MUHAMMAD GHIFARIHADI
115.120.055
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi gelar Sarjana Strata Satu (S1)
Jurusan Teknik Geofisika, Fakultas Teknologi Mineral,
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta.
MUHAMMAD GHIFARIHADI
115.120.055
ii
iii
iv
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat ALLAH SWT atas kasih dan
rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“IDENTIFIKASI PERSEBARAN DAN CADANGAN ENDAPAN PASIR
MENGGUNAKAN METODE GEOLISTRIK KONFIGURASI WENNER
SCHLUMBERGER DI DAERAH SRUMBUNG, MAGELANG, JAWA
TENGAH” dengan baik dan lancar. Skripsi ini merupakan hasil penelitian
tentang eksplorasi endapan pasir menggunakan metode resistivitas konfigurasi
wenner schlumberger pada desa Srumbung yang berlokasi di Kabupaten
Magelang, Provinsi Jawa Tengah.
Penulis menyadari akan segala kekurangan dalam skripsi ini sehingga
penulis mengharapkan segala sumbang saran dan kritik yang membangun demi
perbaikan dan pembelajaran di masa yang akan datang. Semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca. Untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh
gelar sarjana teknik program S-1 Prodi Teknik Geofisika di Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta. Ucapan terimakasih penulis
ucapkan kepada:
1. Orang tua penulis bapak Priatna Hadi & ibu Fahimatun yang tidak pernah
kenal lelah untuk meyemangati penulis.
2. Kaka perempuan penulis Silmi Choirunnisa yang telah mempercayai
penulis dan memberi dorongan untuk menyelesaikan studi ini.
3. Bapak Ajimas Pascaning S., ST., M.Sc. dan Wiji Raharjo, S.Si., M.Sc.
selaku Dosen pembimbing
4. Bapak dan Ibu dosen prodi Teknik Geofisika Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran” Yogyakarta yang tidak bisa di sebut satu persatu.
5. Leo Agung Prabowo, Audra Diaz Permana, Aldion Yonathan, dan
Ratmansyah Putra yang telah membantu penulis menyelesaikan penelitian
ini.
vi
6. Angkatan 2012 hingga 2016 prodi Teknik Geofisika Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta yang tidak dapat
disebutkan satu persatu.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih
ada beberapa kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran
yang dapat membuat penulis menjadi lebih baik untuk kedepannya.
Muhammad Ghifarihadi
vii
ABSTRAK
Oleh :
Muhammad Ghifarihadi
115.120.055
viii
ABSTRACT
By :
Muhammad Ghifarihadi
115.120.055
ix
DAFTAR ISI
JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH iv
KATA PENGANTAR v
INTISARI vi
ABSTRACT vii
DAFTAR ISI viii
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR TABEL xii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 2
1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian 2
1.4. Batasan Masalah 2
1.5. Lokasi dan Waktu Penelitian 3
x
BAB III. DASAR TEORI
3.1. Geolistrik 18
3.2. Metode Geolistrik Resitivitas 19
3.3. Resistivitas Semu 20
3.4. Konduktivitas Dalam Batuan 21
3.5. Hukum Ohm dan Konsep Perjalanan Arus 22
3.6. Potensial Listrik 25
3.7. Elektroda Arus 25
3.7.1 Elektroda Arus Tunggal di Permukaan 25
3.7.1 Elektroda Arus Ganda di Permukaan 27
3.8 Konfigurasi Wenner Schlumberger 28
3.9 Sumberdaya dan Cadangan 30
3.10 Pemodelan Geofisika 34
3.10.1 Pemodelan ke Depan 34
3.10.2 Pemodelan Inversi 36
xi
5.2.10 Penampang Lintasan Cross 4 54
5.2.11 Penampang Lintasan Cross 5 55
5.2.12 Penampang Lintasan Cross 6 56
5.3 Pembahasan Pemodelan Rockwork 3D 57
5.3.1 Pemodelan Rockwork 3D Slice 794 m 58
5.3.2 Pemodelan Rockwork 3D Slice 799 m 59
5.3.3 Pemodelan Rockwork 3D Slice 804 m 60
5.3.4 Pemodelan Rockwork 3D Slice 809 m 61
5.3.5 Pemodelan Rockwork 3D Slice 814 m 62
5.3.6 Pemodelan Semua Slice Rockwork 3D 63
DAFTAR PUSTAKA
xii
DAFTAR GAMBAR
xiii
Gambar 3.12. (a) Proses pemodelan ke depan (forward modeling) untuk
menghitung respon (data teoritik atau data perhitungan) dari
suatu model tertentu (Grandis, 2009) 32
Gambar 3.13. (b) Teknik pemodelan dengan cara mencoba – coba dan
memodifikasi parameter model hingga diperoleh kecocokan
antara data perhitungan dan data lapangan (Grandis, 2009) 32
Gambar 4.1 Desain Survei Penelitian 34
Gambar 4.4. Diagram Alir Pengolahan Data 35
Gambar 5.1. Penampang Lintasan Inline 1 38
Gambar 5.2. Penampang Lintasan Inline 2 39
Gambar 5.3. Penampang Lintasan Inline 3 40
Gambar 5.4. Penampang Lintasan Inline 4 41
Gambar 5.5. Penampang Lintasan Inline 5 42
Gambar 5.6. Penampang Lintasan Inline 6 43
Gambar 5.7. Penampang Lintasan Cross 1 44
Gambar 5.8. Penampang Lintasan Cross 2 45
Gambar 5.9. Penampang Lintasan Cross 3 46
Gambar 5.10. Penampang Lintasan Cross 4 47
Gambar 5.11. Penampang Lintasan Cross 5 48
Gambar 5.12. Penampang Lintasan Cross 6 49
Gambar 5.13. Pemodelan Rockwork 3D Slice 794 m 50
Gambar 5.14. Pemodelan Rockwork 3D Slice 799 m 51
Gambar 5.15. Pemodelan Rockwork 3D Slice 804 m 52
Gambar 5.16. Pemodelan Rockwork 3D Slice 809 m 53
Gambar 5.17. Pemodelan Rockwork 3D Slice 814 m 54
Gambar 5.18. Pemodelan 3D Endapan Pasir 1 55
Gambar 5.19. Pemodelan 3D Endapan Pasir 2 56
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 3.5. Tabel Nilai Densitas Material Bumi (Telford, dkk, 1976) 31
Tabel 4.1. Tabel Nilai Resistivitas Material Bumi (Telford, dkk, 1990) 48
xv
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Indonesia adalah negara berkembang, pada tahun 2014 Pemerintah telah
membentuk Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) untuk
memimpin koordinasi percepatan infrastruktur prioritas dan mendorong
peningkatan kualitas penyiapan proyek melalui panduan OBC (Outline Bussines
Case). Pasir merupakan bahan bangunan yang sangat penting dipergunakan
dalam kegiatan infrasuktur pembangunan. Pasir dapat digolongkan menjadi tiga
kategori utama: (1) pasir terigen (terrigeneous sand); (2) pasir karbonat (carbonate
sand); dan (3) pasir piroklastik (pyroclastic sand). Pasir vulkaniklastik dapat
berupa pasir piroklastik maupun pasir terigen (jika berasal dari volcanic terrane)
(Pettijohn, F.J., Potter, P.E. & Siever, R., 1987).
Geolistrik adalah salah satu metode geofisika yang memanfaatkan sifat-
sifat kelistrikan untuk mengidentifikasi lapisan-lapisan bawah permukaan dan
cara mengetahuinya dari permukaan bumi. Selanjutnya Loke (1999)
mengungkapkan bahwa survey geolistrik metoda resistivitas mapping dan
sounding menghasilkan informasi perubahan variasi harga resistivitas baik arah
lateral maupun arah vertikal. Prinsip metode geolistrik tahanan jenis yaitu arus
diinjeksikan ke dalam bumi melalui dua buah elektroda arus, kemudian beda
potensial yang terjadi diukur melalui dua buah elektroda potensial di permukaan
bumi. Dari hasil pengukuran arus dan beda potensial untuk setiap jarak elektroda
tertentu, dapat ditentukan variasi harga hambatan jenis masing-masing lapisan di
bawah titik ukur (Broto dan Afifah, 2008).
