Anda di halaman 1dari 51

DIREKTORAT JENDERAL SUMBER DAYA AIR

DRAFT PEDOMAN PEMBERDAYAAN P3A & PETANI


DALAM KEGIATAN IRIGASI PERTANIAN

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT

2017
KATA PENGANTAR

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar................................................................................................................. i
Daftar Isi........................................................................................................................... ii
Daftar Tabel...................................................................................................................... iii
Daftar Gambar.................................................................................................................. iv
Bab I. Pendahuluan...................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang..................................................................................................... 1
1.2. Maksud dan Tujuan............................................................................................. 1
1.3. Sasaran................................................................................................................ 2
1.4. Ruang Lingkup..................................................................................................... 2
1.5. Dasar Hukum....................................................................................................... 2
1.6. Istilah dan Defenisi.............................................................................................. 3
Bab II. Pemberdayaan P3A............................................................................................. 7
2.1. Gambaran Umum................................................................................................ 7
2.2. Ruang Lingkup...................................................................................................... 7
2.3. Pemberdayaan P3A, GP3A, dan IP3A...................................................................... 8
2.4. Keanggotaan dan Susunan KelembagaanP3A, GP3A, dan IP3A..................................
9
2.5. Wilayah Kerja P3A, GP3A, dan IP3A...................................................................... 11
2.6. Hubungan Kerja dan Hubungan Fungsional.............................................................. 12
2.7. Pemberdayaan P3A, GP3A, dan IP3A................................................................... 14
2.8. Pembiayaan Pemberdayaan P3A, GP3A, dan IP3A................................................ 17
2.9. Pemantauan (Monitoring) dan Evaluasi................................................................ 17
Bab III. Perlindungan dan Pemberdayaan Petani............................................................. 18
3.1. Gambaran Umum................................................................................................ 18
3.2. Ruang Lingkup..................................................................................................... 19
3.3. Perlindungan Petani............................................................................................. 19
3.4. Pemberdayaan Petani......................................................................................... 24
3.5. Pembiayaan dan Pendanaan................................................................................ 31
3.6. Pengawasan........................................................................................................ 33
3.7. Peran Serta Masyarakat...................................................................................... 33
Bab IV. Keterlibatan P3A & Petani dalam Kegiatan Irigasi Pertanian................................. 35

ii
4.1. Gambaran Umum................................................................................................ 35
4.2. Ruang Lingkup...................................................................................................... 37
4.3. Keterlibatan P3A/GP3A/IP3A/Masyarakat Petani dalam Pengembangan dan
Pengelolaan Sistem Irigasi.................................................................................... 37
Daftar Pustaka
Lampiran

iii
DAFTAR TABEL

iv
DAFTAR GAMBAR

v
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Peningkatan ketahanan pangan, pendapatan dan mata pencaharian masyarakat perdesaan di
Indonesia melalui program irigasi pertanian harus didukung semua pihak baik pemerintah maupun
masyarakat. Pelibatan masyarakat petani merupakan salah satu terobosan yang dilakukan oleh
pemerintah guna menjaga keberlanjutan pelaksanaan irigasi pertanian di setiap daerah irigasi (DI) di
Indonesia.

Upaya pemerintah terkait kegiatan Pemberdayaan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) dan
Petani secara umum difokuskan kepada pemberdayaan organisasi/lembaga dan sumber daya
manusianya sebagai penyelenggara irigasi partisipatif. Adanya dukungan sumber daya manusia yang
berkualitas diharapkan dapat membangun keterpaduan sistem antara pengelolaan jaringan irigasi
dan agribisnis pangan. Pemberdayaan diharapkan dapat menumbuhkembangkan kerjasama yang
baik antar petani maupun dengan pihak lainnya, terkait dengan pengelolaan jaringan irigasi,
pemecahan masalah usahatani anggota secara lebih efektif, dan pengembangan akses informasi
pasar, teknologi, permodalan dan sumber daya lainnya.

Lebih lanjut Pemberdayaan P3A tidak lepas dari perwujudan terlaksananya fungsi dasar P3A yakni: a)
mendistribusikan air irigasi secara adil dan efisien; b) mengelola konflik yang terjadi antara pemakai
air secara adil; dan c) memelihara jaringan irigasi tersier/tingkat usaha tani, baik irigasi teknis
maupun irigasi desa secara baik dan berkesinambungan. Dengan demikian, diperlukan adanya
Pedoman Pemberdayaan P3A dan Petani secara umum yang nantinya dijadikan acuan bagi petugas
yang melaksanakan kegiatan pemberdayaan.

1.2. Maksud dan Tujuan


Maksud disusunnya Pedoman Pemberdayaan P3A dan Petani adalah tercapainya peningkatan
kapasitas dan profesionalisme sumber daya manusia dalam pengelolaan jaringan irigasi
tersier/tingkat usaha tani. Sedangkan tujuan dari pedoman ini adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan kemampuan P3A sebagai kelembagaan petani dan petani secara umum untuk
melaksanakan fungsi pengelolaan jaringan irigasi pada petak tersier/tingkat usaha tani;
2. Meningkatkan kemandirian P3A khususnya dalam bidang teknik irigasi, sosial, ekonomi dan
organisasi, sehingga dapat berperan aktif dalam kegiatan pengembangan dan pengelolaan sistem
irigasi partisipatif;

1
3. Meningkatkan pelayanan pendistribusian air irigasi untuk petani yang merupakan bagian dari
anggota P3A dalam melaksanakan kegiatan usaha tani;
4. Meningkatkan kemampuan P3A dalam menjalin kerjasama dengan pihak luar, termasuk
pemerintah daerah atau lembaga lain untuk kepentingan petani anggota; dan
5. Meningkatkan peran petani dalam penyelenggaraan irigasi secara partisipatif mulai dari
perencanaan, pelaksanaan konstruksi (pembangunan baru dan rehabilitasi/peningkatan), operasi
dan pemeliharaan jaringan irigasi, dan pengelolaan sumber daya air untuk peningkatan produksi
pangan dan kepentingan pembangunan pertanian.

1.3. Sasaran
Sasaran Pedoman Pemberdayaan P3A dan Petani adalah:
1. P3A pada jaringan irigasi tersier/tingkat usaha tani dan petani penerima manfaat fasilitas air
irigasi lainnya;
2. Pengambil kebijakan di tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan pusat; dan
3. Masyarakat pertanian dan pemangku kepentingan lainnya yang dapat mendukung
pemberdayaan P3A.

1.4. Ruang Lingkup


Ruang lingkup Pedoman Pemberdayaan P3A dan Petani meliputi:
1. Pendahuluan;
2. Pemberdayaan P3A;
3. Perlindungan dan pemberdayaan petani; dan
4. Keterlibatan P3A dan Petani dalam kegiatan Irigasi Pertanian.

1.5. Dasar Hukum


Adapun kegiatan Pemberdayaan P3A dan Petani terkait kegiatan Irigasi Pertanian mengacu pada
beberapa landasan hukum sebagai berikut:
1. Undang – Undang No 11 Tahun 1974 tentang Pengairan
2. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
3. Undang-Undang No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani;
4. Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 1982 tentang Pengairan
5. Peraturan Pemerintah No. 77 Tahun 2001 Tentang irigasi;
6. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No. 12/PRT/M/2015 Tentang
Eksploitasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi; dan

2
7. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No. 30/PRT/M/2015 Tentang
Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Irigasi.
8. Peraturan Menteri Pertanian No. 79/Permentan/OT.140/12/2012 Tentang Pedoman Pembinaan
dan Pemberdayaan Perkumpulan Petani Pemakai Air.
9.

1.6. Istilah dan Defenisi


Dalam Pedoman ini yang dimaksud dengan:
1. Petani pemakai air adalah semua petani yang mendapat manfaat secara langsung dari
pengelolaan air dan jaringan irigasi, termasuk irigasi pompa yang meliputi pemilik sawah,
penggarap sawah, penyakap sawah, pemilik kolam ikan yang mendapat air irigasi, dan badan
usaha di bidang pertanian yang memanfaatkan air irigasi.
2. Perkumpulan petani pemakai air yang selanjutnya disebut P3A adalah kelembagaan
pengelolaan irigasi yang menjadi wadah petani pemakai air dalam suatu daerah layanan/petak
tersier atau desa yang dibentuk secara demokratis oleh petani pemakai air termasuk lembaga
lokal pengelola irigasi.
3. Gabungan petani pemakai air yang selanjutnya disebut GP3A adalah kelembagaan sejumlah
P3A yang bersepakat bekerja sama memanfaatkan air irigasi dan jaringan irigasi pada daerah
layanan blok sekunder, gabungan beberapa blok sekunder, atau satu daerah irigasi.
4. Induk perkumpulan petani pemakai air yang selanjutnya disebut IP3A adalah kelembagaan
sejumlah GP3A yang bersepakat bekerja sama untuk memanfaatkan air irigasi dan jaringan
irigasi pada daerah layanan blok primer, gabungan beberapa blok primer, atau satu daerah
irigasi.
5. Pembentukan P3A/GP3A/IP3A adalah proses membentuk wadah petani pemakai air secara
demokratis dalam rangka pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi di wilayah kerjanya.
6. Pemberdayaan perkumpulan petani pemakai air adalah upaya penguatan dan peningkatan
kemampuan P3A/GP3A/IP3A yang meliputi aspek kelembagaan, teknis dan pembiayaan
dengan dasar keberpihakan kepada petani melalui pembentukan, pelatihan, pendampingan,
dan menumbuhkembangkan partisipasi.
7. Irigasi adalah usaha penyediaan, pengaturan, dan pembuangan air irigasi untuk menunjang
pertanian yang jenisnya meliputi irigasi permukaan, irigasi rawa, irigasi air bawah tanah, irigasi
pompa, dan irigasi tambak.
8. Daerah irigasi adalah kesatuan lahan yang mendapat air dari satu jaringan irigasi.

3
9. Jaringan irigasi adalah saluran, bangunan, dan bangunan pelengkap yang merupakan satu
kesatuan yang diperlukan untuk penyediaan, pembagian, pemberian, penggunaan, dan
pembuangan air irigasi.
10.Pembagian air irigasi adalah kegiatan membagi air di bangunanbagi dalam jaringan primer
dan/atau jaringan sekunder.
11.Pemberian air irigasi adalah kegiatan menyalurkan air dengan jumlah tertentu dari jaringan
primer atau jaringan sekunder ke petak tersier.
12.Jaringan irigasi desa adalah jaringan irigasi yang dibangun dan dikelola oleh masyarakat
desa atau pemerintah desa.
13.Jaringan irigasi primer adalah bagian dari jaringan irigasi yang terdiri atas bangunan utama,
saluran induk/primer, saluran pembuangannya, bangunan bagi, bangunan bagisadap,
bangunan sadap dan bangunan pelengkapnya.
14.Jaringan irigasi sekunder adalah bagian dari jaringan irigasi yang terdiri atas saluran sekunder,
saluran pembuangannya, bangunan bagi, bangunan bagi sadap, bangunan sadap,
dan bangunan pelengkapnya.
15.Jaringan irigasi tersier adalah jaringan irigasi yang berfungsi sebagai prasarana pelayanan air
irigasi dalam petak tersier yang terdiri atas saluran tersier, saluran kuarter dan saluran
pembuang, boks tersier, boks kuarter, serta bangunan pelengkapnya.
16.Pemerintah provinsi adalah gubernur dan perangkat daerah provinsi lainnya sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
17.Pemerintah kabupaten/kota adalah bupati/walikota dan perangkat daerah kabupaten/kota
lainnya sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
18.Pemahaman partisipatif kondisi perdesaan adalah salah satu metode untuk memudahkan
masyarakat/petani agar dapat menggali kebutuhan, permasalahan, dan dapat mengatasi
permasalahan sesuai dengan potensi yang tersedia.
19.Profil sosial ekonomi, teknik, dan kelembagaan yang selanjutnya disebut PSETK adalah analisis
dan gambaran keadaan sosial ekonomi, teknis, dan kelembagaan yang terdapat pada satu
atau sebagian daerah irigasi dalam kurun waktu tertentu.
20.Kelompok pemandu lapangan yang selanjutnya disebut KPL adalah tenaga dari Pemerintah
atau pemerintah daerah yang bertugas di lapangan yang terdiri atas unsur pertanian, unsur
pengairan/sumber daya air, dan unsur lain dari kecamatan/desa yang mempunyai tugas pokok
memfasilitasi program pemberdayaan P3A/GP3A/IP3A.

