Anda di halaman 1dari 43

PSIKOLOGI PENDIDIKAN

“ UJIAN AKHIR SEMESTER GENAP ”


DOSEN PENGAMPU : Dr. KADEK ARIA PRIMA DEWI, PF, S.Ag, M.Pd.

Oleh:

Nama : I GUSTI DIRGA YUSA

Nim : 171101157

Kelas : PAH/II/B

FAKULTAS DHARMA ACARYA

INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR

2017-2018
Mata kuliah : PESIKOLOGI PENDIDIKAN
Jurusan : PENDIDIKAN AGAMA HINDU
Semester : II (Dua)
Hari/Tanggal : Senin, 25 Juli 2018
Waktu : 100 Menit
Nama Dosen : DR. KADEK ARIA PRIMA DEWI, PF, S.Ag, M.Pd.

SOAL :

1. Jelaskan apa yang dimksud dengan bakat dan minat, serta uraikan hubungan
keduanya !.

2. Seorang guru yang professional harus menguasi 4 kapotensi guru. Menurut anda
peranan apakah yang harus dilakukan oleh guru agar siswa dapat belajar secara
optimal dan memperoleh hasil belajar yang optimal pula ?. Jelaskan ?.

3. Sebutkan dan jelaskan ciri-ciri perubahan tingkah laku dalam belajar !.

4. Susunlah indicator dan pencapaian kopetensi dan kopetensi dasar yang ada pada
pembelajaran agama Hindu !.

5. Salah satu proses yang terjadi dalam proses pembelajaran adalah transfer
knowledge, akan tetapi siswa sering kali mengalami kegagalan pada proses
tersebut, salah satu penyebabnya adalah lupa. Sebagai seorang agama Hindu
strategi atau pendekatan pembelajaran apa yang dapat dilakukan untuk mengurangi
terjadinya lupa dalam proses belajar, uraikan !.

JAWABAN :

1. Bakat adalah kemampuan dasar seseorang untuk belajar dalam tempo yang relatif
pendek. Bakat merupakan potensi yang dimiliki oleh seseorang sebagai bawaan sejak
lahir. Contoh seorang yang berbakat melukis akan lebih cepat mengerjakan pekerjaan
lukisnya dibandingkan seseorang yang kurang berbakat.
Minat adalah suatu proses yang tetap untuk memperhatikan dan menfokuskan diri pada
sesuatu yang diminatinya dengan perasaan senang dan rasa puas. Minat juga dapat
diartikan sebagai suatu perangkat mental yang terdiri dari suatu campuran dari perasaan,
harapan, pendirian, prasangka, rasa takut atau kecenderungan lain yang mengarahkan
individu kepada suatu pikiran tertentu. Jadi, dapat disimpulkan minat ialah suatu proses
pengembangan dalam mencampurkan seluruh kemampuan yang ada untuk mengarahkan
individu kepada suatu kegiatan yang diminatinya.
Hubungan antara minat dan bakat yaitu: bakat adalah kemampuan seseorang. mintat
adalah keinginan jika seseorang mempunyai bakat tentu harus di barengi dengan minat
supaya bakat nya berkembang dan menjadi kan kita sebagai orang yang sukses di bakat
kita apabila tidak di barengi dengan minat maka bakat yang kita miliki bisa saja
menghilang dan hanya sia-sia maka dari itu bakat dan minat harus di satukan dengan
semangat dan dorongan dari dalam .

2. Guru yang professional harus menguasi 4 kapotensi guru yaitu : kompetensi


pedagogik, kepribadian, profesional dan sosial . Peranan yang harus dilakukan oleh
seorang guru agar siswa dapat belajar secara optimal dan memperoleh hasil belajar
yang optimal adalah :
a. Mengetahui Gaya Belajar Peserta Didik

Seorang guru harus mengetahui cara belajar siswanya , sehingga seorang guru
dapat mengotimalkan belajar siswa sehingga dapat memperoleh hasil yang optimal
pula. Beberapa orang lebih cepat memepelajari hal-hal yang didengarnya, orang lain
lebih cepat belajar ketika mereka melihat materi tertulis. bebrapa membutuhksn banyak
struktur, ada pula yang paling baik ketika mandiri dan mengikuti keinginan sendiri.
Beberapa membutuhkan kesunyian untuk dapat berkonsentrasi, lainnya belajar dengan
baik dalam lingkungan yang aktif dan ramai. Pengetahuan tentang gaya belajar siswa
membantu membuat pengajaran individual dan memotivasi siswa.
b. Mampu Membangun Iklim Pembelajaran yang Inspiratif
Aspek paling utama yang harus diperhatikan oleh guru adalah bagaimana guru
mampu untuk menarik dan mendorong minat siswa untuk senang dan menyukai
pelajaran. Rasa senang terhadap pelajaran akan menjadi modal penting dalam diri siswa
untuk menekuni dan menggeluti pelajaran secara lebih optimal. Siswa akan bergairah dan
senantiasa penuh semangat dalam belajar.Salah ssatu usaha penting yang dapat dilakukan
untuk membangkitkan semangat belajar adalah mendesain pembelajaran dalam suasana
yang menyenangkan.

c. Mampu Membangun Kelas Yang Peduli


Seorang guru dalam mengajar apabila ingin mencapai hasil pembelajaran
yang optimal maka seorang guru harus dapat membangun suasana yang ada di
dalam kelas sehingga proses belajar akan menjadi lebih efektif.Cara membangun
kelas yang peduli adalah seorang guru dapat mendemonstrasikan kepedulian melalui
upaya untuk membantu seluruh siswa belajar sampai potensi sepenuhnya. Guru dapat
belajar sebanyak mungkin dari kemampuan siswa dan hal-hal yang dapat memotivasi
mereka untuk melakukan yang terbaik.

d. Memiliki Orientasi Jauh Lebih Luas


Guru memiliki orientasi jauh lebih luas artinya seorang guru tidak hanya terpaku
pada kurikulum, tetapi juga memiliki orientasi yang jauh lebih luas dalam
mengembangkan potensi -potensi para peserta didik sehingga peserta didik memiliki
jiwa yang kukuh dalam memandang dan menghadapi setiap persoalan dan kehidupan
yang kompleks. Sehingga guru mampu melahirkan peserta didik yang tangguh dan siap
mengahdapi aneka tantangan dan perubahan yang hebat sekalipun.

3. Ciri-ciri perubahan tingkah laku dalam belajar, yaitu:


a. Perubahan tingkah laku interaksi sosial,
misalnya seorang anak kecil yang tadinya sebelum memasuki sekolah bertingkah
manja, cengeng, dan sebagainya, tetapi setelah beberapa bulan masuk sekolah
dasar, perilakunya berubah menjadi anak yang baik, tidak lagi cengeng dan sudah
mau bergaul dengan teman-temannya.
b. Perubahan kebiasaan.
Belajar yang berhasil dapat mengubah kebiasaan, dari yang buruk menjadi baik,
seperti contohnya terlambat masuk kelas. Kebiasaan buruk tersebut harus
diubah menjadi yang baik.. Cara menghilangkannya ialah belajar melatih diri
menjauhkan kebiasaan buruk dengan meneguhkan keyakinan dan tekad bukat
harus berhasil.

c. Pengembangan dan peningkatan keterampilan.


Dengan belajar dapat menambah dan mengubah keterampilan, misalnya
olahraga, kesenian, dan sebagainya.

d. Peningkatan pengetahuan.
Belajar bertujuan menambah pengetahuan dalam berbagai bidang ilmu, misalnya
tidak bisa membaca, menulis, berhitung, menjadi bisa. Ilmu pengetahuan terus
berkembang dan dinamis. Karena itu setiap orang diharuskan belajar terus agar
dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin
maju.
4. Contoh susunan indikator dan pencapaian kopetensi dan kopetensi dasar yang ada
pada pembelajaran agama Hindu kelas IV SD dengan materi Panca Yama Brata
dan Panca Nyama Brata.

KOPETENSI DASAR INDIKATOR

KD 1. Menerima ajaran Panca Yama 1.1 Siswa mampu mengikuti ajaran


Brata dan Panca Nyama Brata Panca Yama Brata dan Panca Nyama
Brata sebagai ajaran agama

1.2 Siswa mampu mematuhi ajaran


Panca Yama Brata dan Panca Nyama
Brata sebagai ajaran agama

KD 2. Menerima ajaran Panca Yama 2.1 Siswa mampu mengikuti ajaran


Panca Yama Brata dan Panca Nyama
Brata dan Panca Nyama Brata Brata dalam berinteraksi dengan
keluarga, teman, dan guru

2.1 Siswa mampu mematuhi ajaran


Panca Yama Brata dan Panca Nyama
Brata dalam berinteraksi dengan
keluarga, teman, dan guru

KD 3. Mengingat ajaran Panca Yama 3.1 Siswa mampu menjelaskan ajaran


Brata dan Panca Nyama Brata Panca Yama Brata dan Panca Nyama
Brata

3.2 Siswa mampu menunjukkan


contoh perbuatan dari bagian-bagian
Panca Yama Brata dan Panca Nyama
Brata

KD 4. Meniru contoh perbuatan dari 4.1 Siswa mampu menggabungkan


bagian-bagian Panca Yama Brata dan contoh perbuatan dari bagian-bagian
Panca Nyama Brata Panca Yama Brata dan Panca Nyama
Brata

4.2 Siswa mampu mereplikasi contoh


perbuatan dari bagian-bagian Panca
Yama Brata dan Panca Nyama Brata

5. Strategi atau pendekatan pembelajaran yang dapat dilakukan untuk


mengurangi terjadinya lupa dalam proses belajar sebagai seorang agama hindu
adalah dengan metode membaca buku atau membaca kitab suci. Lupa adalah
suatu keadaan dimana ingatan manusia tidak dapat mengingat akan memori berupa
kejadian atau peristiwa sebelumnya atau sesuatu yang mereka alami yang berkaitan
dengan pikiran. Maka dari itu, cara atau metode yang digunakan untuk mengatasi
lupa adalah dengan membaca kitab suci. Maka dari itu pikiran manusia yang
jernih akan menjadi rileks, sehingga dapat membantu mengingat-ingat kembali
memorinya. Dan yang kedua adalah untuk mengatasi keadaan lupa adalah dengn
cara melakukan japa mantra menggunakan genitri. Dimana proses melakukan japa
mantra menggunakan genitri ini dapat melatih konsentrasi sehingga dapan
meminimalisasi terjadinya keadaan lupa. Adapun hal-hal yang dapat dilakukan
untuk mengurangi terjadinya lupa sebagai seorang yang beragama hindu adalah
diantaranya :
a. Hening : selalu berpikir tenang dan suci.
b. Heneng : selalu tenang dalam menyelesaikan masaah.
c. Henung : selalu melakukan renungan
d. Heling : selalu melek dan sadar diri.
e. Hawas : selalu bersikap waspada atau mewas diri.

udaya Bali

Om Swastiastu, Om Awighnamastu Namo Siddham. Om Hrang Hring Sah Parama


Siwaditya ya Namah. Terlebih dahulu, kami haturkan pangaksama mohon maaf ke
hadapan Ida Hyang Parama Kawi serta Batara - Batari junjungan dan leluhur
semuanya. Agar supaya, tatkala menceriterakan keberadaan para leluhur yang telah
pulang ke Nirwana, kami terlepas dari kutuk dan neraka karena diambil dari berbagai
sumber informasi, yang mungkin kurang tepat. Om Tat Pramadat Kesama Swamam.
Om Santih

Sekte Siwa Sidhanta pemuja Siwa

Sekte Siwa Sidhanta

Agama Hindu di India maupun agama Hindu di lain tempat misalnya di Jawa maupun
di Bali tidak mempunyai perbedaan dalam inti keagamaannya yang berbeda hanyalah
pada kulit luarnya saja yaitu tentang pelaksanaan upacaranya,sedangkan isinya dan
intinya tetap sama. Ajaran Wedanya tetap abadi,intinya tidak berubah hanya bagian
luarnya yang bervariasi, menyesuaikan dengan budaya setempat di mana agama itu
berkembang. Ajaran ini berkembang di India Selatan dan Indonesia terutama pada
abab VII. Ajaran Siwa Sidhanta ini menekankan pada pemujaan Lingga dengan tokoh
Tri Murti (Brahma,Wisnu dan Siwa) dan Tri Purusa (Prama Siwa,Sada Siwa dan
Siwa).

Ajaran Siwa Sidhanta tentang konsepsi Tri Purusa atau Lingga ini diwujudkan juga
dengan bangunan Padmasana di Bali. Perlu diketahui bahwa pengertian Tri Purusa
dengan Tri Murti adalah berbeda. Karena Tri Purusa adalah lukisan Tuhan dalam arti
posisi vertical (atas ke bawah) dimana Tuhan dilambangkan sebagai penguasa alam
atas,alam tengah dan alam bawah (Prama Siwa, Sada Siwa dan Siwa). Sedangkan Tri
Murti adalah lukisan Tuhan dalam posisi horizontal (mendatar) atau sebagai penguasa
arah, yaitu arah laut ialah Brahma, arah gunung ialah Wisnu dan di tengah-tengah
ialah Siwa.

Jadi dalam konsepsi kepercayaan Hindu Lingga adalah merupakan lambang kekuatan
Tuhan dalam mencipta, memelihara dan melebur dunia ini atau Tuhan sebagai
penguasa alam ini. Ajaran Siwa Sidhanta mempunyai ciri-ciri khas yang berbeda
dengan sekta Siwa yang lain. Sidhanta artinya kesimpulan sehingga Siwa Sidanta
artinya kesimpulan dari Siwaisme. Pemantapan paham Siwa Sidhanta di Bali
dilakukan oleh dua tokoh terkemuka yaitu Mpu Kuturan dan Mpu/Danghyang
Nirartha.

