Sinklin Gagal Napas
Sinklin Gagal Napas
1.Pendahuluan
A. Defenisi
Gagal napas adalah ketidakmampuan sistem pernapasan untuk
mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer
dengan sel-sel tubuh yang sesuai dengan kebutuhna tubuh normal(1).
Gagal napas terjadi bila tekanan parsial oksigen arteri (PaO2) < 60
mmHg atau tekanan parsial karbon dioksida (PaCO2)> 50mmHg(2,
3).
B. Klasifikasi gagal napas
Berdasarkan analisa gas darah arteri, gagal napas dapat
diklasifikasikan menjadi : gagal napas tipe 1 (hipoksemia) yang
dainggap mewakili kegagalan paru intrinsik, seperti yang terjadi pada
penumonia, penyakit paru interstitial dan edema paru akut, dimana
PaO2 < 60 mmHg dengan PaCO2 yang normal atau rendah, dan
dikatakan gagal napas tipe 2 (hiperkapnia) yang dianggap sebagai
kegagalan pompa dari otot bernapasan yang lebih dominan
hipoventilasi, apabila kadar PaO2 < 60 mmHg dengan peningkatan
PaCO2 > 50 mmHg(2, 3). Sedangkan klasifikasi lainnya yaitu gagal
napas akut, kronis dan akut-pada-kronis biasanya terdapat pada gagal
napas tipe hiperkapnia. Gagal napas hiperkapnia akut, dijumpai
peningkatan PaCO2 yang cepat mengakibatkan berlebihnya ion
hidrogen dalam darah arteri melalui peruraian asam karbonat (H 2CO3),
yang mengarah kepada asidosis respiratorik (pH <7,35). Sebaliknya
gagal napas hiperkapnia kronis ditandai dengan pH normal (7,35 -
7,45) meskipun adanya peningkatan PaCO2 yang tinggi, hal ini
disebabkan terdapat waktu untuk ginjal mengkompensasi dengan cara
retensi biakrbonat (HCO3-), yang mengakibatkan meningkatnya HCO3-
serum yang menjadi buffer ion hidrogen yang berlebih. Dan disebut
gagal napas akut pada kronis apabila terjadi perburukan yang akut
pada pasien dengan gagal napas kronis sehingga pH <7,35 meskipun
C. Epidemiologi
Insiden dan prevalensi gagal napas sulit untuk diketahui,
karena gagal napas mewakili suatu sindroma daripada proses patologis
tunggal. Data di Eropa menunjukkan angka kejadian gagal napas akut
yang mengancam jiwa antara 77,6 dan 88,6 kasus per 100.000
penduduk pertahun(4).
2.Etiologi
Ada banyak penyebab gagal napas. Meskipun secara garis
besar dapat dipisahkan penyebab gagal napas tipe 1 (oksigenisasi) dan
gagal napas tipe 2 (ventilasi), tetapi tidak ada aturan mutlak dan
banyak penyebab gagal napas berpotensi untuk menyebabkan pola
gagal napas tipe 1 atau tipe 2(5). Gagal napas dapat dipicu oleh
kelainan di salah satu komponen dari sistem pernapasan, dari saluran
napas bagian atas sampai dengan sistem muskuloskeletal(6):
Obstruksi jalan napas: benda asing, tumor, hilangnya refleks
jalan napas (seperti pada penurunan kesadaran), bronkospasme,
bronkitis kronis
Parenkim paru: penumonia, acute respiratory distress
syndrome (ARDS), edema alveolar, kolaps lobus paru, kontusio
paru atau perdarahan, atelektasis, penyakit paru intertisial, emfisema
Pleura: pneumotoraks, efusi pleura, hemotoraks
Vaskular: emboli paru
Sistem saraf pusat: obat-obatan sedatif, opiat, segala kondisi
yang menyebabkan koma, penyakit motor neuron
Sistem saraf perifer: sindroma Guillain-Barre, lesi saraf frenikus,
poliomielitis
Sistem muskular: mieastenia gravis, distrofi otot, blokade
neuromuskular residu setelah anastesi, diafragma letak tinggi/
imobilisasi diafragma (cth. oleh karena obesitas dan nyeri abdomen)
Sistem skeletal: fraktur tulagn rusuk, kiposkilosis
3.Patofisiologi
Gagal napas dapat timbul dari kelainan di saluran napas,
alveoli, sistem saraf pusat dan perifer, otot pernapasan dan dinding
dada. Pemahaman mengenai patofisiologi gagal napas merupakan hal
yang sangat penting dalam penatalaksanaannya nanti. Secara umum
mekanisme gangguan pertukaran gas pada sistem respirasi meliputi
gangguan diffusi, ketidaksesuaian ventilasi/perpusi (V/Q
missmatch), pirau kanan ke kiri (right-to-left shunt) dan
hipoventilasi.(7) Sesuai patofisiologinya gagal napas dapat dibedakan
dalam dua bentuk yaitu hipoksemia atau kegagalan oksigenisasi dan
hiperkapnia atau kegagalan ventilasi
3.1 Kegagalan Oksigenisasai (Gagal napas tipe
1/Hipoksemia)
Gagal napas hipoksemia adalah tidak adekuatnya pertukaran
gas di paru karena ketidakmampuan untuk mengoksidasi darah vena.
