Pimpinan Pusat
Ikatan Pelajar Muhammadiyah
“Jangan Ada Bully diantara Kita”
© Uswatun Hasanah
Editor : Muh. Arif Indra Jaya
Cetakan1 2018
1
Pengantar Penulis
Buku ini adalah bentuk komitmen dan edukasi bagi saya pribadi
dan juga bagi seluruh pelajar Indonesia khususnya kader IPM. Melalui
buku ini juga menjadi salah satu upaya untuk menciptakan lingkungan
sekolah dan organisasi pelajar yang kondusif dan bebas praktik bullying.
Uswatun Hasanah
2
Kata Pengantar 2
Daftar Isi 3
Referensi 55
Tentang Penulis 57
3
“ Rasulullah adalah panutan kita yang begitu
memperhatikan perasaan saudaranya. Perintah menjaga
lisan dan perbuatan adalah amalan terbaik yang
diajarkannya. Sebagai pelajar muslim seharusnya benar-
benar memegang teguh akan hal tersebut.”
4
Bagian I
Mengenal Bullying
5
Bullying merupakan permasalahan yang telah ada sejak berabad-
abad yang lalu. Di Amerika sendiri bullying merupakan kasus yang telah
lama tertanam dalam benak masyarakat Amerika sejak negara itu
didirikan. Di Indonesia sendiri, kasus bullying atau penindasan ini mulai
terjadi secara masif sejak zaman penjajahan ketika beberapa negara-
negara di Eropa dan juga Jepang masuk ke Indonesia. Hegemoni yang
terjadi sejak masa kolonial sampai saat ini masih terasa. Pembentukan
karakteristik ras, status sosial ekonomi, dan lain sebagainya yang turut
menjadi standar nasional “idealnya” seorang Indonesia harus bisa
memiliki karakter seperti masyarakat barat seperti memiliki kulit putih,
hidung mancung, dan postur tinggi. Trend kencantikan mengenai postur
tubuh yang langsing atau badan yang montok juga menjadi standar
masyarakat pada masa itu tak jarang masih terjadi sampai saat ini. Oleh
karenanya apabila terdapat individu yang memiliki kulit lebih gelap,
bertubuh pendek, atau berbadan gemuk mendapatkan komentar miring
dan tak jarang memberi masukan bahkan melakukan bullying mengenai
norma kecantikan yang harusnya diterapkan. Inti dari perilaku bullying
yang terjadi sepanjang sejarah kehidupan manusia merupakan bentuk
eksploitasi dari individu atau kelompok lemah oleh kelompok kuat
dengan maksud dan tujuan tertentu.
6
tempat kerja. Secara harfiah bullying disebut perundungan atau
penindasan, sedangkan dari kamus umum Bahasa Indonesia kata bully
berarti menyekat dalam artian adalah mengganggu, mengusik dan
merintangi.
7
psikososialnya terhambat maka memculkan patologis sosial seperti
bullying.
Korban dan pelaku bully tidak mengenal gender dan usia, bahkan
kasus bullying paling sering terjadi di lingkungan sekolah dan dilakukan
oleh remaja (Zakiyah dkk, 2017). Kasus bullying lebih marak terjadi dan
menyasar pada kelompok anak-anak hingga remaja. Relasi sosial yang
mulai dibangun pada masa tersebut membuat anak atau remaja
mengharuskan untuk berinteraksi dengan lingkungan keluarga maupun
lingkungan luar keluarganya. Pada masa remaja proses pengenalan
lingkunganpun jauh lebih luas lagi, remaja mulai melakukan interaksi
lebih banyak pada teman sebayanya. Kesenjangan kelas yang terbentuk
pada kehidupan remaja yang mulai memberi label, mengkotak-kotakan
diri dan kelompoknya menjadi kelompok yang punya power dan
kelompok kelas bawah. Pierre Bourdieu menyatakan bahwa gaya hidup,
selera,dan konsepsi kelas yang dimiliki menggambarkan dirinya hal
tersebut mempengaruhi peran sosial yang dimainkannya. Dari perbedaan
kelas ini juga menjadi pemicu terjadinya bullying yang dipengaruhi
perbedaan kepentingan, selera, gaya hidup, dan kekuatan yang dimiliki.
