Anda di halaman 1dari 168

Laporan Penelitian

ISLAM DAN GERAKAN SOSIAL: STUDI ATAS GERAKAN


JAMAAH AL ISLAM GUMUK SURAKARTA

Oleh:
Muta Ali Arauf, M. A.

Lembaga Zakat Infaq dan Sadaqah Muhammadiyah (LazisMu)


Kabupaten Banyumas
Tahun 2018
PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama : Drs H. Sujiman, M.A.
Jabatan : Ketua LazisMu Kabupaten Banyumas

Mengesahkan penelitian yang dilakukan oleh :


1. Nama : Muta Ali Arauf
Judul : “Islam dan Gerakan Sosial: Studi Atas Gerakan Jamaah Al Islam Gumuk
Surakarta”
2. Biaya : Rp. 10.000.000.,- (Sepuluh Juta Rupiah)

Demikian harap maklum.

Purwokerto, 22 Juli 2018

Drs. H Sujiman, M.A.

ii
Pernyataan

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Islam dan
Gerakan Sosial: Studi Atas Gerakan Jamaah Al Islam Gumuk Surakarta”
adalah benar-benar karya saya sendiri kecuali rujukan-rujukan dan atau
kutifan-kutifan yang telah disebutkan sumber maupun asalnya di dalam
karya ini, baik langsung maupun tidak.

Surakarta, 22 Juli 2018

ttd

Muta Ali Arauf


Kata Pengantar

Menjalani studi lanjut S2 di pasca sarjana jelas membutuhkan keseriusan dan

konsentrasi apalagi mengerjakan tugas kuliah akhir berupa penelitian tesis. Tidak salah

banyak orang menganggap bahwa orang yang menempuh studi S2 ibarat bertapa untuk

menggembleng diri, mengasah kemampuan, dan memperdalam wawasan keilmuan

tertentu. Dengan kata lain, meluangkan waktu semaksimal mungkin untuk menguliti

pelbagai sumber serta melarutkan diri dalam banyak berdiskusi. Nah, penulis merasa

tidak seberuntung itu. Keterbatasan kondisi telah memaksa penulis untuk mengatur

waktu dan berbagi kesempatan agar bisa menjalani dua hal secara bersama, sekolah dan

bekerja.

Hanya dengan kesempatan dan kepercayaan yang telah diberikan pelbagai pihak,

akhirnya penulis bisa menikmati sekaligus menyelesaikan studi di Program Studi Agama

dan Lintas Budaya (Center for Religious and Cross Cultural Studies), Universitas Gadjah

Mada. Untuk ini, saya berterimakasih kepada Prof.Dr. Irwan Abdullah atas bimbingan

dan pengertiannya, Prof. Dr. A. Mursyidi dan Dr. Zaenal Abidin Bagir yang memberikan

dukungan sehingga proses semua ini berjalan lancar, kesekretariatan-administrasi dan

perpustakaan CRCS (Mas Agus, Mbk Rini, dkk) yang setia membantu dan direpotkan

penulis selama studi.

Dengan dukungan penuh kawan-kawan di Pusat Studi Budaya dan Perubahan

Sosial (PSB-PS) Univ. Muhammadiyah Surakarta, nglaju Solo-Yogyakarta setiap

iv
hari terasa ringan. Terimakasih untuk Mbak Yayah Khisbiyah, Pak Thoyibi, Pak Fattah,

Pak Musyiam, Pak Aly, Bang Zaky, Almun, Dwi, serta Farid atas semua pengertiannya

yang begitu dalam serta suasana kekeluargaan yang kalian berikan. Saat-saat

mengerjakan sekaligus merampungkan tesis ini, pertengahan 2006, penulis banyak

”mengkorupsi” waktu kerja di MAARIF Institute for Culture and Humanity, Jakarta.

Terimakasih untuk Toni, Endang, Joko, Supri, dan Heni yang telah menciptakan

kehangatan tersendiri di belantara Metropolitan.

Lebih dari itu, tanpa dukungan dan bantuan yang tulus dari Mas Mirza dan Abu

Fauzan di Pasar Kliwon-Solo belum tentu penelitian ini bisa selesai. Merekalah yang

membuat studi sederhana ini menemukan kaki. Saya juga menyampaikan apresiasi

sekaligus terimakasih kepada Pak Ricklefs yang telah meluangkan waktunya

memberikan koreksi dan masukan penting agar hasil penelitian sederhana ini menjadi

lebih baik dan akurat. Tak lupa, hormat penulis untuk Buya Syafii Maarif yang tiada

bosan memberi semangat untuk terus membaca dan berkarya.

Meskipun sudah dinyatakan lulus awal September 2006 namun penulis baru

bisa mengurus kelulusan di Pebruari 2008 ini. Hanya kemalasan yang bisa menjadi

alasan! Inilah kado kadeudeuh untuk Nurul Mazidah dan Shabira (”Shebi”) Ardhina

Pinandita, istri dan baby mungil kami, yang selalu tegar. Atas permintaan kalianlah,

penulis rela hilir mudik Jakarta-Solo-Yogyakarta agar semuanya bisa cepat selesai.

Yang tak mungkin dilupakan, Papih & Mamih di Sukabumi dan Bapak & Ibu di Lasem.

Semoga doa dan restu kalian membuat jalan kami terasa mudah. Amien.

Jakarta, 4 Maret 2008

v
ABSTRAKSI

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis peran gerakan Islam yang meyakini
Islam sebagai ideologi dalam proses perubahan sosial di Surakarta dengan mengambil
Jamaah “Al Islam“ Gumuk (JAIG) sebagai fokus studi. Jamaah Al Islam Gumuk
menarik untuk dikaji karena telah memainkan peran-peran menentukan dalam
mengkondisikan dan memobilisasi gerakan-gerakan perjuangan aspirasi dan solidaritas
umat Islam, baik dalam bentuk penggalangan gerakan kelaskaran maupun aksi-aksi
keumatan seperti demonstrasi dan sweeping.
Analisis dalam penelitian ini bersifat kualitatif dengan menggunakan
wawancara mendalam terhadap informan, baik primer dan sekunder, sebagai metode
pengambilan data primer. Informan primer dipilih secara acak berdasarkan
keterwakilan unsur anggota dan pimpinan jamaah dengan menggunakan teknik
wawancara tidak terstruktur dan terbuka. Informan sekunder adalah mereka yang
mempunyai pengalaman mengikuti pengajian Jamaah Al Islam Gumuk setiap pagi hari
ataupun yang memiliki informasi yang berkaitan, baik secara langsung maupun tidak,
dengan profil dan aktivitas JAIG. Dokumen, transkrip ceramah, hasil penelitian,
kepustakaan serta informasi lisan terkait merupakan sumber lain untuk melengkapi,
memvalidasi, serta memperkaya data.
Jamaah Al Islam Gumuk dibangun dan dikembangkan oleh Ustad Mudzakkir
pada tahun 1977 yang sebelumnya dirintis oleh kakeknya, Kyai Abdul Manaf Shiddiq
sekitar tahun 1927. Kemunculan gerakan jamaah ini tidak bisa dilepaskan, baik secara
historis maupun ideologis, dengan dinamika gerakan Jamaah Al Islam yang didirikan
Kyai Imam Ghazali tahun 1927 sebagai hasil Musyawarah Ulama independen di
Surakarta, termasuk Kyai Shiddiq ikut terlibat sebagai salah seorang deklaratornya.
Secara sosiologis, gerakan JAIG merupakan antitesis terhadap sistem kepartaian dalam
memperjuangkan ideologi Al Islam di dalam sistem kenegaraan yang sudah terbangun.
Ini merupakan respon sosiologis sekaligus siasat menghadapi rejim politik Orde Baru
yang bersikap konfrontatif terhadap gerakan Islam politik.
Tirani politik Orde Baru telah menimbulkan keresahan, penindasan berupa
pemberangusan ideologi Islam politik, dan gejolak sosial-politik. Pada saat yang sama,
konstalasi politik global memicu ketidakpuasan bahkan kemarahan di kalangan yang
diasosisasikan sebagai fundamentalis dan radikal. Banyak kelompok jamaah
mengalami ketertekanan luar biasa, secara ideologis, psikis, serta fisik. Dalam kondisi
tersebut, JAIG membangun basis dan memperkuat proses diseminasi ideologi Al Islam
melalui institusi keagamaan mesjid, pengajian, madrasah, pesantren, dan kelaskaran.
Arena-arena ini mencerminkan konteks mikro sebuah gerakan Islam.
Institusi keagamaan tersebut berfungsi tidak hanya sebagai rumah inkubasi
ideologis namun juga merupakan alat artikulasi kesadaran politik untuk menyuarakan
protes, perlawanan, dan solidaritas. Pengajian dan kelaskaran merupakan dua institusi
kaderisasi yang tidak terpisahkan karena masing-masing institusi memainkan peran
mengkondisikan stakeholders jamaah untuk mobilisasi sosial. Doktrin, konteks
struktural, dan kepemimpinan merupakan faktor utama yang mentransformasikan
institusi keagamaan ke dalam konteks makro sosial-politik bangsa yang kompleks.

vi
Thesis`Summary

The focus of this study is examining the role of Islam as an ideology in social

process whether to encourage or to resist change in certain structural context. Many

radical Islamic movements are driven by micro-contexts as sources of disseminating

religious beliefs before they are mobilized into the public sphere. The micro-context

of disseminating values refer to religious institutions such as a mosques, religious

gatherings, Islamic boarding schools, and paramilitary groups (laskar). Radical

Islam is a changing form of the political Islamic ideology in recent times. The

research will look into a case of religious transformation which publicized religious

values and mobilized it politically through religious institution. The research regards

the political Islam of jamaah movements keep another model of social movement.

In addition, the rise of the political Islamic movements after the fall of the

New Order is one of the determining factors of contemporary Islam in Indonesia.

Martin Van Bruinessen mentioned that local ideology transformation in political

Islam, meaning Darul Islam and Masyumi Party, and transnational Islamic ideology

expansions such as Wahhabi-Salafism and the Muslim Brotherhood, are the root and

causes of the rising radical Islam after Soeharto`s ruling.

To some extent, the role of radical Islam, whether as an official structure or

a lose organization, had disrupted major opinions of Indonesian Islam as represented

by Muhammadiyah and NU. Robert Hefner (2000) named both organizations as the

vii
main potential powers of civil Islam and having a significant role to play for future

democracy in Indonesia.

The root of the political Islamic ideology is a credo of Shari a as the only

solution. In his essay, “The Roots of Muslim Rage”, Lewis identified political Islam

as “perhaps irrational but surely historic reaction of an ancient rival against our

Judeo-Christian heritage, our secular present and the worldwide importance of both”

(in Qureshi and A. Sells, 2003: 5). He used the terms of “Judeo-Christian” and

expression of “our secular present” to construct Islam as a common enemy for the

West. Samuel Huntington has advised to the West for defeating the political Islamic

movements (ibid.13). As a result, this ideology is signified as dangerous threat to

the Western.

Unlike Lewis and Huntington, Bassam Tibi supposed that the basic reason

why the clash between the West and Islam does is about role-plays competition in

the world (Tibi, 2000: 26). Therefore, Tibi`s thesis has notified the battle between

the political Islam ideology either on behalf Pan Islamism or khilafah (Islamic

imperial through a Caliphate) and the Western universalism. At the same time,

market capitalism ideology hegemony that operates through politics and economy

policies has advantaging the have countries, particularly America and numerous

European countries.

Contrast to welfare distribution commitment, capitalism hegemony on behalf

globalization has created a gap between the North and South countries.

viii
Nevertheless, dark side of globalization have less largely examined among world

citizens rather than global opinion of fundamentalism, radicalism, and terrorism.

However, Tariq Ali (2002) tried to prove the global threatens is not merely the clash

of civilizations and jealous role-play but the clash of market fundamentalism and

religious fundamentalism that really happens. In fact, domination of capitalist

ideology has been seen producing the darkness effect of socially modern pathology

such as social injustice, political discrimination, global poverty, and economic

dependent. Facing those socially problems, presenting religious struggle is not only

a religious movement but also can understood as a social movement.

Religious social movement requires loosely organized but sustained

campaign in support of a social goal, either in way to promote or resist of a change

in society. For that reason, the rise of radical groups that is mainly constructed by

religious identity must be consider as a resistance or protest movement against social

injustice. Refer to this concept, perhaps, it help us to understand Ali`s thesis. Ali

turns up on one important conclusion that by far of religious movements, particularly

Islamic fundamentalism, triggered by fundamentalism of market ideology.

In the Indonesia context, authoritarian political system and secular ideology

development are the most important origins of the wake up Darul Islam ideology

through several Islamic fundamentalist movements, such as Majelis

Mujahidin Indonesia (MMI), Laskar Jihad, Front Pembela Islam, dan Front

Pembela Islam Surakarta. Doctrine is not the only one grounds provoking religious

ix
resistance. Therefore, social alienation that affected marginality and political

injustice is also critical causes rather than a doctrine (Prasetyo, 2003:61).

In fact, there are few radical Islam research departures from micro context

of religious disseminating as a source and base of mobilizing religious movements.

However, Irwan Abdullah (1994) in his research showed us that religious gathering

as one of religious institutions contributed to social reform. Main problem research

is linked to Jamaah Al Islam Gumuk`s role as a type of the political Islam and it

ability to mobilize religious institution in public life.

The political Islam mapping that in general named by Olivier Roy (2005) as

radical Islam raise approaches as a tool of analysis: religious movements, political

movements, culture movements, and social movements (Jamhari and

Jahroni, 2004: 37). Sartono Kartodirdjo`s peasant rebellion study (1984) in Banten,

Carrie Risefsky Wickham (2002) and Quintan Wiktorowicz (2001)`s salafi and

brotherhood study in Egypt dan Jordan, and Noorhaidi (2002) Eko Prasetyo`s Laskar

Jihad research (2003) are part of small number of Islamic movements studies prior

to social movements perspective.

Social movement defines as “loosely organized but sustained campaign in

support of social goal, typically either the implementation or the prevention of a

change in society’s structure or values” (Encyclopedia Britannica, 2005). In other

explanation, “social movements are socially shared activities and beliefs directed

toward the demand for change in some aspect of the social order. To the narrow: A

social movement is a formally organized group that acts consciously and with some

x
continuity to promote or resist change through collective action” (Williams in Marty

and Appleby, 1994: 786).

The research objective is to understanding religious transform in historical

and social context, to elaborate disseminating religious interpretation processes

through religious institution and to explain role of it in mobilizing Islam. It is hoped

that this research can make a significant contribution to understanding this topic by

offering an alternative perspective explanation of internalize Islamic teaching,

processes of dissemination of resistance values, and the political power of religious

gathering forum in mobilizing collective action.

Radical Islam study is dominated by political Islam approach. Thus, using

social movement approach on religious groups such as radical Islam would become

relevant and important. It is relevant because global injustice and political system

failures have fire up social movements. It is important because radical Islam is

always misunderstood.

The research is qualitative and utilizes dept interview methods to collect

primary data. Religious leader and some member of Jamaah Al Islam will interview

during the research. Some religious gathering transcript will be analyzed to

complement the data. The transcript refers to daily religious gathering every

morning, after shubuh praying. It is a common religious gathering that everyone

allowed following this forum without special qualification. Then, both data will

analyze and interpret reflectively.

The locus of the research is Surakarta. The city is the heart of Central Java.

xi
The city has long history related to resistance, protest, and radical movements.

Recently, Surakarta is one of the Indonesian cities have strong relation with some

bombing tragedies. A number of Indonesian bombers suspected have ever

connection with some religious groups in this city. In particular, after the second

bomb Bali attack October 1, 2005. In addition, Sidney Jones’s interview with Tempo

Magazine, mentioned about 18 spotlights of terrorists networking schools and one

of them is attendance in Surakarta (Tempo, 10/23/05).

Although Surakarta people is dominated by abangan or nominal Muslim but

it has many religious groups and various religious movements. Among of them is

Pondok Al Mukmin Ngruki, Majelis Tafsir Al Quran (MTA), Jamaah AL

Islam Gumuk, Jamaah Al Islam Penumping, and Forum Pengajian Pasar Kliwon.

They have strong influence socially and politically in Surakarta, particularly Muslim

society. Each other has loyal followers full committment to their own respectable

leaders. These religious groups have power to mobilize their religious audiens to

promote and struggle for certain objectives. To some extent, many radical Islam

movements in Surakarta affialiated or connected to thoses religious groups

stakeholders.

Focus of the study is Jamaah Al Islam Gumuk for several reasons. Firstly,

Jamaah Al Islam Gumuk is more often expossed by mass media than others religious

group, particularly Pondok Al Mukmin Ngruki. Secondly, the Jamaah is socially

more protective than others, particularly Forum Pengajian Pasar Kliwon and

Majelis Tafsir Al Quran. Thirdly, the number of radical Islam movement activists

xii
have studied at Jamaah Al Islam Gumuk. Some local religious leaders and also many

members of Front Pembela Islam Surakarta (FPIS) are coming from Jamaah Al

Islam Gumuk (Arif, 2001).

Additionally, the top leader of Jamaah Al Islam Gumuk. Ust. Mudzakkir,

had close relationship with some leading stakeholders of radical Islam such as

Abdullah Sungkar and Abu Bakar Ba`asyir. Jamaah Al Islam Gumuk formally

located at Al Abror Mosque, Mangkubumumen Wetan, Banjarsari disrict.

Mangkubumen is located in the central city and sorrounded by many public service

buildings. The Jamaah has many religious institution as a home for disseminating

movements ideology.

Ust. Mudzakkir as the top leader what we called it “amir“ with his collegues

had developing dailly religious gathering in the mosque, Al Islam boarding school

(Ma`had Al Islam) in front of the Mosque, and Islamic primary school of Al Islam

(madrasah Al Islam). They also creates paramilitery groups what they called

“Laskar Khawari“ as a part of religious intitution for strengthening their struggle in

public sphere. In general, the study has similarities with previous studies that

examining religious institution role in social movement process whether sociology

or anthropology perspectives.

Chapter two explains profile and social structure of Surakarta as the stage.

The social ecology of Surakarta constructed by dichotomies patterns, center versus

periphery. Theoretically, according to Soedarmono, It is affected by shifting

development paradigm from kuthanagara concept to market economy. In other side,

xiii
the New Order political authoritarian had restrained the political Islam oppression.

In same time, global politics order has been aggravating hatred as well as angry

among who associated as a radical.

Directly, any jamaah groups (exclusive religious community) had been

pressured much harder than official religious organizations like Muhammadiyah and

NU. It is the most social influential as Turner called it social influence that explains

connectivity social system relations, individual attitudes, and collective action (in

Augustinos and Reynolds, 2001:171).

Chapter three describes a model of religious transform in Surakarta society

refer to the raise Jamaah Al Islam movements in early twenty century. Jamaah Al

Islam was established by leading local religious leaders such as Kyai Imam

Ghazali bin Hasan Ustad, Kyai Abu `Ammar, KH. Abdussomad, K. Abdul Manaf

Siddiq, KH. Mufti Salimin, KH. M. In`am, KH. Husnan, KH. Khurmen, Kyai

Syakir, Kyai Abdurrazaq Siddiq and Kyai Abdullah Siddiq.

Jamaah Al Islam is symbol of the Surakarta religious leaders respond to NU

and Muhammadiyah conflict that stand for each one religious fanatics. In fact,

Jamaah Al Islam was lead by Kyai Imam Ghazali in 1927 during it declared in

Musyawarah Ulama Surakarta (Surakarta religious leader meeting). Jamaah Al

Islam has central role for years among local religious movements and recognized as

the respectable religious groups. However, Jamaah Al Islam had going down after

Kyai Ghazali period, 1960.

xiv
Additionally, in 1977, Ustad Mudzakkir had initiated daily religious

gathering in Al Abror Mosque at Gumuk Mangkubumen Wetan that was established

by Kyai Abdul Manaf Siddiq (Mujahid in Ghazali, 1994: 1) who supported Kyai

Imam Ghazali. Actually his working is keep on Kyai Abdul

Manaf Shiddiq`s religious gathering before dying. Further, Mudzakkir established


Al Islam Islamic boarding school, primary Islamic school, and develop religious
gathering well organizing.

According to religious gathering participants, Mudzakkir is founded Jamaah

Al Islam for struggle Islam as the only one ideology. If we compare to previous

jamaah, the Jamaah Al Islam in Gumuk has similarities even encounter goals with

Kyai Ghazali uphold. Both beliefs “Al Islam” as the truly ideology automatically

avoid any other ideology. Mudzakkir is the most influential leaders of Jamaah Al

Islam Gumuk. Furthermore, he is developing concept of ideology and movements.

He published a “Wahdatul Ummah” (unity of Muslim society) as the guide book.

The book is stressing on jamaah, imamah (leadership), treaty (baiat),

loyality (thaat). Accordingly, both jamaah and imamah are principal and core of

Islam (Mudzakkir, 1999; Ghazali, 1994; Al Islam, 1994; Abas, 2005). Through the

book, Jamaah Al Islam against fanaticism (ashabiya) because of it implies conflict

among Muslim. The idea of Muslim unity proposed to eliminate fanaticism and

conflict. The jamaah concept is raised againts other established religious

organizations and political parties as well in terms of Islamic struggle.

In the eye of Mudzakkir (1999), political party is forbidden (haram) due to

its negative impact, mainly fanaticism and clash within Muslim people. In line with

xv
this, Islamic party is not the best means in struggling Muslim voices. However,

leaders of the jamaah give a freedom to their followers in general

election, including local elections, either to vote or not.


Chapter four portrayed disseminating process of ideology and role of

religious institution. The main core of Al Islam ideology is to purify religious

mainstream views that mostly did not devote religious piety totally and resist to state

political system because it has not Islamic leadership. The ideology postulated Al

Islam as dakwah and jihad. Both are the creed of the political Islam paradigms. Both

values proliferated warrior spirit (mujahadah) among member of religious gathering

the warrior has strong close connection with hijrah tradition that decode in act of

mobility.

In term of generic meaning, hijrah is traveling. Hijrah in term of idea is

traveling from primordial fanatics to Al Islam in toto therefore it rejected political

party and organization. Hijrah is symbol of political consciousness for social

mobility. The rising of Jamaah Al Islam Gumuk is dealing with structural

construction so it has political responsibility as sociological impact. Anonymity

strategy is the way formed by Jamaah Al Islam Gumuk to hide it identity and

movements itself. It is other side of Muslim strategy facing the New Order during

1970-1980-an. Jamaah Al Islam Gumuk is typically generation of the Mosque

contrary to Kuntowijoyo`s thesis (2001), the Muslim generation without Mosque.

Religious institutions such as mosque, religious gathering, primary Islamic

school, Islamic boarding school, and paramilitary are not only home base of

xvi
ideology but also apparatus of political consciousness in articulating solidarity,

protest, and resistance. These institutions and informal network are social modal as

well as provide for Jamaah Al Islam movements. Religious leaders and social

influence are constitutive factors for religious understanding, social patterns,

characteristic movements, communication models, and informal network

coordination.

Jamaah Al Islam Gumuk has two religious gathering that are general and

special gatherings. Both religious gathering are the most important resources of

religious movements. In his study, Irwan Abdullah concluded religious gathering is

a model of religious institution in increasing religious life quality and economic of

it members (1994: 93). Besides religious gathering, mosque and primary Islamic

education (madrasah) have major role in disseminating process.

Mosque is not only place of worship such as praying but also base home for

political struggle. The mosque is an ideological symbol denied separation between

state and religion. The mosque is the place of knowledge transmission and base

home for political consciousness transformation (Mahmood, 2005: 44) and political

consciousness building (Maliki, 1999: 112). Al Abror Mosque is the central place

in Jamaah Al Islam Gumuk.

Jamaah Al Islam Gumuk established primary Islamic education (madrasah),

Madrasah Al Islam. This institution has not adopted national curricula system that

caused by political view of Jamaah Al Islam. They have resisted the state policy, in

particular concept of Pancasila. Madrasah is alternative education institution

xvii
(Dirdjosanjoto, 1999: 170). Jamaah Al Islam also has non formal institution to

support religious gathering forum, that are Pesantren Al Islam (Al Islam boarding

school) and Pendidikan Menengah Agama (religious course) for teenager.

Moreover, this study demonstrates that religious institution forced

consciousness agency of members without involving in formal politics procedural

like general election and representative council. Jamaah Al Islam Gumuk denied

political party as the way of struggle. Jamaah movement is antithesis. They believed

that jamaah is more effective than political party.

Chapter five explains four factors conditioned religious institutions in

mobilizing protest and resistant movements collectively. Firstly, interrelation

between ideology, jamaah, and structural context. In decade 1970, the politics Islam

struggle was under pressure and controlled by state. The state domesticated the

politics Islam movement and put down radical spirit of Islam. However, almost

Islamic activisms removed their strategy into jamaah or usrah as a core of Islamic

community, including family.

Jamaah movement is breakthrough for Islamic struggling in the authoritarian

state. The rise of Jamaah Al Islam Gumuk is part of the politics Islam transform

from political party to Islamic community. The way provided social and political

power through religious gathering participant empowering. It is the key resurgence

of the politics Islam during the reformation era came up.

The weakness law enforcement and political uncertainty fired up the politics

Islam renewal. In the eyes of the politics Islam activism, Islam should be

xviii
performance radical through paramilitary groups (Fananie, 2002: 32). Said Amir

Arjomand give us illustration, “politically relevant religious action, religiously

conditioned political action, religiously relevant political action, and politically

conditioned religious action (1993: 2). Jamaah Al Islam Gumuk has structured it

struggle by created the Laskar Khawari.

Secondly, Al Islam as the protest ideology. The ide of Al Islam is critical

response to Muslim socio-politics. In the early, Al Islam ideology had opposed to

communal fanatics and syncretism. Al Islam abolished the other ideology behind it.

Later, Mudzakkir developed it concept through Jamaah Al Islam Gumuk (1977-

2006). Furthermore, he constructed Al Islam as a political ideology stand for public

issues lacking official politics system. Islamic activism has to social responsible. It

is value added of Al Islam. According to Wickham (2002: 7):

The rise of Islamic activism is typically portrayed as a collective


protest against the abject conditioning prevailing in much of the
contemporary Muslim world. That this, protest has assumed an
Islamic form is either incidental, following the logic of the political
economy viewpoint, or natural, from the cultural identity viewpoint,
given the salience of conservative Islamic beliefs and values in
contemporary Muslim culture

Thirdly, piety, heroism, and anonymity. In the eyes Jamaah Al Islam Gumuk,

piety is total devotion to Allah and His messenger in way of loyal commitment to

the one charismatic leader for gain truly Islamic society. The piety is ideological

expresses that never allow separation between religion and state. The piety inquires

total struggling and sacrifice what it called “jihad. ”

xix
Therefore, it can understand if Jamaah Al Islam Gumuk associated Al Islam

as dakwah (religious mission) and jihad. According to Jamaah Al Islam`s code

beliefs, any disregard action to the dakwah and jihad is rejecting to Al Islam itself.

So, this jamaah judged everyone who reject jihad meaning in toto including battle

and kill as hypocrite. Jihad spirit is disseminating through religious gathering and

religious public lecture (tabligh akbar) (Arief, 2001: 49).

Jihad calls for every Muslim to prepare being religious warrior totally

(mujahadah) because dakwah need willing to face of enemy. The warrior spirit is

disseminating lively in religious gathering and paramilitary to arouse warrior

emotion. According to Kartodirjo (1985: 160), jihad as the holy war doctrine against

the other is necessarily beliefs in Muslim society when suffering arise. It is regard

to the way of revolutionary movement during charismatic religious leaders takeover.

In other part, Roxanne L. Euben connected jihad to social mobility so based

her identified every Muslim do jihad (Mujahid) is type of mobile Muslim at home or

mobile jihadist. Jihad linked to concept of hijrah as a model movement. Jamaah Al

Islam`s members have to hide their profile as Scott called anonymous (1990:140).

The anonymous is art of political resistant operated by subordinate groups. The

concept of Hijrah linked to the way movements. The brand of Jamaah Al Islam is

anonymity form to remove primordial or communal identity.

The name of Jamaah Al Islam is sign of universal Islam in the eyes of members of

Jamaah Al Islam. Jamaah Al Islam rejected any sociological naming.

xx
Fourthly, paramilitary and the enemy objectivity. Paramilitary is form of

jihad. As the result, Laskar Khawari is set up for actualizing jihad and dakwah.

Laskar Khawari is a part of Front Pembela Islam Surakarta members.

Paramilitary provide space for religious gathering participants to express heroic


attitudes. Warrior needs the enemy (Aho, 1994: 26). The enemy is valued jihad as
warrior action. Therefore, the enemy has to create and constructed socially.

The warrior and the enemy relation produced the other images what called

prejudices in psychology. In the eyes of Jamaah Al Islam Gumuk, the enemy is

everyone, groups, or government who against Muslim struggle applying sharia.

Politically, they associated the enemy with America government, England,

Australia, and their alliances.

The ideology of Al Islam is not only constructed worldview but also

controlled body of it members; performance, expression, behavior, and social

interaction. The creed of Al Islam is affected to political ideology and politics of

body. The ideology is representative absolutely the type of politics Islam.

Personal magnetism of religious leader is the key of social-religious movements as

showed by Kartodirdjo (1984: 445).

In this case, religious gathering is autonomous area for every religious

gathering participant who decided to fuse in the one religious identity and emotion.

The study explains that emotion such as angry, fear, hatred, and love are dominance

social characters in Jamaah movements. Religious leader ability to manage these

emotions encourages every religious member to fuse in homogeneous emotion and

identity. Political dimension of religious piety has connected with mobilizing of

xxi
religious emotion. Jamaah Al Islam Gumuk represented local portrayed from the

political Islam resurgence as the result of global influence of Iranian revolution.

In chapter six, the researcher is interpreting Jamaah Al Islam Gumuk as

social fact. Power struggle is key to explain reproducing and regenerating process

among jamaah movements. The rise of the jamaah is not only sociological critics

but also address internally political battle to gain religious authority and power. This

is point departure of reproduction and regeneration cycles.

The cycle is sociological framework to explain the raise varieties ideology

and movements in Surakarta. Central role of charismatic leader and internal conflict

are sociological factors that caused fragility, splint, and breakdown in the jamaah.

Therefore, absolute ideology, fanaticism, strict leadership, and exclusive system are

the main characteristics of the jamaah movements.

Mainly, jamaah reproduction is political process struggle for charisma,

authority recognizing, and power through religious discourses among Islamic

activism elites. In many cases, family circle dan teacher-student linking are two

dominant factors in reproduction process. For instance, charismatic leadership

succession is critical phase regarding conflict and power struggle among family and

student previous leader. Regeneration is diversity process searching for form and

identity toward ideological contesting. Here, regeneration is not removing

leadership but political purity and remaking spot of authority and power.

In sum, genealogy of Jamaah Al Islam knowledge linked to discursive

relation between reproduction and regeneration in structural complexity. Jamaah Al

xxii
Islam Gumuk is performing Islam as discursive power. As the result, the leadership

of Jamaah Al Islam is discursive leadership by far creates myth sounding it. Piety is

constructed, shaped, and controlled by discursive leadership through religious

institutions, including paramilitary group. Psychologically, jamaah movement is

depersonalizing area during freedom and individual autonomy reduced into

worldview uniformity. Politically, the jamaah is proto type of political institution,

particular in micro context.

Yogyakarta, Pebruary ……. 2018

Approved by

Guy Brown

xxiii
DAFTAR ISI

Halaman Judul ……………………………………………………………………. i


Halaman Pengesahan …………………………………………………………….. ii
Halaman Pernyataan ……………………………………………………………... iii
Kata Pengantar ............................................................................................................. iv
ABSTRAKSI ............................................................................................................... vi

Ringkasan …………………………………………………………………………. vii


Daftar isi

Bab I PENDAHULUAN 1
A. Latarbelakang ………………………………………………………. 1
B. Permasalahan ………………………………………………………. 5
C. Tujuan ……………………………………………………………… 7
D. Kerangka Teori dan Konsep ……………………………………….. 7
E. Metode Penelitian …………………………………………………... 13
F. Sistematika Penulisan …………………………………………….. 18

Bab II PROFIL DAN KONTEKS SOSIOLOGIS SURAKARTA 20


A. Ekologi Sosial …………………………………………………….. 20
B. Kependudukan ………………..………………………………….. 25
C. Struktur Sosial …………………………………………………….. 30
D. Variasi Representasi Islam ………………………………………… 35

Bab III TRANSFORMASI IDEOLOGIS JAMAAH AL ISLAM 44


A. Gerakan Jamaah, Sebuah Kritik Sosiologis ………………………... 44
B. Konteks Kemunculan dan Pencarian Bentuk ……………………… 49
C. Jamaah Al Islam (di) Gumuk ………………………………… 57

1. Asal Mula dan Pengembangan ………………………………….


57
2. Keanggotaan dan Aktivitas ……………………………………..
62
D. Ustad Mudzakkir, Pembangun Kampung Beduk …………………. 65

Bab IV INSTITUSI KEAGAMAAN DAN DISEMINASI IDEOLOGI 70


A. Tekstur Ideologi dan “Gosip” Syiah ………………………………. 70
B. Pengajian, Mesjid dan Madrasah …………………………………. 75
C. Konstruksi Doktrin dan Paham Keagamaan ……………………….. 85
D. Kepemimpinan dan Jalur Konsolidasi …………………………….. 95

Bab V KESALEHAN, MOBILITAS, DAN ANONIMITAS 99


A. Dialektika Ideologi, Jamaah, dan Konteks Struktural …………….. 99
B. “Al Islam” sebagai Ideologi Protes ……………………………... 107
C. Kesalehan, Mujahid (kepahlawanan), dan Anonimitas…………. 113
D. Kelaskaran dan Objektivikasi “Musuh” ……………………….…. 121

Bab VI KESIMPULAN 125

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………… 137


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latarbelakang

“Surakarta sebagai arena tetap saja strategis bagi tujuan kita karena
kota itu adalah satu-satunya pusat pergerakan di mana semua
kekuatan sosial – pengeran dan bangsawan Jawa, pegawai
bumiputra, borjuasi bumiputra, intelektual bumi Putra yang
berpendidikan Barat, orang-orang Islam dengan pendidikan
pesantren, tukang buruh, tani, orang Indo, Cina, pegawai
administrasi Belanda, dan pengelola perkebunan Belanda -
bergabung dalam pergerakan atau menjadi musuhnya” (Shiraishi,
1997: XVI).

Kebangkitan gerakan Islam politik pasca keruntuhan Orde Baru merupakan

salah satu variabel dinamika Islam di Indonesia. Martin van Bruinessen (2002)

mengkonfirmasi bahwa metamorfosis ideologi Islam politiklokal, yaitu Darul Islam

dan Partai Masyumi, serta penetrasi ideologi Islam transnasional seperti Wahabi-

Salafi dan Ihkwanul Muslim merupakan akar sekaligus pemicu suburnya gerakan-

gerakan Islam radikal pasca Soeharto. Pada tingkat tertentu, kehadiran kelompok-

kelompok Islam radikal tersebut, baik yang memiliki struktur organisasi dan

AD/ART yang jelas maupun tidak (organisasi tanpa bentuk), telah menginterupsi

dominasi diskursus dua organisasi mainstream, yaitu Persyarikatan Muhammadiyah

dan Jam`iyyah Nahdhatul Ulama (NU).

Robert Hefner (2000) menempatkan kedua organisasi tersebut sebagai

kekuatan utama sipil Islam yang berperan penting bahkan menentukan masa depan

demokrasi di Indonesia. Pada satu sisi, konstruksi politik Orde Baru telah

mengkondisikan diskursus Islam Indonesia dalam imajinasi “toleran”, “rukun”,

1
“moderat”, serta “demokratis” (Lounela dalam Prasetyo, 2003: iv). Namun pada sisi

lain, tidak sedikit pihak yang merasa kecewa dengan hasil kiprah kedua organisasi

tersebut. Setidaknya, ekpresi ini dapat ditangkap dari pernyataan Abu

Bakar Ba`asyir:

“NU, Muhammadiyah, dan lain-lain sudah banyak berperan


membina individu dan keluarga. Tapi hasilnya kita rasakan
sangatlah minim. Bukan salah NU dan ormas-ormas Islam, tapi
salah pemerintah yang tidak mau memakai hukum Islam
Islam.…Harus pemerintah yang 100% menjalankan hukum Islam,
dasarnya Islam. Itu yang kami perjuangkan, dan itu tidak ada tawar
menawar ”(Jamhari dan Jahroni, 2004: 67).

Diskursus syariat Islam sebagai satu-satunya solusi merupakan akar dari

ideologi Islam politik. Cita-cita ideologi Islam politik inilah yang ditengarai sebagai

ancaman serius terhadap dominasi Barat, sebagaimana diingatkan dua intelektual

berpengaruh di kalangan politisi Barat, yaitu Bernard Lewis dan Samuel P.

Hungtinton.

Dalam esainya, The Roots of Muslim Rage, Lewis mengkarakterisasi Islam

politik dengan ungkapan, “the perhaps irrational but surely historic reaction of an

ancient rival against our Judeo-Christian heritage, our secular present and the

worldwide importance of both” (Qureshi dan A. Sells, 2003: 5). Lewis secara

sengaja mempergunakan istilah “Judeo-Christian” dan ungkapan “our secular

present” untuk mengkonstruksi Islam sebagai musuh bersama Barat. Lebih jauh,

Huntington menyampaikan anjuran pada pihak Barat untuk bersikap keras terhadap

gerakan Islam politik. Menurutnnya,

“We should cooperate with those civilizations that are less inimical
to us. But in the face of inherently hostile civilization like Islam, we

2
should adopt a posture that treats Islam as the enemy it is. We
should maintain a strong defense: we should limit its military treat,
maintain our own military superiority over it, and, exploit the
interior differences and conflicts among
Confusian and Islamic states” (ibid.:13)

Berbeda dengan Lewis dan Huntington, Bassam Tibi (2000: 26) melihat

alasan mendasar mengapa harus terjadi benturan (clash) antara Barat dan Islam

adalah problem kompetisi peran dalam pentas dunia. Dengan ungkapan lain,

globalisasi yang lahir dari revolusi teknologi Barat mendaulat peran dominatif Barat

dibanding Islam. Sampai disini, tesis Tibi baru sampai meraba kehadiran rivalitas

ideologi Islam politik, baik atas nama Pan Islamisme maupun ideologi khilafah,

dengan universalisme Barat. Pada saat yang sama, hegemoni ideologi kapitalisme

melalui berbagai kebijakan politik-ekonomi global terus menguntungkan negara-

negara maju, khususnya Amerika dan beberapa negara Eropa serta Asia.