Konfigurasi yang dipakai dalam penelitian ini menggunakan wenner
schlumberger dikarenakan dalam konfigurasi ini kesensitifannya baik untuk
vertikal maupun horizontal, karna target penelitian ialah endapan pasir yang
berada pada daerah dengan sistem pengendapan turbulen maka konfigurasi ini
sangat cocok untuk penelitian ini. Dalam penelitian ini diolah menggunakan
software Res2Dinv untuk mengedintifikasi variasi litologi dan rockworks untuk
mengidentifikasi arah persebaran juga cadangan endapan pasir pada daerah
penelitian. Pentingnya dilakukan penelitian ini adalah untuk mengestimasi
cadangan endapan pasir yang hasilnya akan berpotensi untuk menentukan
eksploitasi lebih lanjut endapan pasir tersebut pada daerah penelitian.
2
3. Daerah penelitian berada pada daerah Srumbung, Magelang, Jawa
Tengah
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
Menurut Van bemmelen (1949), berdasarkan sifat fisiografinya, secara
garis besar daerah Jawa Tengah dibagi menjadi enam bagian, yaitu :
1. Endapan Vulkanik Kuarter,
2. Dataran Aluvium Jawa Utara,
3. Antiklinorium Bogor, Rangkaian Pegunungan Serayu Utara serta Kendeng,
4. Zona Pusat Depresi Jawa Tengah,
5. Kubah dan Pegunungan Pusat Depresi,
Rangkaian Pegunungan Serayu Selatan,
6. Pegunungan Selatan Jawa Barat dan Jawa Timur.
5
Sedangkan Pulau Nusakambangan merupakan kelanjutan Pegunungan
Serayu Selatan yang terbentang luas di Jawa Barat. Pegunungan Karangbolong
merupakan bagian dari lajur yang sama, tetapi terpisah baik dari yang terdapat di
Jawa Barat maupun yang terbentang dari selatan Yogyakarta ke timur.
Berdasarkan pembagian tersebut, daerah penelitian termasuk ke dalam
Zona Pegunungan Serayu Utara (gambar 2.1), dan secara struktur termasuk ke
dalam Besuki Majenang High. Secara regional, Zona Pegunungan Serayu Utara
mempunyai relief yang agak menonjol membentuk jalur Pegunungan Slamet, dan
menuju ke arah selatan semakin melandai membentuk Cekungan Serayu.
Lokasi Penelitian
6
Material piroklastik yang dihasilkan oleh Gunung Merapi terdiri dari
berbagai macam jenis yaitu blok yang berukuran besar, tephra yang berukuran
lapili dan debu. Aktivitas Gunung Merapi memberikan efek tumpahan material
yang bersifat eksplosif di mana material piroklastik yang tertumpah dengan segala
macam ukuran akan terdistribusi di sekitar Gunung Merapi. Materi Vulkanik
tersebut akan tersebar secara geografis dengan dipengaruhi bentukan gunung api
yang memberikan jalur alir serta komposisi materi itu sendiri (Ratdomopurbo dan
Andreastuti, 2000).
Arah aliran piroklastik Gununng Merapi itu sendiri sering dipengaruhi
oleh beberapa faktor yakni kerucut puncak Gunung Merapi yang berbentuk seperti
tapal kuda. Arah bukaannya mengarah Barat sampai Barat – Daya sehingga arah
alirannya selalu melalui sungai Bebeng dan sungai Senowo. Hasil material
vulkanik pada waktu lampau juga mengarah ke Barat – Barat – Daya yang
ditandai oleh gundukan endapan Gunung merapi di danau Borobudur pada abad
XII – XIII (Newhall et all, 2000). Sedangkan bagian Timur merupakan bagian
dari struktur merapi tua yang jarang terkena dampak aliran piroklastik letusan
Gunung Merapi. Material Gunung Merapi yang berukuran lapili dan debu akan
mudah tersebar dalam jarak yang relatif jauh oleh bantuan angin sedangkan
material yang berukuran blok yang hanya mengandalkan gaya gravitasi dan aliran
sungai, sehingga endapan lahar dan boulder akan ditemui pada jarak terdekat dari
Gunung Merapi sekitar 20 Km (Kusumaningsih, 2004).
7
Gambar 2.3 Peta geologi daerah Yogyakarta. (Rahardjo, dkk, 1977).
Gambar 2.4 Legenda stratigrafi geologi Yogyakarta dan sekitarnya (Harjanto, 2011)
8
Pada wilayah daerah Kulon progo ini secara regional dan meluas
mempunyai pembagian stratigrafi yang ditunjukkan pada Gambar 2.2 Menurut
berbagai parameter literatur mengenai urutan Strata Satuan Batuan tiap umur
geologi dan pengendapannya, menurut Sujanto, Ruskamil (1975) daerah Kulon
Progo merupakan tinggian yang dibatasi oleh tinggian dan rendahan Kebumen di
bagian barat dan Yogyakarta dibagian timur, yang didasarkan pada
pembagian tektofisiografi wilayah Jawa Tengah bagian selatan. Mencirikan
tinggian Kulon Progo yaitu banyaknya gunung api purba yang muncul di atas
batuan paleogen, dan ditutupi oleh batuan karbonat dan napal yang
berumur neogen. Stratigrafi Pegunungan Kulon Progo sudah ditinjau berdasarkan
literatur dan hasil penelitian yang telah dijadikan parameter menurut Van
Bemmmelen (1949, hal.598) dan Rahardjo,dkk.(1977) dan menurut beberapa ahli.
Stratigrafi regional Kulon Progo tersusun oleh formasi-formasi batuan yang
diurutkan dari tua ke muda, yaitu sebagai berikut :
1. Formasi Nanggulan
Formasi Nanggulan memiliki ketebalan kurang lebih 300 meter
dan berumur Eosen tengah sampai Oligosen akhir. Formasi ini tersebar
pada Kecamatan Nanggulan yang memiliki morfologi berupa perbukitan
bergelombang rendah hingga menengah. Formasi ini tersusun oleh
batupasir yang bersisipan lignit, napal pasiran, batu lempung, sisipan napal
dan batugamping, batupasir dan tuff. Bagian bawah formasi ini tersusun
oleh endapan laut dangkal berupa batupasir, serpih, dan lignit pada
perselingannya. Sedangkan bagian atas dari formasi ini tersusun atas
batuan napal, batupasir gampingan, dan tuff yang menunjukkan wilayah
endapan laut neritik. Formasi Nanggulan dibagi menjadi 3 bagian menurut
Marks 1957, hal.101) dan berdasarkan beberapa studi yang dilakukan oleh
Martin (1915), Douville (1912), Oppernorth & Gerth (1928)
o Axinea Beds
Bagian ini merupakan bagian yang paling bawah dari formasi
Nanggulan. Dan merupakan endapan laut dangkal dengan ketebalan 40
9
meter dan tersusun oleh batupasir dengan interkalasi lignit lalu diatasnya
terdiri dari batupasir dengan kandungan fosil Pelecypoda.
o Yogyakarta Beds (Djogjakartae Beds)
Yogyakarta Beds merupakan formasi yang terbentuk di atas
Axinea Beds. Formasi ini banyak tersusun oleh napal pasiran berselingan
dengan batupasir dan batu lempung yang banyak mengandung
Foraminifera besar dan Gastropoda , fosil yang khas yaitu Nummulites
djogjakartae. Formasi ini memiliki ketebalan 60 meter.
o Discocyclina Beds
Formasi ini terendapkan di atas Yogyakarta Beds dengan ketebalan
200 meter dan tersusun atas napal, batugamping, dan batupasir serta serpih
sebagai perselingannya, dan arkose yang berjumlah semakin banyak ke
bagian atas formasi ini. Pada formasi ini dapat dijumpai Discocyclina
omphalus sebagai fosil pencirinya.
