Anda di halaman 1dari 81

SKRIPSI

IDENTIFIKASI PERSEBARAN DAN CADANGAN ENDAPAN


PASIR MENGGUNAKAN METODE GEOLISTRIK
KONFIGURASI WENNER SCHLUMBERGER DI DAERAH
SRUMBUNG, KABUPATEN MAGELANG, PROVINSI JAWA
TENGAH

IDENTIFICATION OF SAND DEPOSIT DISTRIBUTION AND


RESOURCES USING GEOLECTRIC METHOD WENNER
SCHLUMBERGER CONFIGURATION AT SRUMBUNG,
MAGELANG DISTRICT, CENTRAL JAVA PROVINCE

MUHAMMAD GHIFARIHADI
115.120.055

JURUSAN TEKNIK GEOFISIKA


FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
YOGYAKARTA
2019
SKRIPSI

IDENTIFIKASI PERSEBARAN DAN CADANGAN ENDAPAN


PASIR MENGGUNAKAN METODE GEOLISTRIK
KONFIGURASI WENNER SCHLUMBERGER DI DAERAH
SRUMBUNG, KABUPATEN MAGELANG, JAWA TENGAH

IDENTIFICATION OF SAND DEPOSIT DISTRIBUTION AND


RESOURCES USING GEOLECTRIC METHOD WENNER
SCHLUMBERGER CONFIGURATION AT SRUMBUNG,
MAGELANG DISTRICT, CENTRAL JAVA PROVINCE

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi gelar Sarjana Strata Satu (S1)
Jurusan Teknik Geofisika, Fakultas Teknologi Mineral,
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta.

MUHAMMAD GHIFARIHADI
115.120.055

JURUSAN TEKNIK GEOFISIKA


FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
YOGYAKARTA
2019

ii
iii
iv
v
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat ALLAH SWT atas kasih dan
rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“IDENTIFIKASI PERSEBARAN DAN CADANGAN ENDAPAN PASIR
MENGGUNAKAN METODE GEOLISTRIK KONFIGURASI WENNER
SCHLUMBERGER DI DAERAH SRUMBUNG, MAGELANG, JAWA
TENGAH” dengan baik dan lancar. Skripsi ini merupakan hasil penelitian
tentang eksplorasi endapan pasir menggunakan metode resistivitas konfigurasi
wenner schlumberger pada desa Srumbung yang berlokasi di Kabupaten
Magelang, Provinsi Jawa Tengah.
Penulis menyadari akan segala kekurangan dalam skripsi ini sehingga
penulis mengharapkan segala sumbang saran dan kritik yang membangun demi
perbaikan dan pembelajaran di masa yang akan datang. Semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca. Untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh
gelar sarjana teknik program S-1 Prodi Teknik Geofisika di Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta. Ucapan terimakasih penulis
ucapkan kepada:

1. Orang tua penulis bapak Priatna Hadi & ibu Fahimatun yang tidak pernah
kenal lelah untuk meyemangati penulis.
2. Kaka perempuan penulis Silmi Choirunnisa yang telah mempercayai
penulis dan memberi dorongan untuk menyelesaikan studi ini.
3. Bapak Ajimas Pascaning S., ST., M.Sc. dan Wiji Raharjo, S.Si., M.Sc.
selaku Dosen pembimbing
4. Bapak dan Ibu dosen prodi Teknik Geofisika Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran” Yogyakarta yang tidak bisa di sebut satu persatu.
5. Leo Agung Prabowo, Audra Diaz Permana, Aldion Yonathan, dan
Ratmansyah Putra yang telah membantu penulis menyelesaikan penelitian
ini.

vi
6. Angkatan 2012 hingga 2016 prodi Teknik Geofisika Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta yang tidak dapat
disebutkan satu persatu.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih
ada beberapa kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran
yang dapat membuat penulis menjadi lebih baik untuk kedepannya.

Yogyakarta, 14 mei 2019

Muhammad Ghifarihadi

vii
ABSTRAK

IDENTIFIKASI PERSEBARAN DAN CADANGAN ENDAPAN PASIR


MENGGUNAKAN METODE GEOLISTRIK KONFIGURASI WENNER
SCHLUMBERGER DI DAERAH SRUMBUNG, KABUPATEN
MAGELANG, PROVINSI JAWA TENGAH

Oleh :

Muhammad Ghifarihadi
115.120.055

Pada daerah Srumbung, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah


tepatnya di Sungai Krasak, terdapat kegiatan pernambangan pasir yang sudah
dilakukakan bertahun – tahun. Sehingga sangat menarik mengkaji lebih dalam
untuk mengidentifikasi persebaran dan cadangan endapan pasir pada daerah
tersebut agar dapat digunakan untuk kepentingan infrastruktur.
Metode yang digunakan yaitu geolistrik resistivitas, konfigurasi wenner
schlumberger, dengan 6 lintasan inline dan 6 lintasan cross. Panjang lintasan
pada lintasan inline 250 m dan pada lintasan cross panjang lintasan 110 m.
Metode ini digunakan karena keunggulannya yang mampu untuk mendeteksi
adanya sifat tidak homogen pada lapisan batuan dibawah permukaan. Pengolahan
data dilakukan dengan menggunakan Software Res2dinv untuk penampang
Resistivitas 2 dimensi, Corel Draw X7 untuk Pemodelan Geologi, 3 Dimensi dan
Rockworks 14 untuk pemodelan 3 dimensi.
Analisis dan interpretasi yang dihasilkan dari penampang 2 dimensi yaitu
keberadaan endapan pasir g mempunyai nilai resistivitas dari 28,4 Ohm.m - <750
Ohm.m. Analisa pada pemodelan 3 dimensi yang menampakan persebaran
endapan pasir terlihat dari utara menumpuk sampai arah mata angin barat laut
hingga timur laut. Penampakan closure kecil terlihat pada arah selatan hingga
tenggara. Nilai total cadangan yang diperoleh dari daerah penelitian didapatkan
menggunakan rumus perhitungan (total potensi sumberdaya = volume x densitas).
Endapan pasir yang terukur dengan software Rockworks sebesar 954.600 m3 ,
dengan nilai dari acuan tabel densitas, nilai densitas pasir berkisar antara 1,7
gr/cm3 sampai 2,3 gr/cm3 sehingga total potensi sumber daya pasir yaitu berkisar
antara 1.622.820 ton sampai 2.195.580 ton.

Kata kunci : Endapan Pasir, Resistivitas, Geolistrik, Wenner Schlumberger.

viii
ABSTRACT

IDENTIFICATION OF SAND DEPOSIT DISTRIBUTION AND


RESOURCES USING GEOLECTRIC METHOD WENNER
SCHLUMBERGER CONFIGURATION AT SRUMBUNG, MAGELANG
DISTRICT, CENTRAL JAVA PROVINCE

By :

Muhammad Ghifarihadi
115.120.055

In the Srumbung area, Magelang District, Central Java Province was


charged on the Krasak River, There is sand mining activities which had been
carried out for more than a year. So it is very interesting to study more deeply to
facilitate the distribution of sand deposits and reserves so that they can be used
for infrastructure purposes.
The method used in this research is geoelectric resistivity with a wenner
schlumberger configuration of 6 inline trajectories and 6 cross trajectories. The
inline length track is 250 m and the cross track length is 110 m. This method is
used because of its superiority that is able to detect non-homogeneous in the rock
layers below the surface Data processing is done using Res2dinv Software for 2-
dimensional resistivity cross section, Corel Draw X7 for Geological Modeling ,
and Rockwork 14 for 3-dimensional modeling..
Analysis and interpretation of the 2D pseudosection have been found that
presence of sand deposits scoring a 28.4 Ohm.m - <750 Ohm.m for the resistivity
values. The 3D model shows that the distribution of massive sand deposits existed
at northwest to the southwest. Total resources value from the research area is
obtained by using this following formula (total resource potential = volume x
density). Measured sand deposits with rockworks software is 954,600 m3, with a
value from the density table reference1, the value of sand density ranges from 1.7
gr / cm3 to 2.3 gr / cm3.Total potential of the sand resource is around 1,622,820
tons to 2,195. 580 tons.

Keywords: Sand Deposit, Resistivity, Geoelevtrical, Wenner Schlumberger.

ix
DAFTAR ISI

JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH iv
KATA PENGANTAR v
INTISARI vi
ABSTRACT vii
DAFTAR ISI viii
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR TABEL xii

BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 2
1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian 2
1.4. Batasan Masalah 2
1.5. Lokasi dan Waktu Penelitian 3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Geologi Regional 4
2.2. Geologi Lokal 6
2.3. Stratigtafi Regional Yogyakarta 8
2.3.1. Endapan Permukaan 12
2.4. Kolom Stratigrafi Magelang 13
2.4.1. Batuan Dasar 14
2.4.2. Formasi Damar 14
2.4.3. Formasi Kaligetes 14
2.4.4. Formasi Payung 15
2.4.5. Formasi Penyatan 15
2.5. Penelitian Terdahulu 15

x
BAB III. DASAR TEORI
3.1. Geolistrik 18
3.2. Metode Geolistrik Resitivitas 19
3.3. Resistivitas Semu 20
3.4. Konduktivitas Dalam Batuan 21
3.5. Hukum Ohm dan Konsep Perjalanan Arus 22
3.6. Potensial Listrik 25
3.7. Elektroda Arus 25
3.7.1 Elektroda Arus Tunggal di Permukaan 25
3.7.1 Elektroda Arus Ganda di Permukaan 27
3.8 Konfigurasi Wenner Schlumberger 28
3.9 Sumberdaya dan Cadangan 30
3.10 Pemodelan Geofisika 34
3.10.1 Pemodelan ke Depan 34
3.10.2 Pemodelan Inversi 36

BAB IV. METODE PENELITIAN


4.1. Sistematika Penelitian 38
4.2. Pengolahan Data 39
4.3. Interpretasi 42

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN


5.1. Profil Geologi 43
5.2. Pembahasan Penampang 2D RES2DINV 44
5.2.1 Penampang Lintasan Inline 1 45
5.2.2 Penampang Lintasan Inline 2 46
5.2.3 Penampang Lintasan Inline 3 47
5.2.4 Penampang Lintasan Inline 4 48
5.2.5 Penampang Lintasan Inline 5 49
5.2.6 Penampang Lintasan Inline 6 50
5.2.7 Penampang Lintasan Cross 1 51
5.2.8 Penampang Lintasan Cross 2 52
5.2.9 Penampang Lintasan Cross 3 53

xi
5.2.10 Penampang Lintasan Cross 4 54
5.2.11 Penampang Lintasan Cross 5 55
5.2.12 Penampang Lintasan Cross 6 56
5.3 Pembahasan Pemodelan Rockwork 3D 57
5.3.1 Pemodelan Rockwork 3D Slice 794 m 58
5.3.2 Pemodelan Rockwork 3D Slice 799 m 59
5.3.3 Pemodelan Rockwork 3D Slice 804 m 60
5.3.4 Pemodelan Rockwork 3D Slice 809 m 61
5.3.5 Pemodelan Rockwork 3D Slice 814 m 62
5.3.6 Pemodelan Semua Slice Rockwork 3D 63

BAB VI. PENUTUP


6.1. Kesimpulan 64
6.2. Saran 64

DAFTAR PUSTAKA

xii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Peta Lokasi Penelitian 3


Gambar 2.1. Peta Fisiografi Jawa Tengah (Van Bemmelen,1949) 6
Gambar 2.2. Peta Geologi Daerah Yogyakarta (Rahardjo,dkk, 1977). 8
Gambar 2.3. Kolom Stratigrafi Pegunungan Selatan Bagian Barat (Bronto dan
Hartono ,2001) 8
Gambar 2.4. Kolom Stratigrafi Lembar Magelang (Sutisna,dkk 2006) 10
Gambar 3.1. Konfigurasi Elektroda Geolistrik dan Faktor Geometrinya
(Loke, 1999) 17
Gambar 3.2. Rangkaian listrik yang terdiri dari baterai dan resistor, karena
resistor menghambat aliran arus , ada perubahan dalam potensial (
V ) di
resistor yang sebanding dengan arus ( i ) dan resistansi ( r )
(Robinson et al, 1988). 19
Gambar 3.3. Resistor listrik yang terbuat dari balok. Arus listrik (i) yang
menjalar di sepanjang rangkaian besarnya berbanding lurus
dengan resistansi dari balok tersebut (Robinson et al, 1988). 20
Gambar 3.4. Penjalaran arus tunggal pada medium homogen isotrop
( Telford et .al,1990) 22
Gambar 3.5. Sumber titik arus berada di permukaan pada medium homogeny
(Telford et .al,1990) 22
Gambar 3.6. Dua elektoda arus dan elektroda potensial di permukaan tanah
homogen isotrop (Telford et.al.,1990). 24
Gambar 3.7. Rangkaian elektroda Konfigurasi Wenner Schlumberger (Loke,
1990) 25
Gambar 3.8. Ilustrasi Metode Kontur (Rauf, 1998) 27
Gambar 3.9. Penentuan Luas Dengan Angka – Angka Koordinat
(Rauf, 1998) 28
Gambar 3.10. Penampang Endapan Mean Area (Rauf, 1998) 29
Gambar 3.11. Penampang Endapan Bebentuk Frustum (Rauf, 1998) 29

