Oleh:
Muta Ali Arauf, M. A.
ii
Pernyataan
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Islam dan
Gerakan Sosial: Studi Atas Gerakan Jamaah Al Islam Gumuk Surakarta”
adalah benar-benar karya saya sendiri kecuali rujukan-rujukan dan atau
kutifan-kutifan yang telah disebutkan sumber maupun asalnya di dalam
karya ini, baik langsung maupun tidak.
ttd
konsentrasi apalagi mengerjakan tugas kuliah akhir berupa penelitian tesis. Tidak salah
banyak orang menganggap bahwa orang yang menempuh studi S2 ibarat bertapa untuk
tertentu. Dengan kata lain, meluangkan waktu semaksimal mungkin untuk menguliti
pelbagai sumber serta melarutkan diri dalam banyak berdiskusi. Nah, penulis merasa
tidak seberuntung itu. Keterbatasan kondisi telah memaksa penulis untuk mengatur
waktu dan berbagi kesempatan agar bisa menjalani dua hal secara bersama, sekolah dan
bekerja.
Hanya dengan kesempatan dan kepercayaan yang telah diberikan pelbagai pihak,
akhirnya penulis bisa menikmati sekaligus menyelesaikan studi di Program Studi Agama
dan Lintas Budaya (Center for Religious and Cross Cultural Studies), Universitas Gadjah
Mada. Untuk ini, saya berterimakasih kepada Prof.Dr. Irwan Abdullah atas bimbingan
dan pengertiannya, Prof. Dr. A. Mursyidi dan Dr. Zaenal Abidin Bagir yang memberikan
perpustakaan CRCS (Mas Agus, Mbk Rini, dkk) yang setia membantu dan direpotkan
iv
hari terasa ringan. Terimakasih untuk Mbak Yayah Khisbiyah, Pak Thoyibi, Pak Fattah,
Pak Musyiam, Pak Aly, Bang Zaky, Almun, Dwi, serta Farid atas semua pengertiannya
yang begitu dalam serta suasana kekeluargaan yang kalian berikan. Saat-saat
”mengkorupsi” waktu kerja di MAARIF Institute for Culture and Humanity, Jakarta.
Terimakasih untuk Toni, Endang, Joko, Supri, dan Heni yang telah menciptakan
Lebih dari itu, tanpa dukungan dan bantuan yang tulus dari Mas Mirza dan Abu
Fauzan di Pasar Kliwon-Solo belum tentu penelitian ini bisa selesai. Merekalah yang
membuat studi sederhana ini menemukan kaki. Saya juga menyampaikan apresiasi
memberikan koreksi dan masukan penting agar hasil penelitian sederhana ini menjadi
lebih baik dan akurat. Tak lupa, hormat penulis untuk Buya Syafii Maarif yang tiada
Meskipun sudah dinyatakan lulus awal September 2006 namun penulis baru
bisa mengurus kelulusan di Pebruari 2008 ini. Hanya kemalasan yang bisa menjadi
alasan! Inilah kado kadeudeuh untuk Nurul Mazidah dan Shabira (”Shebi”) Ardhina
Pinandita, istri dan baby mungil kami, yang selalu tegar. Atas permintaan kalianlah,
penulis rela hilir mudik Jakarta-Solo-Yogyakarta agar semuanya bisa cepat selesai.
Yang tak mungkin dilupakan, Papih & Mamih di Sukabumi dan Bapak & Ibu di Lasem.
Semoga doa dan restu kalian membuat jalan kami terasa mudah. Amien.
v
ABSTRAKSI
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis peran gerakan Islam yang meyakini
Islam sebagai ideologi dalam proses perubahan sosial di Surakarta dengan mengambil
Jamaah “Al Islam“ Gumuk (JAIG) sebagai fokus studi. Jamaah Al Islam Gumuk
menarik untuk dikaji karena telah memainkan peran-peran menentukan dalam
mengkondisikan dan memobilisasi gerakan-gerakan perjuangan aspirasi dan solidaritas
umat Islam, baik dalam bentuk penggalangan gerakan kelaskaran maupun aksi-aksi
keumatan seperti demonstrasi dan sweeping.
Analisis dalam penelitian ini bersifat kualitatif dengan menggunakan
wawancara mendalam terhadap informan, baik primer dan sekunder, sebagai metode
pengambilan data primer. Informan primer dipilih secara acak berdasarkan
keterwakilan unsur anggota dan pimpinan jamaah dengan menggunakan teknik
wawancara tidak terstruktur dan terbuka. Informan sekunder adalah mereka yang
mempunyai pengalaman mengikuti pengajian Jamaah Al Islam Gumuk setiap pagi hari
ataupun yang memiliki informasi yang berkaitan, baik secara langsung maupun tidak,
dengan profil dan aktivitas JAIG. Dokumen, transkrip ceramah, hasil penelitian,
kepustakaan serta informasi lisan terkait merupakan sumber lain untuk melengkapi,
memvalidasi, serta memperkaya data.
Jamaah Al Islam Gumuk dibangun dan dikembangkan oleh Ustad Mudzakkir
pada tahun 1977 yang sebelumnya dirintis oleh kakeknya, Kyai Abdul Manaf Shiddiq
sekitar tahun 1927. Kemunculan gerakan jamaah ini tidak bisa dilepaskan, baik secara
historis maupun ideologis, dengan dinamika gerakan Jamaah Al Islam yang didirikan
Kyai Imam Ghazali tahun 1927 sebagai hasil Musyawarah Ulama independen di
Surakarta, termasuk Kyai Shiddiq ikut terlibat sebagai salah seorang deklaratornya.
Secara sosiologis, gerakan JAIG merupakan antitesis terhadap sistem kepartaian dalam
memperjuangkan ideologi Al Islam di dalam sistem kenegaraan yang sudah terbangun.
Ini merupakan respon sosiologis sekaligus siasat menghadapi rejim politik Orde Baru
yang bersikap konfrontatif terhadap gerakan Islam politik.
Tirani politik Orde Baru telah menimbulkan keresahan, penindasan berupa
pemberangusan ideologi Islam politik, dan gejolak sosial-politik. Pada saat yang sama,
konstalasi politik global memicu ketidakpuasan bahkan kemarahan di kalangan yang
diasosisasikan sebagai fundamentalis dan radikal. Banyak kelompok jamaah
mengalami ketertekanan luar biasa, secara ideologis, psikis, serta fisik. Dalam kondisi
tersebut, JAIG membangun basis dan memperkuat proses diseminasi ideologi Al Islam
melalui institusi keagamaan mesjid, pengajian, madrasah, pesantren, dan kelaskaran.
Arena-arena ini mencerminkan konteks mikro sebuah gerakan Islam.
Institusi keagamaan tersebut berfungsi tidak hanya sebagai rumah inkubasi
ideologis namun juga merupakan alat artikulasi kesadaran politik untuk menyuarakan
protes, perlawanan, dan solidaritas. Pengajian dan kelaskaran merupakan dua institusi
kaderisasi yang tidak terpisahkan karena masing-masing institusi memainkan peran
mengkondisikan stakeholders jamaah untuk mobilisasi sosial. Doktrin, konteks
struktural, dan kepemimpinan merupakan faktor utama yang mentransformasikan
institusi keagamaan ke dalam konteks makro sosial-politik bangsa yang kompleks.
vi
Thesis`Summary
The focus of this study is examining the role of Islam as an ideology in social
religious beliefs before they are mobilized into the public sphere. The micro-context
Islam is a changing form of the political Islamic ideology in recent times. The
research will look into a case of religious transformation which publicized religious
values and mobilized it politically through religious institution. The research regards
the political Islam of jamaah movements keep another model of social movement.
In addition, the rise of the political Islamic movements after the fall of the
Islam, meaning Darul Islam and Masyumi Party, and transnational Islamic ideology
expansions such as Wahhabi-Salafism and the Muslim Brotherhood, are the root and
by Muhammadiyah and NU. Robert Hefner (2000) named both organizations as the
vii
main potential powers of civil Islam and having a significant role to play for future
democracy in Indonesia.
The root of the political Islamic ideology is a credo of Shari a as the only
solution. In his essay, “The Roots of Muslim Rage”, Lewis identified political Islam
as “perhaps irrational but surely historic reaction of an ancient rival against our
Judeo-Christian heritage, our secular present and the worldwide importance of both”
(in Qureshi and A. Sells, 2003: 5). He used the terms of “Judeo-Christian” and
expression of “our secular present” to construct Islam as a common enemy for the
West. Samuel Huntington has advised to the West for defeating the political Islamic
the Western.
Unlike Lewis and Huntington, Bassam Tibi supposed that the basic reason
why the clash between the West and Islam does is about role-plays competition in
the world (Tibi, 2000: 26). Therefore, Tibi`s thesis has notified the battle between
the political Islam ideology either on behalf Pan Islamism or khilafah (Islamic
imperial through a Caliphate) and the Western universalism. At the same time,
market capitalism ideology hegemony that operates through politics and economy
policies has advantaging the have countries, particularly America and numerous
European countries.
globalization has created a gap between the North and South countries.
viii
Nevertheless, dark side of globalization have less largely examined among world
However, Tariq Ali (2002) tried to prove the global threatens is not merely the clash
of civilizations and jealous role-play but the clash of market fundamentalism and
ideology has been seen producing the darkness effect of socially modern pathology
dependent. Facing those socially problems, presenting religious struggle is not only
in society. For that reason, the rise of radical groups that is mainly constructed by
injustice. Refer to this concept, perhaps, it help us to understand Ali`s thesis. Ali
development are the most important origins of the wake up Darul Islam ideology
Mujahidin Indonesia (MMI), Laskar Jihad, Front Pembela Islam, dan Front
Pembela Islam Surakarta. Doctrine is not the only one grounds provoking religious
ix
resistance. Therefore, social alienation that affected marginality and political
In fact, there are few radical Islam research departures from micro context
However, Irwan Abdullah (1994) in his research showed us that religious gathering
is linked to Jamaah Al Islam Gumuk`s role as a type of the political Islam and it
The political Islam mapping that in general named by Olivier Roy (2005) as
Jahroni, 2004: 37). Sartono Kartodirdjo`s peasant rebellion study (1984) in Banten,
Carrie Risefsky Wickham (2002) and Quintan Wiktorowicz (2001)`s salafi and
brotherhood study in Egypt dan Jordan, and Noorhaidi (2002) Eko Prasetyo`s Laskar
Jihad research (2003) are part of small number of Islamic movements studies prior
explanation, “social movements are socially shared activities and beliefs directed
toward the demand for change in some aspect of the social order. To the narrow: A
social movement is a formally organized group that acts consciously and with some
x
continuity to promote or resist change through collective action” (Williams in Marty
that this research can make a significant contribution to understanding this topic by
social movement approach on religious groups such as radical Islam would become
relevant and important. It is relevant because global injustice and political system
always misunderstood.
primary data. Religious leader and some member of Jamaah Al Islam will interview
complement the data. The transcript refers to daily religious gathering every
allowed following this forum without special qualification. Then, both data will
The locus of the research is Surakarta. The city is the heart of Central Java.
xi
The city has long history related to resistance, protest, and radical movements.
Recently, Surakarta is one of the Indonesian cities have strong relation with some
connection with some religious groups in this city. In particular, after the second
bomb Bali attack October 1, 2005. In addition, Sidney Jones’s interview with Tempo
it has many religious groups and various religious movements. Among of them is
Islam Gumuk, Jamaah Al Islam Penumping, and Forum Pengajian Pasar Kliwon.
They have strong influence socially and politically in Surakarta, particularly Muslim
society. Each other has loyal followers full committment to their own respectable
leaders. These religious groups have power to mobilize their religious audiens to
promote and struggle for certain objectives. To some extent, many radical Islam
stakeholders.
Focus of the study is Jamaah Al Islam Gumuk for several reasons. Firstly,
Jamaah Al Islam Gumuk is more often expossed by mass media than others religious
more protective than others, particularly Forum Pengajian Pasar Kliwon and
Majelis Tafsir Al Quran. Thirdly, the number of radical Islam movement activists
xii
have studied at Jamaah Al Islam Gumuk. Some local religious leaders and also many
members of Front Pembela Islam Surakarta (FPIS) are coming from Jamaah Al
had close relationship with some leading stakeholders of radical Islam such as
Abdullah Sungkar and Abu Bakar Ba`asyir. Jamaah Al Islam Gumuk formally
Mangkubumen is located in the central city and sorrounded by many public service
buildings. The Jamaah has many religious institution as a home for disseminating
movements ideology.
Ust. Mudzakkir as the top leader what we called it “amir“ with his collegues
had developing dailly religious gathering in the mosque, Al Islam boarding school
(Ma`had Al Islam) in front of the Mosque, and Islamic primary school of Al Islam
(madrasah Al Islam). They also creates paramilitery groups what they called
public sphere. In general, the study has similarities with previous studies that
or anthropology perspectives.
Chapter two explains profile and social structure of Surakarta as the stage.
xiii
the New Order political authoritarian had restrained the political Islam oppression.
In same time, global politics order has been aggravating hatred as well as angry
pressured much harder than official religious organizations like Muhammadiyah and
NU. It is the most social influential as Turner called it social influence that explains
connectivity social system relations, individual attitudes, and collective action (in
refer to the raise Jamaah Al Islam movements in early twenty century. Jamaah Al
Islam was established by leading local religious leaders such as Kyai Imam
Ghazali bin Hasan Ustad, Kyai Abu `Ammar, KH. Abdussomad, K. Abdul Manaf
Siddiq, KH. Mufti Salimin, KH. M. In`am, KH. Husnan, KH. Khurmen, Kyai
and Muhammadiyah conflict that stand for each one religious fanatics. In fact,
Jamaah Al Islam was lead by Kyai Imam Ghazali in 1927 during it declared in
Islam has central role for years among local religious movements and recognized as
the respectable religious groups. However, Jamaah Al Islam had going down after
xiv
Additionally, in 1977, Ustad Mudzakkir had initiated daily religious
by Kyai Abdul Manaf Siddiq (Mujahid in Ghazali, 1994: 1) who supported Kyai
Al Islam for struggle Islam as the only one ideology. If we compare to previous
jamaah, the Jamaah Al Islam in Gumuk has similarities even encounter goals with
Kyai Ghazali uphold. Both beliefs “Al Islam” as the truly ideology automatically
avoid any other ideology. Mudzakkir is the most influential leaders of Jamaah Al
loyality (thaat). Accordingly, both jamaah and imamah are principal and core of
Islam (Mudzakkir, 1999; Ghazali, 1994; Al Islam, 1994; Abas, 2005). Through the
among Muslim. The idea of Muslim unity proposed to eliminate fanaticism and
its negative impact, mainly fanaticism and clash within Muslim people. In line with
xv
this, Islamic party is not the best means in struggling Muslim voices. However,
mainstream views that mostly did not devote religious piety totally and resist to state
political system because it has not Islamic leadership. The ideology postulated Al
Islam as dakwah and jihad. Both are the creed of the political Islam paradigms. Both
the warrior has strong close connection with hijrah tradition that decode in act of
mobility.
strategy is the way formed by Jamaah Al Islam Gumuk to hide it identity and
movements itself. It is other side of Muslim strategy facing the New Order during
school, Islamic boarding school, and paramilitary are not only home base of
xvi
ideology but also apparatus of political consciousness in articulating solidarity,
protest, and resistance. These institutions and informal network are social modal as
well as provide for Jamaah Al Islam movements. Religious leaders and social
coordination.
Jamaah Al Islam Gumuk has two religious gathering that are general and
special gatherings. Both religious gathering are the most important resources of
it members (1994: 93). Besides religious gathering, mosque and primary Islamic
Mosque is not only place of worship such as praying but also base home for
state and religion. The mosque is the place of knowledge transmission and base
home for political consciousness transformation (Mahmood, 2005: 44) and political
consciousness building (Maliki, 1999: 112). Al Abror Mosque is the central place
Madrasah Al Islam. This institution has not adopted national curricula system that
caused by political view of Jamaah Al Islam. They have resisted the state policy, in
xvii
(Dirdjosanjoto, 1999: 170). Jamaah Al Islam also has non formal institution to
support religious gathering forum, that are Pesantren Al Islam (Al Islam boarding
like general election and representative council. Jamaah Al Islam Gumuk denied
political party as the way of struggle. Jamaah movement is antithesis. They believed
between ideology, jamaah, and structural context. In decade 1970, the politics Islam
struggle was under pressure and controlled by state. The state domesticated the
politics Islam movement and put down radical spirit of Islam. However, almost
Islamic activisms removed their strategy into jamaah or usrah as a core of Islamic
state. The rise of Jamaah Al Islam Gumuk is part of the politics Islam transform
from political party to Islamic community. The way provided social and political
The weakness law enforcement and political uncertainty fired up the politics
Islam renewal. In the eyes of the politics Islam activism, Islam should be
xviii
performance radical through paramilitary groups (Fananie, 2002: 32). Said Amir
conditioned religious action (1993: 2). Jamaah Al Islam Gumuk has structured it
communal fanatics and syncretism. Al Islam abolished the other ideology behind it.
issues lacking official politics system. Islamic activism has to social responsible. It
Thirdly, piety, heroism, and anonymity. In the eyes Jamaah Al Islam Gumuk,
piety is total devotion to Allah and His messenger in way of loyal commitment to
the one charismatic leader for gain truly Islamic society. The piety is ideological
expresses that never allow separation between religion and state. The piety inquires
xix
Therefore, it can understand if Jamaah Al Islam Gumuk associated Al Islam
beliefs, any disregard action to the dakwah and jihad is rejecting to Al Islam itself.
So, this jamaah judged everyone who reject jihad meaning in toto including battle
and kill as hypocrite. Jihad spirit is disseminating through religious gathering and
Jihad calls for every Muslim to prepare being religious warrior totally
(mujahadah) because dakwah need willing to face of enemy. The warrior spirit is
emotion. According to Kartodirjo (1985: 160), jihad as the holy war doctrine against
the other is necessarily beliefs in Muslim society when suffering arise. It is regard
her identified every Muslim do jihad (Mujahid) is type of mobile Muslim at home or
Islam`s members have to hide their profile as Scott called anonymous (1990:140).
concept of Hijrah linked to the way movements. The brand of Jamaah Al Islam is
The name of Jamaah Al Islam is sign of universal Islam in the eyes of members of
xx
Fourthly, paramilitary and the enemy objectivity. Paramilitary is form of
jihad. As the result, Laskar Khawari is set up for actualizing jihad and dakwah.
The warrior and the enemy relation produced the other images what called
gathering participant who decided to fuse in the one religious identity and emotion.
The study explains that emotion such as angry, fear, hatred, and love are dominance
xxi
religious emotion. Jamaah Al Islam Gumuk represented local portrayed from the
social fact. Power struggle is key to explain reproducing and regenerating process
among jamaah movements. The rise of the jamaah is not only sociological critics
but also address internally political battle to gain religious authority and power. This
and movements in Surakarta. Central role of charismatic leader and internal conflict
are sociological factors that caused fragility, splint, and breakdown in the jamaah.
Therefore, absolute ideology, fanaticism, strict leadership, and exclusive system are
activism elites. In many cases, family circle dan teacher-student linking are two
succession is critical phase regarding conflict and power struggle among family and
student previous leader. Regeneration is diversity process searching for form and
leadership but political purity and remaking spot of authority and power.
xxii
Islam Gumuk is performing Islam as discursive power. As the result, the leadership
of Jamaah Al Islam is discursive leadership by far creates myth sounding it. Piety is
Approved by
Guy Brown
xxiii
DAFTAR ISI
Bab I PENDAHULUAN 1
A. Latarbelakang ………………………………………………………. 1
B. Permasalahan ………………………………………………………. 5
C. Tujuan ……………………………………………………………… 7
D. Kerangka Teori dan Konsep ……………………………………….. 7
E. Metode Penelitian …………………………………………………... 13
F. Sistematika Penulisan …………………………………………….. 18
A. Latarbelakang
“Surakarta sebagai arena tetap saja strategis bagi tujuan kita karena
kota itu adalah satu-satunya pusat pergerakan di mana semua
kekuatan sosial – pengeran dan bangsawan Jawa, pegawai
bumiputra, borjuasi bumiputra, intelektual bumi Putra yang
berpendidikan Barat, orang-orang Islam dengan pendidikan
pesantren, tukang buruh, tani, orang Indo, Cina, pegawai
administrasi Belanda, dan pengelola perkebunan Belanda -
bergabung dalam pergerakan atau menjadi musuhnya” (Shiraishi,
1997: XVI).
salah satu variabel dinamika Islam di Indonesia. Martin van Bruinessen (2002)
dan Partai Masyumi, serta penetrasi ideologi Islam transnasional seperti Wahabi-
Salafi dan Ihkwanul Muslim merupakan akar sekaligus pemicu suburnya gerakan-
gerakan Islam radikal pasca Soeharto. Pada tingkat tertentu, kehadiran kelompok-
kelompok Islam radikal tersebut, baik yang memiliki struktur organisasi dan
AD/ART yang jelas maupun tidak (organisasi tanpa bentuk), telah menginterupsi
kekuatan utama sipil Islam yang berperan penting bahkan menentukan masa depan
demokrasi di Indonesia. Pada satu sisi, konstruksi politik Orde Baru telah
1
“moderat”, serta “demokratis” (Lounela dalam Prasetyo, 2003: iv). Namun pada sisi
lain, tidak sedikit pihak yang merasa kecewa dengan hasil kiprah kedua organisasi
Bakar Ba`asyir:
ideologi Islam politik. Cita-cita ideologi Islam politik inilah yang ditengarai sebagai
Hungtinton.
politik dengan ungkapan, “the perhaps irrational but surely historic reaction of an
ancient rival against our Judeo-Christian heritage, our secular present and the
worldwide importance of both” (Qureshi dan A. Sells, 2003: 5). Lewis secara
present” untuk mengkonstruksi Islam sebagai musuh bersama Barat. Lebih jauh,
Huntington menyampaikan anjuran pada pihak Barat untuk bersikap keras terhadap
“We should cooperate with those civilizations that are less inimical
to us. But in the face of inherently hostile civilization like Islam, we
2
should adopt a posture that treats Islam as the enemy it is. We
should maintain a strong defense: we should limit its military treat,
maintain our own military superiority over it, and, exploit the
interior differences and conflicts among
Confusian and Islamic states” (ibid.:13)
Berbeda dengan Lewis dan Huntington, Bassam Tibi (2000: 26) melihat
alasan mendasar mengapa harus terjadi benturan (clash) antara Barat dan Islam
adalah problem kompetisi peran dalam pentas dunia. Dengan ungkapan lain,
globalisasi yang lahir dari revolusi teknologi Barat mendaulat peran dominatif Barat
dibanding Islam. Sampai disini, tesis Tibi baru sampai meraba kehadiran rivalitas
ideologi Islam politik, baik atas nama Pan Islamisme maupun ideologi khilafah,
dengan universalisme Barat. Pada saat yang sama, hegemoni ideologi kapitalisme
negara maju, khususnya Amerika dan beberapa negara Eropa serta Asia.
kawasan Utara dan Selatan. Sisi gelap globalisasi (Stiglitz, 2002) tersebut, atau
serius terhadap peradaban global. Opini yang dibentuk adalah fundamentalisme dan
radikalisme tidak sebangun dengan nilai-nilai kemanusian, tidak toleran, dan identik
dengan kekerasan.
