0,49 KE5 III

3 Tingkat erosi (e) SR e0 I

4 Kedalaman tanah (k) >90 cm k0 I

5 Tekstur Tanah Atas (t) Geluh t2 I


Berlempung
6 Tekstur Tanah Bawah (t) Lempung t1 I

7 Permeabilitas Tanah (P) Agak lambat P2 I


8 Drainase (d) Agak jelek g0 III

9 Kerikil/ Batu (b) Tanpa g0 I


10 Ancaman Banjir (o) Kadang-kadang g0 II

11 Salinitas (g) Bebas g0 I

Kelas II

Sub Kelas III ke, d

Potensi kemampuan lahan Tinggi

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -9


Dari contoh Tabel 1.2 dapat disimpulkan, kelas kemampuan lahan masuk dalam
kategori Kelas III dengan factor penghambat kepekaan erosi (ke) dan drainase
(d). Apabila peta kemampuan lahan atau peta kemampuan tanah sudah ada, akan
dapat memudahkan penentuan kelas lahan, karena sudah tidak perlu lagi dilakukan
langkah tumpang tindih (overlay) peta. Namun demikian identifikasi dan delineasi
kelas lahan tetap harus dilakukan.

1.3 Daya Tampung


Daya tampung beban pencemar pada sumber air (sungai dan danau/waduk)
Dalam analisis pembangunan berkelanjutan khususnya yaitu pada pilar
lingkungan hidup, keandalan sumber daya air menjadi sangat penting keberadaannya.
Dalam analisis keandalan sumber daya air, khususnya air permukaan, perlu dikaji dari
masing-masing aspek yaitu kuantitas, kualitas, dan kontinuitas (keberlanjutan) yang
tidak terpisahkan. Hal yang paling terkait dengan daya tampung sendiri yaitu
mengenai kualitas air permukaan khususnya sungai dan danau/waduk yang
dipengaruhi oleh masuknya beban pencemar dari aktivitas yang ada di sekitarnya.
Penentuan daya tampung beban pencemaran badan air dilakukan berdasarkan
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 28 tahun 2009 Daya Tampung
Beban Pencemaran Air Danau dan/atau Waduk. Daya tampung danau dan/atau waduk
yaitu kemampuan perairan danau dan/atau waduk menampung beban pencemaran air
sehingga memenuhi baku mutu air dan status trofik. Baku mutu air danau dan/atau
waduk terdiri dari parameter fisika, kimia dan mikrobiologi. Sedangkan persyaratan
status trofik danau dan/atau waduk meliputi parameter kecerahan air, Nitrogen,
Phosphor serta Klorofil-a. Kadar P-total merupakan faktor penentuan status trofik.

Penentuan Status trofik Danau dan/atau Waduk


Penentuan status trofik danau dan/atau waduk berdasarkan Peraturan Meneri
Lingkungan Hidup No.28 Tahun 2009. Berdasarkan peraturan tersebut, kondisi
kualitas air danau dan/atau waduk diklasifikasikan berdasarkan eutrofikasi yang
disebabkan adanya peningkatan kadar unsur hara dalam air. Faktor pembatas sebagai
penentu eutrofikasi adalah unsur Fosfor (P) dan Nitrogen (N). Sedangkan parameter
Klorofil-a merupakan pigmen tumbuhan hijau yang diperlukan untuk fotosintesis.
Parameter Klorofil-a ini digunakan untuk mengindikasikan kadar biomassa algae,
dengan perkiraan rata-rata beratnya adalah 1% dari biomassa.

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -10


Eutrofikasi diklasifikasikan dalam empat kategori status trofik yaitu :
Oligotrof adalah status trofik air danau dan/atau waduk yang mengandung unsur hara
dengan kadar rendah, status ini menunjukkan kualitas air masih bersifat alamiah
belum tercemar dari sumber unsur hara Nitrogen dan Fosfor.

Mesotrof adalah status trofik air danau dan/atau waduk yang mengandung unsur hara
dengan kadar sedang, status ini menunjukkan adanya peningkatan kadar Nitrogen dan
Fosfor namun masih dalam batas toleransi karena belum menunjukkan adanya
indikasi pencemaran air.

Eutrof adalah status trofik air danau dan/atau waduk yang mengandung unsur hara
dengan kadar tinggi, status ini menunjukkan air telah tercemar oleh peningkatan kadar
Nitrogen dan Fosfor .

Hipereutrof/Hipertrof adalah status trofik air danau dan/atau waduk yang


mengandung unsur hara dengan kadar sangat tinggi, status ini menunjukkan air telah
tercemar berat oleh peningkatan kadar Nitrogen dan Fosfor.

Berikut merupakan tabel kriteria status trofik danau dan/ atau waduk yang digunakan
untuk menentukan kategori status trofik danau dan/atau waduk.

Tabel 1.3 Kriteria Status Trofik Danau dan/atau Waduk


Status Trofik Kadar Rata- Kadar Rata- Kadar Rata- Kecerahan
rata Total-N rata Total-P rata Khlorofil- Rata-rata
(µg/L) (µg/L) a (µg/L) (m)

Oligotrof ≤ 650 < 10 < 2.0 ≥ 10


Mesotrof ≤ 750 < 30 < 5.0 ≥4
Eutrof ≤ 1900 < 100 < 15 ≥ 2,5
Hipereutrof >1900 ≥ 100 ≥ 200 < 2,5

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -11


2. Perkiraan Dampak dan Resiko Lingkungan Hidup
Kajian muatan perkiraan dampak dan risiko lingkungan hidup bertujuan untuk
mengukur besar dan pentingnya dampak dan/atau risiko suatu kebijakan, rencana,
dan/atau program terhadap perubahan-perubahan lingkungan hidup dan kelompok
masyarakat yang terkena dampak dan/atau risiko. Teknik analisis mengikuti ketentuan
yang telah tersedia (misalnya Pedoman Dampak Penting) dan metodologi yang diakui
secara ilmiah (misalnya metodologi Environmental Risk Assessment).
Dampak lingkungan hidup merupakan pengaruh perubahan yang merugikan
pada lingkungan hidup. Sedangkan resiko lingkungan hidup adalah kemungkinan atau
tingkat kejadian, bahaya, dan/atau konsekuensi yang ditimbulkan oleh suatu kondisi
lingkungan yang menjadi ancaman bagi ekosistem dan kehidupan, atau terhadap
kesehatan dan keselamatan manusia. Kajian perkiraan dampak lingkungan hidup
diidentifikasi dengan melihat posisi KRP terhadap isu pembangunan berkelanjutan
prioritas.
Berdasarkan pasal 47 UU No 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Analisis Risiko Lingkungan Hidup adalah setiap usaha dan atau kegiatan yang
berpotensi menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup, ancaman
terhadap ekosistem dan kehidupan, dan atau kesehatan dan keselamatan manusia wajib
melakukan analisis risiko lingkungan hidup. Analisis risiko yang dimaksud diantaranya
adalah:
a. pengkajian risiko, meliputi seluruh proses mulai dari identifikasi bahaya,
penaksiran besarnya konsekuensi atau akibat, dan penaksiran kemungkinan
munculnya dampak yang tidak diinginkan, baik terhadap keamanan dan kesehatan
manusia maupun lingkungan hidup
b. pengelolaan risiko, meliputi evaluasi risiko atau seleksi risiko yang memerlukan
pengelolaan, identifikasi pilihan pengelolaan risiko, pemilihan tindakan untuk
pengelolaan, dan pengimplementasian tindakan yang dipilih komunikasi risiko,
proses interaktif dari pertukaran informasi dan pendapat di antara individu,
kelompok, dan institusi yang berkenaan dengan risiko.

Dampak suatu kegiatan terhadap perubahan lingkungan hidup yang mendasar dapat
diukur dari beberapa media lingkungan antara lain ialah tanah, air, udara, dsb. Yang
tertuang dalam penjelasan UUPPLH Pasal 15 ayat (2) huruf b meliputi:

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -12


- perubahan iklim;
- kerusakan, kemerosotan, dan/atau kepunahan keanekaragaman hayati;
- peningkatan intensitas dan cakupan wilayah bencana banjir, longsor, kekeringan,
dan/atau kebakaran hutan dan lahan;
- penurunan mutu dan kelimpahan sumber daya alam;
- peningkatan alih fungsi kawasan hutan dan/atau lahan;
- peningkatan jumlah penduduk miskin atau terancamnya keberlanjutan
penghidupan sekelompok masyarakat; dan/atau
- peningkatan risiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia

Manajemen risiko adalah suatu pendekatan terstruktur dalam mengelola


ketidakpastian yang berkaitan dengan ancaman. Risk management dapat dilaksanakan
secara terus menerus dan dipantau secara berkala. Adapun fungsi dari manajemen
resiko adalah untuk:
- Menemukan kerugian potensial
- Mengevaluasi kerugian potensial
- Memilih teknis/cara yang tepat atau menentukan suatu kombinasi dari teknik-
teknik yang tepat guna menanggulangi kerugian

Pemahaman manajemen resiko memungkinkan manajemen untuk terlibat secara


efektif dalam menghadapi ketidakmungkinan dengan risiko dan peluang yang
berhubungan dan meningkatkan kemampuan organisasi untuk memberikan niali
tambah. Menurut COSO ERM (2004), proses manajemen risiko dapat dibagi ke dalam 8
komponen (tahap), dapat dilihat pada gambar berikut:

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -13


Gambar 2.1 Risk management model COSO
Keterangan:
Internal environment (Lingkungan internal)
Cakupan dalam lingkungan internal diantaranya adalah risk management philosophy,
integrity, risk perspective, risk appetite, ethical values, struktur organisasi, dan
pendelegasian wewenang.
Objective settling (Penentuan tujuan)
Tujuan diklasifikasikan menjadi strategic objective dan activity objective.
Event identification (Identifikasi risiko)
Komponen ini berfungsi untuk mengidentifikasi kejadian potensial yang terjadi di
lingkungan internal maupun eksternal yang memperngaruhi strategi atau pencapaian
tujuan yang bisa berdampak positif ataupun negatif.
Risk assessment
Komponen ini menilai sejauh mana dampak dari keadaan dapat mengganggu
pencapaian tujuan. Besarnya dampak dapat diketahui dari inherent dan residual risk,
dan dapat dianalisis dalam dua perspektif yaitu kecendrungan dan besaran
teralisasinya risiko. Penilaian risiko dapat menggunakan dua teknik yaitu :

Qualitative techniques menggunakan beberapa tools seperti self assessment (low,


medium, high), questionnaries, dan internal audit reviews.

Quantitative techniques menghasilkan data berbentuk angka yang diperoleh dari tools
seperti probability based, non probabilistic models, dan benchmarking

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -14


Gambar 2.2 Map and Quantify Risk
Risk response
Control activities
Information and communication
Monitoring

Risiko adalah kombinasi kemungkinan terjadinya bahaya yang ditentukan dan


besarnya konsekuensi dari kejadian. Untuk menghindari terjadinya risiko, diperlukan
penilaian risiko sebagai strategi untuk mengelola dan mitigasi risiko dengan
pengelolaan sumberdaya.
Penilaian terhadap risiko akan bergantung pada persepsi penilai terhadap suatu risiko.
Penilaian bersifat subyektif karena menilai kemungkinan terjadinya suatu kejadian
yang menimbulkan dampak negative, seperti kerugian, cedera, penyakit dan kematian.
Dalam prosesnya, besar nilai risiko dipengaruhi oleh:
- Dimensi kognitif, yaitu seberapa jauh orang mengetahui dan memahami risiko
tersebut, dan dapat menjadi subyektif
- Dimensi emosi, yaitu bagaimana perasaan orang terhadap risiko

Respon orang terhadap risiko pun akan konsisten dengan persepsi mereka
sehinga mempengaruhi perilaku atau tindakan mereka. Dalam analisis risiko perlu
dipahami juga bahwa analisis risiko mengandung ketidakpastian. Hal ini karena
terbatasnya pemahaman, asumsi yang salah atau variabilitas statistic yang
mempengaruhi tingkat kepercayaan terhadap kesimpulan dari analisis risiko. Dengan

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -15


demikian, penilaian risiko bukan suatu ilmu eksakta yang diartikan dengan ‘pasti
terjadi sesuatu’. Namun, lebih kepada besar kemungkinan akan terjadi sesuatu.
Tahapan umum yang digunakan dalam analisis risiko sebagai berikut:
- Formulasikan masalah
- Identifikasi bahaya
- Penilaian Konsekuensi
- Penilaian Probability
- Karakterisasi risiko dan kemungkinan

Dalam suatu pendekatan kajian analisis risiko lingkungan yang berbasis tata
ruang, ketidakpastian muncul akibat adanya aktivitas manusia yang mengubah bentuk
alam. Hal ini dapat menggangu proses alamiah yang secara natural berlangsung
kontinu. Manusia memanfaatkan banyak sumber daya alam untuk kepentingannya.
Seperti air, udara, tanah untuk pertanian dan tempat tinggal, sumber energi dan lain-
lain. Perubahan akibat penggunaan lahan bisa bersifat positif bila daya dukung
ekosistem lebih besar dari demand manusia (positive risk). Bila daya dukung ekosistem
lebih kecil, ditambah dengan adanya polusi dan pengrusakan lingkungan kontinu maka
perubahan akan ke arah negative (negative risk) bagi manusia. Seperti munculnya
bencana longsor, banjir, habisnya SDA, dll. Dalam konsep ini, dikenal istilah hazard
sebagai sumber bahaya, vulbnerability sebagai faktor yang dapat berperan
meningkatkan kemungkinan terjadinya risiko atau memperparah kejadian, serta risiko
akhir. Pemahaman terhadap konsep ini dapat dillihat dalam gambar berikut.

Gambar 2.3 Konsep Analisis Risiko Lingkungan

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -16


Saat ini proses perencanaan jangka pendek atau menengah, yang dirumuskan
dalam RTRW sering tidak sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang
memuat rencana mitigasi lingkungan. Hal ini bisa dipengaruhi oleh tingkat kepahaman
terhadap risiko, terbatasnya informasi terhadap faktor-faktor atau indicator risiko lebih
objektif, belum adanya standardisasi metode, perbedaan kondisi satu daerah dengan
yang lainnya, dll. Dengan demikian, diperlukan pemahaman mengenai karakteristik
risiko-risiko yang ada, seperti faktor penyebab, distribusi spasialnya dan tingkatan
risiko tersebut, sehingga pengambilan keputusan bisa diarahkan dengan lebih tepat
sasaran.
Secara khusus, isu utama tentang manajemen risiko lingkungan harus memiliki
kecenderungan dibidang berikut:
- Pengelolaan limbah dan efisiesi sumber daya alam
- Pencegahan risiko dan adaptasi perubahan iklim
- Pengurangan polusi udara
- Perlindungan tanah dan penggunaan lahan
- Pengelolaan air dan perlindungan terhadap banjir
- Perlindungan keanekaragaman hayati dan bentang alam.
Pemetaan risiko bermanfaat untuk memberikan perbandingan risiko dan kerentanan
masyarakat secara spasial, khususnya terhadap stressor lingkungan. Hal ini dapat
membantu perencanaan tata ruang yang mendukung upaya konservasi lingkungan,
meminimasi dampak negating pembangunan dan meningkatkan layanan ekosistem.
Hasil dari pemetaan risiko ini dapat memperlihatkan daerah yang risiko tinggi, yang
dapat menjadi target prioritas utama untuk perbaikan lingkungan.
Instrumen analisis risiko sangat beragam, karena kembali lagi pada persepsi
risiko dari penilai, kondisi daerah, faktor-faktor penyebab risiko, faktor bahaya dan
faktor kerentanan yang ada di suatu daerah. Secara garis besar, konsep yang digunakan
dalam analisis risiko lingkungan berbasis spasial, seperti pada tabel berikut.

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -17


Tabel 2.1 Pendekatan terhadap Analisis Risiko Lingkungan
Sumber
Bahaya (Hazard) Pendekatan (Approach)
Daya
Flood Risk/Resilience Index, Drought
Banjir, kekeringan, polutan di Risk/Resilience Index, Water Quality
Air air Index
Air Quality Index, CO2
Udara Polutan di udara emission
Tanah Pencemar di tanah, longsor, Soil Quality Index
Kebakaran hutan
Sosial Penyakit Tingkat Insidensi

Salah satu teknik analisis/penilaian risiko lingkungan hidup diantaranya adalah


ERA (Environment Risk Assessment), suatu metode perkiraan kemungkinan atau
probabilitas dampak buruk terhadap lingkungan yang dihasikan dari aktivitas
manusia. ERA telah diterapkan untuk mengevaluasi risiko lingkungan terhadap
ekosistem dan dengan demikian mengidentifikasi peluang untuk mengatur
penggunaan lahan berkelanjutan (Choquette, 2003; Hession, 1995; Neumann, 2014;
USEPA, 1998). Untuk mengintegrasikan beberapa faktor ke dalam ERA, metode
Analytical Hierarchy Process (AHP) (Saaty, 1980) telah digunakan untuk mengevaluasi
kepentingan relatif dari berbagai faktor dengan menetapkan bobot indikator melalui
perbandingan berpasangan (Babaie-Kafaky et al., 2009; Jaiswal et al., 2014; Liu et al.,
2007; Panagopoulos et al., 2012). Bobot yang ditetapkan dapat digunakan dalam
program Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk kombinasi linear tertimbang dari
berbagai faktor dalam bentuk lapisan data spasial (Liu et al., 2007). Teknik GIS telah
diusulkan sebagai pendekatan praktis untuk tugas-tugas yang berkaitan dengan
pengelolaan lingkungan, termasuk ERA dan perencanaan penggunaan lahan (Lahr dan
Kooistra, 2010; Phua dan Minowa, 2005; Youssef et al., 2011). Pendekatan ini memiliki
kapasitas untuk menganalisis informasi spasial secara komprehensif dan
menggambarkan masalah lingkungan dan strategi penggunaan lahan (Collins et al.,
2001; Karaman, 2015; Leman et al., 2016; Malczewski, 2006).

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -18


Gambar 2.4 Skeleton dari DSS

Beberapa contoh instrumentasi yang digunakan untuk menghitung risiko lingkungan


seperti:
1. Flood Risk Index (FRI)
Digunakan untuk menghitung tingkat kerentanan suatu area terhadap banjir. Kalkulasi
nilai risiko dilakukan dengan persamaan Averaged Weight Mean Index berikut.

FRI= Σ𝐼𝑖 𝑥 𝑤𝑖𝑛𝑖=1Σ𝑤𝑖𝑛𝑖


Dengan:
I : nilai indikator
W : bobot indikator
N : jumlah dimensi yang dihitung
Indikator yang digunakan untuk pengukuran ketahanan banjir dapat dilihat pada Tabel
2.2 berikut.