xiii
Gambar 3.12. (a) Proses pemodelan ke depan (forward modeling) untuk
menghitung respon (data teoritik atau data perhitungan) dari
suatu model tertentu (Grandis, 2009) 32
Gambar 3.13. (b) Teknik pemodelan dengan cara mencoba – coba dan
memodifikasi parameter model hingga diperoleh kecocokan
antara data perhitungan dan data lapangan (Grandis, 2009) 32
Gambar 4.1 Desain Survei Penelitian 34
Gambar 4.4. Diagram Alir Pengolahan Data 35
Gambar 5.1. Penampang Lintasan Inline 1 38
Gambar 5.2. Penampang Lintasan Inline 2 39
Gambar 5.3. Penampang Lintasan Inline 3 40
Gambar 5.4. Penampang Lintasan Inline 4 41
Gambar 5.5. Penampang Lintasan Inline 5 42
Gambar 5.6. Penampang Lintasan Inline 6 43
Gambar 5.7. Penampang Lintasan Cross 1 44
Gambar 5.8. Penampang Lintasan Cross 2 45
Gambar 5.9. Penampang Lintasan Cross 3 46
Gambar 5.10. Penampang Lintasan Cross 4 47
Gambar 5.11. Penampang Lintasan Cross 5 48
Gambar 5.12. Penampang Lintasan Cross 6 49
Gambar 5.13. Pemodelan Rockwork 3D Slice 794 m 50
Gambar 5.14. Pemodelan Rockwork 3D Slice 799 m 51
Gambar 5.15. Pemodelan Rockwork 3D Slice 804 m 52
Gambar 5.16. Pemodelan Rockwork 3D Slice 809 m 53
Gambar 5.17. Pemodelan Rockwork 3D Slice 814 m 54
Gambar 5.18. Pemodelan 3D Endapan Pasir 1 55
Gambar 5.19. Pemodelan 3D Endapan Pasir 2 56

xiv
DAFTAR TABEL

Tabel 3.5. Tabel Nilai Densitas Material Bumi (Telford, dkk, 1976) 31
Tabel 4.1. Tabel Nilai Resistivitas Material Bumi (Telford, dkk, 1990) 48

xv
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Indonesia adalah negara berkembang, pada tahun 2014 Pemerintah telah
membentuk Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) untuk
memimpin koordinasi percepatan infrastruktur prioritas dan mendorong
peningkatan kualitas penyiapan proyek melalui panduan OBC (Outline Bussines
Case). Pasir merupakan bahan bangunan yang sangat penting dipergunakan
dalam kegiatan infrasuktur pembangunan. Pasir dapat digolongkan menjadi tiga
kategori utama: (1) pasir terigen (terrigeneous sand); (2) pasir karbonat (carbonate
sand); dan (3) pasir piroklastik (pyroclastic sand). Pasir vulkaniklastik dapat
berupa pasir piroklastik maupun pasir terigen (jika berasal dari volcanic terrane)
(Pettijohn, F.J., Potter, P.E. & Siever, R., 1987).
Geolistrik adalah salah satu metode geofisika yang memanfaatkan sifat-
sifat kelistrikan untuk mengidentifikasi lapisan-lapisan bawah permukaan dan
cara mengetahuinya dari permukaan bumi. Selanjutnya Loke (1999)
mengungkapkan bahwa survey geolistrik metoda resistivitas mapping dan
sounding menghasilkan informasi perubahan variasi harga resistivitas baik arah
lateral maupun arah vertikal. Prinsip metode geolistrik tahanan jenis yaitu arus
diinjeksikan ke dalam bumi melalui dua buah elektroda arus, kemudian beda
potensial yang terjadi diukur melalui dua buah elektroda potensial di permukaan
bumi. Dari hasil pengukuran arus dan beda potensial untuk setiap jarak elektroda
tertentu, dapat ditentukan variasi harga hambatan jenis masing-masing lapisan di
bawah titik ukur (Broto dan Afifah, 2008).
Konfigurasi yang dipakai dalam penelitian ini menggunakan wenner
schlumberger dikarenakan dalam konfigurasi ini kesensitifannya baik untuk
vertikal maupun horizontal, karna target penelitian ialah endapan pasir yang
berada pada daerah dengan sistem pengendapan turbulen maka konfigurasi ini
sangat cocok untuk penelitian ini. Dalam penelitian ini diolah menggunakan
software Res2Dinv untuk mengedintifikasi variasi litologi dan rockworks untuk
mengidentifikasi arah persebaran juga cadangan endapan pasir pada daerah
penelitian. Pentingnya dilakukan penelitian ini adalah untuk mengestimasi
cadangan endapan pasir yang hasilnya akan berpotensi untuk menentukan
eksploitasi lebih lanjut endapan pasir tersebut pada daerah penelitian.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang penelitian yang akan dilaksanakan, maka
didapat beberapa poin utama masalah yang akan diteliti yaitu:
1. Bagaimana cara mengetahui keberadaan endapan pasir ?
2. Bagaimana cara mengetahui cadangan endapan pasir pada daerah
penelitian dan persebarannya?

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian


Maksud penelitian ini adalah untuk mengaplikasikan metode geolistrik
resistivitas konfigurasi wenner schlumberger untuk mengetahui keberadaan,
persebaran dan cadangan endapan pasir pada daerah penelitian.
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:
1. Menganalisa nilai resistivitas dengan mengolah menggunakan software
Res2Dinv untuk menghasilkan penampang 2D inversi untuk
mengetahui keberadaan endapan pasir di daerah penelitian beserta
litologi lainnya.
2. Melakukan pengolahan menggunakan software rockworks15 untuk
menghasilkan pemodelan 3D serta dapat menganalisa persebaran
variasi endapan pasir yang terdapat pada daerah penelitian dan
menganalisa perhitungan cadangan agar mengetahui cadangan endapan
pasir yang terdapat pada daerah penelitian.

1.4 Batasan Masalah


Masalah akan dibatasi pada hal-hal yang berkenaan dengan penelitian,
yaitu :
1. Peneletian ini berfokus pada metode geolistrik resistivias dengan
konfigurasi wenner schlumberger.
2. Pemodelan yang dilakukan berupa pemodelan 2D and pemodelan 3D

2
3. Daerah penelitian berada pada daerah Srumbung, Magelang, Jawa
Tengah

1.5 Lokasi penelitian


Lokasi Penelitian penelitian berada pada daerah Srumbung, Magelang,
Jawa Tengah. Lokasi penelitian terletak di daerah Kokap, Kulonprogo. ( Gambar
1.1 )

Gambar 1.1 Peta Lokasi Penelitian

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Geologi Regional

Secara umum, fisiografi Jawa Tengah bagian selatan-timur yang meliputi


kawasan Gunungapi Merapi, Yogyakarta, Surakarta dan Pegunungan Selatan
dapat dibagi menjadi dua zona, yaitu Zona Solo dan Zona Pegunungan Selatan
(Bemmelen, 1949). Zona Solo merupakan bagian dari Zona Depresi Tengah
(Central Depression Zone) Pulau Jawa. Zona ini ditempati oleh kerucut G. Merapi
(± 2.968 m). Kaki selatan-timur gunungapi tersebut merupakan dataran
Yogyakarta-Surakarta ( ± 100 m sampai 150 m) yang tersusun oleh endapan
aluvium asal G. Merapi. Di sebelah barat Zona Pegunungan Selatan, dataran
Yogyakarta menerus hingga pantai selatan Pulau Jawa, yang melebar dari pantai
Parangtritis hingga sungai Progo. Aliran sungai utama di bagian barat adalah
sungai Progo dan Sungai Opak, sedangkan di sebelah timur ialah sungai
Dengkeng yang merupakan anak sungai Bengawan Solo (Bronto dan Hartono,
2001).
Daerah Yogyakarta sendiri terletak pada ketinggian 0 – 2900 m diatas
permukaan laut dan dikelilingi oleh dataran tinggi yaitu pegunungan seribu
sebelah tenggara, penggunungan menoreh disebelah barat daya dan Gunung
Merapi sebelah utara. Struktur geologi yang terdapat diyogyakarta yaitu lipatan
dan sesar. Perlipatan dan pensesaran telah diteliti oleh Van Bemmelen (1949).
Sesar utama yaitu sesar opak yang berarah relative timur – laut dan barat – daya
sepanjang kali opak dan memanjang melewati Yogyakarta, Bantul hingga ke laut
selatan (Budianta, 2000 dalam Faisal 2008) dan terdapat sesar yang berpasangan
yang juga memotong kaki Merapi dan membentuk graben Bantul dan Yogyakarta.
Sesar-sesar ini diperkirakan aktif hingga pliosen akhir dan mungkin hingga
kuarter, dimana proses sedimentasi yang terjadi juga sangat cepat oleh aktifitas
Gunung Merapi yang masih aktif hingga kini.

4
Menurut Van bemmelen (1949), berdasarkan sifat fisiografinya, secara
garis besar daerah Jawa Tengah dibagi menjadi enam bagian, yaitu :
1. Endapan Vulkanik Kuarter,
2. Dataran Aluvium Jawa Utara,
3. Antiklinorium Bogor, Rangkaian Pegunungan Serayu Utara serta Kendeng,
4. Zona Pusat Depresi Jawa Tengah,
5. Kubah dan Pegunungan Pusat Depresi,
Rangkaian Pegunungan Serayu Selatan,
6. Pegunungan Selatan Jawa Barat dan Jawa Timur.

Menurutnya, pegunungan di Jawa Tengah terbentuk oleh 2 puncak


geantiklin yaitu Pegunungan Serayu Utara dan Pegunungan Serayu Selatan.
Pegunungan Serayu Utara merupakan garis penghubung antara Zona Bogor di
Jawa Barat dengan Pegunungan Kendeng di Jawa Timur. Sedangkan Pegunungan
Serayu Selatan merupakan elemen yang muncul dari Zona Depresi Bandung yang
membujur secara longitudinal di Jawa Barat dan terdiri atas bagian barat dan
timur, yang keduanya dipisahkan oleh Lembah Jatilawang yang termasuk kedalam
Zona Pusat Depresi Jawa Tengah dan bagian baratnya merupakan tinggian di
dalam Zona Bandung di Jawa Tengah. Pegunungan ini merupakan antiklin yang
sederhana dan sempit di bagian barat, yaitu di sekitar Ajibarang. Sedangkan di
bagian timur Banyumas berkembang antiklinorium dengan lebar mencapai 30
kilometer yaitu di sekitar Lok Ulo. Bagian timur Pegunungan Serayu Selatan ini
merupakan struktur dome sedangkan dekat Jatilawang terdapat suatu antiklin yang
terpotong oleh Sungai Serayu.
Antara Pegunungan Serayu Selatan dan Pegunungan Serayu Utara terdapat
Zona Depresi Serayu, atau lebih dikenal dengan sebutan Zona Depresi Jawa
Tengah. Depresi Jawa Tengah ini memanjang dari Majenang – Ajibarang –
Purwokerto – Jatilawang dan Wonosbo. Di antara Purwokerto dan Banjarnegara,
lebar dari zona ini sekitar 15 kilometer, tetapi di sebelah timur Wonosobo semakin
meluas dan secara setempat-setempat ditutupi oleh gunungapi muda, di antaranya
G. Sundoro (3155 m) dan G. Sumbing (3317 m) dan ke arah timur Zona Depresi
Jawa Tengah ini muncul kembali, yaitu di sekitar Datar Temanggung, Magelang.

5
Sedangkan Pulau Nusakambangan merupakan kelanjutan Pegunungan
Serayu Selatan yang terbentang luas di Jawa Barat. Pegunungan Karangbolong
merupakan bagian dari lajur yang sama, tetapi terpisah baik dari yang terdapat di
Jawa Barat maupun yang terbentang dari selatan Yogyakarta ke timur.
Berdasarkan pembagian tersebut, daerah penelitian termasuk ke dalam
Zona Pegunungan Serayu Utara (gambar 2.1), dan secara struktur termasuk ke
dalam Besuki Majenang High. Secara regional, Zona Pegunungan Serayu Utara
mempunyai relief yang agak menonjol membentuk jalur Pegunungan Slamet, dan
menuju ke arah selatan semakin melandai membentuk Cekungan Serayu.

Lokasi Penelitian

Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Tengah (Van Bemmelan, 1970)

2.2 Geologi Lokal


Secara umum geologi lokal daerah Sleman didominasi secara keselurahan
oleh endapan merapi muda. merapi merupakan salah satu gunung teraktif dengan
ditandai besarnya frekuensi aktivitas berupa semburan material vulkanik. Merapi
yang saat ini merupakan bagian dari merapi muda, di mana mempunyai rentang
umur dari 2000 tahun lalu hingga sekarang. Aktivitas Merapi muda ini terdiri dari
aliran basalt dan andesit, awan panas serta letusan magmatik. Letusan terkadang
tidak begitu eksplosif, namun sering kali diikuti oleh aliran piroklastik pada
letusannya (Ratdomopurbo dan Andreastuti, 2000).

6
Material piroklastik yang dihasilkan oleh Gunung Merapi terdiri dari
berbagai macam jenis yaitu blok yang berukuran besar, tephra yang berukuran
lapili dan debu. Aktivitas Gunung Merapi memberikan efek tumpahan material
yang bersifat eksplosif di mana material piroklastik yang tertumpah dengan segala
macam ukuran akan terdistribusi di sekitar Gunung Merapi. Materi Vulkanik
tersebut akan tersebar secara geografis dengan dipengaruhi bentukan gunung api
yang memberikan jalur alir serta komposisi materi itu sendiri (Ratdomopurbo dan
Andreastuti, 2000).
Arah aliran piroklastik Gununng Merapi itu sendiri sering dipengaruhi
oleh beberapa faktor yakni kerucut puncak Gunung Merapi yang berbentuk seperti
tapal kuda. Arah bukaannya mengarah Barat sampai Barat – Daya sehingga arah
alirannya selalu melalui sungai Bebeng dan sungai Senowo. Hasil material
vulkanik pada waktu lampau juga mengarah ke Barat – Barat – Daya yang
ditandai oleh gundukan endapan Gunung merapi di danau Borobudur pada abad
XII – XIII (Newhall et all, 2000). Sedangkan bagian Timur merupakan bagian
dari struktur merapi tua yang jarang terkena dampak aliran piroklastik letusan
Gunung Merapi. Material Gunung Merapi yang berukuran lapili dan debu akan
mudah tersebar dalam jarak yang relatif jauh oleh bantuan angin sedangkan
material yang berukuran blok yang hanya mengandalkan gaya gravitasi dan aliran
sungai, sehingga endapan lahar dan boulder akan ditemui pada jarak terdekat dari
Gunung Merapi sekitar 20 Km (Kusumaningsih, 2004).

