Anda di halaman 1dari 12

TUGAS III

KARYA TULIS ILMIAH

PENGGUNAAN MATERIAL LOKAL (BATU KAPUR) SEBAGAI AGREGAT

SLURRY SEAL

DISUSUN OLEH:

NAMA : TRI BAGUS JUNIARTO, ST


NIP : 199306252018021001
JABATAN : TEKNIK JALAN DAN JEMBATAN AHLI PERTAMA

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT


2018
PENGGUNAAN MATERIAL LOKAL (BATU KAPUR) SEBAGAI AGREGAT
SLURRY SEAL

Tri Bagus Juniarto, ST


Email : bagusmolodewo@gmail.com

ABSTRAK
Slurry seal merupakan campuran dari aspal emulsi, agregat halus dengan gradasi menerus, bahan pengisi
(filler) dan air yang dicampur secara merata. Slurry seal merupakan teknologi yang digunakan untuk
pemeliharaan jalan secara preventif sebagai upaya untuk memperpanjang umur perkerasan, jika
menunggu perkerasan jalan dalam kondisi rusak maka penanganan tidak efektif dan mahal. Berdasarkan
persyaratan Pedoman Perencanaan Bubur Aspal Elmulsi (slurry seal) tahun 1999 yaitu setting time slurry
seal adalah 15-720 menit, maka diperoleh setting time tertinggi untuk slurry seal menggunakan batu
kapur 225 menit pada kadar aspal (residu) 8,5%. Penggunaan batu kapur sebagai agregat cenderung
menurunkan densitas campuran dan menaikan porositas, hal ini dikarenakan perbedaan karakteristik
material batuan dari asal kejadian, umur dan tekstur batuan. Slurry seal menggunakan agregat gradasi
tipe II yang menggunakan aspal emulsi CSS-1h memiliki konsistensi atau ketahanan terhadap pelelehan
yang cukup baik. Penggunaan filler semen dengan kadar yang meningkat (dari 0% - 5%) akan
mempercepat pencapaian kondisi setting atau akan menurunkan setting time pada slurry seal.

Kata Kunci : Slurry Seal, Batu Kapur, Preventif, Filler, Emulsi CSS-1h

ABSTRACT
Slurry seal is a mixture of emulsion asphalt, fine aggregate with continuous gradation, filler and evenly
mixed water. Slurry seal is a technology used for preventive road maintenance as an effort to extend the
life of the pavement, if waiting for the pavement to be damaged, the handling is ineffective and
expensive. Based on the requirements of the Elmulsi Asphalt Slurry Planning Guidelines (Slurry Seal)
in 1999, the setting time is slurry the seal is 15-720 minutes, so obtained the setting time is highest for
slurry seal using 225 minutes limestone at 8.5% asphalt (residue). The use of limestone as an aggregate
tends to reduce the density of the mixture and increase porosity, this is due to differences in rock material
characteristics from the origin of the event, age and rock texture. Slurry seals using type II gradation
aggregates that use CSS-1h emulsion asphalt have a fairly good consistency or resistance to melting. The
use of filler cement with increasing levels (from 0% - 5%) will accelerate the achievement ofconditions
setting or will reduce the setting time on the slurry seal.

Keywords : Slurry Seal, Limestone, Preventive, Filler, CSS-1h Emulsion.