2. Formasi Kebo Butak
Formasi ini secara umum terdiri dari konglomerat, batupasir, dan
batulempung yang menunjukkan kenampakan pengendapan arus turbid
maupun pengendapan gaya berat yang lain. Di bagian bawah oleh Bothe (
disebut sebagai anggota Kebo (Kebo beds) yang tersusun antara batupasir,
batulanau, dan batulempung yang khas menunjukkan struktur turbidit
dengan perselingan batupasir konglomeratan yang mengandung klastika
lempung. Bagian bawah anggota ini diterobos oleh sill batuan beku.
Bagian atas dari formasi ini termasuk anggota Butak yang tersusun oleh
perulangan batupasir konglomeratan yang bergradasi menjadi lempung
atau lanau. Ketebalan rata-rata formasi ini kurang lebih 800 meter. Urutan
yang membentuk Formasi Kebo – Butak ini ditafsirkan terbentuk pada
lingkungan lower submarine fan dengan beberapa intrusi pengendapan
tipe mid fan yang terbentuk pada Oligosen Akhir.
3. Formasi Andesit Tua (Old Andestie Formation or OAF)
Formasi ini berumur Oligosen akhir hingga Miosen awal yang
diketahui dari fosil plankton yang terdapat pada bagian bawah formasi ini.
OAF tersusun atas breksi andesit, tuff, tuff lapili, aglomerat, dan sisipan
10
aliran lava andesit. Formasi Andesit Tua ini memiliki ketebalan mencapai
500 meter dan mempunyai kedudukan yang tidak selaras di atas formasi
Nanggulan. Batuan penyusun formasi ini berasal dari beberapa gunung api
tua di daerah Pegunungan Kulon Progo yang oleh Van Bemmelen (1949)
disebut sebagai Gunung Api Andesit Tua. Gunung api yang dimaksud
adalah Gunung Gajah, di bagian tengah pegunungan, Gunung Ijo di bagian
selatan, serta Gunung Menoreh di bagian utara Pegunungan Kulon Progo.
Pada Formasi Andesit Tua dibagi lagi menurut pembagian lingkungan
pengendapan, yaitu pada lingkungan pengendapan hasil aktivitas
vulkanisme gunung api purba, dan pada lingkungan pengendapan
sedimentasi. Pembagian sub formasi ini berdasarkan penelitian Dosen ITB
yaitu Bpk Wartono Rahardjo. Beliau membagi menjadi dua yaitu :
- Sub Formasi Kaligesing
Pada sub formasi ini disusun oleh material-material hasil aktivitas
vulkanisme gunung api purba yang berumur Oligosen Akhir-Miosen
Awal. Ditunjukkan dengan adanya singkapan batuan Breksi Polimik,
sisipan batu pasir dan lava andesite.
- Sub Formasi Dukuh
Pada sub formasi ini disusun oleh material-material hasil letusan
gunung api dan batuan hasil romabakan yang mengalami transportasi dan
terendapkan disuatu cekungan. Ditunjukkan dengan adanya singkapan
batuan Batu pasir dan Batu gamping.
4. Formasi Jonggrangan
Litologi dari Formasi Jonggrangan ini tersingkap baik di sekitar
desa Jonggrangan, suatu desa yang ketinggiannya di atas 700 meter dari
muka air laut dan disebut sebagai Plato Jonggrangan. Formasi ini berumur
Miosen awal hingga Miosen tengah dengan ketebalan 250 meter dan
diendapkan pada laut dangkal. Bagian bawah dari formasi ini terdiri dari
Konglomerat yang ditumpangi oleh Batunapal tufan dan Batupasir
gampingan dengan sisipan Lignit. Batuan ini semakin ke atas berubah
menjadi Batugamping koral (Wartono rahardjo, dkk, 1977). Formasi
Jonggrangan ini terletak secara tidak selaras di atas Formasi Andesit Tua.
11
Ketebalan dari Formasi Jonggrangan ini mencapai sekitar 250 meter (Van
Bemmelen, 1949, hal.598), (vide van Bemmelen, 1949, hal.598)
menyebutkan bahwa Formasi Jonggrangan dan Formasi Sentolo keduanya
merupakan Formasi Kulon Progo (“Westopo Beds”).
5. Formasi Sentolo
Formasi ini terletak di bagian tenggara pegunungan Kulon Progo
dengan morfologi perbukitan bergelombang rendah hingga tinggi. Bagian
bawah formasi ini tersusun atas konglomerat yang ditumpangi batupasir
gampingan, napal tufan dan sisipan tuf kaca. Semakin ke atas berubah
menjadi Batugamping berlapis dengan fasies Neritik. Batugamping koral
dijumpai secara lokal, menunjukkan umur yang sama dengan formasi
Jonggrangan, tetapi di beberapa tempat umur Formasi Sentolo adalah lebih
muda (Harsono Pringgoprawiro, 1968, hal.9). Menurut Harsono
Pringgoprawiro (1968) umur Formasi Sentolo ini berdasarkan penelitian
terhadap fosil Foraminifera Plantonik, adalah berkisar antara Miosen Awal
sampai Pliosen (zona N7 hingga N21). Formasi Sentolo ini mempunyai
ketebalan sekitar 950 meter ( Wartono Rahardjo, dkk, 1977).
6. Alluvium (Endapan Alluvial)
Alluvium terdiri atas endapan-endapan kerakal, pasir, lanau, dan
lempung sepanjang sungai yang besar dan dataran pantai. Alluvium sungai
berdampingan dengan alluvium rombakan bahan vulkanik gunung api.
12
ketebalan satuan ± 10 m. Penyebarannya dari Ngawen, Semin, sampai Selatan
Wonogiri. Di Baturetno, satuan ini menunjukan ciri endapan danau, pada Kala
Pleistosen. Ciri lain yaitu: terdapat secara setempat laterit (warna merah
kecoklatan) merupakan endapan terarosa, yang umumnya menempati uvala pada
morfologi karst.
Daerah penelitan
13
2.4.1 Batuan Dasar
Secara umum formasi dan jenis batuan yang menyusun Gunungapi Merapi
di bagian utara didasari oleh batuan vulkanik Merapi Tua berumur Pleistosen
Atas, di bagian timur didasari oleh batuan Tersier Formasi Nglanggran dan
Semilir, serta batuan Tersier Formasi Sentolo di bagian barat maupun selatan.
Menurut Bemmelen (1949) di Formasi Sentolo memiliki tipe facies neritik. Pada
batugamping dijumpai kandungan fosil-fosil foraminifera. Formasi Sentolo
berumur Miosen Tengah. Formasi ini tersusun atas batugamping (limestone) dan
batupasir napalan (marly sandstone). Di bagian selatan juga terdapat Formasi
Endapan Gunungapi Merapi Muda yang berumur Kuarter dan terdiri dari material
lepas sebagai hasil kegiatan letusan Gunungapi Merapi. Endapan Gunungapi
Merapi Muda batuannya berupa tuf, abu, breksi, aglomerat, dan lelehan lava tak
terpilahkan. Hasil pelapukan pada lereng kaki bagian bawah membentuk dataran
yang meluas di sebelah selatan, terutama terdiri dari rombakan vulkanik yang
terangkut kembali oleh alur-alur yang berasal dari lereng atas.
Breksi vulkanik, aliran lava, tuf, batupasir tufan dan batulempung. Breksi
aliran & lahar dengan sisipan lava dan tuf halus sampai kasar. Dibagian bawahnya
ditemukan batulempung mengandung moluska dan batupasir tufan. Batuan
gunungapi yang melapuk berwarna cokelat kemerahan dan seiring membentuk
bongkah-bongkah besar. Ketebalan berkisar antara 50 m sampai 200 m.
14
2.4.4 Formasi Payung
Lahar, batulempung, breksi dan tuf. Batulempung mengandung sisa-sisa
tumbuhan, batupasir tufan dan konglomerat. Ketebalan formasi ini mencapai
200m.