4
21.Tenaga pendamping petani yang selanjutnya disebut TPP adalah tenaga untuk mendampingi
petani dan pengurus P3A/GP3A/IP3A yang mempunyai tugas pokok mendorong pemberdayaan
P3A/GP3A/IP3A.
22.Tenaga Pendamping Masyarakat adalah tenaga/orang yang dibutuhkan dan dipilih melalui proses
seleksi pengadaan, dan pelatihan oleh lembaga yang ditunjuk guna mendampingi petani yang
mempunyai tugas pokok mendorong pemberdayaan P3A/GP3A/IP3A maupun Poktan/ Gapoktan.
23.Pemberdayaan P3A adalah proses aktifitas berupa upaya pembentukan, penguatan, dan
peningkatan kemampuan P3A yang meliputi aspek kelembagaan, teknis, dan pembiayaan dalam
persiapan operasi dan pemeliharaan.
24.Perlindungan Petani adalah segala upaya untuk membantu Petani dalam menghadapi
permasalahan kesulitan memperoleh prasarana dan sarana produksi, kepastian usaha, risiko
harga, kegagalan panen, praktik ekonomi biaya tinggi, dan perubahan iklim.
25.Pemberdayaan Petani adalah segala upaya untuk meningkatkan kemampuan Petani untuk
melaksanakan Usaha Tani yang lebih baik melalui pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan
pendampingan, pengembangan sistem dan sarana pemasaran hasil Pertanian, konsolidasi dan
jaminan luasan lahan pertanian, kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi,
serta penguatan Kelembagaan Petani.
26.Petani adalah warga negara Indonesia perseorangan dan/atau beserta keluarganya yang
melakukan Usaha Tani di bidang tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan/atau
peternakan.
27.Pertanian adalah kegiatan mengelola sumber daya alam hayati dengan bantuan teknologi, modal,
tenaga kerja, dan manajemen untuk menghasilkan Komoditas Pertanian yang mencakup tanaman
pangan, hortikultura, perkebunan, dan/atau peternakan dalam suatu agroekosistem.
28.Komoditas Pertanian adalah hasil dari Usaha Tani yang dapat diperdagangkan, disimpan,
dan/atau dipertukarkan.
29.Usaha Tani adalah kegiatan dalam bidang Pertanian, mulai dari sarana produksi, produksi/budi
daya, penanganan pascapanen, pengolahan, pemasaran hasil, dan/atau jasa penunjang.
30.Pelaku Usaha adalah Setiap Orang yang melakukan usaha sarana produksi Pertanian, pengolahan
dan pemasaran hasil Pertanian, serta jasa penunjang Pertanian yang berkedudukan di wilayah
hukum Republik Indonesia.
31.Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun
yang tidak berbadan hukum.
32.Kelembagaan Petani adalah lembaga yang ditumbuhkembangkan dari, oleh, dan untuk Petani
guna memperkuat dan memperjuangkan kepentingan Petani.

5
33.Kelompok Tani adalah kumpulan Petani/peternak/pekebun yang dibentuk atas dasar kesamaan
kepentingan; kesamaan kondisi lingkungan sosial, ekonomi, sumber daya; kesamaan komoditas;
dan keakraban untuk meningkatkan serta mengembangkan usaha anggota.
34.Gabungan Kelompok Tani adalah kumpulan beberapa Kelompok Tani yang bergabung dan
bekerja sama untuk meningkatkan skala ekonomi dan efisiensi usaha.
35.Asosiasi Komoditas Pertanian adalah kumpulan dari Petani, Kelompok Tani, dan/atau Gabungan
Kelompok Tani untuk memperjuangkan kepentingan Petani.
36.Dewan Komoditas Pertanian Nasional adalah suatu lembaga yang beranggotakan Asosiasi
Komoditas Pertanian untuk memperjuangkan kepentingan Petani.
37.Kelembagaan Ekonomi Petani adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan Usaha Tani yang
dibentuk oleh, dari, dan untuk Petani, guna meningkatkan produktivitas dan efisiensi Usaha Tani,
baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
38.Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk
penyediaan dana atau barang modal untuk memfasilitasi serta membantu Petani dalam
melakukan Usaha Tani.
39.Asuransi Pertanian adalah perjanjian antara Petani dan pihak perusahaan asuransi untuk
mengikatkan diri dalam pertanggungan risiko Usaha Tani.
40.Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
41.Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati/walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.

6
II. PEMBERDAYAAN P3A

2.1. Gambaran Umum


Pemberdayaan dan pembentukan P3A didasarkan kepada pemikiran bahwa kelembagaan petani
pemakai air sudah ada di perdesaan sejak zaman dahulu, namun kondisinya sebagian besar masih
belum berkembang dan bersifat tradisional sesuai adat dan kondisi lokal yang ada. Pembentukan
dan pemberdayaan P3A dilakukan untuk meningkatkan kemampuan kelembagaan yang sudah ada
melalui peningkatan kemampuan belajar masyarakat dengan 3 (tiga) unsur yaitu: a) membangun
rasa saling percaya; b) membangun kreatifitas; dan c) melestarikan kearifan lokal.

2.2. Pembentukan P3A

2.2.1 Ketentuan Pembentukan

Pembentukan P3A didasarkan atas prinsip dari, oleh, dan untuk petani yang dilaksanakan secara
demokratis dan melibatkan seluruh anggota petani pemakai air, dengan memperhatikan kondisi
kesamaan kepentingan, sumber daya alam, sosial ekonomi, keakraban, saling mempercayai, dan
keserasian hubungan antar petani, sehingga menjadi faktor pengikat untuk kelestarian kehidupan
berkumpul, dimana setiap anggota merasa memiliki dan menikmati manfaat sebesar-besarnya dari
keberadaan P3A.
P3A dapat juga dibentuk dari petani dalam satu wilayah, berupa satu dusun atau lebih, satu desa
atau lebih, dapat berdasarkan domisili atau hamparan serta tergantung dari aliran air/sungai yang
akan mengairi lahan usahatani atau mengikuti batas wilayah hidrologis dan administrasi
pemerintahan di wilayah tersebut. Wilayah kerja P3A ditetapkan berdasarkan petak tersier atau
berdasarkan batas wilayah desa atau sesuai dengan kesepakatan dan penetapan dari para anggota.

P3A dalam satu daerah pelayanan sekunder tertentu dapat bergabung membentuk Gabungan P3A
/GP3A atau dengan nama lain pada tingkat daerah pelayanan sekunder secara demokratis untuk
mengelola sebagian daerah irigasi sebagai satu kesatuan pengelolaan.

Dalam suatu wilayah administratip apabila P3A membutuhkan forum yang dibentuk atas prakarsa,
kesepakatan dan ketentuan bersama, maka P3A dapat bergabung dalam wadah Forum Komunikasi
P3A.

7
GP3A dalam satu daerah irigasi tertentu dapat bergabung sampai terbentuk IP3A atau dengan nama
lain pada tingkat daerah irigasi secara demokratis untuk mengelola daerah irigasi sebagai satu
kesatuan pengelolaan.

2.3. Ruang Lingkup


Ruang lingkup Pemberdayaan P3A dalam bab ini adalah meliputi:
1. Gambaran umum;
2. Ruang lingkup;
3. Pemberdayaan P3A, GP3A, dan IP3A;
4. Keanggotaan P3A, GP3A, dan IP3A;
5. Wilayah Kerja dan Hubungan Fungsional;
Pemberdayaan P3A, GP3A, dan IP3A;
6. Pembiayaan Pemberdayaan P3A, GP3A, dan IP3A; dan
7. Pemantauan (Monitoring) dan Evaluasi.

2.4. Pemberdayaan P3A, GP3A, dan IP3A


Organisasi Kelembagaan petani pemakai air dibentuk berasaskan gotong royong, dimana bersifat
sosial-ekonomi dan budaya yang berwawasan lingkungan. Kelembagaan petani pemakai air
dimaksud terdiri dari:
1. Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A);
2. Gabungan Perkumpulan Petani Pemakai Air (GP3A); dan
3. Induk Perkumpulan Petani Pemakai Air (IP3A).

Maksud pedoman pemberdayaan P3A/GP3A/IP3A adalah digunakan sebagai acuan bagi semua pihak
yang melakukan pemberdayaan P3A/GP3A/IP3A. Sedangkan tujuannya adalah meningkatkan
kemampuan P3A/GP3A/IP3A dalam melaksanakan pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi.

2.2.2 Tatacara Pembentukan

1. Pembentukan P3A

Pembentukan P3A melalui proses pengambilan keputusan dengan mengikutsertakan sekurang-


kurangnya dua per tiga dari jumlah petani pemakai air dalam satu blok layanan tersier. Kemudian
pembentukan P3A dapat difasilitasi oleh Pemerintah dalam hal ini pemerintah provinsi, pemerintah

8
kabupaten/kota, dan/atau pihak lain. Dengan demikian, pembentukan P3A dapat dilakukan dengan
cara:
1. Mengadakan kesepakatan bersama untuk membentuk P3A; dan
2. Menyusun kepengurusan P3A.
Apabila proses pembentukannya tidak demokratis dan/atau tidak mencapai kesepakatan, maka
pemerintah daerah dapat menfasilitasi pembentukan kelembagaan dimaksud sesuai dengan
permintaan petani pemakai air untuk melakukan kesepakatan ulang.

2. Pembentukan GP3A

P3A dapat bergabung untuk membentuk GP3A. GP3A dibentuk secara demokratis dari, oleh, dan
untuk beberapa P3A yang berada dalam daerah layanan/blok sekunder dengan keanggotaan yang
terdiri atas P3A yang berada pada blok sekunder dalam satu daerah irigasi di wilayah kerjanya.
Pembentukan GP3A diutamakan untuk mengkoordinasikan beberapa P3A yang berada pada daerah
layanan/blok sekunder, gabungan beberapa blok sekunder, atau satu daerah irigasi dalam berperan
serta pada kegiatan pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi di wilayah kerjanya.
Pembentukan GP3A dilakukan dengan cara:
1. Mengadakan kesepakatan bersama untuk membentuk GP3A oleh beberapa P3A yang
berlokasi pada sebagian daerah irigasi atau pada tingkat sekunder; dan
2. Menyusun kepengurusan GP3A.
Terkait dengan 2 hal tersebut di atas, Apabila proses pembentukannya tidak demokratis dan/atau
tidak mencapai kesepakatan, maka pemerintah daerah dapat menfasilitasi pembentukan
kelembagaan dimaksud sesuai dengan permintaan petani pemakai air untuk melakukan kesepakatan
ulang.

3. Pembentukan IP3A
Kemudian terkait I P3A, GP3A dapat bergabung untuk membentuk IP3A yang memiliki asas dari, oleh
dan untuk beberapa GP3A yang berada dalam satu daerah irigasi secara demokratis dengan
kepengurusan dan keanggotaan terdiri atas perwakilan GP3A yang berada pada suatu daerah irigasi.
Adapun pembentukan IP3A sebagaimana disebutkan di atas, diutamakan untuk mengkoordinasikan
beberapa GP3A yang berada dalam suatu daerah layanan/blok primer, gabungan beberapa blok
primer atau satu daerah irigasi yang berperan serta pada pengembangan dan pengelolaan sistem
irigasi. Lebih lanjut pembentukan IP3A dilakukan dengan cara:
1. Mengadakan kesepakatan bersama untuk membentuk IP3A oleh beberapa GP3A yang berlokasi
pada satu daerah irigasi; dan

9
2. Menyusun kepengurusan IP3A.
Terkait dengan 2 hal tersebut di atas, apabila proses pembentukannya tidak demokratis dan/atau
tidak mencapai kesepakatan, maka pemerintah daerah dapat menfasilitasi pembentukan
kelembagaan dimaksud sesuai dengan permintaan petani pemakai air untuk melakukan kesepakatan
ulang.

2.2.3 Keanggotaan dan Susunan Kelembagaan P3A/GP3A/IP3A


Anggota P3A terdiri atas dari petani yang mendapat manfaat secara langsung dari pelayanan petak
tersier, irigasi pompa, dan irigasi perdesaan yang mencakup pemilik sawah, penggarap sawah,
penyakap sawah, pemilik kolam ikan yang mendapat air irigasi, dan badan usaha di bidang pertanian
yang memanfaatkan air irigasi. Sedangkan GP3A terdiri dari P3A yang berada pada daerah layanan
blok sekunder dalam satu daerah irigasi, dan anggota IP3A terdiri dari GP3A yang berada pada satu
daerah irigasi.
Susunan kelembagaan P3A, GP3A, dan IP3A terdiri dari rapat anggota, pengurus, dan anggota. Rapat
anggota merupakan kekuasaan tertinggi di dalam kelembagaanP3A, GP3A, dan IP3A. Sementara
pengurus P3A ditetapkan dalam rapat anggota yang terdiri dari ketua, wakil ketua, sekretaris,
bendahara, pelaksana teknis (teknis irigasi dan teknis usaha tani), dan ketua blok layanan tersier.