Alih-alih terjadi distribusi kemakmuran kepada negara-negara berkembang

yang mayoritas berpenduduk Muslim, hegemoni ideologi kapitalisme atas nama

globalisasi (baca: globalisme) menciptakan jurang tajam antara negara-negara di

kawasan Utara dan Selatan. Sisi gelap globalisasi (Stiglitz, 2002) tersebut, atau

dalam terminologi lain dikenal fundamentalisme pasar, belum banyak mendapat

sorotan kritis masyarakat internasional jika dibandingkan dengan opini global

terhadap fenomena fundamentalisme maupun radikalisme agama. Terlebih pasca

serangan 11 September 2001, fundamentalisme Islam dicitrakan sebagai ancaman

serius terhadap peradaban global. Opini yang dibentuk adalah fundamentalisme dan

radikalisme tidak sebangun dengan nilai-nilai kemanusian, tidak toleran, dan identik

dengan kekerasan.

3
Dengan perspektif berbeda, Tariq Ali (2002) berusaha meyakinkan kita

bahwa sesungguhnya yang menjadi ancaman global bukan semata-mata benturan

antar peradaban (Lewis dan Huntington, 2003), rivalitas peradaban Islam-Barat

(Tibi, 2000), dan kotak pandora globalisasi ekonomi (Stiglizt, 2002), tetapi adalah

benturan dua fundamentalisme (the Clash of Fundamentalisms); fundamentalisme

pasar dan fundamentalisme agama. Tesis Ali bersandar pada pemikiran bahwa

kemenangan kapitalisme telah menumpukkan hampir semua kekayaan dunia,

kurang lebih 2/3, di tangan segelintir pemilik modal. Elit-elit di negara-negara

berkembang pun memerankan diri sebagai agen kapitalisme domestik mengikuti

jejak tuan besar kapitalisme global.

Dominasi ideologi kapitalisme di pelbagai sektor publik menyebabkan

lahirnya penyakit-penyakit sosial modern, seperti ketidakadilan sosial, diskriminasi

politik, kemiskinan global, dan ketergantungan ekonomi. Dengan demikian,

kemunculan kelompok-kelompok yang secara eksklusif menginisiasi identitas

agama dalam konteks ketidakadilan struktural merupakan bagian ekpresi protes,

perlawanan, bahkan pemberontakan terhadap hegemoni tata sosial yang ada

(Wickham, 2002). Analisis struktural tersebut menjurus pada kesimpulan bahwa

pengerasan gerakan-gerakan keagamaan, seperti ”fundamentalisme Islam”, banyak

disulut oleh faktor fundamentalisme pasar, diskursus anti Barat dari imajinasi Perang

Salib, dan peminggiran Islam politik oleh satu rejim (Ali, 2002; Hasan, 2002).

Konstalasi demikian membuat fundamentalisme Islam mereproduksi

konsep-konsep keagamaan seperti jihad dan dakwah untuk mengartikulasikan sikap

politiknya sebagaimana dilakukan Laskar Jihad, divisi paramiliter Forum

4
Komunikasi Ahlus Sunnah Wal Jama`ah (FKAWJ). Menurut Noorhaidi, dengan

mengkombinasikan konsep jihad dan dakwah, gerakan yang dipimpin Ja`far Umar

Thalib ini telah meletakkan fondasi perlawanan terhadap globalisasi melalui usaha-

usaha pembangunan kembali masyarakat Muslim sesuai idealismenya

(2002: 167). Kemunculan Laskar Jihad, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front

Pembela Islam (FPI, Jakarta), dan Front Pembela Islam Surakarta (FPIS) sangat

berkelindan dengan determinasi represi struktural yang dialami kelompokkelompok

Islam dalam bentuk marginalisasi politik dan pembangunan ekonomi yang tidak

berkeadilan (Prasetyo, 2003: 61).

Ideologi gerakan-gerakan Islam politik merupakan satu kesadaran yang lahir,

dipengaruhi, bahkan dibentuk oleh kondisi-kondisi struktural dan kultural, baik

dalam konteks respon maupun kritik terhadap realitas-realitas di luar dirinya.

Dengan demikian, faktor keterasingan, keresahan, dan kekecewaan telah

mengkondisikan gerakan Islam politik untuk mengartikulasikan protes dan

perlawanan terhadap suatu realitas tertentu yang diidentifikasi sebagai musuh. Pada

konteks kajian ini, gerakan Islam politik merupakan refleksi sosiologis yang bersifat

faktual-spasial sehingga memungkinkan dapat dianalisis multi perspektif.

B. Permasalahan

Kajian gerakan Islam politik merupakan salah satu isu yang menyedot

perhatian banyak pihak pasca tragedi 11 September 2001. Pada satu sisi, studi

mengenai gerakan Islam politik tersebut didominasi oleh sudut pandang politik yang

menempatkan Islam politik sebagai ancaman, senada dengan Huntington dan Lewis.

5
Lebih jauh, ideologi Islam politik diyakini memiliki hubungan saling mempengaruhi

dengan ideologi Jamaah Islamiyah, jaringan global Al Qaidah di Asia Tenggara

(Batley, 2003; Nasir Abas, 2005). Pada sisi lain, studi fenomena gerakan Islam

politik sebagai konsekwensi sosiologis dari kompleksitas konteks sosial, ekonomi,

dan politik belum banyak mendapat sorotan padahal ini sangat penting dilakukan

untuk menangkap élan vital, raison de entre, dan orientasi perjuangannya.

Adalah masih sedikit kajian yang mencandra gerakan keagamaan radikal

sebagai gejala gerakan sosial. Pada konteks ini, tidak banyak kajian gerakan

keagamaan radikal yang berangkat dari konteks mikro yang menjadi akar sekaligus

basis mobilisasi sosial bagi sebuah gerakan reformasi keagamaan, yaitu gerakan

jamaah (jamaah pengajian dan majelis taklim) seperti ditunjukan Abdullah (1994)

dalam studinya di Jatinom, Klaten. Padahal gerakan jamaah adalah jangkar serta

medan transformasi bagi setiap gerakan Islam politik. Hal lain yang belum banyak

mendapat fokus kajian adalah relasi antara gerakan jamaah dan konteks struktural

tertentu yang dapat berpengaruh terhadap proses diseminasi ideologi,

institusionalisasi identitas kolektif, serta mobilisasi institusi keagamaan oleh satu

gerakan.

Berangkat dari pernyataan masalah di atas, penelitian ini mengajukan

rumusan masalah:

1. Bagaimana transformasi ideologi gerakan jamaah berlangsung dalam satu

konteks sosial?

6
2. Bagaimana proses dan peran institusi keagamaan gerakan jamaah seperti

mesjid, pengajian, pesantren, dan kelaskaran dalam penyemaian ideologi

jamaah?

3. Mengapa institusi keagamaan dapat dimobilisasi sebagai kekuatan sosial dan

politik di ruang publik?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui konteks dan faktor-faktor kemunculan serta

keberlangsungan ideologi gerakan jamaah

2. Untuk mengetahui proses internalisasi nilai-nilai ideologi gerakan dan

kontribusi institusi keagamaan dalam proses tersebut

3. Untuk menjelaskan faktor-faktor yang mengkondisikan institusi

keagamaan sehingga dapat dimobilisasi sebagai penopang gerakan sosial.

D. Kerangka Teori dan Konsep


Kota Surakarta merupakan arena kontestansi gerakan-gerakan sosialpolitik-

keagamaan dengan variasi ekspresi dan model-model keberagamaan yang beragam

(Headley, 2005: 428). Tidak mengherankan jika Surakarta adalah lahan subur bagi

penyemaian gerakan-gerakan jamaah ataupun majelis taklim dan pondok pesantren,

disamping organisasi sosial keagamaan seperti

Muhammadiyah, NU, Yayasan Perguruan Al Islam (YPI), dan Nahdatul Muslimat

(NDM).

7
Beberapa majelis taklim yang memainkan peran penting di tingkat lokal

adalah Majelis Tafsir al Qur’an (MTA), Majelis Taklim Jamaah Gumuk, Majelis

Taklim Jamaah Penumping. Terdapat pula beberapa pondok pesantren yang menjadi

pusat pendidikan Islam, di antaranya Pondok Pesantren Al Mukmin

Ngruki Sukoharjo, Pondok Pesantren Takmirul Islam Laweyan, Pondok Pesantren

Assalam Pabelan Kartasura, dan Pondok Pesantren Hajjah Nuriyah Shabran di

Makamhaji, Kartasura (Soedarmono, 1999). Beberapa kajian terdahulu mengenai

kelompok dan gerakan Islam di Surakarta yang terkait maupun bersinggungan

dengan studi ini perlu diketahui untuk mengetahui posisi kajian ini.

Pertama, studi M. Nursalim (2001) yang berjudul ”Faksi Abdullah Sungkar

dalam Gerakan NII Era Orde Baru: Studi terhadap Pemikiran dan Harakah Politik

Abdullah Sungkar. Ini merupakan studi terhadap gerakan jamaah yang dibangun

Abdullah Sungkar pada masa Orde Baru dengan memfokuskan pada kajian

pemikiran politik Abdullah Sungkar dan perannya dalam memperjuangkan ideologi

Islam politik. Abdullah Sungkar bersama sahabat karibnya, Abu Bakar Ba`asyir,

sangat mengidolakan lahirnya Negara Islam Indonesia (NII). Yang menonjol dari

pemikiran Sungkar adalah keharusan memperjuangkan ideologi Islam melalui

gerakan jamaah, dakwah, dan jihad.

Kedua, penelitian Zainuddin Fananie dkk (2002) mengenai ”Radikalisme

Keagamaan dan Perubahan Sosial. Dengan mengambil Surakarta sebagai fokus

kajian, Fananie dkk memetakan anatomi kelompok-kelompok radikal keagamaan

yang tumbuh subur di masa transisi, dari Orde Baru ke Orde Reformasi. Fokus

kajiannya adalah menyoroti eksistensi dan kiprah kelompok-kelompok radikal

8
keagamaan seperti Front Pembela Islam Surakarta (FPIS), Laskar Hizbullah, Laskar

Jundullah, dan Majelis Taklim Al Islah dalam proses perubahan sosial, khsusunya

di Surakarta.

Ketiga, studi Mochamad Arif (2001) dengan judul ”Front Pemuda Islam

Surakarta (FPIS) Dalam Telaah Fenomenologi Agama dan studi M. Yusron

(2002) yang meneliti FPIS dengan menekankan pada kajian sejarah dan doktrin.

Pokok permasalahan yang dikupas penelitian pertama adalah sejarah dan

perkembangan FPIS, sumber-sumber ajaran, corak pemikirannya dan bentukbentuk

pengamalan keberagamaannya. Adapun kajian Yusron sejalan dengan penelitian

Arif namun lebih menekankan aspek kajian historis dan doktrin FPIS. Menurutnya,

doktrin FPIS dipengaruhi oleh lingkungan sosial-politik umat Islam, baik

internasional, regional, dan lokal.

Keempat, studi Amir Mahmud (2003) yang berjudul “Konsep Jihad Menurut

Pondok Pesantren “Al Mukmin” Ngruki-Surakarta. Menurut kajian ini, jihad adalah

mengerahkan berbagai macam potensi yang mereka miliki, termasuk mengerahkan

potensi untuk meraih ilmu sebagai alat memperjuangkan kebenaran Islam. Jihad

dalam konteks pengalaman Pondok Ngruki merupakan bagian dari

aktualisasi makna jihad yang lebih luas.

Kelima, kajian Eva Susanti (2002) mengenai ”Jihad dalam Pemikiran

Hizbullah Divisi Sunan Bonang. Hizbullah merupakan salah satu kelompok

paramiliter (laskar) yang dikategorikan Fananie dkk sebagai Kelompok Radikal

Keagamaaan (KRK) disamping FPIS. Konsep Jihad menurut laskar ini adalah

berjuang dengan sungguh-sungguh dalam menggerakan semua kemampuan untuk

9
menegakkan hukum Islam. Jihad tidak hanya berlaku dalam keadaan perang namun

juga dalam kondisi damai.

Keenam, studi Nur Kholis (2001) mengenai “Pengajian Yayasan Majelis

Tafsir Al Quran (MTA) di Desa Semanggi Pasar Kliwon Surakarta: Studi

Motivasi Warga/Peserta dan studi Ike Kusumawati yang berjudul “Pengaruh

Pengajian terhadap Etos Kerja Peserta: Studi Kasus Yayasan Majelis Tafsir Al

Quran di Desa Makamhaji Cabang Kartasura Surakarta. MTA adalah salah satu

organisasi sosial keagamaan yang berdiri di Solo pada tahun 1970-an dan sekarang

memiliki cabang di berbagai daerah dengan anggota yang terus meningkat. Kedua

studi ini mengkaji fenomena Majelis Tafsir Al Quran (MTA) yang visi

perjuangannya adalah mengembalikan Al Quran sebagai rujukan primer. Kedua

penelitian ini menunjukkan bahwa pengajian MTA berdampak positif terhadap

peningkatan motivasi dan etos kerja anggotanya (jamaah), baik yang mengikuti

pengajian di Pasar Kliwon maupun Kartasuro.

Studi dinamika Islam yang beranjak pada konteks mikro seperti tercermin

dari kajian-kajian di atas mengisyaratkan bahwa pemetaan gerakan Islam dalam

setiap ranah selalu memunculkan diferensiasi pada konteks lokal. Penelitian PPIM

Universitas Islam Negeri Jakarta mengenai Gerakan Salafi Radikal membedakan

tiga pendekatan yang biasa digunakan untuk menganalisis gerakan-gerakan Islam

politik, yaitu sebagai gerakan keagamaan, gerakan politik, dan gerakan budaya.

Gerakan keagamaan merujuk pada kelompok maupun gerakan yang dipengaruhi

secara kuat oleh teologi salafi, seperti FKAWJ. Gerakan politik merupakan gerakan

yang memperjuangkan isu-isu dan kepentingan politik umat Islam melalui strategi

10
politik seperti yang dilakukan MMI. Adapun upaya Komite Penegakan Syariah

Islam (KPSI) memperjuangkan penerapan syariah Islam melalui legislasi di tingkat

daerah dikatagorikan sebagai gerakan budaya (Jamhari dan Jahroni, 2004: 37-44).

Meskipun pendekatan gerakan sosial tidak disebutkan di atas namun studi

yang meletakkan Islam politik dalam kerangka analisis gerakan sosial sudah dirintis

dan dapat dirujuk pada beberapa penelitian terdahulu. Misalnya, studi

Sartono Kartodirdjo (1984) mengenai Pemberontakan Petani yang dilakukan di

Banten, Carrie Risefsky Wickham (2002) dan Quintan Wiktorowicz (2001) yang

mengamati gerakan Salafi dan Ikhwanul Muslim di Mesir dan Yordania, serta

Noorhaidi Hasan (2002) dan Eko Prasetyo (2003) yang mengkaji Laskar Jihad

adalah sedikit contoh yang membawa gerakan keagamaan radikal ke dalam

kerangka analisis gerakan sosial.

Studi ini mengadopsi pendekatan gerakan sosial dengan menjadikan gerakan

jamaah sebagai basis analisisnya. Dalam teori klasik, gerakan sosial (social

movement) selalu dilihat sebagai bentuk penyimpangan (defiance) terhadap

mainstream. Namun dalam periode selanjutnya, gerakan sosial sudah mendapat

tempat tersendiri dalam teori sosial. Dalam perdebatan mutaakhir, gerakan sosial

selalu dihadapkan dengan teori gerakan sosial baru (new social movement).

Kehadiran teori terakhir ini dianggap merevisi teori yang pertama karena membawa

semangat baru, yakni post materialisme, namun tetap mengusung libertarianisme,

meski asumsi ini ditolak keras kalangan pendukung teori gerakan sosial.

Rhys H. Williams mendefinisikan gerakan sosial sebagai:

11
“Social movements are socially shared activities and beliefs directed toward
the demand for change in some aspect of the social order. To the narrow: A
social movement is a formally organized group that acts consciously and
with some continuity to promote or resist change through collective action”
(dalam Marty dan Appleby, 1994, 786)

Berdasarkan definisi ini, gerakan sosial merupakan gerakan terorganisir yang

memiliki cita-cita dan tujuan “melakukan” ataupun “menolak” perubahan secara

sadar, kontinyu, dan kolektif terhadap beberapa aspek tertentu dalam tata sosial yang

ada. Meyer dan Staggenborg, secara spesifik, mendefinisikan gerakan sosial sebagai

gerakan yang menantang atau melawan institusi negara, dimana ia terlibat dalam

proses interaksi antara gerakan-gerakan oposisi dan perubahan sosial itu sendiri

(Michael Peckham, http://xenu.ca/papers/peckham.html).

Untuk kepentingan kajian ini, penulis menekankan bahwa relasional

gerakan jamaah tidak hanya berhubungan dengan aparatus negara namun juga

berkorelasi dengan konteks struktural dalam kompleksitas sosial, ekonomi, dan

politik. Dalam banyak kasus, gerakan jamaah memiliki ketersinggungan dengan

agenda-agenda maupun isu-isu sosial yang terkait dengan kepentingan dan hak

publik warga. Dengan kerangka ini, gerakan jamaah mempunyai kekuatan untuk

mengartikulasikan kesadaran politik dalam ruang publik tanpa harus melalui

mekanisme politik kepartaian.

Ulrich Beck mengkategorikan model ini sebagai gerakan sub politik

(subpolitics), atau dalam bahasa lain dikenal sebagai gerakan politik non parlemen

(1994: 22). Konsepsi politik dalam terma “Islam politik” disini merujuk pada

postulasi bahwa Islam tidak hanya sebagai agama namun juga adalah ideologi

gerakan (mabda) yang harus diperjuangkan secara total (kaffah). Dalam ungkapan

12
lain, gerakan Islam politik adalah kelompok ataupun gerakan yang meyakini Islam

adalah agama dan Negara serta Al Quran dan pedang. Secara substansial, ideologi

Islam politik ini sebangun dengan apa yang disebut Roy (2005) sebagai

Islam fundamentalis dan Islam radikal.

E. Metode Penelitian
a. Metodologi

Penelitian mengambil tempat di Surakarta. Kota ini merupakan ruang

kontestansi gerakan-gerakan sosial-keagamaan dengan variasi ekspresi dan model-

model keberagamaan yang kaya (Headley, 2005: 428). Surakarta merupakan lahan

subur bagi penyemaian gerakan-gerakan jamaah ataupun majelis taklim dan pondok

pesantren, disamping organisasi sosial keagamaan seperti Muhammadiyah, NU,

Yayasan Perguruan Al Islam, dan Nahdatul Muslimat

(NDM). Beberapa majelis taklim yang memainkan peran penting adalah Majelis

Tafsir al Qur’an (MTA), Majelis Taklim Jamaah “Al Islam“ Gumuk, Majelis Taklim

Jamaah Penumping. Terdapat pula beberapa pondok pesantren yang menjadi pusat

pendidikan Islam, di antaranya Pondok Pesantren Al Mukmin

Ngruki Sukoharjo, Pondok Pesantren Takmirul Islam Laweyan, Pondok Pesantren

Assalam Pabelan Kartasura, dan Pondok Pesantren Hajjah Nuriyah Shabran di

Makamhaji, Kartasura (Soedarmono, 1999).

Fokus studi ini adalah mengkaji transformasi ideologi “Al Islam“ yang

menyemangati kemunculan dan peran Jamaah Al Islam Mangkubumen dalam proses

perubahan sosial di Surakarta. Jamaah Al Islam Mangkubumen – selanjutnya disebut

13
JIM - telah berperan signifikan dalam menumbuhkembangkan ideologi “Al Islam“

serta berkontribusi dalam mengkondisikan dan memobilisasi aksi maupun gerakan

yang memperjuangkan aspirasi dan isu-isu solidaritas umat Islam, baik dalam bentuk

gerakan kelaskaran maupun penggalangan aksi-aksi keumatan seperti demonstrasi

dan sweeping (Arief, 2001; Yusron, 2002).

Dilihat dari obyek kajiannya, penelitian ini merupakan studi kasus (Stake

dalam Denzin dan Lincon, 1994: 237). Sebagai studi kasus, analisis dalam penelitian

ini bersifat kualitatif dengan menggunakan wawancara mendalam terhadap informan

sebagai metode pengambilan data primer (Mudzhar, 1998: 72). Informan dipilih

secara acak berdasarkan keterwakilan unsur anggota dan pimpinan jamaah dengan

menggunakan teknik wawancara tidak terstruktur. Wawancara mencakup sejarah,

profil, aktivitas, paham keagamaan, respon dan sikap Jamaah “Al Islam” Gumuk

(JAIG) terhadap permasalahan sosial dan politik, serta pandangan pihak luar

(outsider) terhadap fenomena JAIG. Pengambilan data lapangan dilakukan dalam

rentang bulan Oktober 2005 – Pebruari 2006.

Penulis membagi informan ke dalam dua klasifikasi, yaitu informan primer

dan informan sekunder. Yang dimaksud informan primer adalah mereka yang

terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan JAIG, baik yang berstatus sebagai

anggota maupun pimpinan jamaah, yakni Abu Fauzan, Warsito Adnan, dan Ust.

Chalid Hassan. Pemilihan ketiga informan primer ini berdasarkan akses jaringan

yang ada dan keterwakilan masing-masing informan. Abu Fauzan adalah anggota

pengajian khusus sejak tahun 1984. Warsito Adnan merupakan elit aktivis Islam

yang intens mengikuti pengajian dan banyak terlibat dalam gerakan-gerakan Islam.

14
Ust. Chalid Hassan adalah tokoh teras JAIG disamping Ust. Mudzakkir, pimpinan

JAIG.

Informan sekunder adalah mereka yang mempunyai pengalaman

mengikuti pengajian JAIG pada setiap pagi hari ataupun yang memiliki informasi

yang berkaitan, baik secara langsung maupun tidak, dengan profil JAIG. Yang

termasuk dalam klasifikasi ini adalah Ahmad Mirza (aktivis), Chusniatun (dosen

perguruan tinggi Islam swasta di Surakarta), Ilham (pengurus Yayasan Perguruan

Al Islam), Farhani (aktivis), Muhammad Ali (aktivis), Sarbini (aktivis),

Almuntaqa Zainuddin (mahasiswa), dan Bambang Setiaji (dosen perguruan tinggi

Islam swasta di Surakarta).

Untuk memperkaya data primer, saya memanfaatkan data dari Pusat Studi

Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta1, berupa empat

buah transkrip ceramah keagamaan yang diambil pada tahun 2003. Hemat penulis,

meskipun rentang waktunya cukup jauh dengan penelitian ini, data transkrip ini

masih relevan dipergunakan karena terkait dengan ajaran dan pandangan

keagamaan. Dokumen Yayasan Perguruan Al Islam (YPI), penelitian Nursalim

(2001) dan Arief (2001) serta beberapa penelitian terkait telah sangat membantu

dalam merekonstruksi profil dan paham keagamaan JAIG. Data-data tersebut

merupakan data sekunder yang melengkapi sekaligus memperkuat data

1
Lembaga ini melakukan penelitian mengenai muatan ceramah keagamaan di Surakarta dengan
mengambil sample beberapa kelompok pengajian/majelis taklim, termasuk Jamaah Gumuk.

15
primer.

b. Operasional Penelitian

Pada kenyataannya, Jamaah Al Islam Gumuk dikenal sebagai satu kelompok

jamaah pengajian yang tertutup sehingga tidak sembarang orang bisa masuk dan

berinteraksi bebas dengan di lingkungan Jamaah Al Islam Gumuk. Oleh karenanya,

suatu ketika di bulan November 2005, Sdr. Farhan yang sempat mengikuti pengajian

di Gumuk menyarankan agar penulis membatalkan rencana

penelitian ini.

Berdasarkan beberapa kasus terdahulu, dapat diambil kesimpulan bahwa

siapapun peneliti yang hendak mengetahui lebih dalam tentang Jamaah Al Islam

Gumuk maka harus terlebih dahulu menanam “investasi” ataupun masuk melalui

informan. Yang dimaksud investasi disini adalah ketekunan seseorang untuk

mendapatkan pengakuan sebagai bagian dari jamaah (ikhwan). Mengikuti pengajian

setiap pagi secara rutin merupakan satu cara untuk mendapat pengakuan tersebut

meskipun hal ini bukanlah jaminan. Mengingat kondisi tersebut, cara lain yang

paling mungkin dilakukan untuk kepentingan penelitian ini adalah masuk dan

menggali informasi melalui informan.

Menyadari proteksi dan ketertutupan Jamaah Al Islam Gumuk, secara

operasional peneliti bergerak dari lingkaran pinggir untuk bisa memasuki lingkaran-

lingkaran berikutnya. Atas bantuan Ahmad Mirza, sesama aktivis saat kuliah di

Universitas Muhammadiyah Surakarta (1998-2002), penulis diantar menemui Abu

Fauzan, seorang anggota Jamaah Al Islam Gumuk yang kebetulan teman dekat

16
Mirza. Menurut pengakuannya, ia mau membantu penelitian peneliti karena

mempertimbangkan rekomendasi Mirza yang sudah dipercayainya.

Mungkin karena faktor ini, ia bersikap terbuka terhadap peneliti. Di samping pernah

hidup bertetangga, Abu Fauzan juga sudah mengenal dan akrab dengan Mirza sejak

lama. Dengan ditemani Mirza, peneliti menemui Abu Fauzan setelah shalat Isya di

rumahnya. Abu Fauzan menceritakan banyak hal tentang Jamaah Al Islam Gumuk,

khususnya yang terkait dengan paham keagamaan.

Setelah beberapa kali pertemuan, Abu Fauzan merekomendasikan agar

peneliti menemui Ust. Chalid Hassan, salah seorang tokoh penting Jamaah Al Islam

Gumuk. Menurutnya, ia telah menyampaikan maksud penelitian peneliti kepadanya.

Pada satu kesempatan, setelah usai mengikuti pengajian pagi, peneliti bertamu ke

rumah Ust. Chalid yang letaknya tidak jauh dari Mesjid Al Abror. Satu hal yang

menarik adalah ketika beliau menyarankan agar peneliti lebih baik meneliti Majelis

Tafsir Al Quran (MTA) sebagai ganti Jamaah Al Islam Gumuk. Beliau juga

menceritakan ada seorang mahasiswa Universitas Gadjah Mada yang hendak

melakukan penelitian di Gumuk namun ditolak dengan alasan tidak cocok dengan

metode yang dipakainya.

Di lain kesempatan, Muhammad Ali, Kepala Sekolah SD Muhammadiyah

Program Khusus di Surakarta, menghubungkan peneliti dengan Warsito Adnan,

jamaah pengajian Gumuk dan juga Kepala Sekolah SD Islam Al Fatah. Yang

bersangkutan mempersilakan peneliti menemuinya di SD Islam Al Fatah yang

terletak di belakang Stadion Manahan. Warsito yang juga Ketua FPIS selalu

meneriman peneliti di ruang kerjanya dengan seragam khas mirip pakaian dinas

17
kemiliteran. Berbeda dengan Abu Fauzan, Warsito bersikap formal dan cenderung

hati-hati dalam memberikan informasi maupun penjelasan.

Peneliti juga mewawancarai dan bertukar pikiran dengan delapan orang

informan sekunder. Ini dilakukan untuk mendapatkan data yang belum bisa

terungkap dari informan primer. Banyak diantara mereka pernah mengikuti

pengajian rutin setiap pagi sehingga memperkaya serta memberikan perspektif lain

terhadap data yang disampaikan informan primer. Hasil wawancara, baik dengan

informan primer dan sekunder, dicatat sesuai pokok-pokok permasalahan

berdasarkan sumber rekaman maupun catatan-catatan lapangan.

Pada tingkat tertentu, sering ditemukan kontradiksi data, utamanya

menyangkut sejarah dan profil organisasi. Sejauh tersedia dokumen maupun sumber

kepustakaan yang dapat dijadikan pijakan, kontradiksi tersebut diverifikasi dan

dianalisis lebih lanjut. Jika tidak ditemukan maka informasi lisan menjadi salah satu

pijakan pokok dalam mengkonstruksi Jamaah Al Islam Gumuk. Data-data tersebut

dianalisis dan diinterpretasikan secara reflektif guna menemukan, mendefinisikan,

serta merekonstruksi obyek penelitian ini.

F. Sistematika Penulisan

Studi ini mengangkat profil gerakan Jamaah Al Islam Gumuk (JAIG) sebagai

gejala sosiologis dimana ideologi Islam politik menjadi landasan paradigmatiknya.

Oleh karenanya, bab II menjelaskan profil dan konteks sosiologis Surakarta yang

menjadi lanskap gerakan-gerakan sosial maupun keagamaan. Bab ini menunjukan

bahwa konteks struktural yang bersifat dikotomik telah mendeterminasi kesadaran

18
serta ekspresi beragama melalui proses mengelompok/berhimpun/berjamaah dalam

satu identitas tertentu. Faktor sosiologis tersebut mendeterminasi JAIG menjadi

sebuah gerakan tanding sekaligus perlawanan sebagaimana dijelaskan dalam bab III.

Lebih jauh, bab ini menggambarkan proses transformasi maupun peralihan wacana

Al Islam dari Jamaah Al Islam yang dibentuk Kyai Imam Ghazali kepada Jamaah

Al Islam yang dibangun Ust. Mudzakkir.

Jamaah Al Islam Gumuk bisa muncul dalam ruang publik karena ditopang

oleh kehadiran institusi keagamaan, kekuatan doktrin dan paham keagamaan, serta

model kepemimpinan yang mampu mengontrol kesadaran dan emosi keagamaan

jamaahnya. Hal ini dibicarakan dalam bab IV. Adapun bab V menganalisis

faktorfaktor yang mengkondisikan mengapa institusi keagamaan mampu

dimobilisasi menjadi sebuah gerakan protes dan perlawanan. Pertanyaan

mendasarnya adalah apa yang menyebabkan dan mengapa sistem keagamaan JAIG

berhasil

memposisikan dirinya sebagai kekuatan sosial yang memiliki nilai tawar politik di

ruang publik. Bab VI menutup studi ini dengan ringkasan jawaban permasalahan

penelitian dan refleksi konseptual terhadap gerakan jamaah dan gerakan sosial yang

merupakan inti dari studi ini.

19
BAB II

PROFIL DAN KONTEKS SOSIOLOGIS SURAKARTA

A. Ekologi Sosial

Surakarta merupakan kota administratif yang terletak di Jawa Tengah, salah

satu provinsi di Pulau Jawa, Indonesia. Surakarta lebih dikenal dengan sebutan kota

Solo (diambil dari nama “Sala”). Wilayah Surakarta dipagari Gunung Lawu di

sebelah timur, Gunung Merapi dan Merbabu di sebelah Barat serta Gunung Sewu di

sebelah Selatan dan rangkaian gunung menghiasi daerah utara (Shiraishi, 1997:2).

Panorama alam ini menggambarkan Surakarta sebagai kota yang dikelilingi gunung

dan pegunungan, yang dalam ungkapan Sunda dikenal “kota diriung ku gunung” 2 .

Dengan ketinggian 92 meter di atas permukaan laut, kota ini dialiri dan dilintasi

Sungai Bengawan Solo dan Kali Pepe yang pada masa-masa awal Surakarta

berperan penting dalam mendorong proses pertumbuhan ekonomi.

Secara administratif, Kota Surakarta berbatasan dengan Kabupaten

Karanganyar di sebelah utara dan timur serta kabupaten Sukoharjo di sebelah selatan

dan barat. Luas wilayah kota ini adalah 440,04 ha yang terbagi dalam 5 kecamatan

dan 51 kelurahan (Sugiartoto, 2003:1). Dari 5 kecamatan tersebut, Kecamatan

Banjarsari merupakan daerah yang paling banyak penduduknya

2
Dalam masyarakat Sunda istilah ini banyak merujuk pada topografi Kota Bandung

20
dengan wilayah terluas3.

Lokasi Surakarta sangat strategis sehingga mudah dijangkau dari berbagai

arah. Jika menembus Surakarta dari arah Yogyakarta (Selatan) dan Semarang (barat)

maka akan mengantarkan kita memasuki daerah Kartasuro yang merupakan pintu

utama. Tugu perjuangan kemerdekaan yang berdiri kokoh di persimpangan jalan

segera nampak terlihat jika datang dari arah Semarang. Dari arah selatan segera kita

akan menjumpai komplek markas Kopassus TNI AD yang berdiri di Desa

Menjangan, tepatnya kanan jalan utama Solo-Yogyakarta. Kampus

STAIN Surakarta yang berdiri pada tahun 1993 terletak di belakang area markas

Kopassus tersebut. Pada awalnya sekolah tinggi ini merupakan proyek rintisan

Departeman Agama untuk mewadahi para alumni sekolah model Madrasah Aliyah

Program Khusus (MAPK)4 yang digagas Menteri Agama RI saat itu, Prof. Munawir

Sadzali, MA.

Sahabat dekat Munawir sekaligus tokoh Muhammadiyah pada dekade

1980-an, yaitu Drs. Djazman Al Kindi, telah merintis Universitas Muhammadiyah

Surakarta (UMS)5 pada tahun 1981 di daerah Pabelan. Kini, dalam usianya yang ke-

25 tahun, perguruan tinggi Muhammadiyah ini menjadi perguruan tinggi

3
Surakarta Dalam Angka 1999 mencatat luas Kec. Banjarsari adalah 14,811 km2. Sebagai
perbandingan, luas Kec. Laweyan adalah 8,638 km2; luas Kec. Serengan 3,194 km2; luas Kec. Pasar
Kliwon 4,815 km2; dan Kec. Jebres seluas 12,582 km2
4
MAPK merupakan program sekolah unggulan untuk mencetak figur-figur cendekiawan yang ulama
dan ulama yang cendekiawan. Program ini bertolak dari kenyataan kurangnya cendekiawan yang
menguasai literatur kitab kuning dan ulama yang cakap dalam literatur kitab putih (pengetahuan
umum). Ciri khas program ini adalah 70% muatan kurikukumnya adalah ilmu-ilmu agama.
5
Universitas Muhammadiyah Surakarta merupakan gabungan dari IKIP Muhammadiyah Surakarta
dan STAIM Surakarta.

21
swasta terbesar di Jawa Tengah dengan jumlah mahasiswa mencapai 25.000-an (lih.

www.ums.ac.id). Bergerak ke utara, daerah Colomadu (Karanganyar) dipilih

menjadi lokasi bagi pangkalan Angkatan Udara Adi Sumarmo. Tidak jauh dari situ,

terdapat Bandara Internasional Adi Sumarmo yang merupakan gerbang internasional

kota Surakarta dan Karanganyar. Apabila memasuki kota dari arah Sragen dan

Surabaya (timur) maka daerah Palur menjadi pintu masuk utama.

Tidak jauh dari pasar Palur, kita menemukan komplek pasukan Infantri

TNI AD yang terletak di kanan jalan Solo-Karanganyar. Setelah melewati pasar

Palur, ke arah barat menuju pusat Surakarta terdapat Taman Wisata Jurug yang

dilewati Bengawan Solo. Tempat ini menjadi salah satu tujuan utama rekreasi

masyarakat Surakarta meski tidak seluas dan selengkap koleksi Gembira Loka di

Yogyakarta. Jika di bagian barat terdapat kampus STAIN dan UMS maka di bagian

timur berdiri kampus Universitas Surakarta (UNSA) dan Universitas Negeri Sebelas

Maret (UNS). Kampus-kampus yang terletak di bagian timur dan barat selalu

menjadi pusat pergerakan mahasiswa di kota Solo. Misalnya, Kampus UMS dan

UNS telah memainkan peran penting dalam peta gerakan mahasiswa Mei 1998

(Mulyadi dan Soedarmono, 1999) disamping keduanya merupakan perguruan tinggi

favorit di wilayah eks Karesidenan Surakarta bahkan Jawa

Tengah.

Surakarta bukan hanya kota “diriung ku gunung” namun juga merupakan

“Kota Garnisum” karena posisinya dikepung oleh instalasi militer (Nurhadiantomo,

2004). Posisi Markas Group 2 Komando Pasukan Khusus AD, pangkalan Korps

Pasukan Khas AU, serta Zeni Infantri Tempur seakan melingkari Surakarta dari arah

22
barat, utara dan timur. Secara tidak langsung kehadiran instalasi milter tersebut

sering dikaitkan dengan geo-politik Surakarta sebagai arena pergulataan ideologi-

ideologi pergerakan.

Ideologi Islamisme, Komunisme, dan Nasionalisme telah dan selalu menjadi

mata rantai rivalitas ideologi pergerakan. Kemunculan Sarekat Islam di bawah

Cokroaminoto, Sarekat Islam Merah yang usung Semaun, fenomena

Muslim-komunis Misbach, serta pendirian Partai Komunis Indonesia afdeling

Surakarta 1923 telah ikut membentuk lanskap sosiologis masyarakat Surakarta yang

rawan friksi, pertarungan ideologi, konflik bahkan kerusuhan. Dalam sejarah

Surakarta, kerusuhan yang meledak 14-15 Mei 1998 merupakan kerusuhan terbesar

yang pernah terjadi. Ketimpangan ekonomi kalangan pribumi dan non-pribumi

merupakan salah satu akar pemicunya (Nurhadiantomo, 2004). Ketimpangan ini

terkait dengan proses pembangunan yang mengabaikan nilainilai sosial dan

kepentingan masyarakat kecil.

Kuntowijoyo (1999) membagi pembangunan Surakarta dalam 4 tahap, yaitu

kota tradisional, kota kolonial, kota modern dan kota internasional. Sebagai kota

tradisional, stratifikasi masyarakat Surakarta terdiri dari kelas priyayi, abdi dalem

dan wong cilik dengan menekankan pajak sebagai sumber penggerak ekonomi.

Jalan-jalan lebar, bangunan megah dan public area yang luas merupakan simbol-

simbol kota pada fase ini. Pada fase kota kolonial, dengan detail Kuntowjoyo

memaparkan, Surakarta mulai memiliki kantor pemerintah, benteng, bank, gedung

teater, hotel, toko-toko, kantor telepon, kantor pos, pabrik es, bengkel las, trem kota,

parit-parit, rumah-rumah Belanda, apotek, dan sumur artesis. Kehadiran kolonial

23
Belanda meniscayakan terjadinya proses modernisasi memasuki tata sosial budaya

masyarakat Surakarta.

