Anda di halaman 1dari 5

Bab 5

Keuntungan Sebagai Tujuan Perusahaan


Bisnis sering dilukiskan sebagai “to provide products or services for a profit”. Dalam
rangka bisnis, pemberian dengan gratis hanya dilakukan untuk kemudian menjual barang itu
dengan cara besar-besaran. Profit baru muncul dengan kegiatan ekonomi yang memakai
sitem keuangan. Benarlah dikatakan Robert Solomon bahwa profit merupakan buah hasil
suatu tansaksi moneter. Profit selalu berkaitan dengan kegiatan ekonomis, dimana kedua
belah pihak menggunakan uang. Jika berefleksi tentang profit dalam bisnis, tidak boleh
dilupakan bahwa selalu juga ada kemungkinan kerugian.

Keterikatan dengan keuntungan itu merupakan suatu alasan khusus mengapa bisnis
selalu ekstra rawan dari sudut pandang etika. Tentu saja, organisasi not for profit pun pasti
sewaktu-waktu berurusan dengan etika. Perspektif baik/buruk secara moral selalu muncul,
jika manusia bertemu dengan sesama dalam konteks apa saja. Tetapi perusahaan sebagai
organisasi for profit menampilkan lebih banyak masalah etis dan bobot moralnya sering kali
lebih berat. Jika meraup keuntungan sebesar-besarnya tanpa batas menjadi upaya pertama
dari bisnis, tidak dapat dielakan keberatan dari pihak etika.

1. Maksimalisasi Keuntungan sebagai Cita-Cita Kapitalisme Liberal

Profit maximization/maksimalisasi keuntungan merupakan tema penting dalam ilmu


manajemen ekonomi. Ekonomi terapan justru mencapai coraknya sebagai ilmu yang
sistematis dan memiliki kerangka logis yang ketat, karena hanya memandang keuntungan
sebagai tujuan perusahaan, sambil melewati semua tujuan lain yang mungkin.

Tentu saja, para ekonom akan menjelaskan bahwa maksimalisasi keuntungan


sebagai tujuan perusahaan tidak boleh dimengerti secara harfiah dan pasti tidak boleh
ditafsirkan sebagai sebuah pernyataan moral. Artinya dimaksud sebagai sekedar model
ekonomis yang diharapkan akan memberi arah kepada strategi ekonomis yang bisa berhasil.
Salah besar, kalau orang mengukurnya dengan kategori-kategori etika. Menjadi
pemakluman karena hal itu tidak pernah dimengerti secara konkret, sampai meliputi semua
seluk-beluk kegiatan ekonomis, apalagi bertentangan dengan norma moral. Padahal sejarah
mencatat di era industrialisasi para pekerja diperalat dan diperas secara tidak manusiawi
yang kemudian makin lama dibentuk negara kesejahteraan dengan sistem jaminan sosial.
Studi sejarah menunjukan bahwa maksimalisasi keuntungan sebagi tujuan usaha
ekonomis memang bisa membawa akibat kurang etis. Hal itu sungguh berlangsung dalam
kapitalisme liberal yang melatarbelakangi industrialisasi modern di Inggris dan negara-
negara barat lainnya. Melalui perjuangan panjang dan berat, di negara-negara industri
perlakuan kurang etis terhadap kaum buruh lama-kelamaan teratasi. Kini industri baru
sebetulnya tidak boleh dikembangkan lagi tanpa sekaligus mengmbangkan juga koreksian
terhadap bahaya penindasan dari industri modern.

2. Masalah Pekerja Anak

Tidak bisa diragukan, pekerjaan yang dilakukan oleh anak (child labor) merupakan
topik dengan banyak implikasi etis, tetapi masalah ini sekaligus juga sangat kompleks,
karena faktor-faktor ekonomis di sini dengan aneka macam cara bercampur baur dengan
faktor-faktor budasya dan sosial. Yang dimaksud disini adalah pekerjaan yang dilakukan oleh
anak dibawah umur demi pembayaran uang yang digunakan untuk membantu keluarganya.
Logisnya “dibawah umur” harus disamakan dengan batas umur wajib belajar.