Pengurus GP3A dan IP3A ditetapkan dalam rapat anggota yang terdiri dari ketua, wakil ketua,
sekretaris, bendahara, dan pelaksana teknis (teknis irigasi dan teknis usaha tani). Pengurus GP3A
dipilih dari wakil P3A pada sebagian daerah irigasi atau jaringan irigasi sekunder di wilayah kerjanya.
Sedangkan pengurus IP3A dipilih dari wakil GP3A yang berada pada satu daerah irigasi.

Kelembagaan P3A, GP3A, dan IP3A wajib menyusun:


1. Anggaran dasar (AD); dan
2. Anggaran rumah tangga (ART).
AD sekurang-kurangnya memuat:
1. Alasan pendirian;
2. Tujuan pendirian;
3. Tugas dan fungsi;
4. Kepengurusan dan keanggotaan;
5. Wilayah kerja; dan
6. Mekanisme perubahan anggaran dasar.
Sedangkan ART sekurang-kurangnya memuat:

10
1. Sifat perkumpulan;
2. Keanggotaan;
3. Kepengurusan;
4. Keuangan;
5. Pengawasan dan badan pemeriksa;
6. Rencana kerja pengurus;
7. Rincian bentuk pelanggaran dan bentuk sanksi;
8. Prosedur pengambilan keputusan; dan
9. Mekanisme perubahan anggaran rumah tangga.
AD dan ART disusun berdasarkan kemampuan petani, dimana disusun oleh petani sendiri dalam
rapat anggota dan ditandatangani oleh ketua dan sekretaris. AD dan ART dimaksud harus diketahui
oleh kepala desa dan camat serta disahkan oleh bupati/walikota. Kemudian untuk mendapatkan
status badan hukum, maka AD harus didaftarkan pada pengadilan negeri setempat di wilayah hukum
P3A/GP3A/IP3A bertempat.
Gambar 1. Struktur KelembagaanP3A

Rapat Anggota

Ketua

Sekretaris Bendahara

Pelaksana Teknis

Teknis Irigasi Teknis Usaha Tani

Ketua Ketua
Blok/Kuarter Blok/Kuarter

Anggota/Petani

11
Gambar 2. Struktur KelembagaanGP3A

Rapat Anggota

Badan Pengawas

Ketua GP3A
Wakil Ketua GP3A

Sekretaris Bendahara

Pelaksana Teknis Pelaksana Teknis


Irigasi Usaha Tani

Anggota GP3A
P3A - 1 P3A - 2 P3A - 3 P3A – ke i

Catatan : Struktur kelembagaan ini dapat dikembangkan misalnya, mengigat luas layanan dan jumlah P3A yang banyak,
maka untuk Kolektifitas dana dapat ditambah Bendahara 1, 2, kemudian mengingat pemberdayaan kelembagaan
mencakup teknis irigasi, kelembagaan, keuangan dan usahatani, maka untuk Seksi /Pelaksana Teknis dapat dikembangkan
adanya seksi Kelembagaan dan UEP. Selain itu apabila kegiatan semakin komplek dapat dibentuk Badan Pengawas.

12
Gambar 3. Struktur Kelembagaan IP3A

Rapat Anggota

Badan Pengawas

Ketua IP3A
Wakil Ketua IP3A

Sekretaris Bendahara

Pelaksana Teknis Pelaksana Teknis


Irigasi Usaha Tani

Anggota IP3A

GP3A - 1 GP3A - 2 GP3A - 3 GP3A – ke i

Catatan : Struktur kelembagaanini dapat dikembangkan misalnya, mengigat luas layanan dan jumlah GP3A yang banyak,
maka untuk Kolektifitas dana dapat ditambah Bendahara 1, 2, kemudian untuk Seksi /Pelaksana Teknis dapat
dikembangkan adanya seksi Kelembagaan dan UEP. Selain itu apabila kegiatan semakin komplek dapat dibentuk Badan
Pengawas.

2.2.4 Hubungan Kerja dan Hubungan Fungsional


Hubungan kerja P3A dengan GP3A dan/atau IP3A dalam pengembangan dan pengelolaan sistem
irigasi bersifat koordinatif dan konsultatif sesuai dengan tanggung jawab masing-masing. Sedangkan
hubungan P3A/GP3A/IP3A dengan pemerintah kabupaten/kota bersifat fungsional dan/atau
konsultatif. Sementara dengan lembaga non-pemerintah bersifat kooperatif dan konsultatif.
Adapun hubungan P3A/GP3A/IP3A dengan pemerintah kabupaten/kota meliputi:
1. Pemberian bantuan pengembangan dan pengelolaan irigasi kepada P3A/GP3A/IP3A atas dasar
permintaan P3A/GP3A/IP3A;
2. Pemberian bimbingan teknis pertanian kepada P3A/GP3A/IP3A;
3. Partisipasi dalam pengelolaan dan pengembangan irigasi, pelaksanaan evaluasi pengelolaan aset
pemerintah kabupaten/kota; dan

13
4. Penentuan prioritas penggunaan biaya operasi pemeliharaan dan rehabilitasi jaringan irigasi
sesuai ketersediaan dana pemerintah kabupaten/kota.

Hubungan P3A/GP3A/IP3A dengan lembaga non-pemerintah dapat dilakukan dalam hal


mendapatkan bantuan serta fasilitasi yang tidak mengikat. Sedangkan hubungan P3A/GP3A/IP3A
dengan Komisi Irigasi dilakukan untuk menyalurkan aspirasi dan memperjuangkan hak
P3A/GP3A/IP3A dalam pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi serta untuk usaha pertanian
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

2.2.5 Wilayah Kerja P3A/GP3A/IP3A


Wilayah kerja P3A, GP3A, dan IP3A mengikuti wilayah hidrologis atau wilayah administratip yang
meliputi:
1. P3A didasarkan pada daerah layanan/petak tersier atau wilayah hamparan sawah atau wilayah
desa dalam satu daerah irigasi sesuai dengan kesepakatan para anggota;
2. GP3A didasarkan pada daerah layanan/blok sekunder dalam satu daerah irigasi sesuai dengan
kesepakatan pada anggota; dan
3. IP3A didasarkan pada layanan irigasi primer satu daerah irigasi secara utuh sesuai dengan
kesepakatan para anggota.

2.3 Pemberdayaan P3A*


2.3.1 Umum

Pemberdayaan P3A, GP3A,dan IP3A dilakukan melalui rangkaian kegiatan yang tidak terpisahkan
dengan: a) penyerahan kewenangan pengelolaan irigasi; b). berdasarkan kemitraan, transparansi,
demokratis, akuntabilitas, dan kepastian hukum sesuai dengan tingkat kepentingannya; dan c).
melalui pendekatan partisipatif, perpaduan perencanaan, sosial-ekonomi, dialogis, dan berbasis
sumberdaya lokal. Proses ini dilakukan secara berkelanjutan sesuai dengan tingkat perkembangan
dinamika masyarakat dan mengacu pada proses pelaksanaan pengembangan dan pengelolaan
sistem irigasi secara terkoordinasi oleh instansi terkait di level Pemerintah Pusat, Propinsi dan
kabupaten/kota. Hal demikian dilakukan untuk memandirikan kelembagaan sehingga dapat
berperan aktif dalam kegiatan pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi.
Pemberdayaan tersebut dilakukan melalui penguatan:

*) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan B(BWS) beserta Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat SDA di tingkat provinsi dan kabupaten bertanggung jawab dalam melaksanakan pemberdayaan P3A.

14
1. Pembentukan kelembagaan sampai berstatus badan hukum, hak dan kewajiban anggota,
manajemen organisasi, pengakuan keberadaannya, dan tanggung jawab pengelolaan irigasi di
wilayah kerjanya;
2. Kemampuan teknis pengelolaan irigasi dan teknis usaha tani; dan
3. Kemampuan pengelolaan keuangan dalam upaya mengurangi ketergantungan dari pihak lain.

2.3.2 Lingkup dan Sasaran Pemberdayaan


Lingkup pemberdayaan P3A/GP3A/IP3A meliputi aspek:
1. Kelembagaan yang mencakup upaya peningkatan status kelembagaan P3A/GP3A/IP3A hingga
menjadi badan hukum, meningkatkan kemampuan manajerial, serta meningkatkan keaktifan
pengurus dan anggota;
2. Teknis yang meliputi i) teknis irigasi yang diarahkan untuk peningkatan dan penguasaan
ketrampilan praktis pada bidang keirigasian dalam rangka pengembangan dan pengelolaan
jaringan irigasi; dan ii) teknis usaha tani yang diarahkan untuk peningkatan pengetahuan,
ketrampilan pada bidang usaha tani, dan ketahanan pangan; dan
3. Pembiayaan yang diarahkan untuk peningkatan manajemen keuangan dan pengembangan usaha
ekonomi produktip / agrobisnis.

Pemberdayaan di bidang usaha ekonomi yang berkaitan dengan usahatani meliputi budidaya
tanaman bernilai ekonomi tinggi, perikanan, peternakan, penyediaan sarana produksi pertanian, jasa
alat mesin pertanian, jasa pekerjaan konstruksi jaringan irigasi, pengolahan hasil, dan pemasaran;

P3A, GP3A, dan IP3A dapat membentuk suatu usaha ekonomi atau agribisnis, dengan tetap
melestarikan pengelolaan irigasi melalui: a. Unit usaha / koperasi tersebut terpisah secara struktural
organisasi dengan kelembagaan P3A; b. Anggota P3A tidak diharuskan menjadi anggota unit Usaha /
koperasi; c. Ketua P3A tidak boleh merangkap menjadi pengurus unit usaha / koperasi; dan d. Dana
dari iuran pengelolaan irigasi P3A tidak boleh dipakai untuk kegiatan unit usaha /koperasi

2.3.3 Model Pemberdayaan


Pemerintah kabupaten/kota melakukan pemberdayaan kelembagaan petani pemakai air. Kemudian
pemberdayaan sebagaimana telah disebutkan sebelumnya dilakukan melalui metode lapangan dan
klasikal yang secara sistematis dan terus menerus dimana meliputi:
1. Sosialisasi;
2. Motivasi;

15
3. Kunjungan lapangan;
4. Pertemuan berkala;
5. Fasilitasi;
6. Studi banding;
7. Bimbingan teknis;
8. Pendidikan dan pelatihan; dan
9. Pendampingan.
10.Penyerahan kewenangan
11. Kerjasama pengelolaan dan
12. Audit pengelolaan irigasi.

Dalam pelaksanaannya, metode pemberdayaan dapat disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan
setempat dari hasil profil sosial ekonomi, teknik, kelembagaan, serta hasil pemantauan dan evaluasi
kinerja yang dilakukan secara berkala. Unit kerja pada pemerintah kabupaten/kota yang disebut
Kelompok Pemandu Lapangan (KPL) mempunyai fungsi pemberdayaan melaksanakan
pemberdayaan P3A/GP3A/IP3A secara sistematis dan berkelanjutan, dimana meliputi bantuan teknis
dan pembiayaan.

2.3.3 Pelaksana Pemberdayaan


Kegiatan pemberdayaan P3A/GP3A/IP3A dilaksanakan oleh:
1. Kelompok pendamping lapangan (KPL), yang merupakan tenaga dari pemerintah pusat atau
pemerintah daerah yang bertugas di lapangan yang terdiri atas unsur pertanian, unsur
pengairan/sumber daya air, dan unsur lain dari kecamatan/desa yang mempunyai tugas pokok
memfasilitasi program pemberdayaan P3A/GP3A/IP3A;
2. Tenaga Pendamping Masyarakat (TPM) yang mempunyai tugas dan peran sebagai motivator,
mediator, dan fasilitator yang diperlukan hanya selama periode tertentu sesuai kebutuhan; dan
3. Unsur lain yang terkait dalam bidang kelembagaan, bidanhg teknis, dan keuangan sesuai dengan
kebutuhan.

2.3.4 Mekanisme Pemberdayaan


Mekanisme pemberdayaan P3A/GP3A/IP3A terdiri atas beberapa tahap yang meliputi:
1. Persiapan;
2. Pelaksanaan; dan
3. Pemantauan dan evaluasi.