Pasca zaman kolonial, modernisasi terus dikembangkan dalam sistem

ekonomi, sosial dan budaya wong solo. Ledakan ekonomi kelas bawah telah

mendorong mobilitas yang luar biasa. Tanpa disadari, pragmatisme mulai merasuki

para pengambil kebijakan sehingga pengembangan tata ruang kota mengabaikan

faktor estetika dan kepentingan kelas ekonomi kecil. Salah satu dampaknya adalah

public area yang tersedia pada fase pertama dan kedua mulai terkikis hilang.

Ekspansi kekuatan transnational corporation (TNC) pada 1980-an, lanjut

Kuntowojoyo, telah memicu pertumbuhan hotel-hotel, restoran-restoran,

supermarket, bahkan terakhir menjamur hipermarket 6 . Kehadiran TNC merupakan

representasi simbolik kapitalisme global di tanah Bengawan. Masyarakat Surakarta

terintegrasi dalam jejaring masyarakat global terlebih pada saat pemerintah Kota

Surakarta mencanangkan Solo sebagai salah satu tujuan utama wisatawan

mancanegara untuk memaksimalkan sumber-sumber

Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Tersudutnya ruang-ruang publik, arsitektur pembangunan kota yang tidak

mempertimbangkan nilai-nilai estetik, budaya Jawa, dan kepentingan masyarakat

kelas bawah, serta persoalan kesenjangan ekonomi-sosial telah membayangi

masyarakat Surakarta. Sulit memahami fakta friksi, konflik, dan radikalisme di

6
Pasar modern (supermarket) ada yang terpusat di wilayah Singosaren, sepanjang Jalan Slamet
Riyadi, Alfa Pabelan, Goro Assalam, Solo Grand Mall (SGM), Singosaren Mall, Solo Sequere,
Ciputra-Sun Mall, Beteng Trade Centre dan Pusat Grosir Solo (PGS).

24
Surakarta tanpa menyertakan faktor lain secara integral, seperti kesenjangan

ekonomi dan sosial serta pertarungan kepentingan politik. Menurut Soedarmono

(1999), pergeseran orientasi konsep tekstual kota dari kuthagara ke arah pemenuhan

kepentingan ekonomi pasar (pragmatisme) meninggalkan potret ekologi sosial

Surakarta berpola dikotomis, pusat versus pinggiran. "Inilah pergeseran nilai-nilai

sosial ekonomi yang menjadi simbol-simbol perlawanan rakyat yang dipinggirkan,"

tegas pakar sejarah dari Universitas Negeri Sebelas Maret ini (Pikiran Rakyat, 1999).

Banyak faktor yang menyebabkan Surakarta berubah. Memang sulit

mengelak dari arus perubahan namun yang menjadi kunci adalah kemampuan

menyeimbangkan tuntutan perubahan dengan nilai-nilai kosmologis dan

kepercayaan yang telah ada. Nampaknya ketidakmampuan inilah yang

menghanyutkan Surakarta dalam arus zaman tanpa jangkar tradisi yang kokoh.

“Kota Sala telah kehilangan identitas!”, meminjam ungkapan Kuntowijoyo (1999).

Permasalahan ekologi sosial berkorelasi langsung dengan faktor kependudukan dan

struktur sosial serta mempengaruhi proses dialektis Islam di Surakarta.

B. Kependudukan

Seperti dicatat Shiraishi, zaman modal ke-2 mulai masuk ke Surakarta pada

abad ke-19 dengan ditandai kemunculan industri-industri batik di daerah Kauman,

Keprabon, Pasar Kliwon, Laweyan, dan Tegalsari (1997:30). Zaman modal ke-2 ini

melahirkan kekuatan ekonomi borjuasi bumiputra yang kuat, yakni pengusaha dan

pedagang batik Muslim (idem:52). Proses kultural-ekonomis ini mendorong

25
kemunculan Islam sebagai kekuatan tandingan vis a vis kekuatan kraton

(Soedarmono, 1999).

Namun Kuntowijoyo mengingatkan bahwa mengasumsikan basis ekonomi

santri adalah kapitalis/borjuis dan basis ekonomi abangan adalah pertanian

merupakan suatu generalisasi yang keliru ((2002: 36). Hipotesis ini dibuktikan studi

Soedarmono terhadap Kampung dagang Laweyan dengan temuannya bahwa orang-

orang Laweyan adalah Islam abangan. Komunitas Laweyan mempraktekkan

kepercayaan yang disebut “Islam Garingan” sebagai hasil persesuaian ajaran Islam

dengan kepentingan ekonomis (2006:124-125). Kenyataan ini menegaskan bahwa

etos borjuasi tidak selalu identik dengan prilaku kaum santri-puritan.

Kini potret Surakarta telah berubah. Keberadaan Surakarta di perlintasan

Semarang – Surabaya dan Yogyakarta - Surabaya sangat berpengaruh terhadap

dinamika kependudukan dan pertumbuhan ekonomi. Pada pagi hari, saat nadi

perekonomian mulai berdenyut, eksodus pekerja dari daerah-derah sekitar menuju

Surakarta menjadi bagian pemandangan pagi hari. Arus masuk – keluar kota adalah

kehidupan, rotasi pagi dan malam. Tidak mengherankan, jika populasi di kota

Surakarta pada siang hari bisa membengkak 4 kali lipat dari jumlah faktualnya yang

tercatat di data kependudukan (Pemerintah Kota Surakarta, 2003: 3). Dalam jangka

5 tahun (2000-2005), Surakarta mengalami pertumbuhan penduduk sebanyak

83.708 jiwa dengan pertumbuhan ekonomi di atas 4%7. Data sensus kependudukan

7
Data sensus diakses dari situs resmi Pemerintah Kota Surakarta www.surakarta.go.id. Diakses
pada tanggal 1 Juni 2006.

26
2005 menunjukan populasi kota Surakarta berjumlah 552.542 jiwa yang terdiri dari

270.721 laki-laki dan 281.821 wanita dengan sex ratio-nya 96,06.

Faktor geografis serta kondisi ekologi sosial-budaya mendeterminasi

Surakarta sebagai pusat perdagangan, kota budaya dan pariwisata, serta kota

majemuk, khususnya dari segi etnik dan ideologi sosial serta keagamaan. Disamping

etnis Jawa dan Cina, populasi keturunan Arab cukup menonjol di daerah Pasar

Kliwon sehingga daerah ini sering disebut sebagai perkampungan Arab. Di beberapa

tempat tertentu, dapat dijumpai juga warga keturunan India yang sebagian besar

bergerak di sektor perdagangan tekstil seperti yang terlihat di pusat pertokoan

Singosaren.

Surakarta tidak hanya merupakan jantung kehidupan masyarakat Solo namun

juga urat nadi perekonomian bagi masyarakat yang berdomisili di eksKaresidenan

Surakarta yang mencakup Karanganyar, Sragen, Klaten, Boyolali, dan Wonogiri.

Pasar Klewer, Pasar Antik Triwindu, kawasan perdagangan Singosaren, serta

sentral-sentral industri (batik, mebel, handycarft, garmen) di wilayah ini adalah

simpul-simpul yang memicu pertumbuhan ekonomi.

Setidaknya tercatat ada 36 pasar tradisional di luar Pasar Klewer yang

berperan sebagai penyumbang ke-2 terbesar setelah pajak penerangan jalan.

Misalnya pada tahun 2001, sektor perekonomian pasar berhasil menyumbang

pendapatan asli daerah (PAD) sebesar Rp. 6,65 Milyar dimana Pasar Klewer

merupakan kontributor terbesar (KOMPAS, 12/02/2002). Bersama kraton dan

industri batik, Pasar Klewer merupakan ikon Surakarta.

27
Pada sisi lain, laporan Litbang KOMPAS mencatat bahwa ketergantungan

Surakarta terhadap daerah lain telah berdampak pada fluktuasi inflasi. Misalnya,

inflasi pada tahun 2001 mencapai angka 15,58 yang merupakan angka inflasi

tertinggi di Jawa Tengah (KOMPAS, 19/02/2002). Kenaikan inflasi ini terkait

dengan pengaruh desentralisasi kebijakan fiskal dalam konteks otonomi daerah

dimana setiap daerah harus memacu Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk menutupi

kebutuhan APBD8.

Secara umum, mata pencaharian penduduk Surakarta adalah buruh industri

(18,25%), buruh bangunan (16,15%), pedagang (7,62%), PNS/ABRI (6,66%),

pensiunan (5,68%), pengangkutan (4,61%), pengusaha (2,37%), petani sendiri (0,

19%), buruh tani (0,19%), nelayan (0 %), dan lain-lain (38,28%) (Surakarta Dalam

Angka 2002: 66). Secara akumulatif, tulang punggung perekonomian adalah sektor

tersier yang mencakup perdagangan, rumah makan, angkutan, dan jasa perhotelan

dengan prosentase sebesar 45,69% serta diikuti oleh sektor industri pengolahan

sebesar 21,41% 910.

Sektor lain yang dijadikan primadona PAD pemerintah, utamanya seiring

kebijakan otonomi daerah, adalah pariwisata. Tidak seperti daerah-daerah tetangga

yang cukup kaya sumberdaya alamnya, kota ini terhitung miskin, kecuali kekayaan

budaya dan tempat-tempat bersejarah seperti situs Kraton Pajang, Kraton

8
Kajian mengenai hal ini, lihat Brahmantio Isdijoso dan Tri Wibowo, Analisis Kebijakan Fiskal
Pada Era Otonomi Daerah: Studi Kasus Sekor Pendidikan di Surakarta”, www.fiskal.depkeu.
go.id/bapekki/kajian
9
Data berdasarkan laporan tahun 2004. Sumber data situs resmi Pemerintah Kota Surakarta yang
diakses 20 Pebruari 2006. Sebagai perbandingan, tahun 2002 sektor terseir memiliki kontribusi
10
,66% dan diikuti sector pengolahan sebesar 37% (KOMPAS, 9/02/02)

28
Kasunanan, dan Puro Mangkunegaran. Disamping memaksimalkan sektor

industi/perdagangan, pemerintah mencanangkan sektor pariwisata sebagai andalan

devisa daerah. Langkah ini bukan tanpa tantangan karena semua daerah melakukan

kebijakan yang sama, tidak terkecuali eks-Karesidenan Surakarta dan Yogyakarta.

Fluktuasi di sektor pariwisata akan berefek paralel terhadap iklim investasi

dan pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Dinamika politik dan isu keamanan

merupakan faktor eksternal yang sangat sensitif bagi nasib pariwisata, khususnya

pasca ledakan bom di Kuta Bali, tahun 2002. Sebelum ledakan bom terjadi, arus

kunjungan wisatawan terkonsentrasi ke Pulau Bali namun tragedi tersebut membuat

para wisatawan mencari alternatif yang dipandang aman. Nampaknya peluang ini

dimanfaatkan pemerintah kota Surakarta meski harus bersaing dengan kota

Yogyakarta, saudara mudanya. Pada kenyataannya, Surakarta sering menjadi paket

kunjungan wisata bersama Yogyakarta, utamanya bagi turis asing, karena letaknya

yang berdekatan, sekitar 60 Km dari Yogyakarta, serta sangat mudah dijangkau

transportasi yang ada, yaitu melalui bus, travel, dan kereta api cepat.

Kraton Kasunanan dan Mangkunegaran merupakan simbol jantung

kebudayaan Jawa Mataram di Surakarta sehingga menjadi ikon “Kota Budaya Sala”,

sehingga sangat dipahami kalau hampir setiap wisatawan tidak akan melewatkan

untuk menziarahi kedua tempat tersebut. Tempat tujuan wisata lain adalah Taman

Sriwedari – yang pada mulanya disebut bon raja (taman raja) -ber lokasi

berdampingan dengan Stadion Maladi di Jalan Slamet Riyadi. Pemerintah Kota

memproyeksikan Taman Sriwedari sebagai Taman Hiburan Rakyat (THR), sebuah

ruang publik bagi masyarakat Surakarta. Kompeks THR Sriwedari diperkaya

29
bangunan Joglo yang biasa dipergunakan untuk pentas kesenian dan teater Wayang

Orang (WO) yang semakin lama kehilangan daya tariknya, kalah oleh arus budaya

popular11.

C. Struktur Sosial

Relasi negara, dalam konteks ini Pemerintah Daerah Kota Surakarta,

masyarakat, dan kraton telah banyak mempengaruhi bahkan mendeterminasi

polapola interaksi dan struktur sosial Surakarta. Negara sebagai pusat otoritas politik

(modern) selalu berusaha mengontrol institusi-institusi budaya, sosial, dan politik

melalui diskursus pembangunan (developmentalisme). Di sisi lain, kraton sebagai

simbol pusat otoritas kebudayaan Jawa (tradisional) berkeinginan untuk

melanggengkan relasi raja dan kawula yang mensubordinat wong cilik pada priyayi.

Pada saat yang sama, masyarakat yang mengartikulasikan diri ke dalam bentuk

asosiasi-asosiasi sosial cenderung melakukan proses dekonsentrasi bahkan

delegitimasi terhadap pusat-pusat otoritas negara dan kraton.

Dalam kerangka ini, masyarakat Surakarta sedang mengalami krisis

kepemimpinan simbolik, sebagaimana dilontarkan M.C. Ricklefs 12 . Krisis ini

ditengarai oleh ketidakberdayaan negara –dalam hal ini pemerintah kota –

mengendalikan gejolak sosial seperti kerusuhan dan ketidakmampuan kraton

menyelesaikan konflik-konflik internal sehingga berlarut-larut. Kondisi tersebut

11
Kondisi gedung pementasan WO sudah tidak terawat. Pengelolanya tidak cukup bersemangat
lagi karena setiap pementasan WO selalu sepi dari penonton. Meski berbagai upaya telah banyak
ditempuh untuk mengembalikan kejayaan WO seperti pada decade 1980-an namun belum
menghasilkan perkembangan maksimal.
12
Ini terungkap dalam perbincangan yang bersangkutan dengan Rektor UMS

30
telah mendorong instabilitas, baik dalam wilayah politik maupun kultural, yang pada

tingkat tertentu memicu keresahan, kekecewaan, dan gejolak sosial.

Seiring dengan gelombang pasar bebas menyerbu negara-negara

berkembang seperti telah diungkap di muka, ideologi kapitalisme tidak hanya

menambahkan domain pasar (market) dalam relasi negara, masyarakat, dan kraton

namun ia berhasil mendominasi bahkan mensubordinat relasional yang sudah

terbangun. Dengan demikian, struktur sosial merupakan lanskap pertarungan

identitas dan medan perebutan makna-makna. Dari sinilah kebudayaan mengalami

reproduksi, pergeseran nilai, dan profanisasi seperti tercermin dalam upacara

Sekaten, malam 1 Syuro, Grebeg Syawal serta upacara Larung di Sungai Bengawan

Solo setiap tanggal 1 Syawal.

Dalam struktur sosial ini, makna simbolik upacara tahunan tersebut mulai

memudar seiring proses adaptasi, modifikasi, bahkan komodifikasi seperti yang

terjadi pada upacara sekaten, gunungan, dan larung. Pada tingkat tertentu telah

terjadi propanisasi makna simbol-simbol yang melekat dengan upacara sakral.

Padahal, misalnya, upacara gunungan merupakan instrumen yang menghubungkan

manusia dengan kekuatan supranatural untuk memperoleh keselamatan dunia dan

akherat (Abdullah, 2002: 85). Simbol gunungan mencerminkan keterkaitan erat

masyarakat Jawa dengan nilai-nilai Hindu dan Islam secara bersamaan (idem, 89).

Proses profanisasi terhadap upacara-upacara Jawa menyertakan suatu

pergeseran orientasi keagamaan dari kerangka dikotomik abangan-santri menuju

varian keberagamaan. Dalam perspektif Geertz, budaya priyayi seakan terpisah

31
dengan budaya santri dan abangan padahal pada praktiknya kaum abangan mudah

berinteraksi dengan budaya priyayi seperti tercermin dalam upacara-upacara sakral

kraton. Pada sisi lain, kaum santri tidak cukup mampu menjaga jarak secara rigid

dengan budaya priyayi dan abangan karena pada kenyataannya selalu muncul ruang

toleransi dan proses diferensiasi. Diskursus agama Jawa Geertz yang merujuk pada

trikotomi ekspresi dan penghayatan Islam lokal merepresentasikan potret

antropologis sebuah kelompok agama mayoritas yang berinteraksi bahkan

berakulturasi dengan agama, ideologi, serta budaya yang ada

(Beatty, 2001).

Keberlangsungan budaya Jawa di Surakarta, utamanya yang berkaitan

dengan upacara, berkorelasi dengan tingkat keberterimaan maupun legitimasi dari

ideologi dominan, yaitu Islam. Terlebih, Islam merupakan “agama resmi” bagi

dinasti dan keturunan Mataram Islam yang secara simbolik tercermin pada gelar

kehormatan setiap raja keturunan Mataram. Secara statistik, penduduk Surakarta

yang memeluk agama Islam - tentunya secara nominal- sebesar 77,8%. Tabel di

bawah ini menggambarkan rinciannya.

Tabel 2
(Komposisi Pemeluk Agama)

No Agama Pemeluk (%) Jumlah Tempat Ibadah

1 Islam 77,8 419 (mesjid) + 235 (mushala)

2 Katholik 7,7 5

3 Protestan 13,9 115

4 Hindu 0,1 4

32
5 Buddha 0,3 6

6 Lain-lain 0,1 -

Sumber : modifikasi Tim Litbang KOMPAS dan BPS – Jawa Tengah (2001)
Meskipun demikian, variabel agama tidak dapat sertamerta mendeterminasi

pilihan maupun pandangan politik pemeluknya. Pada saat yang sama, nampaknya

kultur abangan masih cukup kuat membentuk worldview masyarakat (Saleh, 2004:

53) sehingga identitas Islam bukan menjadi variabel penentu dalam setiap proses

politik.

Tabel 3
(Hasil Pemilihan Umum Kota Surakarta 1999).

No Kecamatan PDI-P Golkar PAN PPP PKB

1 Serengan 54,9 12,1 16,9 3,6 2,8

2 Pasar Kliwon 52,8 10,5 17,3 6,4 2,6

3 Jebres 63,9 11,4 9,9 2,4 1,9

4 Banjarsari 58,5 13,9 13,3 2,6 1,8

5 Laweyan 49,5 13,5 18,3 4,7 3,2

Sumber : Tim Litbang KOMPAS, Peta Politik PEMILU 1999-2004.

Dalam setiap proses politik, PDI Perjuangan selalu dipastikan mendapat

dukungan besar dari konstituen politiknya. Secara makro, menurut Lance Castle,

meskipun PKI sudah tidak ada lagi namun perolehan suara PDI-P di banyak

kabupaten di Jawa mirip dengan persentase PNI dan PKI tahun 1955 (KOMPAS,

9/08/04). PDIP-P sendiri mengklaim sebagai partai penerus ideologi dan perjuangan

Soekarno yang diperjuangkan PNI. Dalam peta politik nasional,

33
Surakarta merupakan basis sekaligus barometer kekuatan politik PDI-P. Surakarta
adalah “daerah merah” 13 dalam analisis peta lokasi gerakan sosial-politik yang
berkembang selama ini.

Surakarta dikategorikan sebagai daerah bertensi tinggi karena merupakan

basis sekaligus kantong tumbuhnya ideologi-ideologi radikal, baik pada masa Pra

Kemerdekaan, Kemerdekaan, Revolusi dan Orde Baru (Soedarmono, 1999). Hal ini

terjadi karena struktur sosial Surakarta yang dikotomik bergerak simultan dengan

pertarungan ideologi-ideologi dalam arena politik dan kekuasaan. Geopolitik

tersebut menjadi faktor penting kemunculan banyak gerakan Islam militanradikal di

wilayah Surakarta. Pada dekade 1980-an di Surakarta dikenal istilah

“Trio Abdullah” yang merepresentasikan tiga tokoh teras Islam politik lokal, yaitu

Abdullah Sungkar, Abdullah Thufail, dan Abdullah Marzuki. Sosok Abu Bakar

Ba`asyir yang sekarang menjadi amir Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) mulai

muncul pasca periode Trio Abdullah tersebut.

Struktur sosial di atas mengkondisikan Surakarta sebagai arena yang

kondusif bagi setiap kontestansi ideologi dan gerakan. Realitas umat Islam yang

marginal secara politik meskipun secara demografis adalah kekuatan mayoritas telah

memicu ketidakseimbangan bahkan instabilitas sosial dan politik. Kondisi ini

terrefleksikan dalam kemunculan gerakan-gerakan yang dimotivasi oleh

kekecewaan, protes, dan perlawanan. Pada masa Orde Baru, lahir fenomena

Mega-Bintang yang menyatukan pendukung PPP dan massa fanatik Megawati

13
Daerah merah identik dengan arena pergolakan ideologi-ideologi sosial-politik; tidak pernah
berhenti dari pertarungan dan konflik ideologi.

34
(Thoyibi, 1999). Menjelang keruntuhan Orde Baru, milisi tumbuh marak seperti

Front Pembela Islam Surakarta, Laskar Hizbullah, Jundullah, serta Majelis Taklim

Al Islah (Fananie dkk, 2002).

D. Variasi Representasi Islam

Islam (harus) dibahas bukan sebagai suatu rangkaian struktur tunggal


yang terikat secara kaku, yang menentukan atau berinteraksi dengan
struktur-struktur lain secara keseluruhan, namun lebih sebagai suatu
kata yang mengidentifikasi beragam hubungan dan praktik,
representasi, simbol, konsep, dan pandangan dunia dalam masyarakat
yang sama dan antara masyarakat-masyarakat yang berbeda (Gilsenan,
1983:19)

Islam telah menjadi agama dominan meskipun secara substansial tidak

menjadi sumber pandangan hidup resmi masyarakat Jawa-Solo. Surakarta, Islam,

dan gerakan keagamaan telah bertaut dan membentuk ruang dialektis bagi setiap

proses pencarian identitas, konsepsi ideologi, dan bentuk gerakan-gerakan yang

menginisiasi Islam sebagai identitas.

Tabel 4
(Komposisi Pemeluk Islam di Kecamatan)
No Kecamatan Penduduk Pemeluk Islam Porsentase

1 Serengan 61.881 47.371 76,46

2 Pasar Kliwon 83.229 64.214 77,15

3 Jebres 129.858 86.939 66,95

4 Banjarsari 158.790 11.600 70,28

5 Laweyan 102.581 81.514 79,46

Total 536.005 jiwa 391.584 jiwa 74,06

Sumber: Surakarta dalam angka 2000, BPS Surakarta

35
Mencermati data pada tabel 4, total porsentase pemeluk Islam di Surakarta

sebesar 74,06%, kemudian merujuk pada tabel 2, maka terdapat selisih sebesar

3,2%. Dari segi kebaruan data, porsentase yang bersumber dari Tim Litbang

KOMPAS (77,8%) dapat dijadikan pegangan. Tabel 4 memperlihatkan bahwa

dominasi pemeluk Islam sangat mencolok di setiap kecamatan. Populasi terbesar

penduduk terdapat di Kecamatan Banjarsari yang terletak di wilayah tengah (daerah

perkotaan). Namun embrio pergerakan Islam banyak yang lahir maupun berbasis di

daerah Laweyan, seperti Sarekat Islam dan Jamaah Al Islam yang ditopang industri

batik pada masa-masa 1920-an.

Lebih jauh, Surakarta memiliki akar tradisi pesantren yang selama ini

menjadi pusat pengembangan Islam. Dunia pesantren telah tumbuh kembang bahkan

mengakar dalam sejarah Surakarta. Polemik Snouck Hurgoronje dan Cliffod Geertz

dengan Martin Van Bruinesen (1999) mengenai keterkaitan desa perdikan dengan

pesantren bisa menjadi rujukan bahwa pesantren sudah ada berdiri di Surakarta pada

masa-masa awal (Saleh, 2004: 71)14. Denys Lombard mencatat bahwa Pesantren

Jamsaren yang berdiri tahun 1750 merupakan salah satu pesantren termasyhur di

daratan Jawa sejajar dengan Krapyak Yogyakarta, Gontor, Termas Pacitan, Tebu

Ireng Jombang, dan Lirboyo Kediri (2005: 40).

14
Snouk Hurgronje (1913) dan Geertz mengaitkan desa perdikan dengan keberadaan pesantren yang
dibebaskan dari beban membayar pajak dengan kompensasi desa tersebut memfasilitasi semua
kebutuhan pesantren. Namun Martin Van Bruinesen (1995) tidak sependapat karena menurut
catatannya hanya 4 dari 221 desa perdikan yang ada di pulau Jawa saat itu yang ditempati pesantren,
lih. Fauzan Saleh, Teologi Pembaharuan, Jakarta: Serambi, 2004.

36
Kehadiran sekolah agama pertama bergaya modern di Jawa, Madrasah

Manbaul `Ulum (1905), yang dibangun di komplek Mesjid Agung Surakarta atas

perintah Susuhunan Pakubuwana X, merupakan bukti andil kalangan penghulu

kraton dalam proses reformasi Islam di Surakarta (Hisyam, 2001: 141). Pesantren

Jamsaren dan Manbaul `Ulum mendominasi iklim keberagamaan di Surakarta

sampai dengan dekade 1960-an. Kemunculan Perhimpunan Al Islam (Jamaah Al

Islam) pada tahun 1927 secara perlahan menggeser posisi Pesantren Jamsaren dan

Manbaul `Ulum yang puncaknya terjadi pada dekade 1960-an pada saat Jamaah Al

Islam dipimpin Kyai Imam Ghazali.

Memasuki dekade 1970-an, seiring politik represif Orde Baru, mulai

menjamur pesantren maupun jamaah pengajian sebagai alternatif strategi perjuangan

umat Islam saat itu, diantaranya Pondok Al Mukmin Ngruki, Majelis

Tafsir Al Quran (MTA), Jamaah Al Islam Mangkubumen, Jamaah Penumping,

Pondok Assalam, serta pada era reformasi bermunculan pesantren-pesantren yang

mengidentifikasi diri sebagai gerakan salafi dan tarbiyah. Pada masa reformasi

pertumbuhan institusi Islam semakin pesat, termasuk pesantren dan lembaga

pendidikan Islam. Ada kecenderungan kuat bahwa gerakan-gerakan jamaah yang

pada masa Orde Baru melakukan strategi gerakan underground melakukan

transformasi gerakan pada masa reformasi. Ini terindikasi dari maraknya sekolah

dasar-sekolah dasar Islam terpadu (SDIT) yang sebagian besar memiliki relasi

ideologis dengan gerakan-gerakan jamaah yang telah tumbuh pada dekade 1970-

37
an15.

Pada konteks ini, secara alamiah, agama memiliki kemampuan untuk

memenuhi fungsi-fungsi sosial dari pemeluknya melalui sistem tindakan

keagamaan. Joachim Wach membedakan kolektivitas tindakan berdasarkan

landasan keagamaan dan yang mengandung suatu aspek keagamaan (Bellah, 2000:

388). Sistem kekerabatan/keluarga merupakan contoh tipologi dari kolektivitas yang

mengandung aspek keagamaan. Adapun kolektivitas murni keagamaan adalah

komitmen terhadap kekuatan adikodrati yang bersifat universal, untuk tunduk dan

patuh. Secara khusus Bellah mengkatagorikan agama Islam dalam tipologi ini

karena sifat fundamental kepemelukannya adalah totalitas/kepasrahan sebagaimana

kesaksian “Tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusannya” (2000,

289). Kedua tipologi kolektivitas tersebut membangun

keniscayaan tindakan etik/ritual bersama dan kohesivitas sosial.

Kepribadian, keluarga, kekerabatan, serta institusi merupakan sistem

keagamaan yang mampu menjawab kebutuhan sekaligus tantangan dari sistem sosial

yang ada. Arus perubahan dengan gejolak sosial sering melemahkan sistem

keagamaan yang berpusat pada ortodoksi. Pada situasi seperti ini, inovasi

keagamaan bahkan revolusi kharismatik dalam bentuk kebangkitan agama muncul

dan memainkan peran dalam proses transisi menuju suatu tata sosial yang

terdiferensiasi. Di Jawa, sejarah gerakan-gerakan kebangkitan agama menampakan

diri dalam sekolah-sekolah agama dan kelompok-kelompok keagamaan yang

15
Fenomena SDIT pada era refromasi menarik perhatian, khususnya jika dikaitkan dengan
kebangkitan gerakan-gerakan yang memperjuangkan syariah Islam. Pusat Studi Budaya UMS
sedang melakukan penelitian seputar masalah ini.

38
tumbuh subur (Kartodirdjo, 1984: 13). Dalam cakupan penelitian ini, tesis Sartono

Kartodirdjo dapat dilihat dari kelahiran gerakan purifikasi Muhammadiyah, Persis,

dan Al Islam disatu sisi, serta gerakan-gerakan jamaah pada rentang dekade 1970-

an – 1980-an di Surakarta.

Jika pada mulanya yang diasosiasikan sebagai kaum santri adalah pesantren,

maka dalam perkembangannya identitas politik santri lebih merujuk pada ideologi

Ahl Sunnah wal Jamaah (ASWAJA). Kelompok Muslim modernis dan tradisionalis

yang dilekatkan pada organisasi Muhammadiyah dan NU (Noor, 1985) memiliki hak

yang sama untuk disebut sebagai kaum santri yang menganut ideologi ASWAJA

(Saleh, 2004:146).

Dalam sejarah perkembangan Islam, ada 2 model pendekatan, yaitu Islam

pesisir dan Islam pedalaman. Pada masa-masa awal penyebaran Islam ke Jawa –

sekitar abad ke-16 -, orang Jawa pedalaman merasa asing dengan varian Islam

murni/puritan. Mereka mengasoasiasikan Islam yang lebih murni sebagai agama

orang-orang pesisir (Saleh, 2004: 49). Secara umum pasca keruntuhan Pajang dan

bangkitnya Mataram pada akhir abad ke16, Islam di Jawa tidak dapat

mempertahankan diri sebagai kekuatan dominan (idem. 70). Peralihan pusat

kekuasaan politik dari Pajang ke Mataram Islam berdampak terhadap pergeseran

orientasi keberagamaan. Tafsir kebenaran Islam Jawa didominasi oleh Islam

pedalaman.

Menurut Widijanto, dasar relasional kedua model keberagamaan tersebut

adalah tiga pola konflik kebudayaan Jawa; budaya pedalaman dengan budaya

pesisir, budaya kraton dengan budaya rakyat, dan budaya abangan dengan budaya

39
santri (KOMPAS, 30/01/2003). Kemunculan gerakan pembaharuan pada akhir abad

ke-19 belum mampu berbuat banyak dalam mensikapi ketegangan Islam pesisir dan

Islam pedalaman. Dalam perkembangan selanjutnya Islam pesisir tidak lagi

dianggap sebagai “Islam murni” melainkan lebih disebut sebagai Islamsinkretisme

oleh kalangan Islam tekstual (Nur Syam, 2005).

Mudjahirin Thohir dalam penelitiannya mengenai Islam Pesisir Bangsri,

Jepara, menemukan bahwa corak keberagamaan permisif - yang menjadi ciri khas

Islam pesisir – ternyata memberikan ruang toleransi bagi hadirnya Islam santri yang

puritan (Suara Merdeka, 10/10/2002). Ruang inilah yang memungkinkan terjadinya

komunikasi dualektis tanpa harus menegasikan satu sama lain; abangan dan santri.

Menjadi semakin menarik jika tesis ini dikomparasikan dengan beberapa temuan

corak Islam di pedalaman yang telah lebih dulu muncul, seperti Clifford Geerzt,

Mark Woodward, Andrew Beatty, dan Stephen Headley.

Geertz “menciptakan” kategorisasi Islam santri di atas sinkretisme priyayi

dan heterodoksi abangan. Padahal menurut M.C. Ricklefs, penggolongan santri

(putihan)-abangan tidak ditemukan dalam teks-teks pribumi (Islam) sebelum

muncul desakan kultural maupun politik dari gerakan pembaharuan Islam serta

hegemoni politik kolonial pada abad ke-19 (Ul Haq, 2004: 286). Dalam pandangan

Woodward (1999:357), kegagalan kalangan antropolog dalam mengapresiasi Islam

Jawa dengan keunikan struktur sosialnya disebabkan oleh tidak memadainya

pemahaman terhadap fakta heterogenitas pemikiran serta perspektif teoritis yang

tidak empati terhadap aspek kesejarahan, mitos, dan

interpretasi simbolik.

40
Belakangan, Stephen C. Headley (2005) menegaskan bahwa yang menjadi

akar masalah Islam Jawa bukan relasi Islam dan Jawa melainkan Islam mainstream

dan Islam non-mainstream. Melalui riset yang dilakukannya selama 30 tahun di

Surakarta, Headley melihat Jawa dan Islam beratap sama dalam hal pandangan

kosmologi masyarakat Jawa. Keluar, masyarakat Jawa biasa merepresentasikan diri

sebagai Islam. Namun ke dalam, mereka masih menyandarkan diri pada kekuatan

spiritual geografis asalnya. Kemunculan gerakan Islam puritan di awal abad 20

seperti Muhammadiyah mulai mengikis semangat primordialisme komunalisme

dengan mengkampanyekan “keselamatan individu” (2005:5). Gerakan puritan

melahirkan arus “konversi” melalui pengikisan keterikatan masyarakat pada

kosmologi geografisnya. Bayly mendefinisikan konversi sebagai bentuk tuntutan

untuk mencapai praktik keimanan lebih tinggi dari apa yang sudah dijalaninya

(idem., 19).

Apa yang telah diungkapkan di atas merupakan ekspresi-ekspresi dari praktik

keimanan yang sangat mendasar, dalam konteks sosiologi prilaku yang

mencerminkan kehendak jiwa (Simmel, 1979: 33). Meskipun begitu, menjadi

beragama tidak sepenuhnya ditentukan oleh faktor keimanan saja namun ditopang

oleh bentuk sosiologisnya (idem., 34). Sejalan dengan Simmel, Dale Cannon

mengemukakan enam jalan menjadi beragama (six ways of being religious), yaitu

beribadah, aksi/tindakan, pengabdian, meditasi, mistik dan rational (1996: 69).

Dalam masyarakat Jawa, kita menemukan ke-enam jalan tersebut sebagai bagian

pencarian otentisitas keberagamaannya.

41
Studi Riaz Hassan mengenai keberimanan di beberapa negara berpenduduk

Muslim membuktikan bahwa menjadi Muslim yang saleh (religious) tidak hanya

menyangkut masalah ketaatan dalam beribadah namun juga sangat terkait dengan

komitmen terhadap etika kehidupan (2003: 40). Postulasi komitmen keberagamaan

sendiri mencakup lima dimensi sebagaimana dikembangkan Charles Y. Glock dan

Rodney, yaitu keyakinan, praktik, pengetahuan, pengalaman, dan konsekwensi

(Bainbrigde,1997: 13).

Tampak kelima dimensi ini bersinggungan dengan tesis Cannon yang dalam

bahasa Hassan disebut kesalehan (piety). Untuk mencermati kesalehan, Hassan

(2003: 41) mengangkat tesis Stark dan Glock bahwa kesalehan beragama merupakan

fenomena yang bersifat multi dimensi. Ini memperkuat temuan dan pendapat para

antropolog di muka seputar relasi Islam dan Jawa. Dengan kerangka ini, agama tidak

pernah muncul dengan wajah tunggal. Agama selalu dikenalkan dengan variasi

(Bainbrigge, 1997) dan kekayaan bentuk pengorganisasian (Hassan, 2003). William

Sims Bainbridge membagi variasi keberagamaan dalam dua bentuk, yakni komitmen

keberagamaan yang bersifat individu dan yang mengorganisasi/mengelompok

karena secara naluriah seseorang membutuhkan afiliasi kelompok (1997: 12).

Dengan demikian, apa yang diungkapkan Gilsenan di awal sub bab

merupakan wajah sosiologis Islam yang harus diperlakukan secara faktual. Mengacu

pada Simmel, Cannon, Bainbrigde serta Hassan, keinginan untuk

mengelompok/berhimpun/berjamaah dalam satu identitas tertentu sangat naluriah

dalam beragama, sebagai ekspresi sosiologis bahkan sebagai bentuk kritik. Premis

ini sejalan dengan semangat dasar agama mengartikulasikan visi dan gerakan

42
pembebasan, yang dalam istilah teori sosial kritis disebut sebagai gerakan politis

(Ali, 2002: 24). Gerakan agama sebagai kritik sosial adalah mengejawantahkan

fungsi disintegratif agama dalam konteks struktural (Abdurrahman, 2003: 94).

43
BAB III

TRANSFORMASI IDEOLOGIS JAMAAH AL ISLAM

A. Gerakan Jamaah, Sebuah Kritik Sosiologis

Islam Jamaah, Jamaah Al Islam dan Jamaah Islamiyah merupakan istilah

kontroversial ketika diidentifikasikan dengan ideologi kelompok maupun gerakan

keagamaan, utamanya pada dekade 1970-an dan pasca serangan 11 September 2001.

Untuk kepentingan penelitian ini, saya membedakan Jamaah Al Islam yang menjadi

obyek utama dengan Islam Jamaah dan Jamaah Islamiyah.

Islam Jamaah atau juga biasa disebut Darul Hadist merupakan aliran

keagamaan yang dicetuskan oleh Nurhasan Ubaidah Lubis tahun 1970-an di Kediri

Jawa Timur. Sang pendiri mengaku sebagai Amirul Mukminin yang memimpin

Kerajaan Islam Jamaah. Gerakan ini memiliki lima doktrin, yaitu mankul, bai`at,

keamiran jamaah, struktur kerajaan jamaah dan taat kepada amir (Hafiluddin,2001:

4). Posisi kelima doktrin ini sangat penting sehingga menggeser posisi sentral Rukun

Iman dan Rukun Islam. Penafsiran Nurhasan terhadap doktrin-doktrin tersebut

dianggap menyimpang sehingga mendapat kritikan bahkan serangan tajam dari

berbagai kelompok Islam pada tahun 1979 16 . Salah satu doktrin yang memicu

kontroversi adalah doktrin mankul. Menurut orang yang pernah berguru di Pondok

16
Fatwa Majelis Ulama Indonesia tahun 1994 memutuskan GIJ sebagai ajaran yang
bertentangan dengan agama Islam dengan alasan akan memancing gejolak sosial dan menggangu
kestabilan Negara (LPPI, 2001: 247). Meskipun mendapat penolakan, ajaran Islam Jamaah masih
tetap menyebar ke berbagai daerah bahkan merambah Negara-negara tetangga seperti Malaysia dan
Brunei.