15
terendapkan masih pada daerah hulu. Endapan lahar sebagian besar hasil
rombakan dari material erupsi Gunung Merapi hasil runtuhan kubah lava
dan adanya indikasi erupsi ekplosif.
16
3. Penelitian berjudul Kuantifikasi Geolistrik Endapan Pasir di Ogan, Edo,
Nigeria Untuk Material Bangunan. Penelitian ini dilakukan oleh Egbai,
J.C, Iserhien-Emekeme, R., dan Efeya ,p. Penelitian dari jurusan fisika,
Delta State University, Abraka, Nigeria ini di lakukan pada tahun 2015
dan diterbitkan oleh Journal Enviroment and Earth Science. Penelitian ini
berisi tentang Survei geolistrik resistivitas menggunakan konfigurasi
elektroda Schlumberger dilakukan di Ogan, Daerah Orhionwon dari Edo,
Nigeria. Survei ini bertujuan untuk menyelidiki endapan pasir bangunan di
dalam masyarakat. Sebelas titik sounding listrik vertikal (VES) dilakukan
dalam survei. Data yang didapat dari lapangan dianalisis menggunakan
teknik pencocokan kurva dan iterasi konvensional di mana parameter
beserta kurva model diperoleh. Parameter geolistrik dan delineasi litholgic
di Ogan terdiri dari enam lapisan yang terdiri dari humus laterit, pasir
lempung, pasir medium halus, pasir sedang, pasir sedang hingga kasar dan
kasar. Hasilnya menunjukkan bahwa dari lapisan ketiga hingga kelima
terdiri
17
BAB III
DASAR TEORI
3.1 Geolistrik
Geolistrik ialah suatu metode dalam geofisika yang mempelajari sifat
aliran listrik di dalam bumi dan cara mendeteksinya di permukaan bumi.
Pendeteksian ini meliputi pengukuran beda potensial, arus, dan elektromagnetik
yang terjadi secara alamiah maupun akibat penginjeksian arus ke dalam bumi
(Kanata, dkk, 2008).
Berdasarkan pada tujuan penyelidikan, metode resistivitas dibedakan
menjadi dua yaitu mapping dan sounding. Metode geolistrik resistivitas mapping
merupakan metode resistivitas yang bertujuan mempelajari variasi resistivitas
lapisan bawah permukaan secara horisontal. Oleh karena itu, pada metode ini
digunakan jarak spasi elektroda yang tetap untuk semua titik datum di permukaan
bumi. Sedangkan metode resistivitas sounding bertujuan untuk mempelajari
variasi resistivitas lapisan bawah permukaan bumi secara vertikal. Pada metode
ini pengukuran pada satu titik ukur dilakukan dengan cara mengubah-ubah jarak
elektroda. Pengubahan jarak elektroda tidak dilakukan secara sembarang, tetapi
mulai jarak elektroda kecil kemudian membesar secara gradual (Telford, 1976).
Pada umumnya metode geolistrik dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Geolistrik yang bersifat pasif
Geolistrik dimana energi yang dibutuhkan telah ada terlebih dahulu secara
alamiah sehingga tidak diperlukan adanya injeksi/pemasukan arus terlebih dahulu.
Geolistrik jenis ini disebut Self Potential (SP).
2. Geolistrik yang bersifat aktif
Geolistrik dimana energi yang dibutuhkan ada, akibat penginjeksian arus ke
dalam bumi terlebih dahulu oleh elektroda arus. Geolistrik jenis ini ada dua
metode, yaitu metode Resistivitas (Resistivity) dan Polarisasi Terimbas (Induce
Polarization).
Sifat kelistrikan batuan di bawah permukaan dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu:
a. Kandungan mineral logam
18
b. Kandungan mineral non-logam
c. Kandungan elektrolit padat
d. Kandungan air garam
e. Tekstur batuan
f. Porositas dan permeabilitas batuan
g. Temperatur
Studi mengenai geolistrik dapat dipahami sebagai proses penjalaran arus
listrik melalui medium di bawah permukaan yang terdiri dari lapisan batuan
dengan nilai resistivitas yang berbeda dengan menganggap bumi homogen
isotropi. Aplikasi metode geolistrik ini dapat berupa grafik, peta resistivitas
maupun beda potensial, serta penampang 2D dan 3D.
Keterangan:
ρ : Hambatan jenis (Ω.m)
V : Potensial listrik (V)
I : Arus listrik (A)
A : Luas penampang (m2)
L : Panjang silinder (m)
Besaran nilai resistivitas digunakan untuk mengetahui profil bawah
permukaan dengan mengasumsikan bahwa litologi yang terdapat dibawah
permukaan bumi memiliki nilai yang berbeda-beda. Yang mana setiap litologi
mempunyai sifat kelistrikan sendiri tergantung dari komposisi mineral logam
yang terkandung pada litologi, permeabilitas, kandungan air, temperatur,
porositas, kandungan elektrolit padat dan juga tekstur dari litogi dibawah
permukaan bumi.
19
3.3 Resistivitas Semu
Dasar dari metode geolistrik adalah asumsi yang menyatakan bahwa bumi
dianggap sebagai medium yang homogen isotropis atau dengan kata lain memiliki
komposisi dan fisik yang sama. Resistivitas yang terukur merupakan resistivitas
sebenarnya (true resistivity) dan tidak tergantung pada spasi elektroda. Pada
kenyataannya bumi tidaklah homogen tetapi heterogen yang terdiri atas lapisan-
lapisan dengan variasi komposisi dan fisik yang berbeda-beda. Heterogenitas ini
lah yang mengasumsikan bahwa nilai resistivitas yang terukur merupakan nilai
resistivitas semu (apparent resistivity) yang tergantung pada jarak spasi
elektrodanya. Maka besaran resistivitas yang terukur bukan besaran resistivitas
untuk satu lapisan.
Untuk kasus tak homogen, bumi diasumsikan berlapis-lapis dengan masing-
masing lapisan mempunyai harga resistivitas yang berbeda. Resistivitas semu
merupakan resistivitas dari suatu medium fiktif homogen yang ekivalen dengan
medium berlapis yang ditinjau. Sebagai contoh medium berlapis yang ditinjau
misalnya terdiri dari dua lapis yang mempunyai resistivitas berbeda (ρ1 dan ρ2)
dianggap sebagai medium satu lapis homogen yang mempunyai satu harga
resistivitas semu ρa.
Nilai resistivitas semu dirumuskan pada persamaan berikut :
(3.2)
Keterangan:
ρa : Hambatan jenis semu (Ω.m)
V : Potensial listrik (mV)
I : Arus listrik (mA)
K : Faktor geometri (m)
20
Gambar 3.1. Konfigurasi elektroda geolistrik dan faktor geometrinya (Loke
, 2004)
21
kandungan air dalam batuan bertambah banyak, dan sebaliknya
resistivitas akan semakin besar jika kandungan air dalam batuan
berkurang.
c) Konduksi secara dielektrik, konduksi ini terjadi jika batuan atau
mineral bersifat dielektrik terhadap aliran arus listrik, yaitu terjadi
polarisasi saat bahan dialiri listrik.
dengan,
22
R : Resistansi (Ω),
V : tegangan (mV),
I : kuat arus (mA).
Sebagai suatu besaran yang menyatakan kemampuan dari suatu struktur untuk
melakukan perlawanan terhadap aliran arus. Jika resistansi dari struktur itu besar,
maka dibutuhkan beda potensial yang besar untuk mengalirkan arus tertentu
(Alaydrus, 2014). Konsep tersebut diperjelas dengan gambar 3.2 berikut ini.
Gambar 3.2 Rangkaian listrik yang terdiri dari baterai dan resistor, karena resistor
menghambat aliran arus , ada perubahan dalam potensial ( V ) di resistor yang sebanding
dengan arus ( i ) dan resistansi ( r ) (Robinson et al, 1988).
dengan,
r : resistivitas (Ωm),
23
R : resistansi (Ω),
L : panjang medium (m),
A : luas daerah (m2).