16
Tahap persiapan meliputi:
1. Penyelenggaraan sosialisasi yang disampaikan oleh Pemerintah kepada pejabat dan masyarakat
serta pengurus P3A/GP3A/IP3A;
2. Penyusunan Profil Sosio Ekonomi Teknis dan Kelembagaan oleh P3A/GP3A/IP3A yang dipandu
oleh tenaga pendamping petani dan kelompok pemandu lapangan antara lain dengan metode
pemahaman partisipatif kondisi perdesaan;
3. Penyusunan program oleh pemerintah kabupaten/kota dengan acuan pada hasil penelusuran
kebutuhan dan kepentingan petani; dan
4. Penetapan kebutuhan program pemberdayaan yang dilaksanakan sebelum tahun anggaran
berjalan.

Tahap pelaksanaan dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota melalui dinas terkait dan/atau
pihak lain. Sedangkan tahap pemantauan dan evaluasi dilaksanakan oleh pemerintah
kabupaten/kota dan dapat dilakukan melalui pelibatan P3A/GP3A/IP3A dengan cara memberikan
informasi atau laporan kepada pemerintah kabupaten/kota. Pelibatan P3A/GP3A/IP3A dalam
pemantauan dan evaluasi dibuat secara tertulis atau disampaikan pada waktu pertemuan berkala
dengan kelompok pemandu lapangan.

Hasil pemantauan dan evaluasi dapat berupa kesesuaian atau ketidaksesuaian dengan program
pembinaan, masalah yang dihadapi oleh P3A/GP3A/IP3A, saran program pembinaan yang
dibutuhkan, dan kinerja petugas pembina.

2.4 Tanggung Jawab Pemberdayaan


Pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan
kewenangannya bertanggung jawab terhadap pemberdayaan P3A/GP3A/IP3A. Dan tanggung jawab
pemerintah kabupaten/kota meliputi:
1. Perumusan dan penetapan kebijakan pemberdayaan P3A/GP3A/IP3A berdasarkan kebijakan
nasional dan kebijakan provinsi;
2. Penyusunan petunjuk pelaksanaan/petunjuk teknis pemberdayaan P3A/GP3A/IP3A sesuai
dengan kebutuhan dan kondisi setempat berdasarkan pedoman/kebijakan pemerintah pusat dan
pemerintah provinsi;
3. Pemberian bantuan teknis dan pembiayaan;
4. Penyediaan TPM; dan

17
5. Pelaksanaan pelatihan dan peningkatan kemampuan sumber daya manusia yang terlibat dalam
pemberdayaan P3A/GP3A/IP3A.
Tanggung jawab pemerintah provinsi meliputi:
1. Pemberian bantuan teknis dan pembinaan kepada pemerintah kabupaten/kota atas permintaan
pemerintah kabupaten/kota; dan
2. Pelaksanaan penelitian dalam rangka penemuan teknologi tepat guna dalam bidang irigasi dan
pertanian beririgasi sesuai dengan kebutuhan setempat dan kearifan lokal bersama pemerintah
pusat dan pemerintah kabupaten/kota.

Sedangkan tanggung jawab pemerintah pusat meliputi:


1. Pemberian bantuan teknis dan pembinaan kepada unit/petugas dinas tingkat provinsi dan
kabupaten/kota atas permintaan pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota; dan
2. Pemberian bantuan dan dorongan kepada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota
untuk melakukan penelitian dan pengembangan teknologi tepat guna dalam bidang irigasi dan
pertanian beririgasi sesuai dengan kebutuhan, potensi, dan kearifan lokal.

Kelompok masyarakat dan/atau pihak lain dapat membantu usaha pemberdayaan P3A/GP3A/IP3A
serta berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota guna pencapaian tujuan pemberdayaan dan
sinergi usaha pembinaan.

2.5 Pembiayaan Pemberdayaan P3A/GP3A/IP3A


Pembiayaan untuk pemberdayaan P3A/GP3A/IP3A berasal dari APBD kabupaten/kota dan
pendapatan lain yang sah. Sedangkan dalam hal keterbatasan dana untuk pemberdayaan, maka
pemerintah kabupaten/kota dapat mengajukan permintaan kepada pemerintah provinsi dan/atau
pemerintah pusat.

2.5 Pemantauan (Monitoring) dan Evaluasi


Pemerintah kabupaten/kota menyusun dan menetapkan petunjuk pelaksanaan pemantauan
(monitoring) dan evaluasi pemberdayaan P3A/GP3A/IP3A. Adapun tujuan penyusunan dan
penetapan petunjuk pelaksanaan dimaksud untuk mengetahui pelaksanaan pemberdayaan
P3A/GP3A/IP3A dan peran pemerintah serta perkembangannya.

Kegiatan pemantauan dimaksud dilakukan secara berkelanjutan, dan kegiatan evaluasi dilakukan
sekurang-kurangnya satu (1) kali dalam setahun.

18
III. PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN PETANI

3.1. Umum
Sebagaimana digambarkan pada struktur organisasi P3A, anggota inti dari kelembagaan tersebut
adalah petani. Filosofi dasar penguatan suatu lembaga adalah adalah berakar dari penguatan
anggotanya. Upaya pemerintah melalui peraturan tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani
selain untuk menguatkan petani itu sendiri juga untuk menguatkan kelembagaan petani yang
dibentuk .
Perlindungan dan Pemberdayaan Petani berasaskan pada: kedaulatan, kemandirian;
kebermanfaatan, kebersamaan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi-berkeadilan, dan keberlanjutan.

3.2. Tujuan Perlindungan dan Pemberdayaan Petani adalah:


1. Mewujudkan kedaulatan dan kemandirian Petani dalam rangka meningkatkan taraf
kesejahteraan, kualitas, dan kehidupan yang lebih baik;
2. Menyediakan prasarana dan sarana Pertanian yang dibutuhkan dalam mengembangkan Usaha
Tani;
3. Memberikan kepastian Usaha Tani;
4. Melindungi Petani dari fluktuasi harga, praktik ekonomi biaya tinggi, dan gagal panen;
5. Meningkatkan kemampuan dan kapasitas Petani serta Kelembagaan Petani dalam menjalankan
Usaha Tani yang produktif, maju, modern dan berkelanjutan; dan
6. Menumbuhkembangkan kelembagaan pembiayaan Pertanian yang melayani kepentingan Usaha
Tani.

3.3. Strategi Perlindungan dan Pemberdayaan Petani**:


3.3.1 Startegi Perlindungan Petani , melalui
1. Prasarana dan sarana produksi Pertanian;
2. Kepastian usaha;
3. Harga Komoditas Pertanian;
4. Akses Pasar

**) Kementerian Pertanian dan Dinas Pertanian di tingkat provinsi dan kabupaten bertanggung jawab dalam melaksanakan
kegiatan perlindungan dan pemberdayaan petani. Koordinasi intensif dilakukan bersama-sama dengan Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat beserta pihak B(BWS) dan Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
SDA di tingkat provinsi dan kabupaten terkait sumber daya pendukung infrastruktur jaringan irigasi khususnya dalam
hal penyediaan air pertanian.

19
5. Penghapusan praktik ekonomi biaya tinggi;
6. Ganti rugi gagal panen akibat kejadian luar biasa;
7. Sistem peringatan dini dan penanganan dampak perubahan iklim; dan
8. Asuransi Pertanian.
Perlindungan petani sebagaimana tersebut kepada:
1. Petani penggarap tanaman pangan yang tidak memiliki lahan Usaha Tani dan menggarap paling
luas 2 (dua) hektare;
2. Petani yang memiliki lahan dan melakukan usaha budi daya tanaman pangan pada lahan paling
luas 2 (dua) hektare; dan/atau
3. Petani hortikultura, pekebun, atau peternak skala usaha kecil sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

3.3.2 Strategi Pemberdayaan Petani dilakukan melalui:


Pemberdayaan Petani dilakukan untuk memajukan dan mengembangkan pola pikir dan pola kerja
Petani, meningkatkan Usaha Tani, serta menumbuhkan dan menguatkan Kelembagaan Petani agar
mampu mandiri dan berdaya saing tinggi, dengan melalui:
1. Pendidikan dan pelatihan;
2. Penyuluhan dan pendampingan;
3. Pengembangan sistem dan sarana pemasaran hasil Pertanian;
4. Konsolidasi dan jaminan luasan lahan Pertanian;
5. Penyediaan fasilitas pembiayaan dan permodalan;
6. Kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi; dan
7. Penguatan Kelembagaan Petani.

Ruang Lingkup
Adapun ruang lingkup Perlindungan dan Pemberdayaan Petani dalam bab ini meliputi:
1. Gambaran umum;
2. Ruang lingkup;
3. Perlindungan petani;
4. Pemberdayaan petani;
5. Pembiayaan dan pendanaan;
6. Pengawasan; dan
7. Peran serta masyarakat.

20
Perlindungan Petani
Adapun perlindungan petani sebagaimana yang telah disebutkan dalam strategi perlindungan petani
sebelumnya adalah diberikan kepada:
4. Petani penggarap tanaman pangan yang tidak memiliki lahan Usaha Tani dan menggarap paling
luas 2 (dua) hektare;
5. Petani yang memiliki lahan dan melakukan usaha budi daya tanaman pangan pada lahan paling
luas 2 (dua) hektare; dan/atau
6. Petani hortikultura, pekebun, atau peternak skala usaha kecil sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian Pertanian dan Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas
Pertanian di tingkat provinsi dan kabupaten, sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab atas
Perlindungan Petani. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah melakukan koordinasi dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan Perlindungan Petani. Koordinasi dilakukan untuk
melaksanakan strategi Perlindungan Petani sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya.

Pemerintah Pusat berkewajiban mengutamakan produksi Pertanian dalam negeri untuk memenuhi
kebutuhan pangan nasional. Dan kewajiban Pemerintah Pusat mengutamakan produksi Pertanian
dalam negeri dilakukan melalui pengaturan impor Komoditas Pertanian sesuai dengan musim panen
dan/atau kebutuhan konsumsi dalam negeri. Dalam hal impor Komoditas Pertanian, menteri terkait
harus melakukan koordinasi dengan Menteri Pertanian.

6.3.1. Prasarana Pertanian dan Sarana Produksi Pertanian


1. Prasana Pertanian
a. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab
menyediakan dan/atau mengelola prasarana Pertanian;
b. Prasarana Pertanian antara lain meliputi:
 Jalan Usaha Tani, jalan produksi, dan jalan desa;
 Bendungan, dam, jaringan irigasi, dan embung; dan
 Jaringan listrik, pergudangan, pelabuhan, dan pasar.
c. Selain Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pelaku Usaha dapat menyediakan dan/atau
mengelola prasarana Pertanian yang dibutuhkan Petani.
d. Petani berkewajiban memelihara prasarana Pertanian yang telah ada.
2. Sarana Produksi Pertanian

21
a. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab
menyediakan sarana produksi Pertanian secara tepat waktu dan tepat mutu serta harga
terjangkau bagi Petani.
b. Sarana produksi Pertanian paling sedikit meliputi:
 Benih, bibit, bakalan ternak, pupuk, pestisida, pakan, dan obat hewan sesuai dengan
standar mutu; dan
 Alat dan mesin Pertanian sesuai standar mutu dan kondisi spesifik lokasi.
c. Penyediaan sarana produksi Pertanian diutamakan berasal dari produksi dalam negeri.
d. Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya membina Petani,
Kelompok Tani, dan Gabungan Kelompok Tani dalam menghasilkan sarana produksi Pertanian
yang berkualitas.
e. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pelaku Usaha dapat menyediakan sarana produksi
Pertanian yang dibutuhkan Petani.
f. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat memberikan
subsidi benih atau bibit tanaman, bibit atau bakalan ternak, pupuk, dan/atau alat dan mesin
Pertanian sesuai dengan kebutuhan.
g. Pemberian subsidi harus tepat guna, tepat sasaran, tepat waktu, tepat lokasi, tepat jenis,
tepat mutu, dan tepat jumlah.

6.3.2. Kepastian Usaha


Untuk menjamin kepastian usaha, Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya berkewajiban:
1. Menetapkan kawasan Usaha Tani berdasarkan kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber
daya manusia, dan sumber daya buatan;
2. Memberikan jaminan pemasaran hasil Pertanian kepada Petani yang melaksanakan Usaha Tani
sebagai program Pemerintah;
3. Memberikan keringanan Pajak Bumi dan Bangunan bagi lahan Pertanian produktif yang
diusahakan secara berkelanjutan; dan
4. Mewujudkan fasilitas pendukung pasar hasil Pertanian.