44
17
Jamsaren ini , ilmu tidak akan bernilai agama dan sah jika tidak

dinukilkan/ditransmisikan mulai Nurhasan ke Nabi Muhammad dan Malaikat Jibril

langsung ke Allah (idem,. 44).

Adapun Jamaah Islamiyah (JI) merupakan kelompok yang selalu dikaitkan

dengan jaringan terorisme sebagaimana laporan International Crisis Group.

Menurut Nasir Abas, mantan petinggi JI, Al Jamaah Al Islamiyah dibentuk Januari

1993 di Afghanistan (2005: 87). Dalam pengakuannya, JI adalah pecahan dari

Jamaah Darul Islam atau yang lebih dikenal NII (Negara Islam

Indonesia). JI merupakan sebuah jamaah/organisasi yang memiliki pemimpin

(amir), anggota, dan struktur kepemimpinan (idem., 92-93). Berbeda dengan GIJ

(Hafiluddin, 1997: 4), JI tidak menjanjikan orang yang telah menjadi anggotanya

akan masuk surga (2005: 96). Abdullah Sungkar merupakan amir JI sebelum

akhirnya digantikan Abu Bakar Ba`asyir (idem., 115).

Namun menurut Nursalim, Jamaah Islamiyah didirikan oleh Abdullah

Sungkar bersama Abu Bakar Ba`asyir tahun 1970-an di Surakarta sebagai wadah

dakwah alternatif. Pendirian jamaah ini merupakan langkah Sungkar bersama

Ba`asyir setelah keduanya menolak ajakan Abdullah Thufail untuk bergabung di

Majelis Tafsir Al Quran (2001: 53). Tahun 1976, Abdullah Sungkar menggabungkan

diri dengan NII pimpinan Ajengan Masduki dengan

pertimbangan sebagai afiliasi Jamaah Islamiyah yang ia bentuk (2001: 54).

17
Lebih jelas, lih. sukweb.selangor.gov.my/mufti/Istinbat/.../Ajaran Islam Jamaah.htm

45
Istilah “Jamaah Al Islam” dalam penelitian disini merujuk pada cita-cita

memperjuangkan kesatuan umat (wahdah al ummah) yang tidak memberi tempat

pada sistem pengelompok (firaq) umat Islam ke dalam mazhab maupun partai

tertentu (Al Islam, 1994: 2). Aksioma “Jamaah adalah Al Islam dan Al Islam adalah

Jamaah” merupakan inti dari ideologi gerakan ini. Bagi Jamaah, “Al Islam”

merupakan nama asli agama Allah (YPI, tt: 2). Penulisan “Al Islam” dalam qanun

Jamaah ditempatkan di antara tanda petik dengan maksud bahwa “Al Islam” tersebut

merupakan nama agama Allah (YPI, tt: 3). Pada dasarnya, pemilihan nama Jamaah

“Al Islam” merupakan kritik terhadap kelompokkelompok Islam yang memakai

nama-nama primordial. Ini tercermin dari ucapan Kyai Imam Ghazali, “selain Al

Islam itu thogut18” (Al Islam, 1994: 2).

Jamaah Al Islam merupakan kritik sekaligus antitesis terhadap kenyataan

umat Islam yang terpecah belah dan mengelompok di berbagai organisasiorganisasi

keagamaan pada awal abad ke-20, seperti Muhammadiyah, NU, Persis dan Al

Irsyad. Fanatisme yang terlanjur tertanam di dalam prilaku keberagamaan masing-

masing kelompok tersebut dinilai oleh beberapa elite ulama Surakarta yang

independen sebagai pemicu timbulnya konflik, friksi bahkan perpecahan di antara

sesama umat Islam. Untuk mendakwahkan “Al Islam”, Jamaah bergerak dalam

bidang pendidikan dan pengajaran. Menurut Federspiel (1996), salah satu indikasi

gerakan pembaharuan (modernis) ditandai oleh reformasi pada aspek pendidikan.

Tarik menarik kekuatan tradisionalisme Islam dan gerakan-gerakan

pembaharuan yang mengusung modernisme pada dekade awal abad ke-20 tercermin

18
Thogut bermakna pengikut syaithan, bathil, serta berada dalam jalur yang salah.

46
dalam dinamika kongres umat Islam 1923 di Cirebon (Noor, 1985). Isu pentingnya

tradisi dalam keberagamaan Islam Indonesia yang disuarakan tokohtokoh ulama

tradisonalis sama kencangnya dengan isu pentingnya pembaharuan dan modernisasi

Islam. Paham keagamaan NU dan Muhammadiyah relatif cepat menyebar serta ikut

mewarnai corak keberagamaan lokal. Di beberapa pusat perkembangan Islam di

Jawa khususnya, Muhammadiyah dan NU menempati posisi penting bahkan pada

tingkat tertentu dominan. Namun kondisi kedua organisasi mainstream tersebut

menunjukan fenomena berbeda ketika memasuki Surakarta. NU dan

Muhammadiyah harus berhadapan dengan kelompokkelompok Islam lokal

Surakarta yang sudah memiliki akar tradisi keberagamaan cukup tua dibanding

Muhammadiyah (1912) dan NU (1926).

Pondok Pesantren Jamsaren yang dirintis Kyai Jamsari tahun 1750 atas

dawuh Pakubuwono (PB) IV dan kemudian direstorasi oleh Kyai Idris tahun 1878

serta diikuti oleh berdirinya Madrasah Mambaul `Ulum pada 1905 telah menjadi

fakta sejarah bahwa dinamika Islam di Surakarta sudah berkembang jauh sebelum

diskursus tradisionalisme vis a vis pembaharuan Islam mengemuka. Menurut catatan

Denys Lombard, Pesantren Jamsaren merupakan salah satu dari simpulsimpul

penting transmisi penyebaran Islam di Jawa (2005: 140). Pesantren Jamsaren dan

Madrasah Mambaul `Ulum menjalankan sistem pendidikan terpadu yang terhitung

modern pada saat itu. Pagi hari para santri belajar di madrasah dan sore harinya

kembali ke pondok untuk mengikuti pelajaran selanjutnya (Darokah, 1983: 5;

Sjadzali, 1995: 11). Dalam perkembangannya, pesantren ini telah banyak

melahirkan ulama, tokoh agama bahkan intelektual Muslim yang sebagian besar

menyebar ke berbagai daerah di Jawa maupun luar Jawa.

47
Nampaknya kehadiran institusi-institusi pendidikan Islam tersebut

membentuk corak keberagamaan tersendiri pada saat paham keagamaan NU dan

Muhammadiyah berkembang dan menyebar. Arus ekspansi Muhammadiyah dan

NU seakan menemukan kekuatan tandingan pada saat memasuki Surakarta padahal

tidak sedikit ulama-ulama teras Surakarta merupakan alumni pondok pesantren di

Jawa Timur, seperti Tebu Ireng dan Tremas. Karakter tradisionalisme NU

mengalami penyesuaian ketika masuk dan diterima di kampung Tegalsari yang

merupakan salah satu pusat perdagangan kala itu.

Di lain pihak, Ahmad Dahlan sendiri sering mengunjungi dan bertukar

pikiran dengan tokoh-tokoh pergerakan di Surakarta. Ide reformasi Islam yang bisa

diterima lebih pada gagasan pengembangan lembaga pendidikan dan rumah sakit.

Menurut KH. Ali Darokah, sebagian besar pendukung Muhammadiyah

terkonsentrasi di kampung Keprabon namun mereka lebih akomodatif dibanding

Muhammadiyah Yogyakarta (Nashier, 1999:106). Jejak ini masih terlihat dari

keberadaan kantor Muhammadiyah Daerah Surakarta di kampung Keprabon yang

menjadi pusat aktivitas dakwah Muhammadiyah saat ini19.

Ekspansi organisasi mainstream tidak mampu menggoyahkan kehadiran

gerakan-gerakan usrah/halaqah serta jamaah. Justru kemunculan

kelompokkelompok terakhir ini merupakan respon sosiologis sekaligus kritik

terhadap organisasi keagamaan yang ada. Bahkan pada tingkat tertentu, jamaah

19
Muhammadiyah masuk dan berkembang di kampung Keprabon diperkirakan pada tahun 1930-an
berdasarkan informasi Marpuji Ali, Ketua PMW Jawa Tengah.

48
merupakan bentuk perlawanan terhadap modernisme yang menekankan

individualisme.

Pembinaan model usrah/jamaah bertujuan memperkuat jalinan persaudaraan untuk

menghadapi tantangan perjuangan yang sangat keras (Nursalim, 2001: 57).

B. Konteks Kemunculan dan Pencarian Bentuk Gerakan

Konflik NU dan Muhammadiyah semakin memanas bahkan sudah

cenderung emosional dan irasional (Federspiel, 1996: 61). Ulama-ulama di

Surakarta yang dipelopori tokoh-tokoh Pesantren Jamsaren dan Tegalsari

mengambil sikap tegas. Mereka tidak mau melibatkan diri ke dalam konflik yang

ada. Para ulama tersebut sangat prihatin dengan kondisi yang bisa mengarah pada

perpecahan. Mereka berusaha mencegah polarisasi yang menajam di kalangan umat

Islam. Atas prakarsa beberapa ulama di Surakarta seperti Kyai Abu

`Ammar, KH. Imam Ghazali bin Hasan Ustad, KH. Abdussomad, K. Abdul

Manaf Siddiq, KH. Mufti Salimin, KH. M. In`am, KH. Husnan, KH. Khurmen, Kyai

Syakir, Kyai Abdurrazaq Siddiq dan Kyai Abdullah Siddiq menyelenggarakan

Musyawarah Ulama tahun 1927 di Pasar Kliwon, sebuah perkampungan Arab dekat

alun-alun Kota Surakarta (Nashier, 1992: 91; Ghazali, 1994: i; Al Islam, 1994: 1).

Penentuan lokasi Musyarawah Ulama di Pasar Kliwon nampaknya memiliki

pertimbangan tertentu, kemungkinan ini muncul dari adanya dukungan

Ahmad Surkati, pendiri Jam'iyat al-Islah wal Irsyad al-Islamiyyah atau Al Irsyad

(1914), terhadap musyawarah tersebut. Dikabarkan pendiri Al Irsyad ini

49
mengunjungi dan menyebarkan ide-ide Al Irsyad di Surakarta beberapa bulan

sebelum “Jamaah Al Islam” yang lahir dari Musyawarah Ulama tersebut terbentuk

tahun 1927 (Nashier, 1999:91) 20 . Musyawarah Ulama tahun 1927 melahirkan

maklumat umat Islam yang intinya menyeru kepada umat islam untuk bersatu tanpa

terkotak-kotak oleh label kelompok maupun organisasi. “Ora kudhu nyang

NU utawa nyang Muhammadiyah, cukup tembung umat Islam”, demikian ungkap

KH. Imam Ghazali, aktor intelektual Musyawarah Ulama di samping gurunya

sendiri, Kyai Abu Ammar (Nashier, 1999: 95).

Inilah embrio gagasan bahwa agama Islam adalah Jamaah Al Islam yang

diusung KH. Imam Ghazali dkk Dengan ungkapan lain, Al Islam adalah agama dan

bukan organisasi (Al Islam, 1994: 2). Pasca Musyawarah Ulama, muncul figur-figur

ulama independen yang kukuh memperjuangkan ide Jamaah Al Islam, diantaranya

adalah KH. Imam Ghazali, Moefti Salimin, Abdurrazaq Siddiq, Abdussamad, Abdul

Manaf, dan H. Khurmen Batu yang dikenal sebagai ulamaulama independen,

penyebar ide Al Islam (Nashier, 1999: 107). Untuk mendakwahkan ide mereka

kepada umat Islam, para penggerak Jamaah Al Islam mengkombinasikan

pendekatan dakwah NU melalui pengajian kitab kuning di mesjid serta pondok dan

Muhammadiyah dengan melakukan dakwah di kampungkampung.

Gagasan Jamaah Al Islam didakwahkan secara jamaah sesuai prinsip dasar

gerakan ini, Al Islam adalah jamaah. Menurut Kyai Bilal, jamaah ialah kumpulnya

20
Dalam beberapa dokumen dan buku terdapat dua versi mengenai tahun terbentuknya Jamaah Al
Islam, yakni 1927 dan 1928. Namun berdasarkan AD/ART yang ada, perkumpulan ini terbentuk
pada tahun 1927

50
manusia serta amaliyahnya dengan iman yang berdiri atas keadilan (Al Islam,

1994: 2). Ada dua riwayat Nabi (hadist) popular yang selalu menjadi landasan

prinsipil (ushuli) sekaligus tulang punggung argumentasi setiap gerakan jamaah:

a. Dari Zakaria bin Salam, diberitahu dari ayahnya, dari seseorang berkata: aku
telah sampai/datang kepada Nabi SAW. Beliau bersabda: “wahai manusia,
wajiblah kalian berjamaah dan jauhilah (larangan) kalian berpecah-belah,
disabdakan tiga kali” (Ghazali, 1994: 45).

b. Dari Tamim Addaary ra. Berkata: bersabda Umar bin khattab ra: “bahwa
bukanlah Islam melainkan dengan jamaah, bukanlah jamaah kecuali dengan
pemimpin (imam), dan bukanlah pemimpin apabila tidak ditaati” (idem, 46).

Dengan kerangka ini, permasalahan jamaah, imamah (kepemimpinan) dan bai`at

dalam perspektif gerakan jamaah bukanlah masalah furu`iyyah namun justru pokok

(ushuli) yang menentukan tegak atau tidaknya sebuah Al Islam. Untuk memberikan

landasan yang kokoh, KH. Imam Ghazali menyusun beberapa buku di antaranya

yang terpenting Al Imamah dan Al Islam wa al Muslim (1994) yang sangat terkait

dengan pembentukan landasan, orientasi serta cita-cita sosial gerakan Jamaah Al

Islam.

Buku terakhir memuat himpunan ayat-ayat al Quran dan Hadis Nabi yang

berisi penjelasan otentik mengenai apa itu “Al Islam” dan “Al Muslim”. Jika

dirumuskan, ada tiga pokok pandangan Kyai Ghazali, yaitu sikap mental yang benar

memahami Al Islam, mengamalkan secara benar apa yang dimaksud Al Islam, serta

mengamalkan secara benar Al Islam baik dalam aspek individu maupun sosial

(Balitbang Depag, 1983: 39). Jamaah Al Islam memahami ajaran Islam sebagaimana

51
umat Islam generasi pertama (ahl salaf), yakni memahami secara langsung dari

sumber aslinya tanpa intervensi penalaran (idem., 41). Dalam hal menafsir al Quran,

tidak ada yang khusus dipegangi. Kelompok ini berpegang pada metode penafsiran

bil ma`tsur21 sebagaimana diamalkan pendirinya (idem.,

43).

Salah satu langkah strategis yang dilakukan Kyai Ghazali pasca Musyawarah

Ulama tahun 1927 adalah melakukan pengajian terbatas (halaqah) yang bersifat

rutin di kediamannya. Pengajian ini merupakan majelis taklim yang menjadi embrio

bagi “Madrasah Dinil Islam” (Nashier, 1999: 113). Kehadiran madrasah ini dengan

cepat mendapat dukungan kelas menengah Muslim yang rata-rata merupakan

pedagang dengan basis ekonomi cukup kuat, non priyayi serta memiliki komitmen

kepada Islam

Langkah ini mencerminkan komitmen ulama-ulama independen tersebut

untuk mendakwahkan gagasan mereka melalui institusi pendidikan dan bukan

melalui instrumen politik. Menurut Kyai Ali Darokah, pada saat itu para ulama lebih

berkonsentrasi pada pendidikan pesantren dan kelompok-kelompok pengajian

kampung. Catatan Larson menjelaskan bahwa “ulama-ulama yang puritan tidak

banyak berperanan dalam gerakan politik massa pada tahun-tahun tersebut (1926-

an)” (dikutip dari Nashier, 105). Hal ini disebabkan oleh situasi politik yang sedang

21
Penafsiran bil ma`tsur merupakan satu metode menerjemahkan dan menafsirkan Al Quran
dengan menggunakan dalil-dalil Al Aquran ataupun hadis Nabi dengan meminimalisir intervensi
nalar.

52
bergolak dimana beberapa tokoh Islam dianggap tersangkut bahkan terlibat dalam

kasus-kasus pemberontakan komunis tahun 1926-1927.

Jamaah Al Islam menempuh jalur pendidikan dan pengajarannya dalam

melakukan reformasi paham keagamaan serta mengamalkan ajaran-ajarannya (YPI,

tt: 4). Karel A. Steenbrink mendata empat faktor yang mendorong gerakan

pembaharuan di Indonesia pada awal abad ke-20, yaitu keinginan untuk kembali

kepada Al Quran dan Sunnah, semangat nasionalisme dalam melawan penjajah,

memperkuat basis gerakan sosial, ekonomi, budaya dan politik, dan pembaharuan

pendidikan Islam (Maksum, 1999: 83). Jika mengikuti Steenberink, tesis Deliar

Noor (1985), dan Federspiel (1996) mengenai relasi gerakan pembaharuan dan

pendidikan, maka Jamaah Al Islam telah menempuh tradisi gerakan pembaharuan

melalui jalur institusi pendidikan madrasah disamping pesantren.

Sejak awal, Jamaah Al Islam merintis Madrasah Ibtidaiyah (sederajat

sekolah dasar) dan tsanawiyah (setingkat SLTP) dengan nama “Madrasah Dinil

Islam” (Dokumen Sejarah dan Perkembangan Perguruan Al Islam, tt: 1). Pendidikan

madrasah yang dikembangkan juga mengajarkan pelajaran-pelajaran umum sebagai

bentuk respon terhadap kebijakan Belanda (Idem., 3). Langkah

Jamaah Al Islam mendapat apresiasi tinggi dari masyarakat Muslim non priyayi di

Surakarta sehingga pendidikannya berkembang pesat.

53
Pada tahun 1932, Jamaah Al Islam mengadakan muktamar yang pertama di

Surakarta. Masa-masa ini merupakan periode formatif. Pada periode inilah

instrumen keorganisasian Jamaah Al Islam diletakkan, seperti visi dan misi dan

AD/ART. Jamaah Al Islam menetapkan dan menegaskan misinya, yaitu:

1. Gagasan wahdatul ummah; persatuan umat Islam

2. Gerakan kembali kepada al Quran dan Sunnah dalam semua kehidupan;

ibadah, pengajaran dan muasyarah (sosial)

3. Pengembangan amar ma`ruf nahi munkar

Tahun berikutnya, 1933, Jamaah Al Islam menyusun qanun (AD/ART) yang

mengatur prinsip-prinsip dasar organisasinya. Untuk meneguhkan gagasan “Al

Islam”-nya, Kyai Ghazali mengganti nama Madrasah Dinil Islam dengan Madrasah

al Islam (Dokumen Sejarah, tt: 2). Periode formatif melahirkan apa yang disebut

Pengurus Besar (PB) Al Islam dimana Kyai Imam Ghazali bertindak sebagai ketua.

Transformasi cita-cita perjuangan Jamaah Islam ke dalam bentuk

institusionalisasi Pengurus Besar Al Islam telah menimbulkan polemik tajam, baik

di kalangan internal Al Islam maupun eksternal elite ulama di Surakarta. Ada dua

arus pendapat di kalangan internal Jamaah Al Islam sendiri mengenai persoalan

jamaah dan pengurus besar/yayasan. Menurut pendapat pertama, Jamaah Al Islam

adalah jamaah mengacu pada gagasan awal sehingga tidak mengakui keberadaan

pengurus besar maupun Yayasan Perguruan Al Islam seperti yang tercatat dalam

AD/ART. Kelompok yang kedua yang dipelopori Kyai Bilal bersikukuh bahwa

Yayasan Perguruan merupakan Jamaah Al Islam sebagaimana gagasan awal tahun

54
1927 . Kyai Bilal merupakan penerus Kyai Ghazali hasil reorganisasi PB Al Islam

tahun 1953 dan 1960.

Pasca kepemimpinan Kyai Ghazali (w.1969), polemik mengenai diskursus

jamaah menjadi isu fundamental dalam gerakan-gerakan jamaah Islam di Surakarta.

Kepeloporan Perhimpunan Al Islam dengan gagasan Jamaah Al Islam hanya mampu

bertahan sampai dekade 1960-an setelah sebelumnya menggeser

Pesantren Jamsaren. Meskipun pamor Jamaah Al Islam memudar, namun ideologi

Jamaah Al Islam tetap menjadi inspirasi bagi kelahiran kelompok-kelompok

keagamaan non mainstream di Surakarta seperti Jamaah Al Islam Gumuk, Majelis

Tafsir Alquran (MTA), Jamaah Penumping, Pesantren Ngruki, Jamaah Pasar

Kliwon, dan Pesantren Assalam.

Kyai Ali Darokah terhitung tokoh yang memiliki pengaruh cukup kuat pasca

Kyai Ghazali. Ali Darokah adalah pemimpin Pesantren Jamsaren pada tahun 1965

serta meneruskan kepemimpinan Perguruan Al Islam pasca Kyai

Ma`muri (w.1975), putra Kyai Ghazali (Darokah, 1983: 6). Kredibilitas keilmuan

Ali Darokah mendapat pengakuan dari berbagai kelompok keagamaan yang ada.

Namun polarisasi paham keagamaan menajam kembali di antara kelompok dengan

meninggalnya Kyai Ali Darokah (w.1997). Dalam perkembangannya, masing-

masing kelompok tersebut mengalami perbedaan paham di kalangan internal sendiri

sehingga memunculkan faksi-faksi. Kasus pergesekan faksi-faksi itu bisa berujung

pada pemisahan diri maupun pendirian kelompok baru. Jumlah variasi paham dan

55
kelompok yang ada di Surakarta diperkirakan mencapai jumlah 32-36 kelompok

jamaah22 dimana sebagian besarnya memiliki maupun

membentuk sayap paramiliter (Fananie dkk, 2002).

Pada tingkat internasional, Revolusi Islam Iran tahun 1979 menginspirasi

kemunculan gerakan-gerakan fundamentalisme Islam di berbagai negara seperti

Algeria, Mesir, Yordania, Lebanon, Maroko, Sudan, Tunisia, Turki serta di daerah-

daerah berpenduduk Arab yang dikuasai Israel. Cita-cita politik Ayatullah Khomeini

yang ingin menjadikan fundamentalisme Islam 23 sebagai pilihan ideologi politik

Islam bagi kalangan Syiah dan Sunni telah memprovokasi para pemimpin agama di

berbagai tempat untuk mengikuti jejaknya (DeFronzo, 1991:

266). Namun keinginan Iran untuk muncul sebagai pemimpin bersama di dunia

Islam telah gagal (Roy, 2005: 101).

Gelombang semangat revolusi Iran berdampak sangat signifikan terhadap

kebangkitan ideologi Islam politik di Indonesia meski pada saat itu kekuatan politik

Orde Baru tidak akomodatif terhadap Islam bahkan bersikap represif. Pada tingkat

lokal Surakarta, Pesantren Jamsaren dan Jamaah Al Islam semakin kehilangan

sentralitasnya dalam kepemimpinan keagamaan lokal. Jamaah Al

Islam yang kemudian bertransformasi menjadi Yayasan Perguruan/Perhimpunan Al

Islam mulai memudar kekuatan sosial-politiknya, terlebih konflik internal terus

22
Wawancara dengan Chusniatun, 20 Desember 2005 di Lemlit UMS
23
Oliver Roy membedakan pemakain istilah Islam radikal dan Islam fundamentalis. Meskipun
substansi dan cita-cita perjuangan keduanya tidak berbeda namun fundamentalisme Islam
merupakan penerjemahan gagasan Islam radikal melalui wilayah politik, lih. Oliver Roy,
Genealogi Islam Radikal (terj), Yogyakarta: Genta press, 2005

56
melanda. Dalam peta sosiologis seperti ini, krisis kepemimpinan di tingkat lokal

berkoinsidensi dengan semangat Revolusi Islam Iran sehingga mendorong


24
transformasi bahkan metaformasis gerakan-gerakan keagamaan lokal .

Faktorfaktor sosiologis tersebut telah mendeterminasi kemunculan Jamaah Al Islam

Gumuk dan mengorganisir diri sebagai kekuatan jamaah tersendiri.

C. Jamaah Al Islam (di) Gumuk25

1. Asal Mula dan Pengembangannya

Seperti telah diulas di muka, diantara sekian banyak kyai yang ikut

mencetuskan gagasan Jamaah Al Islam adalah KH. Abdul Manaf Siddiq

(Dokumen Sejarah, tt: 1; Mujahid dalam Ghazali, 1994: 1). Dalam kategori yang

dibuat Pradjarta (1999), Kyai Abdul Manaf tergolong kyai langgar yang mengelola

langgar/mushala dengan jumlah santri tidak sebanyak kyai pesantren. Kyai Siddiq,

begitu ia dikenal, membangun mushala Al Abror dan membina masyarakat di sebuah

kampung bernama Gumuk, sekarang terletak di

Mangkubumen Wetan, masuk dalam wilayah kecamatan Banjarsari. Menurut Uts.

Chalid Hasan, pemimpin senior Jamaah Al Islam Gumuk, tidak dicatat secara jelas

siapa yang memprakarasi pengajian Gumuk namun diketahui Kyai Siddiq adalah

orang pertama yang mendirikan mushala di daerah ini26.

24
Wawancara dengan Chusniatun, 20 Desember 2005 di Lemlit UMS
25
Penamaan Jamaah Al Islam di Gumuk dilakukan untuk membedakan dengan Jamaah Al Islam
Kyai Imam Ghazali. Disamping itu, istilah “Gumuk” sangat popular di kalangan masyarakat
meskipun pihak Jamaah tidak pernah mendeklarasikannya. “Gumuk” adalah semacam gunungan
kecil yang biasa dipakai sebagai rumah rayap. Nama lain yang tidak terlalu popular adalah
Komunitas Islam Mangkubumen (KIM).
26
Wawancara dengan Ust. Chalid Hasan, tanggal 26 Oktober, 2005 di Gumuk.

57
Pada masa awal keberadaannya, kampung Gumuk dijuluki “Kampung

Beduk” 27 . Ini petanda bahwa memang komunitas Gumuk memiliki tradisi santri

yang kuat, setidaknya menjadi pusat dakwah untuk daerah sekitarnya. Beduk sendiri

merupakan alat bantu pengeras suara azan sebagai tanda masuk waktu shalat.

Iskandar mencatat bahwa di Jawa Barat beduk dijumpai di mesjid-mesjid besar yang

biasa dipakai untuk shalat Jumat (2001: 71).

Oleh generasi pasca Kyai Siddiq, mushala tersebut dikembangkan menjadi

mesjid yang sekarang menjadi basis Jamaah Al Islam Gumuk. Awalnya, mesjid

dibangun satu lantai tapi kemudian diperluas hingga mencapai lima lantai. Sepintas,

jika dilihat dari jauh bangunan berlantai lima ini tidak tampak seperti mesjid pada

umumnya. Untuk masuk, harus melewati pintu masuk sebadan karena sisanya

ditutupi pintu besi yang menutupi halaman muka mesjid. Tepat depan pintu masuk

terdapat tempat wudhu, penyimpanan sandal serta ruangan pengajian untuk kaum

perempuan. Adapun ruang utama mesjid sekaligus ruang pengajian

bagi kaum laki-laki terdapat di lantai dua.

Tepat di samping kiri komplek mesjid dan pesantren, terdapat satu rumah

yang dihuni keluarga non Muslim etnis Cina. Tidak jauh dari samping kanan

bangunan mesjid, terdapat satu rumah non Muslim etnis Cina lagi yang berhadapan

dengan rumah. Kedua keluarga non Muslim tersebut sudah tinggal bertahun-tahun

tanpa merasa ada tekanan apalagi ketakutan hidup di daerah Gumuk28. Keberadaan

27
Wawancara dengan Ust. Chalid Hasan, tanggal 26 Oktober, 2005 di Gumuk.
28
Wawancara dengan Uts. Chalid Hasan, 26 Oktober 2005 di Gumuk

58
warga non Muslim di lingkungan yang selama ini dikenal sebagai pusat

penggemblengan anggota kelompok Islam militan seperti Front

Pembela Islam Surakarta (FPIS) tentunya merupakan catatan tersendiri. Menurut

Abu Fauzan29, salah satu ajaran pokok Islam yang diajarkan di Jamaah Al Islam

Gumuk adalah umat Islam harus bersikap toleran kepada orang lain, termasuk non

Muslim, selama yang bersangkutan menghormati dan tidak mendholimi orang

Islam30.

Mesjid Al Abror berlokasi di Jalan Teratai V, Mangkubumen Wetan,

Banjarsari. Hanya terpisah oleh Jalan Gang Melati V. tepat di depan Mesjid Al

Abror berdiri bangunan pesantren yang bernama Ma`had Al Islam. Cikal bakal

Ma`hal Al Islam sudah ada sejak masa Kyai Siddiq31. Pasca Kyai Siddiq, Pengajian

Gumuk dikelola oleh keturunannya sendiri meski tidak semua keturunannya ikut

terlibat. Pada masa-masa ini, pengajian Gumuk tidak menunjukan geliat berarti

bahkan cenderung vakum32. Dokumen Sejarah Perkembangan Perguruan “Al Islam”

Surakarta mencatat bahwa pada masa awal kemerdekaan Perguruan Al Islam telah

memiliki tujuh madrasah ibtidaiyah, salah satunya berlokasi di Mangkubumen Sala.

(tt: 6). Kemungkinan besar madrasah yang dimaksud adalah Madrasah Ibtidaiyah Al

Islam yang sekarang dikelola oleh Jamaah Al Islam Gumuk.

29
Abu Fauzan adalah seorang anggota jamaah Gumuk yang telah aktif dalam pengajian semenjak
tahun 1974 sampai sekarang.
30
Wawancara dengan Uts. Chalid hasan. Ini juga dikuatkan oleh Abu Fauzan.
31
Wawancara dengan Ust. Chalid Hasan, tanggal 26 Oktober, 2005 di Gumuk.
32
Wawancara dengan Ust. Chalid Hasan, tanggal 26 Oktober, 2005 di Gumuk.

59
Jika itu benar, maka sesungguhnya ini memperkuat hipotesis bahwa Jamaah

Al Islam Gumuk (JAIG) memiliki keterkaitan historis bahkan ideologis dengan

Jamaah Al Islam Kyai Ghazali. Terlebih Kyai Abdul Manaf Siddiq, pelopor

pengajian Gumuk, jelas terlibat bersama dengan Kyai Ghazali dalam melahirkan

Jamaah Al Islam tahun 1927. Implikasi dari hipotesis itu adalah bahwa JAIG pada

mulanya merupakan “bagian” dari Yayasan Perguruan Al Islam (YPI) dengan nama

“Gumuk Al Islam”. Fakta lain yang memperkuat kesimpulan ini adalah adanya

hubungan kekerabatan di antara pengurus YPI dengan Jamaah Al Islam Gumuk.

Kyai Abdul Manaf, salah seorang tokoh awal Jamaah Islam bersama kyai Ghazali,

adalah paman dari Ust.Mudzakkir. Ust.Mujahid AM, putera dari Kyai Abdul Manaf,

adalah tokoh Perguruan Al Islam juga terhitung sebagai elite Jamaah Al Islam

Gumuk

Yang harus dicatat adalah tidak adanya hubungan maupun keterikatan

organisasional/struktural di antara YPI dan JAIG. Kenyataan inilah yang selalu

dijadikan argumentasi kalangan Jamaah Al Islam Gumuk untuk menolak anggapan

bahwa JAIG pernah memiliki hubungan struktural dengan YPI. Di sisi lain, pendapat

JAIG ini sangat beralasan jika merujuk pada konsensus di kalangan jamaah bahwa

yang menjadi pendiri sekaligus pimpinan (amir) JAIG adalah Uts. Mudzakkir33.

Pasca Kyai Siddiq, pengajian Gumuk tidak menampakkan aktivitas menonjol

namun usaha Uts. Mudzakkir mengorganisir jamaah pengajian (majelis taklim) pada

dekade 1970-an (sekitar 1977) berhasil menghidupkan kembali aktivitas dakwah di

33
Informasi ini berasal dari Chusniatun yang diperkuat oleh pengakuan Ust. Warsito Adnan, M. Pd,
dan Abu Fauzan. Secara implisit juga diakui oleh Ust. Chalid Hasan, saudara Uts. Mudzakkir, saat
penulis konfirmasi.

60
Mesjid Al Abror, Gumuk34. Konflik internal di kalangan YPI pasca Kyai Ghazali

dan perbedaan pandangan yang prinsipil mengenai strategi perjuangan Islam

mendorong Ust. Mudzakkir untuk independen. Ia mengembangkan majelis taklim

Gumuk menjadi sebuah gerakan Jamaah Al Islam yang eksklusif 35 , solid dan

disegani meski diterpa banyak isu yang menyudutkan, salah satunya dituduh

berpaham Syiah36.

Sebenarnya, sejak awal bahkan sampai sekarang, jamaah majelis taklim di

Gumuk tidak memakai nama resmi. Pemakaian nama tertentu dalam sebuah

Jamaah akan menyeret umat Islam ke dalam ashabiyah, fanatisme kelompok. Untuk

menghindari munculnya fanatisme kelompok/aliran, sebuah jamaah jangan

memakai nama-nama tertentu dan tidak diformalkan. Pada saat yang bersamaan,

“gerakan tanpa papan nama” ini merupakan kekuatan karena bersifat strategis,

khususnya jika dikaitkan dengan sistem politik Orde Baru yang represif. Terlebih

Gumuk merupakan gerakan yang menyatakan anti pemerintah pada saat itu 37 .

Majelis taklim, pesantren, madrasah, dan kelaskaran di Gumuk merupakan

komponen ataupun institusi keagamaan yang menopang gerakan jamaah secara

integral. Secara ideologis, merujuk pada penuturan Warsito Adnan, gerakan jamaah

di Gumuk merupakan sebuah kesatuan sosial yang membentuk ”Jamaah Al Islam”

di Gumuk, Mangkubumen Wetan23.

34
Wawancara dengan Farhani, 20 September 2005 di Pondok Muhammadiyah Shabran.
35
Eksklusif mengandung makna keanggotaan yang terseleksi, terbatas, serta tertutup.
36
Mengenai hal ini akan dibahas pada bab IV
37
Wawancara dengan Warsito Adnan, 13 Pebruari 2006 di SD Islam Al Fattah Surakarta 23 Saya
mengkonfirmasi Warsito Adnan mengenai identifikasi ”Jamaah Al Islam” di Gumuk ini.
Menurutnya, identifikasi tersebut bukanlah merupakan sesuatu yang memberatkan jamaah Gumuk
(26 September 2006)

61
Untuk memperkokoh misi JAIG, Ust. Mudzakkir bersama kerabatnya Sahli,

Abdul Manan, Mujahid, serta Chalid Hasan mendirikan madrasah dan pesantren

(ma`had). Secara umum, JAIG mengelola tiga institusi yang saling berkaitan namun

masing-masing memiliki peran tersendiri. .Pertama, majelis taklim (pengajian),

yaitu pengajian Gumuk di Mesjid Al Abror. Kedua, lembaga pendidikan, yaitu

Madrasah Ibtidaiyah Al Islam dan SD Islam Al Fatah. Ketiga, pesantren, yakni

Ma`had Al Islam (Mudzakkir, 1999). Pesantren Al Islam memiliki tiga jenjang

kependidikan, yaitu tsanawiyah (sederajat SLTP), `aliyah (SLTA), serta `ali

(perguruan tinggi)38.

JAIG juga menyelenggarakan kursus khusus yang disebut Pendidikan

Menengah Agama (PMA) di SMA Al Islam 3. Sasaran utama kursus adalah

kalangan remaja Muslim untuk digembleng kekuatan aqidah dan keislamannya 39.

Ketiga lembaga tersebut dijalankan dibawah satu kepemimpinan yang sama, yakni

amir. Menurut Ust. Chalid, sistem kepemimpinan yang berlaku adalah

kepemimpinan kolektif. Namun hemat penulis, sebagai gerakan jamaah, struktur

kepemimpinan pasti ada dimana aspek senioritas, kredibilitas keilmuan dan

kharisma berperan sangat penting. Pada struktur ini, posisi Ust. Mudzakkir adalah

amir jamaah40. Dia bukan hanya menyandang status sebagai perintis namun juga

inspirator dan penggerak JAIG.

2. Keanggotaan dan Aktivitas41

38
Wawancara dengan Abu Fauzan, 16 Oktober 2005, di Pasar Kliwon
39
Wawancara dengan Ahmad Mirza, 21 Oktober 2005, di Pasar Kliwon
40
Wawancara dengan Ust. Warsito Adnan, 13 Pebruari 2006
41
Penjelasan mengenai aktivitas pada bagian ini diambil dan diolah dari data Majalah Sabili No.4

62
Tidak terdapatnya pencatatan resmi ataupun registrasi keanggotaan di JAIG

menyebabkan sulitnya mengetahui jumlah pasti anggota maupun partisipan yang

tergabung JAIG serta mengikuti pengajian/majelis taklim. Anggota JAIG telah

tersebar di berbagai kota, di Jawa dan luar Jawa, yang menginduk pada puluhan

bahkan ratusan majelis taklim Al Islam yang diperkirakan jumlahnya mencapai

ribuan 42 . Rekruitmen keanggotan pengajian berjalan secara tradisional. Setiap

anggota jamaah mengajak keluarga, kerabat, dan teman di lingkungannya untuk

mengikuti pengajian setiap pagi. Mereka mengundang dan mempersilakan setiap

orang yang tertarik dengan JAIG untuk datang dan mengikuti pengajian 43 . Pada

tahap ini terjadi proses seleksi secara alamiah bagi setiap orang yang mengikuti

pengajian.

Berbeda dengan majelis taklim, rekruitmen di Pesantren Al Islam

menerapkan sistem pendaftaran sebagaimana umumnya pada institusi-institusi

pendidikan modern. Namun pola rekrutmen murid/santri Pesantren Al Islam

cenderung didominasi pola tradisional dimana mayoritas wali satri merupakan

anggota jamaah pengajian di Gumuk 44 . Pesantren tingkat Ibtidaiyah dan Aliyah

bertempat di Surakarta dengan jumlah santri sekitar 300-an putra dan putri. Adapun

untuk tingkat tsanawiyah ditempatkan di Karanganyar, Jawa Tengah. Disamping itu,

JAIG mendirikan pesantren khusus putri di Sidoarjo, Jawa Timur.