7
Gambar 2.3 Peta geologi daerah Yogyakarta. (Rahardjo, dkk, 1977).

2.3 Stratigrafi Regional Yogyakarta


Stratigrafi dalam arti luas adalah ilmu yang membahas aturan, hubungan dan
kejadian (genesa) macam-macam batuan di alam dalam ruang dan waktu
sedangkan dalam arti sempit ialah ilmu pemerian lapisan-lapisan batuan (Menurut
Sandi Stratigrafi, 1996).

Gambar 2.4 Legenda stratigrafi geologi Yogyakarta dan sekitarnya (Harjanto, 2011)

8
Pada wilayah daerah Kulon progo ini secara regional dan meluas
mempunyai pembagian stratigrafi yang ditunjukkan pada Gambar 2.2 Menurut
berbagai parameter literatur mengenai urutan Strata Satuan Batuan tiap umur
geologi dan pengendapannya, menurut Sujanto, Ruskamil (1975) daerah Kulon
Progo merupakan tinggian yang dibatasi oleh tinggian dan rendahan Kebumen di
bagian barat dan Yogyakarta dibagian timur, yang didasarkan pada
pembagian tektofisiografi wilayah Jawa Tengah bagian selatan. Mencirikan
tinggian Kulon Progo yaitu banyaknya gunung api purba yang muncul di atas
batuan paleogen, dan ditutupi oleh batuan karbonat dan napal yang
berumur neogen. Stratigrafi Pegunungan Kulon Progo sudah ditinjau berdasarkan
literatur dan hasil penelitian yang telah dijadikan parameter menurut Van
Bemmmelen (1949, hal.598) dan Rahardjo,dkk.(1977) dan menurut beberapa ahli.
Stratigrafi regional Kulon Progo tersusun oleh formasi-formasi batuan yang
diurutkan dari tua ke muda, yaitu sebagai berikut :

1. Formasi Nanggulan
Formasi Nanggulan memiliki ketebalan kurang lebih 300 meter
dan berumur Eosen tengah sampai Oligosen akhir. Formasi ini tersebar
pada Kecamatan Nanggulan yang memiliki morfologi berupa perbukitan
bergelombang rendah hingga menengah. Formasi ini tersusun oleh
batupasir yang bersisipan lignit, napal pasiran, batu lempung, sisipan napal
dan batugamping, batupasir dan tuff. Bagian bawah formasi ini tersusun
oleh endapan laut dangkal berupa batupasir, serpih, dan lignit pada
perselingannya. Sedangkan bagian atas dari formasi ini tersusun atas
batuan napal, batupasir gampingan, dan tuff yang menunjukkan wilayah
endapan laut neritik. Formasi Nanggulan dibagi menjadi 3 bagian menurut
Marks 1957, hal.101) dan berdasarkan beberapa studi yang dilakukan oleh
Martin (1915), Douville (1912), Oppernorth & Gerth (1928)
o Axinea Beds
Bagian ini merupakan bagian yang paling bawah dari formasi
Nanggulan. Dan merupakan endapan laut dangkal dengan ketebalan 40

9
meter dan tersusun oleh batupasir dengan interkalasi lignit lalu diatasnya
terdiri dari batupasir dengan kandungan fosil Pelecypoda.
o Yogyakarta Beds (Djogjakartae Beds)
Yogyakarta Beds merupakan formasi yang terbentuk di atas
Axinea Beds. Formasi ini banyak tersusun oleh napal pasiran berselingan
dengan batupasir dan batu lempung yang banyak mengandung
Foraminifera besar dan Gastropoda , fosil yang khas yaitu Nummulites
djogjakartae. Formasi ini memiliki ketebalan 60 meter.
o Discocyclina Beds
Formasi ini terendapkan di atas Yogyakarta Beds dengan ketebalan
200 meter dan tersusun atas napal, batugamping, dan batupasir serta serpih
sebagai perselingannya, dan arkose yang berjumlah semakin banyak ke
bagian atas formasi ini. Pada formasi ini dapat dijumpai Discocyclina
omphalus sebagai fosil pencirinya.
2. Formasi Kebo Butak
Formasi ini secara umum terdiri dari konglomerat, batupasir, dan
batulempung yang menunjukkan kenampakan pengendapan arus turbid
maupun pengendapan gaya berat yang lain. Di bagian bawah oleh Bothe (
disebut sebagai anggota Kebo (Kebo beds) yang tersusun antara batupasir,
batulanau, dan batulempung yang khas menunjukkan struktur turbidit
dengan perselingan batupasir konglomeratan yang mengandung klastika
lempung. Bagian bawah anggota ini diterobos oleh sill batuan beku.
Bagian atas dari formasi ini termasuk anggota Butak yang tersusun oleh
perulangan batupasir konglomeratan yang bergradasi menjadi lempung
atau lanau. Ketebalan rata-rata formasi ini kurang lebih 800 meter. Urutan
yang membentuk Formasi Kebo – Butak ini ditafsirkan terbentuk pada
lingkungan lower submarine fan dengan beberapa intrusi pengendapan
tipe mid fan yang terbentuk pada Oligosen Akhir.
3. Formasi Andesit Tua (Old Andestie Formation or OAF)
Formasi ini berumur Oligosen akhir hingga Miosen awal yang
diketahui dari fosil plankton yang terdapat pada bagian bawah formasi ini.
OAF tersusun atas breksi andesit, tuff, tuff lapili, aglomerat, dan sisipan

10
aliran lava andesit. Formasi Andesit Tua ini memiliki ketebalan mencapai
500 meter dan mempunyai kedudukan yang tidak selaras di atas formasi
Nanggulan. Batuan penyusun formasi ini berasal dari beberapa gunung api
tua di daerah Pegunungan Kulon Progo yang oleh Van Bemmelen (1949)
disebut sebagai Gunung Api Andesit Tua. Gunung api yang dimaksud
adalah Gunung Gajah, di bagian tengah pegunungan, Gunung Ijo di bagian
selatan, serta Gunung Menoreh di bagian utara Pegunungan Kulon Progo.
Pada Formasi Andesit Tua dibagi lagi menurut pembagian lingkungan
pengendapan, yaitu pada lingkungan pengendapan hasil aktivitas
vulkanisme gunung api purba, dan pada lingkungan pengendapan
sedimentasi. Pembagian sub formasi ini berdasarkan penelitian Dosen ITB
yaitu Bpk Wartono Rahardjo. Beliau membagi menjadi dua yaitu :
- Sub Formasi Kaligesing
Pada sub formasi ini disusun oleh material-material hasil aktivitas
vulkanisme gunung api purba yang berumur Oligosen Akhir-Miosen
Awal. Ditunjukkan dengan adanya singkapan batuan Breksi Polimik,
sisipan batu pasir dan lava andesite.
- Sub Formasi Dukuh
Pada sub formasi ini disusun oleh material-material hasil letusan
gunung api dan batuan hasil romabakan yang mengalami transportasi dan
terendapkan disuatu cekungan. Ditunjukkan dengan adanya singkapan
batuan Batu pasir dan Batu gamping.
4. Formasi Jonggrangan
Litologi dari Formasi Jonggrangan ini tersingkap baik di sekitar
desa Jonggrangan, suatu desa yang ketinggiannya di atas 700 meter dari
muka air laut dan disebut sebagai Plato Jonggrangan. Formasi ini berumur
Miosen awal hingga Miosen tengah dengan ketebalan 250 meter dan
diendapkan pada laut dangkal. Bagian bawah dari formasi ini terdiri dari
Konglomerat yang ditumpangi oleh Batunapal tufan dan Batupasir
gampingan dengan sisipan Lignit. Batuan ini semakin ke atas berubah
menjadi Batugamping koral (Wartono rahardjo, dkk, 1977). Formasi
Jonggrangan ini terletak secara tidak selaras di atas Formasi Andesit Tua.

11
Ketebalan dari Formasi Jonggrangan ini mencapai sekitar 250 meter (Van
Bemmelen, 1949, hal.598), (vide van Bemmelen, 1949, hal.598)
menyebutkan bahwa Formasi Jonggrangan dan Formasi Sentolo keduanya
merupakan Formasi Kulon Progo (“Westopo Beds”).
5. Formasi Sentolo
Formasi ini terletak di bagian tenggara pegunungan Kulon Progo
dengan morfologi perbukitan bergelombang rendah hingga tinggi. Bagian
bawah formasi ini tersusun atas konglomerat yang ditumpangi batupasir
gampingan, napal tufan dan sisipan tuf kaca. Semakin ke atas berubah
menjadi Batugamping berlapis dengan fasies Neritik. Batugamping koral
dijumpai secara lokal, menunjukkan umur yang sama dengan formasi
Jonggrangan, tetapi di beberapa tempat umur Formasi Sentolo adalah lebih
muda (Harsono Pringgoprawiro, 1968, hal.9). Menurut Harsono
Pringgoprawiro (1968) umur Formasi Sentolo ini berdasarkan penelitian
terhadap fosil Foraminifera Plantonik, adalah berkisar antara Miosen Awal
sampai Pliosen (zona N7 hingga N21). Formasi Sentolo ini mempunyai
ketebalan sekitar 950 meter ( Wartono Rahardjo, dkk, 1977).
6. Alluvium (Endapan Alluvial)
Alluvium terdiri atas endapan-endapan kerakal, pasir, lanau, dan
lempung sepanjang sungai yang besar dan dataran pantai. Alluvium sungai
berdampingan dengan alluvium rombakan bahan vulkanik gunung api.

2.3.1 Endapan Permukaan


Endapan permukaan ini sebagai hasil dari rombakan batuan yang lebih tua
yang terbentuk pada Kala Plistosen hingga masa kini. Terdiri dari bahan lepas
sampai padu lemah, berbutir lempung hingga kerakal. Surono dkk. (1992)
membagi endapan ini menjadi Formasi Baturetno (Qb), Aluvium Tua (Qt) dan
Aluvium (Qa). Sumber bahan rombakan berasal dari batuan Pra-Tersier
Perbukitan Jiwo, batuan Tersier Pegunungan Selatan dan batuan G. Merapi.
Endapan aluvium ini membentuk Dataran Yogyakarta-Surakarta dan dataran di
sekeliling Bayat. Satuan Lempung Hitam, secara tidak selaras menutupi satuan di
bawahnya. Tersusun oleh litologi lempung hitam, konglomerat, dan pasir, dengan

12
ketebalan satuan ± 10 m. Penyebarannya dari Ngawen, Semin, sampai Selatan
Wonogiri. Di Baturetno, satuan ini menunjukan ciri endapan danau, pada Kala
Pleistosen. Ciri lain yaitu: terdapat secara setempat laterit (warna merah
kecoklatan) merupakan endapan terarosa, yang umumnya menempati uvala pada
morfologi karst.

2.4 Kolom Stratigrafi Magelang


Kegiatan tektonik pada daerah penelitian dimulai pada Tersier awal yang
ditandai oleh pengangkatan dan erosi. Hasil erosi ini membentuk sedimen turbidit
Formasi Kerek di lingkungan neritik, yang selanjutnya diikuti oleh pengendapan
Formasi Kalibeng di lingkungan transisi sampai batial. Selanjutnya kegiatan
tektonik Plio-Plistosen mengaktifkan kembali hasil pecenanggaan tersier awal dan
membentuk lipatan-lipatan tak setangkup yang diikuti oleh sesar naik berarah
relatif Barat-Timur, sesar geser yang berarah Timurlaut-Baratdaya dan Baratlaut-
Tenggara, serta sesar normal. Rekahan- rekahan yang terjadi merupakan bidang
lemah tempat munculnya batuangunungapi kuarter muda ke permukaan. Kolom
stratigrafi daerah penelitianpada lembar Magelang, Semarang dapat dilihat pada
Gambar 2.5.

Daerah penelitan

Gambar 2.4 Kolom stratigrafi lembar Magelang (Sutisna dkk, 2006)

13
2.4.1 Batuan Dasar
Secara umum formasi dan jenis batuan yang menyusun Gunungapi Merapi
di bagian utara didasari oleh batuan vulkanik Merapi Tua berumur Pleistosen
Atas, di bagian timur didasari oleh batuan Tersier Formasi Nglanggran dan
Semilir, serta batuan Tersier Formasi Sentolo di bagian barat maupun selatan.
Menurut Bemmelen (1949) di Formasi Sentolo memiliki tipe facies neritik. Pada
batugamping dijumpai kandungan fosil-fosil foraminifera. Formasi Sentolo
berumur Miosen Tengah. Formasi ini tersusun atas batugamping (limestone) dan
batupasir napalan (marly sandstone). Di bagian selatan juga terdapat Formasi
Endapan Gunungapi Merapi Muda yang berumur Kuarter dan terdiri dari material
lepas sebagai hasil kegiatan letusan Gunungapi Merapi. Endapan Gunungapi
Merapi Muda batuannya berupa tuf, abu, breksi, aglomerat, dan lelehan lava tak
terpilahkan. Hasil pelapukan pada lereng kaki bagian bawah membentuk dataran
yang meluas di sebelah selatan, terutama terdiri dari rombakan vulkanik yang
terangkut kembali oleh alur-alur yang berasal dari lereng atas.

2.4.2 Formasi Damar


Batu pasir tufan, konglomerat, breksi vulkanik, batupasir mengandung
mineral mafik, felspar dan kuarsa. Breksi vulkanik mungkin diendapkan sebagai
lahar. Formasi ini sebagian non-marin, dan tersingkap di sekitar sungai Damar dan
di bagian Baratlaut daerah penelitian.