1. PENDAHULUAN
Salah satu parameter yang menentukan penurunan kondisi perkerasan jalan adalah kerusakan
permukaan. Retak, lubang, amblas dan alur merupakan jenis-jenis kerusakan yang sering dijumpai pada
permukaan jalan. Kerusakan tersebut dapat disebabkan oleh faktor lalu lintas, yaitu repetisi beban
kendaraan yang melintasi ruas jalan tersebut. Dalam upaya pengoptimalan pengelolaan jalan maka
pemeliharaan jalan sebaiknya dilakukan dengan pemeliharaan preventif, pemeliharaan prenvetif
merupakan penerapan penanganan sebelum terjadi penurunan yang signifikan pada perkerasan dan pada
umumnya pemeliharaan preventif ini bertujuan untuk memperpanjang umur perkerasan. Salah satu
teknologi untuk pemeliharaan preventif atau preservasi adalah teknologi Slurry Seal. Slurry seal adalah
campuran dari aspal emulsi, agregat halus dengan gradasi menerus, bahan pengisi (filler), dan air (Hicks,
2000). Agregat merupakan komponen utama dari slurry seal, agregat yang tersedia di alam sangat
beragam jenis maupun ukuran. Di Indonesia, ketersediaan batu kapur jumlahnya sangat banyak dan
belum dimanfaatkan secara optimal karena belum tersedianya acuan yang baku. Beberapa wilayah di
Indonesia kesulitan mendapatkan agregat berkualitas sesuai standar atau spesifikasi yang disyaratkan,
bila perlu didatangkan dari daerah lain maka membutuhkan waktu yang lama serta biaya yang tinggi,
memanfaatkan salah satu bahan material lokal yang umum digunakan yaitu batu kapur (limestone) untuk
keperluan bahan konstruksi pembangunan atau pemeliharaan jalan di Indonesia menjadi alternatif dalam
mempercepat pembangunan atau pemeliharaan jalan di wilayah tersebut. Dengan melimpahnya material
lokal (batu kapur) yang ada di daerah tersebut dapat dimanfaatkan sebagai agregat dalam campuran
slurry seal dalam upaya pemeliharaan preventif jalan.

2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Slurry Seal
Slurry Seal adalah campuran dari aspal emulsi mantap lambat, agregat halus dengan gradasi menerus,
bahan pengisi, dan air (Hicks, 2000). Slurry Seal merupakan campuran yang ramah lingkungan serta
aman terhadap kebakaran, karena emulsi berbasis air maka tidak memiliki titik nyala dan tidak mudah
terbakar. Karena berbasis air, aspal emulsi tidak menimbulkan resiko kesehatan bagi pekerja (Nono,
2013). Slurry Seal merupakan Surface Treatment tipis permukaan jalan yang dihampar hanya setebal
batuan agregat pada gradasi agregat campurannya. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan di beberapa
negara yang dikutip dari MDT (2006), bahwa pemeliharaan dengan Slurry Seal memiliki umur layan
antara 1-10 tahun, dapat dilihat pada tabel 1. Sebagai berikut :
Tabel 1. Umur Pelayanan dengan Slurry Seal dari Beberapa Sumber

Umur Pelayanan
Rujukan Catatan
(Tahun)
Bolander, 2005 5-10 Untuk LHR < 100
Bolander, 2005 5-8 Untuk LHR 100-500
Geoffroy, 1996 1-6 Menurut NCHRP
Geoffroy, 1996 3-5 Menurut FHWA
Geoffroy,1996 3-6 Menurut US Corps of Engineers
Hicks et al., 2000 2-5 Umur rata-rata menurut Ohio DOT
Hicks et al., 2000 2,5,7 Min. rata-rata maksimum
Hicks et al., 2000 3-4 Umur yang diharapkan dari Caltrans
Maher et al., 2000 3-8 Umur penanganan yang diharapkan
Sumber : MDT (2006)

Gambar 1. Wet Track Abrasion Test (ISSA, 2017)

Bahan untuk pembuatan slurry seal terdiri dari agregat, aspal emulsi, air, filler dan additive, bahan ini
dicampur dengan perbandingan tertentu berdasarkan tes laboratorium. Peranan agregat sangat penting
karena merupakan mineral pembentuk slurry seal sekitar 75%, agregat harus bersih, keras dan terbuat
dari batu pecah dengan gradasi yang sesuai. Untuk ketentuan campuran slurry seal dapat dilihat
pada tabel 2. Sebagai berikut:
Tabel 2. Ketentuan campuran Slurry Seal
Persyaratan
Sifat – sifat Campuran
Tipe 1 Tipe 2 Tipe 3
Kadar Residu Aspal Emulsi, % terhadap 10-16 7-13 6-11
berat agregat kering
Takaran Pemakaian, kg/m² 3,5-5 5,5-8 5-12
Ketebalan rata-rata, mm 2-3 4-5 7-10
Konsistensi, cm 2-3 2-3 2-3
Waktu pemantapan, menit 15-720 15-720 15-720
Waktu pengeringan, menit ≤ 720 ≤ 720 ≤ 720
Abrasi cara basah, gr/m² ≤ 800 ≤ 800 ≤ 800
Sumber : Bina Marga (1999)