Th.XI 11 September 2003/14 Rajab 1424


42
Wawancara dengan Ust. Warsito, 13 Pebruari 2006
43
Wawancara dengan Abu Fauzan, 21 Oktober 2005
44
Wawancara Ust. Warsito Adnan, 13 Pebruari 2005

63
Pendidikan al Quran dan kajian ilmu-ilmu agama merupakan aktivitas utama

dalam kaderisasi JAIG sesuai jadwal yang sudah ditentukan. Santri diharuskan

membaca berbagai kitab kuning rujukan di bawah bimbingan ustad setiap Sabtu

hingga Kamis. Para santri dituntut untuk mampu membaca kitab berbahasa Arab

sebagai pengantar untuk mendalami kitab tafsir al Quran, hadist, sejarah nabi

(tarikh), dan periwayatan (proses transmisi) hadist.

Pelajaran untuk santri tingkat Aliyah dimulai usai shalat dzuhur dan makan

siang sampai pukul 17.30 WIB dengan pengantar bahasa Arab. Santrisantri

Pesantren Al Islam berasal dari berbagai daerah di luar Surakarta, seperti Jawa

Timur, Jakarta, dan luar Jawa. Sistem pendidikan di lingkungan JAIG tidak memakai

kurikulum pemerintah tetapi mereka diajarkan pelajaran umum seperti bahasa

Inggris, bahasa Indonesia, fisika, biologi, ilmu bumi, administrasi, dan komputer.

Setiap pagi, selepas shalat shubuh, semua santri dari berbagai tingkatan dan

ratusan orang, baik dari kalangan pelajar, mahasiswa, serta masyarakat umum dari

berbagai latarbelakang sosial dan profesi, mengikuti pengajian rutin sampai pukul

06.30 WIB. Kecuali hari Jumat, pengajian berlangsung mulai pukul 06.00-

07.00 WIB dengan materi tafsir al Quran dan Shahih Bukhari45. Pada pengajian hari

ahad yang disampaikan adalah materi Bulughul Maram dan Riyadhush Shalihin.

Kemudian pengajian dilanjutkan pukul 07.00 WIB namun hanya boleh diikuti oleh

kalangan santri dan angggota jamaah khusus yang telah tercatat46. Setiap sore, para

45
Shahih Bukhari adalah salah satu kitab kumpulan hadist yang mendapat pengakuan luas,
utamanya di kalangan Sunni, sebagai kitab rujukan paling utama setelah al Quran dan hadist.
46
Wawancara Abu Fauzan, 21 Oktober 2005

64
jamaah juga bisa mengikuti kursus al Quran dan hadist. Disamping mereka, pada

jumaat malam mereka membaca al Quran secara bersama-sama.

D. Ustad Mudzakkir, Sang Pembangun Kampung Beduk

Uts. Mudzakkir bukanlah tipikal orang yang membiarkan dirinya

dipublikasikan secara terbuka. Namun kiprahnya di dunia gerakan jamaah maupun

ormas-ormas Islam pro penegakkan Syariah sangat dominan, baik di tingkat lokal

maupun nasional. Ia adalah ideolog sekaligus Dewan Syura Front Pembela Islam

Surakarta (Arief, 2001, 22). Dalam merespon setiap permasalahan keumatan, ia

dipercaya sebagai Koordinator Umat Islam Surakarta (TEMPO, 06/04/2004). Pada

Sidang Mudzakarah Nasional Ulama dan Habaib XVIII di Surakarta, Uts.

Mudzakkir ditunjuk sebagai Ketua Dewan Majelis (KOMPAS, 08/03/2004).

Wilayah dakwahnya tidak hanya bersinggungan dengan dunia majelis taklim

namun telah merambah ke isu-isu nasional dan internasional, seperti masalah konflik

di Ambon, separatisme RMS, terorisme, serta isu program nuklir.

Membawa bendera Front Islam untuk NKRI, tokoh dari Gumuk ini memberi

peringatan kepada pemerintah,

"Apabila aparat keamanan tidak mampu dan tidak bersungguh-sungguh


menyelesaikan pemberontakan RMS, maka Ormas Islam sepakat untuk
menyiapkan Laskar Islam untuk membela keutuhan NKRI dari
pemberontakan RMS," (detik.com, 27/04/2004)

Nama Ust. Mudzakkir kembali mendapat sorotan media pada saat proses

persidangan terhadap Abu Bakar Ba`asyir. Amir Jamaah Al Islam Gumuk ini

merupakan sedikit tokoh Islam yang vokal membela sekaligus memperjuangkan

65
kebebasan Ust. Abu Bakar. Ia dengan gigih menjelaskan kepada pemerintah,

khususnya kepolisian dan pengadilan, bahwa Ba`asyir tidak terlibat dalam

kasuskasus terorisme, termasuk tuduhan konspirasi membunuh Megawati pada saat

menjabat presiden. Pada saat Tim Pembela Baa`syir mengajukan PK terhadap

putusan pengadilan, Mudzakkir ikut memberikan kesaksian atas novum yang

diajukan (KOMPAS, /12/ 2005).

Fenomena di atas menjadi sangat menarik jika kita menelisik peta serta relasi

Pesantren Al Mukmin Ngruki dan Jamaah Al Islam Gumuk. Kyai Ali Darokah

merupakan sedikit ulama yang dijadikan rujukan bahkan guru para tokoh-tokoh

Islam seperti Abdullah Sungkar, Abu Bakar Ba`asyir, Abdullah

Thufail (pendiri MTA), Abdullah Marzuki (pendiri Pesantren Assalam dan Yayasan

Tiga Serangkai), serta Mudzakkir47. Mereka juga belajar kepada Kyai Ghazali pada

saat masih hidup. Yang unik adalah masing-masing dari mereka memiliki cara

pandang tersendiri dalam mencapai cita-cita yang sama, yaitu penegakkan syariah

Islam. Perbedaan ini diwujudkan dengan mendirikan kelompok maupun jamaah

dengan strategi dan metode perjuangan yang berbedabeda.

Pada satu sisi, Uts. Mudzakkir seide dengan gagasan perjuangan Abdullah

Sungkar dan Abu Bakar Ba`asyir. Pada sisi lain, Mudzakkir tidak sepenuhnya setuju

dengan strategi dan metode perjuangan yang dipilih Sungkar dan Ba`asyir 48 .

Perbedaan strategi dan metode perjuangan inilah yang membuat gerakan jamaah-

jamaah terfragmentasi. Masing-masing pihak masih mengedepankan ego kebenaran

47
Wawancara dengan Chusniatun, 20 Desember 2005 di Lemlit UMS
48
Wawancara dengan Abu Fauzan, 21 Oktober 2005 di Pasar Kliwon

66
kelompok sehingga sulit mengorganisir kelompok-kelompok tersebut dalam satu
49
gerakan bersama . Namun kasus Ba`asyir yang diambil paksa dari PKU

Muhammadiyah Solo kemudian diikuti dengan tuduhan terorisme telah menyatukan

berbagai kelompok yang ada. Mereka bersatu untuk membela Islam yang

didholimi50. Dan Uts. Mudzakkir telah menunjukkan hal tersebut.

Tentu ceritanya akan menjadi lain jika Mudzakkir menekuni profesi di dunia

farmasi sebagaimana latabelakang pendidikan formal terakhirnya. Ia lahir di

Surakarta dan dibesarkan di lingkungan santri. Menjalani pendidikan dasar sampai

menengah di sekolah pemerintah. Melanjutkan ke Sekolah Asisten Apoteker

(SAA)51. Kemudian mengambil pendidikan farmasi di Universitas Gajah Mada52.

Belum sempat selesai studinya, dia merantau ke Jawa Timur untuk mendalami ilmu-

ilmu agama di daerah Kediri 53. Diantaranya ia mendalami ilmu dari Kyai Abdul

Kohar dan Abdul Manan Al Hamidi (Mudzakkir, 1999). Setelah cukup lama

merantau di Jawa Timur, Mudzakkir kembali ke Surakarta dan langsung merintis

pengajian di Mesjid Al Abror, peninggalan wakaf Kyai Siddiq.

Ust. Mudzakkir terjun sepenuhnya ke dalam gerakan jamaah. Dari sinilah

karir dakwahnya diretas. Kehadirannya dalam panggung gerakan keagamaan

Surakarta dianggap membawa angin baru karena menawarkan sesuatu yang beda

yang selama itu luput dari perhatiannya kelompok-kelompok keagamaan yang ada.

49
Beberapa anak muda dari Pasar Kliwon pernah memfasilitasi acara Maulid bersama dengan
mengundang berbagai kelompok dan ormas namun tidak mendapat respon.
50
Wawancara dengan Abu Fauzan, 21 Oktober 2005 di Pasar Kliwon
51
Wawancara dengan Ilham, 13 Pebruari 2006
52
Merujuk pada CV yang ada
53
Wawancara dengan Ilham, 13 Pebruari 2006

67
Hal ini akan dijelaskan pada bagian bab IV. Dalam beberapa hal, Uts.Mudzakir

memiliki kedekatan corak pemikiran dengan Kyai Ghazali.

Menurut Chusniatun, puteri Kyai Ali Darokah, karakteristik pemahaman “Al Islam”

Kyai Ghazali diwarisi oleh Ust. Mudzakkir, terlebih ia mampu

mengorganisasikannya dalam sebuah gerakan jamaah.

Memang cukup sulit menentukan sumber pemikiran yang menginspirasi

konstruksi pemikiran Ust. Mudzakkir. Tetapi setidaknya, jejak genealogisnya dapat

dilacak dari dominannya gagasan “Al Islam” dan cita-cita persatuan umat Islam

(wahdatul ummah) pada Pemikiran Kyai Ghazali dan Ust. Mudzakkir. Salah satunya

tercermin dari keharusan pemakaian kata “Al” dalam “Al Islam” yang pada akhirnya

dijadikan nama yayasan pendidikan di Gumuk. Mereka memaknai “Islam” tanpa

memakai “Al” adalah kategori fasik, bahkan bisa masuk dalam katagori thagut.

Dalam tinjauan bahasa Arab, “Al” dalam “Al Islam” bukan hanya berfungsi sebagai

“ta`rif” (identity) namun sekaligus “furqon” (political identity).

Pemahaman ini sama dengan pernyataan Kyai Ghazali yang tertuang dalam

dokumen Al Islam yang diterbitkan oleh Kyai Bilal (Al Islam, 1994: 2).

Cita-cita utama Jamaah Al Islam Kyai Ghazali yakni mempersatukan umat

Islam (Dokumen Sejarah, tt: 2) dibawah satu kepemimpinan atas dasar ba`it dan taat

(Al Imamah; Al Islam wa Al Muslimun, 1994) justru merupakan nilai inti dari ajaran

JAIG seperti terkandung dalam buku yang susun Ust. Mudzakkir,

Wahdatul Ummah (1999). Metode yang dipakai ketiga buku tersebut adalah sama.

Kedua penyusunnya memilih ayat-ayat al Quran dan hadis-hadis kemudian

68
mengelompokkannya secara tematik tanpa memberi makna sedikit pun. Titik

singgung tersebut berpengaruh terhadap konstruks ideologi Jamaah Al Islam

Gumuk.

Berikut bab IV akan menjelaskan mengenai institusi keagamaan JAIG,

doktrin dan paham keagamaan serta proses kepemimpinan yang berdampak

terhadap konsolidasi gerakan.

69
BAB IV

INSTITUSI KEAGAMAAN DAN DISEMINASI IDEOLOGI

A. Tekstur Ideologi dan “Gosip” Syiah

Dalam setiap gerakan, orientasi ideologi sangat dipengaruhi oleh bangunan

doktrin dan paham yang terus diinternalisasikan. John B. Thompson memaknai

ideologi disini lebih mengacu pada sistem berpikir, kepercayaan, serta praktik-

praktik simbolik yang berhubungan dengan tindakan sosial dan politik (Arifin, 2005:

35). Dimensi ideologi dalam Islam selalu menarik diperbincangkan karena berkaitan

dengan orientasi keagamaan sebuah gerakan.

Polarisasi ideologi dalam gerakan Islam akan menentukan arah dan metode

perjuangannya. Misalnya, Dekmejian menyebut empat kategori ideologi gerakan

Islam, yakni gradualis-adaptasionis seperti kasus Ikhwan al Muslimin; syiah

revolusioner pada kasus Revolusi Islam Iran; sunni revolusioner, dan mesianis

primitif (Arifin, 2005: 49-50). Pada kerangka ini, tidak mudah menyimpulkan

kategori ideologi JAIG karena mereka tidak pernah

mendeklarasikan diri.

Pada konteks ini, model ideologi Jamaah Al Islam Gumuk (JAIG) sangat

terkait dengan cita-cita sosial maupun politik Islam-nya dalam konteks negara yang

sudah terbangun. Terlebih pada era reformasi ini muncul kecenderungan di kalangan

Islam politik untuk lebih menekankan pada aspek perjuangan syariah

Islam tanpa harus merubah dasar negara (Fananie dkk, 2002; Jamhari dan Jahroni,

70
2004). Gelombang aspirasi menginstitusikan nilai-nilai syariah dalam bentuk Perda
Syariah di berbagai daerah merupakan indikasi kuat proyek islamisasi melalui
legislasi di daerah-daerah. Nampaknya kelompok-kelompok Islam politik belajar
banyak dari kegagalan proyek negara Islam yang selama ini mereka

perjuangkan.

Memperjuangkan negara Islam di Indonesia belum menjadi prioritas utama

(dharuri) karena yang terpenting sekarang adalah menegakkan syariah Islam.

Kalangan JAIG tidak terlalu suka menggunakan istilah negara Islam karena

dipandang riskan54. Inilah salah satu perbedaan pandangan antara Ust. Mudzakkir

dengan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba`asyir. Namun pada sisi lain, Ust.

Mudzakkir mengharamkan Pancasila sebagai ideologi negara (Mudzakkir, 1999)

sejalan dengan sikap Abdullah Sungkar dan Ba`asyir yang menolak asas tunggal

(Nursalim, 2001).

Dalam pandangan JAIG, al Quran merupakan sumber ajaran tertinggi yang

harus dijadikan acuan dan pedoman dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat,

dan bernegara. Secara hirarkis, al Quran merupakan sumber pengetahuan

keagamaan murni kategori primer. Sunnah berada di bawah al Quran karena

berkategori sekunder. Adapun status kitab-kitab hadis (kutub as sittah) yang disusun

oleh Imam Bukhari dkk dianggap sebagai sumber keagamaan yang tidak murni.

Pandangan ini begitu kuat tertanam dalam teologi gerakan FPIS (Arief, 2001: 35-

36). Hal ini dapat dipahami karena pengajian Gumuk merupakan pusat pembinaan

ideologi anggota-anggota FPIS.

54
Wawancara dengan Abu Fauzan, 13 Oktober 2005 di Pasar Kliwon

71
JAIG tidak mengenal mazhab kecuali mazhab kaum salaf, yakni Nabi,

sahabat serta 2 generasi pengikutnya. Tidak ada metode memahami Islam secara

otentik kecuali metode kaum salaf. Mereka mereplikasi model salaf bukan hanya

pada ranah kognitif namun sekaligus pada tingkat eskpresi budaya, seperti

penampilan dan pakaian. Yang menarik untuk dicatat adalah pengakuan Abu

Fauzan bahwa banyak kelompok salaf di Surakarta yang tidak suka dengan JAIG.

Saya kesulitan untuk mengungkap alasan secara khusus kenapa JAIG tidak

diterima di kalangan salaf.

Kemungkinan besar salah satu penyebab yang bisa ditelusuri adalah isu yang

berkembang bahwa JAIG penganut Syiah55. Ust. Abdul Manaf (mubaligh senior),

Kalono (salah seorang pendiri FPIS dan pimpinan FKAM), dan kalangan Salafisme

(Al Madinah, institusi pendidikan dibawah supervisi FKAWJ) merupakan contoh

pihak yang menilai JAIG sebagai Syiah.

Bagi sebuah gerakan jamaah-sunni, tuduhan bukan kelompok salaf dan justru

dituding sebagai penganut Syiah merupakan masalah besar karena Syiah –

khususnya di Indonesia - masih diposisikan sebagai anatema yang tidak bisa

ditoleransi (Hooker, 2003: 103). Hal ini dapat dipahami dari kerasnya sikap

kalangan salaf terhadap kelompok Syiah. Mereka menuduh Syiah sebagai kelompok

yang telah keluar dari prinsip-prinsip dasar aqidah Islam sebagaimana konsensus Ahl

55
Disamping informasi dari Abu Fauzan, isu ini juga dikonfirmasi oleh Ust. Warsito Adnan dan
Dra. Chusniatun

72
Sunnah wal Jamaah. Jika ditelusuri lebih jauh, opini tersebut dimungkinkan dapat

berkembang karena disebabkan 2 faktor.

Pertama, kedekatan Uts. Mudzakkir dengan seorang tokoh Syiah, yakni

Habib Husein Al Habsy, pimpinan sebuah pesantren Syiah (YAPI) di daerah Kenep,

Bangil, Pasuruan56. Ust. Mudzakkir pernah membantu Habib Husein untuk beberapa

lama sekitar tahun 1980-an. Masalah ini sempat memicu ketidakcocokan antara

JAIG dengan beberapa kelompok Islam, di antaranya Pesantren Al

Mukmin Ngruki. Untuk mengantisipasi kondisi yang tidak menguntungkan, Habib

Husein turun tangan untuk memediasi kedua belah pihak, utamanya Ust. Mudzakkir

di satu pihak dan Ust. Abdullah Sungkar dan Ust. Abu Bakar Ba`asyir di pihak lain
57
. Tampaknya proses islah (rekonsiliasi) ini tidak langsung tersosialisasi ke

kalangan lebih luas sehingga masih ada kecurigaan terhadap eksistensi JAIG.

Kedua, ditenggarai Ust. Mudzakkir maupun JAIG memiliki hubungan

tersendiri dengan negara Islam Iran pasca revolusi 1979. Menurut Ust. Warsito

Adnan, pimpinan FPIS, Ust. Mudzakkir sering berkeliling ke negara-negara Islam

pada saat Orde Baru berkuasa. Hal seperti ini biasa dilakukan juga oleh orangorang

yang melawan kebijakan politik Orde Baru (Abas, 2005). Disamping mengunjungi

negara-negara Timur Tengah, Ust. Mudzakkir pernah singgah di Iran bahkan sempat

mendalami pengetahuan di daerah Qum, sebuah pusat intelektual Syiah terkemuka

di Iran. Sumber yang lain58 menyebutkan bahwa JAIG sempat terlibat dalam apa

56
Wawancara dengan Abu Fauzan, 13 Oktober 2005 di Pasar Kliwon
57
Wawancara dengan Abu Fauzan, 13 Oktober 2005 di Pasar Kliwon
58
Wawancara dengan Dra. Chusniatun, M.Ag

73
yang disebut Oliveir Roy sebagai internasionalisasi jaringan islamo-nasionalisme

(2005: 112) yang dikobarkan oleh revolusi Islam

Iran.

Di samping kedua faktor tersebut, kajian saya terhadap kitab “Wahdatul

Ummah” menemukan indikasi adanya keberpihakan JAIG dalam permasalahan

kepemimpinan (imamah) umat Islam. Dalam bab “khilafah, imamah, dan imarah”

(pemerintahan), sang penyusun, Ust. Mudzakkir, mengambil dalil-dalil yang

mendukung pendapat bahwa kepemimpinan ideal adalah berasal dari golongan

Quraisy Arab (1999: 45-55). Di bagian penutup kitab, sang penyusun mengatakan

bahwa manusia akan terbagi dalam 4 kelompok, pertama adalah kelompok yang

mengetahui bahwa pemimpin yang agung berasal dari keturunan golongan Quraisy

dan 3 kelompok sisanya tidak mengetahui urgensi imam dan jamaah serta kelompok

yang mengabaikan permasalahan tersebut (1999: 103).

Posisi istimewa golongan Quraisy dalam “Wahdatul Ummah” ini selaras

dengan pendapat para yuris dan ahli hadis pada masa-masa awal perkembangan

Islam pasca Nabi Muhammad SAW. Tokoh teologi al Baqillani pun yang menganut

mazhab al Asy`ari berpendapat bahwa seorang imam harus keturunan Quraisy.

Padahal menurut para sarjana Muslim modern, semua hadis politik, baik dari

golongan Sunni maupun Syiah, merupakan rekayasa pasca Nabi (Maarif,

2006: 23).

Namun kalangan JAIG sendiri ketika dikonfirmasi mengenai penyebab

munculnya opini tersebut tidak terlalu menganggap serius. Dalam pandangan

74
Warsito Adnan, hal itu bisa terjadi karena kebingungan pihak luar untuk

mengidentifikasi identitas serta ideologi JAIG yang tidak pernah memberi nama

formal terhadap gerakannya. Menurutnya, formalisasi59 gerakan – utamanya pada

masa Orde Baru - akan selalu menjebak pada proses domestifikasi cita-cita

perjuangan dan ideologi gerakan. Hal lain yang dapat menguatkan adalah hidupnya

tradisi “hijrah nama” di kalangan anggota Islam haraki7 seperti JAIG.

Setiap anggota yang sudah melakukan bai`at (sumpah setia) dianjurkan

mengganti nama asalnya dengan nama lain untuk menyamarkan, melindungi,

maupun menghapus identitas asal. Hijrah nama merupakan salah satu siasat dalam

gerakan-gerakan Islam haraki. Pada saat Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba`asyir

melarikan diri ke Malaysia, mereka menggunakan nama Abdul Halim dan Abdus

Somad (Nasir, 2005: 27). Belajar dari kasus-kasus penyusupan negara (intelejen)

terhadap gerakan-gerakan usrah, halaqah, serta Islam radikal, JAIG melakukan

proteksi terhadap sistem rekruitmen dan kaderisasi, utamanya pengajian. Menurut

Irwan Abdullah, pengajian dan pendidikan merupakan dua institusi yang sangat

berperan dalam proses pembaharuan dan internalisasi nilai-

nilai keagamaan (1994: 93-94).

B. Pengajian, Mesjid, dan Madrasah

59
Formalisasi yang dimaksud adalah proses registrasi yang harus dijalani pada saat sebuah
7
perkumpulan ingin mendapat pengakuan formal sebagai badan hukum dari negara.
Istilah Islam haraki merujuk pada gerakan-gerakan Islam politik yang membangun basis
gerakannya melalui kelompok-kelompok jamaah yang tersebar di majelis-majelis taklim 8
Rabu, 26 Okober 2005

75
Berbekal rekomendasi Abu Fauzan, anggota pengajian khusus JAIG sejak

tahun 1984, saya bergegas berangkat ke Mesjid Al Abror yang terletak di Gumuk,

Mangkubumen Wetan8. Jam baru menunjukkan pukul 04.30 WIB tapi sepeda

motor yang saya kendarai melaju kencang menembus Jalan Slamet Riyadi yang

masih dibalut kabut pagi. Mungkin tanpa modal survey sebelumnya, saya akan

kesulitan menemukan lokasi Mesjid Al Abror yang sekilas dari tidak tampak seperti

bangunan mesjid sebagaimana lazimnya.

Setelah memasuki salah satu gang di Kelurahan Mangkubumen Wetan, tepat

di belakang Penerbitan Tiga Serangkai, terlihat kerumunan orang berpakaian baju

gamis dan koko, bercelana panjang di atas mata kaki, serta bertutup kepala seperti

yang dipakai pejuang Thaliban. Di antara mereka terlihat beberapa orang memakai

seragam para militer seperti yang biasa dikenakan anggota-anggota laskar Islam.

Inilah kali pertama saya menginjakkan kaki di komunitas pengajian yang selama ini

dikenal tertutup.

Sambil berusaha menghilangkan kesan kikuk, saya memarkirkan sepeda

motor di samping mesjid, tidak jauh dari toko buku Gumuk yang satu bangunan

dengan mesjid. Belakangan diketahui itu merupakan tempat parkir khusus untuk

sepeda akhwat (sebutan untuk kaum perempuan). Semakin banyak terlihat

kerumunan orang di tiap penjuru bangunan mesjid yang berada di tengah himpitan

pemukiman penduduk. Jarum jam menunjukkan angka 5, jalan gang depan mesjid

semakin padat dipenuhi peserta pengajian yang terus mengalir berdatangan. Ratarata

memiliki kesamaan penampilan, mungkin kecuali saya yang memakai batik, celana

panjang dibawah mata kaki, serta berpeci hitam.

76
Ruang shalat sekaligus tempat pengajian berada di lantai 2. adapun lantai 1

dipakai untuk ruang jamaah akhwat, sekretariat Madrasah Ibtidaiyah Al Islam, dan

tempat wudhu. Kebetulan pengajian baru akan dimulai pada saat saya sudah berada

di ruangan. Awalnya, belum terlalu banyak peserta pengajian yang hadir namun 15

menit kemudian ruangan berukuran sekitar 15 X 7 meter itu telah dipadati jamaah

dari berbagai usia. Peserta pengajian bisa mencapai 500 orang. Pagi itu, Ust. Hadi

memulai pengajiannya dengan membacakan Surat Al Hasr secara murattal 60 . Ayat

demi ayat dibaca secara jelas. Kemudian bacaan dilanjutkan oleh peserta pengajian,

baik secara spontan maupun ditunjuk langsung oleh Ust. Hadi. Semua peserta

pengajian menyimak bacaan dan tidak jarang Ust.

Hadi mengoreksi bacaan peserta jamaah yang belum benar.

Setelah dirasa cukup, Ust. Hadi menerjemahkan ayat-ayat tersebut.

Dibacakan satu ayat, kemudian kalimah demi kalimah diterjemahkannya secara

ringkas dengan sesekali memberikan penjelasan yang dikaitkan dengan konteks dan

isu-isu yang berkembang. Pada saat itu, ayat yang sedang dirujuk membicarakan

tentang prilaku orang-orang Yahudi pada masa Nabi Muhammad. Menurut

penceramah, dengan berkaca pada kasus pengkhianatan kaum Yahudi terhadap

kaum Muslim di Madinah, adalah watak dan karakter kaum Yahudi tidak bisa

dipercaya dan tidak pernah suka dengan Islam.

Menurut Syarbini61, yang pernah mengikuti pengajian JAIG di waktu SMA,

tema permusuhan Yahudi terhadap Islam merupakan salah satu materi yang selalu

60
Membaca al quran secara datar, tanpa menggunakan nada-nada tertentu.
61
Wawancara 2 Januari 2006

77
ditekankan dalam penanaman doktrin dan ajaran. Misalnya ini dapat tercermin dari

ungkapan Uts. Mudzakkir ketika mengomentari Nurcholish Majid, “…dipek mantu,

itukan Nurcholish. Anake wedok dipekno mantu dinikahne carane ya cara

yahudi”62.

Penceramah mengambil contoh isu terorisme yang pada waktu itu mencuat

sebagai bentuk rekayasa pihak-pihak yang tidak menyukai Islam. Dalam kesempatan

lain, Ust. Mudzakkir menyampaikan bahwa,

“…ada seorang kawan bertanya kepada saya, “Ustadz, JI emangnya ada?


Percaya JI itu ada?” Opo iku JI? “Jamaah Islamiyah”. Jamaah Islamiyah
tidak ada, itu Cuma karangan…yang bikin siapa? Polisi yang bikin…jadi JI
itu ada. Ya itu polisi, ya polisi itu ngomong begitu kok. …Yang pertama kali
mengatakan bahwa Abu Bakar Ba’asyir itu tokoh spiritual dari JI, itukan
Mangun Pastika, yang sekarang jadi Polda Bali63”.

Pengajian setiap pagi merupakan aktivitas rutin yang tidak mengenal libur

kecuali pada hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha64. Sebagai penggantinya, anggota

jamaah melakukan shalat `id bersama di Mesjid Al Abror meskipun tempat tinggal

mereka cukup jauh dari Kampung Gumuk. Misalnya, Abu Fauzan bersama

keluarganya biasa melakukan shalat `id di Gumuk, Mangkubumen Wetan,

meskipun ia tinggal di Pasar Kliwon.

Pengajian pagi berakhir sekitar pukul 06.30 WIB. Sebagian besar peserta

pengajian keluar mesjid dengan teratur. Di luar mesjid, peserta pengajian bercakap-

cakap. Peserta pengajian perempuan keluar dari pintu samping mesjid. Suasananya

terasa hangat. Saat matahari terang mencandra pemukiman penduduk Gumuk,

62
Ceramah 4 Oktober 2003
63
Transkrip ceramah keagamaan PSB-PS UMS (Jamaah Gumuk), 4 Oktober 2003
64
Wawancara dengan Abu Fauzan dan Ust. Warsito Adnan

78
jalanan dan pojok gang mesjid mulai lengang. Namun di lantai dua mesjid masih

terdengar suara-suara anak remaja mengaji. Tampaknya mereka sudah bersiap

mengikuti pengajian pada pukul 07.00 WIB. Pengajian ini bersifat terbatas, artinya

hanya boleh diikuti oleh jamaah pengajian khusus yang telah lulus seleksi. Tidak

semua orang dapat mengikuti pengajian khusus ini meskipun yang bersangkutan

sudah mengikuti pengajian selepas shalat shubuh.

Paparan di atas menggambarkan tiga proses yang berjalan secara simultan,

yaitu doktrinisasi/internalisasi ajaran, kaderisasi, serta konsolidasi gerakan jamaah.

Ketiga proses ini dimediasi oleh forum pengajian/majelis taklim, baik pengajian

yang bersifat terbuka/umum dan tertutup/khusus. Pengajian umum dilaksanakan

setiap hari selepas shalat shubuh dan asyar. Mayoritas jamaah pengajian berasal dari

daerah Surakarta. Pada dasarnya, siapapun dapat mengikuti pengajian ini namun

dalam kenyataannya yang datang rata-rata adalah anggota dan simpatisan JAIG dari

berbagai majelis taklim yang tersebar di Surakarta dan sekitarnya.

Adapaun peserta pengajian khusus adalah jamaah yang sudah dinyatakan

lulus screening tauhid dan ideologi gerakan.serta orang tertentu yang diberi ijin.

Dengan begitu, sifat kejamaahnya bersifat khusus dan tertutup. Sistem rekrutmen

anggota pengajian khusus sangat ketat dan selektif. Setiap “calon anggota” jamaah

khusus harus terlebih dahulu mengikuti pengajian umum yang bersifat rutin sebelum

diputuskan mengikuti screening. Sebenarnya mekanisme ini

bersifat fleksibel bahkan bisa dikatakan seleksi alam.

Dalam banyak kasus, peserta pengajian umum membutuhkan waktu cukup

lama untuk bisa diperbolehkan mengikuti pengajian khusus. Bahkan ada seorang

79
dosen yang telah mengikuti pengajian umum selama satu tahun tetapi tidak bisa lulus

screening pengajian khusus. Padahal secara umum materi screening mencakup

permasalahan aqidah, syariat, dan kemampuan baca-tulis al Quran65.

Namun pada kasus tertentu, rekomendasi dari seseorang yang dinilai memiliki

kedekatan dengan pimpinan JAIG adalah pengecualian.

Abu Fauzan diterima menjadi jamaah pengajian khusus karena sang paman

sangat dekat dengan Ust. Mudzakkir, kebetulan masih ada garis saudara dengan

Abdullah Sungkar. Ketatnya rekruitmen dalam JAIG merupakan upaya untuk

memproteksi gerakan jamaahnya dari infiltrasi pihak Orde Baru yang selalu

menyusupkan intelejen ke dalam kelompok-kelompok anti pemerintah. Kasus

Abdullah Sungkar yang sempat kecolongan disusupi aparat intelejen (Nursalim,

2001: 61) menjadi pelajaran penting Ust, Muzdakkir dalam membangun sistem

JAIG.

Menurut penuturan Abu Fauzan, perbedaan pengajian umum dengan

pengajian khusus terletak pada muatan materi, “sisipan”, dan tekanannya yang

berbeda. Materi pokok pengajian adalah al Quran dan Sunnah yang terdapat dalam

“Kitab Enam”. Sistem pengajian menggunakan pendekatan klasikal, tidak tematik,

namun penjelasannya selalu dikaitkan dengan kondisi aktual umat Islam. Nilai inti

pengajian adalah penguatan aqidah dan hukum Islam. Pandangan dasar JAIG ialah

65
Wawancara dengan Abu Fauzan, 16 Oktober 2005 di Pasar Kliwon

80
Islam hanya sebatas agama ritual – shalat dan puasa - tapi juga mencakup gerakan

ilmu, gerakan dakwah amar dan ma`ruf nahi munkar, dan gerakan amal sholeh.

Muatan dan penyampaian materi dalam pengajian khusus lebih bersifat

terbuka, frontal, dan kritis karena kondisi keanggotaannya sudah steril. Pengajian

khusus pun terdiri dari beberapa lingkaran (rink) yang mencerminkan tingkat status

keanggotaan jamaah. Tampaknya, semakin terbatas lingkaran pengajian khusus,

maka penceramah semakin bebas, lugas, serta tegas menyampaikan inti dari doktrin

dan ajarannya terkait dengan permasalah keumatan yang ada. Memasuki setiap

lingkaran khusus, setiap jamaah harus melakukan bai`at. Pada salah satu lingkaran

pengajian khusus diberlakukan larangan merokok bahkan termasuk larangan

berbohong 66 . Secara sosiologis, ber-Islam adalah proses perebutan makna bahkan

dibentuk oleh karakteristik struktur sosial yang melingkupinya (Abdullah, 1994:

161; Esack, 2000).

Institusi lain yang juga memainkan peran penting dalam proses diseminasi

nilai-nilai keislaman JAIG adalah mesjid dan institusi pendidikan. Bagi kalangan

JAIG, konsep mesjid maupun langgar dipahami dalam konteks fisik berupa

bangunan yang secara khusus diperuntukan untuk mesjid. Tindakan mengabaikan

kepentingan membangun mesjid maupun mushala di sebuah daerah merupakan

bentuk dari upaya penumpukan harta16.

Mesjid tidak hanya berfungsi sebagai wadah kesalehan dari praktik-praktik

keagamaan seperti shalat tetapi juga locus persemaian perjuangan keumatan. Dalam

66 16
Wawancara dengan Abu Fauzan, 16 Oktober 2005 di Pasar Kliwon Wawanacara
Abu Fauzan

81
makna ini, mesjid merupakan simbol ideologis menolak paham sekularisme yang

memisahkan agama dan negara. Membangun militansi berislam bagi kalangan

jamaah dimulai dari mesjid. Menurut Abu Fauzan, militansi merupakan produk dari

keinginan menegakkan Islam secara murni dan total

(kaffah) yang disampaikan oleh orang-orang yang memiliki otoritas serta kharisma.

Dari sinilah, doktrin dan ajaran ditanamkan melalui sistem majelis taklim yang

dikonstruksi sesuai visi, misi, dan ideologi.

Di beberapa tempat, masyarakat desa biasa menggunakan “langgar” sebelum

mereka mampu membangun mesjid sebagai pusat aktivitas keagamaan

masyarakatnya, kecuali shalat Jum`at (Dirdjosanjoto, 1999: 118). Langgar berfungsi

sebagai intitusi pengembangan keagamaan warga desa sekaligus instrumen kultural

untuk kepentingan integrasi dan komunalisme warga (Maliki,

1999: 111). Menurut Pradjarta,

“….usaha-usaha untuk mendirikan langgar sebagai perwujudan


“umat Islam lokal” berjalan bersamaan dengan usaha pemerintah
untuk menanamkan pandangannya tentang kehidupan keagamaan
dan pembangunan bangsa” (1999: 120).

Langgar - atau dalam istilah lain mushala - yang dirintis Kyai Shiddiq

merupakan cikal bakal Mesjid Al Abror saat ini. Dalam kasus JAIG, transformasi

gerakan keagamaan lokal ditandai oleh perubahan status langgar menjadi mesjid

yang memiliki wewenang untuk mengadakan shalat Jum`at. Pada level ini, mesjid

mempunyai kemampuan menjadi tempat untuk memobilisasi aksi bersama

(Wiktorowicz, 2001: 52). Menurut pengamatan Quintan Wiktorowicz,

82
“Many instances of open defiance and protest originate at mosque
following the Friday sermon. Not only are large numbers of
prospective demonstrators already gathered but also the khutba can
be used to inspire and motivate individuals and groups to participate”
(2001: 52)

Mesjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat transmisi pengetahuan

keagamaan dan penanaman nilai-nilai kesalehan namun menjadi basis transformasi

kesadaran politik agensi yang melahirkan gerakan-gerakan perlawanan (Mahmood,

2005: 44) dan pembentuk kesadaran politik (Maliki, 1999:

112).

Adapun madrasah yang dibangun JAIG merupakan upaya melembagakan

sistem kaderisasi dengan tetap mengacu pada kurikulum yang dibuat JAIG. Berbeda

dengan sistem pengajaran di langgar/mesjid serta pesanteren, pelajaran di madrasah

dilakukan dengan sistem-sistem kelas yang progresif (Dirdjosanjoto, 1999: 165).

Lembaga pendidikan yang dikelola JAIG tidak menganut sistem pendidikan

nasional seperti telah ditetapkan pemerintah. Keengganan insitusi pendidikan JAIG

menggunakan kurikulum nasional terkait dengan pandangan dan sikapnya terhadap

pemerintah, utamanya Orde Baru pada saat itu.

Madrasah merupakan sekolah alternatif terhadap sekolah umum yang dinilai

terlalu sekular. Pendidikan di sekolah umum dalam pandangan pengkritiknya lebih

berorientasi pada kehidupan duniawi sehingga mengabaikan dimensi kerohanian

peserta didik (Dirdjosanjoto, 1999: 170). Sehingga kurikulum Madrasah Ibtidaiyah

Al Islam Gumuk berbeda dengan kurikulum yang dipakai di beberapa sekolah Islam

83
di Surakarta67. Di samping madrasah, JAIG juga memiliki lembaga pendidikan non

formal yakni Pesantren Al Islam dan Pendidikan Menengah Agama (PMA) untuk

remaja.

Pasca Orde Baru, beberapa jamaah (anggota) JAIG yang dipimpin Warsito

Adnan terlibat dalam perintisan sekolah dasar Islam terpadu dengan menggandeng

pihak Sekolah Dasar Sunniyah yang saat itu mengalami krisis. Dalam perjalanannya,

pihak yayasan SD Suniyyah melakukan perubahan terhadap pengelolaan sekolah

yang dinilai pihak JAIG perubahan itu sangat prinsip. Atas dasar ini, Warsito Adnan

keluar dari SD Sunniyah kemudian mendirikan SD Islam Al Fattah tahun 2002 di

daerah Manahan Surakarta.