Dari persamaan diatas susunannya bisa dirubah sehingga didapatkan rumus :
(3.5)
Dari rumus 3.3 bisa dipahami bahwa satuan untuk resistivitas adalah Ohm.meter
(Ω.m). Dari rumus 3.2 bisa diambil kesimpulan bahwa resistansi bisa diperbesar
dengan memperpanjang lintasan yang dilewati muatan, selain itu bila resistansi
bisa diperkecil dengan mempersempit luas area yang dilewati oleh arus sehingga
arus listrik akan terkonsentrasi dengan lebih baik. Konsep tersebut dapat
diilustrasikan dengan gambar 3.3 dibawah ini.
Gambar 3.3 Resistor listrik yang terbuat dari balok. Arus listrik (i) yang menjalar di
sepanjang rangkaian besarnya berbanding lurus dengan resistansi dari
balok tersebut (Robinson et al, 1988).
Konsentrasi dari arus listrik tersebut bisa disebut dengan densitas arus yang
dirumuskan sebagai berikut (Alaydrus, 2014):
(3.6)
dengan,
µ : densitas arus (A/m2),
24
i : kuat arus (Ampere),
A : luas Daerah (m2).
∫ (3.8)
Jika dimisalkan titik a terletak di titik yang tak terhingga jaubnya maka V. = 0 dan
energipotensial di titik b adalah:
∫ (3.9)
di sini tanda minus menunjukkan bahwa gaya luar F besamya sarna dengan gaya
listrik yang melawarmya, dan muatan percobaan q diarnbil sangat kecil.
25
Gambar 3.4. Penjalaran arus tunggal dalam medium homogen isotrop (Telford et.al.,
1990).
Apabila suatu arus listrik diinjeksikan pada medium dari permukaan, maka
penjalaran arus akan terbentuk menjadi setengah bola dan titik equipotensialnya
berada pada sumber arus yang terdapat di permukaan. Hal ini diasumsikan bahwa
medium membentuk setengah ruang, sehingga jika dilihat pada gambar 3.5 akan
terlihat sebagaian merupakan udara dan setengahnya merupakan ruang atau
medium penjalaran arus.
Gambar 3.5. Sumber titik arus berada di permukaan pada medium homogen
(Telford et.al.,1990).
26
Jika arus searah yang dikirim melalui elektroda arus terletak dipermukaan
medium yang homogen dan isotrop, untuk mencari nilai potensial, maka sumber
arus harus dipandang sebagai titik arus.
Arus yang melewati luasan ½ bola yang diilustrasikan pada Gambar 3.5.
(bawah permukaan merupakan luasan ½ bola) adalah:
dV
I 2r 2 J 2r 2 2aA
dr (3.10)
I I
A (3.11)
2 2
Maka potensial elektrroda dipermukaan medium homogen adalah:
I 1
V (3.12)
2 r
Tahanan jenis atau resistivitasnya dapat ditulis sebagai berikut:
V
2r (3.13)
I
dengan,
I : arus listrik (Ampere),
J : densitas arus (Ampere/m2),
A : luasan volume tertutup (m2),
ρ : resistivitas (Ohm.m),
V : potensial listrik (Volt),
r : jarak antar elektroda (meter).
27
Gambar 3.6. Dua elektoda arus dan elektroda potensial di permukaan tanah homogen
isotrop (Telford et.al.,1990).
Jika arus pada kedua elektroda tersebut sama tetapi arahnya berlawanan, maka
potensial dititik P1 adalah:
I 1 1
VP1 V1 V2 (3.15a)
2 r1 r2
Beda potensial dititik P2 (dengan cara yang sama) adalah:
I 1 1
V P 2 V3 V 4 (3.15b)
2 r3 r4
Sehingga beda potensial antara titik P1 dan P2:
V VP1 VP 2 (V1 V2 ) (V3 V4 ) (3.15c)
I 1 1 1 1
V (3.15d)
2 r1 r2 r3 r4
dengan,
I : arus listrik (Ampere),
28
J : densitas arus (Ampere/m2),
A : luasan volume tertutup (m2),
ρ : resistivitas (Ohm.m),
V : potensial listrik (Volt),
r : jarak antar elektroda (meter).
ΔV
na a na
29
k : faktor geometri (m),
a : jarak elektroda (m),
n : faktor pengali kedalaman.
30
b) Cadangan terbukti (proven reserve) adalah sumberdaya bahan galian
terukur yang berdasarkan kajian kelayakan semua faktor yang terkait telah
terpenuhi sehingga penambangan dapat dilakukan secara layak.
1. Perhitungan Luas
Perhitungan luas menggunakan sistem koordinat, hal ini karena
cara ini dianggap lebih cepat dan praktis dalam penggunaanya.
Persamaan perhitungan dengan cara koordinat adalah sebagai berikut:
1 n 1
L= n 1, 2
(Xn .Yn+1-Xn+1.Yn) (3.17)
2
Keterangan:
L = Luas daerah yang dihitung
n = Nomor titik sudut
n+1 = Nomor titik berikutnya, pada poligon tertutup setelah titik terakhir
2. Perhitungan Volume
Susunan daerah dan bentuk lateral blok biasanya tidak teratur dan, untuk
31
menghitung volume dengan geometri solid, daerah dianggap lingkaran dengan
ukuran yang sama atau jumlah poligonal. Perhitungan volume di hitung dengan
mengukur masing–masing area dengan interval kontur. Perhitungan volume untuk
metode kontur dapat dilakukan dengan menggunakan dua cara yaitu dengan
menggunakan rumus Mean Area dan rumus Frustum.
a) Mean Area
Rumus Mean Area merupakan salah satu rumus yang digunakan untuk
mengestimasi volume dari suatu endapan. Rumus ini digunakan apabila terdapat
dua buah penampang dengan Luas L1 dan L2 dengan jarak t, seperti yang terlihat
pada gambar 3.9 dengan memenuhi L1 relatif sama L2, jika luasnya berbentuk
lingkaran maka akan menyerupai bentuk silindris. Rumus Mean Area ini tepat
digunakan jika kedua area hampir mirip dari ukuran dan bentuk.
Keterangan :
Vol : Volume (m3)
L1 dan L2 : Luas penampang (m2)
t : Jarak antar penampang (m)
b) Frustum
Rumus Frustum merupakan salah satu rumus yang juga digunakan untuk
mengestimasi volume dari suatu endapan. Rumus ini digunakan apabila volume
32
endapan mempunyai bentuk seperti kerucut terpancung, dengan L1/L2 lebih kecil
atau sama dengan 0,5. Seperti yang terlihat pada gambar 3.10 di berikut ini:
Keterangan :
Vol : Volume (m3)
L1 dan L2 : Luas penampang (m2)
t : Jarak antar penampang (m)
33
Tabel 3.1. Tabel nilai densitas material bumi (Telford, et.al., 1990).
Tipe Batuan Rentang Densitas Rata-rata ( cm³)
( cm³)
Overburden 1,20-1,40 1,92
Soil 1,20-1,40 1,92
Lempung 1,63-2,60 2,21
Kerikil 1,70-2,40 2,00
Pasir 1,70-2,30 2,00
Batupasir 1,61-2,76 2,35
Serpih 1,77-3,20 2,40
Gamping 1,93-2,90 2,55
Dolomit 2,28-2,90 2,70
Batuan Sedimen (Rata- 2,50
rata)
3.10.Pemodelan Geofisika
Dalam geofisika, model dan parameter model digunakan untuk
mengkarakterisasi suatu kondisi geologi bawah permukaan. Pemodelan
merupakan proses estimasi model dan parameter model berdasarkan data yang
diamati di permukaan bumi. Dalam beberapa referensi istilah model tidak hanya
menyatakan representasi kondisi geologi oleh besaran fisis tetapi mencakup pula
hubungan matematik atau teoritik antara parameter model dengan respon model.
(Grandis, 2009).