Dalam realisasinya, tata pelaksanaan kehidupan umat beragama di Bali juga


menampakkan perpaduan dari unsur - unsur kepercayaan nenek moyang. Wariga,
Rerainan (hari raya) dan Upakara sebagian besarnya merupakan warisan nenek
moyang. Warisan ini telah demikian berpadu serasi dengan ajaran Agama Hindu
sehingga merupakan sebuah satu kesatuan yang bulat dan utuh. Dengan demikian,
Agama Hindu di Bali mempunyai sifat yang khas sesuai dengan kebutuhan rohani
orang Bali dari jaman dahulu hingga sekarang. Di masa sekarang ini, warisan Agama
yang adhi-luhung tersebut perlu kita jaga, rawat dan menyempurnakan pemahaman
kita sehingga tetap bisa memenuhi kebutuhan jiwa keagamaan umatnya.

Sekte Siwa memiliki cabang yang banyak. Antara lain Pasupata, Kalamukha,
Bhairawa, Linggayat, dan Siwa Sidhanta yang paling besar pengikutnya. Kata
Sidhanta berarti inti atau kesimpulan. Jadi Siwa Sidhanta berarti kesimpulan atau inti
dari ajaran Siwaisme. Siwa Sidhanta ini megutamakan pemujaan ke hadapan Tri
Purusha, yaitu Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa. Brahma, Wisnu dan dewa-dewa
lainnya tetap dipuja sesuai dengan tempat dan fungsinya, karena semua dewa-dewa itu
tidak lain dari manifestasi Siwa sesuai fungsinya yang berbeda-beda. Siwa Sidhanta
mula-mula berkembang di India Tengah (Madyapradesh), yang kemudian disebarkan
ke India Selatan dipimpin oleh Maharesi Agastya. Pengertian Tri Purusa yaitu lukisan
Tuhan sebagai penguasa alam atas,alam tengah dan alam bawah yang dilukiskan
sebagai:

Parama Siwa disebut juga Cetana atau Purusa yang dalam istilah umumnya kita sebut
Tuhan. Keadaannya tanpa aktivitas ,kekal abadi,tiada berawal-tiada berakhir,ada
dimana-mana,maha tahu dan di beri gelar Nirguna Brahman.

Sada Siwa (tengah) adalah Brahman yang sudah berkrida,Brahman yang sudah kena
imbas dari Prakerti atau Acetana (sumber materi) sehingga mempunyai sifat, fungsi
dan aktivitas dan diberi gelar Sada Siwa atau Saguna Brahma. Pengaruh dari Acetana
ini belumlah besar, sehingga bersifat setengah aktif, dipuja sebagai Tuhan yang sudah
menunjukkan kemahakuasaan-Nya. Kesaktian-Nya dilukiskan dalam Cadu Sakti Asta
Aiswarya yang dipersonifikasikan dengan nama Dewa-Dewa. Jadi semua Dewa-Dewa
adalah bentuk-bentuk dari personifikasi kesaktian dari Sada Siwa.

Siwa (bawah) atau Siwatma adalah Parama Siwa juga, tetapi dalam keadaan yang
telah banyak terpengaruhi oleh Prakerti, sehingga sifat kemahakuasan-Nya berkurang
dan pengaruh lupa bertambah. Siwatma inilah yang memberikan hidup (jiwa) kepada
semua mahluk hidup. (Cudamami, 1990 : 59)

Sedangkan Tuhan sebagai penguasa arah laut (klod),tengah dan kaja (gunung) disebut
Tri Murti,yaitu Brahma arah laut, tengah Siwa dan gunung Wisnu. Jika diperhatikan
realitas kehidupan agam Hindu di Bali, lebih menitik beratkan kepercayaannya kepada
Tri Murti sebagaimenifestasi Tuhan Yang Maha Esa yang disebut Sang Hyang Widhi.
Ketiga Dewa Tri Murti tersebut pada hakikatnya adalah lambing dari ketiga proses
dunia, yaitu Sristhi (ciptaan) yang disebut Brahma, Sthiti (perlindungan) yang disebut
Wisnu dan Pralaya (pengembalian pada unsur semula) yang disebut Siwa.

Ketiga tersebut disimboliskan dengan Aksara Suci “OM” yang terdiri dari Ang berarti
Brahma, Ung berarti Wisnu dan Mang berarti Ciwa, jadi Ang+Ung+Mang sama
dengan “OM”.

Hal tersebut sering terlihat pada setiap permulaan mantra dan “pemabah” (permulaan)
tulisan lontar-lontar di Bali yang dimulai dengan ucapan “Om Awignam Astu” yang
artinya semoga atas nama Hyang Widhi dengan ketiga manifestasi-Nya terhindar dari
mara bahaya. (Sara Sastra,1994 : 56-57)
BRAHMA DAN WISNU ADALAH SIWA

Sudah merupakan hukum alam,bahwa yang lahir itu harus mati. Segala yang
diciptakan pada waktunya nanti harus dipisahkan dan dihancurkan. Hukum ini tidak
dapat dilanggar. Daya dibali keterpisahan dan penghancuran ini adalah Siwa. Sebagai
Dewata perwujudan Tuhan yang terakhir dalam Tri Murti, Siwa bertanggung jawab
terhadap penyerapan alam semesta. Siwa merupakan perwujudan dari sifat
Tamas,kecenderungan menuju pembubaran dan pelenyapan.

Pelenyapan atau penghancuran akan berakhir pada pengurangan tertingi berupa


kekosongan alam semesta tanpa batas. Kekosongan dari segala keberadaan ini
memunculkan alam semesta secara berulang-ulang,juga tanpa batas. Dan disinilah
peranan Siwa. Karena itu dikatakan bahwa Siwa bukan saja bertanggung jawab atas
penghancuran, tetapi terhadap penciptaan dan pemeliharaan keberadaan. Dalam hal ini
maka Brahma dan Wisnu adalah juga Siwa.

Seperti telah diuraikan sebelumnya dalam "Sejarah Sekte di Bali", sebelum


pemerintahan suami istri Dharma Udayana/Gunapria Dharmapatni (sejak awal abad ke
10), di Bali telah berkembang berbagai sekte. Pada mulanya sekte-sekte tersebut hidup
berdampingan secara damai. Lama-kelamaan justru sering terjadi persaingan. Bahkan
tak jarang terjadi bentrok secara fisik. Hal ini dengan sendirinya sangat menganggu
ketentraman Pulau Bali. Sehubungan dengan hal tersebut, raja lalu menugaskan
kepada Senapati Kuturan untuk mengatasi kekacauan itu. Atas dasar tugas tersebut,
Mpu Kuturan mengundang semua pimpinan sekte dalam suatu pertemuan yang
dilakukan di Bataanyar (Samuan Tiga). Pertemuan ini mencapai kata sepakat dengan
keputusan Tri Sadaka dan Kahyangan Tiga.

Ajaran Siwa Sidhanta mempunyai ciri-ciri khas yang berbeda dengan sekta Siwa yang
lain. Sidhanta artinya kesimpulan sehingga Siwa Sidanta artinya kesimpulan dari
Siwaisme. Kenapa dibuat kesimpulan ajaran Siwa? karena Maha Rsi Agastya merasa
sangat sulit menyampaikan pemahaman kepada para pengikutnya tentang ajaran Siwa
yang mencakup bidang sangat luas.

Ajaran Siwa Siddhanta di Bali terdiri dari tiga kerangka utama yaitu Tattwa, Susila
dan Upacara keagamaan.

Tatwa atau filosofi yang mendasarinya adalah ajaran Siwa Tattwa. Di dalan Siwa
Tattwa, Sang Hyang Widhi adalah Ida Bhatara Siwa. Dalam lontar Jnana Siddhanta
dinyatakan bahwa Ida Bhatara Siwa adalah Esa yang bermanifestasi beraneka menjadi
Bhatara - Bhatari.
Sa eko bhagavan sarvah,

Siwa karana karanam,

Aneko viditah sarwah,

Catur vidhasya karanam,

Ekatwanekatwa swalaksana bhatara ekatwa ngaranya,

Kahidup makalaksana siwatattwa,

Tunggal tan rwatiga kahidep nira,

Mangekalaksana siwa karana juga tan paphrabeda,

Aneka ngaranya kahidup Bhataramakalaksana caturdha,

Caturdha ngaranya laksananiram stuhla suksma sunya.

Artinya :

Sifat Bhatara eka dan aneka. Eka artinya ia dibayangkan bersifat Siwa Tattwa, ia
hanya esa tidak dibayangkan dua atau tiga. ia bersifat Esa saja sebagai Siwakarana
(Siwa sebagai pencipta), tiada perbedaan. Aneka artinya Bhatara bersifat Caturdha.
Caturdha adalah sifatnya, sthula, suksma dan sunia.

Sumber - sumber lain yang menyatakan Dia yang Eka dalam Beraneka juga kita
temukan dalam banyak mantra - mantra, diantaranya adalah :

Om namah Sivaya sarvaya,

Dewa-devaya vai namah,

Rudraya Bhuvanesaya,

Siwa rupaya vai namah.

Artinya :

Sembah bhakti dan hormat kepada Siwa, kepada Sarwa

Sembah bhakti dan hormat kepada dewa dewanya


Kepada Rudra raja alam semesta

Sembah hormat kepada dia yang rupanya manis

Twam Sivah twam Mahadewa,

Isvara Paramesvara,

Brahma Visnu'ca Rudras'ca,

Purusah Prakhrtis tatha.

Artinya :

Engkau adalah Siwa Mahadewa

Iswara, Parameswara

Brahma, Wisnu dan Rudra

Dan juga sebagai Purusa dan Prakerti

Tvam kalas tvam yamomrtyur,

varunas tvam kverakah,

Indrah Suryah Sasangkasca,

Graha naksatra tarakah.

Artinya :

Engkau adalah Kala, Yama dan Mrtyu

Engkau adalah Varuna, Kubera

Indra, Surya dan Bulan

Planet, naksatra dan bintang – bintang


Prthivi salilam tvam hi,

Tvam Agnir vayur eva ca,

Akasam tvam palam sunyam,

Sakhalam niskalam tatha.

Artinya :

Engkau adalah Bumu, Air dan juga Api

Angkasa dan alam sunia tertinggi

Juga yang berwujud dan tak berwujud

Dengan contoh - contoh tersebut menunjukkan bahwa semua Bhatara - Bhatari itu
adalah Bhatara Siwa sendiri. Bhatara - Bhatari itulah yang dipuja sebagai Ista Dewata.
Banyaknya Ista Dewata yang dipuja akan berkaitan dengan banyaknya Pura dan
Pelinggih, Pengastawa, Rerainan dan Banten.

Ista Dewata adalah Bhatara Siwa yang aktif sebagai Sada Siwa, sedangkan Bhatara
Siwa sebagai Parama Siwa bersifat tidak aktif atau sering disebut Sunia.

Dalam manifestasi beliau sebagai Dewa Brahma, Wisnu dan Iswara yang paling
mendominasi pemujaan yang ada di Bali. Konsep penciptaan, pemeliharaan dan
pemrelina menunjukkan Bhatara Siwa sebagai apa yang sering disebut Sang Hyang
Sangkan paraning Numadi, yaitu asal dan kembalinya semua yang ada dan tidak ada
di jagat raya ini. Salah satu yang menarik dari keberadaan Bhatara Siwa, ialah Beliau
berada dimana - mana, di seluruh penjuru mata angin dan di pengider - ider.

Selain ajaran ke-Tuhanan, ajaran Siwa Siddhanta juga memuat beberapa ajaran
diantaranya ajaran tentang Atma yang sesungguhnya berasal dari Bhatara Siwa dan
akan kembali kepada-Nya juga, ajaran Karma Phala yang berkaitan dengan Punarbawa
atau siklus reinkarnasi, ajaran pelepasan yang berkaitan tentang Yoga dan Samadhi.
Terdapat pula ajaran tata susila yang erat hubungannya dengan ajaran Karma Phala.
Tumpuan dari ajaran tata susila itu adalah Tri Kaya Parisuddha yaitu Kayika
Parisuddha (berbuat yang benar), Wacika Parisuddha (berbicara yang benar) dan
Manacika Parisuddha (berfikir yang benar).
Bagi penganut Siwa Sidhanta kitab suci Weda-pun dipelajari yang pokok-pokok /
intinya Lontar yang sangat populer bagi penganut Siwa Sidhanta di Bali antara lain
Wrhaspati saja; resume Weda itu dinamakan Weda Sirah (sirah artinya kepala atau
pokok-pokok).

Pemantapan paham Siwa Sidhanta di Bali dilakukan oleh dua tokoh terkemuka yaitu
Mpu Kuturan dan Mpu/Danghyang Nirartha. Di India wahyu Hyang Widhi diterima
oleh Sapta Rsi dan dituangkan dalam susunan sistematis oleh Bhagawan Abyasa
dalam bentuk Catur Weda.

Weda menjadikan pemikiran-pemikiran cemerlang bagi orang-orang suci di Bali


sekitar abad ke delapan sampai ke-empat belas yaitu:

DANGHYANG MARKANDEYA

Pada abad ke-8 beliau mendapat pencerahan di Gunung Di Hyang (sekarang Dieng,
Jawa Timur) bahwa bangunan palinggih di Tolangkir (sekarang Besakih) harus
ditanami panca datu yang terdiri dari unsur-unsur emas, perak, tembaga, besi, dan
permata mirah. Menetap di Taro, Tegal lalang – Gianyar, beliau memantapkan ajaran
Siwa Sidhanta kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual: Surya sewana, Bebali
(Banten), dan Pecaruan.