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -19


Tabel 2.2 Indikator untuk Mengukur Ketahanan Banjir
Dimensi Elemen banjir Indikator
Indikator
Alami Pendukung Karakteristik banjir di
setiap dusun di Andir
Pendukung Ruang terbuka hijau
Penghambat Kondisi tanggul di
sepanjang sungai
Penghambat Jumlah rumah dengan
konstruksi tahan banjir
Penghambat Jumlah bangunan
dengan drainase yang
berfungsi secara optimal
Fisik Penghambat Jumlah rumah dengan
fasilitas air bersih yang
dapat diakses pada saat
kejadian banjir
Penghambat Jumlah rumah dengan
fasilitas air limbah yang
dilindungi saat kejadian
banjir
Pemulihan Jumlah responden yang
menerima bantuan saat
kejadian banjir
Tanggap Jumlah responden yang
menerima peringatan
dini banjir
Sosial Pencerminan Jumlah penduduk lokal

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -20


Dimensi Elemen banjir Indikator
Indikator
yang berpartisipasi
dalam penyebaran
inforrmasi untuk
meningkatkan kesadaran
banjir
Ekonomi Pemulihan Kehilangan dan dampak
negatif dari responden
akibat banjir
Institusi Tanggap Jumlah korban
dievakuasi dari area
banjir
Pemulihan Program konservasi dan
pembersihan sungai
yang berkelanjutan

Drought Risk Index (DRI)


DRI mengukur tingkat ketahanan terhadap peristiwa kekeringan dengan berfokus pada
keandalan dan kerentanan pasokan air, yang diwakili oleh tekanan pasokan dan
keragaman pasokan (Gonzales, 2017). Dalam mengukur DRI, indikator kualitatif dan
kuantitatif diintegrasikan dalam tiga faktor penting diantaranya adalah penawaran,
permintaan, dan kapasitas adaptasi.

Analisis Superposisi Spasial Multi Faktor


Analisis ini menggunakan berbagai data spasial yang dijadikan faktor-faktor risiko di
suatu daerah. Tentunya pemilihan indicator disesuaikan dengan aktual bahaya/hazard
yang ditemukan di daerah tersebut. Contoh indicator dan tahapan dalam pelaksanaan
analisis superposisi spasial muktifaktor dijelaskan dalam gambar dan tabel berikut.

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -21


Gambar 2.5 Langkah Analisis Risiko Spasial Multifaktor

Dalam tabel berikut diperlihatkan contoh penialian indikator/faktor yang dapat


digunakan untuk mengevaluasi risiko lingkungan.

Tabel 2.3 Sistem Penilaian Indikator Untuk Mengevaluasi Risiko Lingkungan


Indikator Sub Skor Penilaian
indikator Tidak ada Risiko Risiko Risiko
risiko (1) rendah sedang tinggi (7)
(3) (5)
Topografi Elevasi 0-50 m 50-100 m 100-200 m >200 m
Kemiringan 0-5◦ 5-15◦ 15-25◦ >25◦
Hidrologi Jarak >800 m 400-800 200-400 m 0-200 m
menuju m
badan air
Ekosistem Jarak >5000 m 1000- 500-1000 0-500 m
menuju ke 5000 m m
cadangan
hutan
Jarak >3000 m 2000- 200-2000 0-200 m
menuju ke 3000 m m
cadangan
sumber air

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -22


Penggunaan - Spare land Urban Green Nature
lahan land space reserve
Lalu lintas Jarak >1000 m 500-1000 200-500 m 0-200 m
menuju ke m
jalan
Faktor Daerah Tingkat
koreksi longsor kelas
risiko
sebesar 1
Daerah Tingkat
kapur kelas
risiko
sebesar 1

Dengan bantuan software pemetaan, dapat dihasilkan peta sebagai berikut.

Gambar 2.6 Contoh Peta Spasial Risiko Lingkungan

Dengan adanya peta risiko, dapat menjadi dasar dalam pengambilan keputusan, seperti
area yang risikonya lebih tinggi dapat lebih diutamakan, seperti yang ditunjukan pada
gambar berikut.

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -23


Gambar 2.7 Penggunaan Analisis Risiko dalam Penentuan Tindakan Strategis

Soil Quality Index


Dalam metoda ini dibahas fungsi tanah, indikator kualitas tanah, fungsi pedotransfer,
dan kualitas tanah perkotaan. Soil Quality Indeks menilai kualitas tanah dalam
melaksanakan fungsinya sebagai:
- indeks kualitas tanah (menyatakan kualitas tanah / kesesuaian untuk
penggunaan lahan tertentu)
- indeks kualitas lingkungan tanah (nilai lingkungan tanah) dalam hal
melakukan fungsi ekologis penting dari tanah,
- indeks perubahan penggunaan lahan (penilaian dampak perencanaan
penggunaan lahan terhadap sumber daya tanah).

Prediksi Risiko Lingkungan terhadap Carrying Capacity berdasarkan Risk Entropy


Penghitungan risiko lingkungan ini dilakukan dengan menggunakan model matematis
yang memanfaatkan berbagai teori seperti model genetic projection pursuit, teori difusi
informasi dan metode risk entropy. Data yang diolah berdasarkan pada indicator yang
dipilih, dimana digunakan perspektif ekologi, infrastruktur, sosial dan daya dukung
lingkungan sebagai dasar indikatornya. Hasil penghitungan risiko ditampilkan dalam
bentuk peta GIS, karena analisis menggunakan dasar analisis spasial.

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -24


3. Kinerja Layanan / Jasa Ekosistem
Seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, terdapat banyak teknik atau metode
dalam mengoperasionalisasi konsep daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup,
di antaranya yang sudah disepakati oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan pada forum koordinasi Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion (PPPE)
seluruh Indonesia adalah penggunaan konsep jasa ekosistem (ecosisystem services). Di
banyak negara maju, sudah digunakan metode/pendekatan yang berbasis pada jasa
ekosistem seperti yang dikembangkan pada Millenium Ecosystem Assesment (MEA)
pada tahun 2005.
Jasa ekosistem didefinisikan sebagai barang dan jasa yang disediakan oleh
ekosistem alami yang bermanfaat bagi manusia (Price, 2007 dalam Djajadiningrat et al.
2014). Menurut Daily (2010, dalam Djajadiningrat et al.2014) jasa ekosistem
merupakan kondisi dan proses pada ekosistem alami dan spesies yang membuat
mereka mempertahankan diri dan memenuhi kebutuhan manusia. Menurut Burkhard
et al.(2014) jasa ekosistem merupakan kontribusi dari struktur dan fungsi ekosistem
dalam kombinasi dengan input lain yang bermanfaat untuk mensejahterakan kehidupan
manusia. Dalam pendekatan ini DDDT dilihat dalam konteks “manfaat yang diperoleh
masyarakat dari ekosistem”. Contohnya antara lain meliputi produksi pangan dan obat-
obatan, pengaturan iklim dan penyakit, tersedianya jasa tanah produktif dan air bersih,
perlindungan terhadap bencana alam, peluang untuk rekreasi, terpeliharanya warisan
budaya, dan manfaat spiritual.
Pendekatan jasa ekosistem merupakan konsep perencanaan, pengambilan
keputusan, dan pengelolaan yang komprehensif yang menguraikan “strategi
pengelolaan terpadu tanah, air, dan sumber daya kehidupan yang meningkatkan
konservasi dan pemakaian secara berkelanjutan dan berkeadilan (SCBD, 2014).
Pendekatan ekosistem dibangun atas pemikiran bahwa seluruh ekosistem di dunia
adalah terkait dan tidak satu ekosistem pun dapat berfungsi sebagai satu sistem yang
seluruhnya tertutup. Untuk penilaian DDDT ekosistem, MEA (2005) mendefinisikan
empat kategori dasar jasa ekosistem, yaitu:

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -25


Gambar 3.1 Tipe jasa ekosistem (Sumber: WWF, 2016)

 Jasa Penyediaan (provisioning); menyediakan pangan, air bersih, serat kayu, dan
bahan bakar.
 Jasa Pengaturan (regulating); mengatur tingkat iklim, tata air dan banjir, penyakit,
dan pemurnian air.
 Jasa Budaya (cultural); menyediakan potensi estetika, ekoturisme, dan ruang hidup
 Jasa Pendukung (supporting); mendukung daur ulang unsur hara, pembentukan
tanah, dan produksi primer.

Dalam pendekatan jasa layanan ekosistem mengacu pada kerangka metodologi


Millenium Ecosystem Assessment (MEA) yang digagas oleh World Resources Institute
(WRI), United Nations Environment Programme (UNEP), United Nations Development
Programme (UNDP) dan The World Bank dan kini dijadikan salah satu basis acuan
penyusunan informasi lingkungan hidup untuk kebijakan pembangunan di hampir
semua negara. Secara umum manfaat ekosistem dibagi menjadi kategori nilai guna
(use value) dan nilai bukan guna (non use value) seperti terlihat pada Tabel berikut
(Bishop, 1999).

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -26


Tabel 3.1 Jenis-Jenis Nilai Ekosistem Alami (Sumber : diadaptasi dari Barbier
(1991))

Nilai guna ialah nilai yang timbul dari penggunaan barang dan jasa ekosistem.
Nilai guna meliputi nilai guna langsung (direct use value), nilai guna tidak langsung
(indirect use value) dan nilai pilihan. Nilai guna langsung terdiri dari produk dan jasa
yang langsung disediakan eksositem seperti kayu, rotan, buah-buahan dan obat-
obatan. Nilai guna tak langsung terdiri dari banyak fungsi ekosistem. Nilai ini
mendukung dan melindungi kegiatan ekonomi yang memberikan manfaat pasar secara
langsung. Sebagai contoh dari nilai guna tidak langsung suatu ekosistem ialah berupa
pengendalian sedimentasi dan kerusakan banjir yang mempengaruhi pertanian,
pemancingan, persediaan air dan kegiatan ekonomi ke arah muara (Bishop, 1999).
Nilai pilihan (option value) merupakan nilai guna yang berhubungan dengan kegunaan
suatu ekosistem (hutan tropis) di masa depan. Nilai ini muncul karena masyarakat
memiliki pilihan tentang kegunaan hutan tropis di masa yang akan datang.
Konsekuensinya adalah konservasi hutan, maka tingkat pemanfaatannya akan
berkelanjutan dengan harapan di masa depan mempunyai nilai yang lebih tinggi dalam
lingkup ilmu dan teknologi, pendidikan, serta kegunaan ekonomi lainnya.
Nilai bukan guna (non use value) merupakan nilai yang muncul karena adanya
keinginan masyarakat untuk melindungi hutan tropis sekalipun mereka tidak
menikmati manfaat secara langsung atau tidak langsung dari hasil hutan tropis yang
bersangkutan. Nilai bukan guna sering disebut sebagai nilai eksistensi atau nilai
intrinsik, nilai ini diperoleh dari kesenangan murni terhadap keberadaan suatu barang
tidak berhubungan dengan bermanfaat atau tidaknya barang tersebut.

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -27


Untuk memperoleh nilai jasa ekosistem dapat menggunakan dua penaksiran yaitu
landscape based proxy dan landcover/landused based, yang selanjutnya digunakan
dasar untuk melakukan pemetaan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

3.1 Ekoregion Berbasis Bentang lahan (landscape based proxy)


Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup secara eksplisit mengamanatkan pentingnya penggunaan ekoregion
sebagai azas dalam pengelolaan lingkungan. Sebaliknya dalam UU Penataan Ruang juga
menegaskan pentingnya penggunaan ekoregion sebagai dasar penyusunan tata ruang
wilayah.
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan definisi
ekoregion adalah wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora,
dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan
integritas sistem alam dan lingkungan hidup. Ekoregion adalah bentuk metode
perwilayahan untuk manajemen pembangunan yang mendasarkan pada batasan dan
karakteristik tertentu (deliniasi ruang). Berdasarkan definisi tersebut karaktersitik
yang dapat digunakan sebagai dasar penentuan batas wilayah diantara kesamaan
karakteristik:
- karakteristik bentang alam;
- daerah aliran sungai;
- iklim;
- flora dan fauna;
- sosial budaya;
- ekonomi;
- kelembagaan masyarakat; dan
- hasil inventarisasi lingkungan hidup

Kompleksnya karakteristik lingkungan yang dijadikan sebagai dasar penentuan


wilayah ekoregion menyulitkan proses deliniasi ekoregion. Diperlukan pendekatan
yang lebih praktis untuk penyusunan ekoregion. Widiyanto, dkk, (2008) dalam
tulisannya tentang bentang lahan (landscape) untuk pengenalan fenomena geosfer
pendekatan teknik bentuk lahan (landform). Persamaan antara ekoregion dengan
bentuk lahan tersebut dapat dicermati dari definisi berikut :

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -28


Bentang lahan ialah sebagian ruang permukaan bumi yang terdiri atas sistemsistem,
yang dibentuk oleh interaksi dan interdependensi antara bentuk lahan, batuan, bahan
pelapukan batuan, tanah, air, udara, tumbuh-tumbuhan, hewan, laut tepi pantai, energi
dan manusia dengan segala aktivitasnya yang secara keseluruhan membentuk satu
kesatuan (Surastopo, 1982).
Bentang lahan merupakan bentangan permukaan bumi dengan seluruh fenomenanya,
yang mencakup: bentuk lahan, tanah, vegetasi, dan atribut-atribut yang dipengaruhi
oleh aktivitas manusia (Vink, 1983).
Bentang lahan adalah bentangan permukaan bumi yang di dalamnya terjadi hubungan
saling terkait (interrelationship) dan saling ketergantungan (interdependency) antar
berbagai komponen lingkungan, seperti: udara, air, batuan, tanah, dan flora-fauna,
yang mempengaruhi keberlangsungan kehidupan manusia yang tinggal di dalamnya.
(Verstappen, 1983).
Berdasarkan definisi tersebut karaktersitik yang dapat digunakan sebagai dasar
penentuan bentang lahan diantara kesamaan karakteristik yaitu :
- Geomorfik (G),
- Litologik (L),
- Edafik(E),
- Klimatik (K)
- Hidrologik (H),
- Oseanik (O)
- Biotik (B) flora dan fauna
- Antropogenik (A)

Berdasarkan perbandingan dua pengertian tersebut di atas (ekoregion dan bentang


lahan), maka terdapat kesamaan substansi antara keduanya, oleh karena itu
pendekatan bentang lahan dapat digunakan sebagai teknik penyusunan ekoregion.
Verstappen (1983) telah mengklasifikasikan bentuk lahan berdasarkan genesisnya
menjadi 10 macam bentuk lahan asal proses, yaitu:
- Bentuk lahan asal proses volkanik (V), merupakan kelompok besar satuan bentuk
lahan yang terjadi akibat aktivitas gunung api. Contoh bentuk lahan ini antara lain:
kawah, kerucut gunung api, kaldera, medan lava, lereng kaki, dataran, dataran
fluvial gunung api.

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -29


- Bentuk lahan asal proses struktural (S), merupakan kelompok besar satuan bentuk
lahan yang terjadi akibat pengaruh kuat struktur geologis. Pegunungan lipatan,
pegunungan patahan, perbukitan (monoklinal/homoklinal), kubah, Graben, gawir,
merupakan contoh-contoh untuk bentuk lahan asal struktural.
- Bentuk lahan asal fluvial (F) merupakan kelompok besar satuan bentuk lahan yang
terjadi akibat aktivitas sungai. Dataran alluvial, kerucut alluvial, kipas alluvial,
dataran banjir, rawa belakang, teras sungai, dan tanggul alam, gosong sungai
merupakan contoh-contoh satuan bentuk lahan ini.
- Bentuk lahan asal proses solusional (S) merupakan kelompok besar satuan bentuk
lahan yang terjadi akibat proses pelarutan pada batuan yang mudah larut, seperti
batu gamping dan dolomite karst menara, karst kerucut, doline, uvala, polye, goa
karst, dan logva merupakan contoh-contoh satuan bentuk lahan ini.
- Bentuk lahan asal proses denudasional (D) merupakan kelompok besar satuan
bentuk lahan yang terjadi akibat proses degradasi, seperti longsor dan erosi.
Contoh satuan bentuk lahan ini antara lain: bukit sisa, lembah sungai, peneplain,
dan lahan rusak.
- Bentuk lahan asal proses eolian (E) merupakan kelompok besar satuan bentuk
lahan yang terjadi akibat proses angin. Contoh satuan bentuk lahan ini antara lain:
gumuk pasir barkhan, parallel, parabolik, bintang, lidah, dan transversal.
- Bentuk lahan asal marine (M) merupakan kelompok besar satuan bentuk lahan
yang terjadi akibat proses laut oleh tenaga gelombang, arus, dan pasang-surut.
Contoh satuan bentuk lahan ini antara lain: gisik pantai (beach), bura (spit),
tombolo, laguna, dan beting gisik (beach ridge). Karena kebanyakan sungai dapat
dikatakan bermuara ke laut, maka sering kali terjadi bentuk lahan yang terjadi
akibat kombinasi proses fluvial dan proses marine. Kombinasi kedua proses itu
disebut proses fluvio-marine. Contoh-contoh satuan bentuk lahan yang terjadi
akibat proses fluvio-marine ini antara lain delta dan estuari.
- Bentuk lahan asal glasial (G) merupakan kelompok besar satuan bentuk lahan yang
terjadi akibat proses gerakan es (gletser). Contoh satuan bentuk lahan ini antara
lain lembah menggantung dan marine.
- Bentuk lahan asal organik (O) merupakan kelompok besar satuan bentuk lahan
yang terjadi akibat pengaruh kuat aktivitas organisme (flora dan fauna). Contoh
satuan bentuk lahan ini adalah pantai mangrove, gambut, dan terumbu karang.

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -30


- Bentuk lahan asal antropogenik (A) merupakan kelompok besar satuan bentuk
lahan yang terjadi akibat aktivitas manusia. Waduk, kota, pelabuhan, merupakan
contoh-contoh satuan bentuk lahan hasil proses antropogenik. Gambar berikut
adalah contoh bentang lahan yogyakarta.
Berdasarkan hal tersebut dapat dibuat klasifikasi ekoregion berbasis bentuk lahan
kedalam beberapa kelompok sesuai dengan skala petanya.

3.2 Penutup Lahan (landcover/landused based)


Lahan merupakan bagian dari bentang lahan (landscape) yang mencakup
pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, hidrologi termasuk
keadaan vegetasi alami yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap
penggunaan lahan (Sitorus, 2004).
Landcover atau tutupan lahan merupakan keadaan biofisik dari permukaan bumi
dan lapisan di bawahnya. Land cover menjelaskan keadaan fisik permukaan bumi
sebagai lahan pertanian, gunung atau hutan. Land cover adalah atribut dari permukaan
dan bawah permukaan lahan yang mengandung biota, tanah, topografi, air tanah dan
permukaan, serta struktur manusia. Dalam pembahasan tentang jasa ekosistem, land
cover memiliki posisi penting untuk dibaca dan cerminan potensi dari masing-masing
jenis jasa ekosistem dikarenakan merupakan hasil akhir dari setiap bentuk campur
tangan kegiatan (intervensi) manusia terhadap lahan di permukaan bumi yang bersifat
dinamis dan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup baik material maupun
spiritual (Arsyad, 1989). Landcover budidaya juga bentukan hasil kreasi interaksi
bentang alam dan bentang budaya, sehingga membentuk pola dan cirinya sendiri.

Metodologi
Metodologi yang digunakan untuk menentukan DDDT dalam konteks manfaat yang
diperoleh masyarakat adalah dengan mengetahui kapasitas lingkungan alam dan
sumber daya untuk mendukung kegiatan pembangunan di suatu daerah. Besarnya
kapasitas tersebut dipengaruhi oleh keadaan dan karakteristik sumber daya yang ada di
hamparan ruang yang bersangkutan. Kapasitas lingkungan hidup dan sumber daya akan
menjadi faktor pembatas dalam penentuan pemanfaatan ruang yang sesuai. Analisis
tersebut meliputi penyusunan peta jasa ekosistem perekoregion, penyusunan peta

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -31


status DDLH, penyusunan peta cluster aliran air dan pangan, dan penyusunan peta
tekanan terhadap lingkungan.

