Anda di halaman 1dari 29

SERI PAKET IPTEK

TEKNIK PEMANENAN GETAH


DENGAN MENGGUNAKAN STIMULAN
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HASIL HUTAN
BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
ORGANIK CUKA KAYU

Sukadaryati
Dulsalam
Yuniawati

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HASIL HUTAN


BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
BOGOR, JULI 2015
SERI PAKET IPTEK
TEKNIK PEMANENAN GETAH
DENGAN MENGGUNAKAN STIMULAN
ORGANIK CUKA KAYU

Sukadaryati
Dulsalam
Yuniawati

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HASIL HUTAN


BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
BOGOR, JULI 2015
Judul Buku:
Seri Paket Iptek
Teknik Pemanenan Getah dengan Menggunakan Stimulan Organik Cuka Kayu
Penulis:
Sukadaryati, Dulsalam, Yuniawati
Desain Sampul dan Penata Isi:
Andreas Levi Aladin
Jumlah Halaman:
22 + 6 halaman romawi
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan
Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor
Telp/Fax: 0251 - 8633 378/8633413 E-mail: info@pustekolah.org
Website: www.pustekolah.org

ISBN: 978-979-313-262-4

Dicetak oleh IPB Press, Bogor - Indonesia


Isi di Luar Tanggung Jawab Percetakan

© 2015, HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh


isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit
Kata Pengantar

Permintaan produksi getah pinus yang semakin meningkat mendorong


dilakukannya peningkatan produksi getah. Di sisi lain, ketimpangan
antara produksi getah dan potensi tegakan yang ada dari tahun ke tahun
mengkhawatirkan kelangsungan pengelolaan hutan jelutung maupun
kemenyan. Oleh karena itu, teknik pemanenan getah dan resin melalui
implementasi stimulan organik berbahan dasar cuka kayu dilakukan
dengan tujuan tidak hanya untuk meningkatkan produksinya, tetapi
juga untuk menjamin kelestarian hasil dan pohon penghasilnya serta
lingkungan di sekitarnya.
Penggunaan stimulan organik cuka kayu memberi keuntungan karena
murah dan mudah diperoleh dapat diproduksi sendiri dari sisa-sisa/
limbah pohon, lebih aman digunakan baik terhadap pohon maupun
pekerja. Namun demikian, inovasi penggunaan stimulan organik ramah
lingkungan harus terus dilakukan untuk meningkatkan produktivitas
mengingat produktivitasnya lebih rendah dibandingkan dengan
stimulan anorganik berbahan dasar asam kuat.
Penulis berharap informasi tentang Teknik Pemanenan Getah dengan
Menggunakan Stimulan Organik Cuka Kayu yang dikemas dalam Buku
Seri IPTEK ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.
Bogor, Juli 2015
Kepala Pusat

Dr. Ir. Dwi Sudharto, M.Si.


Daftar Isi

Kata Pengantar ............................................................................................................ iii


Daftar isi ......................................................................................................................... iv
Daftar Gambar .............................................................................................................. v
I. PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
II. PEMBUATAN STIMULAN CUKA KAYU ......................................................... 6
III. TEKNIK PEMANENAN ........................................................................................ 9
1. Penyadapan Pinus dengan Stimulan Cuka Kayu........................... 9
2. Penyadapan Jelutung dengan Stimulan Cuka Kayu .................. 10
3. Penyadapan Kemenyan dengan Stimulan Cuka Kayu .............. 11
IV. KINERJA................................................................................................................15
1. Pemanenan Getah Pinus ...................................................................... 15
2. Pemanenan Getah Jelutung ............................................................... 16
3. Pemanenan Getah Kemenyan ........................................................... 17
V. REKOMENDASI ..................................................................................................19
Daftar Pustaka ............................................................................................................20
Daftar Gambar

Gambar 1. Perbandingan stimulant cuka kayu (a), ETRAT (b),


dan anorganik ........................................................................................ 8
Gambar 2. Penyadapan pinus dengan menggunakan
stimulant cuka kayu .............................................................................. 9
Gambar 3. Penyadapan jelutung dengan model V:
a. torehan pertama; b. torehan kedua;
dan c. torehan ketiga .........................................................................10
Gambar 4. Penyadapan jelutung dengan model ½ spiral:
a. torehan pertama; b. torehan kedua;
dan c. torehan ketiga .........................................................................11
Gambar 5. Alat penyadapan dan pemanenan kemenyan
(a=aget, b=panutuk, c=guris) ........................................................12
Gambar 6. Cara perlukaan kulit batang kemenyan......................................13
Gambar 7. Cara penyemprotan stimulan ........................................................13
Gambar 8. Penutupan kembali kulit yang terkelupas (a) dan
menandainya untuk mempermudah pemanenan.................13
Gambar 9. Getah kemenyan yang dipanen (a=menempel
di kulit bagian dalam, b=menempel di kulit luar)...................14
I. PENDAHULUAN

Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) diatur dalam UU No. 41


tahun 1999 pasal 26 (pada hutan lindung) dan pasal 28 (pada hutan
produksi), serta PP. No. 6 tahun 2007 pasal 28 (hutan tanaman pada
hutan produksi). Pemanfaatan HHBK dapat menghasilkan produk
bernilai tinggi dan mampu menyumbangkan devisa negara. Dari
produk getah pinus yang diolah menjadi derivat gondorukem, sebagai
contoh menembus harga $US2.000–4.000 per ton (tahun 2014) dan
Indonesia mampu mengekspor 80% produksinya ke mancanegara
seperti Eropa, India, Korea Selatan, Jepang, dan Amerika (Bina 2014;
Perum Perhutani 2010). Pemanfaatan HHBK menjadi komoditas yang
patut diperhitungkan.
HHBK yang potensial untuk dikembangkan dan mempunyai nilai
ekonomi tinggi antara lain getah pinus, getah jelutung, dan kemenyan.
Getah pinus diperoleh dari penyadapan pohon pinus (Pinus merkusii),
yaitu setelah pohon berumur 11 tahun atau diemeter batangnya
mencapai minimal 25 cm. Selain diambil getahnya, kayu yang dihasilkan
dari pohon pinus dapat dimanfaatkan untuk bangunan perumahan,
lantai, mebel, kotak dan tangkai korek api, pensil, pulp, tiang listrik
(diawetkan), papan wol kayu, serta kayu lapis (Atlas Kayu Indonesia jilid
III). Getah jelutung diperolah dari proses penyadapan pohon jelutung
(Dyeraspp). Getah jelutung banyak diusahakan di daerah di Kalimantan
dan Sumatera (Siregar 1999). Getah jelutung digunakan sebagai bahan
baku permen karet, campuran pembuatan ban mobil, bahan baku
pembuatan cat, perekat, dan vernis (Coppen 1995; Waluyo 2010).
Seri Paket Iptek
2 Teknik Pemanenan Getah dengan Menggunakan Stimulan Organik Cuka Kayu

Getah kemenyan diperoleh dari proses penyadapan pohon kemenyan


(Styrax sp.). Kemenyan banyak dimanfaatkan dalam bidang kosmetik
dan farmasi (Sasmuko 2001). Di sektor industri, kemenyan digunakan
sebagai bahan pengikat parfum agar keharumannya tidak cepat hilang.
Oleh masyarakat Jawa pada zaman dahulu, kemenyan digunakan untuk
campuran rokok (rokok klembak). Selain itu, juga digunakan untuk ritual
adat (dalam pemakaman orang meninggal) dan tidak sedikit manfaat
kemenyan dihubungkan dengan dunia mistis.
Pemanfaatan HHBK memberi keuntungan ekonomi dan sosial bagi
masyarakat sekitar hutan. Di wilayah Jawa, pemanfaatan HHBK
berupa kegiatan penyadapan pinus di areal Perum Perhutani mampu
melibatkan masyarakat sekitar hutan sekaligus memberi tambahan
penghasilan bagi mereka. Pendapatan petani kemenyan di daerah
Sumatera Utara mencapai 50% dari pendapatan utamanya (Nurrochmat
2001). Pendapatan dari HHBK dapat diperoleh setiap tahun, sedangkan
pendapatan dari kayu hanya dapat diperoleh pada akhir masa daur
tanam atau pada saat usia panen tiba.
Peningkatan produksi getah sangat diharapkan untuk mencapai tujuan
ekonomi dan sosial. Hanya saja sering terjadi untuk mencapai hasil
getah yang banyak, pohon disadap untuk menghasilkan getah sebanyak
mungkin misalnya dengan melukai atau menyadap batang pohon secara
berlebihan. Tidak sedikit proses penyadapan menggunakan stimulan
atau zat perangsang berbahaya tanpa aturan sehingga pohon menjadi
merana dan akhirnya mati. Sebagai gambaran, kegiatan penyadapan
pohon pinus dilakukan dengan memaksa pohon untuk mengeluarkan
banyak getah tanpa memberi kesempatan pohon untuk recovery,
baik dalam hal cara penyadapannya maupun takaran stimulan yang
digunakan. Pada taraf ini telah terjadi eksploitasi berlebihan terhadap
pohon penghasil getah pinus tanpa mempedulikan keberlanjutan hasil.
Peningkatan produksi getah pinus dengan penggunaan stimulan yang
aman dan ramah lingkungan diperlukan untuk menjamin kelestarian
hasil getah dan pohon penghasilnya.
I. Pendahuluan 3