Karena semua ritual menggunakan banten atau bebali maka ketika itu agama ini
dinamakan Agama Bali. Daerah tempat tinggal beliau dinamakan Bali. Jadi yang
bernama Bali mula-mula hanya daerah Taro saja, namun kemudian pulau ini
dinamakan Bali karena penduduk di seluruh pulau melaksanakan ajaran Siwa Sidanta
menurut petunjuk-petunjuk Danghyang Markandeya yang menggunakan bebali atau
banten.

Selain Besakih, beliau juga membangun pura-pura Sad Kahyangan lainnya yaitu :
Batur, Sukawana, Batukaru, Andakasa, dan Lempuyang. Beliau juga mendapat
pencerahan ketika Hyang Widhi berwujud sebagai sinar terang gemerlap yang
menyerupai sinar matahari dan bulan. Oleh karena itu beliau menetapkan bahwa
warna merah sebagai simbol matahari dan warna putih sebagai simbol bulan
digunakan dalam hiasan di Pura antara lain berupa ider-ider, lelontek, dll.

Selain itu beliau mengenalkan hari Tumpek Kandang untuk mohon keselamatan pada
Hyang Widhi, digelari Rare Angon yang menciptakan darah, dan hari Tumpek
Pengatag untuk menghormati Hyang Widhi, digelari Sanghyang Tumuwuh yang
menciptakan getah.

MPU SANGKUL PUTIH

Setelah Danghyang Markandeya moksah, Mpu Sangkulputih meneruskan dan


melengkapi ritual bebali antara lain dengan membuat variasi dan dekorasi yang
menarik untuk berbagai jenis banten dengan menambahkan unsur-unsur tetumbuhan
lainnya seperti daun sirih, daun pisang, daun janur, buah-buahan: pisang, kelapa, dan
biji-bijian: beras, injin, kacang komak. Bentuk banten yang diciptakan antara lain
canang sari, canang tubugan, canang raka, daksina, peras, panyeneng, tehenan,
segehan, lis, nasi panca warna, prayascita, durmenggala, pungu-pungu, beakala, ulap
ngambe, dll. Banten dibuat menarik dan indah untuk menggugah rasa bhakti kepada
Hyang Widhi agar timbul getaran-getaran spiritual.

Di samping itu beliau mendidik para pengikutnya menjadi sulinggih dengan gelar
Dukuh, Prawayah, dan Kabayan. Beliau juga pelopor pembuatan arca/pralingga dan
patung-patung Dewa yang dibuat dari bahan batu, kayu, atau logam sebagai alat
konsentrasi dalam pemujaan Hyang Widhi. Tak kurang pentingnya, beliau
mengenalkan tata cara pelaksanan peringatan hari Piodalan di Pura Besakih dan pura-
pura lainnya, ritual hari-hari raya : Galungan, Kuningan, Pagerwesi, Nyepi, dll.
Jabatan resmi beliau adalah Sulinggih yang bertanggung jawab di Pura Besakih dan
pura-pura lainnya yang telah didirikan oleh Danghyang Markandeya.

MPU KUTURAN

Pada abad ke-10an datanglah ke Bali seorang Brahmana dari Majapahit yang berperan
sangat besar pada kemajuan Agama Hindu di Bali. Seperti disebutkan oleb R. Goris
pada masa Bali Kuna berkembang suatu kehidupan keagamaan yang bersifat sektarian.
Ada sembilan sekte yang pernah berkembang pada masa Bali Kuna antara lain sekte
Pasupata, Bhairawa, Siwa Shidanta, Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan
Ganapatya. Diantara sekte-sekte tersebut Çiwa Sidhanta merupakan sekte yang sangat
dominan.
Masing-masing sekte memuja Dewa-Dewa tertentu sebagai istadewatanya atau
sebagai Dewa Utamanya dengan Nyasa (simbol) tertentu serta berkeyakinan bahwa
istadewatalah yang paling utama sedangkan yang lainnya dianggap lebih rendah.
Perbedaan-perbedaan itu akhirnya menimbulkan pertentangan antara satu sekte
dengan sekte yang lainnya yang menyebabkan timbulnya ketegangan dan sengketa
didalam tubuh masyarakat Bali Aga.

Inilah yang merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan keamanan dan
ketertiban di masyarakat yang membawa dampak negative pada hampir seluruh aspek
kehidupan masyarakat. Akibat yang bersifat negative ini bukan saja menimpa desa
bersangkutan, tetapi meluas sampai pada pemerintahan kerajaan sehingga roda
pemerintahan menjadi kurang lancar dan terganggu.

Dalam kondisi seperti itu, Raja Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa perlu


mendatangkan rohaniawan dari Jawa Timur yang oleh Gunaprya Dharmapatni sudah
dikenal sejak dahulu semasih beliau ada di Jawa Timur. Oleh karena itu Raja
Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa bersekepatan untuk mendatangkan 4
orang Brahmana bersaudara yaitu:

Mpu Semeru, dari sekte Siwa tiba di Bali pada hari jumat Kliwon, wuku Pujut,
bertepatan dengan hari Purnamaning Kawolu, candra sengkala jadma siratmaya muka
yaitu tahun caka 921 (999M) lalu berparhyangan di Besakih.

Mpu Ghana, penganut aliran Gnanapatya tiba di Bali pada hari Senin Kliwon, wuku
Kuningan tanggal 7 tahun caka 922 (1000M), lalu berparhyangan di Gelgel

Mpu Kuturan, pemeluk agama Budha dari aliran Mahayana tiba di Bali pada hari
Rabu Kliwon wuku pahang, maduraksa (tanggal ping 6), candra sengkala agni suku
babahan atau tahun caka 923 (1001M), selanjutnya berparhyangan di Silayukti
(Padang)

Mpu Gnijaya, pemeluk Brahmaisme tiba di Bali pada hari Kamis Umanis, wuku
Dungulan, bertepatan sasih kadasa, prati padha sukla (tanggal 1), candra sengkala
mukaa dikwitangcu (tahun caka 928 atau 1006M) lalu berparhyangan di bukit Blibis
(Lempuyang)

Sebenarnya keempat orang Brahmana ini di Jawa Timur bersaudara 5 orang yaitu
adiknya yang bungsu bernama Mpu Bharadah ditinggalkan di Jawa Timur dengan
berparhyangan di Lemahtulis, Pajarakan. Kelima orang Brahmana ini lazim disebut
Panca Pandita atau “Panca Tirtha” karena beliau telah melaksanakan upacara “wijati”
yaitu menjalankan dharma “Kabrahmanan”.

Dalam suatu rapat majelis yang diadakan di Bata Anyar (desa bedahulu pejeng) yang
dihadiri oleh unsur tiga kekuatan pada saat itu, yaitu :

Dari pihak Budha Mahayana diwakili oleh Mpu Kuturan yang juga sebagai ketua
sidang

Dari pihak Ciwa diwakili oleh Mpu Semeru

Dari pihak 6 sekte yang pemukanya adalah orang Bali Aga

Dalam rapat majelis tersebut Mpu Kuturan membahas bagaimana menyederhanakan


keagamaan di Bali, yg terdiri dari berbagai aliran. Tatkala itu semua hadirin setuju
untuk menegakkan paham Tri Murti (Brahma,Wisnu,Ciwa) untuk menjadi inti
keagamaan di Bali dan yang layak dianggap sebagai perwujudan atau manifestasi dari
Sang Hyang Widhi Wasa. Konsesus yang tercapai pada waktu itu menjadi keputusan
pemerintah kerajaan, dimana ditetapkan bahwa semua aliran di Bali ditampung dalam
satu wadah yang disebut “Siwa-Budha” sebagai persenyawaan Siwa dan Budha.

Semenjak itu penganut Siwa Budha harus mendirikan tiga buah bangunan suci (pura)
untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam perwujudannya yang masing-masing
bernama:

Pura Desa Bale Agung untuk memuja kemuliaan Brahma sebagai perwujudan dari
Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan)

Pura Puseh untuk memuja kemulian Wisnu sebagai perwujudan dari Sang Hyang
Widhi Wasa

Pura Dalem untuk memuja kemuliaan Bhatari Durga yaitu caktinya Bhatara Siwa
sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa

Ketiga pura tersebut disebut Pura “Kahyangan Tiga” yang menjadi lambang persatuan
umat Siwa Budha di Bali. Dalam Samuan Tiga juga dilahirkan suatu organisasi “Desa
Pakraman” yang lebih dikenal sebagai “Desa Adat”. Dan sejak saat itu berbagai
perubahan diciptakan oleh Mpu Kuturan, baik dalam bidang politik, social, dan
spiritual. Jika sebelum keempat Brahmana tersebut semua prasasti ditulis dengan
menggunakan huruf Bali Kuna, maka sesudah itu mulai ditulis dengan bahasa Jawa
Kuna (Kawi). Akhirnya di bekas tempat rapat itu dibangun sebuah pura yang diberi
nama Pura Samuan Tiga.

Atas wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang


mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Trimurti dalam wujud simbol
palinggih Kemulan Rong Tiga di tiap perumahan, Pura Kahyangan Tiga di tiap Desa
Adat, dan Pembangunan Pura-pura Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg (Wisnu),
dan Gelap (Siwa), serta Padma Tiga, di Besakih. Paham Trimurti adalah pemujaan
manifestasi Hyang Widhi dalam posisi horizontal (pangider-ider).

MPU MANIK ANGKERAN

Setelah Mpu Sangkulputih moksah, tugas-tugas beliau diganti oleh Mpu Manik
Angkeran. Beliau adalah Brahmana dari Majapahit putra Danghyang Siddimantra.
Dengan maksud agar putranya ini tidak kembali ke Jawa dan untuk melindungi Bali
dari pengaruh luar, maka tanah genting yang menghubungkan Jawa dan Bali diputus
dengan memakai kekuatan bathin Danghyang Siddimantra. Tanah genting yang putus
itu disebut segara rupek.

MPU JIWAYA

Beliau menyebarkan Agama Budha Mahayana aliran Tantri terutama kepada kaum
bangsawan di zaman Dinasti Warmadewa (abad ke-9). Sisa-sisa ajaran itu kini
dijumpai dalam bentuk kepercayaan kekuatan mistik yang berkaitan dengan
keangkeran (tenget) dan pemasupati untuk kesaktian senjata-senjata alat perang,
topeng, barong, dll.

DANGHYANG DWIJENDRA

Datang di Bali pada abad ke-14 ketika Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem
Waturenggong. Atas wahyu Hyang Widhi di Purancak, Jembrana, Beliau mempunyai
pemikiran-pemikiran cemerlang bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tripurusa
yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa, Sadha Siwa, dan
Parama Siwa. Bentuk bangunan pemujaannya adalah Padmasari atau Padmasana.
Jika konsep Trimurti dari Mpu Kuturan adalah pemujaan Hyang Widhi dalam
kedudukan horizontal, maka konsep Tripurusa adalah pemujaan Hyang Widhi dalam
kedudukan vertikal. Ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua
bidang kehidupan rakyat ditata dengan baik. Hak dan kewajiban para bangsawan
diatur, hukum dan peradilan adat/agama ditegakkan, prasasti-prasasti yang memuat
silsilah leluhur tiap-tiap soroh/klan disusun. Awig-awig Desa Adat pekraman dibuat,
organisasi subak ditumbuh-kembangkan dan kegiatan keagamaan ditingkatkan.

Selain itu beliau juga mendorong penciptaan karya-karya sastra yang bermutu tinggi
dalam bentuk tulisan lontar, kidung atau kekawin. Karya sastra beliau yang terkenal
antara lain : Sebun bangkung, Sara kusuma, Legarang, Mahisa langit, Dharma pitutur,
Wilet Demung Sawit, Gagutuk menur, Brati Sesana, Siwa Sesana, Aji Pangukiran, dll.
Beliau juga aktif mengunjungi rakyat di berbagai pedesaan untuk memberikan
Dharma wacana.

Saksi sejarah kegiatan ini adalah didirikannya Pura-Pura untuk memuja beliau di
tempat mana beliau pernah bermukim membimbing umat misalnya : Purancak,
Rambut siwi, Pakendungan, Hulu watu, Bukit Gong, Bukit Payung, Sakenan, Air
Jeruk, Tugu, Tengkulak, Gowa Lawah, Ponjok Batu, Suranadi (Lombok),
Pangajengan, Masceti, Peti Tenget, Amertasari, Melanting, Pulaki, Bukcabe, Dalem
Gandamayu, Pucak Tedung, dll.

Ke-enam tokoh suci tersebut telah memberi ciri yang khas pada kehidupan beragama
Hindu di Bali sehingga terwujudlah tattwa dan ritual yang khusus yang membedakan
Hindu-Bali dengan Hindu di luar Bali. Di bidang tattwa misalnya, ciri khas yang
paling menonjol adalah penyembahan Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai
Trimurti dan Tripurusa dalam bentuk palinggih Kemulan Rong Tiga dan Padmasana
yang dikembangkan masing-masing oleh Mpu Kuturan dan Mpu/Danghyang Nirartha.
Di bidang ritual ciri khas Hindu-Bali yang terpenting adalah adanya bebali atau banten
yang dikembangkan oleh Danghyang Markandeya dan Mpu Sangkulputih.