9
“Baik orangtua maupun guru harus peduli,
memberikan sanksi tegas jika ketahuan
anaknya melakukan bullying pada orang lain.
Kasus bulliying bukan sesuatu yang remeh!
Sosialisasi dan Pengawasan harus dilakukan
karena masa depan bangsa ini ada ditangan
anak-anak”.
10
Mengenal Jenis-jenis Bullying
11
Verbal Fisik Psikis/Rasional
13
juga serius. Kehadiran tekonologi dari ponsel, media sosial, dan bentuk
teknologi lainnya memungkinkan bullying terjadi secara meluas ke dunia
maya. Bentuk penyalahgunaan tersebut disebut dengan cyberbullying.
Hinduja dan Patchin (2014) menjelaskan bahwa cyberbullying merupakan
sebuah kerusakan, kekerasan, dan intimidasi yang disengaja berlangsung
berulang kali yang ditimbulkan oleh penggunaan media komunikasi
elektronik. Dalam hal ini para nitizenyangmenggunakan teknologi untuk
melecehkan, mengancam, mempermalukan, atau membuat keresahan
pada korban mereka. Tidak seperti bullying tradisional, cyberbullying
lebih berbahaya lagi karena memungkinkan pelaku untuk menutupi
identitasnya dengan cara membuat akun palsu. Anonimitas ini sangat
memudahkan para pelaku untuk melakukan intimidasi terhadap korban
tanpa harus melihat respon fisik yang terjadi, namun pengiriman pesan
kepada korban dengan menggunakan kata-kata lebih menyakitkan dan
memberi efek secara psikologis yang lebih berat.
Bullying bisa terjadi dimana saja dan kapan saja disemua tempat
yang terjalin interaksi antar manusia. Bullying dapat terjadi akibat
beberapa faktor seperti keluarga, lingkungan sekolah, media
massa/elektronik, peer group, sosial-budaya, lingkungan politik,
lingkungan ekonomi dan kegiatan perpeloncoan. Adanya hirarki pada
setiap tempat khususnya Lembaga formal memungkinkan bullying terjadi,
selalu akan ada pihak yang menduduki posisi superior dan inferior di
tempat tersebut. Selain tempat keterikatan mengenai masa/waktu dalam
14
menjadi anggota atau bagian dari lembaga memungkinkan perilaku
bullying semakin kuat karena sifatnya mengikat dan tetap. Bagi para
korban akan terus menjadi sasaran dari para pelaku selama masa waktu
yang telah ditentukan di lembaga tersebut. Sebagai contoh bullying yang
terjadi di lingkungan organisasi pelajar yang dilakukan oleh salah seorang
ketua kepada anggotanya. Kondisi ini akan terus berlanjut dan anggota
yang menjadi korban akan selalu merasa dirugikan hingga perbuatan
tersebut berakhir ketika masa jabatan mereka telah selesai dari
organisasi.
a. Lingkungan Keluarga
Lingkungan keluarga merupakan tempat paling dekat dan
menjadi tempat pembelajaran pertama bagi anak. Keluarga juga
merupakan tempat datang dan kembali dari segala aktivitas yang
dijalankan dan dari segala hiruk pikuk kehidupan. Teori
tabularasa dalam hal ini di perkenalkan oleh John Lock yang
15
menyebutkan bahwa anak ibarat kertas putih dan keluarga yang
memberi warna. Dalam hal ini orangtua dan keluarga merupakan
orang-orang yang berperan besar dalam pembentukan
kepribadian anak. Pola asuh yang diberikan orangtua kepada anak
juga sangat memberi pengaruh pada anak dalam mengalami
masalah sosial seperti bullying. Lestari (2016) menjelaskan
orangtua dengan pola asuh yang terlalu over protective,
perceraian orangtua, pola komunikasi orangtua yang negatif
sarcasm (sindiran tajam), orangtua yang selalu mencaci,
bertengkar dihadapan anak, adanya kekerasan fisik serta verbal,
hal tersebut memicu tumbuhnya perilaku negatif pada anak.