Di sisi lain, Indonesia pernah menjadi negara pengekspor getah jelutung


terbesar di dunia, yaitu mencapai 6.500 ton pada tahun 1990, tetapi pada
tahun-tahun berikutnya terus berkurang hingga hanya sebesar 1.182
ton pada tahun 1993 (Coppen 1995). Hal ini terkait dengan keberadaan
pohon jelutung di hutan alam sebagai penghasil getah yang semakin
berkurang jumlahnya akibat penebangan dan konversi lahan gambut
menjadi areal perkebunan dan pertanian serta kebakaran hutan. Teknik
pemanenan getah jelutung dilakukan dengan cara menyadap pohon
jelutung. Penyadapan pohon jelutung dilakukan menggunakan metode
sadapan berbentuk V dengan sudut kemiringan 30–45º dan interval
pelukaan kulit 2–3 hari, bahkan ada yang seminggu sekali (Waluyo 2003).
Metode penyadapan yang lainnya berupa pola sayatan ½ spiral baik
dari kiri atas ke kanan bawah atau arah sebaliknya (Waluyo 2010). Pada
umumnya penyadapan pohon jelutung dilakukan tanpa pemberian
stimulan untuk merangsang keluarnya getah lebih banyak.
Demikian juga dengan produk getah kemenyan, Indonesia juga pernah
sebagai pengekspor getahnya. Pada tahun 1939, sebelum perang dunia
kedua, volume ekspor kemenyan dari Tapanuli Utara mencapai 1.913
ton atau setara dengan 601.000 gulden. Pada tahun 1978 volume ekspor
kemenyan mencapai 323,6 ton atau setara dengan US$143.800. Pada
tahun 1996, Sumatera Utara mampu mengekspor kemenyan sebanyak
66,8 ton atau setara dengan US$186.001 (Simanjuntak 2000 dalam
Nurrochmat 2001). Kemenyan asal Tapanuli Utara telah dipasarkan 80%
di Pulau Jawa dan 20% diekspor ke Malaysia dan Singapura (Sasmuko
2001). Teknik pemanenan getah kemenyan biasa dilakukan oleh
masyarakat penyadap kemenyan dengan cara melukai batang pohon
dengan alat tertentu dan kemudian menutup kembali luka tersebut.
Sekitar 2–3 bulan petani kemenyan akan kembali ke pohon itu untuk
memanen hasil getah kemenyan. Cara tersebut sudah dilakukan secara
turun-temurun. Penggunaan stimulan untuk merangsang keluarnya
getah kemenyan agar lebih banyak belum pernah dilakukan. Paling
tidak informasi secara ilmiah tentang penggunaan stimulan dalam
penyadapan kemenyan belum ada.
Seri Paket Iptek
4 Teknik Pemanenan Getah dengan Menggunakan Stimulan Organik Cuka Kayu

Usaha peningkatan produksi getah dalam kegiatan penyadapan pohon


penghasil getah secara teknis di lapangan dilakukan dengan pemberian
stimulan atau zat perangsang. Berbagai penelitian pemberian stimulan
pada penyadapan pinus telah dikembangkan, seperti stimulan an-
organik yang berbahan dasar asam kuat (H2SO4) ditambah asam
kuat lainnya. Efek penggunan stimula berbahan dasar asam kuat
dapat mengganggu kesehatan pohon dan juga penyadapnya serta
menimbulkan pencemaran lingkungan (LIPI 2004). Oleh karena itu,
dikembangkanlah produk stimulan berbahan dasar organik yaitu etilen
yang sudah ada di pasaran dan digunakan pada penyadapan pinus di
India, Pakistan, dan Brasil dengan merk dagang CEPA (Rodrigues et al.
2008; Rodrigues & Neto 2009; Rodrigues et al. 2011; Sharma & Lekha
2013). Namun demikian stimulan berbahan dasar etilen lebih mahal
harganya.
Teknologi stimulan organik berbahan dasar cuka kayu yang ramah
lingkungan dan dapat meningkatkan produksi getah sudah
dikembangkan. Cuka kayu diperoleh dari limbah bahan yang
berlignoselulosa yang mengalami karbonisasi sehingga asap yang
keluar akibat proses tersebut dapat dikondensasikan menjadi bentuk
cair. Keunggulan stimulan cuka kayu yang digunakan dalam penelitian
ini adalah menggunakan bahan dasar yang berasal dari limbah kayu
(batang, cabang ataupun ranting) dan dapat diproduksi sendiri karena
mudah dan murah. Komponen utama cuka kayu berupa asam asetat
(CH3COOH) yang termasuk dalam kelompok asam lemah. Asam asetat
inilah yang akan dijadikan bahan stimulan organik alternatif untuk
meningkatkan produksi getah yang aman dan ramah lingkungan
sekaligus mejamin kelestarian hasil dan penghasilnya.
Permintaan produksi getah pinus yang semakin meningkat mendorong
dilakukannya peningkatan produksi getah. Di sisi lain, ketimpangan
antara produksi getah dan potensi tegakan yang ada dari tahun ke
tahun mengkhawatirkan kelangsungan pengelolaan hutan jelutung
I. Pendahuluan 5