Penyusunan Peta Indeks Jasa Ekosistem per Ekoregion


Identifikasi Jasa Ekosistem
Jasa ekosistem dibandingkan tingkat kepentingannya terhadap tiap kelas
ekoregion dan penutup lahan. Hasil perbandingan selanjutnya digunakan untuk
menentukan bobot masing-masing jasa ekosistem.

Penilaian Jasa Ekosistem


Data yang digunakan untuk perhitungan bobot menggunakan metode Pairwise
Comparison ini diperoleh dari hasil pengisian kuisioner oleh beberapa responden.
Adapun kuisioner yang disusun terkait dengan kegiatan penentuan nilai bobot jasa
ekosistem terhadap ekoregion dan penutup/liputan lahan. Responden yang
berpartisipasi dalam pengisian kuisioner ini, antara lain pakar geomorfologi, pakar
kehutanan, pakar biologi, pakar perencanaan wilayah, dan pakar lingkungan.
Kuisioner yang disebarkan ini berisikan tabel-tabel yang menggambarkan
perbandingan skala penilaian jasa ekosistem terhadap setiap kelas penutup lahan dan
ekoregion. Pengisian daftar pertanyaan dilakukan berdasarkan teori dan pengetahuan,
pengamatan dan pengalaman yang dimiliki oleh pengisi kuisioner terhadap kondisi
faktual. Mengingat keragaman fenomena bentang lahan dan penutup lahan di wilayah
pengamatan, maka dilakukan prinsip generalisasi sesuai dengan kedalaman skala
pengamatan. Proses transformasi data dari bentang lahan dan penutup lahan menjadi
nilai jasa ekosistem dilakukan dengan menjawab sejumlah pertanyaan tentang
kepentingan dan peran bentang lahan dan penutup lahan terhadap besar kecilnya nilai
jasa ekosistem atau yang disebut dengan metode expert based valuation. Prinsipnya
adalah perbandingan tingkat kepentingan atau peran jenis-jenis bentang lahan dan
penutup lahan terhadap jenis-jenis jasa ekosistem (prinsip relativitas).

Penentuan Nilai Bobot Jasa Ekosistem


Setelah dilakukan pengisian kuisioner oleh para responden, selanjutnya dilakukan
perhitungan bobot untuk setiap jasa ekosistem pada 2 komponen penentuan daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup berdasarkan hasil kuisioner yang

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -32


diperoleh. Terdapat beberapa prosedur dalam proses perhitungan hasil kuisioner
dengan menggunakan metode Pairwise Comparison, yaitu:
- Membangun matriks pairwise comparison untuk setiap jenis jasa ekosistem,
- Normalisasi matriks pairwise comparison,
- Menghitung nilai rata-rata setiap baris matriks untuk mendapatkan tingkat
kecocokan,
- Menghitung dan mengecek rasio konsistensi atau consistency ratio (CR).
Sebelum membangun matriks pairwise comparison, perlu dilakukan konversi hasil
kuisioner. Pada kuisioner yang ada rentang nilai yaitu antara 0 – 10. Sedangkan hasil
perbandingan setiap jasa ekosistem harus dideskripsikan dalam nilai integer dari 1
(sama-sama penting) hingga 9 (sangat berbeda), dimana semakin tinggi nilai berarti
jasa ekosistem tersebut dianggap jauh lebih penting dibandingkan jasa ekosistem
pembandingnya.
Matriks pairwise comparison dibuat untuk setiap pakar dan setiap jasa ekosistem.
Kemudian untuk keperluan perhitungan nilai bobot tiap jasa ekosistem, dilakukan
perhitungan rata-rata geometrik (geometric mean) dari matriks-matriks semua pakar
pada jasa ekosistem yang dihitung. Rata-rata geometrik adalah rata-rata yang
menunjukkan tendensi sentral atau nilai khas dari sebuah himpunan bilangan dengan
menggunakan produk dari nilai-nilai mereka.
Langkah selanjutnya, melakukan proses normalisasi pada matriks pairwise
comparison. Normalisasi matriks dilakukan dengan menjumlahkan nilai-nilai di setiap
kolom. Setiap nilai pada matriks kemudian dibagi dengan hasil penjumlahan di kolom
masing-masing untuk mendapatkan nilai bobot normal. Jumlah dari setiap kolom yang
sudah dinormalisasi adalah 1.
Selanjutnya dilakukan perhitungan nilai bobot untuk jasa ekosistem terhadap
setiap kelas penutup lahan dan ekoregion. Caranya dengan menjumlahkan nilai di
setiap baris. Nilai total yang didapat menjadi nilai bobot dari jasa ekosistem tersebut
terhadap masing-masing kelas ekoregion atau penutup lahan. Hasil perhitungan nilai
bobot perlu dicek dan dihitung rasio konsistensi nya. Tujuan dari proses ini yaitu
untuk memastikan penilaian yang dilakukan para pakar konsisten. Terdapat 3 langkah
dalam menghitung consistensi ratio:
- Menghitung consistency measure,
- Menghitung consistency index (CI)

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -33


- Menghitung consistency ratio (CI/RI, dimana RI adalah indeks acak)
Secara praktis, nilai CR = 0.1 atau di bawah 0.1 menunjukkan bahwa nilai yang didapat
sudah dapat digunakan. Sedangkan jika nilai CR di atas 0.1, maka penilaian yang
dilakukan perlu diperiksa ulang.
Analisis Spasial Jasa Ekosistem
Analisis spasial jasa ekosistem merupakan proses overlay data spasial dengan nilai
indeks jasa ekosistem. Terdapat dua tahapan dalam analisis ini yaitu:
- analisis data spasial ekoregion dan penutup lahan dengan operasi spasial overlay
(intersect). Metode ini menghasilkan unsur spasial baru dari irisan unsur spasial
ekoregion dan tutupan lahan.
- proses overlay data geospasial dengan nilai indeks jasa ekosistem (JE). Pada proses
ini, nilai indeks JE dari kajian sebelumnya dimasukkan ke dalam tabel atribut dari
data spasial hasil interseksi antara ekoregion dan penutup lahan.

Analisis overlay (intersect) dilakukan menggunakan data ekoregion dan penutup lahan
yang sudah berisi nilai bobot JE. Hasil analisis yaitu berupa data spasial interseksi yang
berisi nilai-nilai bobot JE untuk kedua unit analisis. Data hasil analisis spasial jasa
ekosistem ini kemudian digunakan untuk perhitungan indeks daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup.

Perhitungan Indeks Daya Dukung Lingkungan Hidup


Kapasitas daya dukung lingkungan hidup terhadap jasa ekosistem tertentu
direpresentasikan dalam bentuk indeks daya dukung lingkungan hidup. Indeks daya
dukung LH dihitung dengan melibatkan nilai bobot jasa ekosistem terhadap ekoregion
dan penutup lahan.

IJE=f(ieco, iLC)

Dengan,
IJE : Indeks Jasa Ekosistem,
iec
o : indeks berdasarkan ekoregion, dan
iLC : indeks berdasarkan penutup lahan.

Terdapat 4 (empat) skenario model matematika perhitungan indeks. Skenario model


matematika yang dimaksud di antaranya:

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -34


Pertama, perkalian indeks jasa ekosistem berdasarkan ekoregion dan penutup lahan
(ieco * ilc)
Kedua, setiap indeks berdasarkan ekoregion pada setiap baris dibagi dengan indeks
rata-rata ekoregion, kemudian dikalikan dengan indeks penutup lahan ((ieco ke-n/ieco
rata2)* ilc).
Ketiga, nilai indeks berdasarkan ekoregion dijumlahkan dengan indeks berdasarkan
penutup lahan (ieco + ilc).
Keempat, penjumlahan nilai bobot indeks berdasarkan ekoregion dan penutup lahan
(weco ilc + wec ilc).

Berdasarkan pola distribusi nilai yang dihasilkan oleh keempat skenario, maka dipilih
skenario pertama. Adapun pemilihan skenario model matematika dilakukan dengan
pertimbangan sebagai berikut:
Distribusi nilai lebih baik dan tidak ada satu parameter yang lebih dominan dari
parameter lainnya (seperti pada skenario 3 dan 4).
Perkalian lebih dekat dengan logika hubungan antara ekoregion sebagai pembawa
karakteristik dasar dari suatu bentang lahan dan penutup lahan sebagai cerminan
pemanfaatan bentang alam oleh manusia (sebagai jasa ekosistem).
Skenario kedua memberikan informasi yang sama dengan skenario pertama.
Sedangkan skenario ke 3 dan ke 4 selalu menghasilkan magnifikasi (karena
penambahan) terhadap hasilnya. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka dipilih
skenario pertama, dengan melakukan penyekalaan maka diperoleh perhitungan Indeks
daya dukung LH adalah sebagai berikut:

√IJEeco×IJELC
maks
IJE= (√IJE eco×IJELC)
denga
n,
IJE : Indeks Jasa Ekosistem,
: nilai maksimum dari perhitungan hasil perkalian dan akar
maks terhadap nilai

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -35


Penyusunan Peta Ambang Batas dan Status DDLH
Secara sederhana, ambang batas merupakan suatu tingkatan yang masih dapat
diterima. Dalam konteks lingkungan, ambang batas adalah suatu kondisi saat terjadi
perubahan mendadak dalam kualitas ekosistem, properti atau fenomena, atau saat
perubahan kecil di lingkungan menghasilkan respon yang besar pada ekosistem
(Groffman et al., 2006). Dalam pengembangan wilayah, pendekatan konsep ambang
batas pada daya dukung lingkungan digunakan untuk mempelajari dampak yang terjadi
pada lingkungan akibat pengembangan wilayah dan pertumbuhan penduduk (Muta’ali,
2012).
Daya dukung lingkungan digambarkan melalui perbandingan jumlah sumberdaya yang
dapat dikelola terhadap jumlah konsumsi penduduk (Cloud, (dalam Soerjani, dkk.,
1987)). Perbandingan ini menunjukkan bahwa daya dukung lingkungan berbanding
lurus terhadap jumlah sumber daya lingkungan dan berbanding terbalik dengan jumlah
konsumsi penduduk. Status DDLH diperoleh dari pendekatan kuantitatif melalui
perhitungan selisih dan perbandingan antara ketersediaan dan kebutuhan untuk
masing-masing jasa ekosistem (Norvyani, 2016).
Peta status daya dukung lingkungan hidup Kabupaten/Kota disusun dengan
memanfaatkan sistem grid skala ragam beresolusi 5” x 5” (±150m x 150m). Penggunaan
sistem grid skala ragam ini menjadi suatu pendekatan yang mampu merepresentasikan
DDLH wilayah dalam bentuk informasi spasial, tanpa harus menyamakan skala dari
berbagai jenis data yang tersedia. Sistem grid skala ragam yang digunakan mengacu
pada sistem grid Indonesia berbentuk dasar persegi dengan elemen utama, antara lain
sistem koordinat geodetik dan datum geodetik World Geodetic System 1984 (WGS84);
titik asal sistem koordinat grid, yaitu titik (90° BT, 15° LS); sistem penomoran; dan
resolusi grid (Riqqi, 2011).

Penyusunan Peta Ketersediaan Bahan Pangan dan Air Bersih


Pada tahap perhitungan ketersediaan, data yang digunakan adalah Peta
Distribusi Penduduk dalam sistem grid dan data ekoregion beserta Indeks Jasa
Ekosistem (IJE). Peta Distribusi Penduduk dalam sistem grid dibuat berdasarkan bobot
densitas populasi dalam kelas tutupan lahan dan jalan. Tahapan perhitungan
ketersedian energi bahan pangan dan potensi penyediaan air bersih, meliputi:
Perhitungan IJE tiap grid berdasarkan bobot perbandingan luas dan tutupan lahan.

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -36


Perhitungan IJE tiap kabupaten/kota, yang merupakan penjumlahan nilai IJE untuk
masing-masing jasa ekosistem (penyediaan pangan dan penyediaan air bersih) dari
semua grid dalam masing-masing kabupaten/kota.
Perhitungan energi bahan pangan dan potensi ketersediaan air bersih tiap
kabupaten/kota. Untuk energi bahan pangan, digunakan data produksi bahan pangan
tiap kabupaten/kota. Jenis bahan pangan yang beragam dari tiap kabupaten/kota
disamakan dengan mengonversikan data produksi yang memiliki satuan berat (gram)
menjadi satuan energi (kkal) untuk mendapatkan nilai energi bahan pangan (jenis
bahan pangan dan kandungan kalori terlampir pada Lampiran C). Energi untuk tiap
jenis bahan pangan lalu dijumlahkan berdasarkan kabupaten/kota untuk mendapatkan
nilai energi bahan pangan tiap kabupaten/kota. Sementara itu, untuk jasa ekosistem air,
nilai yang digunakan langsung merupakan potensi ketersediaan air, baik air permukaan
maupun air tanah, per unit spasial wilayah aliran sungai.
Pendistribusian ketersediaan energi bahan pangan dan potensi ketersediaan air
dalam sistem grid, dilakukan dengan terlebih dahulu membandingkan total energi
bahan pangan maupun potensi ketersediaan air kabupaten/kota, terhadap total IJE
masing-masing ekosistem (IJEPBP dan IJEPPA) tiap kabupaten/kota yang sama untuk
menghasilkan energi bahan pangan 1IJEPBP dan potensi ketersediaan air 1IJEPPA. Nilai
1IJE merepresentasikan ketersediaan untuk satu IJE pada kabupaten/kota. Pada
akhirnya, pendistribusian energi bahan pangan dan potensi ketersediaan air dalam
sistem grid dilakukan melalui perkalian IJE masing-masing grid dengan 1IJE pada
kabupaten/kota yang sama. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut
(Barirottutaqiyah, 2015):

total ketersediaan satu


kabupaten/kota
1IJE =
total IJE kabupaten/kota

Pada akhirnya, pendistribusian energi bahan pangan dan potensi air bersih dalam
sistem grid dilakukan melalui perkalian IJE masing-masing grid dengan 1IJE pada
kabupaten/kota yang sama.

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -37


Penyusunan Peta Kebutuhan Bahan Pangan dan Air Bersih
Kebutuhan energi bahan pangan
Kebutuhan energi bahan pangan diperoleh melalui perhitungan Angka Kecukupan
Energi (AKE) penduduk tiap grid selama setahun. AKE merupakan besar kebutuhan
energi bahan pangan suatu individu untuk melakukan pekerjaan atau aktivitas harian
(Hardinsyah, 2012). Barirotuttaqiyah (2015) menggunakan persamaan matematis
berikut, untuk menghitung AKE tiap grid:

KB = Pij × AKE × 365


i
dengan,
KBi : AKE grid ke-i selama setahun (kkal),
: jumlah penduduk grid ke-i di
Pij kabupaten/kota j,
AKE : AKE per kapita (kkal).

Kebutuhan air bersih


Kebutuhan air domestik untuk tiap grid, dihitung dengan mengacu pada Peraturan
Menteri Negara Lingkungan Hidup No.17 Tahun 2009 tentang Pedoman Penentuan
Daya Dukung Lingkungan Hidup dalam Penataan Ruang Wilayah. Persamaan yang
digunakan adalah sebagai berikut:
Selain kebutuhan air domestik, kebutuhan air tutupan lahan juga perlu
diikutsertakan dalam perhitungan kebutuhan air wilayah. Pada penyusunan ini kelas
lahan yang diperhitungkan, meliputi persawahan, perkebunan, kebun campuran, dan
tegalan/ladang. Persamaan yang digunakan untuk menghitung kebutuhan tutupan
lahan untuk penyediaan bahan pangan, mengacu pada rumusan perhitungan
penggunaan air untuk padi per tahun sebagai berikut (Muta’ali, 2012):

Qi = A i × I × q
Qi : jumlah penggunaan air tutupan lahan dalam setahun untuk grid ke-i (m3/tahun),
Ai : luas lahan grid ke-i (hektare),
: intensitas tanaman dalam persen (%) musim per tahun, dan
q : standar penggunaan air (1 liter/detik/hektare),
q : 0,001 m3/detik/ha × 3600 × 24 × 120 hari per musim.

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -38


Total kebutuhan air tiap grid didapatkan dari penjumlahan kebutuhan air domestik
dan tutupan lahan. Berikut ini merupakan rumus total kebutuhan air tiap grid
(Norvyani, 2016):

Ti=Di+Qi
Ti: total kebutuhan air grid ke-i (m3/tahun),
Di : kebutuhan air domestik untuk grid ke-i (m3/tahun), dan
Qi : jumlah penggunaan air untuk tutupan/guna lahan dalam setahun untuk grid ke-i
(m3/tahun).

Penentuan status daya dukung lingkungan hidup berdasarkan jasa ekosistem


pangan dan air
Penentuan status DDLH dilakukan melalui perhitungan ambang batas penduduk.
Ambang batas penduduk diperoleh melalui pembagian ketersedian dengan kebutuhan
energi bahan pangan per kapita per tahun. Ambang batas DDLH dinyatakan dalam
bentuk jumlah penduduk dan ditentukan melalui pendekatan perbandingan
ketersediaan terhadap kebutuhan. Hal ini diturunkan dari pemahaman bahwa ambang
batas DDLH adalah ketika selisih bernilai nol, atau saat ketersediaan sama dengan
kebutuhan. Nilai ambang batas DDLH suatu kabupaten/kota merupakan total dari nilai
ambang batas semua grid masing-masing kabupaten/kota. Persamaan untuk
menentukan ambang batas DDLH berdasarkan jasa ekosistem penyedia bahan pangan
tiap grid adalah sebagai berikut (Norvyani dan Taradini, 2016):
TPij= KHij
AKE x 365
dengan,
TPij : ambang batas DDLH untuk jasa ekosistem penyedia bahan pangan di grid ke- i
kabupaten/kota j (kapita),
KHij : energi bahan pangan pada grid i kabupaten/kota j (kkal), dan
AKE : AKE per kapita (kkal).

Sementara itu, ambang batas DDLH berdasarkan jasa ekosistem penyedia air tiap grid
dihitung melalui persamaan berikut (Norvyani dan Taradini, 2016):
TAij= Wij-Qij
KHL
dengan,

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -39


TAij : ambang batas DDLH untuk jasa ekosistem penyedia bahan pangan di grid ke-i
WAS j (kapita),
Wij : ketersediaan air pada grid i WAS j (m3/tahun),
Qij : jumlah penggunaan air untuk tutupan/guna lahan dalam setahun untuk grid ke-i
WAS j (m3/tahun), dan
KHL : kebutuhan air untuk hidup layak (m3/kapita/tahun).

Status DDLH untuk tiap kabupaten/kota adalah total dari nilai status DDLH semua grid
dari masing-masing kabupaten/kota. Status DDLH tiap grid per kabupaten/kota,
ditentukan oleh selisih antara ambang batas jumlah penduduk dengan jumlah
penduduk pada grid kabupaten/kota yang sama saat ini. Persamaan untuk menentukan
status DDLH per grid adalah sebagai berikut (Norvyani dan Taradini, 2016):
Sij= Tij - Pij
dengan,
Sij : nilai status ambang batas DDLH grid ke-i kabupaten/kota j (kapita),
Tij : ambang batas DDLH untuk jasa ekosistem di grid ke-i kabupaten/kota j (kapita),
Pij : jumlah penduduk grid ke-i di kabupaten/kota j (kapita).

Status DDLH ditentukan berdasarkan nilai status ambang batas yang diperoleh dari
persamaan diatas. Status ambang batas yang bernilai negatif menunjukkan daya dukung
lingkungan hidup di grid tersebut telah melampaui ambang batasnya, dan status
ambang batas yang bernilai positif menunjukkan grid tersebut masih mendukung
kebutuhan pangan ataupun air di wilayah grid tersebut. Untuk memperoleh status per
ekoregion, dilakukan agregasi grid-grid dari ekoregion yang bersangkutan.

