Anda di halaman 1dari 37

REVIEW JURNAL STUDI AWAL SINTESIS DAN KARAKTERISASI

Bi(Pb)-Sr-Ca-Cu-O DENGAN PENAMBAHAN CARBON NANOTUBE DAN


TiO2 MENGGUNAKAN METODA REAKSI PADATAN DAN PROSES
SINTERING BERULANG
(Makalah Superkonduktor)

Kelompok II

Desi Nurhayani (1517041002)


Adella Ordiana (1517041018)
Delfi Oktavia Amrani (1517041052)
Wahyuning Ramadhanta A (1517041093)

JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMPUNG
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah tugas review
jurnal yang berjudul: ”Studi awal Sintesis dan Karakterisasi Bi(Pb)-Sr-Ca-Cu-O
dengan Penambahan Carbon Nanotube dan TiO2 Menggunakan Metoda Reaksi
Padatan dan Proses Sintering Berulang “.

Penulis menyadari sepenuhnya, meskipun telah mengupayakan semaksimal


mungkin untuk menyempurnakan kualitas isi yang disajikan, namun masih
banyak kekurangankekurangan yakni masih jauh dari kesempurnaan.Untuk
meningkatkan kualitas makalah ini, kami mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun dari pembaca. Akhir kata kami berharap semoga makalah ini
dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya.

Bandar Lampung, 27 September 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ..................................................................................... i...

DAFTAR ISI ..................................................................................................... ii..

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ iii.

DAFTAR TABEL ............................................................................................ iv.

I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang ....................................................................................... 1..
1.2
Rumusan Masalah ................................................................................. 4..
1.3
Tujuan ................................................................................................... 4..
1.4
Review Jurnal ........................................................................................ 4..
...
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Superkonduktor ..................................................................................... 6..
2.2 Karakteristik Superkonduktor ............................................................... 7..
2.3 Jenis-Jenis Superkonduktor .................................................................. 9..
2.4 Superkonduktor BSCCO ........................................................................ 12
2.5 Metode Sintesis Superkonduktor BSCCO-2223 ................................... 13
2.6 Penelitian Terkait .................................................................................. 14
2.7
III. METODOLOGI PENELITIAN.
3.1 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat ............................................................................................... 19
3.2.2 Bahan ............................................................................................ 19
3.2 Prosedur Penelitian ................................................................................ 20
3.3 Karakterisasi Bahan
3.3.1 Uji XRD (X-Ray Difraction) ........................................................ 20
3.3.2 Uji SEM (Scanning Electron Microscope).................................... 21
3.4 Diagram Alir .......................................................................................... 21

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Analisis fasa Menggunakan XRD .......................................................... 22
4.2 Analisis Morfologi Menggunakan SEM ................................................ 24

ii
V. KESIMPULAN DAN SARAN

DAFTAR PUSTAKA

iii
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1 Hubungan antara suhu terhadap resistivitas ................................... 7

Gambar 2.2 Efek Meeissner ................................................................................ 8

Gambar 2.3 Bahan superkonduktor yang melayangkan magnet diatasnya ......... 8

Gambar 2.4 Fluks magnet pada jangkauan medan kritis ................................... 11

Gambar 2.5..Struktur kristal BSCCO (a) 2201, (b) 2212 dan (c)2223 ................ 12

Gambar 3.1..Diagram Alir .................................................................................. 21

Gambar 4.1..Pola difraksi BPSCCO-2223+CNT sintering 1 kali (B-CNT1)


aaaaaaaaaaaaadan sintering 2 kali (B-CNT2) ....................................................... 22

Gambar 4.2..Pola difraksi BPSCCO-2223+TiO2 sintering 1 kali (B-Ti-1)


aaaaaaaaaaaaadan sintering 2 kali (B-Ti-2) .......................................................... 23

Gambar 4.3..Hasil uji SEM untuk BPSCCO+CNT sintering 1 kali (B-CNT1),


Aaaaaaaaaaaa.BPSCCO+CNT sintering 2 kali (B-CNT2), BPSCCO+CNT
Aaaaaaaaaaaasintering 3 kali (B-CNT3) ............................................................... 25

Gambar 4.3..Hasil uji SEM untuk BPSCCO+TIO2 sintering 1 kali (B-Ti-1),


Aaaaaaaaaaaa.BPSCCO+TiO2 sintering 2 kali (B-Ti-2), BPSCCO+TiO2.......
Aaaaaaaaaaaasintering 3 kali (B-Ti-3) .................................................................... 2

iv
0

DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 4.1 Perbandingan fraksi volume BPSCCO+CNT dan BPSCCO+TiO2
Aaa....aaa.Fasa 2223 dan fasa 2212 .......................................................................24

v
1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Superkonduktivitas merupakan fenomena yang sangat anehyang ditandai dengan

transisi fase pada suhu kritis (Tc) dimana fase pelaksanaan berada dalam

equilibrium dengan fase superkonduktor. Sehingga superkonduktivitas dapat

diartikan sebagai perubahan fase dari konduktor menjadi superkonduktor yang

ditandai dari penurunan resistansi menuju nol pada suhu transisi atau suhu kritis.