34
Untuk memperoleh kesesuaian antara data teoritis (respon model) dengan
data lapangan dapat dilakukan proses coba – coba (trial and error) dengan
mengubah – ubah harga parameter model. Seringkali istilah pemodelan ke depan
digunakan untuk menyatakan pemodelan data geofisika dengan cara coba – coba
tersebut. Dengan kata lain, istilah pemodelan ke depan tidak hanya mencakup
perhitungan respon model tetapi juga proses coba – coba secara manual untuk
memperoleh model yang diberikan respon yang cocok dengan data yang dapat
dilihat pada gambar 3.12 (Grandis, 2009).
Kecepatan dan keberhasilan teknik pemodelan ke depan dengan cara coba
– coba sangat bergantung pada pengalaman subyektif seseorang yang melakukan
pemodelan tersebut. Dalam hal ini harga parameter model awal dan perubahan
harga parameter model tersebut perlu diperkirakan dengan baik agar diperoleh
respon yang makin dekat dengan data. Semakin kompleks hubungan antara data
dengan parameter model maka semakin sulit proses coba – coba tersebut. Adanya
informasi tambahan dari data geologi ma upun data geofisika lainnya dapat
membantu penentuan model awal. Sementara itu, pengetahuan mengenai
karakteristik fenomena atau mekanisme fisis yang ditinjau dapat membantu
perkirakan parameter yang perlu diubah dan sejauh mana perubahan perlu
dilakukan (Grandis, 2009).
Gambar 3.11 (a) Proses pemodelan ke depan (forward modeling) untuk menghitung
respon (data teoritik atau data perhitungan) dari suatu model tertentu
(Grandis, 2009).
35
parameter model
modifikasi
forward modeling parameter model
solusi / model
Gambar 3.12 (b) Teknik pemodelan dengan cara mencoba – coba dan memodifikasi
parameter model hingga diperoleh kecocokan antara data perhitungan
dan data lapangan (Grandis, 2009).
36
Kesesuaian antara respon model dengan data pengamatan umumnya
dinyatakan oleh suatu fungsi obektif yang harus diminimumkan. Proses pencarian
minimum fungsi obyektif tersebut berasosiasi dengan proses pencarian model
optimum. Dalam kalkulus jika suatu fungsi mencapai minimum maka turunannya
terhadap variabel yang tidak diketahui di titik minimum tersebut berharga nol.
Karakteristik minimum suatu fungsi tersebut digunakan untuk pencarian
parameter model. Secara lebih umum, model dimodifikasi sedemikian hingga
respon model menjadi fit dengan data. Dalam proses tersebut jelas bahwa
pemodelan inversi hanya dapat dilakukan jika hubungan antara data dan
parameter model (fungsi pemodelan ke depan) telah diketahui (Grandis, 2009).
37
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
38
tahap berupa pengolahan data. Akuisisi dari penelitian ini dilakukan dengan
metode geolistrik konfigurasi Wenner-Schlumberger.
Mulai
Info Geologi
Data
Sekunder
Analisis Data
Error
Penampang Resistivitas 2D
Pemodelan 3D Penampang
Geologi
Interpretasi
Selesai
39
Langkah-langkah yang dilakukan dalam pengolahan adalah sebagai berikut:
1. Cara untuk menganalisis data tersebut adalah dengan melakukan ploting data
dari Microsoft Excel ke software Dplot kemudian dianalisis dari bentuk kurva
serta informasi geologi yang ada. Setelah semua lintasan pengukuran selesai
dianalisis menggunakan software Dplot, kemudian data tersebut di susun per
lintasan sesuai dengan format penyusunan data untuk kemudian dilanjutkan
pengolahan di software Res2dinV.
2. Dari data hasil akuisisi dimasukkan ke dalam pengolahan MS Excel yang
nantinya akan dihitung untuk memperoleh data R, K, dan Rho. R diperoleh
dari nilai Potensial dibagi arus listrik. K diperoleh dari nilai phi dikalikan n
dan jumlah spasi. Rho diperoleh dari R dikalikan K.
3. Setelah didapatkan nilai Rho, masukkan nilai tersebut ke bentuk pengolahan
Res2dinV dengan membuat bentuk notepad. Dalam notepad tersebut terdapat
nama lintasan, jumlah spasi, kode konfigurasi, jumlah titik, nilai n, jarak
elektroda, nilai rho, jumlah titik elevasi, dan nilai elevasi. Masukkan data
dalam notepad tersebut kedalam Res2dinV untuk mendapatkan penampang
geolistrik. Cara pengolahannya dengan buka Res2dinV File Read Data
File masukin data dalam bentuk .inv Inversion Least-square
Inversion save data masukkan nilai iterasi sesuai angka yang
diinginkan hasil akhir dalam bentuk penampang perahu dari data tersebut.
Untuk menyimpan bentuk penampang tersebut dengan cara Screenshot lalu
ubah format menjadi .jpg.
4. Selain itu penampang geologi juga dibuat untuk menunjang interpretasi
geologi pada penampang resistivitas 2 dimensi. Pada penampang ini
merupakan penggambaran ulang pada penampang 2 dimensi menggunakan
software Corel Draw x7 berdasarkan nilai resistivitas dengan unsur – unsur
pada nilai geologi.
5. Masukkan data setelah hasil inversi dari Res2dinV ke dalam sheet yang ada
dalam Rockworks 15. Data yang dimasukkan kedalam software tersebut
meliputi data koordinat X Y Z dan hasil Rho setelah diinversi. Buatlah
permodelan dari data-data tersebut. Setelah mendapatkan hasil dari 3D
40
pemodelan, buatlah range nilai yang dianggap sesuai dengan nilai target yang
dituju serta warna yang menunjukkan target. Target yang dituju dalam kasus
ini adalah andesit. Hasilnya adalah lokasi-lokasi yang dianggap adanya
andesit yang terlihat dari gambar pemodelan 3D.
6. Setelah didapatkan pengolah data dari ketiga penampang tersebut, kemudian
di interpretasi berdasarkan informasi studi literatur, informasi geologi, dan
nilai – nilai pada geofisika. Mecocokan dengan penelitian terdahulu, apakah
hasil ketiga penampang tersebut menunjukan kesamaan dengan penelitian
terdahulu. Kemudian dilihat dari informasi geologi yang ada, apakah dari
ketiga hasil pengolahan tersebut menunjukan informasi geologi berupa
stratigrafi, struktur regional, serta proses terbentuknya endapan pasir tersebut.
41
4.3 Interpretasi Data
Interpretasi data dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif.
Interpretasi kuantitatif dilakukan dengan melihat nilai resistivitas yang terlihat
pada penampang, baik itu penampang apparent maupun penampang inversi. Dari
nilai matematis ini dapat dilihat persebaran resistivitas yang ada pada medium.
Interpretasi kualitatif dilakukan untuk dapat mengetahui persebaran dan cadangan
yang ada pada daerah penelitian. Interpretasi kualitatif dilakukan dengan cara
studi penelitian terdahulu yang digunakaan sebagai acuan interpretasi. Acuan
interpretasi kualitatif dan kuantitatif di bandingkan sehingga menghasilkan
analisis interpretasi yang mereprentasikan daerah penelitian. Interpretasi
kuantitatif didasarkan pada tabel 4.1 Telford dkk,1990.
Tabel 4.1. Tabel nilai resistivitas material bumi (Telford, et.al., 1990).
Material Resistivitas (ohm.m)
Pirit (Pyrite) 0,01-100
Kuarsa (Quartz) 500-800.000
Kalsit (Calcite) 1x1012 - 1x1013
Batuan garam (Rock salt) 30-1x1013
Granit (Granit) 200-100.000
Andesit (Andesite) 1,7x102 - 45x104
Basal (Basalt) 200 - 100.000
Gamping (Limestone) 500 - 10.000
Batupasir (Sandstone) 200 - 8.000
Batulempung (Shale) 20 - 2.000
Pasir (Sand) 1 - 1.000
Lempung (Clay) 1 – 100
Air tanah (Groundwater) 0,5- 300
Air asin (Sea water) 0,2
Magnetit (Magnetite) 0,01- 1.000
Kerikil kering (Dry gravel) 600 - 10.000
Aluvium (Alluvium) 10 – 800
Kerikil (Gravel) 100 – 600
42
BAB V
PEMBAHASAN
5.1 Profil Geologi
Gambar 5.1 merupakan hasil dari profil geologi daerah penelitian,
dimana hasil yang didapatkan sesuai dengan hasil interpretasi yang diinginkan.