4. Efisiensi Pemanfaatan Sumber Daya Alam


Kajian ini mengukur tingkat optimal pemanfaatan sumberdaya alam yang dapat
dijamin keberlanjutannya dengan pendekatan ekonomi/valuasi lingkungan. Secara
harfiah efisien adalah penggunaan sumberdaya secara minimun guna pencapaian hasil
yang optimum. Proses pemanfaatan sumber daya alam berdasarkan prinsip
ekoefisiensi artinya pengelolaan sumberdaya alam yang tidak merusak atau
mengganggu keseimbangan ekosistem yang dilakukan secara efisien serta
mempertimbangkan kelestarian sumber daya alam tersebut.

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -40


Eko-efisiensi dapat diartikan sebagai suatu strategi yang menghasilkan suatu
produk dengan kinerja yang lebih baik, dengan menggunakan sedikit energi dan
sumber daya alam yang diambil. Eko-efisiensi merupkan kombinasi efisiensi ekonomi
dan efisiensi ekologi, dan pada dasarnya “doing more with less”, artinya memproduksi
lebih banyak barang dan jasa dengan lebih sedikit energi dan sumber daya alam
(Environment Australia, 1999). Sehingga dapat disimpulkan bahwa eko-efisiensi
adalah konsep gabungan antara konsep efisiensi ekonomi dan efisiensi ekologi, dimana
penggunaan Sumber Daya Alam seminimal mungkin untuk hasil yang maksimal dan
ekologi tetap terjaga keseimbanganya.
Berdasarkan penjelasan diatas, prinsip eko-efisiensi menjadi penting menjadi
bagian dalam proses perencanaan pembangunan suatu wilayah. Terutama dalam
upaya mensinergikan dan mengintegrasikan suatu kebijakan. Di dalam pemanfaatan
jasa lingkungan, pengelola diharuskan untuk mengintegrasikan biaya-biaya lingkungan
di dalam perhitungan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya, suatu proses yang
diistilahkan sebagai internalisasi dari eksternalitas. Hal ini berdampak pada efisiensi
pemanfaatan lingkungan, yaitu suatu proses di mana suatu organisasi mengoptimalkan
penggunaan sumberdaya dan meminimalisir pengeluaran limbah untuk memelihara
integritas ekosistem. Pemanfaatan lingkungan yang efisien mengoptimalkan berbagai
nilai jasa lingkungan dengan memastikan bahwa trade-off1 antara satu jasa lingkungan
dan jasa lingkungan lainnya dapat dikompensasi dengan baik.
Salah satu pendekatan untuk menghitung nilai lingkungan adalah melalui
pendekatan valuasi ekosistem di dalam kerangka Total Economic Value (TEV). TEV
adalah potensi nilai total dari suatu ekosistem dengan memperhitungkan berbagai
bentuk pemanfaatan dan keberadaan dari ekosistem tersebut. TEV secara umum
dibagi ke dalam dua kategori, yaitu use value (nilai guna) dan non-use value. Nilai guna
dapat bersifat langsung (direct), seperti nilai kayu dari suatu hutan, atau tidak
langsung (indirect), seperti jasa penyediaan air. Nilai pilihan (option value) merupakan
nilai guna yang berhubungan dengan kegunaan suatu ekosistem di masa depan.
Non-use value menunjukkan nilai dari suatu ekosistem yang tidak dimanfaatkan
oleh manusia, yang di antaranya meliputi existence value (nilai dari ekosistem atas
dasar keberadaannya saja) dan bequest value (nilai dari ekosistem sebagai bentuk
warisan untuk generasi yang akan datang). Nilai bukan guna sering disebut sebagai
nilai eksistensi atau nilai intrinsik, nilai ini diperoleh dari kesenangan murni terhadap

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -41


keberadaan suatu barang tidak berhubungan dengan bermanfaat atau tidaknya barang
tersebut.Gambar xx menunjukkan kerangka umum Total Economic Value. Di mana use
value (baik direct maupun indirect) relatif lebih mudah untuk dihitung, sedangkan non-
use value lebih sulit karena tidak ada nilai rujukan di pasar. Salah satu cara untuk
menghitung non-use value adalah menggunakan pendekatan Willingness-to-Pay (WTP).
Pendekatan ini dapat digunakan untuk menghitung nilai dari satwa kunci seperti
badak jawa, yang tidak memiliki nilai pasar sama sekali. Untuk ini, masyarakat diminta
untuk menentukan seberapa besar mereka bersedia mengeluarkan uang untuk
perlindungan dari badak jawa.

Gambar 4.1 Kerangka Total Economic Value (sumber: Grant et al., 2003)

Metode Valuasi Ekosistem


Pendekatan untuk menilai suatu ekosistem dapat dilakukan dengan dua cara, yaiitu
pendekatan penilaian berbasis dolar (Dolar-Based Ecosystem Valuation Methods) dan
penilaian non-moneter (Non-Dolar-Based Ecosystem Valuation Methods). Menurut King
dan Mazzota (2004) pendekatan penilaian berbasis dolar terdiri dari 8 metode, yaitu
sebagai berikut :
- Metode Harga Pasar (Market Price Method)
- Mengukur nilai ekonomi untuk produk dan jasa ekosistem yang diperjualbelikan
di pasar komersil.
- Metode Produktivitas (Productivity Method)
- Menaksir nilai ekonomi untuk produk atau jasa ekosistem yang berperan untuk
produksi barang-barang secara komersial diperjualbelikan

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -42


- Metode Harga Hedonik (Hedonic Pricing Method)

Menaksir nilai ekonomi untuk produk atau jasa ekosistem yang secara langsung
mempengaruhi harga pasar suatu barang. Menurut Djajadiningrat et al.(2014) metode
ini dapat digunakan untuk memperkirakan biaya-biaya atau manfaat ekonomi yang
behubungan dengan mutu lingkungan dan kenyamanan lingkungan
Metode Biaya Perjalanan (Travel Cost Method)
Menaksir nilai nilai ekonomi yang berhubungan dengan ekosistem atau lokasi yang
digunakan untuk rekreasi. Diasumsikan bahwa nilai suatu lokasi dicerminkan dengan
berapa banyak uang yang dikeluarkan orang untuk mengunjungi lokasi tersebut,
sehingga kesediaan orang untuk membayar pada saat mengunjungi lokasi dapat
diperkirakan berdasarkan banyaknya perjalanan dengan perjalanan yang berbeda
(Djajadiningrat et al.(2014).

Metode Menghindarkan Biaya Kerusakan (Damage Cost Avoided), Biaya Penempatan


Kembali (Replecment Cost), dan Metode Biaya Pengganti (Substitute Cost Method)
Menaksir nilai ekonomi ekosistem berdasarkan pada banyaknya biaya menghindarkan
kerusakan sebagai akibat hilangnya jasa ekosistem, banyaknya biaya untuk mengganti
jasa ekosistem, atau banyaknya biaya untuk menyediakan pengganti.

Metode Penilaian Ketidaktentuan (Contingent Valuation Method)


Merupakan suatu teknik ekonomi berdasarkan survey untuk penilaian sumber daya
yang tidak ada pasarnya (non market) di ekosistem tertentu. Metode ini digunakan
untuk menaksir nilai penggunaan tidak langsung ekosistem. Responden ditanya secara
langsung tentang kesediaan untuk membayar jasa ekosistem spesifik berdasarkan
pada skenario hipotesis.

Metode Pilihan Ketidaktentuan (Contingent Choice Method)


Menaksir nilai-nilai ekonomi untuk ekosistem atau jasa ekosistem. Metode ini
berdasarkan pada hasil wawancara dengan reponden tentang jumlah harga yang
responden berikan untuk menghargai suatu ekosistem yang sudah ditetapkan atau
untuk menghargai karakteristik atau jasa ekosistem. Responden tidak secara langsung

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -43


diminta kesediaanya untuk membayar, tetapi nilai ekonomi ekosistem disimpulkan
dari harga yang dikemukakan responden ketika diminta untuk menghargai ekosistem.

Metode Perpindahan Manfaat (Benefit Transfer Method)


Menaksir nilai nilai ekonomi dengan menggunakan hasil studi perkiraan manfaat suatu
ekosistem yang telah dilakukan di suatu tempat atau permasalahan lain.

5. Tingkat Kerentanan dan Kapasitas Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim


Perubahan iklim merupakan implikasi dari pemanasan global yang semakin nyata
dirasakan oleh masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Dampak yang ditimbulkan pun
sudah semakin terasa.
Perubahan iklim telah berdampak pada semakin tingginya intensitas dan jenis bencana
perubahan iklim yang terjadi seperti banjir, rob, kekeringan, angin puting beliung,
ketidakpastian musim, penurunan produktivitas pertanian, serta wabah penyakit. Hal
ini mengakibatkan besarnya kerugian yang dialami masyarakat di perkotaan baik
secara material maupun immaterial. Maka, langkah antisipatif perlu dilakukan dari
sekarang sebelum keadaan semakin memburuk. Maka dari itu, dibutuhkan suatu
perencanaan ketahanan iklim yang dapat dilakukan melalui penyusunan Kajian Risiko
Iklim serta Strategi Ketahanan Kota
Di waktu yang sama, dunia sedang mengalami proses urbanisasi yang pesat. Hasil
laporan dari World Bank menyatakan bahwa populasi perkotaan akan meningkat dari
3,5 miliar penduduk menjadi 5 miliar di tahun 2030, yang mencakup 2/3 dari total
populasi dunia. Fenomena migrasi dari perdesaan ke perkotaan akan lebih banyak
terjadi di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Penduduk miskin
perkotaan merupakan yang paling banyak tinggal di daerah rawan dan memiliki
keterbatasan terhadap sumber daya dalam mengatasi bencana. Oleh karena itu,
penduduk miskin perkotaan akan menjadi pihak yang paling rentan dan dipaksa untuk
mampu beradaptasi dengan dampak perubahan iklim.
Kerentanan sendiri didefinikan sebagai kondisi yang dipengaruhi oleh proses fisik,
sosial, ekonomi dan lingkungan yang dapat meningkatkan resiko terhadap dampak
bahaya (Herawati & Santoso, 2007). Adapun perubahan iklim adalah situasi iklim
global yang mengalami perubahan akibat alam dan antropogenik (intervensi manusia).

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -44


Gejala perubahan iklim menurut indikator klimatis teridentifikasi dalam skala global,
dan bisa jadi tidak teridentifikasi dalam skala lokal (Pawitan, 2010)

5.1 Risiko Lingkungan


Resiko lingkungan dapat didefinisikan sebagai ancaman potensial ataupun
nyata terhadap keanekaragaman hayati dan ekosistem yang diakibatkan oleh emisi,
limbah, ekstraksi sumber daya alam, dan berbagai bentuk lainnya sebagai akibat dari
aktivitas manusia. Resiko lingkungan dilihat sebagai fungsi dari dua faktor, yaitu besar
probabilitas (likelihood) dari eksposur stressor (penyebab tekanan) terhadap
lingkungan dan dampak (consequences) dari tekanan tersebut. Resiko, dalam hal ini
merupakan hasil kali antara probabilitas dan dampak (AS/NZS, 1998).
Meskipun dampak pembangunan terhadap lingkungan telah diakui sejak lama,
mengintegrasikan resiko lingkungan di dalam pembangunan masih merupakan
pendekatan yang relatif baru. Di dalam memahami resiko lingkungan, penting untuk
memahami hubungan-hubungan yang ada di ekosistem serta hubungan antara
ekosistem dan sistem sosial, sehingga konsekuensi dari aktivitas pembangunan
terhadap ekosistem dapat dianalisis dengan jelas, dan sebaliknya. Terdapat beberapa
kerangka analisis resiko lingkungan, meskipun kerangka Driver - Pressure - State -
Impact - Response (DPSIR) merupakan yang cukup umum digunakan (European
Environmental Agency, 1999). Di dalam kerangka DPSIR, aktivitas manusia dilihat
sebagai pendorong (driver) terjadinya tekanan (pressure) terhadap ekosistem, yang
mempengaruhi terjadinya perubahan-perubahan di ekosistem (state) yang pada
akhirnya berdampak pada kehidupan manusia (impact), untuk kemudian ditanggapi
melalui berbagai strategi penanganan resiko (response). Kerangka DPSIR dapat dilihat
dalam hubungan sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 5.1

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -45


Gambar 5.1 Kerangka DPSIR (Sumber: EEA, 1999)

5.2 Perubahan Iklim


Pemanasan global
Pemanasan global merupakan peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi dari
tahun ke tahun. Hal ini berdampak terhadap mencairnya es di kutub utara dan selatan
yang menyebabkan tinggi permukaan laut meningkat sehingga akan menganggu
keseimbangan ekosistem dan semua elemen kehidupan (Hairiah, Rahayu, Suprayogo, &
Prayogo, 2016).
Peningkatan jumlah gas rumah kaca (GRK) di atmosfer merupakan penyebab
utama dari pemanasan global. Menumpuknya jumlah GRK di lapisan atmosfer
mengakibatkan panas akan tersimpan di permukaan bumi yang menyebabkan suhu
rata-rata bumi meningkat tiap tahunnya (UNFCCC, 2006). Ada tiga jenis GRK utama
yang berkontribusi terhadap pemanasan global yaitu karbondioksida (CO2), methane
(CH4), dan dinitrogen oksida (N2O). Di Indonesia, emisi GRK berasal dari konversi
lahan gambut dan alih fungsi hutan menjadi bentuk penggunaan lahan lainnya, industri,
transportasi, pertanian, peternakan, penambangan, dan sebagainya (Hairiah, Rahayu,
Suprayogo, & Prayogo, 2016).
Berdasarkan hasil inventarisasi, GRK nasional menunjukkan tingkat emisi GRK
di tahun 2016 menjadi 1.514.949,8 GgCO2. Hasil tersebut meningkat sebesar 507.219
GgCO2 dibandingkan dengan tingkat emisi tahun 2000 (KLHK, 2017). Untuk emisi GRK
tahun 2016 di Indonesia pada masing-masing sektor adalah sebagai berikut:
- Energi, sebesar 618.581 GgCO2
- Proses industrI dan penggunaan produk, sebesar 49.629 GgCO2

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -46


- Pertanian, sebesar 117.100 GgCO2
- Kehutanan dan kebakaran gambut sebesar 631.725 GgCO2
- Limbah, sebesar 97.915

Kenaikan suhu yang terjadi di bumi berdampak besar bagi iklim dunia yang dikenal
dengan istilah perubahan iklim. Perubahan iklim kini telah dilihat sebagai isu global
yang mungkin menjadi ancaman manusia. Menurut Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan nomor p.7/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2018 perubahan iklim
adalah berubahnya iklim yang diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktivitas
manusia yang menyebabkan perubahan komposisi atmosfir secara global dan selain itu
juga berupa perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang
dapat dibandingkan. Perubahan iklim dapat ditunjukkan oleh beberapa hal diantaranya
peningkatan suhu rata-rata, perubahan rata-rata curah hujan, kenaikan suhu dan tinggi
muka laut (TML), terjadinya pergeseran musim, dan sebagainya (Hairiah, Rahayu,
Suprayogo, & Prayogo, 2016). Berikut merupakan contoh dampak dari perubahan iklim:
- Dampak dari peningkatan suhu bumi dapat meningkatkan konsumsi energi dan
ancaman kelaparan akibat penurunan produksi tanaman, serta meningkatnya
beberapa serangan wabah penyakit seperti malaria, demam berdarah, diare, dan
gangguan pernafasan.
- Dampak dari perubahan curah hujan dapat menyebabkan banjir dan longsor jika
curah hujan meningkat di musim penghujan, sedangkan pada musim kemarau
mengalami kekeringan yang berkepanjangan.
- Dampak dari kenaikan suhu dan TML diantaranya dapat merusak terumbu
karang, berpengaruh terhadap pola migrasi ikan sehingga berdampak besar
terhadap penghasilan nelayan, dan sebagainya.
Indonesia merupakan salah satu negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim
seperti kenaikan muka air laut, kebakaran lahan, dan gangguan di sektor pertanian yang
menimbulkan ancaman ketahanan pangan nasional. Pada tahun 2014 diperoleh hasil
bahwa dari total desa di Indonesia sebanyak 72,34% desa masuk ke dalam kelas
kerentanan sedang (Gambar 5.2)

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -47


Gambar 5.2 Persentase dan jumlah desa berdasarkan kelas kerentanan
perubahan iklim (Sumber: KLHK, 2017)

Dalam rumusan KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) yang wajib


dilakukan oleh Pemerintah Daerah harus memuat tingkat kerentanan dan kapasitas
adaptasi terhadap perubahan iklim. Informasi kerentanan dan resiko perubahan iklim
kini telah dapat didapatkan dari SIDIK hingga satuan unit desa di seluruh Indonesia
yang dapat diakses secara online. Informasi kerentanan tersebut dapat dimanfaatkan
untuk penyusunan rencana adaptasi serta pengurangan resiko dan dampak perubahan
iklim. Sehingga dapat dikatakan bahwa data kerentanan terhadap perubahan iklim
adalah penting dan strategis bagi perumusan kebijakan dan arah pembangunan yang
tepat sasaran, mampu meningkatkan ketahanan dan terutama menurunkan
kerentanan terhadap perubahan iklim itu sendiri (KLHK, 2017).

Adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dan contoh


Berdasarkan dampak perubahan iklim yang telah dijelaskan sebelumnya, maka
upaya adaptasi dan mitigasi menjadi sangat penting dan mendesak untuk dilakukan
guna menghindari bencana dan kerugian yang lebih parah akibat terjadinya perubahan
iklim. Mitigasi adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam upaya menurunkan
tingkat emisi gas rumah kaca sebagai bentuk upaya penanggulangan dampak
perubahan iklim (KLHK, 2017). Salah satu upaya mitigasi perubahan iklim adalah
dengan menyerap CO2 dan menyimpannya dalam tanaman dan tanah baik dalam
ekosistem hutan maupun pertanian dalam jangka waktu yang lama (Hairiah, Rahayu,
Suprayogo, & Prayogo, 2016).

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -48


Adaptasi perubahan iklim merupakan penyesuaian secara alamiah maupun
buatan manusia dalam merespon iklim aktual maupun perkiraan beserta dampaknya
yang dapat menjadi ancaman maupun peluang (Mochamad, 2013). Berikut merupakan
beberapa bentuk adaptasi perubahan iklim yaitu
- Adaptasi proaktif, yaitu adaptasi yang dilakukan sebelum dampak perubahan
iklim teramati.
- Adaptasi otonom, yaitu adaptasi spontan bukan untuk merespon perubahan
iklim, melainkan karena didorong oleh perubahan system ekologis dan akibat
kegiatan ekonomi manusia.
- Adaptasi yang direncanakan, yaitu adaptasi yang dilakukan berdasarkan
kebijakan yang sengaja dibuat untuk merespon perubahan tersebut.
- Adaptasi privat, yaitu adaptasi yang diinisiasi dan dilakukan oleh individu,
rumah tangga, atau pelaku usaha berdasarkan pertimbangan rasional dari
kepentingan pribadi mereka
- Adaptasi publik, yaitu adaptasi yang diinisiasi dan dilaksanakan oleh seluruh
level pemerintah, serta merupakan cerminan dari kebutuhan bersama
- Adaptasi reaktif, yaitu adaptasi yang dilkaukan setelah dampak perubahan iklim
terjadi atau teramati.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengeluarkan


kebijakan mengenai pedoman penyusunan aksi adaptasi perubahan iklim yang
tercantum pada peratuan menteri nomor P.33/Menlhk/Setjen/Kum.1/3/2016.
Peraturan tersebut bertujuan untuk memberikan pedoman bagi pemerintah dan
pemerintah daerah dalam menyusun aksi adaptasi perubahan iklim dan
mengintegrasikan dalam rencana pembangunan suatu wilayah maupun sektor. Dalam
peraturan ini dijelaskan secara lengkap mengenai tahapan penyusunan aksi adaptasi
perubahan iklim yaitu:
a. Identifikasi target cakupan wilayah/sektor spesifik dan masalah dampak
perubahan iklim
b. Penyusunan kajian kerentanan dan risiko iklim
c. Penyusunan pilihan aksi adaptasi perubahan iklim
d. Penetapan prioritas aksi adaptasi perubahan iklim

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -49


e. Pengintegrasian aksi adaptasi perubahan iklim ke dalam kebijakan, rencana,
dan/atau program pembangunan.