2.2. Aspal Emulsi


Aspal emulsi adalah butiran-butiran aspal yang terdispersi dalam air. Dalam hal pelapisan dengan slurry,
emulsi yang digunakan bisa anionik atau kationik namun yang paling umum adalah jenis kationik. Aspal
emulsi yang digunakan pada slurry seal adalah jenis Slow Setting (SS) atau Quick Setting (QS). Aspal
Emulsi CSS-1 atau CSS-1h yang digunakan harus memenuhi persyaratan pada Pd.S-01- 1995-03
Spesifikasi Aspal Emulsi Kationik. Emulsi merupakan komponen utama slurry seal yang berfungsi
sebagai pengikat agregat, serta pengikat slurry seal dengan perkerasan lama. Pada tabel 3. Ketentuan
sifat fisik aspal emulsi CSS-1h sebagai berikiut :
Tabel 3. Ketentuan sifat fisik Aspal Emulsi CSS-1h (SNI 4798:2011)
Spesifikasi
Jenis Pengujian Metode Pengujian
Min Mak
Viskositas SF pada 50°C, detik SNI 03-6721-2002 20 100
eSt 40 200
Stabilitas penyimpanan 24 jam, % SNI 03-6828-2002 - 1
Muatan listrik partikel SNI 03-3644-1994 Positif Positif
Analisa saringan tertahan No. 20 - 0.1
Penyulingan : SNI 06-2488-91
Kadar air, % isi - -
Kaadar minyak, % isi - -
Kadar residu, % isi 57 -
Penetrasi residu 0.1 mm SNI 06-2456-91 40 90
Spesifikasi
Jenis Pengujian Metode Pengujian
Min Mak
Daktilitas residu, cm SNI 06-2432-91 40
Kelarutan residu dalam C2HCI3, % SNI 06-2438-91 97,5
Sumber : BSN (2011)

2.3. Agregat
Agregat merupakan butiran-butiran batu pecah, krikil, pasir atau mineral lain, baik berasal dari alam,
maupun agregat buatan yang berbentuk mineral padat berukuran besar maupun kecil atau fragmen-
fragmen. Agregat yang digunakan pada slurry seal harus agregat yang bergradasi rapat hasil dari
pemecah batu. Dilihat dari gradasinya slurry seal dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu tipe I, tipe II dan
tipe III. Perbedaan utamanya adalah ukuran agregat terbesarnya, yang menunjukkan jumlah residual pada
campuran dan kegunaan dimana slurry seal yang tepat untuk dipasang. Berdasarkan penelitian (John
P.Harris, 2007), bahwa kekerasan batu kapur yang berasal dari texas, memenuhi persyaratan sebagai
agregat kasar untuk campuran aspal beton, yaitu <25%. Dilihat secara sekilas, batu kapur dianggap
kekerasannya sebanding dengan batu kerikil dari sungai yang telah digunakan secara luas untuk
konstruksi jalan di Indonesia. Berikut ini merupakan gradasi agregat campuran Slurry Seal dapat dilihat
pada tabel . Sebagai berikut :

Tabel 4. Gradasi Agregat Campuran Slurry Seal


Ukuran Saringan % Berat yang lolos
ASTM mm Tipe 1 Tipe 2 Tipe 3
3/8” 9,5 100 100
No. 4 4,75 100 90-100 70-90
No. 8 2,36 90-100 65-90 45-70
No. 16 1,18 65-90 45-70 28-50
No. 30 0,600 40-60 30-50 19-34
No. 50 0,300 25-42 18-30 12-25
No. 100 0,150 15-30 10-21 7-18
No. 200 0,075 10-20 5-15 5-15
Sumber : Caltrans (2008)