maupun kemenyan. Apalagi daerah penyebaran tanaman jelutung


dan kemenyan terbatas hanya di daerah Sumatera dan Kalimantan.
Berdasarkan permasalahan tersebut, teknik pemanenan getah yang
berorentasi pada kelangsungan produksi di masa yang akan datang
diperlukan. Salah satu teknik pemanenan yang diterapkan adalah
dengan mengombinasikan cara penyadapan dan penggunaan stimulan
organik yang ramah lingkungan. Dengan teknik pemanenan getah yang
tepat diharapkan dapat meningkatkan produksi getah sekaligus tetap
menjamin kelangsungan pengelolaan tegakan penghasil getah.
II. PEMBUATAN
STIMULAN
CUKA KAYU

Cuka kayu yang digunakan diperoleh dari pembakaran atau karbonisasi


batang pinus baik pada bagian batangnya maupun kulitnya. Pembakaran
tersebut dilakukan selama 25–30 jam dengan lama pendinginan 6 jam.
Kadar air batang pinus yang dibakar bervariasi dari 22,15–46,53%,
dengan rendemen cuka kayu berdasarkan berat kering bahan yang
diperoleh berkisar antara 36,60–62,14%. Pada umumnya semakin tinggi
kadar air batang pinus yang dibakar akan cenderung semakin tinggi
juga rendemen cuka kayu yang diperoleh. Hasil pendinginan berupa
cairan asap yang dikenal sebagai cuka kayu dan biasanya berwarna
coklat gelap cenderung hitam (crude). Cuka kayu tersebut mengandung
2 komponen, yaitu pyroligneus liquo dan bagian bawah merupakan
endapan ter. Cuka kayu yang dihasilkan banyak mengandung asam
asetat (CH3COOH), yaitu sekitar 50% di samping komponen utama
lainnya, berupa fenol dan alkohol. Untuk memanfaatkannya kemudian
dilakukan proses pemisahan atau destilasi antara 2 komponen tersebut.
Destilasi dilakukan dengan pemanasan pada suhu ± 100–150 °C
sedemikian rupa sehingga komponen-komponen lain terdestilasi
kecuali yang akan tertinggal. Biasanya cairan cuka kayu hasil destilasi
tersebut berwarna lebih bening dibandingkan dengan cuka kayu hasil
pembakaran langsung.
Pada dasarnya bahan stimulan yang digunakan dalam penyadapan
pinus mempunyai komponen utama asam (misalnya asam sulfat dan
asam nitrat). Asam tersebut berperan sebagai penyangga agar getah
sukar membentuk rantai sikliknya dan tetap dalam keadaan aldehida
II. Pembuatan Stimulan Cuka Kayu 7

sehingga getah tetap encer dan keluar melebihi normal (Riyanto 1980).
Berdasarkan hal tersebut akan diujicobakan cuka kayu sebagai bahan
stimulan dalam proses penyadapan pinus untuk meningkatkan produksi
getah. Penggunaan cuka kayu tanpa bahan tambahan sebagai stimulan
pernah diujicobakan dan hasilnya cuka kayu tidak bisa menempel lama
pada luka sadapan. Hal ini disebabkan sifat cuka kayu yang cair (seperti
air). Dalam penggunaannya untuk bahan stimulan organik, cuka kayu
akan dicampur dengan asam palmitat. Asam palmitat adalah asam
lemak jenuh rantai panjang dengan rumus molekul CH3(CH2)16COOH.
Asam palmitat terdapat dalam bentuk trigliserida pada minyak nabati
seperti minyak kelapa, minyak kelapa sawit, minyak inti sawit, minyak
avokat, minyak kelapa, minyak biji kapas, minyak kacang kedelai, minyak
bunga matahari, dan lain-lain. Asam palmitat juga terdapat dalam
lemak sapi. Minyak tersebut merupakan ester gliserol palmitat maupun
ester gliserol lainnya yang apabila disabunkan dengan suatu basa kuat,
kemudian ditambahkan dengan suatu asam akan menghasilkan gliserol,
asam palmitat di samping asam lemak lainnya. Minyak goreng, sebagai
salah satu jenis asam palmitat adalah minyak yang berasal dari lemak
tumbuhan atau hewan yang dimurnikan dan berbentuk cair dalam suhu
kamar dan biasanya digunakan untuk menggoreng bahan makanan.
Minyak goreng yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak
goreng curah (buka dalam bentuk kemasan) dan berfungsi sebagai
penghantar panas. Komposisi cuka kayu dan minyak goreng yang
digunakan sebagai stimulan organik mempunyai perbandingan 1 :1.
Seri Paket Iptek
8 Teknik Pemanenan Getah dengan Menggunakan Stimulan Organik Cuka Kayu