Perilaku yang sering dilihat dan didengar anak memicu anak
untuk meniru kebiasaan tersebut dalam kesehariannya. Tak
jarang banyak orangtua yang menjadi pelaku bully kepada
anaknya sendiri apabila anaknya melakukan kesalahan dan tidak
dapat melakukan hal sesuai keinginan orangtua. Saudara kandung
juga berpotensi sebagai pelaku, hal ini bisa terjadi bila anak
menjadi yang berbeda dan tidak dapat diajak kerja sama dengan
saudara yang lain. Hingga akhirnya anak yang menjadi korban
bully dirumahnya sendiri dapat berpotensi menjadi pelaku dan
melampiaskan kemarahannya kepada orang lain.
b. Lingkungan Sekolah
Bullying yang terjadi di lingkungan sekolah tidak hanya terjadi
pada siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) tetapi sudah mulai
ditemukan di Sekolah Dasar (SD). Contoh positif dan apresiasi
16
yang kurang diberikan guru kepada siswanya dalam mendidik
juga masih ditemukan, selain itu proses pendisiplinan kaku yang
berlangsung antar guru dan siswa semakin menguatkan bullying
di sekolah .Beberapa pihak sekolah cenderung masih
mengabaikan keberadaan masalah bullying disekolah sehingga
semakin memberi penguatan bagi para pelaku. Intervensi yang
diberikan oleh guru dalam hal ini kurang, dan terkadang
menyepelekan masalah yang terjadi. Sebagian guru menganggap
bahwa semakin besar usia anaksemakin minim pengawasannya.
Teman sebagai saksipun masih banyak yang membungkam
karena terlalu takut untuk melaporkan hal tersebut kepada guru.
Kasus-kasus yang sering terjadi dilingkungan sekolah berupa
memalak teman, mengancam untuk menyontek, merampas
barang berharga, dll. Tindakan kekerasan banyak berlangsung
seusai jam sekolah atau pada saat korban menuju pulang
kerumah, kekerasan fisik dapat terjadi dan biasanya dilakukan
secara berkelompok. Para pelaku memiliki kesempatan yang kecil
untuk melakukan kekerasan fisik pada saat jam sekolah
dikarenakan merekamasih menakuti beberapa aturan sekolah
dan juga guru.
c. Teman Sebaya
Memilki relasi positif sangat penting dan dapat memberikan
pengaruh positf juga bagi perkembangan kepribadian. Sebaliknya
bila memiliki relasi negatif pengaruh negatif juga akan memberi
pengaruh pada kepribadian. Relasi yang dijalani pada masa
17
remaja memiliki pengaruh pada kualitas pertemanan di masa
dewasa. Kelompok teman sebaya yang terbentuk di sekolah atau
dilingkungan sekitar rumah (genk) yang memiliki masalah di
sekolah akan memberi dampak kepada teman sebayanya seperti
berkata kasar, tidak menghormati guru, tidak menghargai teman,
dan perilaku membolos. Pada beberapa anak melakukan bullying
sebagai bentuk untuk mencari perhatian dan penerimaan kepada
teman sebayanya agar diterima dalam kelompoknya, meski secara
nurani mereka sendiri tidak merasa nyaman melakukan perilaku
tersebut. Dalam teman sebaya terdapat klasifikasi status dalam
pergaulan dan potensi terjadinya bullying pada status tersebut
yang telah di rangkum oleh ahli perkembangan Wentzel dan Asher
(Santrock, 2011):
Anak yang diabaikan •jarang dipilih sebagai sahabat namun bukan karena
tidak disuka oleh teman sebayanya
(rentan kena bully)
Anak yang ditolak •jarang dipilih sebagai sahabat oleh seseorang dan
secara aktif tidak disuka oleh teman sebayanya
(rentan kena bully)
18
d. Kondisi sosial, ekonomi, dan budaya
Konteks sosial, ekonomi, dan budaya yang tidak stabil dapat
memicu perilaku bullying. Suasana politik dan pemerintahan yang
kacau, kesenjangan yang begitu tinggi, tingkat kemiskinan yang
tinggi, diskriminasi, munculnya prasangka, etnosentrisme, tidak
adanya toleransi antar masyarakat, dan konflik masyarakat yang
berkelanjutan. Kondisi ini tentu memberi pengaruh pada seluruh
lapisan masyarakat dan semakin menciptakan jarak antar satu
individu dengan individu lain, kelompok satu dan kelompok
lainnya.