3
Dengan perspektif berbeda, Tariq Ali (2002) berusaha meyakinkan kita
(Tibi, 2000), dan kotak pandora globalisasi ekonomi (Stiglizt, 2002), tetapi adalah
pasar dan fundamentalisme agama. Tesis Ali bersandar pada pemikiran bahwa
disulut oleh faktor fundamentalisme pasar, diskursus anti Barat dari imajinasi Perang
Salib, dan peminggiran Islam politik oleh satu rejim (Ali, 2002; Hasan, 2002).
4
Komunikasi Ahlus Sunnah Wal Jama`ah (FKAWJ). Menurut Noorhaidi, dengan
mengkombinasikan konsep jihad dan dakwah, gerakan yang dipimpin Ja`far Umar
Thalib ini telah meletakkan fondasi perlawanan terhadap globalisasi melalui usaha-
(2002: 167). Kemunculan Laskar Jihad, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front
Pembela Islam (FPI, Jakarta), dan Front Pembela Islam Surakarta (FPIS) sangat
Islam dalam bentuk marginalisasi politik dan pembangunan ekonomi yang tidak
perlawanan terhadap suatu realitas tertentu yang diidentifikasi sebagai musuh. Pada
konteks kajian ini, gerakan Islam politik merupakan refleksi sosiologis yang bersifat
B. Permasalahan
Kajian gerakan Islam politik merupakan salah satu isu yang menyedot
perhatian banyak pihak pasca tragedi 11 September 2001. Pada satu sisi, studi
mengenai gerakan Islam politik tersebut didominasi oleh sudut pandang politik yang
menempatkan Islam politik sebagai ancaman, senada dengan Huntington dan Lewis.
5
Lebih jauh, ideologi Islam politik diyakini memiliki hubungan saling mempengaruhi
(Batley, 2003; Nasir Abas, 2005). Pada sisi lain, studi fenomena gerakan Islam
dan politik belum banyak mendapat sorotan padahal ini sangat penting dilakukan
sebagai gejala gerakan sosial. Pada konteks ini, tidak banyak kajian gerakan
keagamaan radikal yang berangkat dari konteks mikro yang menjadi akar sekaligus
basis mobilisasi sosial bagi sebuah gerakan reformasi keagamaan, yaitu gerakan
jamaah (jamaah pengajian dan majelis taklim) seperti ditunjukan Abdullah (1994)
dalam studinya di Jatinom, Klaten. Padahal gerakan jamaah adalah jangkar serta
medan transformasi bagi setiap gerakan Islam politik. Hal lain yang belum banyak
mendapat fokus kajian adalah relasi antara gerakan jamaah dan konteks struktural
gerakan.
rumusan masalah:
konteks sosial?
6
2. Bagaimana proses dan peran institusi keagamaan gerakan jamaah seperti
jamaah?
C. Tujuan
(Headley, 2005: 428). Tidak mengherankan jika Surakarta adalah lahan subur bagi
(NDM).
7
Beberapa majelis taklim yang memainkan peran penting di tingkat lokal
adalah Majelis Tafsir al Qur’an (MTA), Majelis Taklim Jamaah Gumuk, Majelis
Taklim Jamaah Penumping. Terdapat pula beberapa pondok pesantren yang menjadi
dengan studi ini perlu diketahui untuk mengetahui posisi kajian ini.
dalam Gerakan NII Era Orde Baru: Studi terhadap Pemikiran dan Harakah Politik
Abdullah Sungkar. Ini merupakan studi terhadap gerakan jamaah yang dibangun
Abdullah Sungkar pada masa Orde Baru dengan memfokuskan pada kajian
Islam politik. Abdullah Sungkar bersama sahabat karibnya, Abu Bakar Ba`asyir,
sangat mengidolakan lahirnya Negara Islam Indonesia (NII). Yang menonjol dari
yang tumbuh subur di masa transisi, dari Orde Baru ke Orde Reformasi. Fokus
8
keagamaan seperti Front Pembela Islam Surakarta (FPIS), Laskar Hizbullah, Laskar
Jundullah, dan Majelis Taklim Al Islah dalam proses perubahan sosial, khsusunya
di Surakarta.
Ketiga, studi Mochamad Arif (2001) dengan judul ”Front Pemuda Islam
(2002) yang meneliti FPIS dengan menekankan pada kajian sejarah dan doktrin.
Arif namun lebih menekankan aspek kajian historis dan doktrin FPIS. Menurutnya,
Keempat, studi Amir Mahmud (2003) yang berjudul “Konsep Jihad Menurut
Pondok Pesantren “Al Mukmin” Ngruki-Surakarta. Menurut kajian ini, jihad adalah
potensi untuk meraih ilmu sebagai alat memperjuangkan kebenaran Islam. Jihad
Keagamaaan (KRK) disamping FPIS. Konsep Jihad menurut laskar ini adalah
9
menegakkan hukum Islam. Jihad tidak hanya berlaku dalam keadaan perang namun
Pengajian terhadap Etos Kerja Peserta: Studi Kasus Yayasan Majelis Tafsir Al
Quran di Desa Makamhaji Cabang Kartasura Surakarta. MTA adalah salah satu
organisasi sosial keagamaan yang berdiri di Solo pada tahun 1970-an dan sekarang
memiliki cabang di berbagai daerah dengan anggota yang terus meningkat. Kedua
studi ini mengkaji fenomena Majelis Tafsir Al Quran (MTA) yang visi
peningkatan motivasi dan etos kerja anggotanya (jamaah), baik yang mengikuti
Studi dinamika Islam yang beranjak pada konteks mikro seperti tercermin
setiap ranah selalu memunculkan diferensiasi pada konteks lokal. Penelitian PPIM
politik, yaitu sebagai gerakan keagamaan, gerakan politik, dan gerakan budaya.
secara kuat oleh teologi salafi, seperti FKAWJ. Gerakan politik merupakan gerakan
yang memperjuangkan isu-isu dan kepentingan politik umat Islam melalui strategi
10
politik seperti yang dilakukan MMI. Adapun upaya Komite Penegakan Syariah
daerah dikatagorikan sebagai gerakan budaya (Jamhari dan Jahroni, 2004: 37-44).
yang meletakkan Islam politik dalam kerangka analisis gerakan sosial sudah dirintis
Banten, Carrie Risefsky Wickham (2002) dan Quintan Wiktorowicz (2001) yang
mengamati gerakan Salafi dan Ikhwanul Muslim di Mesir dan Yordania, serta
Noorhaidi Hasan (2002) dan Eko Prasetyo (2003) yang mengkaji Laskar Jihad
jamaah sebagai basis analisisnya. Dalam teori klasik, gerakan sosial (social
tempat tersendiri dalam teori sosial. Dalam perdebatan mutaakhir, gerakan sosial
selalu dihadapkan dengan teori gerakan sosial baru (new social movement).
Kehadiran teori terakhir ini dianggap merevisi teori yang pertama karena membawa
meski asumsi ini ditolak keras kalangan pendukung teori gerakan sosial.
11
“Social movements are socially shared activities and beliefs directed toward
the demand for change in some aspect of the social order. To the narrow: A
social movement is a formally organized group that acts consciously and
with some continuity to promote or resist change through collective action”
(dalam Marty dan Appleby, 1994, 786)
sadar, kontinyu, dan kolektif terhadap beberapa aspek tertentu dalam tata sosial yang
ada. Meyer dan Staggenborg, secara spesifik, mendefinisikan gerakan sosial sebagai
gerakan yang menantang atau melawan institusi negara, dimana ia terlibat dalam
proses interaksi antara gerakan-gerakan oposisi dan perubahan sosial itu sendiri
gerakan jamaah tidak hanya berhubungan dengan aparatus negara namun juga
agenda-agenda maupun isu-isu sosial yang terkait dengan kepentingan dan hak
publik warga. Dengan kerangka ini, gerakan jamaah mempunyai kekuatan untuk
(subpolitics), atau dalam bahasa lain dikenal sebagai gerakan politik non parlemen
(1994: 22). Konsepsi politik dalam terma “Islam politik” disini merujuk pada
postulasi bahwa Islam tidak hanya sebagai agama namun juga adalah ideologi
gerakan (mabda) yang harus diperjuangkan secara total (kaffah). Dalam ungkapan
12
lain, gerakan Islam politik adalah kelompok ataupun gerakan yang meyakini Islam
adalah agama dan Negara serta Al Quran dan pedang. Secara substansial, ideologi
Islam politik ini sebangun dengan apa yang disebut Roy (2005) sebagai
E. Metode Penelitian
a. Metodologi
model keberagamaan yang kaya (Headley, 2005: 428). Surakarta merupakan lahan
subur bagi penyemaian gerakan-gerakan jamaah ataupun majelis taklim dan pondok
(NDM). Beberapa majelis taklim yang memainkan peran penting adalah Majelis
Tafsir al Qur’an (MTA), Majelis Taklim Jamaah “Al Islam“ Gumuk, Majelis Taklim
Jamaah Penumping. Terdapat pula beberapa pondok pesantren yang menjadi pusat
Fokus studi ini adalah mengkaji transformasi ideologi “Al Islam“ yang
13
JIM - telah berperan signifikan dalam menumbuhkembangkan ideologi “Al Islam“
yang memperjuangkan aspirasi dan isu-isu solidaritas umat Islam, baik dalam bentuk
Dilihat dari obyek kajiannya, penelitian ini merupakan studi kasus (Stake
dalam Denzin dan Lincon, 1994: 237). Sebagai studi kasus, analisis dalam penelitian
sebagai metode pengambilan data primer (Mudzhar, 1998: 72). Informan dipilih
secara acak berdasarkan keterwakilan unsur anggota dan pimpinan jamaah dengan
profil, aktivitas, paham keagamaan, respon dan sikap Jamaah “Al Islam” Gumuk
(JAIG) terhadap permasalahan sosial dan politik, serta pandangan pihak luar
dan informan sekunder. Yang dimaksud informan primer adalah mereka yang
anggota maupun pimpinan jamaah, yakni Abu Fauzan, Warsito Adnan, dan Ust.
Chalid Hassan. Pemilihan ketiga informan primer ini berdasarkan akses jaringan
yang ada dan keterwakilan masing-masing informan. Abu Fauzan adalah anggota
pengajian khusus sejak tahun 1984. Warsito Adnan merupakan elit aktivis Islam
yang intens mengikuti pengajian dan banyak terlibat dalam gerakan-gerakan Islam.
14
Ust. Chalid Hassan adalah tokoh teras JAIG disamping Ust. Mudzakkir, pimpinan
JAIG.
mengikuti pengajian JAIG pada setiap pagi hari ataupun yang memiliki informasi
yang berkaitan, baik secara langsung maupun tidak, dengan profil JAIG. Yang
termasuk dalam klasifikasi ini adalah Ahmad Mirza (aktivis), Chusniatun (dosen
Untuk memperkaya data primer, saya memanfaatkan data dari Pusat Studi
buah transkrip ceramah keagamaan yang diambil pada tahun 2003. Hemat penulis,
meskipun rentang waktunya cukup jauh dengan penelitian ini, data transkrip ini
(2001) dan Arief (2001) serta beberapa penelitian terkait telah sangat membantu
1
Lembaga ini melakukan penelitian mengenai muatan ceramah keagamaan di Surakarta dengan
mengambil sample beberapa kelompok pengajian/majelis taklim, termasuk Jamaah Gumuk.
15
primer.
b. Operasional Penelitian
jamaah pengajian yang tertutup sehingga tidak sembarang orang bisa masuk dan
suatu ketika di bulan November 2005, Sdr. Farhan yang sempat mengikuti pengajian
penelitian ini.
siapapun peneliti yang hendak mengetahui lebih dalam tentang Jamaah Al Islam
Gumuk maka harus terlebih dahulu menanam “investasi” ataupun masuk melalui
setiap pagi secara rutin merupakan satu cara untuk mendapat pengakuan tersebut
meskipun hal ini bukanlah jaminan. Mengingat kondisi tersebut, cara lain yang
paling mungkin dilakukan untuk kepentingan penelitian ini adalah masuk dan
operasional peneliti bergerak dari lingkaran pinggir untuk bisa memasuki lingkaran-
lingkaran berikutnya. Atas bantuan Ahmad Mirza, sesama aktivis saat kuliah di
Fauzan, seorang anggota Jamaah Al Islam Gumuk yang kebetulan teman dekat
16
Mirza. Menurut pengakuannya, ia mau membantu penelitian peneliti karena
Mungkin karena faktor ini, ia bersikap terbuka terhadap peneliti. Di samping pernah
hidup bertetangga, Abu Fauzan juga sudah mengenal dan akrab dengan Mirza sejak
lama. Dengan ditemani Mirza, peneliti menemui Abu Fauzan setelah shalat Isya di
rumahnya. Abu Fauzan menceritakan banyak hal tentang Jamaah Al Islam Gumuk,
peneliti menemui Ust. Chalid Hassan, salah seorang tokoh penting Jamaah Al Islam
Pada satu kesempatan, setelah usai mengikuti pengajian pagi, peneliti bertamu ke
rumah Ust. Chalid yang letaknya tidak jauh dari Mesjid Al Abror. Satu hal yang
menarik adalah ketika beliau menyarankan agar peneliti lebih baik meneliti Majelis
Tafsir Al Quran (MTA) sebagai ganti Jamaah Al Islam Gumuk. Beliau juga
melakukan penelitian di Gumuk namun ditolak dengan alasan tidak cocok dengan
jamaah pengajian Gumuk dan juga Kepala Sekolah SD Islam Al Fatah. Yang
terletak di belakang Stadion Manahan. Warsito yang juga Ketua FPIS selalu
meneriman peneliti di ruang kerjanya dengan seragam khas mirip pakaian dinas
17
kemiliteran. Berbeda dengan Abu Fauzan, Warsito bersikap formal dan cenderung
informan sekunder. Ini dilakukan untuk mendapatkan data yang belum bisa
pengajian rutin setiap pagi sehingga memperkaya serta memberikan perspektif lain
terhadap data yang disampaikan informan primer. Hasil wawancara, baik dengan
menyangkut sejarah dan profil organisasi. Sejauh tersedia dokumen maupun sumber
dianalisis lebih lanjut. Jika tidak ditemukan maka informasi lisan menjadi salah satu
F. Sistematika Penulisan
Studi ini mengangkat profil gerakan Jamaah Al Islam Gumuk (JAIG) sebagai
Oleh karenanya, bab II menjelaskan profil dan konteks sosiologis Surakarta yang
18
serta ekspresi beragama melalui proses mengelompok/berhimpun/berjamaah dalam
sebuah gerakan tanding sekaligus perlawanan sebagaimana dijelaskan dalam bab III.
Lebih jauh, bab ini menggambarkan proses transformasi maupun peralihan wacana
Al Islam dari Jamaah Al Islam yang dibentuk Kyai Imam Ghazali kepada Jamaah
Jamaah Al Islam Gumuk bisa muncul dalam ruang publik karena ditopang
oleh kehadiran institusi keagamaan, kekuatan doktrin dan paham keagamaan, serta
jamaahnya. Hal ini dibicarakan dalam bab IV. Adapun bab V menganalisis
mendasarnya adalah apa yang menyebabkan dan mengapa sistem keagamaan JAIG
berhasil
memposisikan dirinya sebagai kekuatan sosial yang memiliki nilai tawar politik di
ruang publik. Bab VI menutup studi ini dengan ringkasan jawaban permasalahan
penelitian dan refleksi konseptual terhadap gerakan jamaah dan gerakan sosial yang
19
BAB II
A. Ekologi Sosial
satu provinsi di Pulau Jawa, Indonesia. Surakarta lebih dikenal dengan sebutan kota
Solo (diambil dari nama “Sala”). Wilayah Surakarta dipagari Gunung Lawu di
sebelah timur, Gunung Merapi dan Merbabu di sebelah Barat serta Gunung Sewu di
sebelah Selatan dan rangkaian gunung menghiasi daerah utara (Shiraishi, 1997:2).
Panorama alam ini menggambarkan Surakarta sebagai kota yang dikelilingi gunung
dan pegunungan, yang dalam ungkapan Sunda dikenal “kota diriung ku gunung” 2 .
Dengan ketinggian 92 meter di atas permukaan laut, kota ini dialiri dan dilintasi
Sungai Bengawan Solo dan Kali Pepe yang pada masa-masa awal Surakarta
Karanganyar di sebelah utara dan timur serta kabupaten Sukoharjo di sebelah selatan
dan barat. Luas wilayah kota ini adalah 440,04 ha yang terbagi dalam 5 kecamatan
2
Dalam masyarakat Sunda istilah ini banyak merujuk pada topografi Kota Bandung
20
dengan wilayah terluas3.
arah. Jika menembus Surakarta dari arah Yogyakarta (Selatan) dan Semarang (barat)
maka akan mengantarkan kita memasuki daerah Kartasuro yang merupakan pintu
segera nampak terlihat jika datang dari arah Semarang. Dari arah selatan segera kita
STAIN Surakarta yang berdiri pada tahun 1993 terletak di belakang area markas
Kopassus tersebut. Pada awalnya sekolah tinggi ini merupakan proyek rintisan
Departeman Agama untuk mewadahi para alumni sekolah model Madrasah Aliyah
Program Khusus (MAPK)4 yang digagas Menteri Agama RI saat itu, Prof. Munawir
Sadzali, MA.
Surakarta (UMS)5 pada tahun 1981 di daerah Pabelan. Kini, dalam usianya yang ke-
3
Surakarta Dalam Angka 1999 mencatat luas Kec. Banjarsari adalah 14,811 km2. Sebagai
perbandingan, luas Kec. Laweyan adalah 8,638 km2; luas Kec. Serengan 3,194 km2; luas Kec. Pasar
Kliwon 4,815 km2; dan Kec. Jebres seluas 12,582 km2
4
MAPK merupakan program sekolah unggulan untuk mencetak figur-figur cendekiawan yang ulama
dan ulama yang cendekiawan. Program ini bertolak dari kenyataan kurangnya cendekiawan yang
menguasai literatur kitab kuning dan ulama yang cakap dalam literatur kitab putih (pengetahuan
umum). Ciri khas program ini adalah 70% muatan kurikukumnya adalah ilmu-ilmu agama.
5
Universitas Muhammadiyah Surakarta merupakan gabungan dari IKIP Muhammadiyah Surakarta
dan STAIM Surakarta.
21
swasta terbesar di Jawa Tengah dengan jumlah mahasiswa mencapai 25.000-an (lih.
menjadi lokasi bagi pangkalan Angkatan Udara Adi Sumarmo. Tidak jauh dari situ,
kota Surakarta dan Karanganyar. Apabila memasuki kota dari arah Sragen dan
Tidak jauh dari pasar Palur, kita menemukan komplek pasukan Infantri
Palur, ke arah barat menuju pusat Surakarta terdapat Taman Wisata Jurug yang
dilewati Bengawan Solo. Tempat ini menjadi salah satu tujuan utama rekreasi
masyarakat Surakarta meski tidak seluas dan selengkap koleksi Gembira Loka di
Yogyakarta. Jika di bagian barat terdapat kampus STAIN dan UMS maka di bagian
timur berdiri kampus Universitas Surakarta (UNSA) dan Universitas Negeri Sebelas
Maret (UNS). Kampus-kampus yang terletak di bagian timur dan barat selalu
menjadi pusat pergerakan mahasiswa di kota Solo. Misalnya, Kampus UMS dan
UNS telah memainkan peran penting dalam peta gerakan mahasiswa Mei 1998
Tengah.