Sejarah kemudian membuktikan bahwa walaupun di Nusantara telah berkembang


Agama lain seperti Islam dan Kristen, Bali tetap dapat bertahan pada Hindu karena
agama Hindu telah membudaya mewujudkan jati diri orang-orang Bali yang
mengagumkan dunia. Zaman sudah globalisasi, dunia yang tanpa batas, pengaruh
budaya luar terus menerus menghantam ketahanan orang-orang Hindu. Bermula dari
perubahan nama Agama di era Orde Baru, di mana Agama Hindu-Bali dirubah
menjadi Agama Hindu Dharma. Ini merupakan tonggak bagi sebagian kecil penduduk
dari suku-suku: Batak Karo, Dayak, Banten, Jawa, dll. mendapat pengakuan pada
keyakinan spiritualnya di luar Agama yang sudah ada, menjadi tertampung dalam
Hindu Dharma.

Dengan demikian Hindu Dharma akan mampu memberikan acuan yang lengkap
mengenai Tattwa, Susila dan Upacara kepada saudara-saudara se-dharma di luar Bali,
karena sudah ratusan generasi meninggalkan Hindu atau tidak bersentuhan dengan
Hinduan seperti yang berkembang di Bali Hindu Dharma harus mempertahankan
nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh ke enam tokoh suci yang disebutkan di atas.
Karena Bali saat ini banyak sekali aliran-aliran bermunculan dan saling bertentangan
seperti abad ke 10 sebelum kedatangan Mpu Kuturan di Bali.

Dalam perkembangan globalisasi saat ini Hindu Dharma sudah melakukan reformasi
kelembagaan yaitu:

Parisadha Hindu Dharma secara khusus sebagai lembaga umat yang menangani
masalah-masalah agama sehingga Tattwa , Susila dan Upacara menjadi sesuatu yang
utuh sebagai manifestasi hubungan vertical (hubungan religius)

Lembaga Adat (Majelis Desa Pekraman untuk di Bali) secara khusus menangani
masalah-masalah Adat sebagai manifestasi hubungan Horisontal.(hubungan social)

SUMBER-SUMBER AJARAN SIWA SIDHANTA

Walaupun sumber - sumber ajaran Agama Hindu di Bali berasal dari kitab - kitab
berbahasa Sansekerta, namun sumber - sumber tua yang kita warisi kebanyakan ditulis
dalam dua bahasa yaitu Bahasa sansekerta dan Bahasa Jawa Kuno. Kitab yang di tulis
dalam bahasa Sansekerta umumnya adalah kitab Puja, namun bahasa Sansekerta yang
digunakan adalah bahasa Sansekerta kepulauan khas Indonesia yang sedikit berbeda
denga bahasa Sansekerta versi India. Sedangkan kitab - kitab yang ditulis dalam
bahasa jawa kuno antara lain Bhuwanakosa, Jnana Siddhanta, Tattwa Jnana,
Wrhaspati tatwa dan Sarasamuscaya. Kitab Bhuwanakosa, Jnana Siddhanta, Tattwa
Jnana dan Wrhaspati Tattwa adalah kitab - kitab yang Tattwa yang mengajarkan Siwa
Tattwa yang mana juga kitab - kitab ini menjadi unsur dari isi Puja. Sedangkan
Sarasamuscaya adalah kitab yang mengajarkan susila, etika dan tingkah laku.
Disamping itu juga terdapat banyak lontar - lontar indik yang menjadi rujukan
pelaksanaan kehidupan umat beragama dan bermasyarakat di Bali seperti lontar
Wariga, lontar tentang pertanian, pertukangan, organisasi sosial dan yang lainnya.
Disamping itu juga terdapat kitab - kitab Itihasa dan gubahan - gubahan yang berasal
dari purana, seperti Parwa ( kisah Maha Bharata), Kanda (Ramayana) dan juga
kekawin - kekawin yang menjadi alat pendidikan dan pedoman dalam bertingkah laku
bagi masyarakat. Itihasa dan juga purana juga menjadi sumber dalam kehidupan
berkesenian di Bali terutama kesenian yang masuk kategori Wali atau sakral, seperti
wayang, topeng, calonarang dan yang lainnya, yang mana pementasan kesenian
tersebut umumnya mengangakat tema cerita yang berasala dari Itihasa, purana atau
kekawin. Tidak semua pelaksanaan kehidupan beragama di Bali yang dapat dirujuk
kedalam sumber - sumber ajaran sastra agama, yang dikarenakan Agama Hindu di
Bali begitu menyatu dengan Budaya, adat, seni dan segala aspek kehidupan orang
Bali, sehingga banyak warisan budaya para leluhur orang Bali yang tetap diwariskan
turun - temurun dan menjadi satu keatuan denga Agama Hindu di Bali.

SIVA SIDHANTA DALAM PELAKSANAAN KEHIDUPAN BERAGAMA DI


BALI

Ada relasi antara manusia dengan Tuhan. Relasi ini diwujudkan dalam bentuk bakti
sebagai wujud Prawrtti Marga. Tuhan dipuja sebagai saksi agung akan semua
perbuatan manusia di dunia. Tuhan yang memberikan berkah dan hukuman kepada
semua mahluk. Di Bali, bhakti kepada Tuhan direalisasikan dalam berbagai bentuk.
Untuk orang kebanyakan, bhakti diwujudkan dengan sembahyang yang diiringi
dengan upakara. Upakara artinya pelayanan dengan ramah diwujudkan dengan banten.
Upakara termasuk Yajna atau persembahan suci. Baik sembahyang maupun
persembahan Yajna memerlukan tempat pemujaan. Pemangku, Balian Sonteng dan
Sulinggih mengantarkan persembahan umat kepada Tuhan dengan,mantra dan puja.
Padewasan dan rerainan memengang peranan penting, yang mana pada semua ini
ajaran sradha kepada Tuhan akan selalu tampak terwujud.

Demikian juga misalnya saat Bhatara Siwa sebagai Dewata Nawa Sanga diwujudkan
dalam banten caru, belia disimbulkan pada banten Bagia Pula Kerti, beliau dipuja pada
puja Asta Mahabhaya, Nawa Ratna dan pada kidung beliau dipuja pada kidung Aji
Kembang. Bhatara Siwa sebagai Panca Dewata dipuja dalam berbagai Puja, Mantra
ditulis dalam aksara pada rerajahan dan juga disimbulkan pada alat upacara serta
aspek kehidupan beragama lainnya. Tempat - tempat pemujaan menunjukkan tempat
memuja Bhatara Siwa dalam manifestasi beliau.
Beliau dipuja sebagai Siwa Raditya di Padmasana, dipuja sebagai Tri Murti di
sanggah, paibon, Kahyanga Desa dan kahyangan jagat. Pemujaan Tuhan pada
berbagai tempat sebagai Ista Dewata sesuai dengan ajaran Tuhan berada dimana -
mana. Demikinalah orang Bali menyembah Tuhan disemua tempat, di Pura Dalem,
Pura Desa, Pura Puseh, Bale Agung, Pempatan Agung, Peteula, Setra, Segara,
Gunung, Sawah, Dapur dan sebagainya. Disamping itu diberbagai tempat Tuhan
dipuja sebagai Dewa yang "Ngiyangin" atau yang memberkati daerah pada berbagai
aspek kehidupan, seperti Dewa Pasar, Peternakan, Kekayaan, Kesehatan, Kesenian,
Ilmu Pengetahuan dan sebagainya.

Dengan demikian hampir tidak ada aspek kehidupan orang Bali yang lepas dari
Agama Hindu. Dalam pemujaan ini Tuhan dipuja sebagai Ista Dewata, Dewa yang
dimohon kehadirannya pada pemujaannya, sehingga yang dipuja bukanlah Tuhan
yang absolut sebagai Brahman dalam Upanisad atau Bhatara Siwa sebagai Parama
Siwa, namun Tuhan yang bersifat pribadi yang menjadi junjungan yang disembah oleh
penyembahnya. Ista Dewata ini dipandang sebagai tamu yang dimohon kehadirannya
oleh hambanya pada waktu dipuja untuk menyaksikan sembah bakti umatnya. Oleh
karena itu Tuhan dipuja sebagai "Hyang" dari aspek - aspek kehidupan yang rasa
kehadiran-Nya sangat dihayati oleh hambanya sama seperti penghayatan umat
terhadapap aspek kehidupan tersebut.

Pemujaan dilakukan dalam suasana, tempat cara dan bahan yang paling tepat dan
paling dihayati oleh para pemuja-Nya. Terdapat persembahan Banten, pakaian, hiasan
yang semuanya dipersembahkan dengan begitu serasi dengan penghayatan, perasaan
dan cita rasa dari penyembah-Nya sehingga penghayatan menyusup kedalam lubuk
hati yang terdalam. Apapun yang dipersembahkan, maka itu adalah sesuatu yang
terbaik menurut para penyembah-Nya. Akibat dari semua itu adalah adanya variasai
dan pelaksanaan hidup beragama di Bali. Namun inti dari prinsip ajaran agama Hindu
adalah sama, yaitu Tuhan yang ada dimana - mana sama dengan Tuhan Yang Maha
Esa yang menampakkan diri dalam berbagai wujud dan pandangan penyembah-Nya,
yang abstrak dihayati melalui bentuk.

Pura Luhur Uluwatu ini berada di Desa Pecatu Kecamatan Kuta Kabupaten Badung.
Pura Luhur Uluwatu dalam pangeder-ider Hindu Siwa Sidhanta di Bali berada di arah
barat daya sebagai pura untuk memuja Tuhan sebagai Batara Rudra. Kedudukan Pura
Luhur Uluwatu tersebut berhadap-hadapan dengan Pura Andakasa, Pura Batur dan
Pura Besakih. Karena di Pura Luhur Uluwatu itu terfokus daya wisesa atau kekuatan
spiritual dan tiga Dewa yaitu Dewa Brahma memancar dari Pura Andakasa, Dewa
Wisnu dari Pura Batur dan Dewa Siwa dari Pura Besakih. Tiga daya wisesa yang
disebut Tri Kona itulah yang dibutuhkan dalam hidup ini. Dinamika hidup akan
mencapai sukses apabila adanya keseimbangan Utpati, Stithi dan Pralina secara benar,
tepat dan seimbang. Menurut Lontar Kusuma Dewa, pura ini didirikan atas anjuran
Mpu Kuturan sekitar abad kesebelas. Pura ini salah satu dari enam Pura Sad
Kahyangan yang disebutkan dalam Lontar Kusuma Dewa. Pura yang disebut Pura Sad
Kahyangan ada enam yaitu Pura Besakih, Pura Lempuhyang Luhur, Pura Goa Lawah,
Pura Luhur Uluwatu, Pura Luhur Batukaru dan Pura Pusering Jagat.

Berhubung banyak lontar yang menyebutkan Sad Kahyangan, maka tahun 1979-1980
Institute Hindu Dharma (sekarang Unhi) atas penugasan Parisada Hindu Dharma
Indonesia Pusat mengadakan penelitian secara mendalam. Akhirnya disimpulkan
bahwa Pura Sad Kahyangan menurut Lontar Kusuma Dewa itulah yang ditetapkan
sebagai Pura Sad Kahyangan, karena saat Bali belum pecah menjadi sembilan
kerajaan. Lontar tersebut dibuat tahun 1005 Masehi atau tahun Saka 927. Hal ini
didasarkan pada adanya pintu masuk di Pura Luhur Uluwatu menggunakan Candi
Paduraksa yang bersayap.

Candi tersebut sama dengan candi masuk di Pura Sakenan di Pulau Serangan
Kabupaten Badung. Di Candi Pura Sakenan tersebut terdapat Candra Sangkala dalam
bentuk Resi Apit Lawang yaitu dua orang pandita berada di sebelah menyebelah pintu
masuk. Hal ini menunjukkan angka tahun yaitu 927 Saka, ternyata tahun yang
disebutkan dalam Lontar Kusuma Dewa sangat tepat. Dalam Lontar Padma Bhuwana
disebutkan juga tentang pendirian Pura Luhur Uluwatu sebagai Pura Padma Bhuwana
oleh Mpu Kuturan pada abad kesebelas. Candi bersayap seperti di Pura Luhur
Uluwatu terdapat juga di Lamongan, Jatim.

PURA LUHUR ULUWATU SEBAGAI TEMPAT PEMUJAAN DEWA SIWA


RUDRA

Pura Luhur Uluwatu berfungsi sebagai tempat pemujaan Dewa Siwa Rudra dan
terletak di barat daya Pulau Bali. Pura Luhur Uluwatu didirikan berdasarkan konsepsi
Sad Winayaka dan Padma Bhuwana. Sebagai pura yang didirikan dengan konsepsi
Sad Winayaka Pura Luhur Uluwatu sebagai salah satu dari Pura Sad Kahyangan untuk
melestarikan Sad Kertih (Atma Kerti, Samudra Kerti, Danu Kerti, Wana Kerti, Jagat
Kerti dan Jana Kerti). Sementara sebagai pura yang didirikan berdasarkan konsepsi
Padma Bhuwana Pura Luhur Uluwatu didirikan sebagai aspek Tuhan yang menguasai
arah barat daya. Pemujaan Dewa Siwa Rudra adalah pemujaan Tuhan dalam memberi
energi kepada ciptaannya. Ida Pedanda Punyatmaja Pidada saat masih walaka pernah
beberapa kali menjabat ketua Parisada Hindu Dharma Pusat menyatakan bahwa di
Pura Luhur Uluwatu memancar energi spiritual tiga dewa. Kekuatan suci ketiga Dewa
Tri Murti (Brahma, Wisnu dan Siwa) menyatu di Pura Luhur Uluwatu.
Karena itu, umat yang membutuhkan dorongan spiritual untuk menciptakan,
memelihara dan meniadakan sesuatu yang patut diadakan, dipelihara dan dihilangkan
sering sangat khusyuk memuja Dewa Siwa Rudra di Pura Luhur Uluwatu. Salah satu
ciri hidup yang ideal menurut pandangan Hindu adalah menciptakan segala sesuatu
yang patut diciptakan. Memelihara sesuatu yang patut dipelihara dan menghilangkan
sesuatu yang sepatutnya dihilangkan. Menciptakan, memelihara dan menghilangkan
sesuatu yang patut itu tidaklah mudah. Berbagai hambatan akan selalu menghadang.

