Anda di halaman 1dari 4

NAMA : FAHMI NUR ALFIYAN

NIM : 452289
MATKUL : ETIKA BISNIS DAN PROFESI

The Ok Tedi Copper Mine

1. Isu etika apa yang ada di kasus “The Ok Tedi Copper Mine”?
Masalah etika sistemik:
a. Sistem Perekonomian
Pertambangan memberikan dampak positif bagi pemerintah dan masyarakat Papua Nugini,
diantaranya pertambgan menyumbang 10 persen dari pendapatan bruto nasional dan 20 persen nilai
ekspor dari Papua Nugini. Selain itu, pertambangan ini juga mensponsori fasilitas bagi masyarakat
di sekitarnya dan meningkatkan taraf hidup mereka. Namun, disamping dampak positif,
pertambangan juga membawa sejumlah dampak negatif. Diantaranya limbah tambang merusak
lingkungan dengan membuang limbah tambang ke sungai yang melewati sungai Ok Tedi dan Fly
yang sekitarnya dihuni oleh kurang lebih 73.500 penduduk desa yang gaya hidupnya masih
tradisional seperti bertani, berburu, dan memancing dengan mengandalkan sungai Ok Tedi dan Fly.

b. Sistem Pemerintahan
Pemerintah Papua Nugini memberikan keringan kepada perusahaan pertambangan yakni Ok
Tedi untuk tetap melakukan operasi pertambangan tanpa perlu melakukan pembuatan tempat
penampungan limbah pertambangan. Sehingga setelah bertahun-tahun pemerintah mengalami
dilema untuk menghentikan atau tetap memberikan izin kepada perusahaan untuk tetap melanjutkan.

Masalah etika korporasi:


a. Perusahaan Ok Tedi
Perusahaan melakukan aktivitas penambangan tanpa membangun penampungan limbah.
Akibatnya warga di sekitar sungai Ok Tedi dan Fly mengalami dampak negatif berupa hilangnya
mata pencaharian dan kerusakan lingkungan di tempat tinggal mereka.

Masalah etika individu:


a. Masyarakat
Sebagian masyarat tetap ingin perusahaan melanjutkan aktivitas penambangan karena meningkatkan
taraf hidup mereka, namun sebagian masyarakat lainnya tidak menginginkan perusahaan
melanjutkan aktivitas penambangan karena merusak lingkungan dan mata pencaharian mereka.
2. Mengapa isu yang diidentifikasi di nomor 1 tidak etis? Jelaskan dari perspektif utilitarianism, right, dan
justice!
a. Utilitarinism
Pendekatan utilitarian dengan analisa cost-benefit mengasumsikan bahwa biaya dan
manfaat/keuntungan untuk menangani polusi bisa dihitung secara akurat. Namun, ketika melibatkan
kerugian terhadap kesehatan atau jiwa manusia, atau pengaruh polusi yang sifatnya tidak pasti (sulit
diprediksi) maka pendekatan utilitarian menjadi sulit untuk menghitung cost-benefit secara akurat.
Pada kasus “The Ok Tedi Copper Mine”, berdasarkan pendekatan utilitarian perilaku
perusahaan Ok Tedi tidak etis. Perilaku perusahaan Ok Tedi jika dilihat dari cost-benefit dapat
dijelaskan bahwa biaya yang ditimbulkan jauh lebih besar dibandingkan manfaat yang diperoleh
masyarakat. Biaya-biaya yang ditimbulkan jauh lebih besar dibandingkan manfaat yang diperoleh.
Diantara biaya tersebut adalah biaya untuk restorasi, biaya untuk ganti rugi, biaya untuk
pembangunan pengelolaan limbah, dan kerugian-kerugian lainnya bagi mata pencaharian
masyarakat di sekitar sungai Ok Tedi dan Fly dibandingkan manfaat yang dirasakan oleh
masyarakat yang hanya menerima manfaat material. Berdasarkan pendekatan utilitarian maka
perusahaan Ok Tedi melakukan perilaku tidak etis.

b. Right
Blackstone menyatakan bahwa kepemilikan atas lingkungan yang nyaman tidak hanya
sangat diinginkan, namun merupakan hak bagi setiap manusia. Jadi dapat dikatakan bahwa
lingkungan yang nyaman bukanlah sekedar keinginan untuk dimiliki tetapi adalah sesuatu yang
orang lain wajib untuk memilikinya. Hal ini didasarkan bahwa seseorang mempunyai hak moral atas
suatu objek bila kepemilikan atas objek tersebut sifatnya penting karena memungkinkan manusia
untuk dapat menjalani kehidupan dengan layak.
Selain itu, Blackstone juga menyatakan bahwa hak moral dan hukum lebih diutamakan
daripada hak kepemilikan. Kemampuan manusia yang semakin besar untuk
“memanipulasi/mengolah” lingkungan cenderung mengarah ke praktik-praktik yang merusak
lingkungan. Jika hal ini terjadi maka manusia juga akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh
kehidupan yang layak sebagai manusia.
Berdasarkan kasus “The Ok Tedi Copper Mine” diketahui bahwa perusahaan Ok Tedi
merusak lingkungan dengan membuang limbah tambang ke sungai yang melewati sungai Ok Tedi
dan Fly yang sekitarnya dihuni oleh kurang lebih 73.500 penduduk desa yang gaya hidupnya masih
tradisional seperti bertani, berburu, dan memancing dengan mengandalkan sungai Ok Tedi dan Fly.
Akibat dari limbah yang tidak dibangunnya fasilitas tailing sehingga masyarakat tidak dapat
menikmati hidup dengan nyaman dan layak. Sehingga dapat dikatakan, bahwa perilaku perusahaan
Ok Tedi tidak etis karena perilakunya tersebut akibatnya masyarakat di sekitar sungai Ok Tedi dan
Fly mengalami berbagai masalah, diantaranya populasi ikan menurun akibat air sungai yang
terkontaminasi, perahu penduduk sukar berjalan karena terjadi pendangkalan, dan sedimen di
permukaan hutan tergenang air, mengurangi tingkat oksigen di tanah, yang secara bertahap
mematikan tumbuhan (sebuah efek dari dieback).