2.4. Filler
Bahan pengisi terdiri atas 2 jenis yaitu aktif dan tidak aktif secara kimiawi. Bahan pengisi aktif seperti
semen portland, kapur tohor, aluminium sulfat, sedangkan yang tidak aktif diantaranya abu batu, abu
batu kapur dan abu arang batu yang memenuhi persyaratan SNI 03-6723-2002 dengan volume 0,5-3 %
dari berat kering agregat dalam perencanaan campuran. Bahan pengisi aktif digunakan untuk membantu
proses pencampuran sedangkan yang tidak aktif untuk memperbaiki gradasi agregat.

3. METODOLOGI
Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah metode analisis deskriptif. Data yang digunakan adalah
data sekunder yang diperoleh dari berbagai berbagai kajian terdahulu dan literatur yang telah ada.
Analisis data dilakukan dengan tiga proses kegiatan: reduksi data, tampilan (display data), dan penulisan
kesimpulan.. Untuk menjadi agregat yang bisa digunakan sebagai campuran dalam slurry seal harus
memenuhi persyaratan mutu agregat yang tertera pada Pedoman Perencanaan Bubur Aspal Emulsi
(Slurry Seal) No. 026/T/BM/1999.

4. PEMBAHASAN
a. Setting Time Slurry Seal
Setting time merupakan waktu yang dibutuhkan oleh aspal emulsi sejak pencampuran sampai aspal
mulai mengeras pada permurkaan agregat, dapat dilihat pada tabel 5. sebagai berikut:
Tabel 5. Setting Time Slurry Seal
Rata-rata Setting Time (menit)
Kadar Aspal
No Agregat Batu Agregat Batu
Residu (%)
Kapur* Standart**
1. 6,5 (a)
127,5 100
6,5 (b)
2 7,0 (a)
150 93
7,0 (b)
3 7,5 (a)
172,5 125
7,5 (b)
4 8,0 (a)
210 165
8,0 (b)
5 8,5 (a)
255 150
8,5 (b)
Sumber : *Ratna Kusumawati 2012, **Muhammad Shidqi, 2012