Dalam menghadapi berbagai kesukaran itulah umat sangat membutuhkan kekuatan


moral dan daya tahan mental yang tangguh. Untuk mendapatkan keluhuran moral dan
ketahanan mental, salah satu caranya dengan jalan memuja Tuhan dengan tiga
manifestasinya. Untuk menumbuhkan daya cipta yang kreatif pujalah Tuhan dalam
manifestasinya sebagai Dewa Brahma. Untuk memiliki ketetapan hati memelihara
sesuatu yang patut dipelihara pujalah Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa
Wisnu. Untuk mendapatkan kekuatan menghilangkan sesuatu yang patut dihilangkan
pujalah Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Siwa.

Energi spiritual ketiga manifestasi Tuhan itu menyatu dalam Dewa Siwa Rudra yang
dipuja di Pura Luhur Uluwatu. Pura Luhur Uluwatu ini tergolong Pura Kahyangan
Jagat. Karena Pura Sad Kahyangan dan Pura Padma Bhuwana itu adalah tergolong
Pura Kahyangan Jagat. Di Pura Luhur Uluwatu ini Batara Rudra dipuja di Meru
Tumpang Tiga. Di sebelah kanan dari jaba Pura Luhur Uluwatu ada Pura Dalem Jurit
sebagai pengembangan Pura Luhur Uluwatu pada zaman kedatangan Danghyang
Dwijendra pada abad ke-16 Masehi. Di Pura Dalem Jurit ini terdapat tiga patung yaitu
Patung Brahma, Patung Ratu Bagus Dalem Jurit dan Patung Wisnu. Ratu Bagus
Dalem Jurit itulah sesungguhnya Dewa Siwa Rudra dalam wujud Murti Puja.
Pemujaan energi Tri Murti dengan sarana patung ini merupakan peninggalan sistem
pemujaan Tuhan dengan sarana patung dikembangkan dengan sistem pelinggih.
Karena saat beliau datang ke Pura Dalem Jurit itu sistem pemujaan di Pura Luhur
Uluwatu masih sangat sederhana karena kebutuhan umat memang juga masih
sederhana saat itu.

Pura Luhur Uluwatu juga memiliki beberapa Pura Prasanak atau Jajar Kemini. Pura
Prasanak tersebut antara lain Pura Parerepan di Desa Pecatu, Pura Dalem Kulat, Pura
Karang Boma, Pura Dalem Selonding, Pura Pangeleburan, Pura Batu Metandal dan
Pura Goa Tengah. Semua Pura Prasanak tersebut berada di sekitar wilayah Pura Luhur
Uluwatu di Desa Pecatu. Umumnya Pura Kahyangan Jagat memiliki Pura Prasanak.
Pura Prasanak ini merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan dengan Pura Luhur
Uluwatu. Pura Prasanak tersebut berada dalam radius sekitar lima kilometer Pura
Luhur Uluwatu. Karena itu dalam radius lima kilometer tersebut hendaknya jangan
ada bangunan atau fasilitas yang tidak ada hubungannya dengan keberadaan Pura
Luhur Uluwatu beserta dengan Pura Prasanak -nya. Dapat saja beberapa hal diadakan
dalam radius kesucian pura tersebut sepanjang keberadaan bangunan tersebut dalam
rangka memperkuat eksistensi nilai-nilai luhur yang terkandung dalam filosofi Pura
Luhur Uluwatu.

PADMA TIGA DI BESAKIH SEBAGAI KONSEP TUHAN SIWA

Siwa Tattwa ngaranya sukha tanpa wali duhkha. Sadasiwa Tattwa ngaranya tanpa
wwit tanpa tungtung ikang sukha. Paramasiwa Tattwa ngaranya niskala tan wenang
winastwan ikang sukha. (Dikutip Dari Wrehaspati Tattwa.50)

Maksudnya:

Hakikat memuja Tuhan Siwa untuk mencapai kebahagiaan yang tidak berbalik pada
kedukaan. Memuja Tuhan sebagai Sadasiwa akan mencapai kebahagiaan yang tidak
ada awal dan tidak akhirnya. Memuja Tuhan sebagai Paramasiwa mencapai
kebahagiaan niskala yang tidak dapat dilukiskan kebahagiaan itu.

Pelinggih Padma Tiga di Pura Besakih sebagai sarana untuk memuja Tuhan sebagai
Sang Hyang Tri Purusa yaitu jiwa agung alam semesta. Purusa artinya jiwa atau hidup.
Tuhan sebagai jiwa dari Bhur Loka disebut Siwa, sebagai jiwa Bhuwah Loka disebut
Sadha Siwa dan sebagai jiwa dari Swah Loka disebut Parama Siwa. Pelinggih Padma
Tiga sebagai media pemujaan Sang Hyang Tri Purusa yaitu Siwa, Sada Siwa dan
Parama Siwa. Hal ini dinyatakan dalam Piagam Besakih dan juga dalam beberapa
sumber lainnya seperti dalam Pustaka Pura Besakih yang diterbitkan oleh Dinas
Kebudayaan Propinsi Bali tahun 1988. Busana hitam di samping busana warna putih
dan merah dari Padma Tiga bukan simbol dari Wisnu, tetapi simbol dari Parama Siwa.

Dalam Mantra Rgveda ada dinyatakan bahwa keberadan Tuhan Yang Maha Esa yang
memenuhi alam semesta ini hanya seperempat bagian saja. Selebihnya ada di luar
alam semesta. Keberadaan di luar alam semesta ini amat gelap karena tidak dijangkau
oleh sinar matahari. Tuhan juga maha-ada di luar alam semesta yang gelap itu. Tuhan
sebagai jiwa agung yang hadir di luar alam semesta itulah yang disebut Parama Siwa
dalam pustaka Wrehaspati Tattwa itu.

Busana hitam Padma Tiga yang berada di kanan atau yang mengarah ke Pura Batu
Madeg itu bukan lambang pemujaan Wisnu. Tetapi pemujaan untuk Parama Siwa
yang berada di luar alam semesta. Parama Siwa adalah Tuhan dalam keadaan Nirguna
Brahman artinya tanpa sifat atau manusia tidak mungkin melukiskan sifat-sifat Tuhan
Yang Mahakuasa itu. Sedangkan Padma Tiga yang di tengah busananya putih kuning
sebagai simbol dalam Tuhan keadaan Saguna Brahman. Artinya Tuhan sudah
menunjukkan ciri-ciri niskala untuk mencipta kehidupan yang suci dan sejahtera. Putih
lambang kesucian dan kuning lambang kesejahteraan.

Sedangkan busana warna merah pada Padma Tiga yang di kiri atau yang mengarah
pada Pura Kiduling Kreteg bukanlah sebagai lambang Dewa Brahma. Warna merah
dalam Pelinggih Padma Tiga yang di bagian kiri memang arahnya ke Pura Kiduling
Kreteg. Padma Tiga yang berwarna merah itu sebagai simbol yang melukiskan
keberadaan Tuhan sudah dalam keadaan krida untuk Utpati, Stithi dan Pralina. Dalam
hal inilah Tuhan Siwa bermanifestasi menjadi Tri Murti. Untuk di kompleks Pura
Besakih sebagai Batara Brahma dipuja di Pura Kiduling Kreteg. Sebagai Batara Wisnu
di Pura Batu Madeg dan sebagai Batara Iswara di Pura Gelap. Di tingkat Pura Padma
Bhuwana sebagai Batara Wisnu dipuja di Pura Batur simbol Tuhan Mahakuasa di arah
utara. Dipuja sebagai Bhatara Iswara di Pura Lempuhyang Luhur di arah timur dan
sebagai Batara Brahma dipuja di Pura Andakasa simbol Tuhan Mahakuasa di arah
selatan.

Sementara untuk di tingkat desa pakraman, Batara Tri Murti itu dipuja di Kahyangan
Tiga. Mengapa ajaran agama Hindu demikian serius mengajarkan umatnya untuk
memuja Tuhan Yang Maha Esa itu dalam manifestasinya sebagai Dewa Tri Murti.
Salah satu ciri hidup manusia melakukan dinamika hidup. Memuja Tuhan sebagai Tri
Murti untuk menuntun umat manusia agar dalam hidupnya ini selalu berdinamika
yang mampu memberikan kontribusi pada kemajuan hidup menuju hidup yang
semakin baik, benar dan tepat. Pemujaan pada Dewa Tri Murti itu agar dinamika
hidup manusia itu berada di koridor Utpati, Stithi dan Pralina. Maksudnya
menciptakan sesuatu yang patut diciptakan disebut Utpati, memelihara serta
melindungi sesuatu yang sepatutnya dipelihara dan dilindungi disebut Stithi, serta
meniadakan sesuatu yang sudah usang yang memang sudah sepatutnya dihilangkan
yang disebut Pralina.

Demikianlah keberadaan Pelinggih Padma Tiga yang berada di Mandala kedua dari
Pura Penataran Agung Besakih. Di Mandala kedua ini sebagai simbol bertemunya
antara bhakti dan sweca. Bhakti adalah upaya umat manusia atau para bhakta untuk
mendekatkan diri pada Tuhan. Sedangkan sweca dalam bahasa Bali maksudnya suatu
anugerah Tuhan kepada para bhakta-nya. Sweca itu akan diterima oleh manusia atau
para bhakta sesuai dengan tingkatan bhakti-nya pada Tuhan. Bentuk bhakti pada
Tuhan di samping secara langsung juga seyogianya dilakukan dalam wujud asih dan
punia. Asih adalah bentuk bhakti pada Tuhan dengan menjaga kelestarian alam
lingkungan dengan penuh kasih sayang, karena alam semesta ini adalah badan nyata
dari Tuhan. Sedangkan punia adalah bentuk bhakti pada Tuhan dalam wujud
pengabdian pada sesama umat manusia sesuai dengan swadharma kita masing-masing.
Tuhan telah menciptakan Rta sebagai pedoman atau norma untuk memelihara dan
melindungi alam ini dengan konsep asih.

Tuhan juga menciptakan dharma sebagai pedoman untuk melakukan pengabdian pada
sesama manusia. Dengan konsep asih, punia dan bhakti itulah umat manusia meraih
sweca-nya Tuhan yang dilambangkan di Pura Besakih di Mandala kedua ini. Di
Mandala kektiga ini tepatnya di sebelah kanan Padma Tiga itu ada bangunan suci yang
disebut Bale Kembang Sirang. Di Bale Kembang Sirang inilah upacara padanaan
dilangsungkan saat ada upacara besar di Besakih seperti saat ada upacara Bhatara
Turun Kabeh, upacara Ngusaba Kapat maupun upacara Manca Walikrama, apalagi
upacara Eka Dasa Ludra.Upacara padanaan yang dipusatkan di Bale Kembang Sirang
inilah sebagai simbol bahwa antara bhakti umat dan sweca-nya Hyang Widhi bertemu.
Di Pura Penataran Agung Besakih sebagai simbol Sapta Loka tergolong Pura
Luhuring Ambal-ambal. Ini dilukiskan bagaimana umat seyogianya melakukan bhakti
kepada Tuhan dan bagaimana Tuhan menurunkan sweca kepada umat yang dapat
melakukan bhakti dengan baik dan benar. Semuanya dilukiskan dengan sangat
menarik di Pura Penataran Agung Besakih dan amat sesuai dengan konsep Weda kitab
suci agama Hindu.

Pura Pesimpangan berada kurang lebih 2 km di sebelah barat Pura Penataran Agung
Besakih. Bangunan suci atau Pelinggih yang utama di Pura Pesimpangan ini adalah
bangunan suci yang disebut Gedong Limas Catu. Di samping itu ada satu bangunan
yang disebut pepelik untuk menempatkan sesajen sebagai sarana persembahan umat.
Ada juga bangunan yang disebut bebaturan dan balai yang disebut piyasan tempat
menempatkan sesajen persembahan yang lebih besar. Di samping itu, ada juga
beberapa peninggalan batu yang sulit dinyatakan bentuknya karena sudah rusak. Batu
itu mungkin bentuk-bentuk sarana pemujaan pada zaman megalitikum atau
peninggalan sarana pemujaan saat Sekte Siwa Pasupata yang lebih eksis sebelum
muncul dan semakin kuatnya Sekte Siwa Sidanta. Meskipun sekte Siwa Pasupata tidak
eksis lagi tetapi para penganut Siwa Sidanta tidak menghilangkan sarana peninggalan
Siwa Pasupata, justru tetap dibuatkan tempat seperti yang kita jumpai di beberapa
bebaturan di berbagai kompleks Pura Besakih.