Pada tahun 2018, KLHK juga telah mengeluarkan pedoman penentuan aksi
mitigasi perubahan iklim. Ruang lingkup dari pedoman tersebut mencakup aksi
mitigas yang berdampak langsung dan tidak langsung terhadap penurunan emisi yang
disusun menurut beberapa komponen diantaranya:
Aksi mitigasi merupakan bentuk aksi yang dilakukan pada kegiatan pembangunan
berbagai sektor dalam mengurangi emisi GRK. Beberapa sektor tersebut meliputi
energi, kehutanan, pertanian, limbah, serta proses industri dan penggunaan produk
(IPPU).
Kriteria adalah kondisi yang ingin dicapai dari suatu aksi mitigasi peribahan iklim
Indikator adalah komponen yang mengindikasikan pelaksanaan suatu aksi mitigasi
yang ingin dicapai suatu kriteria.
Bukti fisik indikator adalah data atau informasi yang diperlukan untuk memberikan
bukti capaian indikator.
Dalam pedoman aksi mitigasi tersebut juga mencantumkan tahapan proses dalam
menentukan aksi mitigasi perubahan iklim adalah sebagai berikut:
a) Menentukan kegiatan pembangunan ke dalam kategori sektor (energi, IPPU,
limbah, atau lainnya).
b) Memilah kegiatan pembangunan yang tergolong aksi mitigasi perubahan iklim
yang berdampak langsung dan tidak langsung
c) Memastikan kesesuaian antara kegiatan pembangunan dengan yang tercantum
pada pedoman aksi mitigasi yang telah dikeluarkan oleh KLHK.
d) Menentukan kriteria, indicator, dan ketersediaan bukti fisik indicator dari
setiap kegiatan pembangunan

Bagi kegiatan mitigasi perubahan iklim yang belum tercakup dalam pedoman tersebut,
kementerian/lembaga menyusun komponen kegiatan mitigasi, kriteria, indicator, dan
ketersediaan bukti fisik indicator sebagaimana yang dicontohkan dalam pedoman
tersebut.

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -50


Metodologi

Dalam tujuan untuk menilai risiko, klariikasi mengenai konsep umum yang
berhubungan dengan risiko iklim berikut ini dapat membantu untuk memahami
dengan lebih baik terhadap konsep dan aplikasinya:

Gambar 5.3 Konsep Umum Kajian Risiko Iklim (ACCCRN, 2016)

Secara komprehensif, pengembangan framework mengenai kajian risiko iklim (climate


risk assessment) terbagi kedalam 4 tahapan.
- Analisis mengenai perubahan iklim atau analisis iklim kota; analisis ini
menggambarkan fenomena perubahan iklim di kota.
- Analisis bahaya dari dampak perubahan iklim yang dihadapi oleh masyarakat,
- Analisis kerentanan kota,
- Analisis risiko yang merupakan overlay dari hasil tahap kedua dan ketiga.

Penyusunan strategi dan aksi adaptasi untuk merespon dampak perubahan iklim yang
terjadi dalam dokumen selanjutnya yaitu dokumen strategi ketahanan kota/city
resilience strategy (CRS).
Kajian risiko iklim dirancang untuk menganalisis dan membangun pemahaman
mengenai kerentanan terhadap perubahan iklim guna mendukung dan memberi
informasi dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan di suatu kota.
Tujuan utama dari pendekatan kajian risiko iklim adalah untuk menyediakan informasi
mengenai proil, pola, dan perubahan risiko dengan tujuan untuk mendeinisikan
prioritas, memilih alternatif strategi, atau memformulasikan respon strategi baru
(IPCC, 2012).
Kajian risiko iklim distrukturkan sebagai suatu proses identiikasi dan deskripsi
yang terdiri dari dua komponen yaitu bahaya dan kerentanan. Proses ini dimulai
dengan mengumpulkan dan menganalisis data untuk membentuk framework dan
konteks penilaian (assessment), dan juga menilai kondisi kerentanan saat ini. Tahapan
berikutnya adalah melihat kondisi di masa depan; seperti skenario/prediksi di masa

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -51


depan yang berhubungan dengan bagaimana kondisi kerentanan dan risiko iklim
mungkin dapat berubah dari waktu ke waktu. Metodologi untuk menyusun penilaian
ini disimpulkan dalam diagram berikut :

Gambar 5.4 Tahapan Menyusun Kajian Risiko Iklim (ACCRN,2016)

Dengan penjelasan tahapan dalam menyusun kajian risiko iklim sebagai berikut
(ACCCRN, 2016)

Profil Kota
Merupakan gambaran kondisi umum wilayah perkotaan yang dapat dideskripsikan
berdasarkan gambaran kondisi fisik dan lingkungan perkotaan, kondisi sosial
perkotaan, dan kondisi ekonomi perkotaan. Proil kota dapat diperoleh dari dokumen-
dokumen perencanaan pembangunan kota maupun dokumen statistik perkotaan.
Berikut ini merupakan informasi yang dibutuhkan untuk mendeskripsikan profil kota

Informasi umum
Lengkapi informasi spesiik seperti koordinat kota, unit administratif, area, dan
pemetaan dalam skala wilayah dan juga skala kota, sertakan tabel mengenai informasi
dasar mengenai kota. Jelaskan pula mengenai kondisi politik/pemerintahan (seperti
periode pemerintahan kota saat ini) dan batasan administratif kota yang lebih rinci
(jumlah kecamatan, kelurahan, RW, RT, dll)

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -52


Aspek Fisik dan Lingkungan
Meliputi kondisi fisik buatan dan fisik alam dari kota. Profil lingkungan mencakup
deskripsi mengenai sungai utama, topografi, luasan ruang terbuka hijau, serta karakter
fisik alam lainnya. Profil fisik buatan mencakup deskripsi mengenai pelayanan dasar
yang terdapat di kota. Data-data infrastruktur dari PLN, PDAM dan Pekerjaan Umum,
mendeskripsikan cakupan area yang dilayani oleh pelayanan dasar publik di kota.
Informasi tersebut harus bisa mendeskripsikan secara numerik dan visual berapa
banyak penduduk kota yang dapat mengakses pelayanan dasar tersebut dan juga
sebaran geografis penduduk kota. Pelayanan publik meliputi akses terhadap sanitasi,
air bersih, listrik, dan pengelolaan limbah padat. Informasi tersebut disertai dengan
peta yang menggambarkan distribusi dari pelayanan dasar tersebut.

Aspek sosial
Meliputi kondisi demograi, pendidikan, dan kesehatan. Kondisi demograi memberikan
gambaran mengenai populasi saat ini di kota. Jika memungkinkan, disediakan dalam
bentuk tabel dan peta dari jumlah populasi dalam tingkat kelurahan/kecamatan dan
dibuat pertumbuhan rata-rata penduduk dalam kurun waktu 20 tahun terakhir untuk
diproyeksikan dalam 20 hingga 30 tahun yang akan datang. Akses terhadap pendidikan
dan kesehatan juga merupakan hal yang penting untuk mendeskripsikan akses
terhadap pelayanan dasar. Beberapa data yang menarik seperti rata-rata
ketidakhadiran partisipasi sekolah, distribusi daerah yang terkena wabah penyakit, dan
lokasi dari pusat-pusat pelayanan kesehatan dan pendidikan dapat ditampilkan jika
tersedia.

Aspek Ekonomi
Meliputi kondisi ekonomi dan kemiskinan. Profil ekonomi kota menggambarkan sektor-
sektor ekonomi yang berbeda-beda yang berkontribusi terhadap ekonomi kota (dalam
bentuk diagram lingkaran), dan juga mendeskripsikan sektor ekonomi yang paling
berperan besar dalam ekonomi kota. Data yang dapat digunakan untuk
mendeskripsikan kondisi tersebut adalah data PDRB (Pendapatan Domestik Regional
Bruto). Untuk tiga sektor ekonomi utama, jelaskan mengapa sektor tersebut berperan
besar terhadap kota dan jelaskan pula kecenderungannya di masa lalu dan saat ini
apakah meningkat atau menurun. Untuk profil kemiskinan, kumpulkan data mengenai

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -53


jumlah keluarga miskin di kota dan hubungkan data tersebut dengan jumlah keluarga
total di kota untuk mendapatkan proporsi tingkat kemiskinannya. Jika tersedia
informasi mengenai distribusi jumlah keluarga miskin, data tersebut harus dipetakan
untuk menggambarkan konsentrasi daerah miskin. Jelaskan dimana saja daerah-daerah
yang terdapat keluarga miskin di kota
Contoh data profil kota yang dapat digunakan untuk menilai kerentanan kota
diantaranya:
- Peta area kota dengan format dasar GIS (.shp atau yang lainnya)
- Data Potensi Desa
- Data lainnya:
- Data Millennium Development Goals (MDG’s) kota. Target MDG’s tahun 2015 atau
target Sustainable Development Goals (SDG’s) untuk setelah tahun 2015
- Dokumen perencanaan yang berlaku di kota: RPJMD, RTRW, RPJPD, master plan,
dll. Prioritaskan target dan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan hal
tersebut tidak tercapai
- Data Ruang Terbuka Hijau
- Data Provinsi dalam Angka dan data Kabupaten dalam Angka
- Data jumlah pengguna PDAM, cakupan pelayanan (dalam beberapa tahun) dan
rencana penambahan pengguna serta cakupan pelayanannya
- Dan lain-lain

Fenomena Perubahan Iklim


Merupakan analisis kondisi iklim perkotaan di masa kini dan masa yang akan datang
untuk memprediksi bahaya yang akan terjadi jika kondisi iklim berubah. Kondisi iklim
di masa yang akan datang diperoleh dengan melakukan proyeksi iklim.

Kondisi iklim saat ini


Keluaran dari analisis ini dapat berupa grafik yang menjelaskan rata-rata suhu, suhu
maksimum, dan rentang suhu harian yang terjadi di perkotaan saat ini atau dalam
kurun waktu tertentu (misalnya 10 tahun terakhir) berdasarkan data historis yang
tersedia. Data-data yang dikumpulkan dapat diperoleh dari data sekunder yang
terdapat dalam dokumen statistik kota maupun dari data-data atau dokumen BMKG.

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -54


Beberapa data terkait iklim yang dapat menjelaskan kondisi iklim perkotaan yaitu data
jumlah hari hujan per tahun, curah hujan per tahun dan suhu rata-rata per tahun.

Proyeksi iklim
Tahapan pertama adalah menganalisis kecenderungan kondisi iklim dalam skala makro:
di tingkatan regional dan nasional. Kecenderungan perubahan iklim di tingkat regional
untuk Indonesia mengacu pada wilayah Asia Tenggara. Sementara dalam konteks kota,
maka iklim makro mengacu pada kondisi iklim tingkat nasional atau mengacu pada apa
yang terjadi terhadap iklim di Indonesia. Penting untuk memeriksa ketersediaan
sumber data karena kecenderungan perubahan iklim dapat berubah.
Berikut ini beberapa kecenderungan kondisi iklim di tingkat regional berdasarkan data
dari Laporan Penilaian ke-4 IPCC (2007):
- Terjadi peningkatan kejadian iklim ekstrim seperti gelombang panas dan curah
hujan yang tinggi.
- Terjadi peningkatan suhu rata-rata, yang dibuktikan dengan semakin
bertambahnya jumlah siang yang panas dan malam yang hangat dibandingkan
siang dan malam yang dingin diantara tahun 1961 dan 1998.
- Keanekaragaman hayati di tingkat regional terpapar oleh penambahan suhu
rata-rata.
- Keterpaparan terhadap ENSO (El Niño Southern Oscillation), atau dikenal
dengan “El Nino” dan “La Nina”.
- Di Indonesia, perubahan iklim diproyeksikan memberikan dampak:
- Menghangatnya suhu udara yang terus meningkat dari 0.2 ke 0.3oCper dekade.
- Adanya sedikit peningkatan curah hujan tahunan di sebagian besar pulau-pulau
di Indonesia, terutama di bagian utara.
- Terjadi penundaan pergantian musim tahunan hingga 30 hari.

Oleh karena itu perlu untuk merubah fokus kecenderungan iklim ke tingkatan
kota, sehingga bisa menganalisis kecenderungan dan proyeksi iklim di kota. Proyeksi
iklim dapat diperoleh dari data meteorologi untuk kota, seperti curah hujan dan pola
perubahan suhu permukaan dalam 20 hingga 30 tahun terakhir, dan membandingkan
data tersebut dengan model iklim, sehingga kita dapat melihat iklim kota di masa depan
melalui data iklim global di masa depan (downscale).

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -55


Serta sangat penting untuk mendapatkan data historis. Kasus-kasus
pengecualian jika tidak terdapat data historis di kota tersebut, dapat menggunakan
proyeksi iklim tingkat nasional atau regional.
Sebelum membuat proyeksi iklim, beberapa hal yang perlu untuk diketahui yaitu.
a. Model iklim
Model iklim merupakan gambaran dari kejadian iklim yang mencakup berbagai
aspek dari terjadinya iklim tersebut, seperti curah hujan, temperatur, dsb. Model
iklim yang sering digunakan untuk kajian perubahan iklim adalah GCM (Global
Climate Model). Pada dokumen ini, model iklim didapat dari ClimeXP
(www.climex.knmi.com). Model ini menjadi preferensi yang sering digunakan
karena kemudahan akses untuk memperoleh hasil analisis model iklim yang
dibutuhkan (tersedia secara online). Dengan adanya model iklim, kita dapat
meramalkan kondisi iklim di masa depan berdasarkan skenario iklim yang kita
pilih. Skenario tersebut digunakan untuk menganalisis bagaimana
kondisi/aktivitas kehidupan masa kini akan mempengaruhi emisi di masa depan
b. Skenario Iklim – SRES (Special Report on Emissions Scenarios)
SRES merupakan laporan khusus yang dikeluarkan oleh IPCC (Intergovernmental
Panel on Climate Change) pada tahun 2001 untuk mengambarkan berbagai
kemungkinan (skenario) perubahan tingkat emisi yang dapat terjadi di masa
depan. Model-model sirkulasi global seperti GCM (Global Climate Model)
digunakan untuk mengetahui kemungkinan perubahan iklim yang akan terjadi
akibat adanya peningkatan emisi GRK sesuai dengan skenario yang disusun oleh
IPCC.
Dalam SRES, skenario emisi GRK dikelompokkan berdasarkan sistem pembangunan dan
kerjasama yang dikembangkan oleh berbagai negara. Ada dua skenario sistem
pembangunan yaitu A dan B. Skenario A lebih menitikberatkan pada pembangunan
ekonomi, sedangkan skenario B lebih menitikberatkan pada kepentingan kondisi
ekologi atau lingkungan. Kemudian pola kerjasama dikelompokan menjadi dua yaitu
pola 1, kerjasama global berjalan dengan baik sehingga kesenjangan pembangunan
antara negara baik dari sisi teknologi dan lain-lain tidak terlalu signiikan, sedangkan
pola 2 kerjasama lebih bersifat regional. Pada pola 2 ini transfer teknologi, kerjasama
ekonomi dan lainnya antara negara maju dan negara berkembang tidak berjalan baik.

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -56


Jadi secara umum, skenario emisi dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu A1, A2, B1,
dan B2 yang ditunjukkan seperti gambar. Scenario A1 dibagi menjadi tiga berdasarkan
penggunaan teknologi dan bahan bakar fosil. Selain itu ada skenario emisi antara
seperti skenario A1B, yaitu antara skenario A1 dan Skenario yaitu Antara skenario A1.
Namun ada suatu keadaan khusus di mana suatu negara menitikberatkan pembangunan
ekonominya, namun karena adanya alih teknologi yang baik dan penggunaan teknologi
yang ramah lingkungan (rendah emisi, dsb), skenario tersebut adalah skenario A1B.
Maka, skenario yang digunakan untuk analisis dalam dokumen ini adalah skenario A1B,
skenario A2, dan skenario B1.

Gambar 5.5 Skenario SRES (IPCC,2000)

Tabel 5.1 Skenario dalam Proyeksi Iklim Kota

SRES belum mempertimbangkan kebijakan global untuk penurunan emisi gas rumah
kaca. Maka dari itu, dalam IPCC 5th Assessment Report, dikeluarkan skenario baru,
yaitu RCP (Representative Concentration Pathways). RCP merupakan skenario yang
sudah mempertimbangkan target global agar perubahan iklim yang terjadi tidak
melebihi suhu 2°C.

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -57


Tahapan Proyeksi Iklim
Penetapan Peluang Kejadian Iklim dari Pengolahan Data Historis
Untuk mengetahui tinggi hujan yang dapat menimbulkan bencana, maka diperlukan
informasi tentang kejadian bencana, baik waktu terjadi maupun intensitasnya. Dengan
analisis statistik akan dapat ditetapkan pada kondisi iklim yang seperti apa bencana
iklim biasanya terjadi. Misalkan diketahui bahwa hari-hari dimana banjir besar terjadi
pada bulan dengan curah hujan wilayah di atas 300 mm. Apabila dari data seri 30 tahun
kita mendapatkan hujan bulanan yang tingginya di atas 300 mm terjadi 3 kali, maka
dapat dikatakan bahwa periode ulang terjadinya ialah sekali dalam 10 tahun atau
peluangnya 0.1 (3/30). Dengan deinisi ini, apabila peluang terjadinya (P) suatu kejadian
becana iklim 0.2, maka periode ulang dihitung dengan cara 1/P atu 1/0.2 = 5. Jadi
artinya becana tersebut biasanya terjadi lima tahun sekali atau bisa juga disebut
bencana iklim dengan siklus 5 tahunan (Tabel 2.32Untuk menentukan periode ulang
atau peluang terjadinya kejadian iklim ekstrim yang dapat menimbulkan bencana,
diperlukan data historis yang panjang. Semakin panjang rentang data historis maka
akan semakin handal hasil analisis yang dihasilkan. Menurut WMO (World
Meteorological Organization), panjang data ideal untuk analisis peluang ialah 30 tahun.