2004). Posisi Markas Group 2 Komando Pasukan Khusus AD, pangkalan Korps
Pasukan Khas AU, serta Zeni Infantri Tempur seakan melingkari Surakarta dari arah
22
barat, utara dan timur. Secara tidak langsung kehadiran instalasi milter tersebut
ideologi pergerakan.
Surakarta 1923 telah ikut membentuk lanskap sosiologis masyarakat Surakarta yang
Surakarta, kerusuhan yang meledak 14-15 Mei 1998 merupakan kerusuhan terbesar
kota tradisional, kota kolonial, kota modern dan kota internasional. Sebagai kota
tradisional, stratifikasi masyarakat Surakarta terdiri dari kelas priyayi, abdi dalem
dan wong cilik dengan menekankan pajak sebagai sumber penggerak ekonomi.
Jalan-jalan lebar, bangunan megah dan public area yang luas merupakan simbol-
simbol kota pada fase ini. Pada fase kota kolonial, dengan detail Kuntowjoyo
teater, hotel, toko-toko, kantor telepon, kantor pos, pabrik es, bengkel las, trem kota,
23
Belanda meniscayakan terjadinya proses modernisasi memasuki tata sosial budaya
masyarakat Surakarta.
ekonomi, sosial dan budaya wong solo. Ledakan ekonomi kelas bawah telah
mendorong mobilitas yang luar biasa. Tanpa disadari, pragmatisme mulai merasuki
faktor estetika dan kepentingan kelas ekonomi kecil. Salah satu dampaknya adalah
public area yang tersedia pada fase pertama dan kedua mulai terkikis hilang.
terintegrasi dalam jejaring masyarakat global terlebih pada saat pemerintah Kota
6
Pasar modern (supermarket) ada yang terpusat di wilayah Singosaren, sepanjang Jalan Slamet
Riyadi, Alfa Pabelan, Goro Assalam, Solo Grand Mall (SGM), Singosaren Mall, Solo Sequere,
Ciputra-Sun Mall, Beteng Trade Centre dan Pusat Grosir Solo (PGS).
24
Surakarta tanpa menyertakan faktor lain secara integral, seperti kesenjangan
(1999), pergeseran orientasi konsep tekstual kota dari kuthagara ke arah pemenuhan
tegas pakar sejarah dari Universitas Negeri Sebelas Maret ini (Pikiran Rakyat, 1999).
mengelak dari arus perubahan namun yang menjadi kunci adalah kemampuan
menghanyutkan Surakarta dalam arus zaman tanpa jangkar tradisi yang kokoh.
B. Kependudukan
Seperti dicatat Shiraishi, zaman modal ke-2 mulai masuk ke Surakarta pada
Keprabon, Pasar Kliwon, Laweyan, dan Tegalsari (1997:30). Zaman modal ke-2 ini
melahirkan kekuatan ekonomi borjuasi bumiputra yang kuat, yakni pengusaha dan
25
kemunculan Islam sebagai kekuatan tandingan vis a vis kekuatan kraton
(Soedarmono, 1999).
merupakan suatu generalisasi yang keliru ((2002: 36). Hipotesis ini dibuktikan studi
kepercayaan yang disebut “Islam Garingan” sebagai hasil persesuaian ajaran Islam
dinamika kependudukan dan pertumbuhan ekonomi. Pada pagi hari, saat nadi
Surakarta menjadi bagian pemandangan pagi hari. Arus masuk – keluar kota adalah
kehidupan, rotasi pagi dan malam. Tidak mengherankan, jika populasi di kota
Surakarta pada siang hari bisa membengkak 4 kali lipat dari jumlah faktualnya yang
tercatat di data kependudukan (Pemerintah Kota Surakarta, 2003: 3). Dalam jangka
83.708 jiwa dengan pertumbuhan ekonomi di atas 4%7. Data sensus kependudukan
7
Data sensus diakses dari situs resmi Pemerintah Kota Surakarta www.surakarta.go.id. Diakses
pada tanggal 1 Juni 2006.
26
2005 menunjukan populasi kota Surakarta berjumlah 552.542 jiwa yang terdiri dari
Surakarta sebagai pusat perdagangan, kota budaya dan pariwisata, serta kota
majemuk, khususnya dari segi etnik dan ideologi sosial serta keagamaan. Disamping
etnis Jawa dan Cina, populasi keturunan Arab cukup menonjol di daerah Pasar
Kliwon sehingga daerah ini sering disebut sebagai perkampungan Arab. Di beberapa
tempat tertentu, dapat dijumpai juga warga keturunan India yang sebagian besar
Singosaren.
pendapatan asli daerah (PAD) sebesar Rp. 6,65 Milyar dimana Pasar Klewer
27
Pada sisi lain, laporan Litbang KOMPAS mencatat bahwa ketergantungan
Surakarta terhadap daerah lain telah berdampak pada fluktuasi inflasi. Misalnya,
inflasi pada tahun 2001 mencapai angka 15,58 yang merupakan angka inflasi
dimana setiap daerah harus memacu Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk menutupi
kebutuhan APBD8.
19%), buruh tani (0,19%), nelayan (0 %), dan lain-lain (38,28%) (Surakarta Dalam
Angka 2002: 66). Secara akumulatif, tulang punggung perekonomian adalah sektor
tersier yang mencakup perdagangan, rumah makan, angkutan, dan jasa perhotelan
dengan prosentase sebesar 45,69% serta diikuti oleh sektor industri pengolahan
yang cukup kaya sumberdaya alamnya, kota ini terhitung miskin, kecuali kekayaan
8
Kajian mengenai hal ini, lihat Brahmantio Isdijoso dan Tri Wibowo, Analisis Kebijakan Fiskal
Pada Era Otonomi Daerah: Studi Kasus Sekor Pendidikan di Surakarta”, www.fiskal.depkeu.
go.id/bapekki/kajian
9
Data berdasarkan laporan tahun 2004. Sumber data situs resmi Pemerintah Kota Surakarta yang
diakses 20 Pebruari 2006. Sebagai perbandingan, tahun 2002 sektor terseir memiliki kontribusi
10
,66% dan diikuti sector pengolahan sebesar 37% (KOMPAS, 9/02/02)
28
Kasunanan, dan Puro Mangkunegaran. Disamping memaksimalkan sektor
devisa daerah. Langkah ini bukan tanpa tantangan karena semua daerah melakukan
dan pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Dinamika politik dan isu keamanan
merupakan faktor eksternal yang sangat sensitif bagi nasib pariwisata, khususnya
pasca ledakan bom di Kuta Bali, tahun 2002. Sebelum ledakan bom terjadi, arus
para wisatawan mencari alternatif yang dipandang aman. Nampaknya peluang ini
kunjungan wisata bersama Yogyakarta, utamanya bagi turis asing, karena letaknya
transportasi yang ada, yaitu melalui bus, travel, dan kereta api cepat.
kebudayaan Jawa Mataram di Surakarta sehingga menjadi ikon “Kota Budaya Sala”,
sehingga sangat dipahami kalau hampir setiap wisatawan tidak akan melewatkan
untuk menziarahi kedua tempat tersebut. Tempat tujuan wisata lain adalah Taman
Sriwedari – yang pada mulanya disebut bon raja (taman raja) -ber lokasi
29
bangunan Joglo yang biasa dipergunakan untuk pentas kesenian dan teater Wayang
Orang (WO) yang semakin lama kehilangan daya tariknya, kalah oleh arus budaya
popular11.
C. Struktur Sosial
polapola interaksi dan struktur sosial Surakarta. Negara sebagai pusat otoritas politik
melanggengkan relasi raja dan kawula yang mensubordinat wong cilik pada priyayi.
Pada saat yang sama, masyarakat yang mengartikulasikan diri ke dalam bentuk
11
Kondisi gedung pementasan WO sudah tidak terawat. Pengelolanya tidak cukup bersemangat
lagi karena setiap pementasan WO selalu sepi dari penonton. Meski berbagai upaya telah banyak
ditempuh untuk mengembalikan kejayaan WO seperti pada decade 1980-an namun belum
menghasilkan perkembangan maksimal.
12
Ini terungkap dalam perbincangan yang bersangkutan dengan Rektor UMS
30
telah mendorong instabilitas, baik dalam wilayah politik maupun kultural, yang pada
menambahkan domain pasar (market) dalam relasi negara, masyarakat, dan kraton
Sekaten, malam 1 Syuro, Grebeg Syawal serta upacara Larung di Sungai Bengawan
Dalam struktur sosial ini, makna simbolik upacara tahunan tersebut mulai
terjadi pada upacara sekaten, gunungan, dan larung. Pada tingkat tertentu telah
masyarakat Jawa dengan nilai-nilai Hindu dan Islam secara bersamaan (idem, 89).
31
dengan budaya santri dan abangan padahal pada praktiknya kaum abangan mudah
kraton. Pada sisi lain, kaum santri tidak cukup mampu menjaga jarak secara rigid
dengan budaya priyayi dan abangan karena pada kenyataannya selalu muncul ruang
toleransi dan proses diferensiasi. Diskursus agama Jawa Geertz yang merujuk pada
(Beatty, 2001).
ideologi dominan, yaitu Islam. Terlebih, Islam merupakan “agama resmi” bagi
dinasti dan keturunan Mataram Islam yang secara simbolik tercermin pada gelar
yang memeluk agama Islam - tentunya secara nominal- sebesar 77,8%. Tabel di
Tabel 2
(Komposisi Pemeluk Agama)
2 Katholik 7,7 5
4 Hindu 0,1 4
32
5 Buddha 0,3 6
6 Lain-lain 0,1 -
Sumber : modifikasi Tim Litbang KOMPAS dan BPS – Jawa Tengah (2001)
Meskipun demikian, variabel agama tidak dapat sertamerta mendeterminasi
pilihan maupun pandangan politik pemeluknya. Pada saat yang sama, nampaknya
kultur abangan masih cukup kuat membentuk worldview masyarakat (Saleh, 2004:
53) sehingga identitas Islam bukan menjadi variabel penentu dalam setiap proses
politik.
Tabel 3
(Hasil Pemilihan Umum Kota Surakarta 1999).
dukungan besar dari konstituen politiknya. Secara makro, menurut Lance Castle,
meskipun PKI sudah tidak ada lagi namun perolehan suara PDI-P di banyak
kabupaten di Jawa mirip dengan persentase PNI dan PKI tahun 1955 (KOMPAS,
9/08/04). PDIP-P sendiri mengklaim sebagai partai penerus ideologi dan perjuangan
33
Surakarta merupakan basis sekaligus barometer kekuatan politik PDI-P. Surakarta
adalah “daerah merah” 13 dalam analisis peta lokasi gerakan sosial-politik yang
berkembang selama ini.
basis sekaligus kantong tumbuhnya ideologi-ideologi radikal, baik pada masa Pra
Kemerdekaan, Kemerdekaan, Revolusi dan Orde Baru (Soedarmono, 1999). Hal ini
terjadi karena struktur sosial Surakarta yang dikotomik bergerak simultan dengan
“Trio Abdullah” yang merepresentasikan tiga tokoh teras Islam politik lokal, yaitu
Abdullah Sungkar, Abdullah Thufail, dan Abdullah Marzuki. Sosok Abu Bakar
Ba`asyir yang sekarang menjadi amir Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) mulai
kondusif bagi setiap kontestansi ideologi dan gerakan. Realitas umat Islam yang
marginal secara politik meskipun secara demografis adalah kekuatan mayoritas telah
kekecewaan, protes, dan perlawanan. Pada masa Orde Baru, lahir fenomena
13
Daerah merah identik dengan arena pergolakan ideologi-ideologi sosial-politik; tidak pernah
berhenti dari pertarungan dan konflik ideologi.
34
(Thoyibi, 1999). Menjelang keruntuhan Orde Baru, milisi tumbuh marak seperti
Front Pembela Islam Surakarta, Laskar Hizbullah, Jundullah, serta Majelis Taklim
dan gerakan keagamaan telah bertaut dan membentuk ruang dialektis bagi setiap
Tabel 4
(Komposisi Pemeluk Islam di Kecamatan)
No Kecamatan Penduduk Pemeluk Islam Porsentase
35
Mencermati data pada tabel 4, total porsentase pemeluk Islam di Surakarta
sebesar 74,06%, kemudian merujuk pada tabel 2, maka terdapat selisih sebesar
3,2%. Dari segi kebaruan data, porsentase yang bersumber dari Tim Litbang
perkotaan). Namun embrio pergerakan Islam banyak yang lahir maupun berbasis di
daerah Laweyan, seperti Sarekat Islam dan Jamaah Al Islam yang ditopang industri
Lebih jauh, Surakarta memiliki akar tradisi pesantren yang selama ini
menjadi pusat pengembangan Islam. Dunia pesantren telah tumbuh kembang bahkan
mengakar dalam sejarah Surakarta. Polemik Snouck Hurgoronje dan Cliffod Geertz
dengan Martin Van Bruinesen (1999) mengenai keterkaitan desa perdikan dengan
pesantren bisa menjadi rujukan bahwa pesantren sudah ada berdiri di Surakarta pada
masa-masa awal (Saleh, 2004: 71)14. Denys Lombard mencatat bahwa Pesantren
Jamsaren yang berdiri tahun 1750 merupakan salah satu pesantren termasyhur di
daratan Jawa sejajar dengan Krapyak Yogyakarta, Gontor, Termas Pacitan, Tebu
14
Snouk Hurgronje (1913) dan Geertz mengaitkan desa perdikan dengan keberadaan pesantren yang
dibebaskan dari beban membayar pajak dengan kompensasi desa tersebut memfasilitasi semua
kebutuhan pesantren. Namun Martin Van Bruinesen (1995) tidak sependapat karena menurut
catatannya hanya 4 dari 221 desa perdikan yang ada di pulau Jawa saat itu yang ditempati pesantren,
lih. Fauzan Saleh, Teologi Pembaharuan, Jakarta: Serambi, 2004.
36
Kehadiran sekolah agama pertama bergaya modern di Jawa, Madrasah
Manbaul `Ulum (1905), yang dibangun di komplek Mesjid Agung Surakarta atas
kraton dalam proses reformasi Islam di Surakarta (Hisyam, 2001: 141). Pesantren
Islam) pada tahun 1927 secara perlahan menggeser posisi Pesantren Jamsaren dan
Manbaul `Ulum yang puncaknya terjadi pada dekade 1960-an pada saat Jamaah Al
mengidentifikasi diri sebagai gerakan salafi dan tarbiyah. Pada masa reformasi
transformasi gerakan pada masa reformasi. Ini terindikasi dari maraknya sekolah
dasar-sekolah dasar Islam terpadu (SDIT) yang sebagian besar memiliki relasi
ideologis dengan gerakan-gerakan jamaah yang telah tumbuh pada dekade 1970-
37
an15.
landasan keagamaan dan yang mengandung suatu aspek keagamaan (Bellah, 2000:
komitmen terhadap kekuatan adikodrati yang bersifat universal, untuk tunduk dan
patuh. Secara khusus Bellah mengkatagorikan agama Islam dalam tipologi ini
kesaksian “Tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusannya” (2000,
keagamaan yang mampu menjawab kebutuhan sekaligus tantangan dari sistem sosial
yang ada. Arus perubahan dengan gejolak sosial sering melemahkan sistem
keagamaan yang berpusat pada ortodoksi. Pada situasi seperti ini, inovasi
dan memainkan peran dalam proses transisi menuju suatu tata sosial yang
15
Fenomena SDIT pada era refromasi menarik perhatian, khususnya jika dikaitkan dengan
kebangkitan gerakan-gerakan yang memperjuangkan syariah Islam. Pusat Studi Budaya UMS
sedang melakukan penelitian seputar masalah ini.
38
tumbuh subur (Kartodirdjo, 1984: 13). Dalam cakupan penelitian ini, tesis Sartono
dan Al Islam disatu sisi, serta gerakan-gerakan jamaah pada rentang dekade 1970-
an – 1980-an di Surakarta.
Jika pada mulanya yang diasosiasikan sebagai kaum santri adalah pesantren,
maka dalam perkembangannya identitas politik santri lebih merujuk pada ideologi
Ahl Sunnah wal Jamaah (ASWAJA). Kelompok Muslim modernis dan tradisionalis
yang dilekatkan pada organisasi Muhammadiyah dan NU (Noor, 1985) memiliki hak
yang sama untuk disebut sebagai kaum santri yang menganut ideologi ASWAJA
(Saleh, 2004:146).
pesisir dan Islam pedalaman. Pada masa-masa awal penyebaran Islam ke Jawa –
sekitar abad ke-16 -, orang Jawa pedalaman merasa asing dengan varian Islam
orang-orang pesisir (Saleh, 2004: 49). Secara umum pasca keruntuhan Pajang dan
bangkitnya Mataram pada akhir abad ke16, Islam di Jawa tidak dapat
pedalaman.
adalah tiga pola konflik kebudayaan Jawa; budaya pedalaman dengan budaya
pesisir, budaya kraton dengan budaya rakyat, dan budaya abangan dengan budaya
39
santri (KOMPAS, 30/01/2003). Kemunculan gerakan pembaharuan pada akhir abad
ke-19 belum mampu berbuat banyak dalam mensikapi ketegangan Islam pesisir dan
Jepara, menemukan bahwa corak keberagamaan permisif - yang menjadi ciri khas
Islam pesisir – ternyata memberikan ruang toleransi bagi hadirnya Islam santri yang
komunikasi dualektis tanpa harus menegasikan satu sama lain; abangan dan santri.
Menjadi semakin menarik jika tesis ini dikomparasikan dengan beberapa temuan
corak Islam di pedalaman yang telah lebih dulu muncul, seperti Clifford Geerzt,
muncul desakan kultural maupun politik dari gerakan pembaharuan Islam serta
hegemoni politik kolonial pada abad ke-19 (Ul Haq, 2004: 286). Dalam pandangan
interpretasi simbolik.
40
Belakangan, Stephen C. Headley (2005) menegaskan bahwa yang menjadi
akar masalah Islam Jawa bukan relasi Islam dan Jawa melainkan Islam mainstream
Surakarta, Headley melihat Jawa dan Islam beratap sama dalam hal pandangan
sebagai Islam. Namun ke dalam, mereka masih menyandarkan diri pada kekuatan
untuk mencapai praktik keimanan lebih tinggi dari apa yang sudah dijalaninya
(idem., 19).
beragama tidak sepenuhnya ditentukan oleh faktor keimanan saja namun ditopang
oleh bentuk sosiologisnya (idem., 34). Sejalan dengan Simmel, Dale Cannon
mengemukakan enam jalan menjadi beragama (six ways of being religious), yaitu
Dalam masyarakat Jawa, kita menemukan ke-enam jalan tersebut sebagai bagian
41
Studi Riaz Hassan mengenai keberimanan di beberapa negara berpenduduk
Muslim membuktikan bahwa menjadi Muslim yang saleh (religious) tidak hanya
menyangkut masalah ketaatan dalam beribadah namun juga sangat terkait dengan
(Bainbrigde,1997: 13).
Tampak kelima dimensi ini bersinggungan dengan tesis Cannon yang dalam
(2003: 41) mengangkat tesis Stark dan Glock bahwa kesalehan beragama merupakan
fenomena yang bersifat multi dimensi. Ini memperkuat temuan dan pendapat para
antropolog di muka seputar relasi Islam dan Jawa. Dengan kerangka ini, agama tidak
pernah muncul dengan wajah tunggal. Agama selalu dikenalkan dengan variasi
Sims Bainbridge membagi variasi keberagamaan dalam dua bentuk, yakni komitmen
merupakan wajah sosiologis Islam yang harus diperlakukan secara faktual. Mengacu
dalam beragama, sebagai ekspresi sosiologis bahkan sebagai bentuk kritik. Premis
ini sejalan dengan semangat dasar agama mengartikulasikan visi dan gerakan
42
pembebasan, yang dalam istilah teori sosial kritis disebut sebagai gerakan politis
(Ali, 2002: 24). Gerakan agama sebagai kritik sosial adalah mengejawantahkan
43
BAB III
keagamaan, utamanya pada dekade 1970-an dan pasca serangan 11 September 2001.
Untuk kepentingan penelitian ini, saya membedakan Jamaah Al Islam yang menjadi
Islam Jamaah atau juga biasa disebut Darul Hadist merupakan aliran
keagamaan yang dicetuskan oleh Nurhasan Ubaidah Lubis tahun 1970-an di Kediri
Jawa Timur. Sang pendiri mengaku sebagai Amirul Mukminin yang memimpin
Kerajaan Islam Jamaah. Gerakan ini memiliki lima doktrin, yaitu mankul, bai`at,
keamiran jamaah, struktur kerajaan jamaah dan taat kepada amir (Hafiluddin,2001:
4). Posisi kelima doktrin ini sangat penting sehingga menggeser posisi sentral Rukun
berbagai kelompok Islam pada tahun 1979 16 . Salah satu doktrin yang memicu
kontroversi adalah doktrin mankul. Menurut orang yang pernah berguru di Pondok
16
Fatwa Majelis Ulama Indonesia tahun 1994 memutuskan GIJ sebagai ajaran yang
bertentangan dengan agama Islam dengan alasan akan memancing gejolak sosial dan menggangu
kestabilan Negara (LPPI, 2001: 247). Meskipun mendapat penolakan, ajaran Islam Jamaah masih
tetap menyebar ke berbagai daerah bahkan merambah Negara-negara tetangga seperti Malaysia dan
Brunei.