Berdasarkan persyaratan Pedoman Perencanaan Bubur Aspal Elmulsi (slurry seal) tahun 1999 yaitu
setting time slurry seal adalah 15-720 menit, maka dari hasil pengujian diperoleh setting time tertinggi
untuk slurry seal menggunakan batu kapur 225 menit pada kadar aspal (residu) 8,5% (tabel 5)
sehingga setting time dari agregat batu kapur tersebut dapat memenuhi syarat setting time.
Penggunaan filler semen dengan kadar yang meningkat (dari 0% - 5%) akan mempercepat pencapaian
kondisi setting atau akan menurunkan setting time pada slurry seal. Pada filler semen, faktor yang
berpengaruh pada setting time adalah workabilitas campuran. Dengan tingkat workabilitas yang lebih
tinggi maka aspal emulsi akan lebih mudah untuk menyelimuti permukaan agregat, menghasilkan
lapisan aspal yang lebih tipis dan kemungkinan aspal emulsi melakukan kontak dengan agregat akan
semakin besar, sehingga aspal emulsi akan semakin cepat mengalami breaking dan kondisi setting
(Agus Taufik Mulyono, 1999).
b. Densitas
Perbandingan antara berat dengan volume yang menujukkan besarnya kepadatan pada slurry seal,
dapat dilihat pada tabel 6. sebagai berikut :
Tabel 6. Densitas Slurry Seal
Densitas Rata-rata (gr/cm3)
Kadar Aspal Residu
No Agregat Batu Agregat Batu
(%)
Kapur* Standart**
1. 6,5 (a)
6,5 (b) 1,45 1,73
6,5 (c)
2 7,0 (a)
7,0 (b) 1,45 1,73
7,0 (c)
3 7,5 (a)
7,5 (b) 1,46 1,74
7,5 (c)
4 8,0 (a)
8,0 (b) 1,45 1,75
8,0 (c)
5 8,5 (a)
8,5 (b) 1,44 1,78
8,5 (c)
Sumber : *Ratna Kusumawati 2012, **Muhammad Shidqi, 2012
c. Spesific Grafity
Spesific Grafity dapat dilihat pada tabel 7. sebagai berikut :
Tabel 7. Spesific Grafity
Kadar Aspal Residu
SGmix (gr/cm3)
Slurry Seal (%)
6,5 2,07
7,0 2,03
Agregat Batu
7,5 2,01
Kapur*
8,0 1,98
8,5 1,95
6,5 2,24
7,0 2,18
Agregat Batu
7,5 2,16
Standart**
8,0 2,12
8,5 2,09
Sumber : *Ratna Kusumawati 2012, **Muhammad Shidqi, 2012
d. Porositas
Porositas menunjukkan kandungan udara yang terdapat pada campuran suatu perkerasan, porositas
juga dipengaruhi oleh nilai densitas dan specific grafity slurry seal, dapat dilihat pada tabel 8. sebagai
berikut:
Kadar Aspal Densitas Rata-rata
Slurry Seal SGmix (gr/cm3) Porositas (%)
Residu (%) (gr/cm3)
6,5 1,45 2,07 29,81
7,0 1,45 2,03 28,57
Agregat Batu
7,5 1,46 2,01 27,56
Kapur
8,0 1,45 1,98 26,62
8,5 1,44 1,95 26,00
6,5 1,730 2,24 22,76
7,0 1,733 2,18 20,50
Agregat Batu
7,5 1,743 2,16 19,31
Standart
8,0 1,750 2,12 17,45
8,5 1,777 2,09 14,98
Tabel 8. Porositas Slurry Seal
Sumber : *Ratna Kusumawati 2012, **Muhammad Shidqi, 2012