Yang menarik adalah semua murid SD Sunniyah sertamerta ikut keluar dan

sekaligus masuk menjadi murid SD Islam Al Fattah seperti modus “bedol desa”.

Kasus ini bisa terjadi karena Warsito Adnan menggunakan jalur komando

Jamaah Al Islam Gumuk untuk memobilisasi murid-murid SD Sunniyah masuk

SD Islam Al Fattah. Hal ini dapat dipahami karena sebagian besar wali murid SD

Sunniyah adalah jamaah pengajian Al Islam Gumuk68.

Sebagaimana telah dikemukakan dalam bab III, paham keagamaan JAIG

yang diusung Ust. Mudzakkir menawarkan sesuatu yang khas pada dekade 1970an,

khususnya apabila dikontekskan dengan paham organisasi mainstream seperti NU

(Haidar, 1994), Muhammadiyah (Djamil, 1995), serta Persatuan Islam (Federspiel,

67
Wawancara Muhammad Ali
68
Wawancara dengan Ust. Warsito Adnan M.Ag, 13 Pebruari 2006 di SD lslam al Fattah Surakarta

84
1996). Karakteristik JAIG dapat tercermin dari prinsip-prinsip dasar paham

keberagamaannya.

C. Konstruksi Doktrin dan Paham Keagamaan

Agama adalah esensi identitas seorang Muslim. Komitmen keberagamaan

merupakan bukti sekaligus ekspresi dari sebuah identitas (Hassan, 2003: 39).

Identitas keberagamaan sendiri dibangun dengan melibatkan intervensi

pengetahuan, budaya, politik, dan ekonomi seperti dikemukakan David Campbell,

“Identitas, baik individual maupun kolektif, tidaklah diramu oleh alam,


diberikan oleh Tuhan, atau direncanakan dengan prilaku yang disengaja.
Tetapi, identitas itu mengemuka karena keterkaitannya dengan perbedaan.
Tetapi perbedaan juga tidak diramu oleh alam, diberikan oleh Tuhan, atau
direncanakan dengan prilaku yang disengaja. Munculnya perbedaan itu
terkait dengan identitas” (dalam Philpott, 2003: 390).

Interaksi mutual antara identitas dan realitas perbedaan (diffrence)

mencerminkan keberadaan relasi kekuasaan (power) dan pengetahuan (knowledge)

dalam proses mendefinisikan sang diri (me) dan yang lain (the other). Pendefinisian

identitas keagamaan senantiasa berada dalam ruang pertarungan, akomodasi, serta

negosiasi doktrin agama dengan kenyataan-kenyataan, diskursus, dan politik. Secara

sosiologis, tafsir agama memiliki efek untuk menginisiasi sekaligus mendiferensiasi

seseorang dengan satu komunitas.

Komunitas Al Islam Gumuk memaknai Islam tidak hanya sebuah sistem

ritual tetapi juga sebagai gerakan ilmu, gerakan dakwah amar ma`ruf dan nahi

munkar, serta gerakan amal sholeh69. Berangkat dari kredo bahwa Al Islam adalah

69
Wawancara dengan Abu Fauzan

85
jalan kebenaran dan keselamatan, JAIG berpandangan bahwa dakwah merupakan

misi utama sekaligus inti dari ajaran Nabi Muhammad SAW. Dakwah tidak bisa

ditegakkan tanpa adanya totalitas pengorbanan dari setiap pengikutnya yang secara

terminologis disebut jihad. Menurut Abu Fauzan, Islam adalah agama dakwah dan

jihad.

Doktrin ini selalu ditanamkan dan dikondisikan secara struktural dalam

forum pengajian maupun majelis taklim yang dilakukan intensif. Ust. Chalid

Hasan mengatakan:

“kita membina puluhan majelis taklim di beberapa tempat di


Surakarta. Majelis taklim inilah yang kita bina dengan pemahaman
Islam yang benar. Dari majelis-majelis ini kemudian kita banyak
memberikan ajaran tentang bagaiamana seorang Muslim itu harus
menolong sesama saudaranya, berjihad di jalan Allah dan
melaksanakan amar ma`ruf dan nahi munkar” (dikutip dari Isman
dkk, 2002: 17).

Yang dimaksud dengan “pemahaman Islam yang benar” disini merujuk pada

totalitas komitmen keislaman terhadap manhaj (way of life) kaum salaf. Totalitas

tidak hanya mencakup dimensi substansi namun juga harus dibentuk oleh simbol

identitas seperti terlihat dari cara berpenampilan serta praktik shalat. Premis “Islam

yang benar” mendeterminasi konstruks identitas dan ekspresi keberagamaan yang

seharusnya dipraktikkan dalam kehidupan.

Sebenarnya titik tekan ekspresi keberagamaan JAIG merupakan sesuatu

yang dianggap biasa bahkan mungkin “remeh” oleh kalangan mainstream umat

Islam. Aktivitas berkategori sunnah menjadi hal yang mutlak dilakukan, misalnya

celana panjang di atas mata kaki (katok cingkrang), berjanggut, berpakaian gamis,

86
barisan salat (shaf) yang rapat, dan sujud yang lama70. Ust. Hadi Muhammad dalam

satu kesempatan pengajian mengatakan:

“Orang-orang yang mengamalkan agama secara kaffah dikatakan ini


itu, masyaAllah, orang-orang mau memanjangkan janggutnya,
masyaAllah dikatakan wedus, dikatakan kuno, zaman unta,
astaghfirullahaladhim71”

Di lain kesempatan, Ust. Yazid menganjurkan agar jamaah memakai pakaian gamis

seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW.

“…dan selama itu hampir kalau Rasulullah berpakaian serba gamis, kalau
kita mampu mengikuti mari kita cinta kepada pakaian-pakaian gamis dan
hendaknya cinta pada pakaian Rasulullah”72

Kompleksitas replikasi tersebut merupakan bagian integral dari jalan

keimanan (path) mengikuti jejak kaum salaf. Mengekspresikan jalan keimanan

dalam praktik keseharian merupakan dakwah yang mutlak dilakukan karena dakwah

sendiri merupakan kewajiban yang bersifat syar`i (Sahib dalam Wu, 2001: 3). Lebih

jauh, JAIG memaknai dakwah sebagai ikhtiar terus menerus mengajak sesama

Muslim dan non Muslim untuk mengikuti bahkan “masuk” ke dalam lingkaran

jamaah-nya. Menjadi Muslim sejati (kaffah) berarti harus mengikuti Al Islam.

Kesejatian Islam seorang Muslim berkait erat dengan kesiapsediaannya melakukan

jihad karena jihad merupakan pilar agama.

Secara generik, jihad mencakup pengorbanan harta dan jiwa sesuai

kemampuannnya. Jihad berarti “berjuang sekuat tenaga” baik dengan media harta,

70
Wawancara Ilham, 13 Pebruari 2006
71
Transkrip ceramah keagamaan PSB-PS UMS (Jamaah Gumuk), 16 Oktober 2003
72
Transkrip ceramah keagamaan PSB-PS UMS (Jamaah Gumuk), 24 Oktober 2003

87
ilmu dan nyawa (Machmud, 2003). Memang jihad bisa berbentuk mencari ilmu,

menulis, serta perbuatan damai lainnya, namun jihad dalam makna perang (qital)

harus tetap ditegakkan. Menurut paham JAIG, orang yang menolak eksistensi jihad

dalam arti perang termauk dalam golongan fasik/munafik73. Dalam satu kesempatan

pengajian, Ust. Mudzakkir mengkritik pendapat yang meniadakan makna perang

dalam wacana jihad:

“…jadi diperintahkan uqtulu, kalian perangilah. Kadang-kadang ini,


sebagian orang itu karena bodoh menyatakan,…”saudarasaudara
ayat-ayat yang berbicara mengenai jihad di dalam al-
Qur’an ini bukan berarti perang, ada jihad dengan harta, macam-
macamlah ngomongnya. Keperluane ngrembuk mung arep muni
“ora usah perang”. Jihad itu ora usah perang, ora usah mateni, ora
usah apa itu… wong jihad itu pengertiane luas, luas banget”74

Jihad dalam makna perang dilakukan dalam kondisi tertentu dimana

pendekatan dakwah sudah menemui jalan buntu dan atau pada saat yang sama umat

Islam mengalami intimidasi seperti yang di terjadi daerah konflik. Bagi Warsito

Adnan, dampak kekerasan sebagai implikasi jihad diperbolehkan sepanjang sesuai

dengan kehendak syariah. Misalnya, tindakan bom bunuh diri bisa masuk dalam

kategori jihad jika target terlibat dalam usaha-usaha menyerang umat Islam75.

Jihad merupakan klimaks perjuangan yang selalu dinanti setiap anggota

jamaah gerakan-gerakan Islam haraki. Dalam catatan hariannya, Jabir yang

tertembak mati dalam operasi penyergapan teroris di Wonosobo melukiskan jihad

sebagai…

73
Wawancara dengan Abu Fauzan, 16 Oktober 2005
74
4 Oktober 2003
75
Wawancara 2 Pebruari 2006

88
“Perjalanan yang penuh onak dan duri, cabaran dan rintangan,
dibayangi rasa takut, kelaparan dan hilangnya nyawa. Jihad tidak
hanya cukup dengan berdasarkan semangat namun harus
senantiasa diiringi dengan keistiqomahan, kesabaran,, pengharapan,
akan mendapatkan antara dua kebaikan. Jihad begitu indah untuk
dibayangkan, asyik diceritakan, manis untuk dikenang, namun pahit
berat untuk dilaksanakan dan hanya manusia-manusia pilihan yang
mampu untuk mengembannya”.

Dalam praktiknya, jihad dalam makna perang membutuhkan kemampuan

skill yang terlatih serta ketepatan analisis menentukan target. Jihad sangat terkait

dengan konsep Darul Islam (zona aman) dan Darul Harbi (zona konflik/perang).

Dalam pandangan JAIG, penentuan wilayah darul Islam dan darul harbi sangat

dipengaruhi analisis dan peta kekuatan musuh sehingga konsep ini bersifat relatif.

Definisi “wilayah aman” dalam konteks ini tidak selalu berpegang pada standar

umum bahwa wilayah dimaksud bukan daerah yang mengalami konflik. Justru

konflik yang meledak di sebuah daerah bisa disulut, diprovokasi bahkan

dikendalikan dari daerah lain yang disebut zona aman.

Implikasi dari konsep darul Islam dan darul harbi yang bersifat relatif ini

adalah dibolehkannya penerapan jihad dalam makna qital (membunuh dan perang)

di daerah yang dikategorikan aman oleh negara jika dalang intelektual yang

memusuhi umat Islam memang berada di daerah tersebut. Dalam salah satu

ceramahnya, Ust. Mudzakkir menyatakan:

“…kalau engkau mengatakan faqtulul musyrikina, Allah


mengatakan haitsu wajadtumuhum dari arah dan kalian mendapatkan
mereka. Artinya kamu dapati mereka itu, ketemu di lapangan, bunuh
di lapangan! Ketemunya di rumah, ya (bunuh) di rumah, ketemunya

89
di jalan ya (bunuh) di jalan, ketemunya di kali ya jengkangna sisan”
76

Warsito Adnan memberikan satu perumpamaan bahwa “kalau memang akar

masalah konflik/peperangan di Afghanistan (representasi negara-negara Islam) dari

Gedung Putih maka kenapa kita harus berperang di situ, fokus saja ke Gedung

Putih” 77 . Dalam kesempatan yang sama, Ust. Mudzakkir mengomentari adanya

konspirasi asing untuk memojokkan umat Islam,

“…itu kan di sana jelas-jelas nampak skenario asing, dan dibantu


oleh asing, kapal-kapal Australia dan kapal-kapal berbendera
Australia sering datang ke sana, tapi apa yang terjadi dibiarkan
begitu saja. Kenapa? Satu hal yang jelas karena korbannya hanya
orang Islam”28

“…orang-orang Amerika di bawah pimpinan George Gedebus itu


memerangi orang Islam dengan dalih, dengan dalih memerangi
teroris, tapi yang diperangi orang-orang Islam”78

Masalah lain yang merupakan inti dalam JAIG adalah jamaah dan imamah

(kepemimpinan). Kedua konsep ini merupakan tulang punggung JAIG karena tidak

hanya memberikan jalan bagi pembumian syariah Islam namun juga kunci

kebangkitan kembali persatuan dan solidaritas umat Islam. Ideologi Al Islam selalu

berjuang untuk pembaharuan dan persatuan umat Islam (wahdatul ummah).

Hal ini dapat dicermati dari satu ceramah Ust. Abu Abdillah,

“…marilah kita jadikan persaudaraan kita sesama Muslim. Ini jangan


lantas dijadikan ajang permusuhan yang sekarang ini sudah
menjelang musim kampanye. Itu sering dijadikan ajang saling
mencemooh, saling mencela bahkan saling bermusuhan karena

76
4 Oktober 2003
77
Wawancara dengan Warsito Adnan, 2 Pebruari 2006 28 4
Oktober 2003
78
idem

90
golongan yang berbeda, karena partai yang berbeda, karena
organisasi yang berbeda, yang itu sebenarnya merupakan bala dari
Allah SWT79”

Dalam pengantar kitab “Wahdatul Ummah” (1999), Uts. Mudzakkir

menyatakan bahwa permasalahan jamaah dan imamah merupakan permasalahan

keagamaan yang sangat penting karena kedua hal itu adalah masalah prinsipil

(ushuli). Menegakkan imamah dan menggalang persatuan umat Islam melalui

strategi gerakan jamaah merupakan pokok tujuan perjuangan Islam politik.

Dengan doktrin ini, JAIG berusaha menampilkan pandangan berbeda dengan

keyakinan umum masyarakat Muslim mengenai konsep imamah dewasa ini yang

sudah mengalami transformasi ke dalam bentuk negara modern dan mekanisme

demokrasi. Secara khusus, masyarakat Muslim Indonesia telah melakukan

konsensus bahwa permasalahan imamah dianggap selesai dengan pengakuan

terhadap NKRI dan Pancasila dasar negara (Maarif, 2006).

Ada 4 hal pokok untuk menopang terwujudnya persatuan di kalangan umat

Islam, yakni jamaah, kepemimpinan (imamah/khilafah), janji setia (bai`at), dan

loyalitas (thaat) terhadap pemimpin (Mudzakkir, 1999; Ghazali, 1994; Bilal, 1994;

Abas, 2005). Jika pada masa Kyai Ghazali gerakan Al Islam menekankan pada aspek

pembentuk dan kristalisasi ideologi Al Islam maka Jamaah Al Islam Gumuk

menekankan pada aspek penguatan dan konsolidasi cita-cita persatuan umat Islam

seperti tercemin dalam “Wahdatul Ummah” (1999).

79
12 Desember 2003

91
Sebagai sebuah kitab kompilasi ayat-ayat al Quran dan Hadis yang disusun

Ust. Mudzakkir, “Wahdatul Ummah” bisa dianggap merupakan salah satu pegangan

pokok JAIG. Melalui kitab ini, penyusun ingin mengingat umat Islam untuk tidak

terjebak dalam fanatisme kelompok (ashabiya) karena hal ini merupakan akar

penyakit perpecahan di tubuh umat Islam. Cita-cita persatuan umat Islam merupakan

counter terhadap perpecahan bahkan konflik di kalangan umat Islam, baik dalam

bentuk organisasi keagamaan maupun partai politik.

Lebih lanjut, konsep jamaah yang ditawarkan JAIG merupakan antitesa

terhadap kemunculan organisasi keagamaan dan partai politik yang dijadikan media

perjuangan umat Islam selama ini. Secara pribadi Ust. Mudzakkir (1999)

mengharamkan partai politik, termasuk partai Islam, karena dianggap membawa

perpecahan dan memicu fanatisme 80 . Partai Islam bukan alat yang efektif untuk

memperjuangkan aspirasi Islam sehingga anggota JAIG diberi kebebasan dalam

menyalurkan hak pilihnya pada saat pemilihan umum, termasuk untuk tidak memilih

(golput). Dalam pandangan Kyai Ghazali, selain “Al Islam” adalah thagut (pengikut

golongan syetan).

Sikap Ust.Mudzakkir tersebut senada dengan pandangan politik Al

Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir, yang mengatakan:

“…..partai-partai politik yang ada di dunia Islam saat ini, tak terkecuali di
negeri Arab, menjadi partai-partai yang terpecah belah. Sebab, partai
tersebut tidak berlandaskan pada suatu ideology (Islam) (dikutip dari
Arifin, 2005: 101)

80
Wawancara dengan Warsito Adnan, 2 Pebruari 2006

92
Aktivis HT meyakini Islam tidak hanya sebagai agama yang mengurusi masalah

spiritual namun juga mencakup urusan-urusan sosial. Dengan kerangka ini, HT

memegang teguh doktrin Islam adalah agama dan ideologi (Arifin, 2005: 103).

Pandangan JAIG terhadap posisi perempuan mencerminkan relasi kuasa partiakhal

karena perempuan dianggap tidak mempunyai hak bekerja di luar rumah. Hak dan

otoritas perempuan dalam ruang publik didelegasikan kepada laki-laki.

Konsekwensinya, otoritas seorang istri berada di tangan suami81. Dalam keseharian

aktivitas keagamaan, khususnya pengajian rutin, kaum perempuan mengikuti

pengajian secara terpisah di bawah lantai 2 yang dipakai kaum laki-laki.

Eksklusivitas paham JAIG tercermin dari kasus saudara perempuan Ust.

Mudzakkir. Menurut Chusniatun, dia terpaksa harus bercerai karena paham

keagamaan suaminya tidak sejalan dengan JAIG. Kasus ini menegaskan bahwa hak

otonomi individu dan kebebasan menentukan pilihan masih menjadi sesuatu yang

tidak tersentuh oleh perempuan. Untuk mendobrak tembok subordinasi tersebut,

Gyatri Spivak mengusulkan adanya proses intervensi politik memberi “suara”

(giving voice) kepada mereka (kaum perempuan) yang “tidak bisa berbicara” atas

nama subjeknya (Mahmood, 2005: 159).

Dalam konteks relasi sosial bertetangga, seorang Muslim memiliki 2 hak

yang harus dihormati oleh setiap anggota JAIG, yaitu haknya sebagai tetangga dan

haknya sebagai saudara seiman 82 . Kesaksian seseorang untuk memeluk Islam

menimbulkan konsekwensi ia berhak mendapat perlindungan sekaligus

81
Wawancara Chusniatun
82
Wawancara Abu Fauzan

93
pengampunan dari umat Islam meskipun ia memusuhi Islam sebelumnya. Ini

tergambar dari ceramah pengajian Ust. Mudzakkir:

“…jadi orang-orang musyrik yang seharusnya di kepung, yang


seharusnya ditangkap, yang seharusnya diperangi, dibunuh itu, lalu
mereka bertaubat, menegakkan shalat, lalu mereka membayarkan
zakat, artinya mereka masuk Islam, fakhlu sabilahum, maka
biarkanlah jalan mereka itu, artinya mereka tidak boleh lagi
dikepung, ditangkap, diperangi, dibunuh….”jadi dulu Sudomo juga
“membunuh” banyak orang dari kalangan Muslimin. Karena dia
belum sampai ditangkap, dihukumi dengan hukum Islam, sudah
masuk Islam gitu ya, tertutup, sudah tidak bias lagi, karena suka atau
tidak suka tidak boleh83”

Adapun kewajiban anggota JAIG terhadap non Muslim adalah

menghormatinya sebagai tetangga. Selama pihak non Muslim bersikap tidak

memusuhi umat Islam maka mereka berhak mendapat perlakuan baik bahkan umat

Islam wajib melindunginya. Ust. Chalid Hasan memberi contoh bagaimana beberapa

keluarga etnis Tionghoa non Muslim di lingkungan Gumuk dapat hidup nyaman,

tanpa merasa tertekan dan terancam35.

Begitu pun pada saat konflik di Ambon meletus 1999, Ust. Mudzakir

menginstruksikan anggota JAIG yang tergabung dalam Front Pembela Islam

Surakarta (FPIS) untuk melindungi beberapa bangunan gereja di Solo, di antaranya

Gereja Jawa yang terletak di Gladak84. Yang juga hampir luput dari sorotan media

adalah tindakan elemen-elemen Islam – yang sebagian besar dikenal radikal -

melindungi aset orang-orang Tionghoa pada kerusuhan Mei

83
Transkrip ceramah keagamaan PSB-PS UMS (Jamaah Gumuk), 4 Oktober 2003 35 Wawancara
26 Oktober 2005
84
Wawancara Abu Fauzan

94
199885.

Strategi JAIG dalam menegakkan syariah Islam di masyarakat adalah lebih

menekankan pada gerakan dakwah terhadap individu, anggota keluarga, komunitas,

dan masyarakat 86 . Mereka percaya bahwa gerakan jamaah lebih efektif sebagai alat

perjuangan dibandingkan dengan jalur politik karena langsung berinteraksi dengan

individu-individu. Metode ini ternyata dikuatkan oleh pengalaman para aktivis Islam

di Kairo pada saat memperluas wilayah dakwahnya. Gerakan reformasi Islam yang

mereka perjuangkan dimulai dari pembaharuan terhadap individu karena penguatan

mental keimanan setiap anggota merupakan pilar sebuah gerakan pembaharuan

(Wickham, 2002: 127).

D. Kepemimpinan dan Jalur Konsolidasi

Pemimpin keagamaan umat Islam, baik yang disebut kyai maupun ustadz,

memainkan peran sentral dalam menentukan pola-pola patronase antara pemimpin

dan pengikutnya. Untuk menjelaskan relasi antar kyai di Kediri, Sidney Jones

mengenalkan terminologi pesantren induk dan pesantren lokal (Wahid dalam

Dirdjosanjoto, 1999: xvi). Ciri pesantren induk adalah memiliki jaringan alumni

pesantren yang telah menyebar di berbagai tempat dalam skala nasional. Jaringan

alumni tersebut berhasil membentuk jejaring pesantren lokal yang menginduk pada

pesantren induk. Pola ini sangat lajim berlaku dalam dunia pesantren.

85
Wawancara Bambang Setiaji, Abu Fauzan dan Mirza
86
Wawancara Abu Fauzan

95
Pola potronase di atas juga berlaku di kalangan stakeholders JAIG seperti

yang diungkapkan Warsito Adnan. Menurutnya 87 ., pengajian rutin setiap pagi

merupakan medium koordinasi dan konsolidasi semua anggota JAIG di berbagai

daerah, khususnya yang berada di wilayah Surakarta. Setiap anggota yang tersebar

tersebut berafiliasi langsung dengan jamaah lokal yang sekaligus menjadi simpul

JAIG di tingkat lokal. Eksistensi simpul-simpul JAIG ditandai dengan kehadiran

seorang pemimpin (amir) lokal. Prosedur pemilihan seorang amir lokal melalui

kesepakat masing-masing anggota jamaah di tingkat lokal setelah lolos seleksi

kualifikasi dalam aspek kredibilitas keilmuan, keshalehan, dan ketaatan.

Simpul-simpul jamaah di tingkat lokal menginduk kepada otoritas amirul

`amm (pemimpin umum) Jamaah Al Islam di Mesjid Al Abror, Gumuk. Amirul amm

JAIG memegang kendali komando semua jejaring simpul jamaah Al Islam lokal di

Pulau Jawa serta beberapa daerah di luar Jawa, seperti Lampung dan Kalimantan.

Sejauh ini, seorang amirul `amm terpilih melalui proses alamiah dengan mengacu

pada faktor otoritas keilmuan dan kharisma. Ust Mudzakkir merupakan amirul `amm

pertama sekaligus pembangun Jamaah Al Islam di Gumuk.

Posisi amirul `amm dalam proses konsolidasi gerakan merupakan pusat

komando yang memiliki otoritas penuh memobilisasi anggota jamaah. Setiap

anggota wajib bersikap loyal dan komit (tha`at) kepada perintah amir sesuai sumpah

setia (bai`at) yang diikrarkannya. Dalam proses kaderisasi gerakan gerakan, tugas-

tugas amir dijalankan berdasarkan sistem delegasi secara representatif di antara

87
wawancara dengan Warsito Adnan, 13 Pebruari 2006 di SD Islam Al Fattah Surakarta

96
tokoh-tokoh teras JAIG, seperti Ust. Chalid Hasan, Ust. Mujahid, Ust. Sahli, dan

Ust. Zaid.

Untuk memobilasi partisipasi semua anggota jamaah dalam jejaring simpul

JAIG, pusat komando mampu menggerakkan semua anggota jamaah bahkan

partisipannya dalam tempo 1 x 24 jam. Jalur komando ini biasa dipergunakan dalam

aksi-aksi demontrasi maupun aksi-aksi keumatan seperti tabligh akbar. Pada

lingkaran ini, Mesjid Al Abror merupakan Pusat sekaligus basis Jamaah Al Islam

dalam mengorganisir aktivitas keagamaannya, termasuk dalam merespon masalah-

masalah sosial keumatan yang aktual88.

JAIG memiliki divisi pengamanan (laskar) yang diberi nama “khawari”.

Nama ini diambil dari kelompok yang menjadi pembela setia Nabi Isa. Semangat

loyalitas tersebut menginspirasi JAIG membentuk laskar khawari untuk menjaga 1

X 24 jam sekaligus sebagai alat dakwah89. Disamping untuk kepentingan internal,

laskar khawari menyuarakan pembelaan terhadap nasib umat Islam dan terlibat

dalam gerakan-gerakan memberantas kemaksiatan di Surakarta, seperti tergabung

dalam Aliansi Umat Islam Surakarta (Fananie dkk, 2002: 36).

Ketidakmampuan pemerintah dan lemahnya sistem hukum dalam menyikapi

kemaksiatan serta kemungkaran yang merajalela telah “memaksa” kelompok-

kelompok pengajian maupun majelis taklim membentuk brigade dan laskar.

88
Nama mesjid Al Abror banyak dilansir di berbagai pemberitaan media cetak dan elektronik, di
antaranya www. pesantren on line.com (8 Oktober 2005), www.indosiar.com (17 Pebruari 2003),
www.detik.com (17 Pebruari 2003), HU KOMPAS (8 Maret 2004), serta HU Suara Merdeka (5
Pebruari 2004)
89
Wawancara Abu Fauzan

97
Menurut sumber Forum Komunikasi Umat Islam Surakarta (FORKUIS, 2000),

tercatat lebih dari 40 laskar yang ada di Surakarta, baik yang memiliki induk afiliasi

seperti KOKAM, Banser, Hizbullah, dan Gerakan Pemuda Ka`bah maupun berdiri

sendiri seperti FPIS, laskar Jundullah dan Bismillah (Isman dkk, 2002: 12).

Mensikapi perkembangan konflik di Ambon pada tahun 1999 dan

merebaknya premanisme yang bertindak sewenang-wenang, para tokoh agama serta

kalangan aktivis Islam – dalam istilah Wickham disebut Islamic activism –

berkumpul dan memutuskan berdirinya Front Pembela Islam Surakarta (FPIS) yang

dideklarasikan pada tanggal 5 Pebruari 1999 (Fananie dkk, 2002: 25; Arief, 2001:

16). Yang patut dicatat adalah beberapa tokoh penting FPIS merupakan tokoh-tokoh

di JAIG, seperti Ust. Mudzakkir dan Ust. Chalid Hasan (Dewan Syura FPIS) serta

Warsito Adnan (Ketua Pelaksana FPIS) (Arief, 2001: 16).

Dengan demikian, bukanlah sebuah kebetulan kalau pusat kaderisasi dan

penggemblengan ideologi laskar FPIS berada di Mesjid Al Abror, disamping

Pondok Al Mukmin Ngruki. Laskar khawari sendiri merupakan salah satu brigade

yang menjadi tulang punggung FPIS (idem, 45). Kehadiran Ust. Mudzakkir, Ust.

Chalid Hasan dan Warsito Adnan dalam struktur organisasi FPIS telah memberi

kesempatan sekaligus kekuatan kepada JAIG, secara ideologis dan organisatoris,

untuk memobilisasi gerakan-gerakan sosial yang sevisi dengan cita-cita ideologi

Islam politik.

98
BAB V
KESALEHAN, MOBILITAS SOSIAL, DAN ANONIMITAS

Bab III dan IV telah menjelaskan relasi dan genealogi kesejarahan, konstruks

ideologi keagamaan Jamaah Al Islam Gumuk serta beberapa institusi keagamaan

pendukungnya. Bab ini akan menganalisis faktor-faktor yang mengkondisikan

mengapa sistem keagamaan tersebut mampu dimobilisasi menjadi sebuah gerakan

protes dan perlawanan secara kolektif terhadap realitasrealitas yang dianggap

menyudutkan umat Islam.

Pertama, konteks struktural yang menjadi ruang dialektik ideologi “Al

Islam”, individu jamaah, serta kompleksitas lingkungannya. Kedua, kelahiran

ideologi “Al Islam” merupakan bentuk kritik sekaligus protes terhadap realitas

sosial-politik. Ketiga, relasi dan interaksi kesalehan, mujahid/kepahlawanan dan

anonimitas gerakan. Keempat, karakteristik kelaskaran dan objektivikasi “musuh”.

Berikut pembahasan keempat faktor tersebut.

A. Dialektika Ideologi, Jamaah, dan Konteks Struktural

Struktur ekologi Surakarta yang bersifat dikotomik telah mengkondisikan

Islam sebagai kekuatan pinggiran sekaligus ideologi tandingan sebagaimana telah

dijelaskan di bab II. Al Islam sebagai ideologi gerakan lahir dari rahim sosiologis

ini. Setelah mengalami transformasi, Jamaah Al Islam yang dibangun Ust.

Mudzakkir dkk dihadapkan pada konfigurasi politik di era Orde Baru. Faktor inilah

yang paling berpengaruh terhadap proses pembentukan ideologi serta karakter

99
gerakan JAIG. Orde Baru memainkan peranan sangat penting karena pemerintah

bertindak hegemonik dan intervensionis dalam pengelolaan sosial, ekonomi, politik,

kebudayaan, dan termasuk urusan agama.

Dominasi negara tersebut disebabkan oleh kemampuan negara

menertibkan sistem politik melalui reformasi pada tingkat elit dengan membentuk

korporasi negara dimana militer, teknokrat, dan birokrat menjadi pilarnya. Langkah

ini diikuti kebijakan depolitisasi arus bawah (massa mengambang), normalisasi

kehidupan kampus, reifikasi lembaga politik melalui penyederhanaan sistem

kepartaian dan penyatuan ideologi politik formal melalui azas tunggal Pancasila

(Thoyibi, 1999: 4). Ekonomi korporasi yang dikembangkan Orde Baru telah menarik

sistem ekonomi masuk pada pusaran pasar bebas yang mendewakan efisiensi dan

keuntungan maksimal tanpa mempertimbangkan distribusi sosial untuk masyarakat

kelas bawah.

Pengorganisasian institusi-institusi sosial politik yang dilakukan negara

secara korporatik tersebut ditempuh melalui mekanisme “negaranisasi” dan

swastanisasi lembaga-lembaga negara. Yang dimaksud “negaranisasi” adalah proses

domestifikasi dan subordinasi negara terhadap organisasi-organisasi

kemasyarakatan (Maliki, 1999: 128). Dengan begitu, pranata-pranata politik

kewargaan, termasuk satuan-satuan sosial seperti keluarga dan komunitas agama

(Kartodirdjo, 1985: 108), disubordinasi negara dalam sistem yang represif.

Konsfigurasi sosial-politik yang bersifat represif tersebut berdampak terhadap

proses pemasungan potensi, apirasi, serta perjuangan umat Islam.

100
Pada dekade 1970-an, perjuangan Islam melalui jalur politik seakan

menabrak cadas karena pemerintah tidak memberi celah kepada partai politik

maupun kelompok sosial keagamaan yang menganut ideologi Islam politik. Negara

berusaha mengkarantina Islam di ranah private sehingga nilai-nilai radikal-

revolusioner yang terkandung dalam ideologi Islam politik dianggap sumber

ancaman atas stabilitas negara. Secara politik, umat Islam dialienasi sehingga

menimbulkan keresahan, frustrasi, dan gejolak yang terpendam.

Menurut Rusli Karim (dalam Nursalaim, 2001: 49-50), ada lima faktor

penyebab peminggiran Islam politik oleh Orde Baru, yaitu: pertama, dominasi

abangan dalam tubuh ABRI. Kaum abangan mengalami trauma dengan

gerakangerakan Islam bersenjata dibawah bendera DI/TII. Mereka mengangap Islam

politik merupakan ancaman terhadap keutuhan NKRI disamping PKI. Kedua,

ketidaksiapan umat Islam bersaing SDM dalam mengisi pos-pos strategis di

pemerintahan. Ketiga, dominasi lingkaran elit Kristen dalam pemerintah, khususnya

kalangan dekat Presiden Soeharto. Keempat, tekanan dari dunia Barat karena mereka

sangat khawatir dengan eksistensi Islam politik di Indonesia. dan Kelima, masih

kentalnya kekeliruan pemahaman mengenai Islam yang selalu diidentikkan dengan

keterbelakangan dan kekerasan.

Meskipun negara bertindak represif dan mengekang segala bentuk kegiatan

dakwah yang mengarah pada mobilisasi massa, aktivis Muslim (Islamic activism)

tidak surut menggerak bahkan terus bergerilya membangun jamaahjamaah untuk

menanamkan perlawanan terhadap rejim. Tidak sedikit aktivis

101
Muslim yang pada mulanya bergabung dengan partai-partai yang menganut Islam
politik seperti Partai Masyumi dan Partai Bulan Bintang mengambil jalur politik
bawah tanah (usrah/halaqah) maupun kultural (pesantren dan madrasah) sebagai
alternatif gerakannya. Misalnya, Abdullah Sungkar sempat aktif di Partai Bulan

Bintang sebelum merintis pengajian rutin ba`da dhuhur di Mesjid Agung

Surakarta dan mendirikan Pondok Al Mukmin Ngruki bersama Abu Bakar Ba`asyir

dkk (Nursalim, 2001).

Gerakan usrah yang dijalankan aktivis-aktivis Islam politik merupakan

gerakan alternatif sekaligus antitesa terhadap partai politik dalam memperjuangkan

syariah Islam sebagaimana konsepsi Jamaah Al Islam Gumuk. Gerakan usrah

merupakan proses kaderisasi mendasar untuk meletakkan sekaligus membentuk tata

sosial berdasarkan Islam. Al Banna, pendiri Ihkwan

Muslimin, disebut-sebut sebagai penggagas gerakan jamaah ini. Menurutnya,

Islam sangat menganjurkan agar para pemeluknya membentuk


kumpulan-kumpulan keluarga dengan tujuan mengarahkan mereka
mencapai tingkat keteladanan, mengokohkan persatuan, dan
mengangkat konsep persaudaraan di antara mereka dari tataran kata-
kata dan teori menuju kerja dan operasional yang kongkrit. Oleh
kerena itu bersungguh-sungguhlah engkau wahai saudarasaudaraku
untuk menjadi batu-batu bata yang baik dalam bangunan
Islam (Halim Mahmud dalam Nursalam, 2001: 57)

Kemunculan Jamaah Al Islam Gumuk merupakan bagian dari geliat Islam

politik yang sudah mengalami transformasi strategi gerakan. Gerakan jamaah adalah

bentuk perlawanan Islam politik terhadap peminggiran yang dilakukan pemerintah

saat itu. Konflik antara negara melalui pengazastunggalan Pancasila dan aktivis-

aktivis Muslim telah menciptakan ruang-ruang semu, samar, dan tersembunyi di

antara dua wilayah, James C. Scott (1990) menyebutnya publict transcript dan

102
hidden transcript. Kesamaran dan ketersembunyian merepresentasikan diskursus

yang diproduksi oleh gerakan jamaah yang

tersubordinasi oleh tirani negara.

Dalam ruang-ruang itu, Ust. Mudzakkir (1999) tidak hanya

mengharamkan Pancasila namun juga ideologi-ideologi di luar Al Islam, termasuk

juga mengharamkan perkumpulan maupun organisasi kelompok dan kepartaian.

Dialektika public transcript dan hidden transcript dimana sebuah diskursus

diproduksi menjelaskan kepada kita bahwa paham keagamaan (di)munculkan dan

atau dipengaruhi oleh faktor, alasan, maupun kepentingan sosial, politik, dan

ekonomi. Contoh lain yang relevan diangkat adalah fatwa Pondok Al Mukmin

Ngruki yang mengharamkan memberi penghormatan pada bendera Merah Putih dan

menyanyikan lagu kebangsaan kepada santri-santrinya90. Gagasan termasuk paham

keagamaan gerakan jamaah tersebut secara substansial merupakan “suara dibawah

tirani” (Scott, 1990: 137).

Eksklusivitas sistem keagamaan serta radikalitas ideologi Jamaah Al Islam

dapat dilacak pada tingkat represivitas dan intervensi negara terhadap pranatapranata
91
politik, khususnya keluarga dan kelompok agama. Orde Baru sangat

berkepentingan untuk mengamankan stabilitas sosial, termasuk diskursus agama92.

90
Awalnya pendapat ini tidak dikenal di lingkungan Pondok Ngruki. Kasus Komando Jihad (Koji)
yang dinilai telah mendiskreditkan Pondok Ngruki membuat mereka melakukan perlawanan
terhadap negara. Pada saat Pangdam Diponegoro berkunjung ke Pondok Ngruki, mereka tidak
menghormat bendera Merah Putih serta menyanyikan lagu Indonesia Raya. Wawancara dengan
Chusniatun.
91
Program Keluarga Berencana (KB) adalah bentuk intervensi vulgar negara terhadap kehidupan
private masyarakat.
92
Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang didirikan tahun 1975 merupakan institusi keagamaan yang
tidak terlepas dari intervensi negara pada waktu itu

103
Aktivis Muslim yang kukuh memperjuangkan ideologi Islam harus berhadapan

dengan pendekatan represif dari apparatus ideologi negara, bahkan tidak sedikit

yang mendekam di penjara (Nursalim, 2001: 60). Gerakan bawah tanah - atau

disebut fase tiarap dalam term NII – menjadi pilihan strategi melalui pengajian,

majelis taklim, dan usrah.