43
Terdapat 4 jenis litologi yakni, endapan pasir tersortasi baik (wet),
endapan pasir tersortasi buruk dengan sisipan bongkahan andesit , gravel. Pada
profil ini merupakan endapan yang terbentuk pada masa kuarter, yang dimana di
isi oleh material atau batuan fase endapan merapi muda. Endapan Gravel daerah
penelitian memiliki ketebalan rata – rata 600 cm. Endapan pasir tersortasi buruk
mempunyai ketebalan rata – rata 300 cm. enapan pasir tersortasi baik mempunyai
ketebalan rata – rata 100 cm.
Pada penampang ini arah lintasan berawal dari barat daya mengarah ke
timur laut. Range nilai penampang hasil Res2dinv ini dari nilai 28,4 Ohm.m – <
450 Ohm.m yang di tandai dengan warna biru tua hingga kuning muda di
44
interpretasikan sebagai endapan pasir tersortasi baik (wet). Endapan pasir tersebut
terletak dari panjang lintasan 50 meter sampai 210 yang berada pada kedalaman
dari 0- 25 meter. Dari 450 Ohm.m – 740 Ohm.m di interpretasikan sebagai
endapan pasir tersortasi buruk ditandai dengan warna coklat muda hingga oranye.
Dari 740 - > 1274 Ohm.m di interpretasikan andesit ditandai dengan hingga
ungu.
Range nilai penampang hasil Res2dinv ini dari nilai 28,4 Ohm.m – < 450
Ohm.m yang di tandai dengan warna biru tua hingga kuning muda di
45
interpretasikan sebagai endapan pasir tersortasi baik (wet). Dari 450 Ohm.m – 740
Ohm.m di interpretasikan sebagai endapan pasir tersortasi buruk ditandai dengan
warna coklat muda hingga oranye. Dari 740 - > 1274 Ohm.m di interpretasikan
sebagai bongkahan andesit ditandai dengan warna merah hingga ungu.
46
pasir pada penampang inline, posisi endapan pasir yang cukup masif terdapat di
panjang lintasan 90 m sampai 120 m dan pada kedalaman 0 - 30 m dan 140 m
sampai 240 m dari kedalaman 10m sampai 30m. Dari 450 Ohm.m – 740 Ohm.m
di interpretasikan sebagai endapan pasir tersortasi buruk ditandai dengan warna
coklat muda hingga oranye. Dari 740 - > 1274 Ohm.m di interpretasikan sebagai
andesit ditandai dengan warna merah hingga ungu.
47
450 Ohm.m – 740 Ohm.m di interpretasikan sebagai Endapan pasir tersortasi
buruk ditandai dengan warna coklat muda hingga oranye. 740 - >1274 Ohm.m di
interpretasikan sebagai andesit ditandai dengan warna merah hingga ungu.
Pada range nilai penampang hasil Res2dinv ini dari nilai 28,4 Ohm.m – <
450 Ohm.m ditandai dengan warna biru tua hingga kuning muda di
interpretasikan sebagai endapan pasir tersortasi baik (wet). Dari 450 Ohm.m – 740
Ohm.m di interpretasikan sebagai endapan pasir tersortasi buruk ditandai dengan
48
warna coklat muda hingga oranye. Dari 740 - > 1274 Ohm.m di interpretasikan
sebagai andesit denga merah hingga ungu .
Pada Range nilai penampang hasil Res2dinv ini dari nilai 28,4 Ohm.m – <
450 Ohm.m ditandai dengan warna biru tua hingga kuning muda di
interpretasikan sebagai endapan pasir tersortasi baik (wet). Dari 450 Ohm.m – 740
Ohm.m di interpretasikan sebagai endapan pasir tersortasi buruk ditandai dengan
warna coklat muda hingga oranye . Dari 740 - 1274 Ohm.m di interpretasikan
sebagai andesit ditandai dengan warna merah hingga ungu.
49
5.2.7 Penampang Lintasan Cross 1
Gambar 5.8 merupakan penampang lintasan cross pertama yang diolah
menggunakan software Res2Dinv menggunakan skala range nilai dari 28,4
ohm.m –1274 Ohm.m dengan spasi elektroda 10 m, lintasan ini mempunyai
panjang 130 m dan kedalaman lintasan 16 m. Pada penampang ini arah lintasan
berawal dari barat laut mengarah ke tenggara.
50
oranye. Dari 740 ohm m - > 1274 Ohm.m di interpretasikan sebagai andesit
ditandai dengan warna merah hingga ungu.
51
kenampakannya di panjang lintasan 20 m sampai 105 m pada kedalaman 0 m
sampai 10 m. Dari 450 Ohm.m – 740 Ohm.m di interpretasikan sebagai endapan
pasir tersortasi buruk yang ditandai dengan warna coklat muda hingga oranye.
Dari 740 ohm m - > 1274 Ohm.m di interpretasikan sebagai andesit ditandai
dengan warna merah hingga ungu.
52
muda. Endapan pasir tersortasi baik pada penampang line cross ke tiga ini terletak
kenampakannya di panjang lintasan 30 m sampai 100 m dan pada kedalaman 0 m
sampai 10 m.. Dari 450 Ohm.m – 740 Ohm.m di interpretasikan sebagai endapan
pasir tersortasi buruk yang ditandai dengan warna coklat muda hingga oranye.
Dari 740 ohm m - > 1274 Ohm.m di interpretasikan sebagai andesit ditandai
dengan warna merah hingga ungu.
53
endapan pasir tersortasi baik (wet) ditandai dengan warna biru tua hingga kuning
muda. Endapan pasir tersortasi baik (wet) pada penampang line cross ke empat
terletak kenampakannya di panjang lintasan 30 m sampai 100 m pada kedalaman
0 m sampai 10 m. Dari 450 Ohm.m – 740 Ohm.m di interpretasikan sebagai
endapan pasir tersortasi buruk yang ditandai dengan warna coklat muda hingga
oranye. Dari 740 ohm m - > 1274 Ohm.m di interpretasikan sebagai andesit
ditandai dengan warna merah hingga ungu.
54
Pada range nilai penampang cross hasil pengolahan menggunakan
Res2dinv ini dari nilai 28,4 Ohm.m – < 450 Ohm.m di interpretasikan sebagai
endapan pasir ditandai dengan warna biru tua hingga kuning muda. Endapan pasir
tersortasi baik (wet) pada penampang line cross ke lima ini terletak
kenampakannya di panjang lintasan 30 m sampai 105 m pada kedalaman 0 m
sampai 10 m. Dari 450 Ohm.m – 740 Ohm.m di interpretasikan sebagai endapan
pasir tersortasi buruk yang ditandai dengan warna coklat muda hingga oranye.
Dari 740 ohm m - > 1274 Ohm.m di interpretasikan sebagai andesit ditandai
dengan warna merah hingga ungu.
55
Pada range nilai penampang cross hasil pengolahan menggunakan
Res2dinv ini dari nilai 28,4 Ohm.m – < 450 Ohm.m di interpretasikan sebagai
endapan pasir tersortasi baik (wet) ditandai dengan warna biru tua hingga kuning
muda. Endapan pasir tersortasi baik pada penampang line cross ke enam ini
terletak kenampakannya di panjang lintasa 30 m sampai 105 m. Dari 450 Ohm.m
– 740 Ohm.m di interpretasikan sebagai endapan pasir tersortasi buruk yang
ditandai dengan warna coklat muda hingga oranye. Dari 740 ohm m - > 1274
Ohm.m di interpretasikan sebagai andesit ditandai dengan warna merah hingga
ungu.