44
17
Jamsaren ini , ilmu tidak akan bernilai agama dan sah jika tidak
Menurut Nasir Abas, mantan petinggi JI, Al Jamaah Al Islamiyah dibentuk Januari
Jamaah Darul Islam atau yang lebih dikenal NII (Negara Islam
(amir), anggota, dan struktur kepemimpinan (idem., 92-93). Berbeda dengan GIJ
(Hafiluddin, 1997: 4), JI tidak menjanjikan orang yang telah menjadi anggotanya
akan masuk surga (2005: 96). Abdullah Sungkar merupakan amir JI sebelum
Sungkar bersama Abu Bakar Ba`asyir tahun 1970-an di Surakarta sebagai wadah
Majelis Tafsir Al Quran (2001: 53). Tahun 1976, Abdullah Sungkar menggabungkan
17
Lebih jelas, lih. sukweb.selangor.gov.my/mufti/Istinbat/.../Ajaran Islam Jamaah.htm
45
Istilah “Jamaah Al Islam” dalam penelitian disini merujuk pada cita-cita
pada sistem pengelompok (firaq) umat Islam ke dalam mazhab maupun partai
tertentu (Al Islam, 1994: 2). Aksioma “Jamaah adalah Al Islam dan Al Islam adalah
Jamaah” merupakan inti dari ideologi gerakan ini. Bagi Jamaah, “Al Islam”
merupakan nama asli agama Allah (YPI, tt: 2). Penulisan “Al Islam” dalam qanun
Jamaah ditempatkan di antara tanda petik dengan maksud bahwa “Al Islam” tersebut
merupakan nama agama Allah (YPI, tt: 3). Pada dasarnya, pemilihan nama Jamaah
nama-nama primordial. Ini tercermin dari ucapan Kyai Imam Ghazali, “selain Al
keagamaan pada awal abad ke-20, seperti Muhammadiyah, NU, Persis dan Al
masing kelompok tersebut dinilai oleh beberapa elite ulama Surakarta yang
sesama umat Islam. Untuk mendakwahkan “Al Islam”, Jamaah bergerak dalam
bidang pendidikan dan pengajaran. Menurut Federspiel (1996), salah satu indikasi
pembaharuan yang mengusung modernisme pada dekade awal abad ke-20 tercermin
18
Thogut bermakna pengikut syaithan, bathil, serta berada dalam jalur yang salah.
46
dalam dinamika kongres umat Islam 1923 di Cirebon (Noor, 1985). Isu pentingnya
Islam. Paham keagamaan NU dan Muhammadiyah relatif cepat menyebar serta ikut
Surakarta yang sudah memiliki akar tradisi keberagamaan cukup tua dibanding
Pondok Pesantren Jamsaren yang dirintis Kyai Jamsari tahun 1750 atas
dawuh Pakubuwono (PB) IV dan kemudian direstorasi oleh Kyai Idris tahun 1878
serta diikuti oleh berdirinya Madrasah Mambaul `Ulum pada 1905 telah menjadi
fakta sejarah bahwa dinamika Islam di Surakarta sudah berkembang jauh sebelum
penting transmisi penyebaran Islam di Jawa (2005: 140). Pesantren Jamsaren dan
modern pada saat itu. Pagi hari para santri belajar di madrasah dan sore harinya
melahirkan ulama, tokoh agama bahkan intelektual Muslim yang sebagian besar
47
Nampaknya kehadiran institusi-institusi pendidikan Islam tersebut
pikiran dengan tokoh-tokoh pergerakan di Surakarta. Ide reformasi Islam yang bisa
diterima lebih pada gagasan pengembangan lembaga pendidikan dan rumah sakit.
terhadap organisasi keagamaan yang ada. Bahkan pada tingkat tertentu, jamaah
19
Muhammadiyah masuk dan berkembang di kampung Keprabon diperkirakan pada tahun 1930-an
berdasarkan informasi Marpuji Ali, Ketua PMW Jawa Tengah.
48
merupakan bentuk perlawanan terhadap modernisme yang menekankan
individualisme.
mengambil sikap tegas. Mereka tidak mau melibatkan diri ke dalam konflik yang
ada. Para ulama tersebut sangat prihatin dengan kondisi yang bisa mengarah pada
`Ammar, KH. Imam Ghazali bin Hasan Ustad, KH. Abdussomad, K. Abdul
Manaf Siddiq, KH. Mufti Salimin, KH. M. In`am, KH. Husnan, KH. Khurmen, Kyai
Musyawarah Ulama tahun 1927 di Pasar Kliwon, sebuah perkampungan Arab dekat
alun-alun Kota Surakarta (Nashier, 1992: 91; Ghazali, 1994: i; Al Islam, 1994: 1).
Ahmad Surkati, pendiri Jam'iyat al-Islah wal Irsyad al-Islamiyyah atau Al Irsyad
49
mengunjungi dan menyebarkan ide-ide Al Irsyad di Surakarta beberapa bulan
sebelum “Jamaah Al Islam” yang lahir dari Musyawarah Ulama tersebut terbentuk
maklumat umat Islam yang intinya menyeru kepada umat islam untuk bersatu tanpa
Inilah embrio gagasan bahwa agama Islam adalah Jamaah Al Islam yang
diusung KH. Imam Ghazali dkk Dengan ungkapan lain, Al Islam adalah agama dan
bukan organisasi (Al Islam, 1994: 2). Pasca Musyawarah Ulama, muncul figur-figur
adalah KH. Imam Ghazali, Moefti Salimin, Abdurrazaq Siddiq, Abdussamad, Abdul
penyebar ide Al Islam (Nashier, 1999: 107). Untuk mendakwahkan ide mereka
pendekatan dakwah NU melalui pengajian kitab kuning di mesjid serta pondok dan
gerakan ini, Al Islam adalah jamaah. Menurut Kyai Bilal, jamaah ialah kumpulnya
20
Dalam beberapa dokumen dan buku terdapat dua versi mengenai tahun terbentuknya Jamaah Al
Islam, yakni 1927 dan 1928. Namun berdasarkan AD/ART yang ada, perkumpulan ini terbentuk
pada tahun 1927
50
manusia serta amaliyahnya dengan iman yang berdiri atas keadilan (Al Islam,
1994: 2). Ada dua riwayat Nabi (hadist) popular yang selalu menjadi landasan
a. Dari Zakaria bin Salam, diberitahu dari ayahnya, dari seseorang berkata: aku
telah sampai/datang kepada Nabi SAW. Beliau bersabda: “wahai manusia,
wajiblah kalian berjamaah dan jauhilah (larangan) kalian berpecah-belah,
disabdakan tiga kali” (Ghazali, 1994: 45).
b. Dari Tamim Addaary ra. Berkata: bersabda Umar bin khattab ra: “bahwa
bukanlah Islam melainkan dengan jamaah, bukanlah jamaah kecuali dengan
pemimpin (imam), dan bukanlah pemimpin apabila tidak ditaati” (idem, 46).
dalam perspektif gerakan jamaah bukanlah masalah furu`iyyah namun justru pokok
(ushuli) yang menentukan tegak atau tidaknya sebuah Al Islam. Untuk memberikan
landasan yang kokoh, KH. Imam Ghazali menyusun beberapa buku di antaranya
yang terpenting Al Imamah dan Al Islam wa al Muslim (1994) yang sangat terkait
Islam.
Buku terakhir memuat himpunan ayat-ayat al Quran dan Hadis Nabi yang
berisi penjelasan otentik mengenai apa itu “Al Islam” dan “Al Muslim”. Jika
dirumuskan, ada tiga pokok pandangan Kyai Ghazali, yaitu sikap mental yang benar
memahami Al Islam, mengamalkan secara benar apa yang dimaksud Al Islam, serta
mengamalkan secara benar Al Islam baik dalam aspek individu maupun sosial
(Balitbang Depag, 1983: 39). Jamaah Al Islam memahami ajaran Islam sebagaimana
51
umat Islam generasi pertama (ahl salaf), yakni memahami secara langsung dari
sumber aslinya tanpa intervensi penalaran (idem., 41). Dalam hal menafsir al Quran,
tidak ada yang khusus dipegangi. Kelompok ini berpegang pada metode penafsiran
43).
Salah satu langkah strategis yang dilakukan Kyai Ghazali pasca Musyawarah
Ulama tahun 1927 adalah melakukan pengajian terbatas (halaqah) yang bersifat
rutin di kediamannya. Pengajian ini merupakan majelis taklim yang menjadi embrio
bagi “Madrasah Dinil Islam” (Nashier, 1999: 113). Kehadiran madrasah ini dengan
pedagang dengan basis ekonomi cukup kuat, non priyayi serta memiliki komitmen
kepada Islam
melalui instrumen politik. Menurut Kyai Ali Darokah, pada saat itu para ulama lebih
banyak berperanan dalam gerakan politik massa pada tahun-tahun tersebut (1926-
an)” (dikutip dari Nashier, 105). Hal ini disebabkan oleh situasi politik yang sedang
21
Penafsiran bil ma`tsur merupakan satu metode menerjemahkan dan menafsirkan Al Quran
dengan menggunakan dalil-dalil Al Aquran ataupun hadis Nabi dengan meminimalisir intervensi
nalar.
52
bergolak dimana beberapa tokoh Islam dianggap tersangkut bahkan terlibat dalam
tt: 4). Karel A. Steenbrink mendata empat faktor yang mendorong gerakan
pembaharuan di Indonesia pada awal abad ke-20, yaitu keinginan untuk kembali
memperkuat basis gerakan sosial, ekonomi, budaya dan politik, dan pembaharuan
pendidikan Islam (Maksum, 1999: 83). Jika mengikuti Steenberink, tesis Deliar
Noor (1985), dan Federspiel (1996) mengenai relasi gerakan pembaharuan dan
sekolah dasar) dan tsanawiyah (setingkat SLTP) dengan nama “Madrasah Dinil
Islam” (Dokumen Sejarah dan Perkembangan Perguruan Al Islam, tt: 1). Pendidikan
Jamaah Al Islam mendapat apresiasi tinggi dari masyarakat Muslim non priyayi di
53
Pada tahun 1932, Jamaah Al Islam mengadakan muktamar yang pertama di
instrumen keorganisasian Jamaah Al Islam diletakkan, seperti visi dan misi dan
Islam”-nya, Kyai Ghazali mengganti nama Madrasah Dinil Islam dengan Madrasah
al Islam (Dokumen Sejarah, tt: 2). Periode formatif melahirkan apa yang disebut
Pengurus Besar (PB) Al Islam dimana Kyai Imam Ghazali bertindak sebagai ketua.
di kalangan internal Al Islam maupun eksternal elite ulama di Surakarta. Ada dua
adalah jamaah mengacu pada gagasan awal sehingga tidak mengakui keberadaan
pengurus besar maupun Yayasan Perguruan Al Islam seperti yang tercatat dalam
AD/ART. Kelompok yang kedua yang dipelopori Kyai Bilal bersikukuh bahwa
54
1927 . Kyai Bilal merupakan penerus Kyai Ghazali hasil reorganisasi PB Al Islam
Kyai Ali Darokah terhitung tokoh yang memiliki pengaruh cukup kuat pasca
Kyai Ghazali. Ali Darokah adalah pemimpin Pesantren Jamsaren pada tahun 1965
Ma`muri (w.1975), putra Kyai Ghazali (Darokah, 1983: 6). Kredibilitas keilmuan
Ali Darokah mendapat pengakuan dari berbagai kelompok keagamaan yang ada.
pada pemisahan diri maupun pendirian kelompok baru. Jumlah variasi paham dan
55
kelompok yang ada di Surakarta diperkirakan mencapai jumlah 32-36 kelompok
Algeria, Mesir, Yordania, Lebanon, Maroko, Sudan, Tunisia, Turki serta di daerah-
daerah berpenduduk Arab yang dikuasai Israel. Cita-cita politik Ayatullah Khomeini
Islam bagi kalangan Syiah dan Sunni telah memprovokasi para pemimpin agama di
266). Namun keinginan Iran untuk muncul sebagai pemimpin bersama di dunia
kebangkitan ideologi Islam politik di Indonesia meski pada saat itu kekuatan politik
Orde Baru tidak akomodatif terhadap Islam bahkan bersikap represif. Pada tingkat
22
Wawancara dengan Chusniatun, 20 Desember 2005 di Lemlit UMS
23
Oliver Roy membedakan pemakain istilah Islam radikal dan Islam fundamentalis. Meskipun
substansi dan cita-cita perjuangan keduanya tidak berbeda namun fundamentalisme Islam
merupakan penerjemahan gagasan Islam radikal melalui wilayah politik, lih. Oliver Roy,
Genealogi Islam Radikal (terj), Yogyakarta: Genta press, 2005
56
melanda. Dalam peta sosiologis seperti ini, krisis kepemimpinan di tingkat lokal
Seperti telah diulas di muka, diantara sekian banyak kyai yang ikut
(Dokumen Sejarah, tt: 1; Mujahid dalam Ghazali, 1994: 1). Dalam kategori yang
dibuat Pradjarta (1999), Kyai Abdul Manaf tergolong kyai langgar yang mengelola
langgar/mushala dengan jumlah santri tidak sebanyak kyai pesantren. Kyai Siddiq,
Chalid Hasan, pemimpin senior Jamaah Al Islam Gumuk, tidak dicatat secara jelas
siapa yang memprakarasi pengajian Gumuk namun diketahui Kyai Siddiq adalah
24
Wawancara dengan Chusniatun, 20 Desember 2005 di Lemlit UMS
25
Penamaan Jamaah Al Islam di Gumuk dilakukan untuk membedakan dengan Jamaah Al Islam
Kyai Imam Ghazali. Disamping itu, istilah “Gumuk” sangat popular di kalangan masyarakat
meskipun pihak Jamaah tidak pernah mendeklarasikannya. “Gumuk” adalah semacam gunungan
kecil yang biasa dipakai sebagai rumah rayap. Nama lain yang tidak terlalu popular adalah
Komunitas Islam Mangkubumen (KIM).
26
Wawancara dengan Ust. Chalid Hasan, tanggal 26 Oktober, 2005 di Gumuk.
57
Pada masa awal keberadaannya, kampung Gumuk dijuluki “Kampung
Beduk” 27 . Ini petanda bahwa memang komunitas Gumuk memiliki tradisi santri
yang kuat, setidaknya menjadi pusat dakwah untuk daerah sekitarnya. Beduk sendiri
merupakan alat bantu pengeras suara azan sebagai tanda masuk waktu shalat.
Iskandar mencatat bahwa di Jawa Barat beduk dijumpai di mesjid-mesjid besar yang
mesjid yang sekarang menjadi basis Jamaah Al Islam Gumuk. Awalnya, mesjid
dibangun satu lantai tapi kemudian diperluas hingga mencapai lima lantai. Sepintas,
jika dilihat dari jauh bangunan berlantai lima ini tidak tampak seperti mesjid pada
umumnya. Untuk masuk, harus melewati pintu masuk sebadan karena sisanya
ditutupi pintu besi yang menutupi halaman muka mesjid. Tepat depan pintu masuk
terdapat tempat wudhu, penyimpanan sandal serta ruangan pengajian untuk kaum
Tepat di samping kiri komplek mesjid dan pesantren, terdapat satu rumah
yang dihuni keluarga non Muslim etnis Cina. Tidak jauh dari samping kanan
bangunan mesjid, terdapat satu rumah non Muslim etnis Cina lagi yang berhadapan
dengan rumah. Kedua keluarga non Muslim tersebut sudah tinggal bertahun-tahun
tanpa merasa ada tekanan apalagi ketakutan hidup di daerah Gumuk28. Keberadaan
27
Wawancara dengan Ust. Chalid Hasan, tanggal 26 Oktober, 2005 di Gumuk.
28
Wawancara dengan Uts. Chalid Hasan, 26 Oktober 2005 di Gumuk
58
warga non Muslim di lingkungan yang selama ini dikenal sebagai pusat
Abu Fauzan29, salah satu ajaran pokok Islam yang diajarkan di Jamaah Al Islam
Gumuk adalah umat Islam harus bersikap toleran kepada orang lain, termasuk non
Islam30.
Banjarsari. Hanya terpisah oleh Jalan Gang Melati V. tepat di depan Mesjid Al
Abror berdiri bangunan pesantren yang bernama Ma`had Al Islam. Cikal bakal
Ma`hal Al Islam sudah ada sejak masa Kyai Siddiq31. Pasca Kyai Siddiq, Pengajian
Gumuk dikelola oleh keturunannya sendiri meski tidak semua keturunannya ikut
terlibat. Pada masa-masa ini, pengajian Gumuk tidak menunjukan geliat berarti
Surakarta mencatat bahwa pada masa awal kemerdekaan Perguruan Al Islam telah
(tt: 6). Kemungkinan besar madrasah yang dimaksud adalah Madrasah Ibtidaiyah Al
29
Abu Fauzan adalah seorang anggota jamaah Gumuk yang telah aktif dalam pengajian semenjak
tahun 1974 sampai sekarang.
30
Wawancara dengan Uts. Chalid hasan. Ini juga dikuatkan oleh Abu Fauzan.
31
Wawancara dengan Ust. Chalid Hasan, tanggal 26 Oktober, 2005 di Gumuk.
32
Wawancara dengan Ust. Chalid Hasan, tanggal 26 Oktober, 2005 di Gumuk.
59
Jika itu benar, maka sesungguhnya ini memperkuat hipotesis bahwa Jamaah
Jamaah Al Islam Kyai Ghazali. Terlebih Kyai Abdul Manaf Siddiq, pelopor
pengajian Gumuk, jelas terlibat bersama dengan Kyai Ghazali dalam melahirkan
Jamaah Al Islam tahun 1927. Implikasi dari hipotesis itu adalah bahwa JAIG pada
mulanya merupakan “bagian” dari Yayasan Perguruan Al Islam (YPI) dengan nama
“Gumuk Al Islam”. Fakta lain yang memperkuat kesimpulan ini adalah adanya
Kyai Abdul Manaf, salah seorang tokoh awal Jamaah Islam bersama kyai Ghazali,
adalah paman dari Ust.Mudzakkir. Ust.Mujahid AM, putera dari Kyai Abdul Manaf,
adalah tokoh Perguruan Al Islam juga terhitung sebagai elite Jamaah Al Islam
Gumuk
bahwa JAIG pernah memiliki hubungan struktural dengan YPI. Di sisi lain, pendapat
JAIG ini sangat beralasan jika merujuk pada konsensus di kalangan jamaah bahwa
yang menjadi pendiri sekaligus pimpinan (amir) JAIG adalah Uts. Mudzakkir33.
namun usaha Uts. Mudzakkir mengorganisir jamaah pengajian (majelis taklim) pada
33
Informasi ini berasal dari Chusniatun yang diperkuat oleh pengakuan Ust. Warsito Adnan, M. Pd,
dan Abu Fauzan. Secara implisit juga diakui oleh Ust. Chalid Hasan, saudara Uts. Mudzakkir, saat
penulis konfirmasi.
60
Mesjid Al Abror, Gumuk34. Konflik internal di kalangan YPI pasca Kyai Ghazali
Gumuk menjadi sebuah gerakan Jamaah Al Islam yang eksklusif 35 , solid dan
disegani meski diterpa banyak isu yang menyudutkan, salah satunya dituduh
berpaham Syiah36.
Gumuk tidak memakai nama resmi. Pemakaian nama tertentu dalam sebuah
Jamaah akan menyeret umat Islam ke dalam ashabiyah, fanatisme kelompok. Untuk
memakai nama-nama tertentu dan tidak diformalkan. Pada saat yang bersamaan,
“gerakan tanpa papan nama” ini merupakan kekuatan karena bersifat strategis,
khususnya jika dikaitkan dengan sistem politik Orde Baru yang represif. Terlebih
Gumuk merupakan gerakan yang menyatakan anti pemerintah pada saat itu 37 .
integral. Secara ideologis, merujuk pada penuturan Warsito Adnan, gerakan jamaah
34
Wawancara dengan Farhani, 20 September 2005 di Pondok Muhammadiyah Shabran.
35
Eksklusif mengandung makna keanggotaan yang terseleksi, terbatas, serta tertutup.
36
Mengenai hal ini akan dibahas pada bab IV
37
Wawancara dengan Warsito Adnan, 13 Pebruari 2006 di SD Islam Al Fattah Surakarta 23 Saya
mengkonfirmasi Warsito Adnan mengenai identifikasi ”Jamaah Al Islam” di Gumuk ini.
Menurutnya, identifikasi tersebut bukanlah merupakan sesuatu yang memberatkan jamaah Gumuk
(26 September 2006)
61
Untuk memperkokoh misi JAIG, Ust. Mudzakkir bersama kerabatnya Sahli,
Abdul Manan, Mujahid, serta Chalid Hasan mendirikan madrasah dan pesantren
(ma`had). Secara umum, JAIG mengelola tiga institusi yang saling berkaitan namun
(perguruan tinggi)38.
kalangan remaja Muslim untuk digembleng kekuatan aqidah dan keislamannya 39.