Tabel 5.2 Hubungan Nilai Peluang dan Periode Ulang Kejadian Iklim

Dalam kajian ini, analisis penetapan tinggi hujan yang dapat menimbulkan
bencana tidak dilakukan. Namun digunakan asumsi, bahwa tinggi hujan yang periode
ulang 5 dan 10 tahun sekali akan menimbulkan bencana iklim sedang dan besar. Untuk
mendapatkan tinggi hujan dengan peluang kejadian seperti Tabel di atas, dilakukan
dengan cara mengurutkan data historis dari nilai yang terbesar sampai nilai terkecil.
Tinggi hujan terendah dengan peluang ulang kejadian sekali lima tahun (20%) akan
berada pada urutan data yang ke 0,2 x 30 = 6 dari nilai terbesar, sedangkan yang
periode ulang kejadian sekali 10 tahun akan berada pada urutan data ke 0,1 x 30 = 3

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -58


dari nilai terbesar. Karena data diurut dari terbesar sampai terkecil, maka data tinggi
hujan ini merupakan tinggi hujan yang dapat menimbulkan banjir sedang dan besar.
Untuk mendapatkan tinggi hujan yang menimbulkan bencana kekeringan, maka
peluang yang digunakan ialah nilai peluang sebaliknya yaitu 1,0 – 0,2 = 0,8 dan 1,0 –
0,1 = 0,9. Artinya, tinggi hujan yangakan menimbulkan bencana kekeringan sedang dan
berat akan berada pada urutan data ke 0,8 x 30 = 24 dan 0,9 x 30 = 27 dari yang
terbesar (dari atas). Nilai hujan yang diperoleh tersebut dapat didefinisikan sebagai
tinggi hujan batas kritis yang berpotensi menimbulkan bencana iklim.
Perhitungan peluang kejadian iklim ekstrim dari data proyeksi (KMNI-GCM).
Untuk mendapatkan peluang kejadian bencana masa depan, diperlukan data iklim
proyeksi yang dapat diperoleh dari model-model iklim yang dijalankan dengan
menggunakan berbagai skenario emisi yang dijelaskan pada sub-bab sebelumnya.
Dalam kajian ini digunakan skenario emisi A1B, B1 dan A2 yang merepresentasikan
skenario emisi sedang, rendah dan tinggi. Data proyeksi iklim dari ke tiga skenario
diperoleh dari situs www.climexp.knmi.nl. Data yang tersedia di situs ialah data
proyeksi tahun 2011 sampai 2050 (data 40 tahun).
Misalkan dari hasil analisis kejadian iklim ekstrim dari data historis, tinggi
hujan dengan peluang 0,2 ialah 200 mm. Dengan menggunakan data iklim proyeksi
hasil download, ditetapkan besar peluang terjadinya kejadian iklim ekstrim. Untuk
analisis ini periode masa depan yang dianalisis ialah untukperiode 2011-2030 dan
2031-2050. Analisis dilakukan dengan cara mengurutkan kembali data proyeksi iklim
dari nilai terbesar sampai terkecil. Dari urutan data tersebut, tentukan pada urutan ke
berapa tinggi hujan dengan nilai minimal 200 mm. Apabila berada pada urutan ke 5,
maka artinya peluang terjadinya ialah 5/20 = 0,4. Dengan demikian pada masa depan
peluang terjadinya hujan yang melewati 200 mm meningkat dari 0,2 menjadi 0,4.
Dengan kata lain, frekuensi terjadinya hujan dengan tinggi hujan minimal 200 mm
menjadi lebih sering, yaitu dari frekuensi lima tahun sekali menjadi 2-3 tahun sekali.
Tren kejadian bencana : Membandingkan hasil pengolahan data observasi dan
proyeksi
Untuk menilai apakah frekuensi kejadian iklim ekstrim meningkat atau
menurun di masa depan, kita tidak bisa hanya mengandalkan hasil dari satu model.
Dibutuhkan banyak model karena setiap model memiliki ketidakpastian (tidak pasti
benar). Apabila digunakan banyak model dan sebagian besar dari model menyatakan

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -59


bahwa peluang kejadian bencana meningkat di masa depan, maka semakin besar
tingkat kepercayaan bahwa hal itu akan terjadi. Misalkan kita menggunakan 10 model,
dan 7 model mengatakan bahwa peluang terjadinya bencana iklim meningkat, maka
tingkat kepastian bahwa hal itu akan terjadi tinggi yaitu sekitar 7/10 x 100% = 70%.
Contoh analisis tren kejadian bencana akibat perubahan iklim disajikan pada Tabel.
Langkah terakhir adalah dengan menghitung peluang terjadinya bencana. Peluang
terjadinya bencana dapat dihitung dengan membagi jumlah model yang memiliki tren
kejadian bencana positif dengan total jumlah model yang digunakan untuk setiap
skenario.
Tabel 5.3 Contoh Tampilan Hasil Pengolahan Data per Skenario

Menghitung peluang terjadinya iklim ekstrim


Berdasarkan data hasil analisis tren kejadian bencana (Tabel), ditentukan dari hasil
perhitunganpeluang kejadian iklim ekstrim di atas, maka hasilnya dapat dikategorikan
dengan melihat matriks berikut

Tabel 5.4 Matriks Peluang Terjadinya Iklim Ekstrim

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -60


5.3 Analisis Bahaya
Pada tahap ini mengidentiikasi bahaya iklim (langsung maupun tidak langsung) yang
terjadi di perkotaan berdasarkan karakter, besaran, dan dampaknya di masa kini dan
masa yang akan datang dengan mengacu pada historis terjadinya bencana.
Untuk melakukan analisis bahaya dalam kajian risiko perubahan iklim ada dua opsi.
Opsi pertama untuk perumusan bahaya adalah dengan menggunakan data sekunder
peta bencana dari instansi yang memiliki kewenangan untuk menerbitkan peta
tersebut; yang penyusunannya menggunakan proses dan prosedur tersendiri
berdasarkan kriteria dan parameter berbeda untuk tiap bahaya bencana. Apabila opsi
pertama tidak tersedia maka opsi kedua adalah dengan melakukan analisis bahaya
secara kualitatif dengan mengumpulkan data primer.

Tahapan Analisis Bahaya


Seperti yang disebutkan sebelumnya. Langkah ini dilakukan jika opsi pertama
(ketersediaan peta bencana) sebelumnya tidak ada. Analisis bahaya kualitatif mengacu
pada data historis terjadinya bahaya atau berdasarkan hasil survey primer dengan
masyarakat setempat. Keluaran dari analisis bahaya kualitatif pada dokumen ini adalah
tingkat bahaya gabungan yang didapat dari matriks bahaya per bencana untuk tiap
kelurahan. Berikut merupakan langkah-langkah untuk melakukan analisis bahaya
secara kualitatif:
Identifikasi Bahaya
Identiikasi bahaya iklim yang pernah terjadi pada kota dalam 20 tahun terakhir. Tujuan
dari tahapan pertama ini adalah untuk mengungkapkan peristiwa bahaya iklim yang
pernah terjadi di kota, untuk digunakan sebagai kemungkinan terjadinya bahaya
tersebut di masa datang. Pengumpulan data dapat melalui kajian historis dokumen
(laporan dokumen pemerintah, liputan media), FGD, wawancara, atau kuesioner. Untuk
menampilkan hasilnya, buatlah dalam bentuk tabel yang mendata bahaya- bahaya yang
pernah terjadi, area mana saja yang terdampak, penduduk/komunitas mana yang
terdampak (kelompok lansia, etnis minoritas, anak-anak, dll) beserta populasi
terdampak, bagaimana cara mereka terdampak, kurun waktu terjadinya, dampaknya
terhadap sistem perkotaan. Sebaiknya mencantumkan informasi sumber atau
stakeholder yang mengusulkan bahaya yang diidentfiikasi agar mempermudah
menindaklanjuti pengumpulan informasi atau klarifikasi mengenai bahaya tersebut

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -61


Matriks Bahaya : Kemungkinan terjadinya dan Konsekuensi yang ditimbulkan
Setelah mendapatkan deskripsi mengenai bahaya di setiap kelurahan (atau
menyesuaikan batasan administrasi yang disepakati), kemudian kita dapat menentukan
tingkatan dari setiap bahaya dengan metode matriks. Matriks bahaya dibentuk dari dua
komponen yaitu (1) kemungkinan terjadinya bahaya; dan (2) konsekuensi yang
ditimbulkan dengan skala sesuai kebutuhan. Berikut ini merupakan formula untuk
menentukan skala konsekuensi, skala kemungkinan, dan tingkatan bahaya. Formula
dapat dimodiikasi oleh tim kajian risiko iklim bergantung pada jenis-jenis bahayanya.
Skala Kemungkinan
Merupakan peluang terjadinya suatu bahaya akibat perubahan iklim dengan
menimbang perkiraan perubahan variabel iklim terjadi.

Tabel 5.5 Skala Kemungkinan Bahaya

Skala Konsekuensi
Konsekuensi yang dimaksud adalah besarnya kerusakan yang disebabkan suatu
kejadian (bahaya, bencana dan non-bencana) akibat perubahan iklim terhadap kota,
khususnya terhadap kapasitas adaptif pemerintah kota dalam menghadapi perubahan
iklim. Skala konsekuensi dapat dibagi menjadi tiga, yaitu tidak nyata, menengah, luar
biasa (katastropik).
Tabel 5.6 Penentuan Skala Konsekuensi Bahaya

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -62


Penentuan Tingkat Bahaya
Dengan memperhatikan hasil dari skala kemungkinan dan skala konsekuensi maka
dapat diketahui seberapa besar ancaman suatu bencana terhadap kota. Kajian risiko
untuk dampak perubahan iklim akan menggunakan metode kualitatif dengan alat
berupa matriks bahaya; dimana tingkat bahaya merupakan kombinasi antara tingkat
kemungkinan dan konsekuensi dengan dasar penilaian seperti tercantum dalam
matriks berikut.

Tabel 5.7 Matriks Penentuan Tingkat Bahaya

Skor Bahaya : Konversi tingkatan bahaya ke dalam Skoring


Skor bahaya dinilai berdasarkan kategori bahaya yang didapat dari matriks bahaya.
Tiap kelurahan/wilayah akan memiliki beberapa bahaya dengan kategori bahaya yang
berbeda-beda. Kategori tersebut perlu dikonversi menjadi suatu nilai untuk proses
selanjutnya.
Nilai yang ditentukan untuk tiap kategori adalah sebagai berikut: (SB) Sangat Bahaya =
5; (B) Bahaya = 4; (AB) Agak Bahaya = 3; (KB) Kurang Bahaya = 2; (TB) Tidak Bahaya =
1.
Buatlah tabel dengan kolom pertama merupakan nama Kelurahan/wilayah dan kolom
lainnya diisi dengan jenis-jenis bahaya atau bencana yang terjadi di kota. Tabel tersebut
kemudian diisi dengan skor dari 1 – 5 (mengacu pada nilai yang disebutkan di atas)
untuk setiap bahaya dari setiap kelurahan. Jika dijumlahkan, maka akan terlihat
kelurahan mana yang paling terpapar dari bahaya.
Tim kota juga dapat memberikan pembobotan terhadap setiap bahaya sebelum skor
total dijumlahkan. Jika tim kota ingin memprioritaskan bahaya tertentu, contohnya
banjir karena lebih memberikan dampak yang besar dibanding bahaya lainnya, maka
bahaya banjir dikalikan dengan bobot yang diberikan lebih besar dibandingkan bobot
dari bahaya lainnya.

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -63


Tabel 5.8 Contoh Skoring Bahaya
Kelurahan Banjir Kekeringan Longsor Jumlah
Skoring
Kebon Jeruk 1 2 4 7
Arjasari 2 4 2 8
Campaka 5 3 1 9

Tingkat bahaya gabungan


Tingkat bahaya gabungan dihitung dari total skor bahaya-bahaya untuk tiap kelurahan/
wilayah. Berdasarkan total nilai tersebut pada akhirnya dilakukan kategorisasi tingkat
bahaya gabungan. Kategorisasi tingkat bahaya gabungan merujuk pada rentang yang
dibagi menjadi lima kategori.

Analis Kerentanan
Merupakan gambaran kondisi internal perkotaan dalam menghadapi dampak
perubahan iklim. Penilaian kerentanan dilakukan menggunakan rumusan IPCC
(Intergovernmental Panel on Climate Change) bahwa kerentanan merupakan fungsi
dari singkapan (Exposure), sensitivitas (Sensitivity) dan kapasitas adaptif (Adaptive
Capacity). Singkapan merupakan derajat (seberapa jauh) suatu sistem (sosial dan
ekosistem) secara alamiah rentan terhadap perubahan iklim. Sensitivitas merupakan
tingkat suatu sistem terkena dampak sebagai akibat dari semua elemen perubahan
iklim, termasuk karakteristik iklim rata - rata, variabilitas iklim, dan frekuensi serta
besaran ekstrim. Kapasitas adaptif merupakan kemampuan satu sistem untuk
menanggulangi konsekuensi dari perubahan atau menyesuaikan diri pada perubahan
iklim, mengurangi potensi kerusakan, atau mengambil keuntungan dari perubahan
iklim tersebut.

Tahapan Analisis Kerentanan


Identifikasi dan Kategorisasi Indikator
Untuk melihat tingkat kerentanan suatu kota diperlukan data-data kondisi sosial-
biofisik yang mewakili keterpaparan, sensitivitas dan kapasitas adaptasi kota tersebut.
Indikator dipilih dengan mempertimbangkan ketersediaan, kontinuitas, dan relevansi
dari datanya dalam mendeskripsikan tingkat ketiga komponen kerentanan di atas.

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -64


Indikator pada kajian kerentanan kota dapat ditentukan berdasarkan justifikasi para
ahli yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di kota. Indikator juga harus
merupakan data yang dinamis (time series), sehingga dapat diukur perubahannya dari
waktu ke waktu terlebih dibutuhkan saat meninjau ulang atau memperbaharui kajian
kerentanan di masa depan.
Seperti yang sempat disebutkan sebelumnya, data-data yang dibutuhkan dapat
diperoleh dari instansi-instansi pemerintah atau dari dokumen potensi desa yang
diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Semua data yang telah diperoleh
digunakan sebagai masukan untuk menentukan indikator kota. Beberapa contoh dari
indikator diantaranya seperti jumlah populasi, tingkat pengangguran, tingkat
kemiskinan, dan kapasitas pendidikan.
Pengkategorisasian indikator-indikator akan menyederhanakan proses
penghitungan. Komponen keterpaparan dan sensitiitas berkaitan dengan tingkat
kerentanan; semakin tinggi tingkat kedua komponen ini, maka semakin tinggi pula
tingkat kerentanannya. Sebaliknya, semakin tinggi tingkat kapasitas adaptif maka
semakin rendah tingkat kerentanannya. Dalam mendefinisikan setiap indikator
termasuk ke dalam komponen keterpaparan, sensitifitas, atau kapasitas adaptif,
bergantung pada karakteristik dari indikator tersebut di kota anda. Tidak ada aturan
baku untuk mengidentifikasi indikator termasuk ke dalam komponen keterpaparan,
sensitiitas, atau kapasitas adaptif, karena setiap indikator dapat diinterpretasikan
berbeda dalam kota yang berbeda.
Pengolahan Data
Terdapat berbagai cara untuk pengolahan data yang digunakan sebagai indikator
karena bergantung dari jenis data yang tersedia. Terdapat dua metode yang berbeda
untuk mengolah data yaitu menghitung nilai rasio dan memberikan skoring; (1)
Menghitung nilai rasio untuk indikator, dengan membagi nilai dari indikator dengan
jumlah total nilainya. Sebagai contoh, untuk menemukan nilai rasio dari keluarga
miskin dihitung dengan cara jumlah keluarga miskin dibagi jumlah keluarga
keseluruhan. Nilai rasionya berkisar dalam rentang 0 – 1; (2) Memberi skor untuk
indikator, gunakan skor 1 untuk nilai tertinggi dan 0 untuk nilai terendah.

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -65


Sebagai contoh, jika indikator yang digunakan adalah kondisi permukaan jalan, berikan
skor 1 untuk jalan dengan kualitas terbaik, aspal = 1, semen = 0.75, dan tanah = 0.5.
Jika di suatu daerah didominasi oleh jalan tanah, maka nilai dari indikator permukaan
jalan di daerah tersebut bernilai 0.5.

Normalisasi
Setiap indikator perlu untuk dinormalisasi jika nilai rasionya lebih besar dari 1
dan lebih rendah dari 0. Hal ini diperlukan agar dapat dibandingkan dengan indikator
lainnya. Normalisasi perlu dilakukan sebelum tahapan pembobotan. Untuk
memperoleh data yang telah dinormalisasi, kita harus membagi setiap data yang
terdapat dalam satu indikator dengan nilai maksimum dari indikator tersebut.
Pembobotan
Setelah menyusun indikator-indikator yang telah dinormalisasikan, diperlukan
proses pembobotan untuk membandingkan satu indikator dengan indikator lainnya.
Setiap kota mungkin dapat memberikan pembobotan yang berbeda-beda karena
memiliki prioritas yang berbeda pula. Sebagai contoh, sektor pertanian untuk suatu
kota lebih rendah prioritasnya dibandingkan sektor penyediaan air sehingga memiliki
nilai pembobotan yang lebih rendah. Hal ini mungkin dapat berbeda dengan kota lain.
Jumlah dari total seluruh pembobotan dalam seluruh indikator harus sama dengan 1
(satu). Terdapat beberapa cara untuk menentukan pembobotan dari setiap indikator
tersebut diantaranya; (1) Expert judgement, keputusan/saran dari tenaga ahli (orang
yang paling memahami kondisi kota) atau; (2) Metode Rangking, keputusan
pembobotan indikator ditentukan berdasarkan ketersediaan data, kondisi masa lalu
dan proyeksi masa depan tentang kejadian bahaya. Nilai indikator yang sudah
dikalikan dengan nilai pembobotannya disebut dengan indikator yang dibobotkan
Jumlah dari indikator yang sudah dinormalisasi dan dibobotkan akan menjadi Indeks
Keterpaparan dan Sensitiitas (IKS) dan Indeks Kapasitas Adaptif (IKA)
Penentuan Kuadran
Setelah melakukan perhitungan indikator untuk masing-masing Indeks
Keterpaparan dan Sensitiitas (IKS) dan Indeks Kapasitas Adaptif (IKA), maka akan
diperoleh nilai IKS dan IKA untuk masing-masing kelurahan (menyesuaikan dengan
tingkat administrasi yang disepakati). Nilai IKS dan IKA dikalikan dengan bobot
masing-masing indikator dan dinormalisasi untuk mendapatkan indeks IKS dan IKA

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -66


pada rentang 0 – 1. Setelah itu, kedua indeks dikombinasikan untuk menentukan posisi
kelurahan dalam kuadran mengikuti ketentuan sebagai berikut.

Tabel 5.9 Kategori Tingkat Kerentanan berdasarkan Nilai IKS dan IKA
(CCROM,2008)

Anomali ialah deviasi dari nilai rata-rata. Nilai rata adalah 0,5. Misalnya nilai IKS
sebesar 0,1 untuk menghitung Ano IKS adalah 0,1 – 0,5 ; maka nilai Ano IKS adalah -
0,4.
Kuadran 1 = Tingkat keterpaparan dan sensitivitas rendah; kapasitas adaptasi tinggi.
Kuadran 2 = Tingkat keterpaparan dan sensitivitas tinggi; kapasitas adaptasi tinggi.
Kuadran 3 = Tingkat keterpaparan dan sensitivitas; kapasitas adaptasi menengah.
Kuadran 4 = Tingkat keterpaparan dan sensitivitas rendah; kapasitas adaptasi rendah.
Kuadran 5 = Tingkat keterpaparan dan sensitivitas tinggi; kapasitas adaptasi rendah.