e. Media
Media cetak atau elektronik yang banyak menyajikan tayangan
yang mengandung kekerasan juga dapat memicu terjadinya
bullying. Anak-anak kini banyak meniru perilaku kekerasan yang
mereka terima melalui televisi, sosial media, game yang
mengandung unsur kekerasan, dll. Meskipun anak tidak secara
langsung melakukan kekerasan secara fisik namun kata-kata yang
mengandung kekerasan diterima oleh anak dan diaplikasikan ke
kehidupan sehari-hari, serta meniru gaya hidup dari apa yang
mereka tonton atau peroleh di media menjadikannya sebagai
standar baru untuk menjadi lebih superior dikalangannya.
Kasus bullying tidak terjadi begitu saja, kasus ini tak luput dari
pihak-pihak yang berperan di dalamnya seperti pelaku, korban, pelaku-
19
korban, bystander, dan pihak prososial. Kejadian bullying bukanlah kasus
tunggal yang terjadi begitu saja, namun ada kejadian dan penyebab yang
telah terjadi sebelumnya.
Pelaku
Pelaku-
Bullying Korban
Korban
Bystander
20
mencegah atau membela korban tapi tak jarang dari mereka yang
menonton dan menertawan aksi yang sedang berlangsung. Tak jarang
dari beberapa kasus terdapat orang-orang yang prososial terlibat dalam
kejadian, mereka memiliki perilaku positif seperti berbagi, menolong, dan
berempati. Mirisnya kehadiran kelompok prososial ini tidak begitu
dominan dalam setiap masalah bullying.
21
Bagian II
22
Ikut-ikutan teman sebaya
Ada kesempatan
23
senioritas yang masih dijunjung tinggi dimana mereka
menganggap bahwa senior harus dihargai, disegani, dan
menerima perlakuan meski sewenang-wenang dari senior. Para
senior tersebut tak jarang dari mereka yang membuat label bagi
juniornya untuk membuat orang lain tertawa dan membuat orang
lainpun menggunakan label tersebut untuk memanggil junior atau
temannya. Kondisi ini dianggap sepele dikarenakan mereka yang
merasa senior sebelumnya juga sudah pernah mendapatkan
perlakuan demikian dari pendahulunya.
Pola mengajar yang masih menggunakan kekerasan sebagai
bentuk pendisiplinan menjadi pemicu para peserta didik untuk
melakukan bully.
3. Mereka pernah menjadi korban atau bystander
Para pengawas masih menyepelekan perihal korban ataupun
orang-orang yang pernah mengamati kejadian bullying. Perlunya
penanganan secara lanjut bagi mereka yang menjadi korban dan
pengamat karena dapat memicu untuk menjadi pelaku di masa
mendatang.
24
Jenis-Jenis Pelaku Bully
Secara umum ada empat jenis pelaku bully yang telah dirangkum
oleh Cahyani (2017):
a. Pembully agresif, mereka terbuka dalam membully korban dan
sering memakai kekerasan fisik dalam aksinya. Identifikasi oleh
guru dan orangtua cukup mudah.
b. Pembully pasif, mereka tidak mudah diidentifikasi oleh guru dan
orangtua. Memiliki hubungan yang tidak harmonis dengan
keluarga, memiliki kepercayaan diri rendah dan sulit untuk
disukai.
c. Pembully-korban, mereka tidak mudah dikenali, pembully ini
lebih lemah dari jenis sebelumnya namun lebih kuat dibanding
korbannya. Mereka juga merupakan korban namun tempat
kejadiannya berbeda dari tempat menjadi pelaku.
d. Pembully murni, mereka adalah anak-anak biasa yang tidak begitu
menonjol dan tampak menikmati kehidupan sekolahnya. Mereka
melakukan bully sebagai sarana untuk mendominasi orang lain
dan mencari kesenangan pada saat membully.