Ketiga lembaga tersebut dijalankan dibawah satu kepemimpinan yang sama, yakni
kharisma berperan sangat penting. Pada struktur ini, posisi Ust. Mudzakkir adalah
amir jamaah40. Dia bukan hanya menyandang status sebagai perintis namun juga
38
Wawancara dengan Abu Fauzan, 16 Oktober 2005, di Pasar Kliwon
39
Wawancara dengan Ahmad Mirza, 21 Oktober 2005, di Pasar Kliwon
40
Wawancara dengan Ust. Warsito Adnan, 13 Pebruari 2006
41
Penjelasan mengenai aktivitas pada bagian ini diambil dan diolah dari data Majalah Sabili No.4
62
Tidak terdapatnya pencatatan resmi ataupun registrasi keanggotaan di JAIG
tersebar di berbagai kota, di Jawa dan luar Jawa, yang menginduk pada puluhan
orang yang tertarik dengan JAIG untuk datang dan mengikuti pengajian 43 . Pada
tahap ini terjadi proses seleksi secara alamiah bagi setiap orang yang mengikuti
pengajian.
bertempat di Surakarta dengan jumlah santri sekitar 300-an putra dan putri. Adapun
63
Pendidikan al Quran dan kajian ilmu-ilmu agama merupakan aktivitas utama
dalam kaderisasi JAIG sesuai jadwal yang sudah ditentukan. Santri diharuskan
membaca berbagai kitab kuning rujukan di bawah bimbingan ustad setiap Sabtu
hingga Kamis. Para santri dituntut untuk mampu membaca kitab berbahasa Arab
sebagai pengantar untuk mendalami kitab tafsir al Quran, hadist, sejarah nabi
Pelajaran untuk santri tingkat Aliyah dimulai usai shalat dzuhur dan makan
siang sampai pukul 17.30 WIB dengan pengantar bahasa Arab. Santrisantri
Pesantren Al Islam berasal dari berbagai daerah di luar Surakarta, seperti Jawa
Timur, Jakarta, dan luar Jawa. Sistem pendidikan di lingkungan JAIG tidak memakai
Inggris, bahasa Indonesia, fisika, biologi, ilmu bumi, administrasi, dan komputer.
Setiap pagi, selepas shalat shubuh, semua santri dari berbagai tingkatan dan
ratusan orang, baik dari kalangan pelajar, mahasiswa, serta masyarakat umum dari
berbagai latarbelakang sosial dan profesi, mengikuti pengajian rutin sampai pukul
06.30 WIB. Kecuali hari Jumat, pengajian berlangsung mulai pukul 06.00-
07.00 WIB dengan materi tafsir al Quran dan Shahih Bukhari45. Pada pengajian hari
ahad yang disampaikan adalah materi Bulughul Maram dan Riyadhush Shalihin.
Kemudian pengajian dilanjutkan pukul 07.00 WIB namun hanya boleh diikuti oleh
kalangan santri dan angggota jamaah khusus yang telah tercatat46. Setiap sore, para
45
Shahih Bukhari adalah salah satu kitab kumpulan hadist yang mendapat pengakuan luas,
utamanya di kalangan Sunni, sebagai kitab rujukan paling utama setelah al Quran dan hadist.
46
Wawancara Abu Fauzan, 21 Oktober 2005
64
jamaah juga bisa mengikuti kursus al Quran dan hadist. Disamping mereka, pada
ormas-ormas Islam pro penegakkan Syariah sangat dominan, baik di tingkat lokal
maupun nasional. Ia adalah ideolog sekaligus Dewan Syura Front Pembela Islam
namun telah merambah ke isu-isu nasional dan internasional, seperti masalah konflik
Membawa bendera Front Islam untuk NKRI, tokoh dari Gumuk ini memberi
Nama Ust. Mudzakkir kembali mendapat sorotan media pada saat proses
persidangan terhadap Abu Bakar Ba`asyir. Amir Jamaah Al Islam Gumuk ini
65
kebebasan Ust. Abu Bakar. Ia dengan gigih menjelaskan kepada pemerintah,
Fenomena di atas menjadi sangat menarik jika kita menelisik peta serta relasi
Pesantren Al Mukmin Ngruki dan Jamaah Al Islam Gumuk. Kyai Ali Darokah
merupakan sedikit ulama yang dijadikan rujukan bahkan guru para tokoh-tokoh
Thufail (pendiri MTA), Abdullah Marzuki (pendiri Pesantren Assalam dan Yayasan
Tiga Serangkai), serta Mudzakkir47. Mereka juga belajar kepada Kyai Ghazali pada
saat masih hidup. Yang unik adalah masing-masing dari mereka memiliki cara
pandang tersendiri dalam mencapai cita-cita yang sama, yaitu penegakkan syariah
Pada satu sisi, Uts. Mudzakkir seide dengan gagasan perjuangan Abdullah
Sungkar dan Abu Bakar Ba`asyir. Pada sisi lain, Mudzakkir tidak sepenuhnya setuju
dengan strategi dan metode perjuangan yang dipilih Sungkar dan Ba`asyir 48 .
Perbedaan strategi dan metode perjuangan inilah yang membuat gerakan jamaah-
47
Wawancara dengan Chusniatun, 20 Desember 2005 di Lemlit UMS
48
Wawancara dengan Abu Fauzan, 21 Oktober 2005 di Pasar Kliwon
66
kelompok sehingga sulit mengorganisir kelompok-kelompok tersebut dalam satu
49
gerakan bersama . Namun kasus Ba`asyir yang diambil paksa dari PKU
berbagai kelompok yang ada. Mereka bersatu untuk membela Islam yang
Tentu ceritanya akan menjadi lain jika Mudzakkir menekuni profesi di dunia
Belum sempat selesai studinya, dia merantau ke Jawa Timur untuk mendalami ilmu-
ilmu agama di daerah Kediri 53. Diantaranya ia mendalami ilmu dari Kyai Abdul
Kohar dan Abdul Manan Al Hamidi (Mudzakkir, 1999). Setelah cukup lama
Surakarta dianggap membawa angin baru karena menawarkan sesuatu yang beda
yang selama itu luput dari perhatiannya kelompok-kelompok keagamaan yang ada.
49
Beberapa anak muda dari Pasar Kliwon pernah memfasilitasi acara Maulid bersama dengan
mengundang berbagai kelompok dan ormas namun tidak mendapat respon.
50
Wawancara dengan Abu Fauzan, 21 Oktober 2005 di Pasar Kliwon
51
Wawancara dengan Ilham, 13 Pebruari 2006
52
Merujuk pada CV yang ada
53
Wawancara dengan Ilham, 13 Pebruari 2006
67
Hal ini akan dijelaskan pada bagian bab IV. Dalam beberapa hal, Uts.Mudzakir
Menurut Chusniatun, puteri Kyai Ali Darokah, karakteristik pemahaman “Al Islam”
dilacak dari dominannya gagasan “Al Islam” dan cita-cita persatuan umat Islam
(wahdatul ummah) pada Pemikiran Kyai Ghazali dan Ust. Mudzakkir. Salah satunya
tercermin dari keharusan pemakaian kata “Al” dalam “Al Islam” yang pada akhirnya
memakai “Al” adalah kategori fasik, bahkan bisa masuk dalam katagori thagut.
Dalam tinjauan bahasa Arab, “Al” dalam “Al Islam” bukan hanya berfungsi sebagai
Pemahaman ini sama dengan pernyataan Kyai Ghazali yang tertuang dalam
dokumen Al Islam yang diterbitkan oleh Kyai Bilal (Al Islam, 1994: 2).
Islam (Dokumen Sejarah, tt: 2) dibawah satu kepemimpinan atas dasar ba`it dan taat
(Al Imamah; Al Islam wa Al Muslimun, 1994) justru merupakan nilai inti dari ajaran
Wahdatul Ummah (1999). Metode yang dipakai ketiga buku tersebut adalah sama.
68
mengelompokkannya secara tematik tanpa memberi makna sedikit pun. Titik
Gumuk.
69
BAB IV
ideologi disini lebih mengacu pada sistem berpikir, kepercayaan, serta praktik-
praktik simbolik yang berhubungan dengan tindakan sosial dan politik (Arifin, 2005:
35). Dimensi ideologi dalam Islam selalu menarik diperbincangkan karena berkaitan
Polarisasi ideologi dalam gerakan Islam akan menentukan arah dan metode
revolusioner pada kasus Revolusi Islam Iran; sunni revolusioner, dan mesianis
primitif (Arifin, 2005: 49-50). Pada kerangka ini, tidak mudah menyimpulkan
mendeklarasikan diri.
Pada konteks ini, model ideologi Jamaah Al Islam Gumuk (JAIG) sangat
terkait dengan cita-cita sosial maupun politik Islam-nya dalam konteks negara yang
sudah terbangun. Terlebih pada era reformasi ini muncul kecenderungan di kalangan
Islam tanpa harus merubah dasar negara (Fananie dkk, 2002; Jamhari dan Jahroni,
70
2004). Gelombang aspirasi menginstitusikan nilai-nilai syariah dalam bentuk Perda
Syariah di berbagai daerah merupakan indikasi kuat proyek islamisasi melalui
legislasi di daerah-daerah. Nampaknya kelompok-kelompok Islam politik belajar
banyak dari kegagalan proyek negara Islam yang selama ini mereka
perjuangkan.
Kalangan JAIG tidak terlalu suka menggunakan istilah negara Islam karena
dipandang riskan54. Inilah salah satu perbedaan pandangan antara Ust. Mudzakkir
dengan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba`asyir. Namun pada sisi lain, Ust.
sejalan dengan sikap Abdullah Sungkar dan Ba`asyir yang menolak asas tunggal
(Nursalim, 2001).
harus dijadikan acuan dan pedoman dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat,
berkategori sekunder. Adapun status kitab-kitab hadis (kutub as sittah) yang disusun
oleh Imam Bukhari dkk dianggap sebagai sumber keagamaan yang tidak murni.
Pandangan ini begitu kuat tertanam dalam teologi gerakan FPIS (Arief, 2001: 35-
36). Hal ini dapat dipahami karena pengajian Gumuk merupakan pusat pembinaan
54
Wawancara dengan Abu Fauzan, 13 Oktober 2005 di Pasar Kliwon
71
JAIG tidak mengenal mazhab kecuali mazhab kaum salaf, yakni Nabi,
sahabat serta 2 generasi pengikutnya. Tidak ada metode memahami Islam secara
otentik kecuali metode kaum salaf. Mereka mereplikasi model salaf bukan hanya
pada ranah kognitif namun sekaligus pada tingkat eskpresi budaya, seperti
penampilan dan pakaian. Yang menarik untuk dicatat adalah pengakuan Abu
Fauzan bahwa banyak kelompok salaf di Surakarta yang tidak suka dengan JAIG.
Saya kesulitan untuk mengungkap alasan secara khusus kenapa JAIG tidak
Kemungkinan besar salah satu penyebab yang bisa ditelusuri adalah isu yang
berkembang bahwa JAIG penganut Syiah55. Ust. Abdul Manaf (mubaligh senior),
Kalono (salah seorang pendiri FPIS dan pimpinan FKAM), dan kalangan Salafisme
Bagi sebuah gerakan jamaah-sunni, tuduhan bukan kelompok salaf dan justru
ditoleransi (Hooker, 2003: 103). Hal ini dapat dipahami dari kerasnya sikap
kalangan salaf terhadap kelompok Syiah. Mereka menuduh Syiah sebagai kelompok
yang telah keluar dari prinsip-prinsip dasar aqidah Islam sebagaimana konsensus Ahl
55
Disamping informasi dari Abu Fauzan, isu ini juga dikonfirmasi oleh Ust. Warsito Adnan dan
Dra. Chusniatun
72
Sunnah wal Jamaah. Jika ditelusuri lebih jauh, opini tersebut dimungkinkan dapat
Habib Husein Al Habsy, pimpinan sebuah pesantren Syiah (YAPI) di daerah Kenep,
Bangil, Pasuruan56. Ust. Mudzakkir pernah membantu Habib Husein untuk beberapa
lama sekitar tahun 1980-an. Masalah ini sempat memicu ketidakcocokan antara
Husein turun tangan untuk memediasi kedua belah pihak, utamanya Ust. Mudzakkir
di satu pihak dan Ust. Abdullah Sungkar dan Ust. Abu Bakar Ba`asyir di pihak lain
57
. Tampaknya proses islah (rekonsiliasi) ini tidak langsung tersosialisasi ke
kalangan lebih luas sehingga masih ada kecurigaan terhadap eksistensi JAIG.
tersendiri dengan negara Islam Iran pasca revolusi 1979. Menurut Ust. Warsito
pada saat Orde Baru berkuasa. Hal seperti ini biasa dilakukan juga oleh orangorang
yang melawan kebijakan politik Orde Baru (Abas, 2005). Disamping mengunjungi
negara-negara Timur Tengah, Ust. Mudzakkir pernah singgah di Iran bahkan sempat
di Iran. Sumber yang lain58 menyebutkan bahwa JAIG sempat terlibat dalam apa
56
Wawancara dengan Abu Fauzan, 13 Oktober 2005 di Pasar Kliwon
57
Wawancara dengan Abu Fauzan, 13 Oktober 2005 di Pasar Kliwon
58
Wawancara dengan Dra. Chusniatun, M.Ag
73
yang disebut Oliveir Roy sebagai internasionalisasi jaringan islamo-nasionalisme
Iran.
kepemimpinan (imamah) umat Islam. Dalam bab “khilafah, imamah, dan imarah”
Quraisy Arab (1999: 45-55). Di bagian penutup kitab, sang penyusun mengatakan
bahwa manusia akan terbagi dalam 4 kelompok, pertama adalah kelompok yang
mengetahui bahwa pemimpin yang agung berasal dari keturunan golongan Quraisy
dan 3 kelompok sisanya tidak mengetahui urgensi imam dan jamaah serta kelompok
dengan pendapat para yuris dan ahli hadis pada masa-masa awal perkembangan
Islam pasca Nabi Muhammad SAW. Tokoh teologi al Baqillani pun yang menganut
Padahal menurut para sarjana Muslim modern, semua hadis politik, baik dari
2006: 23).
74
Warsito Adnan, hal itu bisa terjadi karena kebingungan pihak luar untuk
mengidentifikasi identitas serta ideologi JAIG yang tidak pernah memberi nama
masa Orde Baru - akan selalu menjebak pada proses domestifikasi cita-cita
perjuangan dan ideologi gerakan. Hal lain yang dapat menguatkan adalah hidupnya
maupun menghapus identitas asal. Hijrah nama merupakan salah satu siasat dalam
gerakan-gerakan Islam haraki. Pada saat Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba`asyir
melarikan diri ke Malaysia, mereka menggunakan nama Abdul Halim dan Abdus
Somad (Nasir, 2005: 27). Belajar dari kasus-kasus penyusupan negara (intelejen)
Irwan Abdullah, pengajian dan pendidikan merupakan dua institusi yang sangat
59
Formalisasi yang dimaksud adalah proses registrasi yang harus dijalani pada saat sebuah
7
perkumpulan ingin mendapat pengakuan formal sebagai badan hukum dari negara.
Istilah Islam haraki merujuk pada gerakan-gerakan Islam politik yang membangun basis
gerakannya melalui kelompok-kelompok jamaah yang tersebar di majelis-majelis taklim 8
Rabu, 26 Okober 2005
75
Berbekal rekomendasi Abu Fauzan, anggota pengajian khusus JAIG sejak
tahun 1984, saya bergegas berangkat ke Mesjid Al Abror yang terletak di Gumuk,
Mangkubumen Wetan8. Jam baru menunjukkan pukul 04.30 WIB tapi sepeda
motor yang saya kendarai melaju kencang menembus Jalan Slamet Riyadi yang
masih dibalut kabut pagi. Mungkin tanpa modal survey sebelumnya, saya akan
kesulitan menemukan lokasi Mesjid Al Abror yang sekilas dari tidak tampak seperti
gamis dan koko, bercelana panjang di atas mata kaki, serta bertutup kepala seperti
yang dipakai pejuang Thaliban. Di antara mereka terlihat beberapa orang memakai
seragam para militer seperti yang biasa dikenakan anggota-anggota laskar Islam.
Inilah kali pertama saya menginjakkan kaki di komunitas pengajian yang selama ini
dikenal tertutup.
motor di samping mesjid, tidak jauh dari toko buku Gumuk yang satu bangunan
dengan mesjid. Belakangan diketahui itu merupakan tempat parkir khusus untuk
kerumunan orang di tiap penjuru bangunan mesjid yang berada di tengah himpitan
pemukiman penduduk. Jarum jam menunjukkan angka 5, jalan gang depan mesjid
semakin padat dipenuhi peserta pengajian yang terus mengalir berdatangan. Ratarata
memiliki kesamaan penampilan, mungkin kecuali saya yang memakai batik, celana
76
Ruang shalat sekaligus tempat pengajian berada di lantai 2. adapun lantai 1
dipakai untuk ruang jamaah akhwat, sekretariat Madrasah Ibtidaiyah Al Islam, dan
tempat wudhu. Kebetulan pengajian baru akan dimulai pada saat saya sudah berada
di ruangan. Awalnya, belum terlalu banyak peserta pengajian yang hadir namun 15
menit kemudian ruangan berukuran sekitar 15 X 7 meter itu telah dipadati jamaah
dari berbagai usia. Peserta pengajian bisa mencapai 500 orang. Pagi itu, Ust. Hadi
demi ayat dibaca secara jelas. Kemudian bacaan dilanjutkan oleh peserta pengajian,
baik secara spontan maupun ditunjuk langsung oleh Ust. Hadi. Semua peserta
ringkas dengan sesekali memberikan penjelasan yang dikaitkan dengan konteks dan
isu-isu yang berkembang. Pada saat itu, ayat yang sedang dirujuk membicarakan
kaum Muslim di Madinah, adalah watak dan karakter kaum Yahudi tidak bisa
tema permusuhan Yahudi terhadap Islam merupakan salah satu materi yang selalu
60
Membaca al quran secara datar, tanpa menggunakan nada-nada tertentu.
61
Wawancara 2 Januari 2006
77
ditekankan dalam penanaman doktrin dan ajaran. Misalnya ini dapat tercermin dari
yahudi”62.
Penceramah mengambil contoh isu terorisme yang pada waktu itu mencuat
sebagai bentuk rekayasa pihak-pihak yang tidak menyukai Islam. Dalam kesempatan
Pengajian setiap pagi merupakan aktivitas rutin yang tidak mengenal libur
kecuali pada hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha64. Sebagai penggantinya, anggota
jamaah melakukan shalat `id bersama di Mesjid Al Abror meskipun tempat tinggal
mereka cukup jauh dari Kampung Gumuk. Misalnya, Abu Fauzan bersama
Pengajian pagi berakhir sekitar pukul 06.30 WIB. Sebagian besar peserta
pengajian keluar mesjid dengan teratur. Di luar mesjid, peserta pengajian bercakap-
cakap. Peserta pengajian perempuan keluar dari pintu samping mesjid. Suasananya
62
Ceramah 4 Oktober 2003
63
Transkrip ceramah keagamaan PSB-PS UMS (Jamaah Gumuk), 4 Oktober 2003
64
Wawancara dengan Abu Fauzan dan Ust. Warsito Adnan
78
jalanan dan pojok gang mesjid mulai lengang. Namun di lantai dua mesjid masih
mengikuti pengajian pada pukul 07.00 WIB. Pengajian ini bersifat terbatas, artinya
hanya boleh diikuti oleh jamaah pengajian khusus yang telah lulus seleksi. Tidak
semua orang dapat mengikuti pengajian khusus ini meskipun yang bersangkutan
Ketiga proses ini dimediasi oleh forum pengajian/majelis taklim, baik pengajian
setiap hari selepas shalat shubuh dan asyar. Mayoritas jamaah pengajian berasal dari
daerah Surakarta. Pada dasarnya, siapapun dapat mengikuti pengajian ini namun
dalam kenyataannya yang datang rata-rata adalah anggota dan simpatisan JAIG dari
lulus screening tauhid dan ideologi gerakan.serta orang tertentu yang diberi ijin.