56
5.3.2 Pemodelan Rockwork 3D Slice 799 m
Gambar 5.15 merupakan model 3D pada kedalaman 799 m yang
dilihat secara vertikal. Pada pemodelan ini nilai resistivitas endapan pasir
dari 28,4 ohm.m - 750 Ohm.m. Pemodelan tersebut merupakan model 3D
berdasarkan korelasi 2D dengan dengan 12 lintasan pada daerah
pengukuran.. Pada pemodelan ini persebaran endapan pasir yang berada di
arah mata angin barat laut meluas dibandingkan pemodelan slice 794 m
serta beberapa clousre di timur laut hingga tenggara juga meluas.
57
5.3.3 Pemodelan Rockwork 3D Slice 804 m
Gambar 5.16 merupakan model 3D pada kedalaman 804 m yang
dilihat secara vertikal . Pada pemodelan ini nilai resistivitas endapan pasir
dari 28,4 ohm.m - 750 Ohm.m. Pemodelan tersebut merupakan model 3D
berdasarkan korelasi 2D dengan dengan 12 lintasan pada daerah
pengukuran.. Pada pemodelan ini persebaran endapan pasir terlihat dari
utara menumpuk di arah mata angin barat laut serta beberapa di timur laut
hingga tenggara. Di bandingkan dengan pemodelan Slice 799 m endapan
pasir pada pemodelan pada slice 804 m yang berada di barat laut
berkurang luasannya, namun closure pada timur laut dan tenggara
bertambah dan meluas.
58
5.3.4 Pemodelan Rockwork 3D Slice 809 m
Gambar 5.17 merupakan model 3D pada kedalaman 809 m yang
dilihat secara vertikal . Pada pemodelan ini nilai resistivitas endapan pasir
dari 28,4 ohm.m - 750 Ohm.m. Pemodelan tersebut merupakan model 3D
berdasarkan korelasi 2D dengan dengan 12 lintasan pada daerah
pengukuran.. Pada pemodelan ini persebaran endapan pasir terlihat di arah
mata angin barat laut bebentuk closure serta beberapa di timur laut hingga
tenggara. Di bandingkan dengan pemodelan Slice 804 m endapan pasir
pada pemodelan slice 804 m yang berada di barat laut berkurang
luasannya membentukan closure kecil , namun closure pada timur laut
dan tenggara bertambah luasannya.
59
5.3.5 Pemodelan Rockwork 3D Slice 814 m
Gambar 5.18 merupakan model 3D pada kedalaman 814 m yang
dilihat secara vertikal . Pada pemodelan ini nilai resistivitas endapan pasir
dari 28,4 ohm.m - 750 Ohm.m. Pemodelan tersebut merupakan model 3D
berdasarkan korelasi 2D dengan dengan 12 lintasan pada daerah
pengukuran.. Pada pemodelan ini persebaran endapan pasir terlihat di arah
mata angin barat laut bebentuk closure serta beberapa di timur laut hingga
tenggara. Di bandingkan dengan pemodelan Slice 804 m endapan pasir
pada pemodelan slice 814 m yang berada di barat laut berkurang
luasannya membentukan closure kecil , namun terdapat closure dari arah
utara hingga timur laut. Dan endapan pasir yang berada di tenggara tidak
jauh beda dari sebelumnya.
60
5.3.6 Pemodelan Semua Slice Rockwork 3D
Gambar 5.19 merupakan. model 3D berdasarkan interpolasi dari
penampang 2D dengan 12 lintasan pada daerah pengukuran. . Pada
pemodelan ini nilai resistivitas endapan pasir dari 28,4 ohm.m - 750
Ohm.m. Dalam pemodelan ini menggunakan 5 slice yang dimana
penempatan slice tersebut berada pada kedalaman 814 m, 809 m, 804 m,
799 m, dan 794m. Hasil pemodelan ini menunjukkan geometri secara lateral
dan juga vertikal, sehingga memudahkan dalam menginterpretasi endapan
pasir.
61
954.600 m3, dengan nilai dari acuan tabel densitas (Telford, dkk 1976)
nilai densitas pasir berkisar antara 1,7 gr/cm3 sampai 2,3 gr/cm3
sehingga total potensi sumber daya pasir yaitu berkisar antara
1.622.820 ton sampai 2.195.580 ton.
62
BAB VI
PENUTUP
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan
bahwa :
• Pada penampang Res2dinv didapatkan nilai 28,4 Ohm.m – < 450 Ohm.m
yang di interpretasikan sebagai endapan pasir tersortasi baik (wet). Dari
450 Ohm.m – 740 Ohm.m di interpretasikan sebagai endapan pasir
tersortasi buruk . Dari 740 - > 1274 Ohm.m di interpretasikan sebagai
bongkahan Andesit.
• Analisa pada pemodelan Rockworks persebaran endapan pasir terlihat dari
utara menumpuk sampai arah mata angin barat laut hingga timur laut.
Penampakan closure kecil terlihat pada arah selatan hingga tenggara. Total
potensi sumber daya pasir yaitu berkisar antara 1.622.820 ton sampai
2.195.580 ton.
6.2. Saran
Untuk menampilkan resolusi yang lebih baik maka diperlukan data titik
pengukuran tambahan sehingga pemodelan akan memiliki resolusi yang lebih baik
dan untuk agar dapat menganalisa serta memperkirakan estimasi cadangan pada
daerah penelitian maka diperlukan data endapan pasir yang di tambang
perharinya, yang nanti akan dikalkulasikan dengan data total sumberdaya
cadangan endapan pasir.
.
63
DAFTAR PUSTAKA
Bothe, A.CH.G., 1929, Jiwo Hills and Soutern Range, Excurcion Guide. IVth
Pacific Sci. Cong. Bandung.
Bronto, S. dan Hartono, H.G., 2001, Panduan Ekskursi Geologi Kuliah Lapangan
2, STTNAS: Yogyakarta.
Bronto, S., 2000, Merapi Volcano Borobudur, Badan Geologi Kementerian Energi
dan Sumberdaya Mineral, Bandung.
Egbai, J.C, Iserhien-Emekeme, R., dan Efeya ,p. 2015. Geoelectric Quantification
of Building Sand Deposits in Ogan, Edo State, Nigeria. Delta State
University.
Kanata, Bulkis dan Zubaidah. 2008. Pemodelan Fisika Aplikasi Metode Geolistrik
Konfigurasi Schlumberger untuk Investigasi Keberadaan Air Tanah.
Jurnal Vol. 7 No. 1 Januari – Juni 2008. Mataram.
Loke, M.H, 1999, electrical imaging surveys for enviromental and studies,
halaman 13-15.
Loke, M.H. 2004. 2-D and 3-D Electrical Imaging Survey. 62nd EAGE
Conference&Technical Exhibition Extended Abstrack, D-2.
Pallister, J.S., Schneider, D.J., Griswold, J.P., Keeler, R.H., Burton, W.C., Noyles,
C., Newhall, C.G., Ratdomopurbo, A., in press. Merapi 2010
eruption: Chronology and extrusion rates monitored with satellite
radar and used in eruption forecasting. Journal of Volcanology and
GeothermalResearch.
http://dx.doi.org/10.1016/j.jvolgeores.2012.07.012
Pettijohn, F.J., Potter, P.E. & Siever, R., 1987, Sand and Sandstone, 617 pp.
SpringerVerlag, Berlin
Surono, Toha, B., dan Sudarno, 1992, Peta Geologi Lembar Surakarta –
Giritontro, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung
Telford, M.W., Geldart, L.P., Sheriff, R.E., and Keys, D.A., 1990, Applied
Geophysics Second Edition. London: Cambridge University Press.
Van Bemmelen, R.W. 1949. The Geology of Indonesia. Martinus Nyhoff. The
Haque, Nederland.
Van Bemmelen, R.W..1970. The Geology of Indonesia, volume 1. A.Haque.
Netherlands.