Jaminan pemasaran merupakan hak Petani untuk mendapatkan penghasilan yang menguntungkan.
Dan jaminan pemasaran dimaksud dapat dilakukan melalui:
1. Pembelian secara langsung;
2. Penampungan hasil Usaha Tani; dan/atau

22
3. Pemberian fasilitas akses pasar.

6.3.3. Harga Komuditas Pertanian


1. Pemerintah berkewajiban menciptakan kondisi yang menghasilkan harga Komoditas Pertanian
yang menguntungkan bagi Petani.
2. Kewajiban Pemerintah menciptakan kondisi dimaksud dengan cara menetapkan:
 Tarif bea masuk Komoditas Pertanian;
 Tempat pemasukan Komoditas Pertanian dari luar negeri dalam kawasan pabean;
 Persyaratan administratif dan standar mutu;
 Struktur pasar produk Pertanian yang berimbang; dan
 Kebijakan stabilisasi harga pangan.
3. Tarif Bea Masuk Komoditas Pertanian:
 Pemerintah Pusat menetapkan jenis Komoditas Pertanian yang dikenakan tarif bea masuk.
 Besaran tarif bea masuk ditetapkan oleh Pemerintah Pusat berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
 Penetapan besaran tarif bea masuk paling sedikit didasarkan pada:
 Harga pasar internasional;
 Harga pasar domestik;
 Jenis Komoditas Pertanian tertentu nasional dan lokal; dan
 Produksi dan kebutuhan nasional.
 Pemerintah Pusat menetapkan jenis Komoditas Pertanian tertentu nasional dan lokal.
 Penetapan jenis Komoditas Pertanian tertentu dilakukan berdasarkan:
 Pengaruh Komoditas Pertanian terhadap stabilitas ekonomi nasional; dan/atau
 Kepentingan hajat hidup orang banyak.
4. Penetapan tempat pemasukan Komoditas Pertanian dalam kawasan pabean harus
mempertimbangkan:
 Daerah sentra produksi Komoditas Pertanian dalam negeri; dan
 Kelengkapan instalasi karantina sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
5. Setiap Orang yang mengimpor Komoditas Pertanian wajib melalui tempat pemasukan yang telah
ditetapkan oleh Pemerintah.
6. Setiap Orang dilarang mengimpor Komoditas Pertanian pada saat ketersediaan Komoditas
Pertanian dalam negeri sudah mencukupi kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan pangan
Pemerintah.

23
7. Kecukupan kebutuhan konsumsi dan cadangan pangan Pemerintah Pusat ditetapkan oleh
Menteri.
8. Setiap Komoditas Pertanian yang diimpor harus memenuhi persyaratan administratif dan standar
mutu.
9. Persyaratan administratif paling sedikit meliputi:
 Surat izin impor;
 Tanggal panen dan tanggal kedaluwarsa; dan
 Surat keterangan asal negara penghasil dan negara pengekspor.
10.Setiap Orang yang mengimpor Komoditas Pertanian harus memenuhi persyaratan administratif.
11.Selain persyaratan administratif dan standar mutu, komoditas pangan harus memenuhi
keamanan pangan.
12.Ketentuan mengenai persyaratan administratif, standar mutu, dan keamanan pangan diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

6.3.4. Penghapusan Praktek Ekonomi Biaya Tinggi


Penghapusan praktik ekonomi biaya tinggi dilakukan dengan menghapuskan berbagai pungutan
yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

6.3.5. Ganti Rugi Gagal Panen Akibat Kejadian Luar Biasa


1. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat memberikan
bantuan ganti rugi gagal panen akibat kejadian luar biasa sesuai dengan kemampuan keuangan
negara.
2. Untuk menghitung bantuan ganti rugi gagal panen akibat kejadian luar biasa Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban:
 Menentukan jenis tanaman dan menghitung luas tanam yang rusak;
 Menentukan jenis dan menghitung ternak yang mati; dan
 Menetapkan besaran ganti rugi tanaman dan/atau ternak.

6.3.6. Sistem Peringatan Dini dan Dampak Perubahan Iklim


1. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya membangun sistem
peringatan dini dan penanganan dampak perubahan iklim untuk mengantisipasi gagal panen
akibat bencana alam.
2. Pemerintah Pusat wajib melakukan prakiraan iklim untuk mengantisipasi terjadinya gagal panen.

24
3. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib mengantisipasi
terjadinya gagal panen dengan melakukan:
 Peramalan serangan organisme pengganggu tumbuhan, serangan hama, dan/atau wabah
penyakit hewan menular; dan
 Upaya penanganan terhadap hasil prakiraan iklim dan peramalan serangan organisme
pengganggu tumbuhan, serangan hama, dan/atau wabah penyakit hewan menular.

6.3.7. Asuransi Pertanian


1. Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban melindungi
Usaha Tani yang dilakukan oleh Petani dalam bentuk Asuransi Pertanian.
2. Asuransi Pertanian dilakukan untuk melindungi Petani dari kerugian gagal panen akibat:
 Bencana alam;
 Serangan organisme pengganggu tumbuhan;
 Wabah penyakit hewan menular;
 Dampak perubahan iklim; dan/atau
 Jenis risiko-risiko lain diatur dengan Peraturan Menteri.
3. Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya menugaskan badan usaha
milik negara dan/atau badan usaha milik daerah di bidang asuransi untuk melaksanakan Asuransi
Pertanian.
4. Pelaksanaan Asuransi Pertanian dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
5. Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya memfasilitasi setiap Petani
menjadi peserta Asuransi Pertanian.
6. Fasilitasi dimaksud meliputi:
 Kemudahan pendaftaran untuk menjadi peserta;
 Kemudahan akses terhadap perusahaan asuransi;
 Sosialisasi program asuransi terhadap Petani dan perusahaan asuransi; dan/atau
 Bantuan pembayaran premi.
7. Pelaksanaan fasilitasi asuransi Pertanian diatur dengan Peraturan Menteri.

3.4. Pemberdayaan Petani


Pemberdayaan Petani dilakukan untuk memajukan dan mengembangkan pola pikir dan pola kerja
Petani, meningkatkan Usaha Tani, serta menumbuhkan dan menguatkan Kelembagaan Petani agar
mampu mandiri dan berdaya saing tinggi.

25
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan koordinasi dalam perencanaan, pelaksanaan,
dan pengawasan Pemberdayaan Petani terkait pelaksanaan strategi Pemberdayaan Petani
sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya.

3.4.1. Pendidikan dan Pelatihan


1. Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban
menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan kepada Petani.
2. Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud antara lain berupa:
 Pengembangan program pelatihan dan pemagangan;
 Pemberian beasiswa bagi Petani untuk mendapatkan pendidikan di bidang Pertanian; atau
 Pengembangan pelatihan kewirausahaan di bidang agribisnis.
3. Petani yang sudah mendapatkan pendidikan dan pelatihan serta memenuhi kriteria berhak
memperoleh bantuan modal dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
4. Persyaratan Petani yang berhak memperoleh bantuan modal dari Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah diatur dengan Peraturan Menteri.
5. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban
meningkatkan keahlian dan keterampilan Petani melalui pendidikan dan pelatihan secara
berkelanjutan.
6. Selain Pemerintah dan Pemerintah Daerah, badan dan/atau lembaga yang terakreditasi dapat
melaksanakan pendidikan dan pelatihan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
7. Untuk meningkatkan keahlian dan keterampilan Petani dapat dilakukan melalui sertifikasi
kompetensi.
8. Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban memfasilitasi
Petani untuk memperoleh sertifikat kompetensi.
9. Petani yang telah ditingkatkan kompetensinya melalui pendidikan dan pelatihan wajib
menerapkan tata cara budi daya, pascapanen, pengolahan, dan pemasaran yang baik untuk
meningkatkan kualitas dan daya saing secara berkelanjutan sesuai dengan Peraturan Menteri.
10.Pelaku Usaha dalam Pemberdayaan Petani dapat menyelenggarakan:
 Pendidikan formal dan nonformal; dan
 Pelatihan dan pemagangan.

3.4.2. Penyuluhan dan Pendampingan

26
1. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya memberi fasilitas
penyuluhan dan pendampingan kepada Petani.
2. Pemberian fasilitas penyuluhan, berupa pembentukan lembaga penyuluhan dan penyediaan
penyuluh.
3. Lembaga penyuluhan dibentuk oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
4. Penyediaan Penyuluh sebagaimana dimaksud paling sedikit 1 (satu) orang Penyuluh dalam 1
(satu) desa.
5. Pendampingan dimaksud dapat dilakukan oleh penyuluh.
6. Penyuluhan dan pendampingan dilakukan antara lain agar Petani dapat melakukan:
 Tata cara budi daya, pascapanen, pengolahan, dan pemasaran yang baik;
 Analisis kelayakan usaha; dan
 Kemitraan dengan Pelaku Usaha.
7. Penyuluhan dan pendampingan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
8. Setiap Orang dilarang melakukan penyuluhan yang tidak sesuai dengan materi penyuluhan dalam
bentuk teknologi tertentu yang telah ditetapkan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah,
kecuali yang bersumber dari pengetahuan tradisional.

3.4.3. Sistem dan Sarana Pemasaran Hasil Pertanian


1. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan
Pemberdayaan Petani melalui pengembangan sistem dan sarana pemasaran hasil Pertanian.
2. Pengembangan sistem dan sarana pemasaran hasil Pertanian diselenggarakan dengan:
 Mewujudkan pasar hasil Pertanian yang memenuhi standar keamanan pangan, sanitasi, serta
memperhatikan ketertiban umum;
 Mewujudkan terminal agribisnis dan subterminal agribisnis untuk pemasaran hasil Pertanian;
 Mewujudkan fasilitas pendukung pasar hasil Pertanian;
 Memfasilitasi pengembangan pasar hasil Pertanian yang dimiliki dan/atau dikelola oleh
Kelompok Tani, Gabungan Kelompok Tani, koperasi, dan/atau kelembagaan ekonomi Petani
lainnya di daerah produksi Komoditas Pertanian;
 Membatasi pasar modern yang bukan dimiliki dan/atau tidak bekerja sama dengan Kelompok
Tani, Gabungan Kelompok Tani, koperasi, dan/atau kelembagaan ekonomi Petani lainnya di
daerah produksi Komoditas Pertanian;
 Mengembangkan pola kemitraan Usaha Tani yang saling memerlukan, mempercayai,
memperkuat, dan menguntungkan;

27
 Mengembangkan sistem pemasaran dan promosi hasil Pertanian;
 Mengembangkan pasar lelang;
 Menyediakan informasi pasar; dan
 Mengembangkan lindung nilai.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembatasan pasar modern diatur oleh Pemerintah Pusat.
4. Petani dapat melakukan kemitraan usaha dengan Pelaku Usaha dalam memasarkan hasil
Pertanian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
5. Setiap Orang yang mengelola pasar modern berkewajiban mengutamakan penjualan Komoditas
Pertanian dalam negeri.
6. Transaksi jual beli Komoditas Pertanian di pasar induk, terminal agribisnis, dan subterminal
agribisnis dapat dilakukan melalui mekanisme pelelangan.
7. Dalam mekanisme pelelangan, penyelenggara pelelangan harus menetapkan harga awal yang
menguntungkan Petani.
8. Ketentuan mengenai penyelenggara, mekanisme, dan penetapan harga awal pelelangan
Komoditas Pertanian diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
9. Komoditas Pertanian yang dipasarkan harus memenuhi standar mutu.
10.Pemerintah menetapkan standar mutu untuk setiap jenis Komoditas Pertanian.
11.Setiap Petani yang memproduksi Komoditas Pertanian wajib memenuhi standar mutu.
12.Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya membina Petani untuk
memenuhi standar mutu Komoditas Pertanian.
13.Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya menyelenggarakan
promosi dan sosialisasi pentingnya mengonsumsi Komoditas Pertanian dalam negeri.