Meskipun sarana pemujaan Sekte atau Sampradaya Siwa Pasupata tidak menjadi unsur
utama dalam sistem pemujaan Siwa Sidanta, tetapi hal itu tetap dihormati tidak
dimusnahkan atau tidak diperlakukan semena-mena saja. Gedong Limas Catu sebagai
pelinggih utama di Pura Pesimpangan berfungsi sebagai ''pesimpangan'' atau stana
sementara Ida Batara di Besakih. Mengapa ada stana sementara? Dalam kegiatan ritual
keagamaan yang bersifat rutin di Pura Besakih ada kegiatan yang disebut Melasti.
Upacara Melasti simbol perjalanan para dewa manifestasi Tuhan Yang Maha Esa itu
dilakukan di Besakih umumnya ke Pura Batu Klotok di pantai selatan Kabupaten
Klungkung, ke Tegal Suci dan ke Toya Sah. Ketiga tempat inilah setiap tahun
dilakukan upacara Melasti. Saat iring-iringan Melasti itu kembali ke Pura Besakih atau
ke Penataran Agung Besakih tidak langsung menuju Pura Besakih. Iring-iringan
Melasti itu berhenti untuk beberapa jam lamanya di Pura Pesimpangan ini. Saat
berhenti itulah Pelinggih Gedong Limas Catu di Pura Pesimpangan itu disimbolkan
sebagai stana sementara Ida Batara di Besakih. Kata ''simpang'' berasal dari bahasa
Bali yang artinya singgah.

Jadi, Pura Pesimpangan itu sebagai tempat singgah sementara dari Ida Batara simbol
Tuhan Yang Maha Esa yang dipuja di Pura Penataran Agung Besakih. Iring-iringan
Melasti itu saat kembali ke pelinggih semula umumnya dipersembahkan beberapa
sesaji. Besar kecilnya sesaji itu tergantung tingkatan upacaranya. Kalau upacaranya
besar maka sesaji untuk kembali berstana di pelinggih asal lebih besar lagi. Untuk
mempersiapkan sesaji itu membutuhkan waktu yang lama. Karena itulah iring-iringan
Melasti yang kembali itu membutuhkan singgah untuk berhenti sejenak di Pura
Pesimpangan.

Zaman dahulu belum ada alat-alat komunikasi dan transportasi yang canggih seperti
sekarang. Sehingga sulit untuk mengetahui siap dan tidaknya penyambutan iring-
iringan Melasti itu di Pura Besakih. Yang menjadi tanda bahwa iring-iringan itu sudah
dekat dengan Pura Penataran Agung Besakih adalah suara gong atau gamelan. Konon
iring-iringan Melasti itu kalau sudah sampai di Pura Pesimpangan suara gongnya
sudah kedengaran dengan jelas dari Penataran Agung. Kalau suara gong sudah
terdengar maka segala sesuatu menyangkut ritual sakral penyambutan kedatangan
iring-iringan Melasti itu sudah dapat mulai dipersiapkan. Setelah berhenti beberapa
jam lamanya di Pura Penataran barulah iring-iringan Melasti itu berangkat lagi menuju
Penataran Agung Besakih. Begitu iring-iringan itu sampai di Penataran Agung segala
sarana upacara penyambutan sudah siap dilangsungkan.

Yang sangat menarik di Pura Pesimpangan ini adalah bentuk Pelinggih Limas Catu
ini. Di setiap Merajan Gede yang disebut di Gedong Pertiwi tempat pemujaan leluhur
umat Hindu di seluruh Bali umumnya pada Pelinggih Limas Catu yang dibangun di
sebelah kanan Gedong Pertiwi. Limas Catu itu pun juga sebagai pesimpangan Batara
Gunung Agung di Besakih. Sedangkan sebelah kirinya ada Gedong Limas Mujung
sebagai pesimpangan Ida Batara di Gunung Batur. Limas Catu dan Limas Mujung
wujud umumnya sama tetapi yang berbeda tutup atapnya di puncak dari bangunan
tersebut. Kalau Limas Catu puncaknya berbentuk kerucut semakin ke atas semakin
mengecil yang dibuat dari ijuk. Sedangkan Limas Mujung puncak atapnya ditutup
dengan topi yang dibuat dari tanah liat beserta hiasannya yang ada ukirannya.
Pura Besakih dan Pura Batur adalah Pura Kahyangan Jagat yang tergolong Pura Rwa
Bhineda. Fungsi Pura Rwa Bhineda sebagai media memuja Tuhan untuk memohon
keseimbangan hidup lahir dan batin. Pura Besakih memohon kebahagiaan hidup
rohaniah, sedangkan Pura Batur untuk memohon kesejahteraan hidup lahiriah. Jadinya
tujuan pemujaan leluhur di Merajan Gedong Pertiwi adalah untuk memuja memohon
kepada leluhur agar ikut serta memperkuat pemujaan umat pada Tuhan untuk
membangun kehidupan yang sejahtera lahir batin. Karena itulah ada Pelinggih
Pesimpangan Besakih dan Batur dalam wujud Limas Catu dan Limas Mujung.
Memperhatikan konsep pemujaan pada Ida Batara di Besakih dapat dibuat dalam
wujud besar, megah dan luas. Pemujaan seperti itu kedudukannya sebagai pemujaan
jagat masyarakat umat Hindu umumnya tetapi untuk memuja Ida Batara di Besakih
dalam keluarga yang lebih kecil dapat dilakukan dengan cara yang amat sederhana. Di
Merajan Gede di sebelah kanan Gedong Pertiwi umumnya ada Pelinggih Limas Catu
namanya. Pelinggih inilah sebagai Pelinggih Pesimpangan Ida Batara di Besakih
sebagai Tuhan dalam manifestasi sebagai Batara Siwa. Sarana pemujaan Tuhan yang
ada di mana-mana itu dapat dilakukan dengan berbagai bentuk seperti dinyatakan
dalam petikan Kekawin Dharma Sunia di atas.

PURA GOA GAJAH SEBAGAI TEMPAT PEMUJAAN DEWA SIWA

Tri Purusa di Goa Gajah

Siwa Tattwa ngaranya sukha tanpa wali duhka.

Sadasiwa Tattwa ngaranya tan pawwit tanpa tungtung.

Paramasiwa Tattwa ngaranya niskala tan tan wenang

winastwan ikang sukha, salah linaksanan. (Wrehaspati Tattwa.50).

Maksudnya:

Tujuan Siwa Tattwa mencapai kebahagiaan yang tidak berbalik pada kedukaan.
Paramasiwa Tattwa adalah kebahagiaan yang bersifat niskala, tidak dapat dibayangkan
dalam wujud nyata dan tidak benar bila diberi ciri-ciri.

Di Pura Goa Gajah terdapat ceruk di mana di dalam salah satu ceruknya di arah timur
goa terdapat tiga buah Lingga berjejer dalam satu lapik. Masing-masing Lingga di
kelilingi oleh depalan Lingga kecil-kecil. Dalam tradisi Hindu Lingga itu adalah
bangunan suci simbol pemujaan pada Dewa Siwa sebagai salah satu manifestasi
Tuhan. Tiga Lingga ini mungkin sebagai salah satu peninggalan Hindu dari sekte Siwa
Pasupata. Tiga Lingga itu sebagai simbol sakral sebagai sarana pemujaan Tuhan
dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Purusa. Tuhan dipuja sebagai Sang
Hyang Tri Purusa itu dalam fungsinya sebagai jiwa agung alam semesta. Siwa sebagai
jiwa Bhur Loka. Sada Siwa sebagai jiwa agung Bhuwah Loka dan Parama Siwa
sebagai jiwa Swah Loka. Tujuan pemujaan Tuhan sebagai Siwa jiwa agung Bhur Loka
adalah untuk mencapai suka tanpa wali duhkha. Sebagai Sada Siwa untuk mencapai
kebahagiaan yang tiada berpangkal dan tiada berujung. Sebagai Parama Siwa untuk
mencapai kebahagiaan yang bersifat niskala yang tidak dapat dibayangkan dalam
wujud nyata dan tidak mungkin diberikan ciri-cirinya. Demikian dinyatakan dalam
pustaka suci Wrehaspati Tattwa.

Masing-masing Lingga dikelilingi oleh delapan Lingga kecil-kecil itu sebagai simbol
delapan dewa di delapan penjuru dari masing-masing bhuwana tersebut. Delapan dewa
itu disebut Astadipalaka, artinya delapan kemahakuasaan Tuhan sebagai pelindung
seluruh penjuru alam. Memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri
Purusa bertujuan untuk menguatkan jiwa untuk mencapai kesuksesan hidup di Tri
Bhuwana. Delapan dewa di masing-masing bhuwana itu adalah sebagai dewa
manifestasi dari Siwa. Dalam buku ”Penuntun ke Objek-objek Purbakala” oleh Prof.
Drs. I Gst. Gde Ardana dinyatakan tiga Lingga di Pura Goa Gajah itu ada yang
menduga sebagai simbol pemujaan Tri Murti. Dugaan itu sepertinya kurang nyambung
dengan konsep pantheon Hindu.

Pura Goa Gajah itu terletak di Desa Bedaulu Kecamatan Blahbatuh, Gianyar. Pura ini
memiliki banyak peninggalan purbakala. Karena itu pura ini banyak dikunjungi oleh
para wisatawan asing maupun domestik. Pura ini dapat dibagi menjadi tiga bagian.
Ada bangunan-bangunan suci Hindu yang amat tua sekitar abad ke-10 Masehi. Ada
bangunan suci Hindu berupa pelinggih-pelinggih yang dibangun setelah abad tersebut.
Sedangkan yang ketiga ada bangunan peninggalan agama Buddha yang diperkirakan
oleh para ahli sudah ada sekitar abad ke-8 Masehi sezaman dengan Candi Borobudur
di Jawa Tengah. Di ceruk bagian timur goa terdapat tiga Lingga besar berjejer di atas
satu lapik, sedangkan di bagian baratnya terdapat arca Ganesa di goa berbentuk T.
Jadinya di bagian hulu atau keluwan goa ada tiga Lingga simbol Siwa atau Sang
Hyang Tri Purusa. Sedangkan di bagian teben adalah arca Ganesa yaitu putra Siwa
dalam sistem pantheon Hindu. Karena adanya arca Ganesa inilah menurut Miguel
Covarrubias goa ini bernama Goa Gajah.

Fungsi Dewa Ganesa dalam sistem pemujaan Hindu adalah sebagai Wighna-ghna
Dewa dan sebagai Dewa Winayaka. Wighna artinya halangan atau tantangan.
Pemujaan Tuhan sebagai Dewa Ganesa adalah pemujaan untuk mendapatkan tuntunan
spiritual agar memiliki ketahanan diri dalam menghadapi berbagai halangan atau
tantangan hidup. Ganesa dipuja sebagai Dewa Winayaka adalah untuk mendapatkan
tuntunan Tuhan dalam mengembangkan hidup yang bijaksana. Kemampuan
menghadapi tantangan dan mengembangkan kebijaksanaan ini sebagai langkah awal
untuk meraih hidup yang damai dan sejahtera di bumi ini. Di depan goa terdapat arca
Pancuran dalam sebuah kolam permandian sakral yang karena zaman tertimbun tanah.
Saat Kriygsman menjabat kepala kantor Prbakala di Bali, maka tahun 1954
permandian itu digali. Di permandian itu terdapat arca Widyadara dan Widyadhari.
Arca pancuran ini ada enam buah. Tiga berjejer di bagian utara dan tiga di bagian
selatan. Arca bidadari ini diletakkan di atas lapik teratai atau padma.

Padma adalah simbol alam semesta stana Hyang Widhi. Di tengahnya ada arca laki
simbol Widyadhara. Enam arca Widyadhari ini mengalirkan air dari pusat arca dan
ada yang dari susu arca. Air yang mengalir di kolam itu sebagai simbol kesuburan.
Tujuan pemujaan Tuhan dengan simbol Lingga sebagai media untuk memotivasi
munculnya kesuburan. Lingga itu dibagi menjadi dua bagian yaitu alasnya disebut
Yoni simbol Predana dan yang berdiri tegak di atas yoni itu disebut Lingga. Bagian
bawah lingga berbentuk segi empat simbol Brahma Bhaga, di atasnya berbentuk segi
delapan simbol Wisnu Bhaga.

Di atas segi delapan berbentuk bulat panjang. Inilah puncaknya sebagai Siwa Bhaga.
Dalam upacara pemujaan Lingga ini disiram air atau dengan susu. Air atau susu itu
ditampung melalui saluran yoni. Air itulah yang dipercikan ke sawah ladang
memohon kesuburan pertanian dan perkebunan. Arca pancuran itu lambang air
mengalir untuk membangun kesuburan pertanian dalam arti luas. Dalam Canakya
Nitisastra, air itu dinyatakan salah satu dari tiga Ratna Permata Bumi. Tumbuh-
tumbuhan bahan makanan dan obat-obatan serta kata-kata bijak sebagai dua Ratna
Permata lainnya. Bangunan suci Hindu di Pura Goa Gajah di samping ada bangunan
peninggalan Hindu pada zaman eksisnya Hindu Siwa Pasupata pada zaman berikutnya
ada pura sebagai pemujaan Hindu pada zaman Hindu Siwa Siddhanta telah
berkembang.

Karena itu di sebelah timur agak ke selatan Goa Gajah itu ada beberapa pelinggih.
Ada Pelinggih Limas Catu dan Limas Mujung sebagai Pelinggih Pesimpangan Batara
di Gunung Agung dan Gunung Batur. Ada Pelinggih Gedong sebagai pelinggih
leluhur para gusti di Bedaulu. Ada pelinggih Ratu Taman sebagai pemujaan Batara
Wisnu sebagai dewanya air. Sebagaimana pura pada umumnya terdapat juga beberapa
bangunan pelengkap. Seperti pelinggih Pengaruman sebagai tempat sesaji untuk
persembahan saat ada upacara, baik upacara piodalan maupun karena ada hari raya
Hindu lainnya. Peninggalan yang lebih kuno dari peninggalan Hindu di Pura Goa
Gajah adalah adanya peninggalan agama Buddha. Di luar goa di sebelah baratnya ada
arca Buddhis yaitu Dewi Hariti di Bali disebut arca Men Brayut. Arca ini dilukiskan
sebagai seorang wanita yang memangku banyak anak.