2.4.3 Formasi Kaligetas

Breksi vulkanik, aliran lava, tuf, batupasir tufan dan batulempung. Breksi
aliran & lahar dengan sisipan lava dan tuf halus sampai kasar. Dibagian bawahnya
ditemukan batulempung mengandung moluska dan batupasir tufan. Batuan
gunungapi yang melapuk berwarna cokelat kemerahan dan seiring membentuk
bongkah-bongkah besar. Ketebalan berkisar antara 50 m sampai 200 m.

14
2.4.4 Formasi Payung
Lahar, batulempung, breksi dan tuf. Batulempung mengandung sisa-sisa
tumbuhan, batupasir tufan dan konglomerat. Ketebalan formasi ini mencapai
200m.

2.4.5 Formasi Penyatan


Batupasir, breksi, tuf, batulempung dan aliran-aliran lava. Batupasir tufan
dan breksi vulkanik (aliran dan lahar) nampak dominan. Ditemukan aliran lava,
batulempung marin dan napal. Formasi ini mempunyai ketebalan lebih dari 1000
m dan menunjukkan umur Miosen Tengah Plistosen.

2.5 Penelitian terdahulu

1. Telah dilakukan penelitian karateristik dan mekanisme aliran endapan


lahar sungai Apu, desa Tlogolele, kecamatan Selo, kabupaten Boyolali,
provinsi Jawa Tengah. Penelitian dilakukan oleh Fatih pada tahun 2015,
jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada.
Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah untuk
karakteristik endapan lahar melalui studi stratigrafi dan sedimentologi
(granulometri) dan mekanisme aliran lahar melalui studi stratigrafi,
sedimentologi (karakter butir), dan petrografi. Berdasarkan pengutaraan
data dan pembahasan, penelitian ini menghasilkan kesimpulan sebagai
berikut (1) Karakteristik endapan lahar pada Sungai Apu, Desa Tlogolele,
Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah adalah
endapan lahar masif tersortasi buruk, endapan lahar gradasi normal
tersortasi buruk, endapan lahar gradasi normal laminasi bagian atas
tersortasi buruk - sedang dan endapan lahar gradasi normal laminasi
bagian atas tersortasi sedang. (2) Mekanisme aliran lahar pada Sungai
Apu, Desa Tlogolele, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa
Tengah melalui mekanisme aliran debris yang kental dengan sifat laminar,
tranformasi aliran debris menuju hiperkonsentrat dengan sifar turbulen dan
laminar, dan aliran hiperkonsentrat yang lebih encer dengan sifat turbulen.
Endapan lahar terendapkan dengan kecepatan rendah hingga tinggi dan

15
terendapkan masih pada daerah hulu. Endapan lahar sebagian besar hasil
rombakan dari material erupsi Gunung Merapi hasil runtuhan kubah lava
dan adanya indikasi erupsi ekplosif.

2. Penelitian yang dilakukan oleh wahyuni Dilatanti tentang Studi Sebaran


mineral Menggunakan Metode Geolistrik Konfigurasi Wenner
Schlumberger di Kecamatan Pujanangting, Kabupaten Barru. Berdasarkan
hasil penelitian yang telah dilakukan di Desa Pattappa, Kecamatan
Pujananting, Kabupaten Barru menggunakan metode geolistrik konfigurasi
Wenner-Schlumberger. Dari hasil interpretasi maka dapat disimpulkan
bahwa sebaran mineral pada lintasan 1 adalah mineral kuarsa, clay,
batubara, kuarsa, dan kalsit dengan nilai resistivitas 0,74 – 4274 Ωm pada
kedalaman 1, 8 m – 15,3 m. Sebaran mineral pada lintasan 2 adalah
mineral kuarsa, clay, batubara, kuarsa, dan kalsit dengan nilai resistivitas
0,54 Ωm – 2515,7 Ωm pada kedalaman 1,8 m – 15,2 m. Sebaran mineral
pada lintasan 3 adalah lanau dengan sisipan kuarsa, clay, batubara, kuarsa,
dan kalsit dengan nilai resistivitas 0,22 Ωm – 487,67 Ωm pada kedalaman
1,9 m – 15,2 m. Serta sebaran mineral pada lintasan 4 adalah mineral
kuarsa, clay, kuarsa, dan kalsit dengan nilai resistivitas 1,12 Ωm – 810 Ωm
pada kedalaman 0,07 m – 15,6 m.

Gambar 2.5 Hasil aplikasi Software Res2Dinv

16
3. Penelitian berjudul Kuantifikasi Geolistrik Endapan Pasir di Ogan, Edo,
Nigeria Untuk Material Bangunan. Penelitian ini dilakukan oleh Egbai,
J.C, Iserhien-Emekeme, R., dan Efeya ,p. Penelitian dari jurusan fisika,
Delta State University, Abraka, Nigeria ini di lakukan pada tahun 2015
dan diterbitkan oleh Journal Enviroment and Earth Science. Penelitian ini
berisi tentang Survei geolistrik resistivitas menggunakan konfigurasi
elektroda Schlumberger dilakukan di Ogan, Daerah Orhionwon dari Edo,
Nigeria. Survei ini bertujuan untuk menyelidiki endapan pasir bangunan di
dalam masyarakat. Sebelas titik sounding listrik vertikal (VES) dilakukan
dalam survei. Data yang didapat dari lapangan dianalisis menggunakan
teknik pencocokan kurva dan iterasi konvensional di mana parameter
beserta kurva model diperoleh. Parameter geolistrik dan delineasi litholgic
di Ogan terdiri dari enam lapisan yang terdiri dari humus laterit, pasir
lempung, pasir medium halus, pasir sedang, pasir sedang hingga kasar dan
kasar. Hasilnya menunjukkan bahwa dari lapisan ketiga hingga kelima
terdiri

17
BAB III
DASAR TEORI

3.1 Geolistrik
Geolistrik ialah suatu metode dalam geofisika yang mempelajari sifat
aliran listrik di dalam bumi dan cara mendeteksinya di permukaan bumi.
Pendeteksian ini meliputi pengukuran beda potensial, arus, dan elektromagnetik
yang terjadi secara alamiah maupun akibat penginjeksian arus ke dalam bumi
(Kanata, dkk, 2008).
Berdasarkan pada tujuan penyelidikan, metode resistivitas dibedakan
menjadi dua yaitu mapping dan sounding. Metode geolistrik resistivitas mapping
merupakan metode resistivitas yang bertujuan mempelajari variasi resistivitas
lapisan bawah permukaan secara horisontal. Oleh karena itu, pada metode ini
digunakan jarak spasi elektroda yang tetap untuk semua titik datum di permukaan
bumi. Sedangkan metode resistivitas sounding bertujuan untuk mempelajari
variasi resistivitas lapisan bawah permukaan bumi secara vertikal. Pada metode
ini pengukuran pada satu titik ukur dilakukan dengan cara mengubah-ubah jarak
elektroda. Pengubahan jarak elektroda tidak dilakukan secara sembarang, tetapi
mulai jarak elektroda kecil kemudian membesar secara gradual (Telford, 1976).
Pada umumnya metode geolistrik dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Geolistrik yang bersifat pasif
Geolistrik dimana energi yang dibutuhkan telah ada terlebih dahulu secara
alamiah sehingga tidak diperlukan adanya injeksi/pemasukan arus terlebih dahulu.
Geolistrik jenis ini disebut Self Potential (SP).
2. Geolistrik yang bersifat aktif
Geolistrik dimana energi yang dibutuhkan ada, akibat penginjeksian arus ke
dalam bumi terlebih dahulu oleh elektroda arus. Geolistrik jenis ini ada dua
metode, yaitu metode Resistivitas (Resistivity) dan Polarisasi Terimbas (Induce
Polarization).
Sifat kelistrikan batuan di bawah permukaan dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu:
a. Kandungan mineral logam

18
b. Kandungan mineral non-logam
c. Kandungan elektrolit padat
d. Kandungan air garam
e. Tekstur batuan
f. Porositas dan permeabilitas batuan
g. Temperatur
Studi mengenai geolistrik dapat dipahami sebagai proses penjalaran arus
listrik melalui medium di bawah permukaan yang terdiri dari lapisan batuan
dengan nilai resistivitas yang berbeda dengan menganggap bumi homogen
isotropi. Aplikasi metode geolistrik ini dapat berupa grafik, peta resistivitas
maupun beda potensial, serta penampang 2D dan 3D.

3.2 Metode Resistivitas


Resistivitas yakni merupakan kemampuan dari suatu medium untuk
menghambat aliran arus listrik tergantung dari jenis medium yang digunakan
untuk teraliri arus listrik. Hal ini dirumuskan dalam hukum Ohm dengan
persamaan sebagai berikut:
(3.1)

Keterangan:
ρ : Hambatan jenis (Ω.m)
V : Potensial listrik (V)
I : Arus listrik (A)
A : Luas penampang (m2)
L : Panjang silinder (m)
Besaran nilai resistivitas digunakan untuk mengetahui profil bawah
permukaan dengan mengasumsikan bahwa litologi yang terdapat dibawah
permukaan bumi memiliki nilai yang berbeda-beda. Yang mana setiap litologi
mempunyai sifat kelistrikan sendiri tergantung dari komposisi mineral logam
yang terkandung pada litologi, permeabilitas, kandungan air, temperatur,
porositas, kandungan elektrolit padat dan juga tekstur dari litogi dibawah
permukaan bumi.

19
3.3 Resistivitas Semu
Dasar dari metode geolistrik adalah asumsi yang menyatakan bahwa bumi
dianggap sebagai medium yang homogen isotropis atau dengan kata lain memiliki
komposisi dan fisik yang sama. Resistivitas yang terukur merupakan resistivitas
sebenarnya (true resistivity) dan tidak tergantung pada spasi elektroda. Pada
kenyataannya bumi tidaklah homogen tetapi heterogen yang terdiri atas lapisan-
lapisan dengan variasi komposisi dan fisik yang berbeda-beda. Heterogenitas ini
lah yang mengasumsikan bahwa nilai resistivitas yang terukur merupakan nilai
resistivitas semu (apparent resistivity) yang tergantung pada jarak spasi
elektrodanya. Maka besaran resistivitas yang terukur bukan besaran resistivitas
untuk satu lapisan.
Untuk kasus tak homogen, bumi diasumsikan berlapis-lapis dengan masing-
masing lapisan mempunyai harga resistivitas yang berbeda. Resistivitas semu
merupakan resistivitas dari suatu medium fiktif homogen yang ekivalen dengan
medium berlapis yang ditinjau. Sebagai contoh medium berlapis yang ditinjau
misalnya terdiri dari dua lapis yang mempunyai resistivitas berbeda (ρ1 dan ρ2)
dianggap sebagai medium satu lapis homogen yang mempunyai satu harga
resistivitas semu ρa.
Nilai resistivitas semu dirumuskan pada persamaan berikut :
(3.2)

Keterangan:
ρa : Hambatan jenis semu (Ω.m)
V : Potensial listrik (mV)
I : Arus listrik (mA)
K : Faktor geometri (m)

Faktor geometri (K) pada setiap konfigurasi berbeda-beda, pemilihan


konfigurasi tergantung pada target yang dicari untuk mendapatkan profil bawah
permukaan yang sesuai. Sehingga nilai faktor geometri tergantung pada
konfigurasi yang digunakan. Terdapat macam – macam konfigurasi pada
pengukuran geolistrik terlihat pada Gambar 3.1.

20
Gambar 3.1. Konfigurasi elektroda geolistrik dan faktor geometrinya (Loke
, 2004)

3.4 Konduktivitas Dalam Batuan


Aliran arus listrik di dalam batuan dan mineral dapat di golongkan
menjadi tiga macam, yaitu konduksi secara elektronik, konduksi secara
elektrolitik, dan konduksi secara dielektrik.
a) Konduksi secara elektronik, konduksi ini terjadi jika batuan atau
mineral mempunyai banyak elektron bebas sehingga arus listrik
dialirkan dalam batuan atau mineral oleh elektron-elektron bebas
tersebut. Aliran listrik ini juga dipengaruhi oleh sifat atau karakteristik
masing-masing batuan yang dilewatinya. Salah satu sifat atau
karakteristik batuan tersebut adalah resistivitas (tahanan jenis).
b) Konduksi secara elektrolitik, sebagian besar batuan merupakan
konduktor yang buruk dan memiliki resistivitas yang sangat tinggi.
Namun pada kenyataannya batuan biasanya bersifat poros dan
memiliki pori-pori yang terisi oleh fluida, terutama air. Akibatnya
batuan-batuan tersebut menjadi konduktor elektrolitik, di mana
konduksi arus listrik dibawa oleh ion-ion elektrolitik dalam air.
Konduktivitas dan resistivitas batuan porus bergantung pada volume
dan susunan pori-porinya. Konduktivitas akan semakin besar jika

21
kandungan air dalam batuan bertambah banyak, dan sebaliknya
resistivitas akan semakin besar jika kandungan air dalam batuan
berkurang.
c) Konduksi secara dielektrik, konduksi ini terjadi jika batuan atau
mineral bersifat dielektrik terhadap aliran arus listrik, yaitu terjadi
polarisasi saat bahan dialiri listrik.