Gambar 1. Perbandingan stimulan cuka kayu (a); etrat (b); dan anorganik (c)
III TEKNIK
PEMANENAN

1. Penyadapan Pinus dengan Stimulan Cuka Kayu


Penyadapan pohon pinus dilakukan dengan cara koakan menggunakan
alat kedukul, dengan ukuran lebar koakan ± 6 cm, tinggi koakan ± 30 cm,
dan tebal ± 3 mm atau sampai menyentuh kayu bagian dalam. Perlukaan
dilakukan pada batang pohon yang terkena sinar matahari. Stimulan cuka
kayu diberikan setelah selesai perlukaan pada bidang sadap sebanyak ±
1 cc. Dilakukan pembaharuan perlukaan dan pengulangan pemberian
stimulan setiap 3 hari sekali selama masa peludangan. Getah yang keluar
dialirkan melalui talang kecil dan ditampung di tempat penampungan
berupa gelas plastik yang ditutup plastik untuk mengurangi kotoran
dan air yang masuk bercampur dengan getah. Penimbangan getah
dilakukan di akhir peludangan (istilah untuk kegiatan pengumulan hasil
getah pinus) yaitu setiap 12 hari.

Gambar 2. Penyadapan pinus dengan menggunakan stimulan cuka kayu


Seri Paket Iptek
10 Teknik Pemanenan Getah dengan Menggunakan Stimulan Organik Cuka Kayu

2. Penyadapan Jelutung dengan Stimulan Cuka Kayu


Menentukan pohon sampel secara purposive sebagai sampel yang diberi
perlakuan dan kontrol. Mencatat kondisi awal pohon jelutung yang
akan disadap, seperti diameter pohon dan tinggi pohon. Membersihkan
perdu atau semak sebelum penyadapan sedemikian rupa sehingga
sinar matahari dapat langsung mengenai bidang sadap dan juga untuk
memudahkan pengerjaan penyadapan. Membuat torehanpada batang
jelutung dan menyemprotkan stimulan organik pada bidang perlukaan
sebanyak ± 1cc. Penyadapan jelutung dilakukan pada pagi hari dan luka
sadapan diusahakan menghadap sinar matahari langsung. Memasang
tempat penampung getah di sekitar bidang sadap sedemikian rupa
sehingga getah bisa tertampung semua. Memperbarui luka sadapan
setiap 1 hari sekali dengan cara membuat luka sadapan di atas luka
sadapan yang pertama dan diberi stimulan organik ± 1cc. Pembuatan
luka pembaharuan sadapan dilakukan sebanyak 3 torehan (Gambar 3
dan 4). Setiap dilakukan pembaharuan, getah hasil sadapan sebelumnya
diambil dan ditimbang.

a b c
Gambar 3. Penyadapan jelutung dengan model V: a. torehan pertama;
b. torehan kedua; dan c. torehan ketiga
III. Teknik Pemanenan 11

a b c
Gambar 4. Penyadapan jelutung dengan model ½ spiral: a. torehan
pertama; b. torehan kedua; dan c. torehan ketiga

3. Penyadapan Kemenyan dengan Stimulan Cuka Kayu


Tegakan kemenyan mulai disadap setelah diameter pohon berukuran
20–30 atau berumur 10 tahun. Sebelum dilakukan penyadapan, pohon
kemenyan yang akan disadap dibersihkan dahulu dari semak belukar
dan tanaman merambat lainnya. Pembersihan batang pohon kemenyan
yang akan disadap dengan menggunakan alat guris. Pembersihan
batang pohon kemenyan dilakukan dengan tujuan menghilangkan
jamur, lumut ataupun tanaman kecil yang menempel pada kulit batang
kemenyan. Jika tidak dibersihkan dikhawatirkan akan mengganggu
kesehatan pohon karena dapat mempermudah jamur, lumut, dan lainnya
masuk melalui luka sadap yang dibuat. Perlukaan kulit pohon kemenyan
dilakukan dengan alat panutuk pada bagian pisaunya kemudian kulit
yang terkelupas ditutup kembali dengan memukul-mukulnya dengan
alat panutuk pada bagian pegangannya. Pembuatan luka sadap pada
batang pokok kemenyan (bukan bagian cabang) dilakukan dengan
menyayat kulit batang (namun tidak sampai lepas) ± 3–4 cm sejajar
panjang batang. Cara pemberian stimulan organik dilakukan dengan
menyemprotkan stimulan organik sebanyak 1 cc atau setara dengan 10
kali semprotan pada luka sadapan. Pada penelitian dibuat 4 buah luka