3.4.4. Konsolidasi dan Jaminan Luasan Lahan Pertanian


1. Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban memberikan
jaminan ketersediaan lahan Pertanian.
2. Jaminan dilakukan melalui:
 Konsolidasi lahan Pertanian; dan
 Jaminan luasan lahan Pertanian.
3. Konsolidasi lahan Pertanian merupakan penataan kembali penggunaan dan pemanfaatan lahan
sesuai dengan potensi dan rencana tata ruang wilayah untuk kepentingan lahan Pertanian.
4. Konsolidasi lahan Pertanian diutamakan untuk menjamin luasan lahan Pertanian bagi Petani agar
mencapai tingkat kehidupan yang layak.
5. Konsolidasi dilakukan melalui:

28
 Pengendalian alih fungsi lahan Pertanian; dan
 Pemanfaatan lahan Pertanian yang terlantar.
6. Selain konsolidasi lahan Pertanian, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya dapat melakukan perluasan lahan Pertanian melalui penetapan lahan terlantar
yang potensial sebagai lahan Pertanian.
7. Perluasan lahan Pertanian dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
8. Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban memberikan
jaminan luasan lahan Pertanian bagi Petani.
9. Jaminan dilakukan dengan memberikan kemudahan untuk memperoleh tanah negara bebas yang
diperuntukan atau ditetapkan sebagai kawasan Pertanian.
10.Kemudahan berupa:
 Pemberian paling luas 2 hektare tanah negara bebas yang telah ditetapkan sebagai kawasan
Pertanian kepada Petani, yang telah melakukan Usaha Tani paling sedikit 5 (lima) tahun
berturutturut.
 Pemberian lahan Pertani.
11.Selain kemudahan, Pemerintah Putih dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
memfasilitasi pinjaman modal bagi Petani untuk memiliki dan/atau memperluas kepemilikan
lahan Pertanian.
12.Kemudahan bagi Petani untuk memperoleh lahan Pertanian diberikan dalam bentuk hak sewa,
izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan.
13.Pemberian lahan Pertanian diutamakan kepada Petani setempat yang:
 Tidak memiliki lahan dan telah mengusahakan lahan Pertanian di lahan yang diperuntukkan
sebagai kawasan Pertanian selama 5 (lima) tahun berturutturut; atau
 Memiliki lahan Pertanian kurang dari 2 (dua) hektare.
14.Petani yang menerima kemudahan untuk memperoleh tanah negara yang diperuntukan atau
ditetapkan sebagai kawasan Pertanian wajib mengusahakan lahan Pertanian yang diberikan
dengan memanfaatkan sumber daya alam secara lestari dan berkelanjutan.
15.Petani dapat memperoleh keringanan Pajak Bumi dan Bangunan dan insentif lainnya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
16.Petani dilarang mengalihfungsikan lahan Pertanian yang diperoleh menjadi lahan non-Pertanian.
17.Petani dilarang mengalihkan lahan Pertanian kepada pihak lain secara keseluruhan atau sebagian,
kecuali mendapat izin dari Pemerintah atau pemerintah daerah.
18.Petani yang mengalihkan lahan Pertanian kepada pihak lain secara keseluruhan atau sebagian
tanpa mendapat izin dikenai sanksi administratif berupa pencabutan hak atau izin.

29
19.Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya membina Petani yang
lahannya sudah dimiliki oleh Petani lain untuk alih profesi.
20.Pembinaan bagi Petani dilakukan dengan memberikan pelatihan kewirausahaan dan bantuan
modal.

3.4.5. Fasilitas Pembiayaan dan Permodalan


Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban
memfasilitasi pembiayaan dan permodalan Usaha Tani. Pemberian fasilitas pembiayaan dan
permodalan sebagaimana dimaksud dilakukan dengan:
1. Pinjaman modal untuk memiliki dan/atau memperluas kepemilikan lahan Pertanian;
2. Pemberian bantuan penguatan modal bagi Petani;
3. Pemberian subsidi bunga kredit program dan/atau imbal jasa penjaminan; dan/atau
4. Pemanfaatan dana tanggung jawab sosial serta dana program kemitraan dan bina lingkungan dari
badan usaha.

3.4.6. Akses Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Informasi


Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban memberikan
kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi untuk mencapai standar mutu
Komoditas Pertanian. Kemudahan akses sebagaimana dimaksud meliputi:
1. Penyebarluasan ilmu pengetahuan dan teknologi;
2. Kerja sama alih teknologi; dan
3. Penyediaan fasilitas bagi Petani untuk mengakses ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi.

Penyediaan informasi sebagaimana dimaksud paling sedikit berupa:


1. Sarana produksi Pertanian;
2. Harga Komoditas Pertanian;
3. Peluang dan tantangan pasar;
4. Prakiraan iklim, dan ledakan organisme pengganggu tumbuhan dan/atau wabah penyakit hewan
menular;
5. Pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan;
6. Pemberian subsidi dan bantuan modal; dan

30
7. Ketersediaan lahan Pertanian.

Informasi sebagaimana dimaksud harus akurat, tepat waktu, dan dapat diakses dengan mudah dan
cepat oleh Petani, Pelaku Usaha, dan/atau masyarakat.

3.3.3. Penguatan Kelembagaan

Salah satu strategi pemberdayaan adalah penguatan kelembagaan. Pemerintah dan Pemerintah
Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban mendorong dan memfasilitasi terbentuknya
Kelembagaan Petani dan Kelembagaan Ekonomi Petani. Pembentukan kelembagaan sebagaimana
dimaksud dilaksanakan dengan perpaduan dari budaya, norma, nilai, dan kearifan lokal Petani.
1. Kelembagaan Petani terdiri atas:
1. Kelompok Tani;
2. Gabungan Kelompok Tani;
3. Asosiasi Komoditas Pertanian; dan
4. Dewan Komoditas Pertanian Nasional.
Pembentukan Kelompok Tani memperhatikan lembaga-lembaga adat Petani yang sudah ada dan
memperhatikan keterlibatan Petani perempuan. Gabungan Kelompok Tani merupakan gabungan
dari beberapa Kelompok Tani yang berkedudukan di desa atau beberapa desa dalam kecamatan
yang sama. Gabungan Kelompok tani sebaiknya didasarkan pada kesamaan jenis usahatani yang
dikelola sehingga memudahkan pengelolaannya. Kelompok Tani dan Gabungan Kelompok Tani
berfungsi sebagai wadah pembelajaran, kerja sama, dan tukar menukar informasi untuk
menyelesaikan masalah dalam melakukan Usaha Tani sesuai dengan kedudukannya. Pembentukan
Kelompok Tani dan Gabungan Kelompok Tani ini berdasarkan kearifan lokal di Daerah Irigasi
setempat

Dalam menyelenggarakan fungsinya, Kelompok Tani dan Gabungan Kelompok Tani bertugas:
1. Meningkatkan kemampuan anggota atau kelompok dalam mengembangkan Usaha Tani yang
berkelanjutan dan Kelembagaan Petani yang mandiri;
2. Memperjuangkan kepentingan anggota atau kelompok dalam mengembangkan kemitraan usaha;
3. Menampung dan menyalurkan aspirasi anggota atau kelompok; dan
4. Membantu menyelesaikan permasalahan anggota atau kelompok dalam ber-Usaha Tani.

31
Asosiasi Komoditas Pertanian merupakan lembaga independen nirlaba yang dibentuk oleh, dari, dan
untuk Petani. Petani dalam mengembangkan Asosiasinya dapat mengikutsertakan Pelaku Usaha,
pakar, dan/atau tokoh masyarakat yang peduli terhadap kesejahteraan Petani.

Asosiasi Komoditas Pertanian dapat berkedudukan di Kabupaten/Kota atau Provinsi. Dan Asosiasi
Komoditas Pertanian bertugas:
1. Menampung dan menyalurkan aspirasi Petani;
2. Mengadvokasi dan mengawasi pelaksanaan kemitraaan Usaha Tani;
3. Memberikan masukan kepada Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dalam perumusan
kebijakan Perlindungan dan Pemberdayaan Petani;
4. Mempromosikan Komoditas Pertanian yang dihasilkan anggota, di dalam negeri dan di luar
negeri; e. mendorong persaingan Usaha Tani yang adil;
5. Memfasilitasi anggota dalam mengakses sarana produksi dan teknologi; dan g. membantu
menyelesaikan permasalahan dalam berUsaha Tani.

Dewan Komoditas Pertanian Nasional bersifat nirlaba yang merupakan gabungan dari berbagai
Asosiasi Komoditas Pertanian. Dewan Komoditas Pertanian Nasional berfungsi sebagai wadah untuk
menyelesaikan permasalahan dalam ber-Usaha Tani.

Petani dalam mengembangkan Dewan Komoditas Pertanian Nasional dapat mengikutsertakan


Pelaku Usaha, pakar, dan/atau tokoh masyarakat yang peduli pada kesejahteraan Petani. Dewan
Komoditas Pertanian Nasional merupakan mitra pemerintah dalam perumusan strategi dan
kebijakan Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.

2. Kelembagaan Ekonomi Petani

Kelembagaan Ekonomi Petani sebagaimana dimaksud berupa badan usaha milik Petani. Petani
berkewajiban bergabung dan berperan aktif dalam Kelembagaan Petani. Kelompok Tani
sebagaimana dimaksud dibentuk oleh, dari, dan untuk Petani.

Badan usaha milik Petani dibentuk oleh, dari, dan untuk Petani melalui Gabungan Kelompok Tani
dengan penyertaan modal yang seluruhnya dimiliki oleh Gabungan Kelompok Tani. Adapun Badan
usaha milik Petani dimaksud berbentuk koperasi atau badan usaha lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan, dimana berfungsi untuk meningkatkan skala ekonomi, daya saing,
wadah investasi, dan mengembangkan jiwa kewirausahaan Petani. Badan usaha tersebut paling
sedikit bertugas:

32
1. Menyusun kelayakan usaha;
2. Mengembangkan kemitraan usaha; dan
3. Meningkatkan nilai tambah Komoditas Pertanian.

3.4. Pembiayaan dan Pendanaan


Pembiayaan dan pendanaan untuk kegiatan Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang dilakukan
oleh Pemerintah bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara. Pembiayaan dan
pendanaan untuk kegiatan Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang dilakukan oleh Pemerintah
Daerah bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Pembiayaan dan pendanaan dalam kegiatan Perlindungan dan Pemberdayaan Petani dilakukan
untuk mengembangkan Usaha Tani melalui:
1. Lembaga perbankan; dan/atau
2. Lembaga Pembiayaan.

3.4.1 Lembaga Perbankan


Dalam melaksanakan Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, Pemerintah menugasi Badan Usaha
Milik Negara bidang perbankan dan Pemerintah Daerah menugasi Badan Usaha Milik Daerah bidang
perbankan untuk melayani kebutuhan pembiayaan Usaha Tani dan badan usaha milik Petani sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Untuk melaksanakan penugasan sebagaimana dimaksud, Badan Usaha Milik Negara bidang
perbankan dan Badan Usaha Milik Daerah bidang perbankan membentuk unit khusus pertanian.
Pelayanan kebutuhan pembiayaan oleh unit khusus Pertanian dilaksanakan dengan prosedur mudah
dan persyaratan yang lunak.

Selain melalui penugasan, pelayanan kebutuhan pembiayaan Usaha Tani dapat dilakukan oleh bank
swasta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Untuk melaksanakan penyaluran
kredit dan/atau pembiayaan Usaha Tani, pihak bank berperan aktif membantu Petani agar
memenuhi persyaratan memperoleh kredit dan/atau pembiayaan.

Selain melaksanakan penyaluran kredit dan/atau pembiayaan, pihak bank berperan aktif membantu
dan memudahkan Petani mengakses fasilitas perbankan. Bank dapat menyalurkan kredit dan/atau

33
pembiayaan bersubsidi untuk Usaha Tani melalui lembaga keuangan bukan bank dan/atau jejaring
lembaga keuangan mikro di bidang agribisnis.

3.4.2 Lembaga Pembiayaan Petani

Dalam melaksanakan Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, Pemerintah dan Pemerintah Daerah
berkewajiban menugasi Lembaga Pembiayaan Pemerintah atau Pemerintah Daerah untuk melayani
Petani dan/atau badan usaha milik Petani memperoleh pembiayaan Usaha Tani sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangaan.

Lembaga Pembiayaan berkewajiban melaksanakan kegiatan pembiayaan Usaha Tani dengan


persyaratan sederhana dan prosedur cepat. Kemudian untuk melaksanakan penyaluran kredit
dan/atau pembiayaan bagi Petani, pihak Lembaga Pembiayaan berperan aktif membantu Petani agar
memenuhi persyaratan memperoleh kredit dan/atau pembiayaan.
Selain melaksanakan penyaluran kredit dan/atau pembiayaan, pihak Lembaga Pembiayaan berperan
aktif membantu dan memudahkan Petani dalam memperoleh fasilitas kredit dan/atau pembiayaan.
Lembaga Pembiayaan dapat menyalurkan kredit dan/atau pembiayaan bersubsidi kepada Petani
melalui lembaga keuangan bukan bank dan/atau jejaring lembaga keuangan mikro di bidang
agribisnis dan Pelaku Usaha untuk mengembangkan Pertanian.