3.5 Hukum Ohm dan Konsep Penjalaran Arus


Seperti yang pernah diketahui pada pelajaran listrik statis maupun listrik
dinamis pada saat duduk di bangku sekolah, muatan positif dan muatan negatif
mempunya sifat dengan gaya yang saling tarik menarik sedangkan muatan denan
tipe yang sama akan saling tolak menolak. Pada baterai terdapat kutub positif dan
kutub negatif pada kedua ujungnya. Bisa dibilang bahwa pada ujung positif
terdapat muatan positif dan pada ujung negatif terdapat muatan negatif, dan energi
yang digunakan untuk mempertahankan kedua muatan terpisah bisa disebut
sebagai potensial dari baterai.
Oleh karena itu terdapat perbedaan potensial di kedua ujung baterai
tersebut. Untuk menghilangkan atau menggunakan energi dari baterai tersebut,
kedua ujung baterai bisa disambungkan dengan konduktor listrik sehingga akan
tercipta arus listrik. Muatan positif bergerak dari kutub positif dan begitu
sebaliknya. Meskipun arus listrik terdiri dari pergerakan kedua muatan tersebut,
secara konvensional disepakati arah pergerakan arus listrik mengikuti pergerakan
muatan positif sehingga dianggap pergerakan arus listrik adalah dari kutub positif
ke kutub negatif.
Seperti yang tadi dijelaskan bahwa dari sebuah baterai terdapat perbedaan
potensial di kedua ujungnya. Ketika konduktor listrik dihubungkan maka akan
tercipta arus listrik yang menyebabkan perubahan dari perbedaan potensial
tersebut. Berdasarkan dari hukum Ohm, pendefinisian untuk resistansi dari suatu
struktur dengan membandingkan tegangan pada kedua ujungnya dengan arus yang
mengalir menembus permukaan struktur itu :
(3.3)

dengan,

22
R : Resistansi (Ω),
V : tegangan (mV),
I : kuat arus (mA).
Sebagai suatu besaran yang menyatakan kemampuan dari suatu struktur untuk
melakukan perlawanan terhadap aliran arus. Jika resistansi dari struktur itu besar,
maka dibutuhkan beda potensial yang besar untuk mengalirkan arus tertentu
(Alaydrus, 2014). Konsep tersebut diperjelas dengan gambar 3.2 berikut ini.

Gambar 3.2 Rangkaian listrik yang terdiri dari baterai dan resistor, karena resistor
menghambat aliran arus , ada perubahan dalam potensial ( V ) di resistor yang sebanding
dengan arus ( i ) dan resistansi ( r ) (Robinson et al, 1988).

Setelah memahami konsep dari hukum Ohm tersebut, sekarang difokuskan


terhadap resistor tersebut. Dimisalkan jika resistor tersebut berbentuk balok
dengan panjang L dan luas alasnya A. arus listrik yang melewati resistor tersebut
terdistribusi secara merata dari awal sampai akhir, sehingga resistansi akan
dipengaruhi oleh panjang medium yang dilewati seluas suatu daerah serta
resistivitas yang mewakili jenis bahan resistor tersebut. Yang dirumuskan sebagai
berikut :
(3.4)

dengan,
r : resistivitas (Ωm),

23
R : resistansi (Ω),
L : panjang medium (m),
A : luas daerah (m2).
Dari persamaan diatas susunannya bisa dirubah sehingga didapatkan rumus :
(3.5)

Dari rumus 3.3 bisa dipahami bahwa satuan untuk resistivitas adalah Ohm.meter
(Ω.m). Dari rumus 3.2 bisa diambil kesimpulan bahwa resistansi bisa diperbesar
dengan memperpanjang lintasan yang dilewati muatan, selain itu bila resistansi
bisa diperkecil dengan mempersempit luas area yang dilewati oleh arus sehingga
arus listrik akan terkonsentrasi dengan lebih baik. Konsep tersebut dapat
diilustrasikan dengan gambar 3.3 dibawah ini.

Gambar 3.3 Resistor listrik yang terbuat dari balok. Arus listrik (i) yang menjalar di
sepanjang rangkaian besarnya berbanding lurus dengan resistansi dari
balok tersebut (Robinson et al, 1988).
Konsentrasi dari arus listrik tersebut bisa disebut dengan densitas arus yang
dirumuskan sebagai berikut (Alaydrus, 2014):

(3.6)

dengan,
µ : densitas arus (A/m2),

24
i : kuat arus (Ampere),
A : luas Daerah (m2).

3..6 Potensial Listrik


Kerja yang harus dilakukan oleh gaya luar F terhadap medan listrik E
untukmemindahkan muatan q dari titik a ke titik b sejauh de adalah:
(3.7)
Jumlah kenaikan energi potensial listriknya adalah:

∫ (3.8)
Jika dimisalkan titik a terletak di titik yang tak terhingga jaubnya maka V. = 0 dan
energipotensial di titik b adalah:

∫ (3.9)
di sini tanda minus menunjukkan bahwa gaya luar F besamya sarna dengan gaya
listrik yang melawarmya, dan muatan percobaan q diarnbil sangat kecil.

3.7 Elektroda Arus


3.7.1 Elektroda Arus Tunggal di Permukaan
Arus yang dimasukan kedalam bawah permukaan pada medium yang
homogen isotrop, sumber arus tunggal akan menghasilkan penjalaran arus listrik
yang berbentuk bola dengan distribusi potensial membentuk permukaan
equipotensial. Terlihat pada gambar 3.4 dimana garis tegas yang menyebar
kesegala arah dengan titik pusat berada pada titik pusat sumber arus merupakan
garis equipotensial yang memiliki nilai potensial yang sama dan membentuk bola.

25
Gambar 3.4. Penjalaran arus tunggal dalam medium homogen isotrop (Telford et.al.,
1990).

Apabila suatu arus listrik diinjeksikan pada medium dari permukaan, maka
penjalaran arus akan terbentuk menjadi setengah bola dan titik equipotensialnya
berada pada sumber arus yang terdapat di permukaan. Hal ini diasumsikan bahwa
medium membentuk setengah ruang, sehingga jika dilihat pada gambar 3.5 akan
terlihat sebagaian merupakan udara dan setengahnya merupakan ruang atau
medium penjalaran arus.

Gambar 3.5. Sumber titik arus berada di permukaan pada medium homogen
(Telford et.al.,1990).

26
Jika arus searah yang dikirim melalui elektroda arus terletak dipermukaan
medium yang homogen dan isotrop, untuk mencari nilai potensial, maka sumber
arus harus dipandang sebagai titik arus.
Arus yang melewati luasan ½ bola yang diilustrasikan pada Gambar 3.5.
(bawah permukaan merupakan luasan ½ bola) adalah:
dV
I  2r 2 J  2r 2  2aA
dr (3.10)
I I
A  (3.11)
2 2
Maka potensial elektrroda dipermukaan medium homogen adalah:
 I  1 
V    (3.12)
 2  r 
Tahanan jenis atau resistivitasnya dapat ditulis sebagai berikut:
V
  2r (3.13)
I
dengan,
I : arus listrik (Ampere),
J : densitas arus (Ampere/m2),
A : luasan volume tertutup (m2),
ρ : resistivitas (Ohm.m),
V : potensial listrik (Volt),
r : jarak antar elektroda (meter).

3.7.2 Elektroda Arus Ganda di Permukaan


Jika elektroda kedua tidak terletak jauh atau tak hingga seperti berhingga,
tetapi pada jarak yang berhingga, maka elektroda arus yang kedua ini akan
memberikan sumbangan pada beda potensial yang terjadi di bawah permukaan.
Proses penjalaran arus listrik dibawah permukaan dengan elektroda arus ganda
diilustrasikan oleh Gambar 3.6.

27
Gambar 3.6. Dua elektoda arus dan elektroda potensial di permukaan tanah homogen
isotrop (Telford et.al.,1990).

Potensial yang terjadi pada P1 akibat adanya C1 adalah:


I
; dengan A1   (3.14a)
2
Potensial yang terjadi pada P1 akibat adanya C2 adalah:
A2 I
V2   ; dengan A2    A1 (3.14b)
r2 2

Jika arus pada kedua elektroda tersebut sama tetapi arahnya berlawanan, maka
potensial dititik P1 adalah:

I 1 1
VP1  V1  V2     (3.15a)
2  r1 r2 
Beda potensial dititik P2 (dengan cara yang sama) adalah:

I 1 1
V P 2  V3  V 4     (3.15b)
2  r3 r4 
Sehingga beda potensial antara titik P1 dan P2:
V  VP1  VP 2  (V1  V2 )  (V3  V4 ) (3.15c)

I  1 1   1 1 
V         (3.15d)
2  r1 r2   r3 r4 
dengan,
I : arus listrik (Ampere),

28
J : densitas arus (Ampere/m2),
A : luasan volume tertutup (m2),
ρ : resistivitas (Ohm.m),
V : potensial listrik (Volt),
r : jarak antar elektroda (meter).

3.8 Konfigurasi Elektroda Wenner Schlumberger


Konfigurasi Wenner-Schlumberger adalah konfigurasi dengan sistem
aturan spasi yang konstan dengan catatan faktor pembanding “n” untuk
konfigurasi ini adalah perbandingan jarak antara elektroda AM dengan jarak
antara MN seperti pada Gambar 3.7. Jika jarak antara elektroda potensial MN
adalah a maka jarak antar elektroda arus (A dan B) adalah 2na+ a. Faktor
geometri dari konfigurasi Wenner-Sclumberger adalah k = n (n+1) πa dengan a
adalah jarak antara elektroda M dan N.

ΔV

na a na

Gambar 3.7 Rangkaian Elektroda Wenner-Schlumberger (Loke, 1999)

Faktor konfigurasi pemasangan elektrode Wenner - Schlumberger dapat


digunakan :
P1P2 = a ; C1P1 = na; C2P2 = na
Faktor pengontrol atau koreksi harga resistensi yang dinotasikan dengan k,
dapat diperoleh dengan mempertimbangkan fungsi jarak C dan P. Sehingga, untuk
pemasangan konfigurasi ini diperoleh hubungan antara resistivitas, beda potensial
dan arus adalah sebagai berikut :
K = n(n+1)α (3.16)

29
k : faktor geometri (m),
a : jarak elektroda (m),
n : faktor pengali kedalaman.

3.9 Sumberdaya Dan Cadangan


Sumberdaya dibagi lagi kedalam beberapa kategori sebagai berikut;
a) Sumberdaya hipotetik (hypothetical resource) adalah jumlah bahan galian
di daerah penyelidikan atau bagian dari daerah penyelidikan yang dihitung
berdasarkan data yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan untuk
tahap survei tinjau.
b) Sumberdaya tereka (inferred resource) adalah jumlah bahan galian di
daerah penyelidikan atau bagian dari daerah penyelidikan yang dihitung
berdasarkan data yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan untuk
tahap prospeksi.
c) Sumberdaya terunjuk (indicated resource) adalah jumlah bahan galian di
daerah penyelidikan atau bagian dari daerah penyelidikan yang dihitung
berdasarkan data yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan untuk
tahap eksplorasi pendahuluan.
d) Sumberdaya terukur (measured resource) adalah jumlah bahan galian di
daerah penyelidikan atau bagian dari daerah penyelidikan yang dihitung
berdasarkan data yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan untuk
tahap eksplorasi rinci.

Sedangkan Cadangan (Reserve) menurut Standar Nasional Indonesia (SNI)


adalah endapan mineral atau bahan galian yang telah diketahui ukuran, bentuk,
sebaran, kuantitas dan kualitasnya dan yang secara ekonomis, teknis, hukum,
lingkungan dan sosial dapat ditambang pada saat perhitungan dilakukan.
Cadangan juga dibagi kedalam beberapa kategori antara lain:

a) Cadangan terkira (probable reserve) adalah sumberdaya bahan galian


terunjuk dan sebagian sumberdaya bahan galian terukur, tetapi
berdasarkan kajian kelayakan semua faktor yang terkait telah terpenuhi
sehingga penambangan dapat dilakukan secara layak.

30
b) Cadangan terbukti (proven reserve) adalah sumberdaya bahan galian
terukur yang berdasarkan kajian kelayakan semua faktor yang terkait telah
terpenuhi sehingga penambangan dapat dilakukan secara layak.

1. Perhitungan Luas
Perhitungan luas menggunakan sistem koordinat, hal ini karena
cara ini dianggap lebih cepat dan praktis dalam penggunaanya.
Persamaan perhitungan dengan cara koordinat adalah sebagai berikut:


1 n 1
L= n 1, 2
(Xn .Yn+1-Xn+1.Yn) (3.17)
2
Keterangan:
L = Luas daerah yang dihitung
n = Nomor titik sudut
n+1 = Nomor titik berikutnya, pada poligon tertutup setelah titik terakhir

Gambar 3.8 Penentuan Luas dengan Angka-Angka Koordinat (Rauf, 1998)

Dari Gambar 3.8 di atas maka rumus untuk menghitung luas


daerah tersebut adalah sebagai berikut :
1
L= ((X1.Y2-X2.Y3) + (X2.Y3-X3.Y2) + (X4.Y3-X3.Y4) + (X4.Y5-
2
X5.Y4) + (X5.Y1-X1.Y5) ( 3.18)

2. Perhitungan Volume
Susunan daerah dan bentuk lateral blok biasanya tidak teratur dan, untuk

31
menghitung volume dengan geometri solid, daerah dianggap lingkaran dengan
ukuran yang sama atau jumlah poligonal. Perhitungan volume di hitung dengan
mengukur masing–masing area dengan interval kontur. Perhitungan volume untuk
metode kontur dapat dilakukan dengan menggunakan dua cara yaitu dengan
menggunakan rumus Mean Area dan rumus Frustum.

a) Mean Area
Rumus Mean Area merupakan salah satu rumus yang digunakan untuk
mengestimasi volume dari suatu endapan. Rumus ini digunakan apabila terdapat
dua buah penampang dengan Luas L1 dan L2 dengan jarak t, seperti yang terlihat
pada gambar 3.9 dengan memenuhi L1 relatif sama L2, jika luasnya berbentuk
lingkaran maka akan menyerupai bentuk silindris. Rumus Mean Area ini tepat
digunakan jika kedua area hampir mirip dari ukuran dan bentuk.