Dengan begitu, sifat kejamaahnya bersifat khusus dan tertutup. Sistem rekrutmen
anggota pengajian khusus sangat ketat dan selektif. Setiap “calon anggota” jamaah
khusus harus terlebih dahulu mengikuti pengajian umum yang bersifat rutin sebelum
lama untuk bisa diperbolehkan mengikuti pengajian khusus. Bahkan ada seorang
79
dosen yang telah mengikuti pengajian umum selama satu tahun tetapi tidak bisa lulus
Namun pada kasus tertentu, rekomendasi dari seseorang yang dinilai memiliki
Abu Fauzan diterima menjadi jamaah pengajian khusus karena sang paman
sangat dekat dengan Ust. Mudzakkir, kebetulan masih ada garis saudara dengan
memproteksi gerakan jamaahnya dari infiltrasi pihak Orde Baru yang selalu
2001: 61) menjadi pelajaran penting Ust, Muzdakkir dalam membangun sistem
JAIG.
pengajian khusus terletak pada muatan materi, “sisipan”, dan tekanannya yang
berbeda. Materi pokok pengajian adalah al Quran dan Sunnah yang terdapat dalam
namun penjelasannya selalu dikaitkan dengan kondisi aktual umat Islam. Nilai inti
pengajian adalah penguatan aqidah dan hukum Islam. Pandangan dasar JAIG ialah
65
Wawancara dengan Abu Fauzan, 16 Oktober 2005 di Pasar Kliwon
80
Islam hanya sebatas agama ritual – shalat dan puasa - tapi juga mencakup gerakan
ilmu, gerakan dakwah amar dan ma`ruf nahi munkar, dan gerakan amal sholeh.
terbuka, frontal, dan kritis karena kondisi keanggotaannya sudah steril. Pengajian
khusus pun terdiri dari beberapa lingkaran (rink) yang mencerminkan tingkat status
maka penceramah semakin bebas, lugas, serta tegas menyampaikan inti dari doktrin
dan ajarannya terkait dengan permasalah keumatan yang ada. Memasuki setiap
lingkaran khusus, setiap jamaah harus melakukan bai`at. Pada salah satu lingkaran
Institusi lain yang juga memainkan peran penting dalam proses diseminasi
nilai-nilai keislaman JAIG adalah mesjid dan institusi pendidikan. Bagi kalangan
JAIG, konsep mesjid maupun langgar dipahami dalam konteks fisik berupa
keagamaan seperti shalat tetapi juga locus persemaian perjuangan keumatan. Dalam
66 16
Wawancara dengan Abu Fauzan, 16 Oktober 2005 di Pasar Kliwon Wawanacara
Abu Fauzan
81
makna ini, mesjid merupakan simbol ideologis menolak paham sekularisme yang
jamaah dimulai dari mesjid. Menurut Abu Fauzan, militansi merupakan produk dari
(kaffah) yang disampaikan oleh orang-orang yang memiliki otoritas serta kharisma.
Dari sinilah, doktrin dan ajaran ditanamkan melalui sistem majelis taklim yang
Langgar - atau dalam istilah lain mushala - yang dirintis Kyai Shiddiq
merupakan cikal bakal Mesjid Al Abror saat ini. Dalam kasus JAIG, transformasi
gerakan keagamaan lokal ditandai oleh perubahan status langgar menjadi mesjid
yang memiliki wewenang untuk mengadakan shalat Jum`at. Pada level ini, mesjid
82
“Many instances of open defiance and protest originate at mosque
following the Friday sermon. Not only are large numbers of
prospective demonstrators already gathered but also the khutba can
be used to inspire and motivate individuals and groups to participate”
(2001: 52)
112).
sistem kaderisasi dengan tetap mengacu pada kurikulum yang dibuat JAIG. Berbeda
Al Islam Gumuk berbeda dengan kurikulum yang dipakai di beberapa sekolah Islam
83
di Surakarta67. Di samping madrasah, JAIG juga memiliki lembaga pendidikan non
formal yakni Pesantren Al Islam dan Pendidikan Menengah Agama (PMA) untuk
remaja.
Pasca Orde Baru, beberapa jamaah (anggota) JAIG yang dipimpin Warsito
Adnan terlibat dalam perintisan sekolah dasar Islam terpadu dengan menggandeng
pihak Sekolah Dasar Sunniyah yang saat itu mengalami krisis. Dalam perjalanannya,
yang dinilai pihak JAIG perubahan itu sangat prinsip. Atas dasar ini, Warsito Adnan
Yang menarik adalah semua murid SD Sunniyah sertamerta ikut keluar dan
sekaligus masuk menjadi murid SD Islam Al Fattah seperti modus “bedol desa”.
Kasus ini bisa terjadi karena Warsito Adnan menggunakan jalur komando
SD Islam Al Fattah. Hal ini dapat dipahami karena sebagian besar wali murid SD
yang diusung Ust. Mudzakkir menawarkan sesuatu yang khas pada dekade 1970an,
67
Wawancara Muhammad Ali
68
Wawancara dengan Ust. Warsito Adnan M.Ag, 13 Pebruari 2006 di SD lslam al Fattah Surakarta
84
1996). Karakteristik JAIG dapat tercermin dari prinsip-prinsip dasar paham
keberagamaannya.
merupakan bukti sekaligus ekspresi dari sebuah identitas (Hassan, 2003: 39).
dalam proses mendefinisikan sang diri (me) dan yang lain (the other). Pendefinisian
ritual tetapi juga sebagai gerakan ilmu, gerakan dakwah amar ma`ruf dan nahi
munkar, serta gerakan amal sholeh69. Berangkat dari kredo bahwa Al Islam adalah
69
Wawancara dengan Abu Fauzan
85
jalan kebenaran dan keselamatan, JAIG berpandangan bahwa dakwah merupakan
misi utama sekaligus inti dari ajaran Nabi Muhammad SAW. Dakwah tidak bisa
ditegakkan tanpa adanya totalitas pengorbanan dari setiap pengikutnya yang secara
terminologis disebut jihad. Menurut Abu Fauzan, Islam adalah agama dakwah dan
jihad.
forum pengajian maupun majelis taklim yang dilakukan intensif. Ust. Chalid
Hasan mengatakan:
Yang dimaksud dengan “pemahaman Islam yang benar” disini merujuk pada
totalitas komitmen keislaman terhadap manhaj (way of life) kaum salaf. Totalitas
tidak hanya mencakup dimensi substansi namun juga harus dibentuk oleh simbol
identitas seperti terlihat dari cara berpenampilan serta praktik shalat. Premis “Islam
yang dianggap biasa bahkan mungkin “remeh” oleh kalangan mainstream umat
Islam. Aktivitas berkategori sunnah menjadi hal yang mutlak dilakukan, misalnya
celana panjang di atas mata kaki (katok cingkrang), berjanggut, berpakaian gamis,
86
barisan salat (shaf) yang rapat, dan sujud yang lama70. Ust. Hadi Muhammad dalam
Di lain kesempatan, Ust. Yazid menganjurkan agar jamaah memakai pakaian gamis
“…dan selama itu hampir kalau Rasulullah berpakaian serba gamis, kalau
kita mampu mengikuti mari kita cinta kepada pakaian-pakaian gamis dan
hendaknya cinta pada pakaian Rasulullah”72
dalam praktik keseharian merupakan dakwah yang mutlak dilakukan karena dakwah
sendiri merupakan kewajiban yang bersifat syar`i (Sahib dalam Wu, 2001: 3). Lebih
jauh, JAIG memaknai dakwah sebagai ikhtiar terus menerus mengajak sesama
Muslim dan non Muslim untuk mengikuti bahkan “masuk” ke dalam lingkaran
kemampuannnya. Jihad berarti “berjuang sekuat tenaga” baik dengan media harta,
70
Wawancara Ilham, 13 Pebruari 2006
71
Transkrip ceramah keagamaan PSB-PS UMS (Jamaah Gumuk), 16 Oktober 2003
72
Transkrip ceramah keagamaan PSB-PS UMS (Jamaah Gumuk), 24 Oktober 2003
87
ilmu dan nyawa (Machmud, 2003). Memang jihad bisa berbentuk mencari ilmu,
menulis, serta perbuatan damai lainnya, namun jihad dalam makna perang (qital)
harus tetap ditegakkan. Menurut paham JAIG, orang yang menolak eksistensi jihad
dalam arti perang termauk dalam golongan fasik/munafik73. Dalam satu kesempatan
pendekatan dakwah sudah menemui jalan buntu dan atau pada saat yang sama umat
Islam mengalami intimidasi seperti yang di terjadi daerah konflik. Bagi Warsito
dengan kehendak syariah. Misalnya, tindakan bom bunuh diri bisa masuk dalam
kategori jihad jika target terlibat dalam usaha-usaha menyerang umat Islam75.
sebagai…
73
Wawancara dengan Abu Fauzan, 16 Oktober 2005
74
4 Oktober 2003
75
Wawancara 2 Pebruari 2006
88
“Perjalanan yang penuh onak dan duri, cabaran dan rintangan,
dibayangi rasa takut, kelaparan dan hilangnya nyawa. Jihad tidak
hanya cukup dengan berdasarkan semangat namun harus
senantiasa diiringi dengan keistiqomahan, kesabaran,, pengharapan,
akan mendapatkan antara dua kebaikan. Jihad begitu indah untuk
dibayangkan, asyik diceritakan, manis untuk dikenang, namun pahit
berat untuk dilaksanakan dan hanya manusia-manusia pilihan yang
mampu untuk mengembannya”.
skill yang terlatih serta ketepatan analisis menentukan target. Jihad sangat terkait
dengan konsep Darul Islam (zona aman) dan Darul Harbi (zona konflik/perang).
Dalam pandangan JAIG, penentuan wilayah darul Islam dan darul harbi sangat
dipengaruhi analisis dan peta kekuatan musuh sehingga konsep ini bersifat relatif.
Definisi “wilayah aman” dalam konteks ini tidak selalu berpegang pada standar
umum bahwa wilayah dimaksud bukan daerah yang mengalami konflik. Justru
Implikasi dari konsep darul Islam dan darul harbi yang bersifat relatif ini
adalah dibolehkannya penerapan jihad dalam makna qital (membunuh dan perang)
di daerah yang dikategorikan aman oleh negara jika dalang intelektual yang
memusuhi umat Islam memang berada di daerah tersebut. Dalam salah satu
89
di jalan ya (bunuh) di jalan, ketemunya di kali ya jengkangna sisan”
76
Gedung Putih maka kenapa kita harus berperang di situ, fokus saja ke Gedung
Masalah lain yang merupakan inti dalam JAIG adalah jamaah dan imamah
(kepemimpinan). Kedua konsep ini merupakan tulang punggung JAIG karena tidak
hanya memberikan jalan bagi pembumian syariah Islam namun juga kunci
kebangkitan kembali persatuan dan solidaritas umat Islam. Ideologi Al Islam selalu
Hal ini dapat dicermati dari satu ceramah Ust. Abu Abdillah,
76
4 Oktober 2003
77
Wawancara dengan Warsito Adnan, 2 Pebruari 2006 28 4
Oktober 2003
78
idem
90
golongan yang berbeda, karena partai yang berbeda, karena
organisasi yang berbeda, yang itu sebenarnya merupakan bala dari
Allah SWT79”
keagamaan yang sangat penting karena kedua hal itu adalah masalah prinsipil
keyakinan umum masyarakat Muslim mengenai konsep imamah dewasa ini yang
loyalitas (thaat) terhadap pemimpin (Mudzakkir, 1999; Ghazali, 1994; Bilal, 1994;
Abas, 2005). Jika pada masa Kyai Ghazali gerakan Al Islam menekankan pada aspek
menekankan pada aspek penguatan dan konsolidasi cita-cita persatuan umat Islam
79
12 Desember 2003
91
Sebagai sebuah kitab kompilasi ayat-ayat al Quran dan Hadis yang disusun
Ust. Mudzakkir, “Wahdatul Ummah” bisa dianggap merupakan salah satu pegangan
pokok JAIG. Melalui kitab ini, penyusun ingin mengingat umat Islam untuk tidak
terjebak dalam fanatisme kelompok (ashabiya) karena hal ini merupakan akar
penyakit perpecahan di tubuh umat Islam. Cita-cita persatuan umat Islam merupakan
counter terhadap perpecahan bahkan konflik di kalangan umat Islam, baik dalam
terhadap kemunculan organisasi keagamaan dan partai politik yang dijadikan media
perjuangan umat Islam selama ini. Secara pribadi Ust. Mudzakkir (1999)
perpecahan dan memicu fanatisme 80 . Partai Islam bukan alat yang efektif untuk
menyalurkan hak pilihnya pada saat pemilihan umum, termasuk untuk tidak memilih
(golput). Dalam pandangan Kyai Ghazali, selain “Al Islam” adalah thagut (pengikut
golongan syetan).
“…..partai-partai politik yang ada di dunia Islam saat ini, tak terkecuali di
negeri Arab, menjadi partai-partai yang terpecah belah. Sebab, partai
tersebut tidak berlandaskan pada suatu ideology (Islam) (dikutip dari
Arifin, 2005: 101)
80
Wawancara dengan Warsito Adnan, 2 Pebruari 2006
92
Aktivis HT meyakini Islam tidak hanya sebagai agama yang mengurusi masalah
memegang teguh doktrin Islam adalah agama dan ideologi (Arifin, 2005: 103).
karena perempuan dianggap tidak mempunyai hak bekerja di luar rumah. Hak dan
keagamaan suaminya tidak sejalan dengan JAIG. Kasus ini menegaskan bahwa hak
otonomi individu dan kebebasan menentukan pilihan masih menjadi sesuatu yang
(giving voice) kepada mereka (kaum perempuan) yang “tidak bisa berbicara” atas
yang harus dihormati oleh setiap anggota JAIG, yaitu haknya sebagai tetangga dan
81
Wawancara Chusniatun
82
Wawancara Abu Fauzan
93
pengampunan dari umat Islam meskipun ia memusuhi Islam sebelumnya. Ini
memusuhi umat Islam maka mereka berhak mendapat perlakuan baik bahkan umat
Islam wajib melindunginya. Ust. Chalid Hasan memberi contoh bagaimana beberapa
keluarga etnis Tionghoa non Muslim di lingkungan Gumuk dapat hidup nyaman,
Begitu pun pada saat konflik di Ambon meletus 1999, Ust. Mudzakir
Gereja Jawa yang terletak di Gladak84. Yang juga hampir luput dari sorotan media
83
Transkrip ceramah keagamaan PSB-PS UMS (Jamaah Gumuk), 4 Oktober 2003 35 Wawancara
26 Oktober 2005
84
Wawancara Abu Fauzan
94
199885.
dan masyarakat 86 . Mereka percaya bahwa gerakan jamaah lebih efektif sebagai alat
individu-individu. Metode ini ternyata dikuatkan oleh pengalaman para aktivis Islam
di Kairo pada saat memperluas wilayah dakwahnya. Gerakan reformasi Islam yang
Pemimpin keagamaan umat Islam, baik yang disebut kyai maupun ustadz,
dan pengikutnya. Untuk menjelaskan relasi antar kyai di Kediri, Sidney Jones
Dirdjosanjoto, 1999: xvi). Ciri pesantren induk adalah memiliki jaringan alumni
pesantren yang telah menyebar di berbagai tempat dalam skala nasional. Jaringan
alumni tersebut berhasil membentuk jejaring pesantren lokal yang menginduk pada
pesantren induk. Pola ini sangat lajim berlaku dalam dunia pesantren.
85
Wawancara Bambang Setiaji, Abu Fauzan dan Mirza
86
Wawancara Abu Fauzan
95
Pola potronase di atas juga berlaku di kalangan stakeholders JAIG seperti
daerah, khususnya yang berada di wilayah Surakarta. Setiap anggota yang tersebar
tersebut berafiliasi langsung dengan jamaah lokal yang sekaligus menjadi simpul
seorang pemimpin (amir) lokal. Prosedur pemilihan seorang amir lokal melalui
`amm (pemimpin umum) Jamaah Al Islam di Mesjid Al Abror, Gumuk. Amirul amm
JAIG memegang kendali komando semua jejaring simpul jamaah Al Islam lokal di
Pulau Jawa serta beberapa daerah di luar Jawa, seperti Lampung dan Kalimantan.
Sejauh ini, seorang amirul `amm terpilih melalui proses alamiah dengan mengacu
pada faktor otoritas keilmuan dan kharisma. Ust Mudzakkir merupakan amirul `amm
anggota wajib bersikap loyal dan komit (tha`at) kepada perintah amir sesuai sumpah
setia (bai`at) yang diikrarkannya. Dalam proses kaderisasi gerakan gerakan, tugas-
87
wawancara dengan Warsito Adnan, 13 Pebruari 2006 di SD Islam Al Fattah Surakarta
96
tokoh-tokoh teras JAIG, seperti Ust. Chalid Hasan, Ust. Mujahid, Ust. Sahli, dan
Ust. Zaid.
partisipannya dalam tempo 1 x 24 jam. Jalur komando ini biasa dipergunakan dalam
lingkaran ini, Mesjid Al Abror merupakan Pusat sekaligus basis Jamaah Al Islam
Nama ini diambil dari kelompok yang menjadi pembela setia Nabi Isa. Semangat
laskar khawari menyuarakan pembelaan terhadap nasib umat Islam dan terlibat
88
Nama mesjid Al Abror banyak dilansir di berbagai pemberitaan media cetak dan elektronik, di
antaranya www. pesantren on line.com (8 Oktober 2005), www.indosiar.com (17 Pebruari 2003),
www.detik.com (17 Pebruari 2003), HU KOMPAS (8 Maret 2004), serta HU Suara Merdeka (5
Pebruari 2004)
89
Wawancara Abu Fauzan
97
Menurut sumber Forum Komunikasi Umat Islam Surakarta (FORKUIS, 2000),
tercatat lebih dari 40 laskar yang ada di Surakarta, baik yang memiliki induk afiliasi
seperti KOKAM, Banser, Hizbullah, dan Gerakan Pemuda Ka`bah maupun berdiri
sendiri seperti FPIS, laskar Jundullah dan Bismillah (Isman dkk, 2002: 12).
berkumpul dan memutuskan berdirinya Front Pembela Islam Surakarta (FPIS) yang
dideklarasikan pada tanggal 5 Pebruari 1999 (Fananie dkk, 2002: 25; Arief, 2001:
16). Yang patut dicatat adalah beberapa tokoh penting FPIS merupakan tokoh-tokoh
di JAIG, seperti Ust. Mudzakkir dan Ust. Chalid Hasan (Dewan Syura FPIS) serta
Pondok Al Mukmin Ngruki. Laskar khawari sendiri merupakan salah satu brigade
yang menjadi tulang punggung FPIS (idem, 45). Kehadiran Ust. Mudzakkir, Ust.
Chalid Hasan dan Warsito Adnan dalam struktur organisasi FPIS telah memberi
Islam politik.
98
BAB V
KESALEHAN, MOBILITAS SOSIAL, DAN ANONIMITAS
Bab III dan IV telah menjelaskan relasi dan genealogi kesejarahan, konstruks
ideologi “Al Islam” merupakan bentuk kritik sekaligus protes terhadap realitas
dijelaskan di bab II. Al Islam sebagai ideologi gerakan lahir dari rahim sosiologis
Mudzakkir dkk dihadapkan pada konfigurasi politik di era Orde Baru. Faktor inilah
99
gerakan JAIG. Orde Baru memainkan peranan sangat penting karena pemerintah
menertibkan sistem politik melalui reformasi pada tingkat elit dengan membentuk
korporasi negara dimana militer, teknokrat, dan birokrat menjadi pilarnya. Langkah
kepartaian dan penyatuan ideologi politik formal melalui azas tunggal Pancasila
(Thoyibi, 1999: 4). Ekonomi korporasi yang dikembangkan Orde Baru telah menarik
sistem ekonomi masuk pada pusaran pasar bebas yang mendewakan efisiensi dan
kelas bawah.
100
Pada dekade 1970-an, perjuangan Islam melalui jalur politik seakan
menabrak cadas karena pemerintah tidak memberi celah kepada partai politik
maupun kelompok sosial keagamaan yang menganut ideologi Islam politik. Negara
ancaman atas stabilitas negara. Secara politik, umat Islam dialienasi sehingga
Menurut Rusli Karim (dalam Nursalaim, 2001: 49-50), ada lima faktor
penyebab peminggiran Islam politik oleh Orde Baru, yaitu: pertama, dominasi
kalangan dekat Presiden Soeharto. Keempat, tekanan dari dunia Barat karena mereka
sangat khawatir dengan eksistensi Islam politik di Indonesia. dan Kelima, masih
dakwah yang mengarah pada mobilisasi massa, aktivis Muslim (Islamic activism)
101
Muslim yang pada mulanya bergabung dengan partai-partai yang menganut Islam
politik seperti Partai Masyumi dan Partai Bulan Bintang mengambil jalur politik
bawah tanah (usrah/halaqah) maupun kultural (pesantren dan madrasah) sebagai
alternatif gerakannya. Misalnya, Abdullah Sungkar sempat aktif di Partai Bulan
Surakarta dan mendirikan Pondok Al Mukmin Ngruki bersama Abu Bakar Ba`asyir
politik yang sudah mengalami transformasi strategi gerakan. Gerakan jamaah adalah
saat itu. Konflik antara negara melalui pengazastunggalan Pancasila dan aktivis-
antara dua wilayah, James C. Scott (1990) menyebutnya publict transcript dan
102
hidden transcript. Kesamaran dan ketersembunyian merepresentasikan diskursus
atau dipengaruhi oleh faktor, alasan, maupun kepentingan sosial, politik, dan
ekonomi. Contoh lain yang relevan diangkat adalah fatwa Pondok Al Mukmin
Ngruki yang mengharamkan memberi penghormatan pada bendera Merah Putih dan
dapat dilacak pada tingkat represivitas dan intervensi negara terhadap pranatapranata
91
politik, khususnya keluarga dan kelompok agama. Orde Baru sangat
90
Awalnya pendapat ini tidak dikenal di lingkungan Pondok Ngruki. Kasus Komando Jihad (Koji)
yang dinilai telah mendiskreditkan Pondok Ngruki membuat mereka melakukan perlawanan
terhadap negara. Pada saat Pangdam Diponegoro berkunjung ke Pondok Ngruki, mereka tidak
menghormat bendera Merah Putih serta menyanyikan lagu Indonesia Raya. Wawancara dengan
Chusniatun.