11
Seri Paket Iptek
12 Teknik Pemanenan Getah dengan Menggunakan Stimulan Organik Cuka Kayu

sadapan pada masing-masing batang kemenyan yang dipilih sebagai


sampel. Dengan demikian 1 sampel batang kemenyan memerlukan
4cc stimulan organik. Pemanenan getah kemanyan dilakukan dengan
alat khusus yang disebut agat. Pemanenan getah kemenyan biasanya
dilakukan setelah 3–4 bulan setelah perlukaan, tetapi dalam penelitian
ini pemanenan getah dilakukan setelah 1 bulan perlukaan.

b
c

Gambar 5. Alat penyadapan dan pemanenan kemenyan


(a=agat; b=panutuk; c=guris)
Gambar 6. Cara perlukaan kulit Gambar 7. Cara penyemprotan
batang kemenyan stimulan

a b

Gambar 8. Penutupan kembali kulit yang terkelupas (a) dan menandainya


untuk mempermudah pemanenan (b)

13
a

Gambar 9. Getah kemenyan yang dipanen (a=menempel di kulit bagian


dalam; b=menempel di kulit luar)

14
IV. KINERJA

1. Pemanenan Getah Pinus


Pemberian stimulan organik cuka kayu pada penyadapan pinus dapat
meningkatkan produksi getah pinus 14,4%. Perlukaan awal pada pohon
pinus menyebabkan stres pada batang sehingga mempengaruhi
metabolisme sekunder. Pinus mengeluarkan getah sebagai bentuk
reaksi akibat perlukaan untuk menutupi sel-sel yang rusak. Di dalam
saluran getah dikelilingi oleh sel-sel epitel dan sel-sel epitel inilah
yang membentuk getah sebagai akibat dari proses metabolisme.
Penggunaan stimulan anorganik berbahan dasar Asam Sulfat (H2SO4)
dalam penyadapan pinus berdampak kurang baik bagi kayu karena
diduga menyebabkan sel-sel epitel sebagai penghasil getah menjadi
mati. Asam sulfat sebagai bahan utama stimulan merupakan jenis
asam kuat. Pada kenyataan di lapangan dapat dilihat bahwa batang
pinus yang dilukai dan diberi stimulan berbahan dasar asam sulfat akan
berubah warna menjadi cokelat kemerahan bahkan cokelat kehitaman
atau gosong. Keadaan yang berbeda ditemukan bila penyadapan pinus
menggunakan stimulan berbahan dasar alami, seperti stimulan cuka
kayu di mana stimulan cuka kayu meninggalkan warna lebih terang/
cokelat muda pada bekas koakan, sama seperti pada koakan batang
pinus tanpa stimulan. Cuka kayu yang mengandung asam asetat yang
merupakan jenis asam lemah tidak menimbulkan efek terlalu panas pada
bidang sadapan pinus seperti asam sulfat. Akibatnya, bidang sadapan
yang menggunakan stimulan cuka kayu tidak menimbulkan gosong.
Selain itu, permukaan batang yang disadap terlihat lebih basah sedang
jika menggunakan stimulan asam sulfat akan terlihat lebih kering.
Seri Paket Iptek
16 Teknik Pemanenan Getah dengan Menggunakan Stimulan Organik Cuka Kayu