Gambar 3.9 Penampang Endapan Mean Area (Rauf, 1998)


Adapun persamaan untuk mengestimasi volume dengan menggunakan rumus
Mean Area adalah sebagai berikut:
( )
(3.19)

Keterangan :
Vol : Volume (m3)
L1 dan L2 : Luas penampang (m2)
t : Jarak antar penampang (m)

b) Frustum
Rumus Frustum merupakan salah satu rumus yang juga digunakan untuk
mengestimasi volume dari suatu endapan. Rumus ini digunakan apabila volume

32
endapan mempunyai bentuk seperti kerucut terpancung, dengan L1/L2 lebih kecil
atau sama dengan 0,5. Seperti yang terlihat pada gambar 3.10 di berikut ini:

Gambar 3.10 Penampang Endapan Berbentuk Frustum (Rauf, 1998)

Adapun persamaan untuk mengestimasi volume pasir batu dengan


menggunakan rumus Frustum adalah sebagai berikut :

(3.20)

Keterangan :
Vol : Volume (m3)
L1 dan L2 : Luas penampang (m2)
t : Jarak antar penampang (m)

Pada penelitian ini sumberdaya dihitung berdasarkan metode luasan rata-


rata/mean area. Volume dihitung berdasarkan ketebalan batuan dikalikan dengan
luasan sehingga menghasilkan volume dalam satuan meter kubik (m³). Untuk
mendapatkan tonase batuanya maka volume tersebut dikalikan dengan massa jenis
batuan andesit yaitu 2,7 gr/cm³ atau 2,7 ton/m³ sehingga didapatkan tonase batuan
untuk perkiraan sumberdayanya.
(3.21)

33
Tabel 3.1. Tabel nilai densitas material bumi (Telford, et.al., 1990).
Tipe Batuan Rentang Densitas Rata-rata ( cm³)
( cm³)
Overburden 1,20-1,40 1,92
Soil 1,20-1,40 1,92
Lempung 1,63-2,60 2,21
Kerikil 1,70-2,40 2,00
Pasir 1,70-2,30 2,00
Batupasir 1,61-2,76 2,35
Serpih 1,77-3,20 2,40
Gamping 1,93-2,90 2,55
Dolomit 2,28-2,90 2,70
Batuan Sedimen (Rata- 2,50
rata)

3.10.Pemodelan Geofisika
Dalam geofisika, model dan parameter model digunakan untuk
mengkarakterisasi suatu kondisi geologi bawah permukaan. Pemodelan
merupakan proses estimasi model dan parameter model berdasarkan data yang
diamati di permukaan bumi. Dalam beberapa referensi istilah model tidak hanya
menyatakan representasi kondisi geologi oleh besaran fisis tetapi mencakup pula
hubungan matematik atau teoritik antara parameter model dengan respon model.
(Grandis, 2009).

3.10.1 Pemodelan ke Depan


Pemodelan ke depan (forward modeling) menyatakan proses perhitungan
“data” yang secara teoritis akan teramati di permukaan bumi jika diketahui harga
parameter model bawah permukaan tertentu dapat dilihat pada gambar 3.11.
Perhitungan data teoritis tersebut menggunakan persamaan matematik yang
diturunkan dari konsep fisika yang mendasari fenomena yang ditinjau. Dalam
pemodelan data geofisik, dicari suatu model yang menghasilkan respon yang
cocok atau fit dengan data pengamatan atau data lapangan. Dengan demikian,
model tersebut dapat dianggap mewakili kondisi bawah permukaan di tempat
pengukuran data (Grandis, 2009).

34
Untuk memperoleh kesesuaian antara data teoritis (respon model) dengan
data lapangan dapat dilakukan proses coba – coba (trial and error) dengan
mengubah – ubah harga parameter model. Seringkali istilah pemodelan ke depan
digunakan untuk menyatakan pemodelan data geofisika dengan cara coba – coba
tersebut. Dengan kata lain, istilah pemodelan ke depan tidak hanya mencakup
perhitungan respon model tetapi juga proses coba – coba secara manual untuk
memperoleh model yang diberikan respon yang cocok dengan data yang dapat
dilihat pada gambar 3.12 (Grandis, 2009).
Kecepatan dan keberhasilan teknik pemodelan ke depan dengan cara coba
– coba sangat bergantung pada pengalaman subyektif seseorang yang melakukan
pemodelan tersebut. Dalam hal ini harga parameter model awal dan perubahan
harga parameter model tersebut perlu diperkirakan dengan baik agar diperoleh
respon yang makin dekat dengan data. Semakin kompleks hubungan antara data
dengan parameter model maka semakin sulit proses coba – coba tersebut. Adanya
informasi tambahan dari data geologi ma upun data geofisika lainnya dapat
membantu penentuan model awal. Sementara itu, pengetahuan mengenai
karakteristik fenomena atau mekanisme fisis yang ditinjau dapat membantu
perkirakan parameter yang perlu diubah dan sejauh mana perubahan perlu
dilakukan (Grandis, 2009).

parameter model forward modeling data perhitungan

Gambar 3.11 (a) Proses pemodelan ke depan (forward modeling) untuk menghitung
respon (data teoritik atau data perhitungan) dari suatu model tertentu
(Grandis, 2009).

35
parameter model

modifikasi
forward modeling parameter model

data perhitungan fit ? data lapangan

solusi / model

Gambar 3.12 (b) Teknik pemodelan dengan cara mencoba – coba dan memodifikasi
parameter model hingga diperoleh kecocokan antara data perhitungan
dan data lapangan (Grandis, 2009).

3.10.2. Pemodelan Inversi


Pemodelan inversi (inverse modeling) sering dikatakan sebagai
“kebalikan” dari pemodelan ke depan karena dalam pemodelan inversi paramater
model diperoleh secara langsung dari data. Menke (1984) mendefinisikan teori
inversi sebagai suatu kesatuan teknik atau metode matematika dan statistika untuk
memperoleh informasi yang berguna mengenai suatu sistem fisika berdasarkan
observasi terhadap sistem tersebut. Sistem fisika yang dimaksud adalah fenomena
yang kita tinjau, hasil observasi terhadap sistem adalah data sedangkan informasi
yang ingin diperoleh dari data adalah model atau parameter model (Grandis,
2009).
.Pemodelan inversi sering pula disebut sebagai data fitting karena dalam
prosesnya dicari parameter model yang menghasilkan respon yang fit dengan data
pengamatan (Grandis, 2009).

36
Kesesuaian antara respon model dengan data pengamatan umumnya
dinyatakan oleh suatu fungsi obektif yang harus diminimumkan. Proses pencarian
minimum fungsi obyektif tersebut berasosiasi dengan proses pencarian model
optimum. Dalam kalkulus jika suatu fungsi mencapai minimum maka turunannya
terhadap variabel yang tidak diketahui di titik minimum tersebut berharga nol.
Karakteristik minimum suatu fungsi tersebut digunakan untuk pencarian
parameter model. Secara lebih umum, model dimodifikasi sedemikian hingga
respon model menjadi fit dengan data. Dalam proses tersebut jelas bahwa
pemodelan inversi hanya dapat dilakukan jika hubungan antara data dan
parameter model (fungsi pemodelan ke depan) telah diketahui (Grandis, 2009).

37
BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Sistematika Penelitian


Dalam hal ini termasuk langkah awal ketika akan dimulai penelitian
tersebut. Ketika informasi yang didapatkan terlihat sudah memenuhi apa yang
diinginkan, maka akan dibuatlah desain survey pada daerah penelitian. Desain
survey ini akan menunjukkan lintasan, kontur, dan bentuk lintasan yang
selebihnya akan ditunjukkan dengan gambar 4.1.

Gambar 4.1 Desain Survei Penelitian

Penelitian ini dilakukan di daerah Srumbung, Kabupaten Magelang,


Provinsi Jawa tengah. Ada 12 titik lintasan yang ada pada penelitian ini dengan
panjang lintasan sampai inline sepanjang 260 m dan cross line 110 m yabng
mengarah dari barat daya ke timur laut. Setelah tahap ini selesai, akan dimulai
tahap berupa akuisisi data. Setelah data akuisisi sudah didapatkan, akan dilakukan

38
tahap berupa pengolahan data. Akuisisi dari penelitian ini dilakukan dengan
metode geolistrik konfigurasi Wenner-Schlumberger.

4.2 Pengolahan Data

Mulai
Info Geologi

Data
Sekunder

Analisis Data

Setting Model Parameter

Error

Penampang Resistivitas 2D

Pemodelan 3D Penampang
Geologi

Interpretasi

Selesai

39
Langkah-langkah yang dilakukan dalam pengolahan adalah sebagai berikut:

1. Cara untuk menganalisis data tersebut adalah dengan melakukan ploting data
dari Microsoft Excel ke software Dplot kemudian dianalisis dari bentuk kurva
serta informasi geologi yang ada. Setelah semua lintasan pengukuran selesai
dianalisis menggunakan software Dplot, kemudian data tersebut di susun per
lintasan sesuai dengan format penyusunan data untuk kemudian dilanjutkan
pengolahan di software Res2dinV.
2. Dari data hasil akuisisi dimasukkan ke dalam pengolahan MS Excel yang
nantinya akan dihitung untuk memperoleh data R, K, dan Rho. R diperoleh
dari nilai Potensial dibagi arus listrik. K diperoleh dari nilai phi dikalikan n
dan jumlah spasi. Rho diperoleh dari R dikalikan K.
3. Setelah didapatkan nilai Rho, masukkan nilai tersebut ke bentuk pengolahan
Res2dinV dengan membuat bentuk notepad. Dalam notepad tersebut terdapat
nama lintasan, jumlah spasi, kode konfigurasi, jumlah titik, nilai n, jarak
elektroda, nilai rho, jumlah titik elevasi, dan nilai elevasi. Masukkan data
dalam notepad tersebut kedalam Res2dinV untuk mendapatkan penampang
geolistrik. Cara pengolahannya dengan buka Res2dinV  File  Read Data
File  masukin data dalam bentuk .inv  Inversion  Least-square
Inversion  save data  masukkan nilai iterasi sesuai angka yang
diinginkan  hasil akhir dalam bentuk penampang perahu dari data tersebut.
Untuk menyimpan bentuk penampang tersebut dengan cara Screenshot lalu
ubah format menjadi .jpg.
4. Selain itu penampang geologi juga dibuat untuk menunjang interpretasi
geologi pada penampang resistivitas 2 dimensi. Pada penampang ini
merupakan penggambaran ulang pada penampang 2 dimensi menggunakan
software Corel Draw x7 berdasarkan nilai resistivitas dengan unsur – unsur
pada nilai geologi.
5. Masukkan data setelah hasil inversi dari Res2dinV ke dalam sheet yang ada
dalam Rockworks 15. Data yang dimasukkan kedalam software tersebut
meliputi data koordinat X Y Z dan hasil Rho setelah diinversi. Buatlah
permodelan dari data-data tersebut. Setelah mendapatkan hasil dari 3D

40
pemodelan, buatlah range nilai yang dianggap sesuai dengan nilai target yang
dituju serta warna yang menunjukkan target. Target yang dituju dalam kasus
ini adalah andesit. Hasilnya adalah lokasi-lokasi yang dianggap adanya
andesit yang terlihat dari gambar pemodelan 3D.
6. Setelah didapatkan pengolah data dari ketiga penampang tersebut, kemudian
di interpretasi berdasarkan informasi studi literatur, informasi geologi, dan
nilai – nilai pada geofisika. Mecocokan dengan penelitian terdahulu, apakah
hasil ketiga penampang tersebut menunjukan kesamaan dengan penelitian
terdahulu. Kemudian dilihat dari informasi geologi yang ada, apakah dari
ketiga hasil pengolahan tersebut menunjukan informasi geologi berupa
stratigrafi, struktur regional, serta proses terbentuknya endapan pasir tersebut.

41
4.3 Interpretasi Data
Interpretasi data dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif.
Interpretasi kuantitatif dilakukan dengan melihat nilai resistivitas yang terlihat
pada penampang, baik itu penampang apparent maupun penampang inversi. Dari
nilai matematis ini dapat dilihat persebaran resistivitas yang ada pada medium.
Interpretasi kualitatif dilakukan untuk dapat mengetahui persebaran dan cadangan
yang ada pada daerah penelitian. Interpretasi kualitatif dilakukan dengan cara
studi penelitian terdahulu yang digunakaan sebagai acuan interpretasi. Acuan
interpretasi kualitatif dan kuantitatif di bandingkan sehingga menghasilkan
analisis interpretasi yang mereprentasikan daerah penelitian. Interpretasi
kuantitatif didasarkan pada tabel 4.1 Telford dkk,1990.

Tabel 4.1. Tabel nilai resistivitas material bumi (Telford, et.al., 1990).
Material Resistivitas (ohm.m)
Pirit (Pyrite) 0,01-100
Kuarsa (Quartz) 500-800.000
Kalsit (Calcite) 1x1012 - 1x1013
Batuan garam (Rock salt) 30-1x1013
Granit (Granit) 200-100.000
Andesit (Andesite) 1,7x102 - 45x104
Basal (Basalt) 200 - 100.000
Gamping (Limestone) 500 - 10.000
Batupasir (Sandstone) 200 - 8.000
Batulempung (Shale) 20 - 2.000
Pasir (Sand) 1 - 1.000
Lempung (Clay) 1 – 100
Air tanah (Groundwater) 0,5- 300
Air asin (Sea water) 0,2
Magnetit (Magnetite) 0,01- 1.000
Kerikil kering (Dry gravel) 600 - 10.000
Aluvium (Alluvium) 10 – 800
Kerikil (Gravel) 100 – 600

42
BAB V

PEMBAHASAN
5.1 Profil Geologi
Gambar 5.1 merupakan hasil dari profil geologi daerah penelitian,
dimana hasil yang didapatkan sesuai dengan hasil interpretasi yang diinginkan.