25
deteksi dini pelaku bullying
•memiliki empati yang kurang
•rasa bersalah yang kurang
•lebih mudah marah
•lebih egois
•berusaha untuk dominan
•senang mencari perhatian dalam hal memamerkan kekerasan di
hadapan orang lain
•terlihat lebih agresif
•senang melihat orang lain mengalami kesusahan dan susah melihat
orang lain merasa senang
•pandai berbohong dan menyembunyikan perilaku bullying
dihadapan guru atau orangtua
•suka bertengkar dan melawan
•tidak mau menerima saran dari orang lain
•memiliki kelompok yang patuh atas perintahnya
•sengaja dan bangga melanggar aturan
26
Dinamika Bullying Pada Pelaku
TAHAP III Mulai melakukan kekerasan fisik dan lebih parah lagi
27
TAHAP V Intimidasi terjadi dalam lingkup yang lebih luas lagi.
Berakhir pada kriminalitas dan perbuatan kejam
“intimidasi
lainnya.
semakin
menguat”
28
Bagian III
konsentrasi menurun
29
Penyebab Anak Menjadi Korban
memiliki
kondisi yang
berbeda dari
orang lain
memiliki
kondisi
perekonomia terlihat tidak
n yang berdaya
berbeda dari
kelompoknya
berasal dari
memiliki
budaya, ras,
teman yang
dan agama
sedikit
yang berbeda
faktor kepercayaan
intelektual diri rendah
30
Melihat tipe anak yang cenderung menjadi korban bully diatas kita
dapat melihat bahwa mereka yang tampak berbeda dari orang lain pada
umumnya. Perbedaan tersebut dapat terlihat dari kondisi fisik seperti bila
anak lebih kecil atau lebih besar dari teman-teman pada umumnya, warna
kulit yang berbeda misal terlalu hitam, memiliki ciri fisik yang khas pada
tubuh. Anak-anak berkebutuhan khusus juga sering kali menjadi sasaran
korban terbanyak, bahkan kekerasan yang dilakukan bisa lebih kejam
dibanding anak biasa lainnya. Anak dengan perbedaan fisik atau ABK
tersebut selalu terlihat lebih lemah dari para pelaku, mereka lebih mudah
untuk ditakut-takuti dan digertak.
31
dan dapat mempengaruhi performanya di masa depan. Banyak dari
korban bullying akan mengalami:
Gangguan cemas
Psikosomatis
Gangguan makan dan tidur
Menarik diri
Berpotensi menjadi pelaku dan memperaktikkannya kepada
saudara atau orang yang lebih lemah darinya baik saat ini atau di
masa mendatang
Depresi
Mengancam atau mencoba melakukan praktik bunuh diri
33
Saat kita mendapati satu dari tanda-tanda tersebut ada baiknya
kita mencari tahu lebih lanjut apakah anak benar-benar mengalami
bullying atau mengalami permasalahan lain. Kondisi ini bisa juga di
konsultasikan kepada guru dan ahli seperti konselor, psikolog, dan
psikiater.
34
TAHAP V Merasa bahwa dunia adalah tempat yang mengerikan
dan tidak aman. Memilih antara balas dendam,
mencari bantuan atau bunuh diri.
35
berperan sebagai asisten, namun juga
tidak mencegah terjadinya bullying
Pembela : saksi mata yang membela dan
melindungi korban (kelompok
prososial).
36
mendapatkan perlindungan dan status sosial lebih tinggi dari
pelaku.
Saksi mata dalam hal ini dapat memiliki peran penting dalam
penanganan dan pencegahan bullying. Jika para saksi mata tidak
melakukan apa-apa malah justru menyemangati pelaku maka perilaku
bullying akan semakin menjadi-jadi. Mereka enggan untuk melapor
karena takut karena beragam alasan seperti:
Padahal jika saksi mata memiliki keberanian pasti akan ada yang
bergerak untuk mendukung. Saksi mata adalah kunci untuk mencegah
jatuhnya lebih banyak korban.
37
TAHAP Secara psikis merasa tidak nyaman. Bisa bertindak
II menarik diri atau mungkin memberi dukungan.
38
Bagian IV
Langkah-langkah Penanganan
40
dilakukan untuk mencegah perubahan perilaku yang dapat
merugikan.
Bagi Pelaku
41
Tak lupa memberikan konsekuensi pada pelaku dengan memberi
hukuman yang sifatnya lebih membangun .
Memberikan penguatan dengan reward pada pelaku bila
melakukan kegiatan positif. Reward ini dapat diberikan oleh
siapapun dan selalu mengingatkan pada pelaku bila terjadi tanda-
tanda ingin mengulanginya lagi.