2. Pemanenen Getah Jelutung


Getah jelutung yang dihasilkan dengan teknik penyadapan berbentuk
V menghasilkan getah lebih banyak dibandingkan dengan ½ spiral.
Penggunaan stimulan cuka kayu menghasilkan getah lebih banyak
dibandingkan kontrol (tanpa stimulan). Rata-rata getah jelutung yang
dihasilkan jika menggunakan stimulan cuka kayu 20,94 gram sedangkan
kontrol 11,03 gram.
Pemberian stimulan berbahan dasar cuka kayu mampu meningkatkan
produksi getah jelutung karena kandungan asam asetat (CH3COOH)
dapat berperan untuk memperlancar keluarnya getah karena efek
panas yang ditimbulkan dari kandungan asamnya. Selain asam asetat,
kandungan cuka kayu yang lainnya seperti metanol, fenol, karbonil
diduga dapat merangsang etelin pada tanaman untuk meningkatkan
tekanan osmosis dan tekanan turgor yang menyebabkan aliran getah
akan bertambah cepat dan lebih lama. Menurut Hillis (1987), masuknya
air ke dalam lumen sel epitel akan menyebabkan sel epitel membesar
dan selanjutnya akan menekan resin yang berada di dalam saluran damar
sehingga resin hancur dan terdorong keluar. Setelah itu, sel epitel akan
memproduksi zat resin kembali untuk mengisi saluran damar tersebut.
Getah jelutung yang diambil dari penyadapan pohon jelutung memiliki
warna putih susu (larutan susu) dan tidak memiliki aroma yang khas
seperti getah pinus misalnya. Secara visual jika diamati getah jelutung
yang dihasilkan lebih bersih karena ditampung dalam tempat yang
tertutup rapat (gelas plastik tertutup rapat di bagian atasnya) sehingga
sisa-sisa ranting atau daun, kerikil, atau batu kecil tidak dapat masuk ke
dalam tempat penampungan plastik yang tertutup tersebut.
IV. Kinerja 17

3. Pemanenan Getah Kemenyan


Penggunaan stimulan cuka kayu dalam penyadapan kemenyan belum
dapat menaikkan produksi getah kemenyan secara signifikan dengan
kata lain hasil getah kemenyan dengan menggunakan stimulan cuka
kayu cenderung menaikkan produksi getah. Rata-rata produksi getah
kemenyan jika menggunakan stimulan cuka kayu masing-masing
sebesar 0,953 g, sedangkan kontrol 0,847 g. Hasil getah kemenyan
tersebut diperoleh setelah 1 bulan masa perlukaan.
Pemanenan getah kemenyan basanya dilakukan setelah 3–4 bulan
setelah pohon kemenyan dilukai (FAO 2001; Jayusman 2014). Lebih
lanjut menurut FAO (2001), getah kemenyan yang dihasilkan dari
satu batang pohon kemenyan rata-rata sebanyak 0,1–0,5 kg per
tahun. Penyadapan pohon kemenyan yang dilakukan selama ini tidak
menggunakan stimulan. Waktu pemenenan yang dilakukan setelah 3–4
bulan ditujukan agar getah kemenyan dapat terkumpul lebih banyak
dan getah yang diperoleh dalam kondisi tidak lengket atau lebih kering.
Rentang waktu yang cukup lama (3–4 bulan) antara masa perlukaan
hingga pemanenan getah menunjukkan bahwa keluarnya getah tidak
terjadi pada saat perlukaan dilakukan. Berbeda dengan pohon pinus,
karet ataupun jelutung, getah akan segera keluar dari bidang sadapan
atau dari bagian yang dilukai. Hal tersebut berguna untuk pertahanan
diri terhadap serangan dari luar, berupa serangga, jamur, ataupun bibit
penyakit lainnya.
Getah kemenyan diuji kandungan asam sinamat yang merupakan
senyawa organik dengan rumus kimia C6H5CHCHCO2H, berbentuk
kristal, berwarna putih dan sedikit larut dalam air. Asam sinamat
diklasifikasi sebagai asam karboksilat tak jenuh dan terjadi secara
alami pada sejumlah tanaman. Senyawa ini secara bebas larut dalam
Seri Paket Iptek
18 Teknik Pemanenan Getah dengan Menggunakan Stimulan Organik Cuka Kayu

pelarut-pelarut organik. Pada umunya asam sinamat digunakan sebagai


penyedap, indigo sintetik, dan produk farmasi tertentu. Kegunaan
utama ialah dalam pembuatan metil, etil, dan benzil ester untuk industri
minyak wangi.
Pemberian stimulan berbahan dasar cuka kayu dapat meningkatkan
kandungan asam sinamat di dalam getah kemenyan. Kandungan asam
sinamat yang diperoleh jika menggunakan stimulan berbahan dasar cuka
kayu, yaitu sebesar 35,568% sedang kontrol (tanpa stimulan) sebesar
26,676%. Penggunaan stimulan cuka kayu dapat menaikkan kandungan
asam sinamat sebesar 33%. Stimulan organik cuka kayu menghasilkan
getah kemenyan dengan kandungan asam sinamat termasuk dalam
mutu A, di mana menurut SNI 7940:2013 disebutkan bahwa kandungan
asam sinamat getah kemenyan terdiri dari 3 kategori, yaitu mutu A (≥
30%); mutu B (21–29%); dan mutu C (≤20%).
IV. REKOMENDASI