Gambar 5.1. Profil Geologi

43
Terdapat 4 jenis litologi yakni, endapan pasir tersortasi baik (wet),
endapan pasir tersortasi buruk dengan sisipan bongkahan andesit , gravel. Pada
profil ini merupakan endapan yang terbentuk pada masa kuarter, yang dimana di
isi oleh material atau batuan fase endapan merapi muda. Endapan Gravel daerah
penelitian memiliki ketebalan rata – rata 600 cm. Endapan pasir tersortasi buruk
mempunyai ketebalan rata – rata 300 cm. enapan pasir tersortasi baik mempunyai
ketebalan rata – rata 100 cm.

5.2 Pembahasan Penampang 2D Res2Dinv


5.2. Penampang Lintasan Inline 1
Gambar 5.2 merupakan penampang lintasan inline pertama yang diolah
menggunakan software Res2Dinv menggunakan skala range nilai dari 28,4
ohm.m –1274 Ohm.m dengan spasi elektroda 20 m, lintasan ini mempunyai
panjang 250 m dan kedalaman lintasan 40 m.

Gambar 5.2. Penampang Lintasan Inline 1

Pada penampang ini arah lintasan berawal dari barat daya mengarah ke
timur laut. Range nilai penampang hasil Res2dinv ini dari nilai 28,4 Ohm.m – <
450 Ohm.m yang di tandai dengan warna biru tua hingga kuning muda di

44
interpretasikan sebagai endapan pasir tersortasi baik (wet). Endapan pasir tersebut
terletak dari panjang lintasan 50 meter sampai 210 yang berada pada kedalaman
dari 0- 25 meter. Dari 450 Ohm.m – 740 Ohm.m di interpretasikan sebagai
endapan pasir tersortasi buruk ditandai dengan warna coklat muda hingga oranye.
Dari 740 - > 1274 Ohm.m di interpretasikan andesit ditandai dengan hingga
ungu.

5.2.2 Penampang Lintasan Inline 2


Gambar 5.3 merupakan penampang lintasan inline ke dua yang diolah
menggunakan software Res2Dinv menggunakan skala range nilai dari 28,4
ohm.m –1274 Ohm.m dengan spasi elektroda 20 m, lintasan ini mempunyai
panjang 250 m dan kedalaman lintasan 40 m. Pada penampang ini arah lintasan
berawal dari barat daya mengarah ke timur laut.

Gambar 5.3. Penampang Lintasan Inline 2

Range nilai penampang hasil Res2dinv ini dari nilai 28,4 Ohm.m – < 450
Ohm.m yang di tandai dengan warna biru tua hingga kuning muda di

45
interpretasikan sebagai endapan pasir tersortasi baik (wet). Dari 450 Ohm.m – 740
Ohm.m di interpretasikan sebagai endapan pasir tersortasi buruk ditandai dengan
warna coklat muda hingga oranye. Dari 740 - > 1274 Ohm.m di interpretasikan
sebagai bongkahan andesit ditandai dengan warna merah hingga ungu.

5.2.3 Penampang Lintasan Inline 3


Gambar 5.4 merupakan penampang lintasan inline ke tiga yang diolah
menggunakan software Res2Dinv menggunakan skala range nilai dari 28,4
ohm.m –1274 Ohm.m dengan spasi elektroda 20 m, lintasan ini mempunyai
panjang 250 m dan kedalaman lintasan 40 m. Pada penampang ini arah lintasan
berawal dari barat daya mengarah ke timur laut.

Gambar 5.4. Penampang Lintasan Inline 3


Pada range nilai penampang hasil Res2dinv ini dimulai dari nilai 28,4
Ohm.m – < 450 Ohm.m yang di tandai dengan warna biru tua hingga kuning
muda di interpretasikan sebagai endapan pasir tersortasi baik (wet). Endapan

46
pasir pada penampang inline, posisi endapan pasir yang cukup masif terdapat di
panjang lintasan 90 m sampai 120 m dan pada kedalaman 0 - 30 m dan 140 m
sampai 240 m dari kedalaman 10m sampai 30m. Dari 450 Ohm.m – 740 Ohm.m
di interpretasikan sebagai endapan pasir tersortasi buruk ditandai dengan warna
coklat muda hingga oranye. Dari 740 - > 1274 Ohm.m di interpretasikan sebagai
andesit ditandai dengan warna merah hingga ungu.

5.2.4 Penampang Lintasan Inline 4


Gambar 5.5 merupakan penampang lintasan inline ke empat yang diolah
menggunakan software Res2Dinv menggunakan skala range nilai dari 28,4
ohm.m –1274 Ohm.m dengan spasi elektroda 20 m, lintasan ini mempunyai
panjang 250 m dan kedalaman lintasan 40 m. Pada penampang ini arah lintasan
berawal dari barat daya mengarah ke timur laut.

Gambar 5.5. Penampang Lintasan Inline 4


Pada range nilai penampang hasil Res2dinv ini dari nilai 28,4 Ohm.m – <
450 Ohm.m di interpretasikan sebagai endapan pasir tersortasi baik (wet) yang
ditandai warna biru tua hingga hijau. Endapan pasir tersebut terletak dari panjang
lintasan 40 meter sampai 240 yang berada pada kedalaman dari 0 - 30 meter. Dari

47
450 Ohm.m – 740 Ohm.m di interpretasikan sebagai Endapan pasir tersortasi
buruk ditandai dengan warna coklat muda hingga oranye. 740 - >1274 Ohm.m di
interpretasikan sebagai andesit ditandai dengan warna merah hingga ungu.

5.2.5 Penampang Lintasan Inline 5


Gambar 5.6 merupakan penampang lintasan inline ke lima yang diolah
menggunakan software Res2Dinv menggunakan skala range nilai dari 28,4
ohm.m –1274 Ohm.m dengan spasi elektroda 20 m, lintasan ini mempunyai
panjang 250 m dan kedalaman lintasan 40 m. Pada penampang ini arah lintasan
berawal dari barat daya mengarah ke timur laut.

Gambar 5.6. Penampang Lintasan Inline 5

Pada range nilai penampang hasil Res2dinv ini dari nilai 28,4 Ohm.m – <
450 Ohm.m ditandai dengan warna biru tua hingga kuning muda di
interpretasikan sebagai endapan pasir tersortasi baik (wet). Dari 450 Ohm.m – 740
Ohm.m di interpretasikan sebagai endapan pasir tersortasi buruk ditandai dengan

48
warna coklat muda hingga oranye. Dari 740 - > 1274 Ohm.m di interpretasikan
sebagai andesit denga merah hingga ungu .

5.2.6 Penampang Lintasan Inline 6


Gambar 5.7 merupakan penampang lintasan inline ke lima yang diolah
menggunakan software Res2Dinv menggunakan skala range nilai dari 28,4
ohm.m –1274 Ohm.m dengan spasi elektroda 20 m, lintasan ini mempunyai
panjang 250 m dan kedalaman lintasan 40 m. Pada penampang ini arah lintasan
berawal dari barat daya mengarah ke timur laut.

Gambar 5.7. Penampang Lintasan Inline 6

Pada Range nilai penampang hasil Res2dinv ini dari nilai 28,4 Ohm.m – <
450 Ohm.m ditandai dengan warna biru tua hingga kuning muda di
interpretasikan sebagai endapan pasir tersortasi baik (wet). Dari 450 Ohm.m – 740
Ohm.m di interpretasikan sebagai endapan pasir tersortasi buruk ditandai dengan
warna coklat muda hingga oranye . Dari 740 - 1274 Ohm.m di interpretasikan
sebagai andesit ditandai dengan warna merah hingga ungu.

49
5.2.7 Penampang Lintasan Cross 1
Gambar 5.8 merupakan penampang lintasan cross pertama yang diolah
menggunakan software Res2Dinv menggunakan skala range nilai dari 28,4
ohm.m –1274 Ohm.m dengan spasi elektroda 10 m, lintasan ini mempunyai
panjang 130 m dan kedalaman lintasan 16 m. Pada penampang ini arah lintasan
berawal dari barat laut mengarah ke tenggara.

Gambar 5.8. Penampang Lintasan Line Cross 1

Pada range nilai penampang cross hasil pengolahan menggunakan


Res2dinv ini dari nilai 28,4 Ohm.m – < 450 Ohm.m di interpretasikan sebagai
endapan pasir tersortasi baik (wet) ditandai dengan warna biru tua hingga kuning
muda. Endapan pasir tersortasi baik pada penampang line cross pertama ini
terletak kenampakannya di panjang lintasan 30 m sampai 100 m pada kedalaman
0 m sampai 10 m. Dari 450 Ohm.m – 740 Ohm.m di interpretasikan sebagai
endapan pasir tersortasi buruk yang ditandai dengan warna coklat muda hingga

50
oranye. Dari 740 ohm m - > 1274 Ohm.m di interpretasikan sebagai andesit
ditandai dengan warna merah hingga ungu.

5.2.8 Penampang Lintasan Cross 2


Gambar 5.9 merupakan penampang lintasan cross ke dua yang diolah
menggunakan software Res2Dinv menggunakan skala range nilai dari 28,4
ohm.m –1274 Ohm.m dengan spasi elektroda 10 m, lintasan ini mempunyai
panjang 130 m dan kedalaman lintasan 16 m. Pada penampang ini arah lintasan
berawal dari barat laut mengarah ke tenggara.

Gambar 5.9. Penampang Lintasan Line Cross 2

Pada range nilai penampang cross hasil pengolahan menggunakan


Res2dinv ini dari nilai 28,4 Ohm.m – < 450 Ohm.m di interpretasikan sebagai
endapan pasir tersortasi baik (wet) ditandai dengan warna biru tua hingga kuning
muda. Endapan pasir tersortasi baik pada penampang line cross kedua ini terletak

51
kenampakannya di panjang lintasan 20 m sampai 105 m pada kedalaman 0 m
sampai 10 m. Dari 450 Ohm.m – 740 Ohm.m di interpretasikan sebagai endapan
pasir tersortasi buruk yang ditandai dengan warna coklat muda hingga oranye.
Dari 740 ohm m - > 1274 Ohm.m di interpretasikan sebagai andesit ditandai
dengan warna merah hingga ungu.

5.2.9 Penampang Lintasan Cross 3


Gambar 5.10 merupakan penampang lintasan cross ke tiga yang diolah
menggunakan software Res2Dinv menggunakan skala range nilai dari 28,4
ohm.m –1274 Ohm.m dengan spasi elektroda 10 m, lintasan ini mempunyai
panjang 130 m dan kedalaman lintasan 16 m. Pada penampang ini arah lintasan
berawal dari barat laut mengarah ke tenggara.

Gambar 5.10. Penampang Lintasan Line Cross 3

Pada range nilai penampang cross hasil pengolahan menggunakan


Res2dinv ini dari nilai 28,4 Ohm.m – < 450 Ohm.m di interpretasikan sebagai
endapan pasir tersortsi baik (wet) ditandai dengan warna biru tua hingga kuning

52
muda. Endapan pasir tersortasi baik pada penampang line cross ke tiga ini terletak
kenampakannya di panjang lintasan 30 m sampai 100 m dan pada kedalaman 0 m
sampai 10 m.. Dari 450 Ohm.m – 740 Ohm.m di interpretasikan sebagai endapan
pasir tersortasi buruk yang ditandai dengan warna coklat muda hingga oranye.
Dari 740 ohm m - > 1274 Ohm.m di interpretasikan sebagai andesit ditandai
dengan warna merah hingga ungu.

5.2.10 Penampang Lintasan Cross 4


Gambar 5.11 merupakan penampang lintasan cross ke empat yang diolah
menggunakan software Res2Dinv menggunakan skala range nilai dari 28,4
ohm.m –1274 Ohm.m dengan spasi elektroda 10 m, lintasan ini mempunyai
panjang 130 m dan kedalaman lintasan 16 m. Pada penampang ini arah lintasan
berawal dari barat laut mengarah ke tenggara.

Gambar 5.11. Penampang Lintasan Line Cross 4

Pada range nilai penampang cross hasil pengolahan menggunakan


Res2dinv ini dari nilai 28,4 Ohm.m – < 450 Ohm.m di interpretasikan sebagai

53
endapan pasir tersortasi baik (wet) ditandai dengan warna biru tua hingga kuning
muda. Endapan pasir tersortasi baik (wet) pada penampang line cross ke empat
terletak kenampakannya di panjang lintasan 30 m sampai 100 m pada kedalaman
0 m sampai 10 m. Dari 450 Ohm.m – 740 Ohm.m di interpretasikan sebagai
endapan pasir tersortasi buruk yang ditandai dengan warna coklat muda hingga
oranye. Dari 740 ohm m - > 1274 Ohm.m di interpretasikan sebagai andesit
ditandai dengan warna merah hingga ungu.

5.2.11 Penampang Lintasan Cross 5


Gambar 5.12 merupakan penampang lintasan cross ke lima yang diolah
menggunakan software Res2Dinv menggunakan skala range nilai dari 28,4
ohm.m –1274 Ohm.m dengan spasi elektroda 10 m, lintasan ini mempunyai
panjang 130 m dan kedalaman lintasan 16 m. Pada penampang ini arah lintasan
berawal dari barat laut mengarah ke tenggara.

5.12. Penampang Lintasan Line Cross 5

54
Pada range nilai penampang cross hasil pengolahan menggunakan
Res2dinv ini dari nilai 28,4 Ohm.m – < 450 Ohm.m di interpretasikan sebagai
endapan pasir ditandai dengan warna biru tua hingga kuning muda. Endapan pasir
tersortasi baik (wet) pada penampang line cross ke lima ini terletak
kenampakannya di panjang lintasan 30 m sampai 105 m pada kedalaman 0 m
sampai 10 m. Dari 450 Ohm.m – 740 Ohm.m di interpretasikan sebagai endapan
pasir tersortasi buruk yang ditandai dengan warna coklat muda hingga oranye.
Dari 740 ohm m - > 1274 Ohm.m di interpretasikan sebagai andesit ditandai
dengan warna merah hingga ungu.