Gambar 5.6 Posisi Kuadran Tingkat Kerentanan

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -67


Analisis Risiko
Risiko merupakan hasil overlay antara bahaya dan kerentanan (Affeltranger et al.,
2006). Maka, pada tahap ini dilakukan overlay dari hasil analisis pada langkah C dan
langkah D.
Kerangka kajian risiko menurut Wisner (2004) dapat dinotasikan sebagai berikut
(Jones et al., 2004).

Risiko merupakan produk dari tingkat ancaman/bahaya (H) dan kerentanan (V).
Analisis ini diperlukan untuk mendapatkan informasi mengenai tingkat risiko bagi
masing-masing sektor rentan, kemungkinan risiko tersebut terjadi, dan seberapa besar
dampaknya terhadap sistem kota

Gambar 5.7 Konsep Risiko Iklim

Analisis Risiko Iklim saat ini


Untuk memperoleh analisis risiko iklim saat ini, tidak perlu melakukan pengumpulan
data lagi, karena analisisnya hanya menggunakan keluaran yang sudah ada, yaitu dari
yang telah dilakukan sebelumnya. Analisis risiko ini merupakan overlay antara analisis
bahaya dan kerentanan. Metode yang dilakukan untuk melakukan overlay pada
dokumen ini ialah metode matriks risiko. Berikut merupakan matriks yang digunakan
untuk melakukan overlay.

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -68


Tabel 5.10 Matriks Penentuan Tingkat Risiko

Dengan, kategori risiko yaitu SST = Sangat Sangat Tinggi; ST = Sangat Tinggi; T = Tinggi;
S = Sedang; R = Rendah; SR = Sangat Rendah; SSR = Sangat Sangat Rendah
Kajian risiko kota perubahan iklim juga harus disinkronkan dengan penanggulangan
bencana dalam bingkai adaptasi perubahan iklim. Di sini dibutuhkan adanya
pemahaman yang utuh antara kedua hal tersebut untuk mengidentiikasi praktik
pengurangan risiko dan dampak bencana dalam kerangka adaptasi perubahan iklim.
Hal tersebut merupakan hal yang coba disampaikan juga oleh IPCC (2012) dalam
dokumen special report.

Analisis Risiko Iklim Di Masa Depan


Analisis risiko dibentuk dari dua komponen, kerentanan dan bahaya di masa depan.
Hasil dari analisis ini adalah untuk menggambarkan risiko iklim di masa depan dalam
skala kota.
Menilai Kerentanan di Masa Depan
Langkah-langkah untuk menghitung kerentanan di masa mendatang sama dengan
menghitung kerentanan saat ini, namun data yang digunakan haruslah data yang
diproyeksikan untuk tahun tertentu di masa mendatang yang telah ditentukan.
Misalnya ingin menganalisis untuk tahun 2020, maka data populasi diproyeksikan
untuk tahun tersebut, begitu juga dengan jumlah fasilitas pendidikan, kesehatan, dan
sebagainya. Data-data proyeksi ini dapat dilakukan oleh tim sendiri, ataupun bisa
mengambil data dari Rencana Tata Ruang Wilayah Kota. Namun, jika kesulitan untuk
memproyeksikan data dan terpaksa, maka kita dapat menggunakan data saat ini dengan
menyepakati asumsi bahwa tidak ada perubahan yang terjadi di kota.

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -69


Menilai Bahaya di Masa Depan
Perhitungan bahaya di masa mendatang cukup rumit. Pada bagian ini kita akan
menggunakan hasil dari bagian sebelumnya, yang merupakan probabilitas iklim yang
ekstrim. Probabilitas iklim yang ekstrim membantu kita untuk memprediksi bahaya
banjir dan kekeringan di masa depan dalam skala kota. Untuk bahaya lain, berbagai
metode lain dapat digunakan; contoh adalah pemodelan untuk penyakit tular vektor
dengan mempertimbangkan perubahan iklim. Akan tetapi kekurangan untuk bagian ini,
kita tidak bisa membuat peta bahaya masa depan per kelurahan/kecamatan, karena
semua hasil analisis dalam skala kota.

Contoh Penerapan
1. Analisis Kerentanan untuk Ekosistem Pegunungan a. Singkapan
Singkapan diukur dengan analisis kausalitas antara variable iklim (suhu dan curah
hujan) dengan kejadian bencana klimatis (climatic hazard) yang berhubungan dengan
kehidupan manusia menurut EEPSEA and IDRC (2009) yang relevan di ekosistem.
Untuk ekosistem pegunungan, bencana alam yang diukur adalah longsor. Penilaian
tingkat eksposur potensi longsor dilakukan menurut pendekatan Suranto (2008)
mengikuti Tabel di bawah ini :

Tabel 5.11 Variabel Penilaian Eksposur Longsor


No Variabel Penilaian Potensi gerakan tanah
1 Kelerangan:
0–15% Skor 1 Rendah – sedang
15 – 25% Skor 2 Sedang- tinggi
>25% Skor 3 Tinggi
2 Batuan / tanah penyusun:
a. Endapan lahar Skor 2 Sedang
gunung berapi
b. Batuan gunung Skor 3 Sedang - tinggi
3 Curah hujan:
< 1.000 mm/tahun Skor 1 Rendah
1.000 – 4.000 mm/tahun Skor 2 Sedang
4.000 – 6.000 mm/tahun Skor 3 Tinggi

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -70


Sensitivitas
Sensitivitas dianalisis dengan metode scoring. Aspek sensitivitas yang dianalisis
meliputi aspek sosial, ekonomi, infrastruktur dan ekologi (Benson & Twig, 2007 dalam
Lassa & Nakmofa, 2007)dengan melakukan pengembangan kriteria dan indikator
sebagaimana disajikan pada Tabel berikut

Tabel 5.12 Pengukuran Sensitivitas Terhadap Perubahan Iklim


Aspek Kriteria Indikator Cara Penilaian
pengukuran

Sosial Tingkat Pendidikan formal Data BPS; 5 : mayoritas tdk sekolah


pendidikan interview 4: mayoritas SD
3: mayoritas SLTP
2 : mayoritas SLTA
1 : mayoritas PT

Aksesibilitas Kendaraan, jarak, waktu Kuisioner 5 : tidak bisa jalan darat


tempuh, sarana melalui 4 : jalan tanah > 75%
transportasi interview terisolasi
3 : jalan tanah > 75%
2 : jalan aspal 50%
1 : jalan aspal > 75%

Kelembagaan - Aktivitas lembaga Kuisioner 5 : tidak ada kelembagaan


- Formal melalui 4 : ada tapi tidak aktif
- Aktivitas lembaga interview 3 : salah satu aktif
- non formal 2 : keduanya aktif, satu
- Tupoksi/peran dominan
- (ekonomi/sosial/su 1 : keduanya aktif,
- mber daya alam) harmonis
- Jumlah anggota
Ekonomi Sumber Sumber pendapatan Data BPS; 5 : sumber tunggal
pendapatan berasal dari satu atau Interview 4 : sumber ganda
beberapa jenis sumber 3 : 3 sumber
2 : 4 sumber
1 : >4 sumber

Mata Mata penceharian utama Kuisioner 5 : on farm>80%


Penceharian dan ketergantungan melalui 4 : on farm 60- 80%
terhadap sumber daya interview 3 : on farm 40-60%
alam

Infrastru Bangunan Ketersediaan, jumlah Kuisioner 2 : on farm 20-40%


ktur teknik sipil dan fungsi bangunan melalui 1 : on farm <20%
penahan longsor (sumur interview 5 : tidak ada
resapan dan irigasi, dll) 4 : ada rencana
dan/atau bencana lain 3 : ada, tidak berfungsi
2 : ada, berfungsi sebagian
1 : ada, berfungsi baik

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -71


Pola -Jumlah/proporsi Data BPS; 5: di dekat tebing >80%
pemukiman bangunan dan Kuisioner 4 : di dekat tebing 60-80%
daerah tinggi rumah tidak melalui 3 : di dekat tebing 40-60%
permanen interview 2 : di dekattebing 20-40%
-Jarak bangunan 1 : di dekattebing <20%
dengan sumber
bencana
-Proporsi bangunan
pemukiman di areal
tebing

Ekologi Tutupan hutan - Luas/proporsi hutan Kuisioner 5 : tutupan hutan <10%


saat ini melalui 4 : tutupan hutan 10-20%
- Luas/proporsi hutan interview 3 : tutupan hutan 20-30%
yang diubah 2 : tutupan hutan 30-50%
peruntukannya 1 : tutupan hutan >50%

Kondisi - Kuisioner 5 : labil >80%


bantaran tebing Jumlah/proporsi melalui 4 : labil 60- 80%
tebing yang labil interview 3 : labil 40- 60%
2 : labil 20- 40%
1 : labil <20%

Total nilai pada setiap lokasi dan atribut/indikator diklasifikasi menggunakan skala
interval (SI). Hasil pengolahan nilai skor kemudian diinterpretasi ke dalam 3 kelas
kerentanan (sensitivitas), yaitu : tinggi, sedang dan rendah
Kapasitas Adaptif
Kapasitas adaptif dianalisis dengan metode scoring. Aspek kapasitas adaptif yang
dianalisis meliputi aspek yang sama dengan variabel sensitivitas, yaitu: sosial,
ekonomi, infrastruktur dan ekologi (Benson & Twig, 2007 dalamLassa & Nakmofa,
2007). Jika indikator tersebut menunjukkan sifat melemahkan maka tergolong
sensitivitas, sedangkan jika menguatkan maka tergolong kapasitas adaptif.

6. Tingkat Ketahanan dan Potensi Keanekaragaman Hayati


Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah keanekaragaman organisme
yang menunjukkan keseluruhan atau totalitas variasi gen, jenis, dan ekosistem pada
suatu daerah, yang merupakan dasar kehidupan di bumi. Keanekaragaman hayati
melingkupi berbagai perbedaan atau variasi bentuk, penampilan, jumlah, dan sifat-sifat
yang terlihat pada berbagai tingkatan. Profil keanekaragaman hayati suatu tempat
merupakan gambaran keanekaragaman hayati yang terdapat atau dimiliki oleh tempat
tersebut. Keanekaragaman hayati ini mencakup tingkatan ekosistem, spesies, dan

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -72


tingkatan di dalam spesies atau genetik, baik yang alami maupun yang telah
dibudidayakan.
Pemanfaatan komponen keanekaragaman hayati sangat beragam. Berdasarkan
pasal 26 Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya menyebutkan bahwa pemanfaatan sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan pemanfaatan kondisi lingkungan
kawasan pelestarian alam dan pemanfaatan jenis tumbuhan serta satwa liar.
Pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam dapat dilakukan dengan
cara tidak melakukan degradasi dan fragmentasi habitat asli kawasan tersebut.
Sedangkan untuk pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar, dilakukan dengan
memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung, dan keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa liar yang bersangkutan. Secara alami, komponen
keanekaragaman makhluk hidup mempunyai keterbatasan persebaran, sehingga tiap
daerah memiliki ciri khas tersendiri dalam menampilkan keanekaragaman hayatinya.

Tujuan studi keanekaragaman hayati ini adalah untuk mengetahui data dan informasi
tentang potensi dan kondisi keanekaragaman hayati dalam berbagai tingkatan yang
terdapat di suatu lokasi yang nantinya dapat digunakan untuk mendukung upaya
konservasi atau pelestarian lingkungan. Studi ini dapat digunakan dalam mengevaluasi
status dan kecenderungan sumber daya keanekaragaman hayati dan sumber daya
biologis yang dapat dikelola lebih lanjut.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.69 Tahun 2017, Analisis tingkat ketahanan dan
potensi keanekaragaman hayati dilakukan dengan cara :
a. Mengkaji pemanfaatan dan pengawetan spesies/jenis tumbuhan dan satwa, yang
meliputi:
- Penetapan dan penggolongan yang dilindungi atau tidak dilindungi
- Pengelolaan tumbuhan dan satwa serta habitatnya
- Pemeliharaan dan pengembangbiakan
- Pendayagunaan jenis atau bagian-bagian dari tumbuhan dan satwa liarnya
- Tingkat keragaman hayati dan keseimbangannya
b. Mengkaji ekosistem, yang meliputi :

- Interaksi jenis tumbuhan dan satwa

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -73


- Potensi jasa yang diberikan dalam konteks daya dukung dan daya tampung
c. Mengkaji genetik, yang meliputi :
- Keberlanjutan sumber daya genetik
- Keberlanjutan populasi jenis tumbuhan dan satwa

Adapun output yang akan dihasilkan dari studi ini adalah sebagai berikut :
 Memberikan gambaran status keanekaragaman hayati (flora dan fauna) di suatu
lokasi .
 Keberadaan jenis-jenis satwa atau tumbuhan liar (jika ada)
 Rekomendasi upaya pelestarian atau konservasi
 Melakukan prediksi dampak positif terhadap komponen ekosistem perbaikan
kondisi hidrologis
 Merekomendasikan program untuk lokasi perlindungan Kehati menjadi media
penelitian, penyebaran informasi & pengetahuan terkait community
development.
 Melakukan prediksi dampak positif keankeragaman hayati terhadap community
development
Status keanekaragaman tersebut dinyatakan dalam:
Flora
- Indeks Nilai Penting (INP) : Kerapatan relatif, Frekuensi Relatif, dan Dominasi
Relatif
- Indeks Keanekaragaman Jenis
Fauna:
- Indeks Keanekaan Jenis
- Indeks Kesamaan Jenis
- Kelimpahan Relatif

Keberadaan jenis-jenis satwa atau tumbuhan liar (jika ada) baik yang bersifat
ekonomis, endemis, langka, maupun dilindungi peraturan nasional maupun
internasional.

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -74


A. Flora Teresterial
Metode Pengumpulan Data

Pengkajian flora terestrial dilakukan berdasarkan parameter kelimpahan dan


keanekaragaman flora terestrial di beberapa lokasi yang telah ditentukan di wilayah
kegiatan.
Terdapat dua metode yang dapat digunakan dalam pengambilan data yaitu secara
kualitatif dan kuantitatif.

Metode kualitatif
Lakukan pengumpulan data berupa pencatatan jenis-jenis tumbuhan yang berada di
sekitar wilayah studi.
Lakukan pencatatan terhadap jenis tumbuhan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi,
jenis yang biasa digunakan sebagai bahan bangunan, tumbuhan berstatus langka dan
dilindungi berdasarkan peraturan perundangan nasional maupun internasional serta
tumbuhan khas daerah tersebut.

Metode Kuantitatif
Metode pengambilan data secara kuantitatif yang digunakan adalah metode kuadrat
pada jalur sabuk transek sepanjang 200 m dengan lebar 20 m. Sabuk transek
ditempatkan pada lahan yang telah mengalami gangguan/perubahan hingga ke dalam
hutan yang kondisi vegetasinya masih baik/belum terganggu. Hal ini dimaksudkan
untuk dapat melihat gradasi perubahan kondisi flora sepanjang jalur sabuk transek.
Strata pertumbuhan dibedakan sebagai berikut:
• Tumbuhan bawah : Tumbuhan sebagai penutup lahan, ex : rumput-rumputan
• Semai: Mulai dari anakan sampai tanaman yang tingginya kurang dari 1,5 meter;
• Pancang : Mulai dari 1,5m dan berdiameter ≤ 10cm;
• Tiang: Berdiameter antara 10–30cm
• Pohon : Berdiameter antara ≥ 30cm

Khusus untuk Mangrove di Kampung Baru dan Desa Kersik tiap-tiap strata dibedakan
sebagai berikut :
• Semai: Mulai dari anakan sampai tanaman yang tingginya kurang dari 1,5 meter;

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -75


• Pancang: Mulai dari 1,5m dan berdiameter ≤ 10cm;
• Tiang: Berdiameter antara 10–20cm
• Pohon: Berdiameter antara ≥ 20cm

Petak Transek untuk Metode Kuantitatif


Petak kuadrat yang diukur pada masing-masing lokasi sampling adalah sepanjang jalur
sabuk transek dengan ukuran petak kuadrat sebagai berikut: 2 m x 2 m untuk tingkat
semai, 5 m x 5 m untuk tingkat pancang, 10 m x 10 m untuk tingkat tiang dan 20 m x 20
m untuk tingkat pohon (lihat pada gambar).

Gambar 6.1 Jalur Petak Ukur Vegetasi

Keterangan:
a = Petak ukur tingkat semai dan penutup lantai (2 m x 2 m)
b = Petak ukur tingkat pancang (5 m x 5 m)
c = Petak ukur tingkat Tiang (10 m x 10 m)
d =Petak ukur tingkat pohon (20 m x 20 m)

Analisis Data
Indeks Nilai Penting (INP)
INP = KR + FR + DR
Dimana:
INP= Indeks Nilai Penting
KR= Kerapatan Relatif (%)
FR= Frekuensi Relatif (%)
DR= Dominansi Relatif (%)

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -76


Nilai Indeks Keanekaragaman Jenis didapatkan melalui persamaan berikut:
Dimana:
H’ = ∑ (ni/N) ln (ni/N)
Ĥ= Indeks Keanekaan, di setiap lokasi
ni= INP suatu jenis
N= INP seluruh jenis
ln= Log natural (log dalam kalkulator)
Skala Indeks : H < 1 = rendah/sedikit; 1 ≤ H ≤ 3 = sedang; H > 3 = tinggi/melimpah
(Shannon-Wiener, 1964).

Fauna Terestrial
Metode yang digunakan dalam pengumpulan data fauna terestrial adalah dengan cara
pengamatan langsung (survei) lapangan dan wawancara dengan penduduk setempat.
Pengumpulan data dengan pengamatan langsung dilakukan dengan observasi dan
penangkapan.