3.5. Pengawasan
Untuk menjamin tercapainya tujuan Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, dilakukan pengawasan
terhadap kinerja perencanaan dan pelaksanaan. Pengawasan meliputi pemantauan, pelaporan, dan
evaluasi. Pengawasan dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya.

Dalam melaksanakan pengawasan, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat melibatkan
masyarakat dalam pemantauan dan pelaporan dengan memberdayakan potensi yang ada. Laporan
hasil pengawasan disampaikan secara berjenjang dari:
1. Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Pemerintah Provinsi; dan
2. Pemerintah Provinsi kepada Pemerintah Pusat.

Laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud harus berbentuk dokumen tertulis dan disertai
dokumen pendukung lainnya. Laporan hasil pengawasan dimaksud merupakan informasi publik yang

34
diumumkan dan dapat diakses secara terbuka oleh masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dapat melakukan
pemantauan dan evaluasi dari hasil pelaporan secara berjenjang. Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban menindaklanjuti laporan hasil pengawasan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3.6. Peran Serta Masyarakat


Masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Peran serta masyarakat dimaksud dapat dilakukan secara perseorangan dan/atau berkelompok.
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud, dapat dilakukan terhadap:
1. Penyusunan perencanaan;
2. Perlindungan Petani;
3. Pemberdayaan Petani;
4. Pembiayaan dan pendanaan; dan
5. Pengawasan.

Peran Masyarakat dalam Perlindungan Petani diantaranya:


1. Memelihara dan menyediakan prasarana Pertanian;
2. Mengutamakan konsumsi hasil Pertanian dalam negeri;
3. Menyediakan bantuan sosial bagi Petani yang mengalami bencana; dan
4. Melaporkan adanya pungutan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Masyarakat dalam Pemberdayaan Petani dapat berperan serta dalam menyelenggarakan:


1. Pendidikan nonformal;
2. Pelatihan dan pemagangan;
3. Penyuluhan;
4. Pencegahan alih fungsi lahan Pertanian;
5. Penguatan Kelembagaan Petani dan Kelembagaan Ekonomi Petani;
6. Pemberian fasilitas sumber pembiayaan atau permodalan; dan/atau
7. Pemberian fasilitas akses terhadap informasi.

35
IV. KETERLIBATAN P3A DAN PETANI DALAM KEGIATAN IRIGASI
PERTANIAN

4.1. Umum
Pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi bertujuan untuk mewujudkan kemanfaatan air dalam
bidang pertanian. Pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi yang dilaksanakan oleh Pemerintah
Pusat, Provinsi, atau Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya, bertanggung jawab dalam
pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi primer dan sekunder.

Pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi dilaksanakan di seluruh daerah irigasi. Pengembangan
dan pengelolaan sistem irigasi sebagaimana dimaksud, diselenggarakan secara partisipatif, terpadu,
berwawasan lingkungan hidup, transparan, akuntabel, dan berkeadilan dengan mengutamakan
kepentingan dan peran serta masyarakat petani/P3A/GP3A/IP3A. Partisipasi masyarakat petani
sebagaimana dimaksud, dapat disalurkan melalui perkumpulan petani pemakai air di wilayah
kerjanya.

Partisipasi masyarakat petani/P3A/GP3A/IP3A dilaksanakan untuk meningkatkan rasa memiliki, rasa


tanggung jawab, serta meningkatkan kemampuan masyarakat petani/P3A/GP3A/IP3A dalam rangka
mewujudkan efisiensi, efektivitas, dan keberlanjutan sistem irigasi. Pengembangan dan pengelolaan
sistem irigasi yang dilaksanakan oleh badan usaha, badan sosial, atau perseorangan diselenggarakan
dengan memperhatikan kepentingan masyarakat di sekitarnya dan mendorong peran serta
masyarakat petani.

Pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi dilaksanakan dengan pendayagunaan sumber daya air
yang didasarkan pada keterkaitan antara air hujan, air permukaan, dan air tanah secara terpadu
dengan mengutamakan pendayagunaan air permukaan, Pengembangan dan pengelolaan sistem
irigasi sebagaimana dimaksud, dilaksanakan dengan prinsip satu sistem irigasi satu kesatuan
pengembangan dan pengelolaan, dengan memperhatikan kepentingan pemakai air irigasi dan
pengguna jaringan irigasi di bagian hulu, tengah, dan hilir secara selaras.

Dalam menyelenggarakan pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi primer dan sekunder,
Pemerintah mempunyai wewenang dan tanggung jawab dalam:
1. Menyusun pokok-pokok kebijakan pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi;

36
2. Memfasilitasi penyelesaian sengketa antarprovinsi dalam pengembangan dan pengelolaan sistem
irigasi;
3. Menetapkan norma, standar, kriteria, dan pedoman pengembangan dan pengelolaan sistem
irigasi;
4. Menjaga efektivitas, efisiensi, dan ketertiban pelaksanaan pengembangan dan pengelolaan
sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi yang luasnya lebih dari 3000 ha, atau pada
daerah irigasi lintas provinsi, daerah irigasi lintas negara, dan daerah irigasi strategis nasional;
5. Memberikan bantuan teknis dalam pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi kepada
pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota;
6. Memberikan bantuan kepada masyarakat petani dalam pengembangan dan pengelolaan sistem
irigasi yang menjadi tanggung jawab masyarakat petani atas permintaannya berdasarkan prinsip
kemandirian;
7. Memberikan izin pembangunan, pemanfaatan, pengubahan, dan/atau pembongkaran bangunan
dan/atau saluran irigasi pada jaringan irigasi primer dan sekunder dalam daerah irigasi lintas
provinsi, daerah irigasi lintas negara, dan daerah irigasi strategis nasional; dan
8. Melakukan penyuluhan dan penyebarluasan teknologi bidang irigasi hasil penelitian dan
pengembangan kepada masyarakat petani.

Bantuan teknis dalam pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi adalah antara lain berupa
bimbingan teknis, tenaga, peralatan, konsultasi, dan/atau melalui kegiatan lomba. Sedangkan
Penyuluhan dan penyebarluasan teknologi bidang irigasi, dilakukan sesuai dengan pedoman yang
ditetapkan oleh Menteri. Dalam hal pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi dilakukan pada
sistem irigasi tersier, P3A mempunyai hak dan tanggung jawab dalam pengembangan dan
pengelolaan sistem irigasi tersier.

Hak dan tanggung jawab masyarakat petani dalam pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi
meliputi:
1. Melaksanakan pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi tersier;
2. Menjaga efektivitas, efisiensi, dan ketertiban pelaksanaan pengembangan dan pengelolaan
sistem irigasi tersier yang menjadi tanggung jawabnya; dan
3. Memberikan persetujuan pembangunan, pemanfaatan, pengubahan, dan/atau pembongkaran
bangunan dan/atau saluran irigasi pada jaringan irigasi tersier berdasarkan pendekatan
partisipatif.

37
Ruang Lingkup
Adapun ruang lingkup Keterlibatan P3A dan Petani dalam Kegiatan Irigasi Pertanian dalam bab ini
meliputi:
1. Gambaran umum;
2. Ruang lingkup;
3. Keterlibatan P3A/GP3A/IP3A/masyarakat petani dalam pengembangan dan pengelolaan sistem
irigasi; dan
4. Penguatan masyarakat petani pemakai air dalam operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi.

Keterlibatan Masyarakat Petani/P3A/GP3A/IP3A dalam Pengembangan dan


Pengelolaan Sistem Irigasi
4.1.1. Pengembangan Sistem Irigasi
Pengembangan sistem irigasi meliputi kegiatan pembangunan jaringan irigasi baru dan/atau
peningkatan jaringan irigasi yang sudah ada. Dalam menyelenggarakan pengembangan sistem irigasi,
masyarakat petani/P3A/GP3A/IP3A dapat berpartisipasi mulai dari pemikirian awal, pengambilan
keputusan, dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan, dan peningkatan jaringan irigasi.

Partisipasi sebagaimana dimaksud, diwujudkan dalam bentuk sumbangan pemikiran awal, gagasan,
waktu, tenaga, material, dan dana. Partisipasi masyarakat petani/P3A/GP3A/IP3A, dilaksanakan
berdasarkan prinsip:
1. Sukarela dengan berdasarkan hasil musyawarah dan mufakat;
2. Kebutuhan, kemampuan, dan kondisi ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat
petani/P3A/GP3A/IP3A di daerah irigasi yang bersangkutan; dan
3. Bukan bertujuan untuk mencari keuntungan.

Partisipasi masyarakat petani/P3A/GP3A/IP3A dalam pengembangan sistem irigasi dilakukan melalui


tahapan sosialisasi dan konsultasi publik, survai, investigasi dan desain, pengadaan tanah,
pelaksanaan konstruksi, serta persiapan dan pelaksanaan operasi dan pemeliharaan.

4.1.1.1 Sosialisasi dan Konsultasi Publik

Sosialisasi dan konsultasi publik dilakukan sebelum melaksanakan pembangunan dan/atau


peningkatan jaringan irigasi. Adapun sosialisasi dimaksud merupakan penjelasan mengenai rencana
pembangunan dan/atau peningkatan jaringan irigasi Pemerintah Pusat, pemerintah daerah provinsi,
atau pemerintah daerah kabupaten/kota yang meliputi latar belakang, maksud dan tujuan, manfaat,
serta tahap pembangunan dan/atau peningkatan jaringan irigasi. Konsultasi publik merupakan forum

38
terbuka masyarakat petani/P3A/GP3A/IP3A guna menyampaikan usulan, saran, persetujuan atau
penolakan terhadap rencana pembangunan dan/atau peningkatan jaringan irigasi yang disampaikan
oleh Pemerintah Pusat, pemerintah daerah provinsi, dan/atau pemerintah daerah kabupaten/kota.
Usulan tersebut disampaikan secara tertulis dan dituangkan dalam bentuk catatan rapat yang
ditandatangani oleh wakil Pemerintah Pusat, pemerintah daerah provinsi, dan/atau pemerintah
daerah kabupaten/kota dan wakil masyarakat petani/P3A/GP3A/IP3A sebagai dasar pelaksanaan
tahap berikutnya.

Dalam hal masyarakat petani/P3A/GP3A/IP3A menolak rencana pembangunan dan/atau


peningkatan jaringan irigasi ditangguhkan. Penolakan dimaksud disampaikan secara tertulis dan
dituangkan dalam bentuk catatan rapat yang ditandatangani oleh wakil Pemerintah Pusat,
pemerintah daerah provinsi, dan/atau pemerintah daerah kabupaten/kota dan wakil masyarakat
petani/P3A/GP3A/IP3A.

4.1.1.2 Survei, Investigasi, dan Desain

Sebelum melaksanakan desain pembangunan dan/atau peningkatan jaringan irigasi primer dan
sekunder, penanggung jawab kegiatan melaksanakan survai penelusuran lapangan baik sendiri
maupun bekerja sama dengan masyarakat petani/P3A/GP3A/IP3A untuk mendapatkan gambaran
nyata mengenai kondisi di lapangan. Berdasarkanhasil survai penelusuran lapangan, penanggung
jawab kegiatan melaksanakan pembuatan desain partisipatif jaringan irigasi baik sendiri maupun
bekerja sama dengan masyarakat petani/P3A/GP3A/IP3A.

Hasil pembuatan desain disosialisasikan kepada masyarakat petani/P3A/GP3A/IP3A, baik yang


terlibat maupun yang tidak terlibat langsung dalam proses pembuatan desain jaringan irigasi.
Masyarakat petani/P3A/GP3A/IP3A dapat menyampaikan informasi, saran, dan masukan, baik
secara lisan maupun tertulis kepada penanggung jawab kegiatan terhadap hasil pembuatan desain.

Informasi, saran, dan masukan dari masyarakat petani/P3A/GP3A/IP3A, dituangkan dalam bentuk
catatan rapat yang ditandatangani oleh penanggung jawab kegiatan dan wakil masyarakat
petani/P3A/GP3A/IP3A. Informasi, saran, dan masukansebagaimana dimaksud pada ayat (5), wajib
menjadi pertimbangan dalam upaya penyempurnaan desain jaringan irigasi. Hasil penyempurnaan
desain, dituangkan dalam bentuk catatan rapat yang ditandatangani oleh penanggung jawab
kegiatan dan wakil masyarakat petani/P3A/GP3A/IP3A.