5.2.12 Penampang Lintasan Cross 6


Gambar 5.13 merupakan penampang lintasan cross ke enam yang diolah
menggunakan software Res2Dinv menggunakan skala range nilai dari 28,4
ohm.m –1274 Ohm.m dengan spasi elektroda 10 m, lintasan ini mempunyai
panjang 130 m dan kedalaman lintasan 16 m. Pada penampang ini arah lintasan
berawal dari barat laut mengarah ke tenggara.

Gambar 5.13. Penampang Lintasan Line Cross 6

55
Pada range nilai penampang cross hasil pengolahan menggunakan
Res2dinv ini dari nilai 28,4 Ohm.m – < 450 Ohm.m di interpretasikan sebagai
endapan pasir tersortasi baik (wet) ditandai dengan warna biru tua hingga kuning
muda. Endapan pasir tersortasi baik pada penampang line cross ke enam ini
terletak kenampakannya di panjang lintasa 30 m sampai 105 m. Dari 450 Ohm.m
– 740 Ohm.m di interpretasikan sebagai endapan pasir tersortasi buruk yang
ditandai dengan warna coklat muda hingga oranye. Dari 740 ohm m - > 1274
Ohm.m di interpretasikan sebagai andesit ditandai dengan warna merah hingga
ungu.

5.3 Pembahasan Pemodelan Rockwork 3D


5.3.1 Pemodelan Rockwork 3D Slice 794 m
Gambar 5.14 merupakan model 3D pada kedalaman 794 m . Pada
pemodelan ini nilai resistivitas endapan pasir dari 28,4 ohm.m - 750 Ohm.m.
Pemodelan tersebut merupakan model 3D berdasarkan korelasi 2D dengan
dengan 12 lintasan pada daerah pengukuran. Pada pemodelan ini persebaran
endapan pasir di arah mata angin barat laut serta beberapa di timur laut
hingga tenggara.

Gambar 5.14. Pemodelan Rockwork 3D Slice 794 m

56
5.3.2 Pemodelan Rockwork 3D Slice 799 m
Gambar 5.15 merupakan model 3D pada kedalaman 799 m yang
dilihat secara vertikal. Pada pemodelan ini nilai resistivitas endapan pasir
dari 28,4 ohm.m - 750 Ohm.m. Pemodelan tersebut merupakan model 3D
berdasarkan korelasi 2D dengan dengan 12 lintasan pada daerah
pengukuran.. Pada pemodelan ini persebaran endapan pasir yang berada di
arah mata angin barat laut meluas dibandingkan pemodelan slice 794 m
serta beberapa clousre di timur laut hingga tenggara juga meluas.

Gambar 5.15. Pemodelan Rockwork 3D Slice 799 m

57
5.3.3 Pemodelan Rockwork 3D Slice 804 m
Gambar 5.16 merupakan model 3D pada kedalaman 804 m yang
dilihat secara vertikal . Pada pemodelan ini nilai resistivitas endapan pasir
dari 28,4 ohm.m - 750 Ohm.m. Pemodelan tersebut merupakan model 3D
berdasarkan korelasi 2D dengan dengan 12 lintasan pada daerah
pengukuran.. Pada pemodelan ini persebaran endapan pasir terlihat dari
utara menumpuk di arah mata angin barat laut serta beberapa di timur laut
hingga tenggara. Di bandingkan dengan pemodelan Slice 799 m endapan
pasir pada pemodelan pada slice 804 m yang berada di barat laut
berkurang luasannya, namun closure pada timur laut dan tenggara
bertambah dan meluas.

Gambar 5.16. Pemodelan Rockwork 3D Slice 804 m

58
5.3.4 Pemodelan Rockwork 3D Slice 809 m
Gambar 5.17 merupakan model 3D pada kedalaman 809 m yang
dilihat secara vertikal . Pada pemodelan ini nilai resistivitas endapan pasir
dari 28,4 ohm.m - 750 Ohm.m. Pemodelan tersebut merupakan model 3D
berdasarkan korelasi 2D dengan dengan 12 lintasan pada daerah
pengukuran.. Pada pemodelan ini persebaran endapan pasir terlihat di arah
mata angin barat laut bebentuk closure serta beberapa di timur laut hingga
tenggara. Di bandingkan dengan pemodelan Slice 804 m endapan pasir
pada pemodelan slice 804 m yang berada di barat laut berkurang
luasannya membentukan closure kecil , namun closure pada timur laut
dan tenggara bertambah luasannya.

Gambar 5.17. Pemodelan Rockwork 3D Slice 809 m

59
5.3.5 Pemodelan Rockwork 3D Slice 814 m
Gambar 5.18 merupakan model 3D pada kedalaman 814 m yang
dilihat secara vertikal . Pada pemodelan ini nilai resistivitas endapan pasir
dari 28,4 ohm.m - 750 Ohm.m. Pemodelan tersebut merupakan model 3D
berdasarkan korelasi 2D dengan dengan 12 lintasan pada daerah
pengukuran.. Pada pemodelan ini persebaran endapan pasir terlihat di arah
mata angin barat laut bebentuk closure serta beberapa di timur laut hingga
tenggara. Di bandingkan dengan pemodelan Slice 804 m endapan pasir
pada pemodelan slice 814 m yang berada di barat laut berkurang
luasannya membentukan closure kecil , namun terdapat closure dari arah
utara hingga timur laut. Dan endapan pasir yang berada di tenggara tidak
jauh beda dari sebelumnya.

Gambar 5.18. Pemodelan Rockwork 3D Slice 814 m

60
5.3.6 Pemodelan Semua Slice Rockwork 3D
Gambar 5.19 merupakan. model 3D berdasarkan interpolasi dari
penampang 2D dengan 12 lintasan pada daerah pengukuran. . Pada
pemodelan ini nilai resistivitas endapan pasir dari 28,4 ohm.m - 750
Ohm.m. Dalam pemodelan ini menggunakan 5 slice yang dimana
penempatan slice tersebut berada pada kedalaman 814 m, 809 m, 804 m,
799 m, dan 794m. Hasil pemodelan ini menunjukkan geometri secara lateral
dan juga vertikal, sehingga memudahkan dalam menginterpretasi endapan
pasir.

Gambar 5.19. Pemodelan 3D Endapan Pasir Semua Slice

persebaran endapan pasir yang terlihat dari utara menumpuk


sampai arah mata angin barat laut hingga timur laut. Penampakan
closure kecil terlihat pada arah selatan hingga tenggara.
Berdasarkan perhitungan, total sumberdaya daerah Srumbung,
Kabupaten Magelang, Jawa Tengah yang dihitung dengan
menggunakan rumus perhitungan total potensi sumberdaya = volume x
densitas. Endapan pasir terukur dengan software Rockworks15 sebesar

61
954.600 m3, dengan nilai dari acuan tabel densitas (Telford, dkk 1976)
nilai densitas pasir berkisar antara 1,7 gr/cm3 sampai 2,3 gr/cm3
sehingga total potensi sumber daya pasir yaitu berkisar antara
1.622.820 ton sampai 2.195.580 ton.

62
BAB VI
PENUTUP

6.1. Kesimpulan
Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan
bahwa :
• Pada penampang Res2dinv didapatkan nilai 28,4 Ohm.m – < 450 Ohm.m
yang di interpretasikan sebagai endapan pasir tersortasi baik (wet). Dari
450 Ohm.m – 740 Ohm.m di interpretasikan sebagai endapan pasir
tersortasi buruk . Dari 740 - > 1274 Ohm.m di interpretasikan sebagai
bongkahan Andesit.
• Analisa pada pemodelan Rockworks persebaran endapan pasir terlihat dari
utara menumpuk sampai arah mata angin barat laut hingga timur laut.
Penampakan closure kecil terlihat pada arah selatan hingga tenggara. Total
potensi sumber daya pasir yaitu berkisar antara 1.622.820 ton sampai
2.195.580 ton.
6.2. Saran
Untuk menampilkan resolusi yang lebih baik maka diperlukan data titik
pengukuran tambahan sehingga pemodelan akan memiliki resolusi yang lebih baik
dan untuk agar dapat menganalisa serta memperkirakan estimasi cadangan pada
daerah penelitian maka diperlukan data endapan pasir yang di tambang
perharinya, yang nanti akan dikalkulasikan dengan data total sumberdaya
cadangan endapan pasir.
.

63
DAFTAR PUSTAKA

Bothe, A.CH.G., 1929, Jiwo Hills and Soutern Range, Excurcion Guide. IVth
Pacific Sci. Cong. Bandung.

Bronto, S. dan Hartono, H.G., 2001, Panduan Ekskursi Geologi Kuliah Lapangan
2, STTNAS: Yogyakarta.

Broto, S., Afifah,S., (2008), Pengolahan Data Geolistrik dengan Metode


Schlumberger, Jurnal, Fakultas Teknik, Universitas Jember, Jember

Bronto, S., 2000, Merapi Volcano Borobudur, Badan Geologi Kementerian Energi
dan Sumberdaya Mineral, Bandung.

Budiyanto, K. Y. 2000. Pelaksanaan Grouting Bendungan Sangiran, Ngawi, Jawa


Timur. Tim Pelaksana Boring dan Grouting Bendungan Sangiran.
Ngawi.

Dilatanti,Wahyuni. 2017. Studi Sebaran Mineral Menggunakan Metode Geolistrik


Konfigurasi Wenner Schlumberger Kecamatan
Pujananting,Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan. Universitas
Islam Negri Alauddin Makassar.

Egbai, J.C, Iserhien-Emekeme, R., dan Efeya ,p. 2015. Geoelectric Quantification
of Building Sand Deposits in Ogan, Edo State, Nigeria. Delta State
University.

Grandis, H. (2009). Pengantar Pemodelan Inversi Geofisika. Bandung: Himpunan


Ahli Geofisika Indonesia (HAGI).

Kanata, Bulkis dan Zubaidah. 2008. Pemodelan Fisika Aplikasi Metode Geolistrik
Konfigurasi Schlumberger untuk Investigasi Keberadaan Air Tanah.
Jurnal Vol. 7 No. 1 Januari – Juni 2008. Mataram.

Kusumaningsih, H., 2004, Studi Respon Permukaan Lokal di Sambisari, Kalasan,


Sleman dengan Menggunakan Teknik Horizontal to vertical Spectral
Ratio (HVSR) dari Gelombang Seismik, Skripsi S-1 Program Studi
Geofisika, FMIPA UGM, Yogyakarta.

Loke, M.H, 1999, electrical imaging surveys for enviromental and studies,
halaman 13-15.

Loke, M.H. 2004. 2-D and 3-D Electrical Imaging Survey. 62nd EAGE
Conference&Technical Exhibition Extended Abstrack, D-2.
Pallister, J.S., Schneider, D.J., Griswold, J.P., Keeler, R.H., Burton, W.C., Noyles,
C., Newhall, C.G., Ratdomopurbo, A., in press. Merapi 2010
eruption: Chronology and extrusion rates monitored with satellite
radar and used in eruption forecasting. Journal of Volcanology and
GeothermalResearch.
http://dx.doi.org/10.1016/j.jvolgeores.2012.07.012

Pettijohn, F.J., Potter, P.E. & Siever, R., 1987, Sand and Sandstone, 617 pp.
SpringerVerlag, Berlin

Qodri, Muhammad Fatih. 2015. Karakteristik dan Mekanisme Aliran Endapan


Lahar Sungai Apu, Desa Tlogolele, Kecamatan Selo, Kabupaten
Boyolali, Provinsi Jawa Tengah. PROCEEDING, SEMINAR
NASIONAL KEBUMIAN KE-8.

Rahardjo, W, Sukandarrumidi, Rosidi, H.M.D. 1977. Geologi Lembar


Yogyakarta, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Rahardjo, W., Sukandarrumidi dan Rosidi. H.M.D. 1995. Peta Geologi Lembar
Yogyakarta, Jawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi,
Bandung.

Rauf, A. 1998. Perhitungan Cadangan Endapan Mineral. Jurusan Teknik


Pertambangan Fakultas Teknologi Mineral UPN “Veteran”
Yogyakarta.
Robinson, E., and Caruh, C. 1988. Basic Exploration Geophysics. Wiley and Sons.
Santoso, D. 2002. Pengantar Teknik Geofisika. Institut Teknologi Bandung.
Surono (2008a) – Sedimentasi Formasi Semilir di Desa Sendang, Wuryanto,
Wonogiri, Jawa Tengah. Journal Sumber Daya Geologi, 18(1):29-41.

Surono (2008b) – Litostratigrafi dan sedimentasi Formasi Kebo dan Formasi


Butak di Pegunungan Baturagung, Jawa Tengah Bagian Selatan.
Jurnal Geologi Indonesia. Vol. 3 Pusat Survei Geologi, Bandung, 183
- 193.

Surono, Toha, B., dan Sudarno, 1992, Peta Geologi Lembar Surakarta –
Giritontro, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung

Surono (2009) – Litostratigrafi pegunungan selatan bagian timur Daerah Istimewa


Yogyakarta dan Jawa Tengah. Jurnal Sumber Daya Geologi. Vol. 19
Pusat Survei Geologi, Bandung, 209 – 221.

Telford, M.W., Geldart, L.P., Sheriff, R.E., and Keys, D.A., 1990, Applied
Geophysics Second Edition. London: Cambridge University Press.

Van Bemmelen, R.W. 1949. The Geology of Indonesia. Martinus Nyhoff. The
Haque, Nederland.
Van Bemmelen, R.W..1970. The Geology of Indonesia, volume 1. A.Haque.
Netherlands.

Anda mungkin juga menyukai