c. Justice
Berdasarkan perspektif keadilan, aktivitas penambangan memunculkan biaya pengendalian
polusi yang harus ditanggung oleh pihak yang menimbulkan polusi dan pihak yang memperoleh
keuntungan darinya, serta keuntungan pengendalian polusi wajib diberikan kepada pihak-pihak yang
menanggung biaya eksternal polusi. Perusahaan Ok Tedi telah melakukan keadilan kompensatif
dengan memberikan kompensasi kepada pihak yang dirugikan sejumlah 500 juta dolar AS. Namun,
ganti rugi yang diberikan tersebut tidak adil dengan kerusakan yang ditimbulkan oleh aktivitas
penambangan perusahaan Ok Tedi. Karena dampak kerugian yang ditimbulkan bisa hingga puluhan
tahun yang berdampak terhadap kehidupan generasi masa depan. Kerugian yang dialami oleh
generasi masa depan berdasarkan perpektif keadilan juga tidak etis karena generasi masa depan
tidak memperoleh kompensasi atas rusaknya lingkungan dan mata pencaharian mereka (generasi
masa depan).

Selain ketiga perspektif di atas, terdapat perspektif ekologi yang bisa digunakan karena berkaitan
dengan lingkungan. Menurut Velasquez, ecological ethics adalah pandangan etis bahwa bagian-bagian
selain manusia dari lingkungan seharusnya dilestarikan untuk kepentingan lingkungan itu sendiri,
terlepas dari apakah lingkungan itu menguntungkan atau tidak bagi manusia. Pada kasus “The Ok Tedi
Copper Mine” diketahui bahwa perusahaan The Ok Tedi telah lalai dalam menjaga lingkungan dari
kerusakan yang ditimbulkan oleh kegiatan penambangan. Salah satu kelalaian tersebut adalah
perusahaan telah membuang limbah tambang sebesar 80.000 ton dan 120.000 ton limbah bebatuan
setiap harinya ke sungai Ok Tedi—laut yang merusak lingkungan di sekitar sungai dimana terdapat
50.000 penduduk di sana yang memanfaatkan sungai Ok Tedi untuk bertani dan menangkap ikan. Selain
itu, akibat dari limbah yang dibuang ke sungai Ok Tedi juga mengakibatkan terjadinya peningkatan
sedimen 4 kali, tingkat air sungai meningkat menjadi 5-6 meter (akibatnya frekuensi banjir meningkat),
populasi ikan di sungai menurun hingga 90 persen.

3. Siapa saja stakeholders yang terlibat?


a. Pemerintah Papua Nugini sebagai pemberi izin kepada perusahaan Ok Tedi
b. Perusahaan Ok Tedi sebagai usaha bisnis pertambangan
c. Masyarakat Papua Nugini khususnya masyarakat yang hidup di sekitar sungai Ok Tedi dan sungai
Fly yang merupakan pihak terdampak.

4. Apa solusi yang ditawarkan biar kasus serupa tidak terjadi lagi (di Indonesia)?
Dari kasus “The Ok Tedi Copper Mine” setahun sebelum tambang dijadwalkan beroperasi,
dilakukan pembangunan fasilitas penampungan untuk limbah tambang. Namun, pada tahun 1984 terjadi
tanah longsor yang menghancurkan tempat penampungan limbah. Perusahaan Ok Tedi kemudian
melakukan negosiasi kepada pemerintah Papua Nugini agar mengijikan kegiatan penambangan
dilakukan tanpa fasilitas pembuangan limbah. Pemerintah Papua Nugini kemudian memberikan izin
kepada perusahaan Ok Tedi untuk beroperasi tanpa fasilitas penampungan limbah. Hingga akhirnya
menimbulkan efek di sekitar kawasan sungai Ok Tedi dan Fly. Kejadian tersebut tidak lantas membuat
pemerintah Papua Nugini menutup tambang Ok Tedi. Hal ini dikarenakan pemerintah Papua Nugini dan
sebagian masyarakat Papua Nugini telah bergantung secara ekonomi pada tambang ini.
Berdasarkan permasalahan di atas, maka agar tidak terjadi kejadian serupa di Indonesia. Maka
pemerintah Indonesia harus tegas dalam menerapkan hukum/aturan/syarat terkait kegiatan
pertambangan. Apabila hukum/aturan/syarat agar kegiatan pertambangan beroperasi belum dapat
dipenuhi oleh pihak perusahaan maka pemerintah tidak boleh memberikan izin kegiatan penambangan.
Hal ini dikarenakan apabila pemerintah telah memberikan izin dan kemudian telah terjadi
ketergantungan baik di pemerintahan maupun di masyarakat serta telah terjadi kerusakan alam. Maka
kedepannya akan lebih sulit bagi pemerintah, perusahaan, maupun masyarakat untuk melakukan
perbaikan atas masalah yang telah terjadi.

Anda mungkin juga menyukai