Ciri utama gagal napas hipoksemia adalah adanya kadar PaO2
dimana V’CO2 adalah nilai CO2 yang diproduksi dan V’A adalah
ventilasi alveolar. Dalam hal ini semua penyebab yang menghasilkan
hipoventilasi alveolar akan mencapai suatu retensi CO2 (dan
hiperkapnia). Yang paling sering adalah VT dan/atau berkurangnya
RF. Namun demikian, hiperkapnia juga terkait dengan peningkatan
produksi CO2 (tanpa peningkatan kompensasi dari V’A) dan juga
dalam kasus adanya peningkatan pada VD/VT (Tabel 1).
Hipoksemia Hiperkapnia
B. Laboratorium
Analisis gas darah
Gejala klinis gagal napas sangat bervariasi dan tidak spesifik.
Jika gejala klinis gagal napas sudah terjadi maka analisis gas darah
harus dilakukan untuk memastikan diagnosa, dan membedakan tipe
gagal napas. Hal ini penting untuk menilai berat ringannya gagal
napas dan perencanaan terapi. Analisa gas darah dilakukan untuk
patokan terapi oksigen dan penilaian objektif dari berat-ringan gagal
napas. Indikator klinis yang paling sensitif untuk peningkatan
kesulitan respirasi adalah peningkatan laju pernapasan Sedangkan
kapasitas vital paru baik digunakan unutk menilai gangguan respirasi
akibat neuromuskular, misalnya pada sindroma Guillain-Bare, dimana
kapasitas vital berkurang sejalan dengan peningkatan kelemahan.
Interpretasi hasil analisa gas darah meliputi dua bagian, yaitu
gangguan keseimbangan asam-basa dan perubahan oksigenasi
jaringan.
C. Pemeriksaan penunjang
Pulse oximetry
Saturasi oksigen darah kapiler > 90% dianggap normal.
Penurunan SpO2 secara tiba-tiba <80% berhubungan dengan gagal
napas. Pada umumnya, pasien menunjukkan gejala klinis gagal napas
ketika SpO2 <90%. Bersamaan dengan pengukuran saturasi SpO2,
serum bikarbonat (HCO3) dapat menolong untuk menentukan apakah
COPD dengan retensi karbon dioksida (HCO3 meningkat) yang
mendasari gagal napas tersebut atau adanya suatu asidosis (HCO3
menurun). Ketidakakuratan dapat terjadi dengan perfusi ujung jari
yang buruk. Masalah ini dapat diatasi dengan menempelkan probe ke
lobus telinga. Cat kuku, kulit yang berpigmen gelap, anemia,
pencahayaan yang terang, korboksihemaglobinemia, dan
methaemoglobinemia dapat juga menurunkan akurasi.(9)
Foto toraks
Harus dilakukan pada pasien dengan gagal napas dalam rangka
untuk membantu diagnosis penyebab. Gambaran infiltrat yang difus
pada foto toraks berhubungan dengan pneumonia, edema paru,
aspirasi, penyakit paru interstitial yang progresif, memar paru, dan
perdarahan alveolar. Perubahan minimal pada foto toraks sering
terlihat pada eksaserbasi akut penyakit paru obstruktif kronis, asma,
emboli paru dan depresi pernapasan. Foto toraks juga digunakan untuk
menilai pneumotoraks, kolpas paru dan efusi. Pada pasien asma,
hiperinflasi paru berhubungan dengan obstruksi saluran udara kecil
yang berat.