91
Program Keluarga Berencana (KB) adalah bentuk intervensi vulgar negara terhadap kehidupan
private masyarakat.
92
Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang didirikan tahun 1975 merupakan institusi keagamaan yang
tidak terlepas dari intervensi negara pada waktu itu
103
Aktivis Muslim yang kukuh memperjuangkan ideologi Islam harus berhadapan
dengan pendekatan represif dari apparatus ideologi negara, bahkan tidak sedikit
yang mendekam di penjara (Nursalim, 2001: 60). Gerakan bawah tanah - atau
disebut fase tiarap dalam term NII – menjadi pilihan strategi melalui pengajian,
umat pada masa ini menjadi modal amunisi gerakan Islam politik dikemudian hari,
pasca kejatuhan Orde Baru. Di fase tiarap ini, radikalisme keagamaan tidak begitu
muncul di ruang publik secara terbuka. Namun menjelang keruntuhan Orde Baru,
politik di era reformasi ini. Transformasi sosial-politik yang disertai gerakan massa
diikuti oleh mobilisasi mereka dalam bentuk gerakan kelaskaran sebagai aktulisasi
jihad. Yani Rusmanto, komandan laskar Hizbullah, menuturkan bahwa Islam berada
sosiologis ini memaksa kelompok Islam politik untuk menampilkan Islam secara
radikal (Fananie, 2002: 32). Konteks sosial-politik itu menyuburkan berbagai laskar
104
di kota Bengawan ini yang bersimbiosis dengan pengajian maupun majelis taklim,
seperti laskar khawari dan FPIS berafiliasi dengan Jamaah Al Islam Gumuk.
FPIS. Hal ini sejalan dengan tesis Ali Syariati yang meyakini bahwa gerakangerakan
2004: 110). Faktanya, polarisasi paham dan ideologi gerakan Islam memiliki
menyikapi kemaksiatan dan solidaritas umat Islam (Fananie, 2002: Susanti, 2002;
Arief, 2001). Islam, bagi gerakan-gerakan Islam politik radikal ini, selalu menjadi
Memasuki tahun 1998, tepatnya fase transisi dari Orde Baru ke fase
kebangkitan Islam politik yang pada masa Orde Baru tiarap. Kasus kerusuhan Mei
hiburan malam oleh sekelompok santri dari Pondok Al Mukmin Ngruki yang
kemudian diikuti aksi penyerangan oleh sekelompok massa tidak dikenal terhadap
105
Islam di Surakarta bersatu 93 . Oleh karena itu, masa reformasi politik merupakan
Disamping dipicu oleh faktor beban psikologis dibawah tekanan Orde Baru,
kebebasan (Jamhari dan Jahroni, 2004: 18). Dalam konteks konsfigurasi gerakan
Islam politik di Surakarta, kebangkitan Islam politik memiliki dua substansi, yaitu
penguatan artikulasi Islam politik dalam domain publik dan transformasi strategi
Amerika pasca 11 September 2001, peristiwa bom Bali pada Oktober 2001, serta
Ba`asyir (Batley, 2003: 1-2) telah memicu kohesivitas ideologis sekaligus solidaritas
Majalah Suara Front, publikasi resmi FPIS, dalam edisi “Menuju Persatuan
Sejati” melansir bahwa kasus penangkapan paksa Abu Bakar Ba`asyir di Rumah
politik yang terkait dengan umat Islam 94 . Pada situasi ini, Uts. Mudzakir selaku
93
Wawancara Abu Fauzan
94
Wawancara Abu Fauzan
106
Ketua Aliansi Umat Islam Surakarta (KOMPAS, 20/10/2002) memainkan peran
Gagasan “Al Islam” sebagaimana telah dipaparkan dalam bab III dan IV
merupakan bentuk respon sekaligus kritik terhadap realitas sosial-politik umat Islam.
Islam sejati - yang dalam ungkapan lain juga disebut “untuk menegakkan Kalimah
Allah” (tauhid). Apabila ditelaah secara hermeneutis, kelahiran ideologi “Al Islam”
ideologi “Al Islam” dan diskursus Islam yang lahir serta berkembang pasca Jamaah
pada emosi keagamaan. Menurut Shiraishi, sejak awal orang-orang Solo lebih suka
kenyataannya organisasi ini lebih merujuk pada Rekso Roemekso dan bukan pada
perkumpulan dagang, seperti SDI Bogor (Shiraishi, 1997: 57). Kontribusi terbesar
107
Sarekat Islam, khususnya terkait dengan pembahasan ini, adalah membawa Islam
ideologi di awal abad ke-20 mengkristalkan kontestansi ideologi pada tiga kutub,
pertama pada masa modern yang mendeklarasikan Islam sebagai faktor pengikat dan
symbol nasional (Maarif, 2006: 81). Inilah era kelahiran “Islam politik” dalam
tetapi doktrin Islam politik tetap mendapat tempat di kalangan Muslim Surakarta,
dan Kauman (Nashier, 1992: 107). Diskursus Islam yang dibentuk pada masa-masa
Sarekat Islam inilah yang telah memberikan landasan terhadap kemunculan genre
lain dari kekuatan Islam politik di Surakarta, yaitu ideologi Al Islam (Jamaah Al
Islam) yang ditopang kolaborasi kaum santri dan kaum pedagang batik.
Pada awalnya, ideologi Al Islam merupakan bentuk kritik para tokoh agama
108
perpecahan umat Islam, sinkretisme, taklid, dan keterbelakangan umat Islam. Pada
fase Jamaah Al Islam periode Kyai Ghazali (1927-1953), kritik ideologi Al Islam
maupun realitas politik yang ada. Hal ini bisa dilihat dari sikap akomodatif Jamaah
9).
Bisa disimpulkan bahwa karakteristik kritik pada fase ini lebih bersifat
internal untuk umat Islam sehingga bisa dikatakan belum menyentuh wilayah
eksternal (baca: the other). Perubahan situasi politik pasca kemerdekaan tidak
banyak berpengaruh terhadap aras kritik ideologi Al Islam karena gerakan yang
keagamaan yang ada, termasuk Jamaah Al Islam yang didirikan Kyai Ghazali. “Al
Islam” dalam konstruks doktrin JAIG seperti dijabarkan di bab III.C adalah agama
sekaligus ideologi politik. “Al Islam” (kembali) senapas dengan paradigma Islam
politik seperti dicetuskan SI. Olivier Roy menyebutnya sebagai bentuk neo-
109
menyeluruh (2005: 7).
Hemat saya, ideologi Al Islam JAIG tidak hanya berkarakter “me-lainkan”
(othering) seperti halnya paham Kyai Ghazali namun juga yang terpenting adalah
mekanisme politik formal atau tepatnya sub politics dalam istilah Ulrich Beck
(1994). Gerakan jamaah yang dintrodusir JAIG justru merupakan antitesa terhadap
Konsfigurasi politik dan struktur sosial, baik dalam skala lokal, nasional
solidaritas terhadap nasib umat Islam yang teraniaya merupakan bagian dari kritik
sevisi, termasuk melawan “musuh”. Ust. Chalid Hasan mengatakan (dikutip dari
110
Sebagian besar kelompok radikal keagamaan – memakai istilah Zainuddin
Fananie dkk – muncul dan berkembang dipicu oleh lemahnya peran negara dalam
menyikapi berbagai kemaksiatan dan solidaritas umat Islam (Arief, 2001; Fananie,
umat Islam melalui penyatuan emosi atas dasar kesamaan identitas. Islam tidak bisa
ekonomi, kemunculan aktivisme Islam tersebut memiliki orientasi yang sama, yakni
keumatan merupakan proses kaderisasi dalam ruang publik bagi setiap anggota JAIG
kesalehan dalam konteks struktural dibingkai oleh kesadaran politis sekaligus protes.
111
Ust. Mudzakkir yang dilansir media elektronik detik.com95:
Jika memang sikap bersama para ulama tersebut mencerminkan sikap politik
pribadi sekaligus institusi yang dipimpin Ust. Mudzakkir maka terlihat jelas bahwa
baik yang menyangkut wilayah sosial, politik, bahkan global seperti isu-isu
sosial sekaligus politik dalam proses perubahan. Hasan Al Banna, pendiri Ikhwanul
Muslimin, merumuskan Islam dalam ungkapan “Islam adalah akidah dan ibadah,
tokoh ini merupakan perumus ideologi Islam politik di kalangan Sunni. Adapun
politik sebagai ideologi radikal (Roy, 2005: 56; Arjomand, 1993; Choueiri, 2003).
95
Diakses 17 Pebruari 2003, 1.30am
112
Namun R. Hrair Dekmejian mengkategorisasikan ideologi Islam politik sebagai
bagian dari mata rantai gagasan yang dipostulasikan pemikir-pemikir Islam politik
tersebut dengan tetap mengacu pada mazhab salaf. Meminjam kerangka Yudi Latief
(2005), gagasan dan perjuangan Jamaah Al Islam Gumuk dengan sendirinya telah
pengabdian terhadap Allah dan Rasul-Nya yang ditunjukkan melalui loyalitas dan
syariat Islam. Kesalehan merupakan ekspresi ideologi Al Islam yang tidak mengenal
113
politik. Secara umum, setiap gerakan reformasi Islam tidak hanya berorientasi pada
penguatan aqidah dan wilayah vertikal seperti shalat namun juga yang terpenting
jihad. Sehingga dapat dipahami jika Jamaah Al Islam Gumuk merumuskan Al Islam
mengaktualisasikan jihad dalam bentuk pengajian rutin dan tabligh akbar (Fananie,
2002: 76). Pengingkaran terhadap urgensi dakwah dan jihad dapat dikatakan sebagai
mengejutkan jika Jamaah Al Islam Gumuk berpendapat bahwa orang yang menolak
Melalui metode pengajian dan tabligh akbar, semangat jihad dikobarkan dan terus
Kedua media tersebut merupakan konteks mikro dari sebuah mobilisasi gerakan
Menurut Abu Fauzan, bagi setiap Muslim yang hendak menjalankan jihad, utamanya
dalam makna perang, dituntut ber- mujahadah terlebih dulu sebagai bentuk
persiapan mental maupun fisik. Disamping itu, dakwah amar ma`ruf dan nahi
114
dengan siapapun yang melindungi kemaksiatan. Dalam konteks ini, latihan
anggota jamaah. Menurut studi Kartodirjo (1985: 160), indoktrinasi jihad sebagai
perang suci melawan sesuatu yang asing (the other) telah menjadi kepercayaan di
ini merupakan kunci terjadinya mobilisasi sebuah gerakan (idem, 161). Bagi Jamaah
pejuang maupun pahlwan Islam disebut dengan istilah mujahid. Kata pahlawan juga
mujahid memiliki akar kata yang sama dengan jihad, yaitu jahada. Bersenyawanya
Muslim.
Warsito Adnan dan Abu Fauzan tidak menolak kemungkinan jihad dilakukan
dengan jalan kekerasan bahkan perang sekalipun selama hal itu dibenarkan oleh
115
syariat Islam. Di tengah kontroversi jihad, Charles Kimball menegaskan bahwa jihad
pada dasarnya satu perjuangan terus menerus agar menjadi orang baik dan bermoral,
melakukan perbuatan baik untuk orang lain bagi kemaslahatan masyarakat (2003:
menggarisbawahi citra jihad yang lekat dengan kekerasan dan perang atas nama
mobile Muslim at home dan mobile jihadist. Pada saat yang sama, jihad selalu
berhubungan dengan konsep hijrah sebagai strategi perjuangan Islam. Seperti telah
diulas di bab IV, pada tingkat tertentu setiap anggota Jamaah Al Islam Gumuk
dianjurkan melakukan hijrah, baik secara paradigmatik, naming, dan fisik. Hijrah
merupakan tindakan strategis (Kimball, 2003: 261). Perpaduan konsepsi jihad dan
jamaah seperti JAIG dalam struktur sosial yang memposisikan mereka sebagai
subordinat.
penggerak, serta sistem kaderisasinya yang disebut Scott sebagai bentuk anonimitas
116
kelompok-kelompok subordinat yang mencakup tehnik gossip, agresi, surat kaleng,
kekerasan, dan pembangkangan massa liar. Ini masih terkait dengan teori “suara
dibawah tirani” yang dikenalkan Scott. Strategi anonimitas gerakan JAIG terlihat
jelas dari sistem kaderisasi yang berlingkar dan bertingkat, kebiasaan memakai
nama-nama pengganti dalam interaksi baik yang bersifat in group maupun out
group, aliansi gerakan yang bersifat cair dan mobile dengan penamaan yang
berbeda-beda.
Hal lain yang patut diberi catatan dari komentar Euben adalah asosiasi jihad
dikonfirmasi Warsito Adnan dan Abu Fauzan mengenai totalitas jihad, pencitraan
Euben tersebut memiliki dasar doktrinal serta fakta sosiologis. Fakta historis yang
kapasitas untuk melakukan mobilitas secara fisik. Kasus lain adalah pengerahan
Bakar Ba`asyir96.
kepartaian, Jamaah Al Islam Gumuk (JAIG) menempuh jalur yang biasa disebut
96
Wawancara Abu Fauzan
117
terhadap realitas-realitas yang merugikan umat Islam. Menurut Abu Fauzan,
muatan dan orientasi forum pengajian. Bertolak belakang dengan model Teologi
JAIG dibingkai oleh doktrin yang ditanamkan melalui pengajian. Pengajian – aksi –
pengajian.
Menurut Abu Fauzan, model kaderisasi JAIG ini kemudian diadopsi Front
Pembela Islam Surakarta (FPIS) yang berlainan dengan pola Front Pembela Islam
(FPI) yang cenderung menekankan aksi tanpa penguatan di wilayah doktrin terlebih
dahulu. Bagi Warsito Adnan, demontrasi bagian dari upaya memaksimal perjuangan
umat Islam karena secara filosofis ber-Al Islam adalah “bagaimana bisa berbuat”.
Sebenarnya, demonstrasi merupakan model lain dari strategi `irhad (show of force)
yang biasa dilakukan jika jihad dalam bentuk perang tidak mungkin dilakukan.
Aliansi Laskar Islam Surakarta (ALIS), Aliansi Umat Islam (AUIS), Koalisi Umat
Islam Surakarta (KUIS) (Arief, 2001: 48; Fananie, 2002: 105), dan Umat Islam
Peduli Bangsa (Suara Merdeka, 25 Maret 2003). Mencermati siklus kemunculan
aksi-aksi keumatan ini, setidaknya ada dua pola yang bisa ditemukan, yaitu siklus
musiman dan siklus situasional.
malam – yang menurut mereka sumber kemaksiatan – serta tindakan sweeping dan
penutupan paksa jika pemerintah kota dan pihak pengusaha hiburan tidak
118
mengabaikan tuntutan mereka. Pada bulan ramadhan tahun lalu, tepatnya 18 Oktober
2005, laskar-laskar yang tergabung dalam KUIS menutup paksa disertai perusakan
tempat itu menjual minuman keras. Padahal, imbauan kami sudah jelas, tempat
memotivasi aksi-aksi keumatan. Adapun isu solidaritas adalah faktor utama pemicu
aksi-aksi keumatan di saat umat Islam dihadapkan ataupun menghadapi kondisi yang
melalui jejaringan majelis taklim yang bersifat informal. Yang terpenting dalam
konteks ini adalah umat Islam di Surakarta dapat menyuarakan aspirasi dan
solidaritasnya sebagai bentuk dukungan terhadap umat Islam di tempat lain, baik
bagian penting dalam siklus ini. Begitu pun agresi Israel ke Libanon baru-baru ini
telah memicu solidaritas umat Islam di Surakarta. Hari Jum`at selalu dipilih menjadi
munkar) harus ditegakkan atas nama jihad meskipun harus terpaksa menggunakan
119
subordinat, kekerasan sebagai tindakan kolektif merupakan unsur sekaligus
Ian Buruma dan Avishai Margalit berpendirian bahwa doktrin perang suci
(jihad) yang diyakini pelaku bom bunuh diri tidak memiliki hubungan dengan
dibuktikan oleh sejarah (2004: 12). Namun Imam Samudra (2004: 95), salah seorang
faktor emosi keagamaan yang mendalam. Jihad tidak bisa disandarkan pada
kalkulasi nalar karena yang paling menentukan adalah keyakinan kuat untuk
membela agama Allah (Nursalim, 2001: 68) kecintaan membela umat Islam.
Ada dua hal yang menonjol dalam gerakan sosial yang digerakkan oleh
hasrat kolektif untuk menjadi Muslim sejati melalui aktualisasi jihad, yaitu semangat
yang mengakui menjaga kerahasiaan adalah hal yang mutlak dalam perjuangan
120
(2004: 21). Tradisi anonim dalam gerakan jamaah disebut Scott sebagai medan
menerima satu ideologi secara total maka penerimaan itu menuntut adanya kepuasan
psikis. Fase usia muda mencerminkan proses pencarian jati diri yang membutuhkan
kepuasan psikis dan pengakuan sosial. Faktor lain yang berpangaruh penting adalah
tingkat pendidikan dan ekonomi. Menurut Chusniatun, pertautan emosi darah muda,
kepentingan sosial, dan alasan ekonomi dengan penafsiran terhadap teks-teks agama
di dalam memori para remaja dan pemuda yang mengikuti pengajian rutin.
Proses ini melahirkan apa yang disebut Zakiah Drajat, sebagaimana dikutif
Chusniatun, sikap positif radikal dan positif rasional. Pengajian rutin, tabligh akbar,
sikap radikal di kalangan remaja maupun pemuda yang menjadi massa inti dari
Khawari sebagai media jihad di ruang publik. Secara taktis, anggotanya terlibat
langsung di FPIS meskipun status FPIS adalah aliansi dari laskar-laskar yang
121
FPIS. Ditemukannya indikasi praktek penyuapan bahkan penyusupan 97 oleh pihak
aparat pemerintah ke dalam tubuh FPIS telah membuat Dewan Syura FPIS
majalah dwi mingguan, yaitu “Suara Front”. Majalah dikelola oleh anggotaanggota
98
FPIS yang juga tercatat sebagai jamaah pengajian Gumuk . Dalam struktur
Redaksi.
kelaskaran cukup melekat dalam pola keberagamaan yang menafsirkan jihad dalam
mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, terkait aksiaksi
laskar Islam yang cenderung bertindak anarkis bahkan main hakim sendiri.
Ahmadiyah di
97
Penyusupan sering menjadi modus aparat intelejen untuk memecah belah gerakan-gerakan jamaah
maupun Islam politik yang kritis terhadap negara. Salah satu strategi kontra intelejen yang dilakukan
gerakan-gerakan jamaah adalah dengan melakukan proteksi ketat dalam proses rekruitmen dan
kaderisasinya. Baru-baru ini, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) berhasil membongkar penyusupan
yang oleh mereka disebut agen CIA, yaitu Asep Rahmatan Kusuma dan Muhammad Hasan (lih.
Gatra edisi 14/01 dan 19/07, 2006).
98
Wawancara dengan Abu Fauzan, 16 Oktober 2005 di Pasar Kliwon
122
Bogor (oleh Gerakan Umat Islam Indonesia), mengancam menyerbu markas Islam
Playboy (ketiga oleh FPI), penyerangan terhadap markas FPI di Jember (oleh
Masyarakat Anti Kekerasan), dan ancaman Garda Bangsa menyerbu markas FPI
mengatakan:
musuh yang diciptakan (Aho, 1994:26). Tanpa adanya musuh, perjuangan (jihad)
tidak akan memiliki makna apapun, lanjut James Aho. Relasi kepahlawanan dan
musuh memproduksi sistem pandangan hidup standar terhadap “yang lain” (the
other), yang dalam istilah psikologi disebut prejudices. Reynolds dan Turner
mendefinisikannya sebagai:
123
dan sekularisme dapat dipandang sebagai mediator utama dalam proses penciptaan
musuh yang harus diperangi secara mujahadah oleh umat Islam. SEPILIS
ancaman serius terhadap umat Islam yang kemudian direifikasi sebagai musuh (the
enemy) utama. Dalam sebuah forum tabligh akbar merespon fatwa MUI tersebut,
Serangkaian aksi-aksi anarkis yang dipicu sebuah sebuah fatwa agama tersebut
Pada konteks ini, Jamaah Al Islam Gumuk melalui Ust. Mudzakkir telah
ideologi di luar Al Islam sebagaimana telah dikupas di bab IV. Siapapun dan apapun
yang tidak berpusat pada Al Islam adalah pihak yang harus didakwahi. Jika mereka
Musuh umat Islam dalam pandangan JAIG adalah mereka, baik individu,
124
BAB VI
KESIMPULAN
Surakarta berhubungan, baik langsung maupun tidak, dengan spektrum politik pada
aras nasional dan internasional. Rangkaian pemaparan dalam studi ini mengacu pada
arus zaman; dari fase penjajahan ke fase kemerdekaan, dari Orde baru ke Orde
Reformasi, dari diskursus anti asas tunggal Pancasila ke perang melawan terorisme.