Dalam Convention on the Rights of the Child yang diterima dalam sidang umum PBB
1989 diserahkan kepada masing-masing negara anggota untuk menetapkan usia
minimum/usia-usia minimum untuk dapat memasuki lapangan kerja (pasal 32,2a). ILO 1973
mengeluarkan konvensi tentang usia minimum untuk diperbolehkan bekerja. Sebagai
patokan harus mengupayakan usia minimum 18 tahun untuk pekerjaan berbahaya dan 16
tahun untuk pekerjaan ringan. Di Indonesia baru mengesahkan konvensi tersebut tahun
1999 dan menetapkan usia minimum pada 15 tahun. Sebelumnya berdasarkan UU dari
1951, batas minimum usia pekerja ditentukan pada 14 tahun.

Kenyataannya di berbagai negara anak-anak harus bekerja pada umur terlalu muda
yang sering kali dalam kondisi penuh risiko. Tidak mengherankan, dalam Declaration of the
Rights of the Child yang diproklamasikan oleh Sidang Umum PBB 1959 dikatakan bahwa
“anak harus mempunyai kesempatan penuh untuk main dan rekreasi, yang harus tertuju
pada maksud yang sama seperti pendidikan” (prinsip 7). Dalam rangka itu ditegaskan antara
lain : “anak tidak boleh diterima sebagai pekerja sebelum umur minimum yang tepat; ia
sekali-kali tidak boleh disuruh atau diterima dalam jabatan / pekerjaan apa saja yang bisa
merugikan kesehatan / pendidikannya / mengganggu perkembangan fisik, psikis atau
moralnya” (prinsip 9).

Dalam etika pekerjaan anak ditolak terutama karena 2 alasan. Pertama, bahwa
pekerjaan itu melanggar hak para anak. Masa anak adalah periode pertama dalam hidup
seseorang manusia dengan segala ciri khasnya. Kedua, bahwa pekerjaan anak merupakan
cara berbisnis yang tidak fair. Sebab, dengan cara itu pebisnis berusaha menekan biaya
produksi dan dengan demikian melibatkan diri dalam kompetisi kurang fair terhadap rekan-
rekan pebisnis yang tidak mau menggunkan tenaga anak dan bisa memperparah masalah
pengangguran. Karena itulah mempekerjakan anak menjadi tidak etis.

Dalam zaman sekarang pekerja anak tampil sebagai suatu masalah khusus dalam
hubungan dengan industri garmen, sepatu/alat olahraga, mainan anak dll, yang
mempercayakan pembuatan produknya kepada kontraktor dalam kuantitas besar, yang
pada gilirannya mencari lagi subkontraktor untuk kuantitas terbatas yang dapat menjamin
harga yang paling murah.

Cara mengatasi masalah pekerja anak adalah dengan kesadaran dan aksi dari pihak
publik konsumen, kode etik yang dibuat dan ditegakan juga oleh perusahaan dan
melengkapi garmen jualan atau produk lain dengan No Sweet Label.

Untuk membentuk pandangan yang seimbang tentang masalah pekerja anak,


sebaiknya tidak melupakan kasus-kasus yang pernah terjadi di belahan dunia. Penderitaan
anak-anak itu harus dinilai sudah keterlaluan. Tetapi disisi lain harus dipertimbangkan
bahwa anak-anak itu bekerja kerena terdesak oleh keadaan ekonomi keluarganya.
Pemerintah Indonesia khususnya mengakui itu dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri
Tenaga Kerja no. 1 Tahun 1987 yang mengizinkan anak dibawah usia 14 tahun bekerja
sebagai buruh di sektor formal, kalu keadaan ekonomi keluarga mendesak. Peraturan itu
disertai dengan syarat-syarat. Pertama, anak-anak itu hanya boleh bekerja 4 jam sehari.
Kedua, tidak boleh diperkerjakan di tempat yang berisiko khusus seperti pertambangan/
bekerja dengan alat-alat yang berbahaya. Ketiga, tidak boleh dipekerjakan malam hari atau
pukul 18.00-06.00. Intinya adalah bahwa kebaikan dan kesejahteraan anak tidak pernah
boleh dikorbankan kepada keuntungan ekonomis.

3. Relativasi Keuntungan

Bisnis menjadi tidak etis, kalau perolehan untung dimutlakan dan segi moral
dikesampingkan. Manajemen modern sering disifatkan sebagai manajement by objectives.
Dan dalam manajemen ekonomi salah satu unsur penting adalah cost-benefit analysis.
Semua itu bisa diterima asalkan disertai pertimbangan etis.