5.Diagnosis banding
Diagnosa banding gagal napas adalah edema paru dan acute
respiratory distress syndrome
6.Penatalaksanaan
Gagal napas merupakan salah satu kegawatdaruratan. Untuk
itu penanganannnya tidak bisa dilakukan pada area perawatan umum
di rumah sakit. Perawatan dilakukan di Intensive Care Unit (ICU),
dimana segala perlengkapan yang diperlukan untuk menangani gagal
napas tersedia. Tujuan penatalaksanaan pasien dengan gagal napas
adalah: membuat oksigenasi arteri adekuat, sehingga meningkatkan
perfusi jaringan, serta menghilangkan underlying disease, yaitu
penyakit yang mendasari gagal napas tersebut.
Dasar pengobatan gagal napas dibagi menjadi pengobatan
nonspesifik dan yang spesifik. Umumnya doperlukan kombinasi
keduanya. Pengobatan nonspesifik adalah tindakan secara langsung
ditujukan untuk memperbaiki pertukaran gas paru, sedangkan
pengobatan spesifik ditujukan untuk mengatasi penyebabnya.
6.1 Pengobatan nonspesifik
Pengobatan ini dapat dan harus dilakukan segera untuk
mengatasi gejala-gejala yang timbul, agar pasien tidak jatuh ke dalam
keadaan yang lebih buruk. Sambil menunggu dulakukan pengobatan
spesifik sesuai dengan etiologi penyakitnya.
6.1.1 Atasi Hipoksemia
Terapi Oksigen
Pada keadaan O2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya
untuk menaikkan PaO2 sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal
napas dari penyakit kronik yang menjadi akut kembali dan pasien
sudah terbiasa dengan keadaan hiperkapnia sehingga pusat pernapasan
tidak terangsang oleh hiperbaric drive melainkan terhadap
hypoxemic drive. Akibatnya kenaikan PaO2 yang terlalu cepat,
pasien dapat menjadi apnoe.(10)
Dalam pemberian oksigen harus dipertimbangkan apakah
pasien benar-benar membutuhkan oksigen. Indikasi untuk pemberian
oksigen harus jelas. Oksigen yang diberikan harus diatur dalam
jumlah yang tepat, dan harus dievaluasi agar mendapat manfaat terapi
dan menghindari toksisitas.(11)
Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang
dibutuhkan pada pasien-pasien dengan keadaan hipoksemi akut.
Oksigen harus segera diberikan dengan adekuat karena jika tidak
diberikan akan menimbulkan cacat tetap atau kematian. Pada kondisi
ini oksigen harus diberikan dengan FiO2 60-100% dalam waktu
pendek dan terapi yang spesifik diberikan. Selanjutnya oksigen
diberikan dengan dosis yang dapat mengatasu hipoksemia dan
meminimalisasi efek samping. Bila diperlukan oksigen dapat
diberikan terus-menerus.(12)
Cara pemberian oksigen secara umum ada 2 macam yaitu low-
flow delivery (sistem arus rendah) dan high-flow delivery
(sistem arus tinggi) (Tabel 3). Kateter nasal kanul merupakan alat
dengan sistem arus rendah yang digunakan secara luas. Nasal kanul
arus rendah mengalirkan oksigen ke nasofaring dengan aliran 1-6
L/mnt, dengan FiO2 antara 0,24-0,44 (24%-44%). Aliran yang lebih
tinggi tidak meningkatkan FiO2 secara bermakna diatas 44% dan dapat
mengakibatkan mukosa membran menjadi kering. Untuk memperbaiki
efisiensi pemberian oksigen, telah didisain beberapa alat, diantaranya
electronic demand device, reservoir nasal canul, dan
transtracheal catheters, dan dibandingkan nasal kanul
konvesional alat-alat tersebut lebih efektif dan efisien. Alat oksigen
arus tinggi diantaranya ventury mask dan reservoir nebulizer
blenders. Alat venturi mask menggunakan prinsip jet mixing
(efek Bernoulli). Dengan sistem ini bermanfaat untuk mengirimkan
secara akurat konsentrasi oksigen rendah (24-35%). Pada pasien
dengan PPOK dan gagl napas tipe 2, bernapas dengan mask ini
mengurangi risiko retensi CO2 dan memperbaiki hioksemia. Alat
tersebut terasa lebih nyaman dipakai, dan masalah rebreathing diatasi
melalui proses pendorongan dengan arus tinggi tersebut. Sistem arus
tinggi ini dapat mengirimkan sampai 40 L/mnt oksigen melalui
mask, yang umumnya cukup untuk total kebutuhan respirasi. Dua
indikasi klinis untuk penggunaan oksigen dengan arus tinggi ini
adalah pasien yang memerlukan pengendalian FiO2 dan pasien dengan
ventilasi abnormal.(11)
Secara Fisiologis
Secara Klinis
Teofilin
Teofilin adalah penghambat fosfodiesterasi yang tidak selektif.