Disadari ataupun tidak, terutama oleh negara, pembinaan individuindividu

umat pada masa ini menjadi modal amunisi gerakan Islam politik dikemudian hari,

pasca kejatuhan Orde Baru. Di fase tiarap ini, radikalisme keagamaan tidak begitu

muncul di ruang publik secara terbuka. Namun menjelang keruntuhan Orde Baru,

peristiwa-peristiwa yang muncul banyak memiliki keterkaitan dengan kekerasan

bernuansa keagamaaan (Fananie, 2002: 2). Ketidakpastian situasi politik dan

lemahnya penegakkan hukum telah mengkondisikan kebangkitan gerakan Islam

politik di era reformasi ini. Transformasi sosial-politik yang disertai gerakan massa

pun mulai merebak namun konfigurasi gerakannya terfragmentasi ke dalam jamaah,

komunitas agama, dan organisasi kelaskaran.

Pengorganisiran umat Islam melalui pengajian-pengajian sebagian besar

diikuti oleh mobilisasi mereka dalam bentuk gerakan kelaskaran sebagai aktulisasi

jihad. Yani Rusmanto, komandan laskar Hizbullah, menuturkan bahwa Islam berada

di pinggir karena Surakarta merupakan basis komunis serta nasionalis sekuler

(abangan) sebagaimana tercermin dalam hasil PEMILU di bab II. Kerangka

sosiologis ini memaksa kelompok Islam politik untuk menampilkan Islam secara

radikal (Fananie, 2002: 32). Konteks sosial-politik itu menyuburkan berbagai laskar

104
di kota Bengawan ini yang bersimbiosis dengan pengajian maupun majelis taklim,

seperti laskar khawari dan FPIS berafiliasi dengan Jamaah Al Islam Gumuk.

Pada tingkat ini, Jamaah Al Islam Gumuk telah meradikalisasi identitas

Islam politik melalui pembentukan Laskar Khawari sekaligus dengan menopang

FPIS. Hal ini sejalan dengan tesis Ali Syariati yang meyakini bahwa gerakangerakan

Islam di Dunia Ketiga harus dimobilisasi sebagai kekuatan pembebas yang

meneguhkan identitas kulturalnya dalam atribusi agama (Buruma dan Margalit,

2004: 110). Faktanya, polarisasi paham dan ideologi gerakan Islam memiliki

korelasi dengan fragmentasi di tingkat gerakan kelaskaran meskipun selalu

memungkinkan terjadinya aliansi antar organisasi kelaskaran, seperti dalam

menyikapi kemaksiatan dan solidaritas umat Islam (Fananie, 2002: Susanti, 2002;

Arief, 2001). Islam, bagi gerakan-gerakan Islam politik radikal ini, selalu menjadi

wilayah terbuka untuk diperebutkan (Esack, 2000: 29).

Memasuki tahun 1998, tepatnya fase transisi dari Orde Baru ke fase

reformasi, terjadi pergeseran struktur politik yang berdampak signifikan terhadap

kebangkitan Islam politik yang pada masa Orde Baru tiarap. Kasus kerusuhan Mei

1998 yang dianggap mendiskreditkan umat Islam dan sweeping tempat-tempat

hiburan malam oleh sekelompok santri dari Pondok Al Mukmin Ngruki yang

kemudian diikuti aksi penyerangan oleh sekelompok massa tidak dikenal terhadap

Pondok Al Mukmin merupakan dua peristiwa yang menggugah kelompokkelompok

105
Islam di Surakarta bersatu 93 . Oleh karena itu, masa reformasi politik merupakan

kebangkitan Islam politik (Turmudi dan Sihbudi, 2005: 120).

Disamping dipicu oleh faktor beban psikologis dibawah tekanan Orde Baru,

kebangkitan Islam politik juga merupakan konsekwensi dari terbukanya iklim

kebebasan (Jamhari dan Jahroni, 2004: 18). Dalam konteks konsfigurasi gerakan

Islam politik di Surakarta, kebangkitan Islam politik memiliki dua substansi, yaitu

penguatan artikulasi Islam politik dalam domain publik dan transformasi strategi

perjuangan. Dalam perspektif politik global, diskursus terorisme yang digulirkan

Amerika pasca 11 September 2001, peristiwa bom Bali pada Oktober 2001, serta

beberapa ledakan di tanah air yang dikaitkan dengan

Jemaah Islamiyah dibawah kepemimpinan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar

Ba`asyir (Batley, 2003: 1-2) telah memicu kohesivitas ideologis sekaligus solidaritas

isu di antara gerakan-gerakan Islam politik, utamanya di Surakarta.

Majalah Suara Front, publikasi resmi FPIS, dalam edisi “Menuju Persatuan

Sejati” melansir bahwa kasus penangkapan paksa Abu Bakar Ba`asyir di Rumah

Sakit PKU Muhammadiyah, 19 Oktober 2002, merupakan titik balik kesadaran

komunitas-komunitas Islam untuk bersatu dan membangun solidaritas meski di

antara mereka terdapat perbedaan pandangan (Edisi 47/V/Oktober, 2005). Sosok

Abu Bakar yang didholimi membuat kelompok-kelompok Islam bertekad melawan.

Mereka mulai bertemu dan duduk bersama membahas masalah-masalah sosial

politik yang terkait dengan umat Islam 94 . Pada situasi ini, Uts. Mudzakir selaku

93
Wawancara Abu Fauzan
94
Wawancara Abu Fauzan

106
Ketua Aliansi Umat Islam Surakarta (KOMPAS, 20/10/2002) memainkan peran

penting dalam menggalang isu persatuan dan solidaritas umat Islam.

B. “Al Islam” adalah Ideologi Protes

“Tegakkan syariat, ganyang aliran sesat, perangi tempat maksiat”


(Suara Front)

Gagasan “Al Islam” sebagaimana telah dipaparkan dalam bab III dan IV

merupakan bentuk respon sekaligus kritik terhadap realitas sosial-politik umat Islam.

Gerakan purifikasi Islam, menggalang persatuan umat Islam serta reformasi

pendidikan yang dilakukan Jamaah Al Islam Kyai Imam Ghazali dan

Jamaah Al Islam Gumuk merupakan proses simultan untuk menegakkan identitas

Islam sejati - yang dalam ungkapan lain juga disebut “untuk menegakkan Kalimah

Allah” (tauhid). Apabila ditelaah secara hermeneutis, kelahiran ideologi “Al Islam”

di Surakarta setidaknya memiliki 2 relasi kesejarahan, yakni diskursus Islam pra

ideologi “Al Islam” dan diskursus Islam yang lahir serta berkembang pasca Jamaah

Al Islam periode Kyai Ghazali.

Kemunculan Sarekat Islam (SI) pada tahun 1912 merupakan tonggak

pencarian bentuk identitas bangsa (Kartodirdjo, 2005: 3) dengan menyandarkan

pada emosi keagamaan. Menurut Shiraishi, sejak awal orang-orang Solo lebih suka

menggunakan nama Sarekat Dagang Islam (SDI) meskipun pada

kenyataannya organisasi ini lebih merujuk pada Rekso Roemekso dan bukan pada

perkumpulan dagang, seperti SDI Bogor (Shiraishi, 1997: 57). Kontribusi terbesar

107
Sarekat Islam, khususnya terkait dengan pembahasan ini, adalah membawa Islam

sebagai ideologi gerakan ke tengah kancah kebangsaan. Langkah ini mendaulat

Sarekat Islam sebagai gerakan sosial pertama yang mampu mengkombinasikan

kepentingan politik dengan motif keagamaan (Prasetyo, 2003: 34).

Pada mulanya, label “Islam” dalam organisasi SI dipergunakan untuk

menegaskan identitas kaum Muslim yang bumiputra serta membedakannya dari

Kristen-Belanda dan Konfusian-Tionghoa (Shiraishi, 1997: 57). Namun persaingan

ideologi di awal abad ke-20 mengkristalkan kontestansi ideologi pada tiga kutub,

yakni Nasionalisme, Komunisme, dan Islamisme. Perkembangan ini mendorong

H.O.S. Cokroaminoto melakukan propaganda bahwa Islam adalah ideologi yang

harus dibedakan dengan ideologi lain. Cokroaminoto merupakan tokoh Muslim

pertama pada masa modern yang mendeklarasikan Islam sebagai faktor pengikat dan

symbol nasional (Maarif, 2006: 81). Inilah era kelahiran “Islam politik” dalam

panggung pergerakan di Indonesia (Prasetyo, 2003: 37).

Meskipun nasib SI mengalami pasang surut dan bahkan akhirnya pecah

tetapi doktrin Islam politik tetap mendapat tempat di kalangan Muslim Surakarta,

utamanya di daerah yang menjadi basis-basis pedagang, seperti Laweyan, Tegalsari,

dan Kauman (Nashier, 1992: 107). Diskursus Islam yang dibentuk pada masa-masa

Sarekat Islam inilah yang telah memberikan landasan terhadap kemunculan genre

lain dari kekuatan Islam politik di Surakarta, yaitu ideologi Al Islam (Jamaah Al

Islam) yang ditopang kolaborasi kaum santri dan kaum pedagang batik.

Pada awalnya, ideologi Al Islam merupakan bentuk kritik para tokoh agama

di Surakarta terhadap fenomena fanatisme kelompok (firqah) yang berimbas pada

108
perpecahan umat Islam, sinkretisme, taklid, dan keterbelakangan umat Islam. Pada

fase Jamaah Al Islam periode Kyai Ghazali (1927-1953), kritik ideologi Al Islam

tidak memiliki keterkaitan langsung terhadap kekuasan (negara/pemerintah)

maupun realitas politik yang ada. Hal ini bisa dilihat dari sikap akomodatif Jamaah

Al Islam terhadap Pemerintah Kolonial Belanda dimana institusi pendidikannya

mengadopsi kurikulum versi pemerintah (Balitbang, 1982:

9).

Bisa disimpulkan bahwa karakteristik kritik pada fase ini lebih bersifat

internal untuk umat Islam sehingga bisa dikatakan belum menyentuh wilayah

eksternal (baca: the other). Perubahan situasi politik pasca kemerdekaan tidak

banyak berpengaruh terhadap aras kritik ideologi Al Islam karena gerakan yang

dipimpin Kyai Ghazali ini lebih terkonsentrasi membenahi dan mengembangkan

institusi pendidikannya. Nampaknya Kyai Ghazali dkk mengikuti strategi

perjuangan Muhammad Abduh dalam melakukan reformasi Islam dengan

menekankan pada reformasi sistem pendidikan.

Al Islam sebagai ideologi kritik mengalami radikalisasi dibawah Ust.

Mudzakkir dkk yang mengorganisir Jamaah Al Islam Gumuk (1977-2006). Sebuah

generasi gerakan jamaah yang menarik garis pembeda dengan kelompokkelompok

keagamaan yang ada, termasuk Jamaah Al Islam yang didirikan Kyai Ghazali. “Al

Islam” dalam konstruks doktrin JAIG seperti dijabarkan di bab III.C adalah agama

sekaligus ideologi politik. “Al Islam” (kembali) senapas dengan paradigma Islam

politik seperti dicetuskan SI. Olivier Roy menyebutnya sebagai bentuk neo-

fundamentalisme yang meyakini Islam sebagai sistem politik

109
menyeluruh (2005: 7).
Hemat saya, ideologi Al Islam JAIG tidak hanya berkarakter “me-lainkan”

(othering) seperti halnya paham Kyai Ghazali namun juga yang terpenting adalah

kemampuannya mengartikulasikan kritik sosial di ruang publik tanpa terlibat dalam

mekanisme politik formal atau tepatnya sub politics dalam istilah Ulrich Beck

(1994). Gerakan jamaah yang dintrodusir JAIG justru merupakan antitesa terhadap

partai politik yang pandang haram oleh Ust. Mudzakkir.

Konsfigurasi politik dan struktur sosial, baik dalam skala lokal, nasional

maupun internasional, telah mengkondisikan bahkan membentuk karakter ideologi

serta artikulasi Al Islam dalam tindak keberagamaan. Said Amir Arjomand

mengilustrasikannya sebagai “politically relevant religious action, religiously

conditioned political action, religiously relevant political action, and politically

conditioned religious action (1993: 2). Meskipun JAIG mengharamkan perjuangan

melalui jalur politik namun sesungguhnya ekspresi keberagamaannya dalam ruang

publik merupakan tindakan politik.

Perang terhadap kemaksiatan, premanisme satgas-satgas partai politik serta

solidaritas terhadap nasib umat Islam yang teraniaya merupakan bagian dari kritik

sosial yang dilancarkan JAIG bersama kelompok-kelompok keagamaan lain yang

sevisi, termasuk melawan “musuh”. Ust. Chalid Hasan mengatakan (dikutip dari

Isman dkk, 2002: 18) :

“Pada prinsipnya kita berusaha menggalang persatuan dan kekuatan


umat Islam atau gampangnya konsolidasilah! Namun kita menyadari
bahwa masing-masing kelompok mempunyai mazhab sendiri-
sendiri, makanya mereka ini (majelis taklim/pengajian) kita satukan
dalam satu visi dan misi perjuangan untuk membela umat Islam dan
guna menghadapi musuh Islam yang benar-benar ada di depan mata”

110
Sebagian besar kelompok radikal keagamaan – memakai istilah Zainuddin

Fananie dkk – muncul dan berkembang dipicu oleh lemahnya peran negara dalam

menyikapi berbagai kemaksiatan dan solidaritas umat Islam (Arief, 2001; Fananie,

2002; Jamhari dan Jahroni, 2004; Turmudi dan Sihbudi, 2005).

Secara substansial, langkah-langkah konsolidasi gerakan yang diinisiasi

JAIG beserta kekuatan-kekuatan Islam lain merupakan strategi mengkondisikan

umat Islam melalui penyatuan emosi atas dasar kesamaan identitas. Islam tidak bisa

diam dan berpangku tangan menyaksikan kemaksiatan, kemungkaran, dan

penindasan. Menurut Wickham, baik dalam tinjauan budaya maupun politik

ekonomi, kemunculan aktivisme Islam tersebut memiliki orientasi yang sama, yakni

sebagai gerakan protes.

The rise of Islamic activism is typically portrayed as a collective


protes against the abject conditioning prevailing in much of the
contemporary Muslim world. That this, protest has assumed an
Islamic form is either incidental, following the logic of the political
economy viewpoint, or natural, from the cultural identity viewpoint,
given the salience of conservative Islamic beliefs and values in
contemporary Muslim culture (2002: 7).

Pada ranah praksis, JAIG mengkonstruksi nilai-nilai substantif Islam untuk

kemudian memobilisasinya dalam jejaring sosial informal umat. Aksi-aksi

keumatan merupakan proses kaderisasi dalam ruang publik bagi setiap anggota JAIG

yang berrelasi dengan lingkaran kaderisasi dalam ruang domestik (private),

khususnya pengajian, madrasah dan kelaskaran. Dengan kerangka ini, gerakan

kesalehan dalam konteks struktural dibingkai oleh kesadaran politis sekaligus protes.

Artikulasi kesalehan politis ini salah satunya tertangkap dari pernyataan

111
Ust. Mudzakkir yang dilansir media elektronik detik.com95:

"Usulan kami adalah mengirim delegasi atau perwakilan para ulama


untuk menemui pimpinan MPR dan DPR agar segera menurunkan
Megawati dari jabatannya sebagai presiden. Usulan kedua adalah
mendesak agar Perpu Anti-Terorisme dicabut dan tidak dijadikan
UU, kata juru bicara para ulama Ustadz Mudzakir tersebut di
Pesantren Al-Islam. Alasan agar Mega segera diturunkan, kata
Mudzakir, karena Mega dianggap semakin memperlihatkan
pemeritahannya tidak berpihak kepada rakyat kecil, tapi lebih
berpihak kepada kekuatan modal asing dan konglomerat hitam.

Jika memang sikap bersama para ulama tersebut mencerminkan sikap politik

pribadi sekaligus institusi yang dipimpin Ust. Mudzakkir maka terlihat jelas bahwa

Al Islam bersifat praksis dan memiliki kepedulian terhadap permasalahan public,

baik yang menyangkut wilayah sosial, politik, bahkan global seperti isu-isu

kemiskinan, ekonomi konglomerasi/kapitalisme. Al Islam merupakan kekuatan

sosial sekaligus politik dalam proses perubahan. Hasan Al Banna, pendiri Ikhwanul

Muslimin, merumuskan Islam dalam ungkapan “Islam adalah akidah dan ibadah,

agama dan negara, al Quran dan pedang” (Akef, Gatra, 3/7/2004).

Gagasan Al Banna dan Abu Ala Maududi (pendiri Jema`at Islami di

Pakistan) mengalami radikalisasi di tangan Sayyid Qutub. Menurut Roy, ketiga

tokoh ini merupakan perumus ideologi Islam politik di kalangan Sunni. Adapun

dalam konteks Syiah, Ayatullah Khomaini merupakan konseptor yang paling

berpengaruh. Banyak kalangan, termasuk Roy, mengidentifikasi ideologi Islam

politik sebagai ideologi radikal (Roy, 2005: 56; Arjomand, 1993; Choueiri, 2003).

95
Diakses 17 Pebruari 2003, 1.30am

112
Namun R. Hrair Dekmejian mengkategorisasikan ideologi Islam politik sebagai

ideologi revolusioner (Arifin, 2005: 49-50).

Secara genealogis, ideologi Al Islam yang diperjuangkan JAIG merupakan

bagian dari mata rantai gagasan yang dipostulasikan pemikir-pemikir Islam politik

tersebut dengan tetap mengacu pada mazhab salaf. Meminjam kerangka Yudi Latief

(2005), gagasan dan perjuangan Jamaah Al Islam Gumuk dengan sendirinya telah

menjadi bagian dari jejaring intelegensi Muslim radikalrevolusioner. Ideologi Al

Islam yang diartikulasikan Jamaah Al Islam Gumuk merupakan produk dari

pengembaraan sebuah gagasan intelektual yang

direproduksi dalam konteks berbeda sebagaimana disinggung Edward Said:

Like peoples and schools of criticism, ideas person, from situation to


situation, and from intellectual life are usually nourished and often
ideas, and whether it takes the form of acknowledged creative
borrowing, or wholesome appropriation, from one place to another
is both a fact of life intellectual activity (dalam Sukidi,
Vol. 16, No. 4, 401–412, 2005)

C. Kesalehan, Mujahid (kepahlawanan) dan Anonimitas

“Kalau memang cuma bisa bengok (teriak) ya kita bengok (demonstrasi)”


(Warsito Adnan)

Dalam pandangan Jamaah Al Islam Gumuk, kesalehan adalah totalitas

pengabdian terhadap Allah dan Rasul-Nya yang ditunjukkan melalui loyalitas dan

komitmen terhadap satu kepemimpinan kharismatik dalam rangka menegakkan

syariat Islam. Kesalehan merupakan ekspresi ideologi Al Islam yang tidak mengenal

pemisahan agama dan negara, organisasi kelompok/primordial, dan organisasi partai

113
politik. Secara umum, setiap gerakan reformasi Islam tidak hanya berorientasi pada

penguatan aqidah dan wilayah vertikal seperti shalat namun juga yang terpenting

adalah mengaplikasikan prinsip-prinsip tersebut dalam praktik hidup di kelompok

masing-masing (Abdullah, 1994: 138).

Kesalehan menuntut totalitas perjuangan dan pengorbanan yang disebut

jihad. Sehingga dapat dipahami jika Jamaah Al Islam Gumuk merumuskan Al Islam

sebagai agama dakwah dan jihad. Secara organisatoris, misalnya, FPIS

mengaktualisasikan jihad dalam bentuk pengajian rutin dan tabligh akbar (Fananie,

2002: 76). Pengingkaran terhadap urgensi dakwah dan jihad dapat dikatakan sebagai

penolakan terhadap hakekat Al Islam. Dengan kerangka berpikir ini, tidak

mengejutkan jika Jamaah Al Islam Gumuk berpendapat bahwa orang yang menolak

totalitas jihad, termasuk dalam makna membunuh/perang, tergolong munafik.

Melalui metode pengajian dan tabligh akbar, semangat jihad dikobarkan dan terus

digelorakan dalam keberagamaan anggota jamaah (Arief, 2001: 49).

Kedua media tersebut merupakan konteks mikro dari sebuah mobilisasi gerakan

(Wickham, 2001: 140).

Berbeda dengan sikap organisasi-organisasi mainstream seperti NU dan

Muhammadiyah, Ust. Mudzakkir kukuh mempertahankan jihad dalam makna

perang terhadap pihak-pihak yang menyerang maupun menyudutkan umat Islam.

Menurut Abu Fauzan, bagi setiap Muslim yang hendak menjalankan jihad, utamanya

dalam makna perang, dituntut ber- mujahadah terlebih dulu sebagai bentuk

persiapan mental maupun fisik. Disamping itu, dakwah amar ma`ruf dan nahi

munkar membutuhkan kesiapan mereka untuk berhadapan secara terbuka (frontal)

114
dengan siapapun yang melindungi kemaksiatan. Dalam konteks ini, latihan

kelaskaran merupakan salah satu strategi mujahadah tersebut.

Menggelorakan semangat jihad dalam pengajian, majelis taklim, serta latihan

kelaskaran merupakan strategi efektif untuk membakar emosi mujahadah setiap

anggota jamaah. Menurut studi Kartodirjo (1985: 160), indoktrinasi jihad sebagai

perang suci melawan sesuatu yang asing (the other) telah menjadi kepercayaan di

dalam masyarakat Muslim pada saat mereka mengalami penderitaan sekaligus

merupakan kekuatan ampuh untuk memobilisasi massa. Kehadiran tokoh

kharismatik yang memposisikan diri sebagai pemimpin revolusioner dalam situasi

ini merupakan kunci terjadinya mobilisasi sebuah gerakan (idem, 161). Bagi Jamaah

Al Islam Gumuk, kepemimpinan kharismatik adalah orang yang pantas dijadikan

pemimpinnya, yang diidentifikasi Scott sebagai personal magnetism (1990: 221).

Istilah mujahadah berhimpitan dengan mujahid (pejuang). Saya cenderung

mengkonotasikan makna mujahadah dengan “kepahlawanan” karena biasanya

pejuang maupun pahlwan Islam disebut dengan istilah mujahid. Kata pahlawan juga

mengandung makna kesungguhan dan totalitas perjuangan. Istilah mujahadah dan

mujahid memiliki akar kata yang sama dengan jihad, yaitu jahada. Bersenyawanya

substansi Islam dengan semangat jihad mengimplikasikan bahwa segala aktivitas

yang berkaitan dengan penegakkan agama Allah (kalimatullah) pada hakekatnya

merupakan tindakan kepahlawanan (mujahadah) seorang

Muslim.
Warsito Adnan dan Abu Fauzan tidak menolak kemungkinan jihad dilakukan

dengan jalan kekerasan bahkan perang sekalipun selama hal itu dibenarkan oleh

115
syariat Islam. Di tengah kontroversi jihad, Charles Kimball menegaskan bahwa jihad

pada dasarnya satu perjuangan terus menerus agar menjadi orang baik dan bermoral,

melakukan perbuatan baik untuk orang lain bagi kemaslahatan masyarakat (2003:

260). Ini sejalan dengan pandangan Roxanne L. Euben

(http://www.hvk.org/articles/1102/28.html, diakses 10/8/2005) namun dia

menggarisbawahi citra jihad yang lekat dengan kekerasan dan perang atas nama

agama. Dalam Journeys to the Other Shore (2006), Euben menuliskan:

"The contemporary world is increasingly defined by dizzying flows


of people and ideas. But while Western travel is associated with a
pioneering spirit of discovery, the dominant image of Muslim
mobility is the jihadi who travels not to learn but to destroy."

Yang menarik, Euben menghubungkan jihad dengan kemampuan pelakunya

(mujahid) melakukan mobilitas sehingga ia mengidentifikasi sosok mujahid sebagai

mobile Muslim at home dan mobile jihadist. Pada saat yang sama, jihad selalu

berhubungan dengan konsep hijrah sebagai strategi perjuangan Islam. Seperti telah

diulas di bab IV, pada tingkat tertentu setiap anggota Jamaah Al Islam Gumuk

dianjurkan melakukan hijrah, baik secara paradigmatik, naming, dan fisik. Hijrah

merupakan tindakan strategis (Kimball, 2003: 261). Perpaduan konsepsi jihad dan

tradisi hijrah tersebut telah berpengaruh terhadap pola-pola strategi gerakan-gerakan

jamaah seperti JAIG dalam struktur sosial yang memposisikan mereka sebagai

subordinat.

Sebagai bentuk perlawanan sekaligus langkah strategis, komunitas jamaah

dituntut untuk menyembunyikan identitas masing-masing anggota, tokoh-tokoh

penggerak, serta sistem kaderisasinya yang disebut Scott sebagai bentuk anonimitas

(1990: 140). Anonimitas merupakan seni perlawanan politik yang dijalankan

116
kelompok-kelompok subordinat yang mencakup tehnik gossip, agresi, surat kaleng,

kekerasan, dan pembangkangan massa liar. Ini masih terkait dengan teori “suara

dibawah tirani” yang dikenalkan Scott. Strategi anonimitas gerakan JAIG terlihat

jelas dari sistem kaderisasi yang berlingkar dan bertingkat, kebiasaan memakai

nama-nama pengganti dalam interaksi baik yang bersifat in group maupun out

group, aliansi gerakan yang bersifat cair dan mobile dengan penamaan yang

berbeda-beda.

Hal lain yang patut diberi catatan dari komentar Euben adalah asosiasi jihad

dengan kekerasan/perang. Jika merujuk pada pendapat Ust. Mudzakkir dan

dikonfirmasi Warsito Adnan dan Abu Fauzan mengenai totalitas jihad, pencitraan

Euben tersebut memiliki dasar doktrinal serta fakta sosiologis. Fakta historis yang

direkam Kimball menegaskan keterkaitan Muslim jihadist (mujahid) dengan

kemiliteran/kelaskaran. Kasus pengiriman anggota laskar ke Ambon saat konflik

meletus (Fananie, 2002: 89) membuktikan bahwa Muslim jihadist mempunyai

kapasitas untuk melakukan mobilitas secara fisik. Kasus lain adalah pengerahan

massa laskar-laskar Islam di Surakarta ke Jakarta untuk menuntut pembebasan Abu

Bakar Ba`asyir96.

Sebagai konsekwensi dari penolakan terhadap sistem dan mekanisme

kepartaian, Jamaah Al Islam Gumuk (JAIG) menempuh jalur yang biasa disebut

politik esktra parlementer (sub politics) dalam menyuarakan apirasi dan

perjuangannya. Mereka terlatih dalam memobilisasi massa untuk turun ke jalan.

Demontrasi menjadi media JAIG untuk melakukan protes sekaligus kecaman

96
Wawancara Abu Fauzan

117
terhadap realitas-realitas yang merugikan umat Islam. Menurut Abu Fauzan,

demonstrasi adalah bentuk kaderisasi jamaah yang berkorelasi langsung dengan

muatan dan orientasi forum pengajian. Bertolak belakang dengan model Teologi

Pembebasan yang men-teologi-kan praksis (Nitiprawiro, 2000: 47), justru aksi

JAIG dibingkai oleh doktrin yang ditanamkan melalui pengajian. Pengajian – aksi –

pengajian.

Menurut Abu Fauzan, model kaderisasi JAIG ini kemudian diadopsi Front

Pembela Islam Surakarta (FPIS) yang berlainan dengan pola Front Pembela Islam

(FPI) yang cenderung menekankan aksi tanpa penguatan di wilayah doktrin terlebih

dahulu. Bagi Warsito Adnan, demontrasi bagian dari upaya memaksimal perjuangan

umat Islam karena secara filosofis ber-Al Islam adalah “bagaimana bisa berbuat”.

Sebenarnya, demonstrasi merupakan model lain dari strategi `irhad (show of force)

yang biasa dilakukan jika jihad dalam bentuk perang tidak mungkin dilakukan.

Jamaah Al Islam Gumuk Mereka dapat dengan mudah menggalang aliansi

maupun forum-forum taktis dalam memobilisasi aksi-aksi keumatan, seperti

Aliansi Laskar Islam Surakarta (ALIS), Aliansi Umat Islam (AUIS), Koalisi Umat

Islam Surakarta (KUIS) (Arief, 2001: 48; Fananie, 2002: 105), dan Umat Islam
Peduli Bangsa (Suara Merdeka, 25 Maret 2003). Mencermati siklus kemunculan
aksi-aksi keumatan ini, setidaknya ada dua pola yang bisa ditemukan, yaitu siklus
musiman dan siklus situasional.

Siklus musiman merujuk pada kebiasaan laskar-laskar tersebut melakukan

demonstrasi di bulan ramadhan yang menuntut penutupan tempat-tempat hiburan

malam – yang menurut mereka sumber kemaksiatan – serta tindakan sweeping dan

penutupan paksa jika pemerintah kota dan pihak pengusaha hiburan tidak

118
mengabaikan tuntutan mereka. Pada bulan ramadhan tahun lalu, tepatnya 18 Oktober

2005, laskar-laskar yang tergabung dalam KUIS menutup paksa disertai perusakan

terhadap sebuah kafe di daerah Grogol, Sukoharjo. Menurut Sigit Qordhowi,

koordinator aksi, "Kami terpaksa menghancurkan botol-botol tersebut, karena

tempat itu menjual minuman keras. Padahal, imbauan kami sudah jelas, tempat

hiburan tak boleh buka di bulan Ramadan" (Suara Merdeka, 19/10/2005).

Pada siklus ini, semangat memberantas kemaksiatan sangat dominan

memotivasi aksi-aksi keumatan. Adapun isu solidaritas adalah faktor utama pemicu

aksi-aksi keumatan di saat umat Islam dihadapkan ataupun menghadapi kondisi yang

menyudutkan umat Islam. Mereka akan dengan mudah mengkoordinasikan massa

melalui jejaringan majelis taklim yang bersifat informal. Yang terpenting dalam

konteks ini adalah umat Islam di Surakarta dapat menyuarakan aspirasi dan

solidaritasnya sebagai bentuk dukungan terhadap umat Islam di tempat lain, baik

lokal mapun internasional. Solidaritas terhadap perjuangan rakyat Palestina adalah

bagian penting dalam siklus ini. Begitu pun agresi Israel ke Libanon baru-baru ini

telah memicu solidaritas umat Islam di Surakarta. Hari Jum`at selalu dipilih menjadi

waktu yang tepat untuk menggalang aksi demonstrasi ini.

Bagi komunitas JAIG, perang terhadap kemaksitan dan kemunkaran (nahi

munkar) harus ditegakkan atas nama jihad meskipun harus terpaksa menggunakan

cara-cara kekerasan. Berdasarkan catatan Siraishi (1997: 62), Sarekat Islam

merupakan gerakan Islam pertama yang menggunakan strategi boikot dengan

kekerasan sebagai metode perjuanganannya. Dalam relasi super-ordinat dan

119
subordinat, kekerasan sebagai tindakan kolektif merupakan unsur sekaligus

instrumen penting dalam sebuah organisasi (Simmel, 1971: 343).

Ian Buruma dan Avishai Margalit berpendirian bahwa doktrin perang suci

(jihad) yang diyakini pelaku bom bunuh diri tidak memiliki hubungan dengan

patologi sosial-politik namun justru bersumber dari gagasan keberagamaan yang

dibuktikan oleh sejarah (2004: 12). Namun Imam Samudra (2004: 95), salah seorang

pelaku bom di Bali, berpikiran bahwa:

“ketertindasan membutuhkan pembelaan, keterjajahan


membutuhkan pembebasan, keternodaan memanggil penyucian,
keterhinaan menuntut kemuliaan. Semua itu hanya akan selesai
dengan jihad. Semua itu wajib dilakukan. Agar umat Islam tak lagi
terpuruk. Agar luka-luka itu tak lagi membesar. Agar luka-luka itu
tak menganga. Jihad ada obat dari segala kesakitan. ” .

Totalitas jihad, seperti terbaca dalam ungkapan Samudra di atas, melibatkan

faktor emosi keagamaan yang mendalam. Jihad tidak bisa disandarkan pada

kalkulasi nalar karena yang paling menentukan adalah keyakinan kuat untuk

membela agama Allah (Nursalim, 2001: 68) kecintaan membela umat Islam.

Emosi keagaman yang terekspresi dalam bentuk kemarahan, keresahan, ketakutan,


rasa bersalah, cinta, dan kasih sayang memainkan peran penting dalam
gerakangerakan sosial. Karenanya, sebuah gerakan sosial digelorakan oleh emosi
(Kemper, 2001: 58).

Ada dua hal yang menonjol dalam gerakan sosial yang digerakkan oleh

hasrat kolektif untuk menjadi Muslim sejati melalui aktualisasi jihad, yaitu semangat

kepahlawanan (mujahadah) dan anonimitas. Ini dikonfirmasi catatan Imam Samudra

yang mengakui menjaga kerahasiaan adalah hal yang mutlak dalam perjuangan

120
(2004: 21). Tradisi anonim dalam gerakan jamaah disebut Scott sebagai medan

hidden transcript, berupa wilayah otonom diluar cengkraman

ideologi dominan (1990: 152).

D. Kelaskaran dan Objektivikasi “Musuh”

Dalam tinjauan psikologis, ketika seseorang maupun sekelompok orang telah

menerima satu ideologi secara total maka penerimaan itu menuntut adanya kepuasan

psikis. Fase usia muda mencerminkan proses pencarian jati diri yang membutuhkan

kepuasan psikis dan pengakuan sosial. Faktor lain yang berpangaruh penting adalah

tingkat pendidikan dan ekonomi. Menurut Chusniatun, pertautan emosi darah muda,

kepentingan sosial, dan alasan ekonomi dengan penafsiran terhadap teks-teks agama

menciptakan nilai-nilai yang kemudian tertanam bahkan akhirnya menjadi doktrin

di dalam memori para remaja dan pemuda yang mengikuti pengajian rutin.

Proses ini melahirkan apa yang disebut Zakiah Drajat, sebagaimana dikutif

Chusniatun, sikap positif radikal dan positif rasional. Pengajian rutin, tabligh akbar,

dan aksi-aksi keumatan seperti demontrasi berperan penting menyuburkan sikap-

sikap radikal di kalangan remaja maupun pemuda yang menjadi massa inti dari

gerakan kelaskaran. Jamaah pengajian Al Islam Gumuk sendiri memiliki Laskar

Khawari sebagai media jihad di ruang publik. Secara taktis, anggotanya terlibat

langsung di FPIS meskipun status FPIS adalah aliansi dari laskar-laskar yang

memiliki visi sejalan.

Seperti telah disinggung di bab IV, tokok-tokoh penting JAIG memainkan

peran signifikan dalam pembentukan, pembinaan, serta pengorganisiran massa

121
FPIS. Ditemukannya indikasi praktek penyuapan bahkan penyusupan 97 oleh pihak

aparat pemerintah ke dalam tubuh FPIS telah membuat Dewan Syura FPIS

membekukan sementara aktivitas FPIS. Sebagai gantinya, FPIS menerbitkan

majalah dwi mingguan, yaitu “Suara Front”. Majalah dikelola oleh anggotaanggota
98
FPIS yang juga tercatat sebagai jamaah pengajian Gumuk . Dalam struktur

pengelola majalah, nama Warsito Adnan tercatat sebagai Pimpinan

Redaksi.

Berkaca pada paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa karakteristik

kelaskaran cukup melekat dalam pola keberagamaan yang menafsirkan jihad dalam

konteks mobilitas fisik (Muslim jihadist). Belakangan, aksi-aksi kelaskaran

mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, terkait aksiaksi

laskar Islam yang cenderung bertindak anarkis bahkan main hakim sendiri.

Menko Polhukkam, Wdido AS, menyatakan pemerintah akan menindak tegas

ormas, laskar, maupun satgas yang melakukan tindakan anarkis, melanggar

keamanan, dan ketertiban masyarakat (Gatra, 21/6/2006).

Keresahan publik ini dipicu oleh serangkaian aksi-aksi anarkis

kelompokkelompok paramiliter berjubah agama yang menyerang Markas

Ahmadiyah di

97
Penyusupan sering menjadi modus aparat intelejen untuk memecah belah gerakan-gerakan jamaah
maupun Islam politik yang kritis terhadap negara. Salah satu strategi kontra intelejen yang dilakukan
gerakan-gerakan jamaah adalah dengan melakukan proteksi ketat dalam proses rekruitmen dan
kaderisasinya. Baru-baru ini, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) berhasil membongkar penyusupan
yang oleh mereka disebut agen CIA, yaitu Asep Rahmatan Kusuma dan Muhammad Hasan (lih.
Gatra edisi 14/01 dan 19/07, 2006).
98
Wawancara dengan Abu Fauzan, 16 Oktober 2005 di Pasar Kliwon

122
Bogor (oleh Gerakan Umat Islam Indonesia), mengancam menyerbu markas Islam

Liberal di Utan Kayu, merusak kedutaan Denmark, merusak kantor Majalah

Playboy (ketiga oleh FPI), penyerangan terhadap markas FPI di Jember (oleh

Masyarakat Anti Kekerasan), dan ancaman Garda Bangsa menyerbu markas FPI

Jakarta (Gatra, 19/6/2006). Menanggapi merajalelanya aksi-aksi ini, Syafii Maarif

mengatakan:

“…kita punya kesempatan emas untuk menyampaikan apa yang


terasa secara sopan tetapi tajam. Tidak seperti cara-cara sementara
pihak yang menyerbu suatu tempat yang mereka nilai “berbahaya”
bagi Islam seperti yang mereka pahami. Cara semacam ini adalah
cara preman berjubah, jauh dari dari sifat seorang ksatria”
(Republika, 9/8/2006).

Jika aksi-aksi kelaskaran dinilai sebagai sikap kepahlawanan maka

kelompok-kelompok ini membutuhkan musuh. Kepahlawanan dibangun di atas

musuh yang diciptakan (Aho, 1994:26). Tanpa adanya musuh, perjuangan (jihad)

tidak akan memiliki makna apapun, lanjut James Aho. Relasi kepahlawanan dan

musuh memproduksi sistem pandangan hidup standar terhadap “yang lain” (the

other), yang dalam istilah psikologi disebut prejudices. Reynolds dan Turner

mendefinisikannya sebagai:

Prejudices is not an outcome of irrationality, deficiency, and


pathology (but) it can be understood as a psychologically rational
and valid product of the way members of certain groups perceive the
social structure of intergroups relations – it arises from and reflects
their subjectively-apprehended understanding of the relationships
between groups in society (dalam Augustinos dan Reynolds, 2001:
178).