Avifauna

Metode Pengambilan Data


Studi avifauna (burung), dilakukan dengan menggunakan kombinasi metode transek
dan point count, mistnetting serta spotlighting.
- Transek
Pengumpulan data avifauna dengan metode transek dilakukan setiap hari pada pagi
hari mulai pukul 05.30 sampai pukul 11.00, dan sore hari mulai pukul 15.00 hingga
pukul 18.00. Transek dilakukan dengan berjalan kaki dengan kecepatan kira-kira 2
km/jam dan mencatat semua jenis avifauna baik yang terlihat maupun yang terdengar.
Berdasarkan proporsi luas wilayah yang di amati dan juga ketersediaan waktu
pengamatan, jumlah dan lokasi transek untuk pengumpulan data avifauna adalah sama
dengan jumlah transek untuk pengumpulan data flora terestrial.
- Point Count
Point count dilakukan di setiap transek dengan jumlah titik yang disesuaikan dengan
setiap transeknya. Jarak antar titik sekitar 150 meter, hal ini dimaksudkan untuk
menghindari penghitungan ganda pada individu jenis yang sama. Waktu pengamatan

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -77


pada setiap titik adalah selama 20 menit. Pada setiap titik dicatat, jenis dan jumlah
avifauna baik yang terlihat maupun yang terdengar.
- Mistnetting
Mistnetting dilakukan untuk menangkap jenis-jenis avifauna terutama avifauna yang
termasuk jenis “cryptic species”. Spesifikasi mistnet adalah: matajala 30 mm yang
terbuat dari benang nilon, panjang 8 m, tinggi ±3 m dan jumlah kantung sebanyak 5
buah. Mistnet dipasang selama kurang lebih 12 jam mulai pukul 06.00 hingga sore hari
pukul 18.00 dan diperiksa setiap dua jam. Mistnet dipasang hingga permukaan tanah,
kira-kira 30 cm jarak dari permukaan tanah.
Avifauna yang tertangkap dalam mistnet kemudian diekstraksi, diidentifikasi,
didokumentasikan kemudian dilepaskan kembali di sekitar lokasi dimana jenis
tersebut tertangkap.
- Spotlighting
Spotlighting dilakukan untuk menginventarisasi jenis-jenis avifauna nocturnal.
Pengamatan dilakukan bersamaan dengan pengamatan herpetofauna

Analisis Data

Untuk mengetahui nilai indeks keanekaan, kesamaan dan kelimpahan jenis fauna
terestrial (khususnya avifauna) dilakukan perhitungan dengan menggunakan rumus:
Indeks Keanekaan Jenis:

Dihitung menurut rumus Shannon-Wiener (1949 dalam Odum,1995)

H’ = - ∑ (ni/N) ln (ni/N) (42)

Dimana :

H’=Indeks Keanekaan Shannon – Wiener


Ni =Jumlah individu setiap jenis burung
N =Jumlah individu seluruh jenis burung

Indeks Kesamaan Jenis:

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -78


Untuk mengetahui nilai kesamaan jenis burung pada setiap lokasi digunakan
penghitungan indeks kesamaan jenis menurut rumus dari Sorenson (1948
dalam Odum 1995), yaitu:

S = 2C/(A+B)

Dimana :
S =Indeks kesamaan
= Jumlah jenis yang terdapat pada komunitas A
= Jumlah jenis yang terdapat pada komunitas B
= Jumlah jenis yang terdapat pada kedua komunitas

Kelimpahan Jenis:

Untuk mengetahui kelimpahan relatif dihitung dengan rumus:


KM
suatujenis
KR = ×100%
KM seluruh
jenis
Nilai KR setiap jenis burung dapat menyatakan perbandingan dominansi suatu jenis
burung terhadap jenis burung lainnya. Dominansi jenis burung selanjutnya
diklasifikasikan menjadi tiga kelompok mengikuti pengelompokkan oleh Jorgensen
(1974), yaitu tidak dominan (KR 0% – 2%), sub dominan (KR 2% – 5%) dan dominan
(KR >5%).
Analisis data juga dilakukan untuk mengetahui keberadaan jenis-jenis satwa liar baik
yang bersifat ekonomis, endemis, langka, maupun dilindungi berdasarkan peraturan
dan perundang-undangan di Indonesia, dan peraturan/konvensi internasional seperti
CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and
Fauna) atau Konvensi Internasional yang mengatur perdagangan antar negara spesies-
spesies satwa dan tumbuhan liar yang terancam punah serta berdasarkan Redlist IUCN
(International Union Conservation Nature).

Mammalia
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data primer mammalia dilakukan dengan observasi lapangan
dengan cara penjelajahan. Setiap temuan baik langsung maupun tidak langsung (jejak,

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -79


kotoran, suara, bulu atau rambut, bekas cakaran, sarang) dicatat jenisnya. Untuk
pengumpulan data jenis mammalia kecil,selain dengan observasi langsung juga
dilakukan penangkapan dengan menggunakan Collapsible Sherman Trap dan Collapsible
Wire Trap. Ukuran Sherman Trap yang digunakan berdimensi panjang 30 cm, lebar 10
cm dan tinggi 12 cm. Sedangkan Wire Trap berdimensi panjang 30 cm, lebar 20 cm dan
tinggi 15 cm. Jumlah perangkap Sherman Trap dan Wire Trap masing-masing sekitar 20
buah. Perangkap diletakan di atas permukaan tanah dengan jarak masing-masing
sekitar 5 m. Pemasangan perangkap dilakukan di setiap lokasi studi selama 1-2 hari
Analisis Data
Untuk mengetahui nama jenis mammalia yang ditemukan, dilakukan identifikasi dengan
mengacu kepada referensi berikut : Payne, Francis, Phillips, dan Kartikasari (2000)
dengan judul buku : Panduan Lapangan Mamalia Di Kalimantan, Sabah, Sarawak Dan
Brunei Darussalam. Selain itu menggunakan Charles M. Francis dengan judul buku : A
Photographic Guide to Mammals of South-East Asia: Including Thailand, Malaysia,
Singapore, Myanmar, Laos, Vietnam, Cambodia, Java, Sumatra, Bali and Borneo

Herpetofauna
Metode Pengumpulan Data
Pengambilan data herpertofauna berupa observasi di lapangan dengan menggunakan
metode modifikasi dari metode Visual Encounter Survey (VES) dengan metode Recce
Walks (Doan, 2003). Metode VES mencakup Line Transect dan Night Stream. Jalur yang
digunakan untuk pengambilan data adalah jalur-jalur bekas aktivitas manusia, jalan
setapak, sungai, danau, kolam, kanal, dan genangan air.
VES Line Transect dilakukan pada pukul 06.00 hingga 11.00 dan VES Night Stream
dilakukan dari pukul 17.00 hingga 21.00. Hasil observasi dicatat jenis dan jumlah
individunya. Lakukan dokumentasi untuk keperluan identifikasi di laboratorium.
Proses identifikasi menggunakan berbagai referensi dari Inger and Stuebing (1997),
Cox van Dijk, Nabithabatha, and Thirakupt (1998), Stuebing and Inger (1999), Iskandar
(2000), Das (2004), Das (2007), Das (2010), Kusrini (2013).

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -80


Analisis Data
Analisis data dilakukan setelah proses identifikasi jenis selesai. Hasil dari analisis data
berupa indeks yang menunjukan nilai kesamaan jenis antar lokasi, keanekaragaman,
dan kerataan komunitas. Berikut adalah indeks-indeks tersebut:
Indeks Kesamaan Sorensen antar lokasi (Magurran, 1988.
Indeks ini digunakan untuk membandingkan tingkat kesamaan jenis yang menyusun
suatu komunitas dengan komunitas lainnya.
2j

Cs = ( a + b )

Keterangan:
Cs = Indeks Kesamaan
= jumlah jenis di lokasi a
= jumlah jenis di lokasi b
j = jumlah jenis yang sama pada dua lokasi

Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (Odum, 1993)


Indeks ini digunakan untuk menghitung keanekaan jenis dengan menggunakan indeks
heterogenistas dari Shannon Wiener dengan rumus sebagai berikut :
ni
H′=∑ ni
Ln
N N
Keterangan:
H’ = Indeks Heterogenitas Shannon-Wiener
pi = ni/N
ni = jumlah individu jenis ke-i
= jumlah seluruh individu
N ikan

Indeks Kerataan Komunitas Pielou


Indeks ini menyatakan kerataan penyebaran individu dari jenis yang ditemukan. Nilai
indeks ini berkisar 0-1 yang menunjukan nilai semakin tinggi maka semakin merata
penyebaran individu setiap jenisnya (Odum, 1993).

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -81


H'
J'=
Ln S
Keterangan:
J’= Indeks Kerataan Komunitas
H’ = Indeks Heterogenitas Shannon-Wiener
S= Jumlah jenis

Analisis data juga dilakukan untuk mengetahui keberadaan jenis-jenis satwa liar baik
yang bersifat ekonomis, endemis, langka, maupun dilindungi berdasarkan peraturan
dan perundang-undangan di Indonesia dan konvensi internasional seperti CITES
(Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna) atau
Konvensi Internasional yang mengatur perdagangan antar negara spesies-spesies
satwa dan tumbuhan liar yang terancam punah serta berdasarkan Redlist IUCN
(International Union Conservation Nature).

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -82


DAFTAR PUSTAKA

Alfiani Dena. 2011. Karakteristik Lokal Sebagai Studi Tentang Keberlanjutan


Tempat Pembuangan Akhir Sampah Di Daerah Perkotaan. Jakarta:
Universitas Indonesia.

Babaie-Kafaky, A. Mataji N.A. Sani. 2009. Ecological Capability Assessment for


Multiple-Use in Forest Are Using GIS-Based Multiple Criteria Decision
Making approach. Tehran, Iran. Department of Forestry, Science and
Research Branch, Islamic Azad University. American Journal of
Enviromental Sciences vol.5 pgs. 714-712.

BAPPENAS, 2016. Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) 2015-
2020. Jakarta:Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional.

Barbier, E.B. 1991. The economic value of ecosystems 2 _ Tropical forests. LEEC
Gatekeeper Series 91-01. London, London Environmental Economics
Centre.

Barbour, M., Burk, J.H., Pitts, W.D., Gilliam, F.S., Schwartz, M.W. (1998).
Terrestrial Plant Ecology.Benjamin Cummings.

Begon, M., Towsend, C.R. & Harper, J.L., (2006). Ecology: From individual to
ecosystems. Fourth Edition ed. Oxford: Blackwell Publishing.

Benson C, J Twigg and T Rossetto. 2007. Perangkat untuk Mengarusutamakan


Pengurangan Resiko Bencana : Catatan Panduan Bagi Lembaga-Lembaga
yang Bergerak dalam Bidang Pembangunan. Provention Consortium.
Switzerland

Betts, C.P., Choquette, W.H., Haughton, J.G., Knoop, S.L., McClintock, R., Nuckolls,
R.T. et al. (2002). Physical security assessment for Department of Veterans
Affairs Facilities: recommendations of the National Institute of Building
Sciences Task Group. Washington, DC: Department of Veterans Affairs.

Bintarto, R., Hadisumarno Surastopo. 1977. Geografi Kota. Yogyakarta: UP


Spring.

Bishop, J.T. 1999. Valuing Forests : A Review of Methods and Applications in


Developing Countries. International Institute for Environment and
Development. London

Burkhard, B., Kandziora, M., Hou, Y., Muller, F., 2014. Ecosystem service
potentials, flows and demands–concepts for spatial localisation,
indication and quantification. Landsc. Online 32, 1–32

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -83


Casal-Campos A., Fu Guangtao, Butler, D. And Moore, A. 2015. An Integrated
Enviromental Assessment of Green and Gray Infrarastructure Strategies for
Robust Decision Making. Enviromental Science Thecnology, pages 8307-
8314.

Cox, M.J., Dijk, P.P. van, Nabhitabhata, J. & K. Thirakupt. 1998. A Photographic
Guide to Snakes and Other Reptiles of Thailand and Southeast Asia. Asia
Books, Co. Ltd., Bangkok. 144pp.

Dai, A., 2011: Characteristics and trends in various forms of the Palmer Drought
Severity Index during 1900–2008. J. Geophys. Res., 116.

Das, I. (2004): A Pocket Guide. Lizards of Borneo. Natural History Publications


(Borneo) Sdn Bhd., Kota Kinabalu.

Das, I. (2007). A Pocket Guide: Amphibians and Reptiles of Brunei. Natural


History Publications (Borneo) Sdn. Bhd., Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia.

Das, I. (2010): A Field Guide to the Reptiles of South-East Asia.New Holland


Publishers (UK) Ltd., London.

Djajadiningrat, dkk. 2014. “ Green Economy ”, Rekayasa Sains , Bandung

Doan, T.M. (2003). Which methods are most effective for surveying rain forest
herpetofauna? Journal of Herpetology 37:72–81.

Eckart, K., McPhee, Z., dan Bolisetti, T. 2017. Performance and implementation of
low impact development. Science of The Total Environment, Vol. 607-608,
Pages 413-432.

Francis, C.M. (2001). A Photographic Guide to Mammals of South-East Asia:


Including Thailand, Malaysia, Singapore, Myanmar, Laos, Vietnam,
Cambodia, Java, Sumatra, Bali and Borneo. Sanibel Island: Ralph Curtis
Books.

Grant, S. M., Hill, S. L., Trathan, P. N., & Murphy, E. J. (2013). Ecosystem services of
the Southern Ocean: trade-offs in decision-making. Antarctic science, 25(5),
603-617.

Groffman, P., et al. 2006. Ecological thresholds: the key to successful


environmental management or an important concept with no practical
application? Ecosystems 9:1–13.

Gonzales, P. dan Ajami, N., K. 2007. An integrative regional resilience framework


for the changing urban water paradigm. Sustainable Cities anda Society
vol.30, pages 128-138

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -84


Hairiah, K., Rahayu, S., Suprayogo, D., & Prayogo, C. (2016). Perubahan Iklim:
sebab dan dampaknya terhadap kehidupan. Bahan Ajar 1. Bogor, Indonesia:
World Agroforestry Centre (ICRAF) Sooutheast Asia Regional Program dan
Universitas Brawijaya.

Hardinsyah, Irawati, A, Kartono, D, Prihartini S, Linorita I, Amilia L, Fermanda M,


Adyas EE, Yudianti D, Kusrto CM dan Heryanto Y. ( 2012). Pola Konsumsi
Pangan dan Gizi Penduduk Indonesia. Departemen Gizi Masyarakat FEMA
IPB dan Badan Litbangkes Kemenkes RI. Bogor.

Herawaty , H dan H Santoso. 2007. Pengarus-utamaan adaptasi perubahan iklim


ke dalam agenda pembangunan: tantangan kebijakan dan pembangunan.
Adaptasi terhadap 16 bahaya gerakan tanah di masa yang akan dating
akibat pengaruh perubahan iklim. Laporan pertemuan dialog pertama
gerakan tanah dan perubahan iklim. Bogor, tanggal 7-8 Desember 2006.
Cifor. Bogor, Indonesia

Indonesian Biodiversity Strategy Action and Plan 2015 – 2020 Bappenas 2016.

Inger, R.F.; Stuebing,R.B.(1997). A Field Guide to the Frogs of Borneo. Natural


History Publications. Kota Kinabalu.

Iskandar, D.T. 2000. Turtles and Crocodiles of Insular Southeast Asia and New
Guinea. Bandung, Palmedia – ITB, 224 pp.

Jorgensen, 0. H. (1974). Results of IPA-censuses on Danish farmland. Acta


Ornithol. 14: 310-321.

King, D.M. dan Mazzota, M. (2004). Ecosystem Valuation, Maryland.

Klingebiel, A.A. & P.H. Montgomery. 1961. Land Capability Classification.


Agricultural Handbook No. 210. USDA Soil Conservation Service.
Washington, DC.

Kottelat, M and A.J. Whitten. 1996. Freshwater fishes of Western Indonesia and
Sulawesi: Addition and correction. 1996. Periplus Editions Limited.

Kurnianto, S., Warren, M., Talbot, J., Kauffman, J.B., Murdiyarso, D. & Frolking, S.
(2015).

Carbon accumulation of tropical peatlands over millennia: A modeling approach.

Global Change Biology, 21(1): 431-444.

KLHK. (2017). Laporan Investasi GRK dan monitoring, pelaporan dan verigikasi
2017. Jakarta: Direktorat Jenderal Pemgendalian Perubahan Iklim,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -85


KLHK. (2017). Road Map. Program Kampung Iklim (PROKLIM). Jakarta: Direktorat
Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan.

KLHK. (2017). SIDIK. Sistem Informasi Data Indeks Kerentanan Perubahan Iklim.
Jakarta: Direktorat Adaptasi Perubahan Iklim, Direktorat Jenderal
Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan.

KLHK (2018). Pedoman Penentuan Aksi Mitigasi Perubahan Iklim. Jakarta:


Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Kusrini, M.D. (2013). Panduan Bergambar Identifikasi Amfibi Jawa Barat.


Bogor: Fakultas Kehutanan IPB dan Direktorat Konservasi
Keanekaragaman Hayati.

Lahr, J dan Kooistra, L. 2010. Enviromental Risk Mapping of poluttants: State of the
art and communication aspects. Science of the Total Enviroment. Issue 18,
pages 3899 – 3907.

Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. New Jersey:
Princeton University Press.

Malczeewski, J. 2006. Ordered Weighted averaging with fuzzy quantifiers : GIS-


based multicriteria evaluation for land-use suitability analysis. Elsevier,
International Journal of Applied Earth Observation and Geoinformation,
vol.8, Issue 4, pages 270-277.

MEA, 2005. Ecosystems and Human Well-being: Biodiversity Synthesis. A Report of


the Millenium Ecosystem Assessment ed. Washington DC: World
Resources Institute. Millenium Ecosystem Assessment 2005 ,Ecosystem
and Human Well being : synthesis. Island Press Washington DC.

Molles, M.C., 2010. Ecology : Concepts and applications. Fifth Edition ed. New
York: Mc Graw Hill.

Montagnini, F. & Jordan, C.F., 2005. Tropical forest ecology: The basis for
conservation and management. Berlin: Spinger.

Mochamad, A. (2013). Merespon Ancaman Perubahan Iklim: Adaptasi Sebuah


Pilihan yangMendesak dan Prioritas. Jakarta:
https://www.apikindonesia.or.id/wp-content/uploads/2019/01/Buku-
Adaptasi-Perubahan-Iklim-Sebuah-Pilihan-yang-Mendesak-dan-
Prioritas.pdf.

Muta’ali. L, Daya Dukung Lingkungan Untuk Perencanaan Pengembangan


Wilayah. Badan Penerbit Fakultas Geografi (BPFG) Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta, 2012

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -86


Odum W, Odum E, Odum H. (1995). Nature’s pulsing paradigm. Estuaries 1995;
18: 547–555.

Odum, E.P.; Barret, G.W. (1993). Fundamentals of Ecology. Boston, U.S. : Cengage
Learning. Pawitan H. 2010. Arti Perubahan Iklim Global dan
Pengaruhnya dalam Pengelolaan Daerah Aliran

Sungai di Indonesia. Makalah pada Ekspose Hasil Litbang Balai Penelitian


Kehutanan Solo dengan tema Pengelolaan DAS dalam Mitigasi dan
Adaptasi Perubahan Iklim di Indonesia, di Surakarta pada tanggal 28
September 2010.

Payne, J.; Francis, C.M.; Phillips, K.; dan Kartikasari, S.N. (2000). Panduan
Lapangan Mamalia Di Kalimantan, Sabah, Sarawak Dan Brunei
Darussalam. WCS Indonesia Program, The Sabah Society, dan WWF
Malaysia, Kuala Lumpur.

Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2009 tentang


Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup dalam Penataan
Ruang Wilayah.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup nomor 33/Menlhk/Setjen/Kum.1/3/2016


tentang Pedoman Penyusunan Aksi Adaptasi Perubahan Iklim

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup nomor


P.7/Menlhk/Setjen/Kum.1/2/2018 tentang Pedoman Kajian Kerentanan,
Risiko, dan Dampak Perubahan Iklim.

Phua, M., and Minowa, M. 2005. A GIS-based multi-criteria decision making


approach to forest conservation planning at a landscape scale: a case study
in the Kinabalu Area, Sabah, Malaysia. Elsevier, Landscape and Urban
Planning, vol.71, issue 2-4, pages 207-222.

Poggio, L., Vrscaj, B., Hepperle, E., Schulin, R., & Marsan, F. A. (2008). Introducing
a method of human health risk evaluation for planning and soil quality
management of heavy metal-polluted soils—An example from Grugliasco
(Italy). Landscape and Urban Planning, 88(2-4), 64–72.

PPPES, 2016. Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup Ekoregion
Sumatera Berbasis Jasa Ekosistem. Pekanbaru: Pusat Pengendalian
Pembangunan Ekoregion Sumatera.

Pramesty, Anggun R., Nirmala, A., dan Aspan, A.,. (2013): Perhitungan Daya
Dukung Lingkungan Berdasarkan Ketersediaan Air dan Produktivitas
Lahan Di Kecamatan Tujuh Belas Kabupaten Bengkayang, Jurnal Program
Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik,
UniversitasTanjungpura(http://jurnal.untan.ac.id/index.php/jmtluntan/
article/viewFile/7660/ 7767).

MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -87


MODUL PELATIHAN PENYUSUNAN KLHS VIII -88

Anda mungkin juga menyukai