Selain bronkodilatasi, teofilin meningkatkan laju pust pernapasan,
daya tahan otot pernapasan, pembersihan mukosiliar, curah jantung
dan pelebaran arteri paru. Teofilin jarang digunakan karena memiliki
potensi efek samping seperti takikari, mual dan muntah. Komplikasi
yang lebih parah ialah aritmia jantung, hipokalemia, perubahan status
mental, dan kejang.(1, 14)
Kortikosteroid
Kortikosteroid biasanya digunakan pada pasien dengan latar
belakang penyakit PPOK atau asma untuk mengurangi inflamasi
saluran napas dan hiperaktifitas dari otot-otot trakeo-bronkial. Steroid
serosol kurang baik distribusinya pada gagal napas akut, dan hampir
selalu digunakan preparat oral atau parenteral. Efek samping berupa
hiperglikemia, hipokalemia, retensi natrium dan air, miopati steroid
akut, gangguan sistem imu, kelainan psikiatrik, gastritis dan
perdarahan gastrointestinal dapat terjadi pada pemakaian
kortikosteroid parenteral. (1, 6)
7. Kepustakaan
1. Amin Z, Purwoto J. Gagal napas akut. In: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, K MS, Setati S, editors. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. 5 ed. Jakarta: InternaPublishing; 2009. p. 218-
26.
2. Suh E-S, Hart N. Respiratory failure. Medicine.
2102;40(6):293–7.
3. Belda FJ, Soro M, Ferrando C. Pathophysiology of respiratory
failure. Trends in Anaesthesia and Critical Care.
2013;3(5):265-9.
4. Lewandowski K. Contributions to the epidemiology of acute
respiratory failure. Critical care. 2003 Aug;7(4):288-90.
PubMed PMID: 12930552. Pubmed Central PMCID: 270706.
5. Burt CC, Arrowsmith JE. Respiratory failure. Surgery.
2009;27(11):475-9.
6. Bhandary R, Randles D. Respiratory failure. Surgery.
2012;30(10):518-24.
7. West JB. Respiratory physiology e the essentials. 9th ed.
Baltimore: Lippincott, Williams and Wilkins; 2012.
8. Weinberger SE, Cockrill BA, Mandel J. Classification and
pathophysiologic aspects of respiratory failure. Principles of
pulmonary medicine. 6 ed. Piladelphia: Elsevier; 2014. p. 344-
50.
9. Jubran A. Pulse oximetry. Critical care. 1999;3(2):R11-R7.
PubMed PMID: 11094477. Pubmed Central PMCID: 137227.
10. Unyainah ZNA. Terapi Oksigen. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, K MS, Setati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. 5 ed. Jakarta: InternaPublishing; 2009. p. 161-5.
11. Sue DY, Vintch JRE. Respiratory Failure. In: Bongard FS, Sue
DY, Vintch JRE, editors. Current Diagnosis & Treatment
Critical Care. 3rd ed. New York: Lange Medical
Books/McGraw-Hill; 2008. p. 247-313.
12. Brusasco V, Pellegrino R. Oxygen in the rehabilitation of
patients with chronic obstructive pulmonary disease: an old
tool revisited. American journal of respiratory and critical care
medicine. 2003 Nov 1;168(9):1021-2. PubMed PMID:
14581283.
13. Neema PK. Respiratory failure. Indian Journal of Anasthesia.
2003;47(5):360-6.
14. Forte P, Mazzone M, Portale G, Falcone C, Mancini F, Silveri
NG. Approach to respiratory failure in emergency department.
European review for medical and pharmacological sciences.
2006 May-Jun;10(3):135-51. PubMed PMID: 16875048.