Secara sosiologis, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Musyawarah

Nasional tahun 2005 yang mengharamkan paham pluralisme agama, liberalisme,

123
dan sekularisme dapat dipandang sebagai mediator utama dalam proses penciptaan

musuh yang harus diperangi secara mujahadah oleh umat Islam. SEPILIS

(sekularisme, pluralisme, dan liberalisme) adalah diskursus yang dicitrakan sebagai

ancaman serius terhadap umat Islam yang kemudian direifikasi sebagai musuh (the

enemy) utama. Dalam sebuah forum tabligh akbar merespon fatwa MUI tersebut,

Emosi puluhan anak muda berseragam putih itu terbakar lewat


tabligh akbar di Mesjid Al Azhar, Jakarta. Beberapa kali mereka
memekikkan takbir “Allahu Akbar” sambil mengangkat tangan
kanan terkepal (Gatra, 13/08/2005).

Serangkaian aksi-aksi anarkis yang dipicu sebuah sebuah fatwa agama tersebut

mengingatkan kita pada tesis Ernest Becker bahwa kepahlawanan berhubungan

dengan kekerasan (Aho, 1994: 23).

Pada konteks ini, Jamaah Al Islam Gumuk melalui Ust. Mudzakkir telah

jauh-jauh hari mengumandangkan perang terhadap segala bentuk paham dan

ideologi di luar Al Islam sebagaimana telah dikupas di bab IV. Siapapun dan apapun

yang tidak berpusat pada Al Islam adalah pihak yang harus didakwahi. Jika mereka

menolak jalan dakwah maka jihad menjadi pilihan.

Musuh umat Islam dalam pandangan JAIG adalah mereka, baik individu,

kelompok, maupun pemerintah, yang tidak senang dengan upaya-upaya

penegakkan syariat Islam. Secara politik, pemerintah Amerika, Inggris, Australia


dan sekutunya sering diidentifikasi sebagai pihak-pihak yang membenci Islam. Ini
terungkap dari isi ceramah di pengajian serta terbaca dari aksi sweeping terhadap
warga negara asing pada saat suhu politik di luar negeri memburuk.

124
BAB VI

KESIMPULAN

Studi ini menunjukkan bahwa dinamika sebuah gerakan jamaah di konteks

Surakarta berhubungan, baik langsung maupun tidak, dengan spektrum politik pada

aras nasional dan internasional. Rangkaian pemaparan dalam studi ini mengacu pada

permasalahan eksistensi dan transformasi ideologi Islam politik di tengah perubahan

arus zaman; dari fase penjajahan ke fase kemerdekaan, dari Orde baru ke Orde

Reformasi, dari diskursus anti asas tunggal Pancasila ke perang melawan terorisme.

Gerakan Jamaah Al Islam (di) Gumuk yang menjadi fokus studi ini

merepresentasikan lingkaran inti sekaligus rumah inkubasi bagi ideologi Islam politik.

Kemunculan jamaah ini pada tahun 1977 merupakan bagian sekaligus pelanjut dari

matarantai perjuangan Islam politik (islamisme) di Surakarta. Sarekat Islam yang

berdiri tahun 1912 telah mengenalkan gagasan Al Islam sebagai pengikat imajinasi

masyarakat politik umat Islam ketika dihadapkan pada realitas penjajahan. Islam politik

atau juga disebut islamisme merupakan pilihan ideologis yang dilatarbelakangi oleh

konteks sosiologis Surakarta pada saat Islam harus bersaing dengan ideologi

Nasionalisme dan Komunisme.

Berbeda dengan Sarekat Islam, Muhammadiyah (1912) dan Nahdhatul Ulama

(1926) memposisikan Islam sebagai sumber inpsirasi sosial dan budaya sehingga tidak

125
berorientasi pada perjuangan struktural, yakni mewujudkan tata sosial berdasarkan

Islam sebagai basis politiknya. Meskipun begitu, Muhammadiyah dan NU telah terlibat

dalam persaingan bahkan konflik yang dalam pandangan ulamaulama di Surakarta

dapat mengancam persatuan umat Islam di Indonesia.

Musyawarah Ulama independen tahun 1927 di Surakarta yang melahirkan Jamaah Al

Islam (Perhimpunan Al Islam) dibawah Kyai Imam Ghazali merupakan idealitas

ideologi Islam politik yang menginginkan persatuan umat Islam di bawah satu atap

kepemimpinan. Dengan kata lain, tidak ada Islam model Muhammadiyah, NU, dan

lainnya tetapi yang ada adalah Jamaah Al Islam.

Latarbelakang dan konteks di ataslah yang membuka jalan bagi proses

transformasi ideologi Islam politik ke dalam bentuk gerakan-gerakan jamaah, majelis

taklim dan pengajian pada dekade 1970-an di Surakarta. Struktur sosial Surakarta telah

menyebabkan reproduksi dan diferensiasi di dalam proses transformasi ideologis

gagasan Al Islam. Salah satu bentuk dari proses ini adalah Jamaah Al Islam Gumuk

(JAIG). Élan vital ideologi Al Islam adalah purifikasi terhadap pandangan keagamaan

mainstream yang tidak menunjukkan totalitas kesalehan dan perlawanan terhadap

sistem politik negara karena dianggap tidak mencerminkan kepemimpinan Islami.

Gerakan JAIG yang dibangun oleh Ust. Mudzakkir merupakan satu antitesis

terhadap mekanisme kepartaian dalam memperjuangkan ideologi Al Islam di dalam

sistem kenegaraan yang sudah terbangun. Ini merupakan respon sosiologis sekaligus

siasat menghadapi rejim politik Orde Baru yang bersikap konfrontatif terhadap gerakan

126
Islam politik. Otoritarianisme Orde Baru telah menimbulkan keresahan, penindasan

berupa pemberangusan ideologi Islam politik, dan gejolak sosial-politik. Pada saat

yang sama, konstalasi politik global memicu ketidakpuasan bahkan kemarahan di

kalangan yang selama ini diasosisasikan dengan fundamentalisme dan radikalisme.

Kelompok-kelompok jamaah pun mengalami ketertekanan luar biasa, baik secara

ideologis, psikis, maupun fisik bahkan hak-hak dasarnya sebagai warga negara.

Dalam konteks struktural tersebut, gerakan JAIG membangun basis dan

memperkuat proses diseminasi ideologi Al Islam melalui institusi keagamaan mesjid,

pengajian/majelis taklim, madrasah, pesantren, dan kelaskaran. Pada praktiknya,

institusi keagamaan tidak hanya berfungsi sebagai rumah ideologis namun juga

merupakan alat artikulasi kesadaran politik untuk menyuarakan protes, perlawanan,

dan solidaritas. Pengajian dan kelaskaran merupakan dua institusi kaderisasi yang tidak

terpisahkan karena masing-masing institusi mempunyai kemampuan

mengkondisikan anggota jamaah untuk suatu mobilisasi atas dasar doktrin agama.

Peran pemimpin ataupun elite jamaah dan pengaruh sosial sangat berpengaruh

dalam menentukan konstruks paham keagamaan, pola-pola relasional, karakteristik

gerakan, dan jalur komunikasi maupun koordinasi dengan jejaring informal. Realisasi

kepemimpinan Islami dalam konteks makro sebagai tujuan puncak cita-cita ideologis

Al Islam harus disertai oleh kehadiran satu pemimpin sentral yang kharismatik. Jamaah

Al Islam di Gumuk mewakili satu konteks mikro tata sosial Islami dengan satu

kepemimpinan kharismatik.

127
Melalui institusi keagamaan, Al Islam diinterpretasikan dan direifikasi menjadi

sebuah konstruks ideologi atas dasar objektivikasi yang bersifat subjektif. Dengan

ungkapan lain, interpretasi adalah relasi kuasa dan ideologi gerakan adalah produk dari

kekuasaan/otoritas. Konsekwensi dari kerangka ini adalah hasrat kuasa untuk

melainkan (othering) serta menolak entitas-entitas diluar dirinya. Sehingga, meskipun

setiap gerakan jamaah mengartikulasikan persatuan identitas Islam secara politik

namun pada kenyataannya kontestansi, friksi, konflik, dan fragmentasi merupakan

bagian dari pola-pola interaksi di kalangan gerakan-gerakan jamaah.

Dengan demikian, kemampuan JAIG mengkondisikan dan memobilisasi

institusi keagamaan, khususnya forum pengajian/majelis taklim dan kelaskaran,

dideterminasi oleh konteks struktural yang memberi legitimasi kepada pemimpin

jamaah untuk mendefinisikan konstruksi dirinya (ego/primordialisme) dan di luar

dirinya (the other) dengan berpijak pada perebutan makna situasional pada

kontekskonteks yang parsial. Konsepsi dakwah, jihad, dan hijrah merupakan pilar

JAIG dalam proses objektivikasi Al Islam yang anonim.

Oleh sebab itu, postulat Al Islam adalah dakwah dan jihad telah memompakan

semangat kepahlawanan (mujahadah) dalam setiap ritme perjuangan AI Islam.

Kepahlawanan sangat berhubungan dengan tradisi hijrah yang sering diterjemahkan

dalam bentuk mobilitas, baik secara gagasan maupun fisik. Hijrah dalam makna

gagasan adalah meninggalkan fanatisme kelompok menuju totalitas Al Islam yang

tidak mengenal partai politik, kelompok primordial, dan organisasi. Hijrah secara fisik

128
diaktualisasikan dengan bersikap tanggap, bergerak cepat, dan melakukan perjalanan

untuk menegakkan agama Allah. Hijrah merupakan simbol kesadaran politik umat

Islam untuk melakukan mobilitas sosial sehingga kapasitas sebuah gerakan sosial akan

menyangkut masalah kemampuan melakukan mobilitas.

Pada aras ranah praksis gerakan, hijrah diterjemahkan ke dalam strategi

anonimitas gerakan. Pemilihan nama “Jamaah Al Islam” merupakan bentuk

penghilangan identitas primordial kelompok, golongan, serta organisasi. Jamaah Al

Islam mewakili universalitas Islam dalam pandangan JAIG. Kebiasaan mengganti

nama asli dengan nama lain (hijrah nama) di kalangan anggota merupakan bentuk

proteksi terhadap kemungkinan penyusupan intelejen. Ini juga berfungsi untuk

menghilangkan jejak identitas asli setiap anggotanya sebagai siasat resistensi terhadap

“politik KTP” yang menjadi aparatus negara – dalam perspektif Gramsci.

Secara substansial, konsepsi strategi anonim gerakan Jamaah Al Islam

menegasikan penamaan-penamaan (namings) sosiologis-antropologis yang bersifat

situasional, temporal, dan primordial. Secara simultan, semangat kepahlawan dalam

formulasi dakwah dan jihad mengkondisikan penciptaan musuh. Ini sangat penting

karena berkaitan langsung dengan derajat kemuliaan seorang mujahid. Jalinan konteks

struktural dan ajaran-ajaran inilah yang memungkinkan JAIG memiliki kemampuan

menggerakkan institusi keagamaan secara mobile dan masif.

Lebih jauh, studi ini mengimplikasikan kajian genealogis terhadap fenomena

dan diskursus jamaah. Dalam kasus JAIG, jamaah merupakan proses rekonstruksi

129
masyarakat ideal berdasarkan identitas religious yang bersifat subjektif. Namun pada

dasarnya, gagasan jamaah merupakan satu hal yang melekat dalam konsepsi dan

sejarah gerakan-gerakan sosial keagamaan. Ritual shalat lima waktu setiap hari dan

shalat Jumat, satu kali dalam seminggu, sangat menekankan dimensi “jamaah” ataupun

kebersamaan dalam pelaksanaannya. Pada konteks keindonesiaan, misalnya, semangat

dasar gerakan Persyarikatan Muhammadiyah dan Sarekat Islam (SI) adalah

“syarikah” yang mengandung makna persekutuan, kerjasama, dan kolaborasi.

Semangat ini juga tercermin pada nama resmi gerakan NU, yaitu Jam`iyyah

Nahdhatul Ulama, yang menekankan persatuan sebagai simpul tradisionalisme Islam.

Namun pada kenyataannya, setidaknya mengacu pada historiograpi dan potret

sosiologis masyarakat Muslim Surakarta, gerakan jamaah merepresentasikan sebuah

konstruksi sosial yang berada di luar garis-garis mainstream. Kunci gerakan jamaah

adalah kesadaran kolektif untuk mengecualikan diri dari paham dan pandangan hidup

yang dianggap menyimpang. Ideologi gerakan jamaah memposisikan diri sebagai

bentuk koreksi total terhadap realitas-realitas mainstream sekaligus replikasi Islam

otentik melalui proses re-grouping. Pada aras ini, jamaah adalah konsep reproduksi

diskursus otentisitas dan perebutan regenerasi otoritas.

Ideologi jamaah tidak hanya membentuk konstruks doktrin dan pola pikir

gerakan namun juga mengontrol otonomi tubuh; penampilan, ekspresi, prilaku, dan

interaksi sosial. Kredo Islam adalah agama dan negara berimplikasi terhadap postulasi

ideologi jamaah, yaitu ideologi politik dan politik tubuh. Ideologi jamaah mewakili

130
tipologi Islam politik secara absolut. Pemimpin kharismatik adalah persona magnetism

yang berpengaruh terhadap proses diseminasi nilai, institusionalisasi emosi kolektif,

serta mobilisasi institusi keagamaan dalam konteks struktural yang kompleks.

Kemampuan elite jamaah mengelola emosi (rasa resah, gelisah, terasing, marah, benci,

cinta, dan kepahlawanan) setiap individu anggota sekaligus mengakumulasikannya

dalam satu gelombang emosi mengakibatkan proses peleburan setiap individu (fusi) ke

dalam satu identitas, satu emosi, satu nasib, dan satu seperjuangan. Dimensi politik dari

totalitas kesalehan Jamaah Al Islam Gumuk sangat terkait dengan titik-titik kulminasi

emosi keagamaan.

Pada saat yang sama, gerakan jamaah melakukan re-grouping atas dasar

identitas baru yang selalu ditandai oleh proses peleburan emosi dan nalar

masingmasing individu ke dalam totalitas dan uniformitas ideologi. Dalam proses

regrouping tersebut, pengajian ataupun majelis taklim merupakan medan diskursif,

tempat memproduksi tafsir dan kebenaran yang monolitik. Sehingga, Jamaah Al Islam

adalah bangunan imajinasi masyarakat Muslim ideal. Nilai dasar gerakan jamaah

adalah uniformitas, kolektivitas, dan pendisiplinan politik tubuh melalui subordinasi

setiap individu anggota kepada agensi tunggal, yakni pemimpin jamaah (amir).

Studi ini menemukan bahwa perebutan otoritas salafisme sebagai mazhab Islam

otentik merupakan kata kunci untuk menjelaskan proses regenerasi dan reproduksi

formulasi gerakan yang terjadi di kalangan gerakan jamaah. Kelahiran gerakan jamaah

tidak hanya merupakan kritik sosiologis terhadap prilaku organisasi keagamaan

131
mainstream dan realitas politik namun juga dilatarbelakangi pertarungan dan

perpecahan di internal gerakan jamaah memperebutkan legitimasi dan otoritas.

Realisasi kepemimpinan Islami dalam konteks makro sebagai tujuan puncak cita-cita

ideologis gerakan jamaah disertai kehadiran satu pemimpin sentral yang kharismatik.

Ini merupakan faktor determinan dalam dinamika sebuah gerakan jamaah yang

berkorelasi dengan keberlangsungan fase kemunculan, fase artikulasi, serta fase

konflik-konflik internal yang sering bermuara pada perpecahan dan pada akhirnya

melahirkan model gerakan jamaah lain. Ini adalah siklus regenerasi dan reproduksi

gerakan jamaah. Secara umum dapat digambarkan melalui proses:

Genus species Genus species Genus

(Jamaah) (Jamaah) (Jamaah)

Keterangan:
: konflik internal dan perpecahan
: proses reformulasi dan kristalisasi species menjadi genus baru
(reproduksi)
: transformasi ideologi dan pencarian bentuk gerakan (regenerasi)

Siklus regenerasi dan reproduksi ini merupakan kerangka sosiologis untuk

menjelaskan proses kemunculan varian ideologi dan gerakan-gerakan jamaah di

Surakarta yang jumlahnya mencapai puluhan kelompok. Ketergantungan terhadap

pemimpin kharismatik dan konflik internal, baik yang bersifat ideologis maupun

organisatoris, merupakan faktor sosiologis yang menyebabkan sebuah gerakan jamaah

rentan mengalami perpecahan dan mudah terfragmentasi. Dengan demikian,

132
absoluditas ideologi, fanatisme jamaah, hirarki kepemimpinan, dan ketertutupan sistem

gerakan merupakan karakteristik utama bagi gerakan jamaah.

Hemat saya, reproduksi gerakan jamaah merupakan proses politik

memperebutkan kharisma, pengakuan otoritas, dan kekuasaan melalui kontestansi

diskursus di kalangan elit-elit aktivis Muslim (Islamic activism). Dalam beberapa

kasus, faktor keturunan, kekerabatan, dan pertalian guru-murid memainkan peran

penting dalam proses reproduksi dan regenerasi gerakan jamaah. Misalnya, suksesi

kepemimpinan kharismatik merupakan fase transisi yang sangat rentan menimbulkan

konflik kepentingan di antara kerabat dan para murid pemimpin terdahulu. Adapun

regenerasi merupakan proses diferensiasi dalam rangka mencari bentuk sekaligus

menegaskan identitas dan ideologi politik di tengah kontestansi ideologi-ideologi

gerakan. Di sini, regenerasi tidak identik dengan peralihan fase kepemimpinan tetapi

merupakan politik purifikasi dan penciptaan ulang simpul-simpul otoritas dan

kekuasaan baru.

Dengan kerangka di atas, genealogi sistem pengetahuan Jamaah Al Islam

Gumuk dapat dilacak pada relasi reproduksi dan regenerasi yang bersifat diskursif di

dalam kompleksitas struktur sosial. Jamaah Al Islam Gumuk menampilkan Islam

sebagai kekuatan diskursif, baik pada aras kognitif, afektif, dan psikomotorik. Begitu

pula dengan kepemimpinan jamaah, ia merupakan kepemimpinan diskursif yang

menciptakan mitos-mitos untuk melegitimasi eksistensi dirinya. Dari sinilah totalitas

kesalehan setiap anggota jamaah dibentuk, diarahkan, dan dikontrol oleh pemimpin

diskursif melalui institusi keagamaan, termasuk kelaskaran. Secara psikologis, gerakan

133
jamaah merupakan arena depersonalisasi dimana kebebasan dan otonomi individu

direduksi ke dalam bentuk uniformitas ideologi dan kolektivitas tindakan.

Secara teoritik, studi ini menawarkan satu cara pandang berbeda terhadap

gerakan jamaah yang selama ini dinilai lebih berorientasi pada asketisme dan apolitis.

Studi menunjukkan bahwa jamaah memiliki kemampuan untuk membentuk dirinya

sebagai institusi sekaligus kekuatan politik pada konteks mikro. Kemunculan dan

kiprah JAIG dalam ruang publik bukanlah peristiwa sosial yang bersifat

tunggalapolitis. Tetapi ia merupakan rangkaian peristiwa dalam konteks perkembangan

sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang saling berpengaruh. Anonimitas gerakan

Jamaah Al Islam merupakan konsekwensi sosiologis dari tanggungjawab ideologi Al

Islam dalam konteks struktural yang hegemonik.

Apa yang terjadi dengan JAIG di atas menggambarkan satu proses yang dalam

kategori Williams ((1994) disebut sebagai gerakan sosial. Melalui institusi kelaskaran,

JAIG terlibat aktif menyuarakan isu-isu publik yang pada tingkat tertentu berkorelasi

dengan hak-hak sosial, budaya, dan hak politik masyarakat. JAIG dapat dikategorikan

sebagai gerakan sipil yang mengartikulasikan kesadaran politik dalam ruang publik.

Model gerakan sipil JAIG sejalan dengan model sub politik yang ditawarkan Beck

(1994).

Kemampuan JAIG mengelola forum pengajian untuk satu mobilisasi gerakan

mengafirmasi tesis Wiktorowicz (2001) mengenai efektivitas media ceramah

keagamaan, termasuk khutbah, sebagai sumber inpirasi dan motivasi tindakan kolektif

134
umat Islam. Kehadiran tokoh sentral dan jihad yang menjadi tulang punggung JAIG

berperan sangat efektif penting dalam kondisi-kondisi yang tidak menguntungkan umat

Islam sebagaimana ditunjukkan kajian Kartodirdjo (1984).

Agak berbeda dengan gerakan-gerakan sosial yang menekankan nalar rasional,

justru gerakan JAIG mewakili arus gerakan sosial yang dibangun di atas emosi. Emosi

tidak identik dengan irrasionalitas tapi mungkin non rasional. Kasus JAIG

membuktikan bahwa emosi keagamaan dapat memicu kohesivitas dan

mobilisasi massa dalam konteks gerakan sosial seperti ditemukan Kemper (2001). Ini

menolak anggapan Lewis (dalam 2003) yang menyebut Islam sebagai sesuatu yang

irrasional. Gejolak emosi seperti rasa resah, gelisah, terasing, marah, benci, cinta, dan

kasih sayang merupakan karakter sosial yang menonjol dalam gerakan jamaah ini.

Kemampuan elite jamaah mengelola emosi keagamaan setiap individu

sekaligus mengakumulasikannya dalam satu gelombang emosi telah mengakibatkan

proses peleburan setiap individu (fusi) ke dalam satu identitas, satu emosi, satu nasib,

dan satu seperjuangan. Dimensi politik dari totalitas kesalehan Jamaah Al Islam sangat

terkait dengan titik-titik kulminasi emosi keagamaan. ini merupakan faktor lain yang

memposisikan gerakan jamaah sebagai satu model dari gerakan sosial.

Pada akhirnya, ruang lingkup studi ini telah membatasi saya dalam membahas

satu model gerakan jamaah dan relasinya dengan kompleksitas struktural.Terbatasnya

Gerakan jamaah menampilkan universalisme ideologi Al Islam dan

135
mengartikulasikannya di dalam partikularitas konteks yang terdiferensiasi oleh

kompleksitas struktural. Keterbatasan studi ini sangat memungkinkan dilanjutkannya

kajian sejenis untuk melengkapi khazanah sosiologi gerakan jamaah. Ini merupakan

lahan kajian yang masih memerlukan kerja-kerja intelektual yang terintegrasi, lintas

bidang, disamping ketekunan untuk terlibat secara intens dengan obyek studi.

136
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku dan Jurnal


Abas, Nasir. 2005. Membongkar Jamaah Islamiyah. Jakarta: Grafindo
Abdullah, Irwan. 1994. The Muslim Businessmen of Jatinom: Religious Reform and
Economic Modernization in Central Javanesse Town. Universiteit Van
Amsterdam.
Abdullah, Irwan. 2002. Simbol, Makna, dan Pandangan Hidup Jawa: Analisis
Gunungan pada Upacara Garebeg. Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan
Nilai Tradisional
Abdurrahman, Moeslim. 2003. Islam Sebagai Kritik Sosial. Jakarta: Erlangga
Aho, James A. 1994. This Thing of Darkness: A Sociology of the Enemy. Seattle dan
London: University of Washington Press
Ali, Tariq. 2002. The Clash of Fundamentalism: Crusades, Jihads, and Modernity.
London & New York: Verso
Arifin, Syamsul. 2005. Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis:
Pengalaman Hizb al Tahrir Indonesia. Malang: UMM Press
Arjomand, Said Amir (ed).1993. The Political Dimensions of Religion. State University
of New York Press
Bainbridge, William Sims. 1997. The Sociology of Religious Movements. New York
dan London: Routledge
Barker, Chrish. 2000. Cultural Studies: Theory and Practice. London: Sage
Publication,
Batley, Brek. 2003. The Complexities of Dealing with radical Islam in Souteast Asia:
a Case Study of Jemaah Islamiyah. Canberra: The Australian National
University
Beatty, Andrew. 2001. Variasi Agama di Jawa: Suatu Pendekatan Antropologi (terj).
Jakarta: Murai Kencana
Beck,Ulrich, Anthony Giddens, dan Scott Lash. 1994. Reflexive Modernization.
California: Stanford University Press.
Bellah, Robert N. 2000. Beyond Religion (terj). Jakarta: Paramadina
Buruma, Ian dan Avishai Margalit. 2004. Occidentalism: The West in the Eyes of Its
Enemies. New York: The Penguin Press
Canon, Dale, 1996, Six Ways of Being Religious, dalam Bernard Adeney Riskakotta
(ed). 2004. Sociology of Religion Reader. Yogyakarta
Choueiri, Youssef M. 2003. Islam Garis Keras: Melacak Akar Gerakan
Fundamentalisme (terj). Yogyakarta: Qonun
Darokah, Ali. 1983. Pondok Pesantren Jamsaren Solo dalam Historis dan
Essensinya. Sala: Ramadhani

137
Denzin, Norman K., 1994, The Arts of Interpretation, dalam Norman K. Denzin dan
Yvonna S. Lincoln (eds): Handbook of Qualitative Research. London dan
New Delhi: Sage Publication
DeFronzo, James. 1996. Revolutions and Revolutionary Movements. Westview Press
Djamil, Fathurahman. 1995. Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah. Jakarta:
Logos Publishing House
Dirdjosanjoto, Pradjarta. 1999. Memelihara Umat: Kiai Pesantren – Kiai Langgar di
Jawa. Yogyakarta: LKiS
Edgar, Andrew dan Peter Sedgwick. 2004. Cultural Theory: The Key Concepts.
London-New York: Routledge
Esack, Farid. 2000. Al Quran, Liberalisme dan Pluralisme: Membebaskan yang
Tertindas (terj). Bandung: Mizan
Euben, L. Roxanne. 2006. Journeys to the Other Shore: Muslim and Western Travelers
in Search of Knowledge. Princeton University Press
Fananie, Zainuddin, Atiqa Sabardila, dan Dwi Purwanto. 2002. Radikalisme
Keagamaan dan Perubahan Sosial. Surakarta: Muhamamdiyah
University Press dan The Asia Foundation
Federspiel, Howard M. 1996. Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad
XX (terj). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Ghazali, Imam. 1994. Al Islam wa Al Muslim (terj). Surakarta: Fakultas Ushuludin
IAIN Walisongo
Hasan, Noorhaidi, Faith and Politics: the Rise of the Laskar Jihad in the Era of
Transition in Indonesia. Indonesia 73 (April 2002)
Hassan, Riaz. 2003. Faithlines: Muslim Conceptions of Islam and Society.
OxfordPakistan: University Press
Hafiluddin, 2001, dalam Lembaga Penelitian dan pengkajian Islam (LPPI): Bahaya
Islam Jama`ah, Lemkari, LDII. Jakarta
Hefner, Robert. 2001. Civil Islam (terj). Jakarta: ISAI
Headley, Stephen C. 2004. Durga`s Mosque: Cosmology, Conversion, and
Community in Central Javanese Islam. Singapura: Institute of Southeast
Asian Studies
Hisyam, Muhammad. 2001. Caught between Three Fires: the Javanesse Panghulu
Under the Dutch Colonial Administration 1882-1942. Jakarta: INIS
Hooker, MB. 2003. Islam Mazhab Indonesia: Fatwa-fatwa dan Perubahan Sosial
(terj). Jakarta: Teraju
Iskandar, Mohammad. 2001. Para Pengemban Amanah: Pergulatan Pemikiran Kiai
dan Ulama di Jawa Barat 1900-1950. Yogyakarta: Mata Bangsa
Jamhari dan Jahroni, Jajang (peny). 2004. Gerakan Salafi Radikal di Indonesia.
Jakarta: Rajawali Press
Kartodirdjo, Sartono. 1984. Pemberontakan Petani Banten 1888: Sebuah Studi Kasus
Mengenai Gerakan Sosial di Indonesia (terj). Jakarta: Pustaka Jaya
Kartodirdjo, Sartono. 2006. Sejak Indische sampai Indonesia. Jakarta. KOMPAS
Kemper, Theodore, 2001, A Structural Approach to Social Movement Emotions,

138
dalam Jeff Goodwin, James M. jasper, dan Francesca Polletta: Passionate Politics:
Emotions and Social Movements, hlm. 58-73.
Chicago dan London: The Univesity of Chicago Press
Kimball, Charles. 2003. Kala Agama Jadi Bencana (terj). Bandung: Mizan
Kuntowijoyo. 2002. Radikalisasi Petani: Esai-esai Sejarah. Yogyakarta: Bentang
Budaya
Lombard, Denys. 2005. Nusa Jawa: Silang Budaya (Bagian II: Jaringan Asia) (terj).
Jakarta: Gramedia dan Forum Jakarta-Paris.
Mahmood, Saba. 2005. Politics of Piety: The Islamic Revival and the Feminist Subject.
New Jersey: Princeton University Press
Maarif, Ahmad Syafii. 2006. Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara: Studi
tentang Perdebatan dalam Konstituante (edisi revisi). Jakarta: LP3ES Mudzakkir.
1999. Wahdatul Ummah. Surakarta: Ash Shiddiq
Mudzhar, Atho H.M. 1998. Pendekatan Studi Islam: Dalam Teori dan Praktek.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Maliki, Zainuddin. 1999. Penaklukan Negara Atas Rakyat: Studi Resistensi Petani
Berbasis Religio Politik Santri terhadap Negaranisasi. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press
Mulyadi, M. Hari dan Soedarmono (dkk). 1999. Runtuhnya Kekuasaan Kraton Alit:
Studi Radikalisasi Sosial “Wong Sala” dan Kerusuhan Mei 1998.
Surakarta: LPTP.
Noor, Deliar. 1985. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES
Nurhadiantomo. 2003. Malintegrasi Sosial “Pri” dan “Nonpri” dan Hukum Keadilan
Sosial. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Nitiprawiro, Wahono. 2000. Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis, dan
Isinya. Yogyakarta: LKiS.
SyamHenk, Nur. 2005. Islam Pesisir. Yogyakarta: LKiS
Maksum. 1999. Sejarah Madrasah di Indonesia. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Marty, Martin E dan R. Scott Appleby (ed). The Fundamentalism Project Vol. 4,
Accounting for Fundamentalism: The Dynamic
Character of Movements. Chicago-London: The University of
Chicago Press, 1994.
Prasetyo, Eko. 2003. Membela Agama Tuhan: Potret Gerakan Islam dalam Pusaran
Konflik Global. Yogyakarta: Insist Press
Philpott, Simon. 2003. Meruntuhkan Indonesia: Politik Postkolonial
dan Otoritarianisme (terj). Yogyakarta: LKiS
Qureshi, Emran and Michael A. Sells (ed). 2003. The New Crusades: Constructing the
Muslim Enemy. New York: Columbia University Press
Reynolds, Katherine dan Turner, John, 2001, Prejudices as a Groups Process: The Roel
of Social Identity, dalam Martha Augoustinos dan Katherina J. Reynolds:
Understanding Prejudice, Racism, and Social Conflict, hlm. 159-178.
Sage Publications

139
Roy, Olivier. 2005. Geneologi Islam Radikal (terj.). Yogyakarta: Genta Press
Samudra, Imam. 2004. Aku Melawan Teroris. Solo: Jazera,.
Sahib, Hikmatullah Babu, 2001, The Concept of Dawah bi `I-Hikmah and Its
Applications in Modern Society, Ridzuan Wu (ed), Reading in
Crosscultural Da`wah. Singapura: CRTDM
Saleh, Fauzan. 2004. Teologi Pembaharuan. Jakarta: Serambi
Scott, James C. 1990. Domination and the Arts of Resistance: Hidden Transcripts. New
Haven dan London: Yale University Press
Sjadzali, Munawir, 1995, Dari Lembah Kemiskinan, dalam Tim Editor 70 Tahun Prof.
Dr. H. Munawir Sjadzali, MA: Kontekstualisasi Ajaran Islam. Jakarta:
IPHI dan Paramadina.
Soedarmono. 2006. Mbak Mase: Pengusaha batik di Laweyan Solo Awal Abad 20.
Jakarta: Yayasan Warna Warni Indonesia
Stake, Robert E. 1994, Case Studies, dalam Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln
(eds): Handbook of Qualitative Research. London dan New Delhi: Sage
Publication
Sugiartoto, Agus Dody. 2003. Perencanaan Pembangunan Partisipatif Kota Solo.
Surakarta:IPGI
Sukidi, The Tavelling Idea of Islamic Protestantism: a Study of Iranian Luthers, dalam
Islam and Cristian-Muslim Relations, Vol. 16, No. 4, 401-412, Oktober
2005
Simmel, Georg. 1971. On Individuality and Social Forms. Chicago dan London: The
University of Chicago Press
Simmel, Georg. 1979. Sociology of Religion, translated from the German by Curt
Rosenthal. New York: Arno Press
Shiraishi, Takashi. 1997. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1612-1926
(terj). Jakarta: Grafiti
Tibi, Bassam. 2000. Ancaman Fundamentalisme: Rajut Islam Politik dan Kekacauan
Dunia Baru (terj). Yogyakarta: Tiara Wacana
Turmudi, Endang dan Riza Sahbudi (ed). 2005. Islam dan Radikalisme di Indonesia.
Jakarta: LIPI Press
Thoyibi, M. 1999. Menentang Arogansi Kekuasaan: Kasus Mega Bintang. Surakarta:
Muhammadiyah University Press
Ul Haq, Fajar Riza, 2004, Islam Popular dan Jebakan Otentisitas dalam Lanskap
Multikultural, dalam Zakiyuddin dan M. Thoyibi: Reinvensi Islam
Multikultural. Surakarta: PSB-PS
Woodward, Mark. 1999. Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan (terj).
Yogyakarta: LKiS
Wickham, Carrie Risefsky. 2002. Mobilizing Islam: Religion, Activism, and Political
Change in Egypt. New York: Colombia University Press.
Wiktorowicz, Quintan. 2001. The Management of Islamic Activism: Salafis, the Muslim
Brotherhood, and State Power in Jordan. State of University:
New York Press.

140
Zada, Khamami. 2000. Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di
Indonesia. Jakarta: Teraju

B. Skripsi, Tesis, Dokumen, Makalah, dan Artikel


Arief, Mochamad. 2001. Front Pemuda Islam Surakarta (FPIS) Dalam Telaah
Fenomenologi Agama. Skripsi Fakultas Agama Islam Universitas
Muhammadiyah Surakarta
Castle, Lance. Akhir Politik Aliran. HU KOMPAS, 9 Agustus 2004
Isman, Achmad Syauqi,dan Hamsun Imtihan. 2002. Anatomi Gerakan Organisasi
Islam di Surakarta. Naskah Karya Tulis Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Kholis, Nur. 2001. Pengajian Yayasan Majelis Tafsir Al Quran (MTA) di Desa
Semanggi Pasar Kliwon Surakarta Tahun 2000/2001: Studi Motivasi
Warga/Peserta. Skripsi Fakultas Agama Islam UMS
Kusumawati, Ike. Pengaruh Pengajian terhadap Etos Kerja Peserta: Studi Kasus
Yayasan Majelis Tafsir Al Quran di Desa Makamhaji Cabang Kartasura
Surakarta. Skripsi Fakultas Agama Islam UMS, 2003
Kuntowijoyo. 1999. Pengembangan Kota Sala: Pendekatan Sosial-Budaya dan Sejarah.
Makalah dalam Seminar “Rekonsiliasi dan Konservasi Kota Sala:
Wacana Arsitektur & Seni-Budaya Pasca Kerusuhan”, Solo Heritage
Society.
Mahmud, Amir. 2003. Konsep Jihad Menurut Pondok Pesantren “Al Mukmin”
Ngruki-Surakarta. Tesis Magister Studi Islam Pascasarjana Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Nashier, Sulthan M. 1992. Negara, Ulama, dan Gerakan Pembaharuan Islam:
Latarbelakang Muncul Gerakan Al Islam di Surakarta Pada Tahun 1926-
1930. Skripsi Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada.
Nursalim, Muhammad. 2001. Faksi Abdullah Sungkar dalam Gerakan NII Era Orde
Baru: Studi terhadap Pemikiran dan Harakah Politik Abdullah Sungkar.
Tesis Program Pascsarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Soedarmono. 1999. Islam: Kekuatan Tandingan Yang Terpinggirkan. Makalah dalam
Seminar “Rekonsiliasi dan Konservasi Kota Sala: Wacana Arsitektur &
Seni-Budaya Pasca Kerusuhan”, Solo Heritage Society.
Susanti, Eva. 2002. Jihad dalam Pemikiran Hizbullah Divisi Sunan Bonang. Skripsi
Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta
Thahir, Mudjahirin. Agama Bukan Hanya Untung-Rugi. Wawancara Suara Merdeka,
10 November 2002
Widianto, Tjahjono. Kesenian Tradisi dan Konflik Budaya. HU KOMPAS, 30 Januari
2003.
Yusron, Mohammad. 2002. Front Pemuda Islam Surakarta: Kajian Historis dan
Doktrin. Tesis Magister Studi Islam Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Surakarta

141
BAPEDA dan Badan Pengelola Statistik Surakarta. Surakarta dalam Angka 2000 dan
Surakarta dalam Angka 2002.
KOMPAS. 2004. Peta Politik Pemilihan Umum 1999-2004. Jakarta:
Laporan Penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Departemen Agama.
1982. Potensi Lembaga Sosial Keagamaan Seri IV (Al Islam). .
Pemerintah Kota Surakarta. Strategi Pembangunan Kota Surakarta. 2003.
Al Islam; Terjadinya Jamaah Al Islam dengan Hijrah, Masjid, Tajdid, Idzharul Islam.
1994
Sejarah Perkembangan Perguruan “Al Islam” Surakarta, Cetakan ke I 200, 30-5-76,
jilid 1 dan 2.
Yayasan Perguruan Al Islam (YPI): Idea dan Khittah Al Islam. tt. Jabir.
Catatan Harian (Diary)

C. Media Cetak dan Elektronik


HU KOMPAS : 9 Pebruari 2002, 12 Pebruari 2002
19 Pebruari 2002, 8 Maret 2004

HU Koran TEMPO : 6 April 2004

HU Pikiran Rakyat

HU Republika : 9 Agustus 2006

HU Suara Merdeka : 25 Maret 2003 , 19 Oktober 2005

Majalah GATRA : No. 33 Tahun X edisi 3 Juli 2004,


No. 39 Tahun XI edisi 13 Agustus 2005
No. 31 Tahun XII edisi 21 Juni 2006

Majalah Sabili : No.4 Th.XI 11 September 2003/14 Rajab 1424

Majalah Suara Front www. detik.com


: 27 April 2004
www. Surakarta.go.id www.fiskal.depkeu.go.id
www. sukweb.selangor.gov.my/mufti/Istinbat/.../Ajaran Islam Jamaah.htm

142

Anda mungkin juga menyukai