Peran guru bimbingan konseling sangat dibutuhkan dalam proses
rehabilitasi
Jika permasalahan begitu berat carilah bantuan profesional
seperti psikolog dan konselor. Akses untuk mendapatkan bantuan
dari konselor dan psikolog kini mudah didapatkan di beberapa
kota besar, bisa ditemui di rumah sakit, puskesmas, dan praktek
pribadi. Namun, bila aksesnya sulit saat ini banyak layanan
konseling online yang dapat diakses dimana saja dan kapan saja.
Bagi Korban
42
Meminta bantuan dari guru atau pihak terkait untuk
melakukan penyelidikan
Membantu anak menemukan dan menyadari self esteemnya.
Anak yang memiliki self esteem akan memiliki pribadi yang
positif, menyadari potensi dirinya, menghargai diri sendiri
dan orang lain, serta berani menyuarakan haknya.
Mendengarkan sepenuh hati mengenai keluhan anak dan
memdorong anak untuk menceritakan apa yang terjadi
padanya
Bekerja sama dengan konselor dan teman sebaya sebagai
kelompok prososial untuk memberikan perlindungan dan
rasa aman pada anak di sekolah
Membantu dan mendorong anak untuk membangun
pergaulan positif, memperkenalkan dengan kegiatan-kegiatan
yang sifatnya membangun keterampilan sosial dan juga
potensinya.
Perbanyak teman dan mengajak berteman pada siswa yang
sendirian
Jangan lupakan reinforcement dengan memberikan reward
pada anak bila anak tidak takut pada pelaku.
Memberikan edukasi pada anak mengenai bullying, nilai-nilai
toleransi, dan hak-hak diri.
Mengajarkan strategi dalam menangani bullying dan
menghadapi pelaku
43
Bila mengalami trauma dan mengalami perubahan kondisi
emosi sebaiknya membawa anak kepada profesional seperti
psikolog, konselor, dokter, dan psikiater.
Bila anak adalah korban dari guru sebaiknya melaporkan
kepada pihak yang berwenang
45
Bila bystander mengalami trauma karena terlalu sering
terpapar dan melihat kejadian bullying diperlukan kerja sama
dari orangtua, guru, dan profesional untuk menangani
permasalahannya.
46
Selalu di Ingat!
47
Pencegahan Bullying di Sekolah
Iklim sekolah yang ramah dan bebas bullying tersebut dapat menjadi
langkah preventif dalam pencegahan bullying pada siswa. Keterikatan
emosional dapat terjalin dengan baik karena semua warga sekolah
merasa sama-sama memiliki tanggung jawab menjaga keamanan sekolah
memiliki tujuan
jelas dan menaati
norma yang ada
adanya hubungan
berkolaborasi dan
yang saling
melibatkan semua
mendukung antar
pihak
warga sekolah
Lingkungan
sekolah
49
dengan sosialisasi berkelanjutan, penegakan aturan sekolah dan
penguatan dengan adanya reward dan punishment bagi seluruh warga
sekolah.
50
Program Anti Bullying persembahan dari IPM
51
Oleh karena itu, PCI adalah wadah berkumpulnya para pelajar
untuk berbagi kepedulian terhadap sesama dalam bentuk pendampingan
teman sebaya melalui upaya promotif (promosi) - prefentif (prefentif),
konsultatif, dan partisipatif dalam ranah kesehatan dan pemberdayaan
teman sebaya, guna membentuk pelajar yang bernilai, berpengetahuan,
dan memiliki skill untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Alur PCI :
53
“Fenomena bullying diibaratkan fenomena gunung es, yang
terlihat tidak sebanding dengan yang tak terlihat dan
dampaknyapun seperti es, yang dalam kondisi tertentu dapat
sangat menyakitkan bahkan mematikan.”
54
Referensi
Cover: lawernegotiation.hatenadiary.com
55
Sucipto. 2012. Bullying dan Upaya Meminimalisasinya. Jurnal Bimbingan
dan Konseling Psikopedogogia, Vol. 1, No. 1. UAD.
Thomas, Tarshis. 2010. Living with Peer Pressure and Bullying. York: Maple
Vail Book.
56
Tentang Penulis
57