Dalam mitologi agama Buddha, Hariti ini pada mulanya seorang wanita pemakan
daging manusia terutama daging anak-anak. Setelah Hariti ini mempelajari ajaran
Sang Budsha, Hariti akhirnya menjadi seorang yang sangat religius dan penyayang
anak-anak. Di sebelah selatan Goa Gajah melalui parit diketemukan arca Buddha
dalam sikap Dhyani Buddha Amitaba. Buddha dalam sikap Dhyani Buddha Amitaba
ini dalam sistem pantheon Buddha Mahayana sebagai Buddha pelindung arah barat
alam semesta. Demikian tiga wajud bangunan keagamaan Hindu dan Buddha di Pura
Goa Gajah.

Toleransi Beragama di Pura Goa Gajah Di Pura Goa Gajah ada tiga tipe bangunan
keagamaan yang berbeda-beda. Ada bangunan keagamaan Hindu pada saat
berkembangnya Hindu Siwa Pasupati. Dengan bukti-bukti adanya Arca Tiga Lingga
yang masing-masing Lingga dikelilingi oleh delapan Lingga kecil-kecil. Ada
bangunan keagamaan yang bercorak Siwa Siddhanta dengan adanya pelinggih-
pelinggih di sebelah timur agak keselatan dari Goa Gajah. Di samping itu ada
bangunan keagamaan Buddha yang bercorak Buddha Mahayana. Apa dan bagaimana
konsep dan misi pembangunan Pura Goa Gajah tersebut?

Tiga bentuk bangunan keagamaan di Pura Goa Gajah ini sungguh sangat menarik
untuk dijadikan bahan renungan di zaman modern dengan teknologi hidup yang serba
canggih. Yang patut dikaji adalah sikap toleransi leluhur orang Bali pada zaman
lampau itu. Agama Hindu sekte Siwa Pasupati memang ada perbedaannya dengan
agama Hindu Siwa Siddhanta. Tetapi substansi keagamaan Hindu tersebut adalah
sama bersumber pada Weda. Hakikat sejarah munculnya agama Buddha pun berasal
dari proses pengamalan ajaran suci Weda. Ajaran Hindu Siwa Pasupata menekankan
pada arah beragama ke dalam diri sendiri. Arah beragama Hindu itu ada dua yaitu
Niwrti Marga dan Prawrti Marga. Niwrti Marga adalah arah beragama dengan
memprioritaskan penguatan hati nurani, sedangkan Hindu Siwa Siddhanta lebih
menekankan pada Prawrti Marga dengan orientasi beragama ke luar diri. Namun
bukan berarti tidak menggunakan cara Niwrti. Hanya perbedaan pada penekanannya
saja.

Cara Niwrti ditempuh untuk mencapai keadaan yang ”Pasupata”. Pasu artinya hawa
nafsu kebinatangan. Sedangkan kata Pata berasal dari kata Pati artinya Raja atau
penguasa. Pasupata atau Pasupati artinya proses pemujaan Tuhan untuk dapat
menguasai nafsu yang identik dengan sifat-sifat hewan. Barang siapa yang mampu
menguasai nafsu yang identik dengan sifat-sifat hewan itu dialah yang akan dapat
mencapai Siwa secara bertahap seperti yang dinyatakan dalam Wrehaspati Tattwa 50.
Kalau sudah dapat menguasai diri sendiri maka proses hidup selanjutnya akan lebih
lancar dalam menempuh cara Prawrti Marga.
Agama Hindu sekte Siwa Siddhanta seperti yang dianut oleh umat Hindu di Bali pada
umumnya memiliki tujuan yang sama dengan Hindu Siwa Pasupata itu. Bedanya
hanya penekanannya saja. Kata Siwa Siddhanta berarti sukses mencapai Siwa yang
terakhir atau tertinggi. Jadinya dalam satu sekte saja agama Hindu memberikan
kebebasan pada umatnya untuk memilihnya. Di Pura Goa Gajah, kedua cara itu dapat
hidup berkelanjutan dan umat tidak dipaksa harus ikut ini atau itu. Umat dipersilakan
secara mandiri untuk memilihnya atau memadukan semua cara tersebut. Ini artinya
penganut Siwa Siddhanta tidak menganggap penganut Siwa Pasupata sebagai
penganut sesat. Mereka menyadari substansi ajaran agama Hindu yang mereka anut
sama yaitu berdasarkan Weda.

Demikian juga sebaliknya yang menganut Siwa Pasupata tidak menganggap penganut
Siwa Siddanta sebagai orang lain. Ini artinya umat Hindu pada zaman dahulu itu
benar-benar menghormati privasi beragama sebagai sesuatu yang dijunjung tinggi.
Sikap keagamaan umat Hindu yang dicerminkan oleh umat Hindu di masa lampau di
Pura Goa Gajah dan sesungguhnya pada peninggalan Hindu kuno yang lainnya di
Indonesia. Tentunya akan sangat janggal kalau pada zaman sekarang ada misalnya
umat yang bersifat negatif pada orang lain yang berbeda sistem penekanan
beragamanya. Umat Hindu di masa lampau terutama para pemimpinnya benar-benar
sudah memiliki jiwa besar dalam mengelola perbedaan. Karena perbedaan itu
merupakan suatu kenyataan yang universal. Artinya, perbedaan itu akan selalu ada
sepanjang masa, di mana pun dan kapan pun. Akan menjadi sesuatu yang tidak
produktif kalau ada yang memaksakan agar mereka yang berbeda ditekan dengan cara-
cara pendekatan kekuasaan. Menyikapi perbedaan seperti itu sangat tidak sesuai
dengan ajaran agama Hindu dan nilai-nilai universal yang dianut oleh dunia dewasa
ini.

Demikian juga halnya dengan peninggalan keagamaan Buddha Mahayana di Pura Goa
Gajah yang jauh lebih awal berada di Bali. Munculnya Sidharta Gautama sebagai
Buddha diawali oleh adanya dua aliran Hindu yaitu Tithiyas dan Carwakas. Aliran
Tithiyas dan Carwakas sama-sama meyakini bahwa penderitaan itu karena keterikatan
manusia pada kehidupan duniawi yang tidak langgeng ini. Mereka berbeda dalam hal
cara mengatasi keterikatan nafsu tersebut. Carwakas memandang agar nafsu tidak
mengikat maka nafsu itu harus dituangkan bagaikan menuangkan air di gelas. Dengan
nafsu itu terus dipenuhi sesuai dengan gejolaknya maka nafsu itu akan habis dan
lenyap maka manusia pun akan bebas dari ikatan hawa nafsu. Sebaliknya aliran
Tithyas berpendapat bahwa nafsu itu harus dimatikan dengan menghentikan fungsi
alat-alatnya. Agar mata tidak ingin melihat yang baik-baik dan indah-indah saja maka
mata dibuat buta dengan cara melihat mata hari yang sedang terik. Lidah dibuat
sampai tidak berfungsi. Ada yang sampai membakar kemaluannya agar nafsu seksnya
hilang.
Kedua aliran itu membuat umat menderita. Dalam keadaan seperti itulah muncul
Sidharta Gautama yang telah mencapai alam Buddha memberikan pentunjuk praktis
beragama. Ajarannya adalah Sila Prajnya dan Samadhi. Sila berbuat baik sesuai
dengan suara hati nurani. Suara hati nurani adalah suara Atman. Atman adalah bagian
dari Brahman. Teknis berbuat baik itu didasarkan pada Prajnya artinya ilmu
pengetahuan. Dalam berbuat baik hendaknya bersikap konsisten dengan konsentrasi
yang prima. Itulah Samadhi. Inilah inti wacana Sidharta Gautama dalam
menyelamatan umat dari perbedaan yang dipertentangkan itu. Setelah seratus tahun
Sidharta mencapai Nirwana barulah wacana sucinya itu dikumpulkan menjadi tiga
keranjang sehingga bernama Tri Pitaka. Jadinya keberadaan agama Buddha di Pura
Goa Gajah substansinya tidaklah berbeda apalagi berlawanan dengan ajaran Hindu
Siwa Pasupata maupun Siwa Siddhanta. Tiga corak keagamaan yang ada di Pura Goa
Gajah itu memang berbeda tetapi perbedaan itu terletak pada cara atau metodenya
saja. Substansi ketiga corak keagamaan Hindu dan Buddha yang ada di Pura Goa
Gajah itu sama-sama menuntun umat manusia untuk mencapai hidup bahagia dan
sejahtera di dunia dan mencapai alam ketuhanan di dunia niskala.
daftar pustaka:

Suhardana,Komang. 2009. Tri Murti Tiga Perwujudan Utama Tuhan. Jakarta:


Paramita

Cudamani. 1990. Pengantar Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta:


Yayasan Dharma Sarathi
Sara Sastra, Gede. 1994. Konsepsi Monotheisme Dalam Agama Hindu.Denpasar:
Upasada Sastra

BAB III

PENUTUP

SIMPULAN

Lontar Jnanasiddhanta di bagi atas beberapa bab yaitu 27 bab. Dan isinya
membahas sifat-sifat terpenting ajaran Saivasiddhanta. Isi dari lontar ini pada
prinsipnya adalah tentang “Kamoksaan” (pengetahuan tertinggi untuk
mencapai tujuan akhir berupa kelepasan yang abadi) menurut ajaran
Saiwasiddhanta. Keseluruhan isinya terdiri dari 27 bab (judul), yaitu;
1. Catur Viphala ; Empat viphala yang intinya membahas empat tingkat
peniadaan dan pembebasan. Yaitu; Nihsprha(tanpa keinginan), nirbana
(peleburan atau larutnya jasmani), niskala (tahap dimana jiwa manunggal tak
terpisahkan dari kehampaan total), nirasraya (kelepasan sempurna).

2. Prayoga-sandhi ; Pengetahuan rahasia mengenai cara mencapai kelepasan.

3. Sang Hyang Pranawa-Jnana Kamoksan ; Pengetahuan rahasia mengenai


suku kata OM

4. Sang Hyang Branava-Tridevi ; menjelaskan tentang pokok-pokok bab 3


(semua konsep timbul dan melebur dalam suku kata OM).

5. Sang Hyang Kahuwusan Jati-visesa ; realisasi mengenai tujuan sejati umat


Hindu.

6. Nirmala-jnana-sastra ; ajaran tentang pengetahuan murni.

7. Panca Paramartha ; lima paramartha (jalan yang tidak menuju kelahiran


kembali atau moksa).

8. Sang Hyang Naisthika-Jnana ; pengetahuan yang bersifat sempurna. Disini


dijelaskan mengenai Siwatattwa dan Siwajnana yang masing-masing
merupakan pengetahuan sejati tentang Siva yang sangat sulit dimengerti.

9. Sang Hyang Maha Vindu ; dalam bab ini dijelaskan teori-teori mengenai
tanda anusuara yaitu huruf vindu yang ditulis seperti sebuah titik yang
diperpanjang dan kalau diperbesar menjadi suatu tanda yang menyerupai
sebuah tetes.

10. Sang Hyang Saptongkara ; tujuh bagian bunyi suci OM, ketujuh bunyi OM
merupakan api (untuk membakar korban). Dan yang dimaksud ketujuh bunyi
OM adalah; empat bagian dalam tulisan bali, dan ketiga suku kata A-U-MA.

11. Sang Hyang Pancavim sati ; disini menjelaskan tentang bunyi OM, dimana
bunyi OM terdiri dari tiga suku kata masing-masing,A,U,MA.

12. Sang Hyang Dasatma-Sang Hyang Vindu-Prakriya ; merupakan suatu


diagram mistik seperti dipergunakan dalam salah satu upacara tertentu.
13. Pancatma ; yaitu tentang lima angin (angin prana, angin udana, angin
samana, angin apana, angin byana), lima atma (byana, atma, paratma,
antaratma, dan niratma), lima Aksara (VYO,MA,VYA,PI,NE).

14. Sang Hyang Upadesa-Samuha ; keseluruhan jumlah ajaran suci yaitu dalam
Tryatma (svasa; nafas ke atas, nihvasa; nafas ke bawah, samyoga; perpaduan
kedua nafas tersebut).

15. Sad-angga-yoga ; merupakan yoga yang berbentuk enam yaitu, Pratyahara,


Dhyana, Pranayama, Dharana, Tarka, dan Samadhi.

16. Sang Hyang Atma-Lingga, Lingodbhava ; merupakan puncak ajaran


Siddhanta, yang menjelaskan lingga itu merupakan lambang dewa Siva.

17. Utpetti-Sthiti-Pralina Sang Hyang Pranava ; menjelaskan tentang


spekulasi-spekulasi mengenai susunan bunyi OM yang berpusar pada rumus
niskala-nada-vindu-ardhacandra-visva.

18. Caturdasaksara-pindha, Utpatti-sthiti-pralina ; menjelaskan tentang


keempat belas suku kata. Yang terdiri atas pancabrahma (SA-BA-TA-A-I),
pancaksara (NA-MA-SI-VA-YA), dan akhirnya suku kata OM itu sendiri.

19. Sang Hyang Bhedajnana ; merupakan suatu doktrin yang unggul dan
rahasia.

20. Sang Hyang Mahajnana ; merupakan spekulasi tentang pembebasan, yang


diwujudkan dalam suku kata AM-AH, sebuah mantra yang dikaitkan dengan
hidup dan kematian, dan lain tempat disebut rva bhineda.