Perlu ditekankan, keuntungan dalam bisnis merupakan suatu pengerian yang relatif.
Ronald Duska menegaskan bahwa purpose dan motive itu harus dibedakan. Maksud bersifat
obyektif dan motivasi bersifat subyektif. Motivasi menjelaskan mengapa kita melakukan
sesuatu, tetapi maksud membenarkan perbuatan kita itu. Maksud bisnis adalah
menyediakan produk/jasa yang bermanfaat bagi masyarakat. Keuntungan hanya sekedar
motivasi untuk mengadakan bisnis. Kenneth Blanchard dan Norman Vincent Peale
menegaskan bahwa manajer yang semata-mata mengejar keuntungan dalam bisnisnya
dapat dibandingkan dengan pemain tenis yang hanya memperhatikan papan angka dan
tidak memperhatikan bola. Maksudnya bisnis memiliki nilai intinsik sendiri, misalnya
memproduksi sesuatu yang berguna untuk masyarakat dan tidak baru menjadi bernilai
karena membawa untung. Pebisnis Max DePree membandingkan keuntungan dengan
bernapas. Kita hidup tidak untuk bernafas tetapi tidak mungkin juga kita hidup tanpa
bernapas. Keuntungan memungkinkan bisnis hidup terus, tapi tidak menjadi tujuan terakhir
bisnis. Norman Bowie membandingkan keuntungan dalam bisnis dengan kebahagiaan dalam
hidup. Kita tidak mengejar kebahagiaan demi diri sendiri tetapi kebahagiaan adalah akibat
sampingan kalau seorang suami hidup dan bekerja untuk istri dan anaknya. Demikian
keuntungan pun merupakan akibat sampingan dari bisnis, bukan tujuan yang sebenarnya.

Beberapa cara lain lagi untuk melukiskan relativitas keuntungan dalam bisnis, sambil tidak
mengabaikan perlunya :

1. Keuntungan merupakan tolak ukur untuk menilai kesehatan perusahaan / efisiensi


manajemen dalam perusahaan.
2. Keuntungan adalah pertanda yang menunjukan bahwa produk / jasanya dihargai oleh
masyarakat.
3. Keuntungan adalah cambuk untuk meningkatkan usaha.
4. Keuntungan merupakan syarat kelangsungan perusahaan.
5. Keuntungan mengimbangi risiko dalam usaha.

4. Manfaat Bagi Stakeholders

Cara lain untuk mendekatkan tujuan perusahaan adalah melukiskan tujuan itu
sebagai the stakeholders benefit. Konon, istilah itu muncul tahun1963 dalam sebuah
memorandum internal dari Stanford Research Institute, California. Sukses istilah itu
sebagian disebabkan, karena bahasa Inggris di sini main kata. Istilah itu mirip dengan
stockholders, tetapi merupakan semacam kritik implisit terhadap tendensi untuk terlalu
mengagungkan pentingnya pemegang saham / pemilik dari suatu perusahaan. Jadi,
stakeholders adalah orang / instansi yang berkeprntingan dengan suatu bisnis / perusahaan.
R. Edward Freeman menjelaskan stakeholders sebagai individu-individu dan kelompok-
kelompok yang dipengaruhi oleh tercapainya tujuan-tujuan organisasi dan pada gilirannya
dapat mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan tersebut.
Kadang-kadang stakeholders dibagi lagi atas pihak berkepentingan internal dan eksternal.
Pihak berkepentingan internal adalah orang dalam dari suatu perusahaan seperti pemegang
saham, manajer dan karyawan. Pihak berkepentingan eksternal adalah orang luar dari suatu
perusahaan : orang / instansi yang tidak secara langsung terlibat dalam kegiatan
perusahaan, seperti para konsumen, masyarakat, pemerintah, lingkungan hidup. Namun
garis pemisah stakeholders kedua itu tidak selalu bisa ditarik dengan tajam.

Paham stakeholders ini membuka perspektif baru untuk mendekati masalah tujuan
perusahaan. Bisa dikatakan bahwa tujuan perusahaan adalah manfaat semua stakeholders.

Anda mungkin juga menyukai