Penggunaan stimulan organik berbahan dasar cuka kayu dapat


digunakan untuk menaikkan produksi getah pada penyadapan pohon
pinus dan pohon jelutung. Penggunaan stimulan cuka kayu pada
penyadapan pohon kemenyan dapat meningkatkan kandungan asam
sinamat bahkan termasuk dalam mutu A.
Keuntungan penggunaan stimulan organik cuka kayu mudah dan murah
diperoleh karena bisa diproduksi sendiri dari sisa-sisa/limbah pohon,
lebih aman digunakan baik terhadap pohon maupun pekerja sehingga
sustainabilitas dan ramah lingkungan. Kelemahan penggunaan stimulan
organik cuka kayu belum dapat meningkatkan produktivitas getah lebih
tinggi daripada penggunaan stimulan anorganik, terutama berbahan
dasar asam sulfat. Oleh karena itu, diperlukan inovasi penggunaan
stimulan organik ramah lingkungan yang lebih dapat meningkatkan
produktivitas.
Daftar Pustaka

Bina. (2014). PPCL eksport perdana produk Alphapinene ke India. Media


Kehutanan dan Lingkungan. Edisi 03 Mei 2014/tahun XLI. Jakarta.
Coppen JJW. (1995). Gum, resins, and latexes of plant origin. Non Wood
Forest Products. No. 6. Roma: FAO.
FAO. (2001). Monograph on Benzoin (Balsamic Resin from Stryrac
species). Bangkok.
Hillis WE. (1987). Heartwood and Tree Exudate. Berlin Heidelberg, New
York, London: Springer Verlag.
Jayusman. (2014). Mengenal pohon kemenyan (Styrax spp.). Jenis
dengan Spektrum Pemanfaatan Luas yang Belum Dioptimalkan.
Bogor: IPB Press.
[LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. (2004). Lembar Data
Keselamatan Bahan.[Internet]. [diunduh 2013 Jul 2]. Tersedia
pada:http://www.kimianet.lipi.go.id.
Nurrochmat DR. (2001). Dampak krisis ekonomi dan moneter terhadap
usaha kehutanan masyarakat : kemenyan di Tapanuli Utara.
Resilisiensi Kehutanan Masyarakat di Masyarakat Indonesia.
Yogyakarta: Debut Press.
Perum Perhutani. (2010). Current situation of Indonesian gum rosin in
the world market. Praque: Pine Chemicals Association International
Conference.
Riyanto TW. (1980). Sedikit tentang penaksiran hasil getah Pinus merkusii
Jungh et de Vriese. Duta Rimba. Hal 12–17.
Daftar Pustaka 21

Rodrigues KCS,Azevedo PCN, Sobreiro LE,Pelissari P, Fett-Neto AG.


(2008). Oleoresin yield of Pinus elliottii plantations in subtropical
climate: Effect of tree diameter, wound shape and concentration
of active adjuvants in resin stimulating paste. Journal Crops and
Product 27: 322–327.
Rodrigues KCS, Fett-Neto AG. (2009). Oleoresin yield of Pinus elliottii
plantations in subtropical climate: Seasion variation and effect of
auxin and salicylic acid-based stimulant paste. Journal Crops and
Product 30 (2009): 316–320.
Rodrigues KCS, Apel MA, Henrique AT, Fett-Neto AG. (2011). Efficient
oleoresin biomass production in pines using low cost metal
containing stimulant paste. Journal Crops and Product 35 (2011):
4442–4448.
Sharma KR, C Lecka. (2013). Tapping of Pinus roxburghii (Chir Pine) for
oleoresin in Himachal Pradesh, India. Journal Advances in Forestry
Letters (AFL) 2 : 31–55.[Internet] [diunduh 2013 Desember 20].
Tersedia pada: www.afl-journal.org
Sasmuko AS. (2001). Kemenyan: Antara Misteri, Manfaat dan Upaya
Pelestarian. Buletin Konifera 1(XVI):13–18. Medan: Balai Penelitian
Kehutanan Pematang Siantar.
Siregar H. (1999). Upaya-upaya Konservasi dalam Pengelolaan dan Pola
Pemanfaatan Hutan Rakyat Kemenyan dan Hasilnya di Kabupaten
Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara. Jurusan Konservasi
Sumberdaya Hutan. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.
Waluyo TK. (2003). Perbandingan Sifat Fisiko-kimia Beberapa getah
Jelutung (Dyera sp.) Olahan. Makalah Ekspose Hasil-hasil Penelitian
Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sumatera dalam
Mendukung Pengelolaan Hutan Lestari. 17 Desember 2003.
Medan.
Waluyo TK. 2010. Penentuan Metode Penyadapan Getah Jelutung Hutan
Tanaman Industri berdasarkan Sebaran Saluran Getah pada Kulit
Batang. [Tesis]. Bogor: Institut Petanian Bogor. Tidak diterbitkan.

Anda mungkin juga menyukai