21. Sang Hyang Benem Vungkal ; dijelaskan bahwa kelepasan terjadi dari
tubuh, bukan keatas, bukan kebawah, bukan ke timur, bukan bukan keutara,
bukan maupun bukan keselatan.

22. Pranayama, Sangksipta-puja ; bab ini menguraikan pentingnya pernafasan


yang seharusnya diketahui oleh seorang yang mengabdi menurut
kewajibannya.

23. Sang Hyang Kaka-Hamsa ; menjelaskan tentang perlawanan Sadasiva


dengan Paramasiva, yang sama seperti sekala berlawan dengan niskala.

24. Sang Hyang Tirtha, Sapta Samudra-Sapta-Patala ; dalam bab ini


menyebutkan spekulasi-spekulasi tentang makrokosmos dan mikrokosmos.
25. Sang Hyang Saiwasiddhanta ; bab ini menjelaskan ajaran suci dari Siva,
dan ajaran suci ini pada hakekatnya memang putih.

26. Utpati-Sthiti-Pralina Sang Hyang Vindu, Abhyantara ; menjelaskan tentang


penampakan, kehadiran dan leburnya San Hyan Vindu Abhyantara.

27. Jnanasiddhanta ; merupakan ajaran tentang Siddhanta (pendidikan seorang


pendeta). Dimana siswa baru dapat memperoleh pendidikan dari gurunya
setelah dilangsungkan suatu upacara tertentu.

Dalam ajaran Śiva Siddhānta memandang para deva , seperti : Brahma, Visnu,
Isvara, Mahadeva, dan sebagainya dihormati dan dipuja sesuai dengan tempat
dan fungsinya, karena deva-deva itu tiada lain dari manifestasi Śiva (Tuhan),
sesuai dengan fungsinya yang berbeda. Sebutan Śiva Siddhānta kalau ditinjau
dari arti kata Siddhānta berarti kesimpulan, maka ajaran Śiva Siddhānta
merupakan kesimpulan dari ajaran Śivaisme.

Kitab Vedanya dikenal dengan nama Veda Sirah, adalah petikan-petikan dari
Veda yang dipetik adalah pokok-pokoknya (sirah = kepala). Maka Veda Sirah
berarti pokok-pokok Veda atau inti sari Veda. Vrhaspati Tattva adalah salah
satu sistem filsafat peninggalan Śiva Siddhānta di Bali yang menguraikan
konsepsi Ketuhanan. Yang mana pokok ajarannya berkiblat kepada Rva
Bhineda Tattva dan Tri Purusa Tattva. Yang dimaksud dengan Rva Bhineda
Tattva adalah unsur utama yang menjadikan adanya segala sesuatu, yakni
Cetana yang merupakan unsur kesadaran dan Acetana yang merupakan unsur
ketidaksadaran. Sedangkan Tri Purusa Tattva adalah pertemuan kedua unsur
Rva Bhineda, yang menciptakan adanya Paramaśiva, Sadaśiva dan Śivātma.
Paramaśiva, Sadaśiva dan Śivātma pada hakekatnya adalah Brahman Yang
Esa. Maka untuk membayangkan Tuhan yang serba abstrak dan sebagai
metode dalam rangka menumbuhkan keyakinan adanya Tuhan, maka dibuatlah
sistem-sistem pengajaran sesuai dengan pandangan manusia. Paramaśiva
adalah Cetana/Purusa atau kejiwaan/kesadaran yang tertinggi (Tuhan), suci,
murni, sama sekai belum kena pengaruh maya (Acetana/Pradhana/Prakrti)
,tenang, tentram, tanpa aktivitas, kekal abadi, tiada berawal tiada berakhir, ada
di mana-mana, maha Tahu, tidak pernah lupa, maka dari itu diberi gelar
Nirguna Brahman (Para Brahman). Dalam Vrhaspati Tattva 7-10, disebutkan:
"Paramaśiva tattva ngaranya: Aprameyam anirdesyam anaupamyam
anamayam suksmam sarvagatam sarvatam nityam dhruvam avyayam isvaram".
(Vrhaspati Tattva.7)

"Aprameyam anantatvad anirdesyam alaksanam anaupamyam anadrsyam


vimalatvad anamayam". (Vrhaspati Tattva.8)

"Sukamanca anupalabhyatvad vyapakatvacca sarvagam nityakarena sunyatvam


acalatvacca tad dhruvam". (Vrhaspati Tattva.9)

"Avyayam paripurnatvad saumyabhavam tathaiva ca Siwa tattvam idam uktam


sarvatah parisamsthitam". (Vrhaspati Tattva.10)

Yang disebut Paramaśiva Tattva adalah: Isvara yang tak dapat diukur, tak
dapat diberi jenis, tak dapat diumpamakan, tak dapat dikotori, maha halus, ada
di mana-mana, kekal-abadi, senantiasa langgeng, tak pernah berkurang.Tak
dapat diukur, karena Dia tak terbatas, tak dapat diberi jenis, karena dia tak
punya sifat, tak dapat diumpamakan, karena tiada sesuatu seperti Dia, tak dapat
dikotori, karena Dia tak bernoda. Maha gaib, karena Dia tak dapat diamati,
berada di mana-mana, karena Dia menembus segalanya, kekal-abadi, karena
Dia suci murni, dan selalu langgeng karena Dia tak bergerak. Tak pernah
berkurang, karena Dia maha sempurna, begitu pula keadaannya tengan, inilah
Śiva Tattva (Paramaśiva Tattva) yang menempati segala-galanya. (Radeg
Astra, 1968: 45-46).

Dengan memperhatikan kutipan tersebut, maka telah terbayang dalam pikiran


kita bahwa Tuhan Paramaśiva adalah Tuhan dalam keadaan suci murni, maka
tidak ada sesuatu yang dapat mempengaruhi Beliau, sehingga sukarlah untuk
memberi pembatasan dan memang Beliau tak terbatas, telah ada tanpa ada
yang mengadakan, tiada berawal dan tiada berakhir (Anadi-Ananta), tiada
terpengaruh oleh waktu, tempat dan keadaan. Itulah sebabnya kita sebagai
manusia yang seba terbatas yang hidup atas dasar materi, maka sulitlah untuk
memberikan pembatasan terhadap Tuhan yang serba tak terbatas.

Tuhan Sadaśiva adalah Tuhan yang sudah dipengaruhi oleh maya (Acetana),
maka Beliau mulai mempunyai sifat, fungsi dan aktivitas, dalam keadaan ini
beliau diberi gelar Sadaśiva yang Saguna Brahman. Dalam Tattva di Bali
Tuhan Sadaśivalah yang paling banyak mendapat perhatian yang disebut
dengan Hyang Widhi dengan bermacam-macam gelar dan manifestasi.
Demikian juga dibuatkan nyasa tertentu sebagai simbol Tuhan. Maka itu
penulis akan lebih banyak mengungkapkan tentang aspek kemahakuasaan
Tuhan dalam fungsi sebagai Sadaśiva. Śivātma adalah unsur kejiwaan yang
lebih banyak dipengaruhi oleh maya, jika dibandingkan dengan Sadaśiva, di
mana kesadaranNya telah mulai kena pengaruh lupa (Avidya). Oleh karena itu
unsur kesadaran aslinya yang murni dan lagi telah terpecah-pecah, serta
menjadi segala makhluk, khususnya manusia, maka akhirnya di sebut Atma.
Jadi Atma adalah merupakan bagian dari Śivātma yang fungsinya memberikan
energi atau tenaga pada jasmani pada setiap makhluk, sehingga sering disebut
Jiwatma.

Dalam konsepsi Sadaśiva, dimana Beliau telah kena pengaruh maya, sehingga
Beliau mulai mempunyai sifat, fungsi, dan aktivitas. Namun pengaruh maya
belumlah begitu besar, hanya berupa 'guna' atau hukum kemahakuasaanNya,
yang sering disebut dengan Sakti/Prakrti, sehingga kesadaran aslinya yang suci
murni masih jauh lebih besar. Oleh karena itulah beliau dapat mengatur Utpeti,
Sthiti, dan Pralina dari alam semesta dengan segala isinya atau Bhuvana
Agung dan Bhuvana Alit. Adapun sifat kemahakuasaan Tuhan Sadaśiva,
meliputi : Guna, Sakti, dan Swabhawa.

Guna meliputi tiga sifat, yang mulia, yakni:

Dura Darsana, yaitu: brpenglihatan serba jauh dan tembus pandang.

Dura Sarvajna, yaitu: berpengetahuan serba sempurna.

Dura Sravana, yaitu: berpendengaran serba jauh.

Yang disebut Sakti Tuhan Sadaśiva, ada empat macam (Cadu Sakti), yaitu:

Vibhu Sakti, yaitu: Beliau berada pada segala yang ada dan amat gaib.

Prabhu Sakti, yaitu: Beliau maha kuasa, menguasai segala-galanya, serta tidak
ada yang memadai kekuasaanNya.

Jñana Sakti, yaitu: Beliau maha tahu, sumber segala kebijaksnaan, sehingga
dapat mengetahui segala-galanya.
Kriya Sakti, yaitu: Beliau maha karya, beliau dapat mengerjakan segalanya
dengan sempurna.

Sedangkan yang dimaksud dengan Asta Aisvarya, adalah delapan sifat


kemahakuasaan Tuhan Sadaśiva,

yaitu:

Anima, yakni: bersifat sangat kecil sekecil-kecilnya.

Laghima, yakni: bersifat maha ringan.

Mahima, yakni: bersifat maha besar.

Prapti, yakni: bersifat dapat mencapai segala-galanya.

Prakamya, yakni: Bersifat berhasil dalam segalayang dikehendaki.

Isitva,yakni: bersifat merajai segala-galanya.

Vasitva, yakni: bersifat maha kuasa.

Yatrakamavasayitva, yakni: bersifat dapat memenuhi segala keinginan dan


maha kuasa

BAB I

PENDAHULUAN

Kepercayaan kita terhadap adanya Tuhan sebagai pencipta alam semesta ini
beserta isinya, menjadi salah satu alas an seseorang menganut suatu agama
tertentu. Di dunia terdapat berbagai macam agama yang tersebar dan
berkembang hingga saat ini. Namun di Indonesia ada enam agama yang diakui
oleh pemerintah, yaitu agama Hindu, Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan,
Budha dan Konghucu.
Sama halnya dengan agama lain, agama Hindu juga memiliki kitab suci yaitu
Veda. Veda merupakan wahyu Ida Sang Hyang Widhi atau pengetahuan suci
yang bersumber dari Tuhan itu sendiri. Veda juga merupakan pedoman bagi
umat Hindu baik itu dalam berperilaku, tata cara pembangunan tempat suci
maupun dalam hal mellaksanakan ritual keagamaan.

Selain Veda (kitab suci) itu sendiri, umat hindu juga berpedoman pada lontar-
lontar yang diyakini mengandung ajaran tertentu yang dapat dijadikan
pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Lontar tersebut pada umumnya ditulis
pada sehelai daun ental dan menggunakan aksara Bali, dan ada yang memang
boleh kita pelajari tapi ada juga lontar yang diyakini memiliki nilai mistik
tertentu. Ada banyak lontar yang terkenal dan sudah banyak terjemahannya
dalam bahasa Indonesia yang diterbitkan dalam bentuk buku dengan tujuan
agar kita lebih mudah mempelajari dan memehami isi dari lontar tersebut.
Adapun contoh-conhtonya antara lain, Bhuwana kosa, Tattwajnana,
Wrhaspatitattwa, Ganapati Tattwa, Purwaka Bhumi, Sanghyang Mahajnana
dan lainnya. Pada makalah ini akan dibahas sedikit mengenai lontar
Jnanasiddhanta, dimana lontar ini lebih banyak membahas mengenai konsep
Saivasiddhanta karena sebagian besar membahas menganai ajaran tentang
Siva. Lontar ini terdiri dari 27 Bab, dimana penjelasan mengenai masing-
masing bab tersebut akan dibahas ddalam makalah ini.

Dalam mahzab siwaisme dikenal istilah Tri Purusha. “menurut Piagam


Besakih, Tuhan dipuja sebagai Sang Hyang Tri Purusha (T iga Manifestasi
Tuhan sebagai jiwa alam semesta)”.. Tri Purusha didalam Tattwa Jnana
disebutkan “ ...... yang disebut Siwa Tattwa ada tiga yaitu; 'Paramasiwa Tattwa,
Sadasiwa Tattwa, Atmika Tattwa“ (Tattwa Jnana). Dengan demikian pada
dasamya siwa adalah satu namun keadaan dan sifatya berbeda, yang secara
vertikal dipilah menjadi tiga bagian menyangkut keadaan-Nya yaitu:
Paramasiwa (Trancendent), Sadasiwa (Immanent), dan Atmika Tattwa atau
Siwatma (Immanent).

Atmika Tattwa/siwaatma merupakan aspek Tuhan yang bersemayam didalam


hati setiap makhluk. Sadasiwa Tattwa mempakan aspek Tuhan bewujud
(Saguna Brahman), sedangkan aspek Tuhan yang tak berwujud (Nirguna
Brahman) adalah Paramasiwa Tattwa. '

Dalam mahzab Waisnawa aspek Tuhan yang berwujud adalah Bhagavan,


aspek Tuhan tak bemujud adalah Brahman dan aspek Tuhan yang bersemayam
di dalam hati setiap makhluk adalah Paramatman.

Anda mungkin juga menyukai