Gerakan Jamaah Al Islam (di) Gumuk yang menjadi fokus studi ini
merepresentasikan lingkaran inti sekaligus rumah inkubasi bagi ideologi Islam politik.
Kemunculan jamaah ini pada tahun 1977 merupakan bagian sekaligus pelanjut dari
berdiri tahun 1912 telah mengenalkan gagasan Al Islam sebagai pengikat imajinasi
masyarakat politik umat Islam ketika dihadapkan pada realitas penjajahan. Islam politik
atau juga disebut islamisme merupakan pilihan ideologis yang dilatarbelakangi oleh
konteks sosiologis Surakarta pada saat Islam harus bersaing dengan ideologi
(1926) memposisikan Islam sebagai sumber inpsirasi sosial dan budaya sehingga tidak
125
berorientasi pada perjuangan struktural, yakni mewujudkan tata sosial berdasarkan
Islam sebagai basis politiknya. Meskipun begitu, Muhammadiyah dan NU telah terlibat
ideologi Islam politik yang menginginkan persatuan umat Islam di bawah satu atap
kepemimpinan. Dengan kata lain, tidak ada Islam model Muhammadiyah, NU, dan
taklim dan pengajian pada dekade 1970-an di Surakarta. Struktur sosial Surakarta telah
gagasan Al Islam. Salah satu bentuk dari proses ini adalah Jamaah Al Islam Gumuk
(JAIG). Élan vital ideologi Al Islam adalah purifikasi terhadap pandangan keagamaan
Gerakan JAIG yang dibangun oleh Ust. Mudzakkir merupakan satu antitesis
sistem kenegaraan yang sudah terbangun. Ini merupakan respon sosiologis sekaligus
siasat menghadapi rejim politik Orde Baru yang bersikap konfrontatif terhadap gerakan
126
Islam politik. Otoritarianisme Orde Baru telah menimbulkan keresahan, penindasan
berupa pemberangusan ideologi Islam politik, dan gejolak sosial-politik. Pada saat
ideologis, psikis, maupun fisik bahkan hak-hak dasarnya sebagai warga negara.
institusi keagamaan tidak hanya berfungsi sebagai rumah ideologis namun juga
dan solidaritas. Pengajian dan kelaskaran merupakan dua institusi kaderisasi yang tidak
mengkondisikan anggota jamaah untuk suatu mobilisasi atas dasar doktrin agama.
Peran pemimpin ataupun elite jamaah dan pengaruh sosial sangat berpengaruh
gerakan, dan jalur komunikasi maupun koordinasi dengan jejaring informal. Realisasi
kepemimpinan Islami dalam konteks makro sebagai tujuan puncak cita-cita ideologis
Al Islam harus disertai oleh kehadiran satu pemimpin sentral yang kharismatik. Jamaah
Al Islam di Gumuk mewakili satu konteks mikro tata sosial Islami dengan satu
kepemimpinan kharismatik.
127
Melalui institusi keagamaan, Al Islam diinterpretasikan dan direifikasi menjadi
sebuah konstruks ideologi atas dasar objektivikasi yang bersifat subjektif. Dengan
ungkapan lain, interpretasi adalah relasi kuasa dan ideologi gerakan adalah produk dari
dirinya (the other) dengan berpijak pada perebutan makna situasional pada
kontekskonteks yang parsial. Konsepsi dakwah, jihad, dan hijrah merupakan pilar
Oleh sebab itu, postulat Al Islam adalah dakwah dan jihad telah memompakan
dalam bentuk mobilitas, baik secara gagasan maupun fisik. Hijrah dalam makna
tidak mengenal partai politik, kelompok primordial, dan organisasi. Hijrah secara fisik
128
diaktualisasikan dengan bersikap tanggap, bergerak cepat, dan melakukan perjalanan
untuk menegakkan agama Allah. Hijrah merupakan simbol kesadaran politik umat
Islam untuk melakukan mobilitas sosial sehingga kapasitas sebuah gerakan sosial akan
nama asli dengan nama lain (hijrah nama) di kalangan anggota merupakan bentuk
menghilangkan jejak identitas asli setiap anggotanya sebagai siasat resistensi terhadap
formulasi dakwah dan jihad mengkondisikan penciptaan musuh. Ini sangat penting
karena berkaitan langsung dengan derajat kemuliaan seorang mujahid. Jalinan konteks
dan diskursus jamaah. Dalam kasus JAIG, jamaah merupakan proses rekonstruksi
129
masyarakat ideal berdasarkan identitas religious yang bersifat subjektif. Namun pada
dasarnya, gagasan jamaah merupakan satu hal yang melekat dalam konsepsi dan
sejarah gerakan-gerakan sosial keagamaan. Ritual shalat lima waktu setiap hari dan
shalat Jumat, satu kali dalam seminggu, sangat menekankan dimensi “jamaah” ataupun
Semangat ini juga tercermin pada nama resmi gerakan NU, yaitu Jam`iyyah
konstruksi sosial yang berada di luar garis-garis mainstream. Kunci gerakan jamaah
adalah kesadaran kolektif untuk mengecualikan diri dari paham dan pandangan hidup
otentik melalui proses re-grouping. Pada aras ini, jamaah adalah konsep reproduksi
Ideologi jamaah tidak hanya membentuk konstruks doktrin dan pola pikir
gerakan namun juga mengontrol otonomi tubuh; penampilan, ekspresi, prilaku, dan
interaksi sosial. Kredo Islam adalah agama dan negara berimplikasi terhadap postulasi
ideologi jamaah, yaitu ideologi politik dan politik tubuh. Ideologi jamaah mewakili
130
tipologi Islam politik secara absolut. Pemimpin kharismatik adalah persona magnetism
Kemampuan elite jamaah mengelola emosi (rasa resah, gelisah, terasing, marah, benci,
dalam satu gelombang emosi mengakibatkan proses peleburan setiap individu (fusi) ke
dalam satu identitas, satu emosi, satu nasib, dan satu seperjuangan. Dimensi politik dari
totalitas kesalehan Jamaah Al Islam Gumuk sangat terkait dengan titik-titik kulminasi
emosi keagamaan.
Pada saat yang sama, gerakan jamaah melakukan re-grouping atas dasar
identitas baru yang selalu ditandai oleh proses peleburan emosi dan nalar
tempat memproduksi tafsir dan kebenaran yang monolitik. Sehingga, Jamaah Al Islam
adalah bangunan imajinasi masyarakat Muslim ideal. Nilai dasar gerakan jamaah
setiap individu anggota kepada agensi tunggal, yakni pemimpin jamaah (amir).
Studi ini menemukan bahwa perebutan otoritas salafisme sebagai mazhab Islam
otentik merupakan kata kunci untuk menjelaskan proses regenerasi dan reproduksi
formulasi gerakan yang terjadi di kalangan gerakan jamaah. Kelahiran gerakan jamaah
131
mainstream dan realitas politik namun juga dilatarbelakangi pertarungan dan
Realisasi kepemimpinan Islami dalam konteks makro sebagai tujuan puncak cita-cita
ideologis gerakan jamaah disertai kehadiran satu pemimpin sentral yang kharismatik.
Ini merupakan faktor determinan dalam dinamika sebuah gerakan jamaah yang
konflik-konflik internal yang sering bermuara pada perpecahan dan pada akhirnya
melahirkan model gerakan jamaah lain. Ini adalah siklus regenerasi dan reproduksi
Keterangan:
: konflik internal dan perpecahan
: proses reformulasi dan kristalisasi species menjadi genus baru
(reproduksi)
: transformasi ideologi dan pencarian bentuk gerakan (regenerasi)
pemimpin kharismatik dan konflik internal, baik yang bersifat ideologis maupun
132
absoluditas ideologi, fanatisme jamaah, hirarki kepemimpinan, dan ketertutupan sistem
penting dalam proses reproduksi dan regenerasi gerakan jamaah. Misalnya, suksesi
konflik kepentingan di antara kerabat dan para murid pemimpin terdahulu. Adapun
gerakan. Di sini, regenerasi tidak identik dengan peralihan fase kepemimpinan tetapi
kekuasaan baru.
Gumuk dapat dilacak pada relasi reproduksi dan regenerasi yang bersifat diskursif di
sebagai kekuatan diskursif, baik pada aras kognitif, afektif, dan psikomotorik. Begitu
kesalehan setiap anggota jamaah dibentuk, diarahkan, dan dikontrol oleh pemimpin
133
jamaah merupakan arena depersonalisasi dimana kebebasan dan otonomi individu
Secara teoritik, studi ini menawarkan satu cara pandang berbeda terhadap
gerakan jamaah yang selama ini dinilai lebih berorientasi pada asketisme dan apolitis.
sebagai institusi sekaligus kekuatan politik pada konteks mikro. Kemunculan dan
kiprah JAIG dalam ruang publik bukanlah peristiwa sosial yang bersifat
sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang saling berpengaruh. Anonimitas gerakan
Apa yang terjadi dengan JAIG di atas menggambarkan satu proses yang dalam
kategori Williams ((1994) disebut sebagai gerakan sosial. Melalui institusi kelaskaran,
JAIG terlibat aktif menyuarakan isu-isu publik yang pada tingkat tertentu berkorelasi
dengan hak-hak sosial, budaya, dan hak politik masyarakat. JAIG dapat dikategorikan
sebagai gerakan sipil yang mengartikulasikan kesadaran politik dalam ruang publik.
Model gerakan sipil JAIG sejalan dengan model sub politik yang ditawarkan Beck
(1994).
keagamaan, termasuk khutbah, sebagai sumber inpirasi dan motivasi tindakan kolektif
134
umat Islam. Kehadiran tokoh sentral dan jihad yang menjadi tulang punggung JAIG
berperan sangat efektif penting dalam kondisi-kondisi yang tidak menguntungkan umat
justru gerakan JAIG mewakili arus gerakan sosial yang dibangun di atas emosi. Emosi
tidak identik dengan irrasionalitas tapi mungkin non rasional. Kasus JAIG
mobilisasi massa dalam konteks gerakan sosial seperti ditemukan Kemper (2001). Ini
menolak anggapan Lewis (dalam 2003) yang menyebut Islam sebagai sesuatu yang
irrasional. Gejolak emosi seperti rasa resah, gelisah, terasing, marah, benci, cinta, dan
kasih sayang merupakan karakter sosial yang menonjol dalam gerakan jamaah ini.
proses peleburan setiap individu (fusi) ke dalam satu identitas, satu emosi, satu nasib,
dan satu seperjuangan. Dimensi politik dari totalitas kesalehan Jamaah Al Islam sangat
terkait dengan titik-titik kulminasi emosi keagamaan. ini merupakan faktor lain yang
Pada akhirnya, ruang lingkup studi ini telah membatasi saya dalam membahas
135
mengartikulasikannya di dalam partikularitas konteks yang terdiferensiasi oleh
kajian sejenis untuk melengkapi khazanah sosiologi gerakan jamaah. Ini merupakan
lahan kajian yang masih memerlukan kerja-kerja intelektual yang terintegrasi, lintas
bidang, disamping ketekunan untuk terlibat secara intens dengan obyek studi.
136
DAFTAR PUSTAKA
137
Denzin, Norman K., 1994, The Arts of Interpretation, dalam Norman K. Denzin dan
Yvonna S. Lincoln (eds): Handbook of Qualitative Research. London dan
New Delhi: Sage Publication
DeFronzo, James. 1996. Revolutions and Revolutionary Movements. Westview Press
Djamil, Fathurahman. 1995. Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah. Jakarta:
Logos Publishing House
Dirdjosanjoto, Pradjarta. 1999. Memelihara Umat: Kiai Pesantren – Kiai Langgar di
Jawa. Yogyakarta: LKiS
Edgar, Andrew dan Peter Sedgwick. 2004. Cultural Theory: The Key Concepts.
London-New York: Routledge
Esack, Farid. 2000. Al Quran, Liberalisme dan Pluralisme: Membebaskan yang
Tertindas (terj). Bandung: Mizan
Euben, L. Roxanne. 2006. Journeys to the Other Shore: Muslim and Western Travelers
in Search of Knowledge. Princeton University Press
Fananie, Zainuddin, Atiqa Sabardila, dan Dwi Purwanto. 2002. Radikalisme
Keagamaan dan Perubahan Sosial. Surakarta: Muhamamdiyah
University Press dan The Asia Foundation
Federspiel, Howard M. 1996. Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad
XX (terj). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Ghazali, Imam. 1994. Al Islam wa Al Muslim (terj). Surakarta: Fakultas Ushuludin
IAIN Walisongo
Hasan, Noorhaidi, Faith and Politics: the Rise of the Laskar Jihad in the Era of
Transition in Indonesia. Indonesia 73 (April 2002)
Hassan, Riaz. 2003. Faithlines: Muslim Conceptions of Islam and Society.
OxfordPakistan: University Press
Hafiluddin, 2001, dalam Lembaga Penelitian dan pengkajian Islam (LPPI): Bahaya
Islam Jama`ah, Lemkari, LDII. Jakarta
Hefner, Robert. 2001. Civil Islam (terj). Jakarta: ISAI
Headley, Stephen C. 2004. Durga`s Mosque: Cosmology, Conversion, and
Community in Central Javanese Islam. Singapura: Institute of Southeast
Asian Studies
Hisyam, Muhammad. 2001. Caught between Three Fires: the Javanesse Panghulu
Under the Dutch Colonial Administration 1882-1942. Jakarta: INIS
Hooker, MB. 2003. Islam Mazhab Indonesia: Fatwa-fatwa dan Perubahan Sosial
(terj). Jakarta: Teraju
Iskandar, Mohammad. 2001. Para Pengemban Amanah: Pergulatan Pemikiran Kiai
dan Ulama di Jawa Barat 1900-1950. Yogyakarta: Mata Bangsa
Jamhari dan Jahroni, Jajang (peny). 2004. Gerakan Salafi Radikal di Indonesia.
Jakarta: Rajawali Press
Kartodirdjo, Sartono. 1984. Pemberontakan Petani Banten 1888: Sebuah Studi Kasus
Mengenai Gerakan Sosial di Indonesia (terj). Jakarta: Pustaka Jaya
Kartodirdjo, Sartono. 2006. Sejak Indische sampai Indonesia. Jakarta. KOMPAS
Kemper, Theodore, 2001, A Structural Approach to Social Movement Emotions,
138
dalam Jeff Goodwin, James M. jasper, dan Francesca Polletta: Passionate Politics:
Emotions and Social Movements, hlm. 58-73.
Chicago dan London: The Univesity of Chicago Press
Kimball, Charles. 2003. Kala Agama Jadi Bencana (terj). Bandung: Mizan
Kuntowijoyo. 2002. Radikalisasi Petani: Esai-esai Sejarah. Yogyakarta: Bentang
Budaya
Lombard, Denys. 2005. Nusa Jawa: Silang Budaya (Bagian II: Jaringan Asia) (terj).
Jakarta: Gramedia dan Forum Jakarta-Paris.
Mahmood, Saba. 2005. Politics of Piety: The Islamic Revival and the Feminist Subject.
New Jersey: Princeton University Press
Maarif, Ahmad Syafii. 2006. Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara: Studi
tentang Perdebatan dalam Konstituante (edisi revisi). Jakarta: LP3ES Mudzakkir.
1999. Wahdatul Ummah. Surakarta: Ash Shiddiq
Mudzhar, Atho H.M. 1998. Pendekatan Studi Islam: Dalam Teori dan Praktek.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Maliki, Zainuddin. 1999. Penaklukan Negara Atas Rakyat: Studi Resistensi Petani
Berbasis Religio Politik Santri terhadap Negaranisasi. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press
Mulyadi, M. Hari dan Soedarmono (dkk). 1999. Runtuhnya Kekuasaan Kraton Alit:
Studi Radikalisasi Sosial “Wong Sala” dan Kerusuhan Mei 1998.
Surakarta: LPTP.
Noor, Deliar. 1985. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES
Nurhadiantomo. 2003. Malintegrasi Sosial “Pri” dan “Nonpri” dan Hukum Keadilan
Sosial. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Nitiprawiro, Wahono. 2000. Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis, dan
Isinya. Yogyakarta: LKiS.
SyamHenk, Nur. 2005. Islam Pesisir. Yogyakarta: LKiS
Maksum. 1999. Sejarah Madrasah di Indonesia. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Marty, Martin E dan R. Scott Appleby (ed). The Fundamentalism Project Vol. 4,
Accounting for Fundamentalism: The Dynamic
Character of Movements. Chicago-London: The University of
Chicago Press, 1994.
Prasetyo, Eko. 2003. Membela Agama Tuhan: Potret Gerakan Islam dalam Pusaran
Konflik Global. Yogyakarta: Insist Press
Philpott, Simon. 2003. Meruntuhkan Indonesia: Politik Postkolonial
dan Otoritarianisme (terj). Yogyakarta: LKiS
Qureshi, Emran and Michael A. Sells (ed). 2003. The New Crusades: Constructing the
Muslim Enemy. New York: Columbia University Press
Reynolds, Katherine dan Turner, John, 2001, Prejudices as a Groups Process: The Roel
of Social Identity, dalam Martha Augoustinos dan Katherina J. Reynolds:
Understanding Prejudice, Racism, and Social Conflict, hlm. 159-178.
Sage Publications
139
Roy, Olivier. 2005. Geneologi Islam Radikal (terj.). Yogyakarta: Genta Press
Samudra, Imam. 2004. Aku Melawan Teroris. Solo: Jazera,.
Sahib, Hikmatullah Babu, 2001, The Concept of Dawah bi `I-Hikmah and Its
Applications in Modern Society, Ridzuan Wu (ed), Reading in
Crosscultural Da`wah. Singapura: CRTDM
Saleh, Fauzan. 2004. Teologi Pembaharuan. Jakarta: Serambi
Scott, James C. 1990. Domination and the Arts of Resistance: Hidden Transcripts. New
Haven dan London: Yale University Press
Sjadzali, Munawir, 1995, Dari Lembah Kemiskinan, dalam Tim Editor 70 Tahun Prof.
Dr. H. Munawir Sjadzali, MA: Kontekstualisasi Ajaran Islam. Jakarta:
IPHI dan Paramadina.
Soedarmono. 2006. Mbak Mase: Pengusaha batik di Laweyan Solo Awal Abad 20.
Jakarta: Yayasan Warna Warni Indonesia
Stake, Robert E. 1994, Case Studies, dalam Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln
(eds): Handbook of Qualitative Research. London dan New Delhi: Sage
Publication
Sugiartoto, Agus Dody. 2003. Perencanaan Pembangunan Partisipatif Kota Solo.
Surakarta:IPGI
Sukidi, The Tavelling Idea of Islamic Protestantism: a Study of Iranian Luthers, dalam
Islam and Cristian-Muslim Relations, Vol. 16, No. 4, 401-412, Oktober
2005
Simmel, Georg. 1971. On Individuality and Social Forms. Chicago dan London: The
University of Chicago Press
Simmel, Georg. 1979. Sociology of Religion, translated from the German by Curt
Rosenthal. New York: Arno Press
Shiraishi, Takashi. 1997. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1612-1926
(terj). Jakarta: Grafiti
Tibi, Bassam. 2000. Ancaman Fundamentalisme: Rajut Islam Politik dan Kekacauan
Dunia Baru (terj). Yogyakarta: Tiara Wacana
Turmudi, Endang dan Riza Sahbudi (ed). 2005. Islam dan Radikalisme di Indonesia.
Jakarta: LIPI Press
Thoyibi, M. 1999. Menentang Arogansi Kekuasaan: Kasus Mega Bintang. Surakarta:
Muhammadiyah University Press
Ul Haq, Fajar Riza, 2004, Islam Popular dan Jebakan Otentisitas dalam Lanskap
Multikultural, dalam Zakiyuddin dan M. Thoyibi: Reinvensi Islam
Multikultural. Surakarta: PSB-PS
Woodward, Mark. 1999. Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan (terj).
Yogyakarta: LKiS
Wickham, Carrie Risefsky. 2002. Mobilizing Islam: Religion, Activism, and Political
Change in Egypt. New York: Colombia University Press.
Wiktorowicz, Quintan. 2001. The Management of Islamic Activism: Salafis, the Muslim
Brotherhood, and State Power in Jordan. State of University:
New York Press.
140
Zada, Khamami. 2000. Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di
Indonesia. Jakarta: Teraju
141
BAPEDA dan Badan Pengelola Statistik Surakarta. Surakarta dalam Angka 2000 dan
Surakarta dalam Angka 2002.
KOMPAS. 2004. Peta Politik Pemilihan Umum 1999-2004. Jakarta:
Laporan Penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Departemen Agama.
1982. Potensi Lembaga Sosial Keagamaan Seri IV (Al Islam). .
Pemerintah Kota Surakarta. Strategi Pembangunan Kota Surakarta. 2003.
Al Islam; Terjadinya Jamaah Al Islam dengan Hijrah, Masjid, Tajdid, Idzharul Islam.
1994
Sejarah Perkembangan Perguruan “Al Islam” Surakarta, Cetakan ke I 200, 30-5-76,
jilid 1 dan 2.
Yayasan Perguruan Al Islam (YPI): Idea dan Khittah Al Islam. tt. Jabir.
Catatan Harian (Diary)
HU Pikiran Rakyat
142