39
4.1.1.3 Pengadaan Tanah

Penanggung jawab kegiatan bertanggung jawab dalam pengadaan tanah untuk pembangunan
dan/atau peningkatan jaringan irigasi sesuai dengan kebutuhan. Masyarakat petani/P3A/GP3A/IP3A,
masyarakat adat, atau masyarakat desa dapat berpartisipasi dalam pengadaan tanah dengan cara
memberikan informasi mengenai status, hak, dan sejarah kepemilikan tanah, atau dengan
menyumbangkan secara sukarela sebagian tanah miliknya untuk pembangunan dan/atau
peningkatan jaringan irigasi.

4.1.1.4 Pelaksanaan Konstruksi

Pelaksanaan konstruksi untuk pembangunan dan/atau peningkatan jaringan irigasi primer dan
sekunder dapat dilaksanakan dengan cara swakelola atau kontraktual. Pelaksanaan pekerjaan
dengan cara swakelola sebagaimana dimaksud dilaksanakan oleh penanggung jawab kegiatan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.

Masyarakat petani/P3A/GP3A/IP3A dapat berpartisipasi dalam pelaksanaan pekerjaan swakelola


sebagaimana dimaksud, pada daerah irigasinya berdasarkan kesepakatan bersama yang
ditandatangani oleh penanggung jawab kegiatan dan wakil masyarakat petani/P3A/GP3A/IP3A.
Kesepakatan bersama paling sedikit memuat:
1. Pekerjaan yang akan dilaksanakan oleh penanggung jawab kegiatan; dan
2. Bentuk partisipasi masyarakat petani/P3A/GP3A/IP3A dalam pekerjaan pembangunan dan/atau
peningkatan jaringan irigasi primer dan sekunder yang akan dilaksanakan.

Pelaksanaan pekerjaan dengan cara kontraktual sebagaimana dimaksud dilaksanakan oleh


penanggung jawab kegiatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam pelaksanaan
pekerjaan secara kontraktual, masyarakat petani/P3A/GP3A/IP3A dapat berpartisipasi dalam
pelaksanaan pekerjaan pembangunan dan/atau peningkatan jaringan irigasi pada daerah irigasinya
berdasarkan kesepakatan kerjasama penanggung jawab kegiatan dengan masyarakat
petani/P3A/GP3A/IP3A dan/atau dengan kontraktor.

Pelaksanaan pekerjaan secara kontraktual sebagaimana dimaksud, dilaksanakan masyarakat


petani/P3A/GP3A/IP3A pada daerah irigasinya berdasarkan kesepakatan kerjasama antara wakil
masyarakat petani/P3A/GP3A/IP3A dan wakil kontraktor dengan diketahui oleh penanggung jawab
kegiatan. Kesepakatan kerja sama paling sedikit memuat:
1. Rincian pekerjaan yang akan dilaksanakan oleh kontraktor; dan

40
2. Bentuk partisipasi masyarakat petani/P3A/GP3A/IP3A dalam pekerjaan pembangunan dan/atau
peningkatan jaringan irigasi primer dan sekunder yang akan dilaksanakan.

Masyarakat petani/P3A/GP3A/IP3A dapat melaksanakan pembangunan dan/atau peningkatan


jaringan irigasi primer dan sekunder sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya berdasarkan izin
dari Menteri, sesuai dengan kewenangannya dalam pengelolaan sumber daya air. Pembangunan
dan/atau peningkatan jaringan irigasi yang dilaksanakan sendiri oleh masyarakat
petani/P3A/GP3A/IP3A sebagaimana dimaksud, dilakukan mulai dari tahap perencanaan,
pembiayaan sampai dengan tahap pelaksanaan.

Izin sebagaimana dimaksud, meliputi izin prinsip alokasi air, izin lokasi, dan persetujuan terhadap
rencana/desain jaringan irigasi primer dan sekunder yang didasarkan pada norma, standar,
pedoman, dan manual yang dikeluarkan oleh Menteri sesuai dengan kewenangannya dalam
pengelolaan sumber daya air.

Izin dapat diberikan setelah memperhatikan kemampuan kelembagaan, kemampuan teknis, dan
kemampuan pembiayaan masyarakat petani/P3A/GP3A/IP3A.

4.1.1.5 Persiapan Pelaksanaan Operasi dan Pemeliharaan

Persiapan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi meliputi uji pengaliran serta penyesuaian
manual operasi dan pemeliharaan yang didasarkan pada hasil uji pengaliran, pemberdayaan P3A,
dan kelengkapan sarana pendukung pengelolaan irigasi. Uji pengaliran sebagaimana dimaksud,
dilaksanakan untuk mengetahui fungsi hidrolis dan keandalan konstruksi jaringan irigasi yang telah
selesai dibangun.

Pemberdayaan P3A berupa upaya pembentukan, penguatan, dan peningkatan kemampuan P3A
yang meliputi aspek kelembagaan, teknis, dan pembiayaan dalam persiapan operasi dan
pemeliharaan. Masyarakat petani/P3A/GP3A/IP3A dapat berpartisipasi dalam pelaksanaan uji
pengaliran dan penyesuaian manual operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi yang didasarkan pada
hasil uji pengaliran dengan cara mengamati dan melaporkan kejadian pada jaringan irigasi, seperti,
terjadinya kebocoran, longsor, banjir dan limpasan selama uji pengaliran berlangsung kepada
penanggung jawab kegiatan. Penyesuaian manual operasi dan pemeliharaan dilaksanakan setelah
dilakukan audit kesiapan operasi dan pemeliharaan. Masa persiapan operasi dan pemeliharaan
pasca pembangunan dan/atau peningkatan jaringan irigasi selama 2 (dua) tahun.

41
4.1.1.6 Modernisasi Irigasi

Dalam rangka pemenuhan tingkat layanan irigasi secara efektif, efisien, dan berkelanjutan dapat
dilakukan modernisasi irigasi. Modernisasi irigasi sebagaimana dimaksud, dilakukan dengan
meningkatkan keandalan penyediaan air, prasarana, manajemen irigasi, lembaga pengelola, dan
sumber daya manusia.

4.1.2. Pengelolaan Sistem Irigasi


Pengelolaan sistem irigasi meliputi kegiatan operasi, pemeliharaan, dan rehabilitasi jaringan irigasi.
Dalam menyelenggarakan pengelolaan sistem irigasi sebagaimana dimaksud, masyarakat
petani/P3A/GP3A/IP3A dapat berpartisipasi dalam pelaksanaan operasi dan pemeliharaan jaringan
irigasi primer dan sekunder.

Partisipasi masyarakat petani/P3A/GP3A/IP3A dilaksanakan berdasarkan prinsip:


1. Sukarela dengan berdasarkan hasil musyawarah dan mufakat;
2. Kebutuhan, kemampuan, dan kondisi ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat
petani/P3A/GP3A/IP3A di daerah irigasi yang bersangkutan; dan
3. Bukan bertujuan untuk mencari keuntungan.

4.1.2.1. Operasi Jaringan Irigasi


Partisipasi masyarakat petani melalui P3A/GP3A/IP3A dalam pelaksanaan kegiatan operasi jaringan
irigasi dilakukan dalam:
1. Pengajuan usulan rencana tata tanam;
2. Pengajuan kebutuhan air;
3. Pemberian masukan mengenai pengubahan rencana tata tanam, pengubahan pola tanam,
pengubahan jadwal tanam, dan pengubahan jadwal pemberian/pembagian air dalam hal terjadi
perubahan ketersediaan air pada sumber air; dan
4. Seluruh proses kegiatan secara aktif.

Pelaksanaan kegiatan operasi jaringan irigasi sebagaimana dimaksud, dilakukan oleh P3A/GP3A/IP3A
pada daerah irigasi di wilayahnya mengajukan usulan rencana tata tanam beserta air yang
dibutuhkan kepada bupati/walikota atau gubernur secara berjenjang melalui pengamat dan dinas.

42
4.1.2.2. Pemeliharaan Jaringan Irigasi
Masyarakat petani/P3A/GP3A/IP3A di daerah irigasi yang bersangkutan dapat berpartisipasi dalam
kegiatan penelusuran jaringan irigasi, penyusunan kebutuhan biaya, dan pelaksanaan pekerjaan
pemeliharaan jaringan irigasi primer dan sekunder. Partisipasi dalam penelusuran jaringan irigasi
sebagaimana dimaksud, meliputi penyampaian usulan prioritas pekerjaan dan cara pelaksanaan
pekerjaan.

Dalam penyusunan kebutuhan biaya masyarakat petani/P3A/GP3A/IP3A dapat memberikan usulan


kontribusi berupa material atau dana untuk membantu pembiayaan pekerjaan yang akan
dilaksanakan dengan cara swakelola.

Dalam pelaksanaan pekerjaan pemeliharaan jaringan irigasi, P3A/GP3A/IP3A dapat berpartisipasi


dengan cara sebagaimana disebutkan sebelumnya. Dalam rangka pelaksanaan pekerjaan
pemeliharaan jaringan irigasi, ditetapkan waktu dan bagian jaringan irigasi yang harus dikeringkan
setelah melakukan konsultasi dengan wakil P3A/GP3A/IP3A dalam komisi irigasi.

Wakil P3A/GP3A/IP3A dapat memberikan masukan dan/atau usulan atas rencana waktu
pengeringan yang telah ditetapkan sesuai dengan kondisi tanaman di lapangan. Ketetapan waktu
dan bagian jaringan irigasi yang akan dikeringkan, disampaikan kepada perwakilan P3A/GP3A/IP3A
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum pengeringan dilaksanakan.

4.1.2.3. Pengamanan Jaringan Irigasi


Dalam rangka menjaga kelangsungan fungsi jaringan irigasi, dilakukan pengamanan jaringan irigasi.
Masyarakat petani dapat berpartisipasi dalam kegiatan pengamanan jaringan irigasi primer dan
jaringan irigasi sekunder pada daerah irigasi dalam wilayahnya.

Masyarakat petani baik secara perseorangan maupun berkelompok dapat melakukan pekerjaan
perbaikan darurat dan melaporkan pekerjaan yang telah dilaksanakan kepada penanggung jawab
kegiatan pemeliharaan.

Dalam hal terjadi kerusakan jaringan irigasi akibat bencana atau kejadian lain yang tidak dapat
ditangani sendiri, masyarakat petani/P3A/GP3A/IP3A segera menyampaikan laporan kerusakan
dimaksud kepada penanggung jawab kegiatan melalui pengamat untuk perbaikan lebih lanjut.

43
4.1.2.4. Rehabilitasi Jaringan Irigasi
Rehabilitasi jaringan irigasi dilakukan melalui tahapan sosialisasi dan konsultasi publik, penilaian
indeks kinerja sistem irigasi, survai, investigasi dan desain, pengadaan tanah, pelaksanaan
konstruksi, serta persiapan operasi dan pemeliharaan.

Rehabilitasi jaringan irigasi sebagaimana dimaksud, dilaksanakan berdasarkan urutan prioritas


kebutuhan perbaikan irigasi yang ditetapkan setelah memperhatikan pertimbangan komisi irigasi.
Masyarakat petani/P3A/GP3A/IP3A dapat berpartisipasi dalam rehabilitasi jaringan irigasi dengan
cara sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.

4.1.2.5. Persiapan Operasi dan Pemeliharaan


Persiapan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi meliputi uji pengaliran serta penyesuaian
manual operasi dan pemeliharaan yang didasarkan pada hasil uji pengaliran, pemberdayaan P3A,
dan kelengkapan sarana pendukung pengelolaan irigasi. Uji pengaliran sebagaimana dimaksud,
dilaksanakan untuk mengetahui fungsi hidrolis dan keandalan konstruksi jaringan irigasi yang telah
selesai dibangun.

Pemberdayaan P3A sebagaimana dimaksud, berupa upaya pembentukan, penguatan, dan


peningkatan kemampuan P3A yang meliputi aspek kelembagaan, teknis, dan pembiayaan dalam
persiapan operasi dan pemeliharaan. Masyarakat petani/P3A/GP3A/IP3A dapat berpartisipasi dalam
pelaksanaan uji pengaliran dan penyesuaian manual operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi yang
didasarkan pada hasil uji pengaliran sebagaimana dimaksud, dengan cara mengamati dan
melaporkan kejadian pada jaringan irigasi, seperti, terjadinya kebocoran, longsor, banjir dan
limpasan selama uji pengaliran berlangsung kepada penanggung jawab kegiatan.

Penyesuaian manual operasi dan pemeliharaan dilaksanakan setelah dilakukan audit kesiapan
operasi dan pemeliharaan. Masa persiapan operasi dan pemeliharaan pasca rehabilitasi jaringan
irigasi paling lama 2 (dua) tahun.

44
DAFTAR PUSTAKA

45

Anda mungkin juga menyukai