Batuan kapur termasuk batuan sedimen batuan ini terdiri dari kalsium karbonat (CaCO3) mencapai
95%, selain kalsium karbonat batu kapur juga mengandung silika, magnesit, alumina serta beberapa
senyawa lainnya namun dalam jumlah yang lebih kecil. Penggunaan batu kapur sebagai agregat
cenderung menurunkan densitas campuran (tabel 6) dan menaikan porositas (tabel 8), hal ini
dikarenakan perbedaan karakteristik material batuan dari asal kejadian, umur dan tekstur batuan.
Penggunaan semen sebagai filler karena semen merupakan jenis bahan yang bersifat basa dan apabila
dicampur dengan aspal emulsi kationik terjadi proses penetralan terlebih dahulu sebelum terbentuk
ikatan antara aspal emulsi dengan semen. Sifat semen yang mempunyai berat jenis lebih besar
daripada abu batu dengan berat yang sama akan lebih sedikit menyerap air daripada abu batu untuk
mencapai kondisi jenuh air, sehingga semakin besar kadar semen semakin banyak kadar air yang
tersisa yang dapat digunakan untuk meningkatkan workabilitas campuran. Campuran Slurry Seal
dengan gradasi tipe II yang menggunakan aspal emulsi CSS-1h memiliki konsistensi atau ketahanan
terhadap pelelehan (flow) cukup baik dan nilai keausan hasil pengujian dengan WTAT cukup rendah
atau memenuhi persyaratan (Nono, 2013).
5. PENUTUP
5.1. Kesimpulan
1. Campuran slurry seal dengan campuran agregat batu kapur cenderung menurunkan densitas
campuran dan menaikan porositas, hal ini dikarenakan perbedaan karakteristik material batuan
dari asal kejadian, umur dan tekstur batuan. Slurry seal menggunakan agregat gradasi tipe II yang
menggunakan aspal emulsi CSS-1h memiliki konsistensi atau ketahanan terhadap pelelehan yang
cukup baik.
2. Penggunaan filler semen dengan kadar yang meningkat (dari 0% - 5%) akan mempercepat
pencapaian kondisi setting atau akan menurunkan setting time pada slurry seal.
5.2. Saran
1. Penggunaan slurry seal sebagai salah satu teknologi untuk preservasi jalan dengan menggunakan
batu kapur sebagai agregat lebih cocok untuk lalulintas rendah dan sedang.
2. Perlu adanya penambahan zat adiktif untuk mendapatkan campuran slurry seal yang baik karena
batu kapur memiliki sifat lunak dan rapuh serta absorbs air yang tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Adnan, Muhammad Shidqi, 2012. Kajian Karakter Slurry Seal dengan Filler Campuran Semen
dan Fly Ash (Tinjauan Uji Konsistensi, Setting Time dan ITS). Universitas Sebelas
Maret. Tugas AKhir. Surakarta.
Ahmad, Malik. 2010. Kajian Karakter Indirect Tensile Strenght Aspal Concrete Recycle dengan
Campuran Asphalt Penetrasi 60/70 dan Residu Oli Pada Campuran Hangat.
Universitas Sebelas Maret. Tugas Akhir. Surakarta.
Badan Standardisasi Nasional. 2011. Spesifikasi aspal emulsi kationik. SNI 4798:2011.Jakarta:
BSN.
Badan Standardisasi Nasional. 2002. Spesifikasi Bahan Pengisi Untuk Campuran Beraspal.SNI
03-6723:2002. Jakarta: BSN
Caltrans. 2008. Maintenance Technical Advisory Guide Volume I – Flexible Pavement
Preservation. 2nd Edition. Sacramento: State of California Department of
Transportation.
Gunawan, Eri. 2011. Penggunaan Slurry Seal sebagai Pemeliharaan Permukaan Perkerasan
Jalan. Universitas Sebelas Maret. Tesis. Surakarta.
Hasan Arfan, Sumiati. 2014. Pengaruh Penggunaan Batu Kapur sebagai Pengganti Agregat
Halus pada Campuran Aspal Beton (AC-BC). Jurnal Teknik Sipil. Vol. 10, No.2.
Palembang.
Hicks, R Gary, Seeds, Stephen B, Peshkin, David G. 2000. Selecting a Preventif Maintenance
Treatment for Flexible Pavement. Washington DC. FHWA.
John P.Harris. 2007. Tests to Identify Poor Quality Coarse Limestone Aggregates and
Acceptable Limits for such Aggregates in Bituminous mixes. Associate Research
Scientist Texas Transportation Institute.
Kementerian Pekerjaan Umum. Direktorat Jendral Bina Marga 1999. Pedoman Perencanaan
Bubur Aspal Emulsi (Slurry Seal). No.026/T/BM/1999. Jakarta: Kementerian PU.
Kusumawati, R. 2012. Kajian Penggunaan Batu Basalt dan Batu Kapur sebagai Agregat pada
Slurry Seal. Universitas Sebelas Maret. Tugas Akhir. Surakarta.
Montana Department of Transport (MDT). 2006. Preventive Maintenance Treatments of
Flexible Pavements : A Synthetis of Highway Practice. Montana: Western
Transportation Institutes.
Nono. 2013. Penggunaan Slurry Seal Untuk Pemelihaan Perkerasan Jalan. Bandung: Pusat
Litbang Jalan dan Jembatan. Vol.
Taufik A, Hapsoro S, Saputro Dwi N. 1999. Tinjauan Setting Time pada Slurry Seal yang
Menggunakan Semen dan Kapur. Forum Teknik Jilid 23 No. 1: Yogyakarta.
Techno Konstruksi. 2010. Teknologi Aspal Emulsi untuk Menunjang Preservasi Jalan. Techno
Konstruksi Juli 2010 hal 54-57. Jakarta.
Widana, I.N.W, dan Putra, T. G. S. 2010. Potensi Batu Kapur Nusa Peninda sebagai Agregat
Perkerasan Jalan. Jurnal Ilmiah Teknik Sipil. No.1, Vol.14, 69-73. Bali.

Anda mungkin juga menyukai