Fenomena superkonduktivitas pertama kali ditemukan oleh seorang fisikawan

Belanda, Heike Kamerlingh Onnes, dari Universitas Leiden pada tahun 1911.

Teknologi superkonduktor mulai berkembang pesat sejak ditemukannya High

Temperature Superconductor (HTS) pada tahun 1986. HTS pada umumnya

merupakan senyawa multi komponen yang memiliki sejumlah fase struktur yang

berbeda, dan struktur kristal yang rumit. Bahan HTS telah dikembangkan dalam

aplikasi teknologi yang bervariasi luas, mulai dari aplikasi piranti elektronik,

transmisi daya berkapasitas besar, peralatan yang menggunakan medan magnet

berkekuatan tinggi, sampai dengan berbagai peralatan teknik yang mengandalkan

efek levitasi magnetik seperti misalnya SMES (superconducting magnetic energy

stroge system) (Nurmalita, 2013). Sampai sekarang Penelitian HTS terus

dilakukan untuk menemukan superkonduktor dengan suhu kritis (Tc) yang lebih

tinggi sehingga bahan superkonduktor tidak perlu mendapatkan perlakuan ekstrim


2

(suhu sangat dingin) untuk mendapatkan sifat penghantarnya yang super (Aji,

2010).

Salah satu superkonduktor yang memiliki suhu kritis (Tc) tinggi serta terus

dikembangkan ialah superkonduktor BSCCO. Superkonduktor BSCCO memiliki

tiga fasa yaitu fasa 2201, fasa 2212, dan fasa 2223. Suhu kritis dari fasa-fasa

tersebut secara berturut ialah 20 K, 80 K, dan 110 K (Maeda, 1993). Sejak ketiga

fasa tersebut ditemukan, berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui

efek penambahan maupun substitusi berbagai elemen pada sistem BSCCO

terhadap fase, kerapatan butir, dan morfologi (Hamid dan Abd-Shukor, 2000).

Fasa 2223 merupakan fasa yang paling potensial untuk aplikasi dibandingkan

dengan fasa-fasa lainnya karena suhu kritisnya tinggi. Namun, pembentukan

superkonduktor BSCCO fasa 2223 sulit untuk didapatkan karena jangkauan

temperatur pembentukan superkonduktor fasa 2223 sangat pendek sehingga untuk

dapat mensintesis senyawa Bi-2223 yang stabil, substitusi atom Bi dengan atom

Pb dapat digunakan untuk memperpanjang jarak modulasi (Prasuad, 1994). Dopan

Pb mengakibatkan substitusi atom Bi oleh atom Pb pada lapisan ganda Bi-O. Ini

karena kemiripan ukuran ion dan nilai valensi dari atom Pb dengan atom Bi.

Sehingga Substitusi Pb membantu menstabilkan superkonduktor BSCCO-2223

pada suhu kritis (Tc) dan juga meningkatkan fraksi volume pada fasa 2223

(Hooker, 1996).

Penambahan doping Pb dalam superkonduktor BSCCO fase 2223 diketahui untuk

meningkatkan fraksi volume sehingga menciptakan mutu kristal Bi-2223 yang

baik dan meningkatkan suhu kritis superkonduktor BSCCO (Widodo, 2010). Pada
3

penelitian Hamadneh (2006) mendapatkan nilai fraksi volume pada Bi(Pb)-2223

dengan suhu sintering 850°C dengan variasi waktu 24, 48, dan 100 jam berturut-

turut ialah 97%, 97.5%, dan 98.7% dan suhu kritisnya 102 K, 102 K, dan 104 K.

Kerapatan butir dan tekstur yang tinggi juga merupakan faktor untuk

menghasilkan superkonduktor BSCCO fasa 2223 dengan Tc yang tinggi.

Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa komposisi awal, penggerusan

berulang, waktu sintering, dan suhu sintering memiliki pengaruh yang kuat pada

pembentukan fasa 2223. Seperti penelitian Abbas (2015) yang melakukan tiga

tahapan sintering serta penggerusan berulang pada bahan superkonduktor Bi2-

xLixPb0.4Sr2Ca2Cu3O10+δ dengan sintering I dan II pada suhu 850℃ selama 50 jam

kemudian sintering III pada suhu 830 ℃ untuk 40 jam, hasil analisis menunjukkan

bahwa superkonduktor memiliki Tc yang paling tinggi yakni sampai 130 K.

Selain untuk mendapatkan superkonduktor fasa 2223, penelitian-penelitian yang

dilakukan beberapa tahun terakhir ini telah menggunakan penambahan untuk

memperbaiki sifat-sifat bahan dasar cuprate dengan senyawa karbon seperti

carbon nanotube, SiC, dan B4C. Penambahan CNT pada superkonduktor BSCCO

diketahui memperkecil ukuran butir sehingga dapat memperbesar rapat arus kritis

(Jc). Dalam pembuatan superkonduktor berkualitas tinggi, berbagai metode

pembuatan dilakukan salah satunya ialah metode reaksi padatan. Metode ini

digunakan karena prosesnya mudah dalam mensistesis bahan superkonduktor dan

dapat menghasilkan BSCCO-2223 dengan kualitas cukup baik (Santosa, 1996).

Darsono (2015) melakukan sintesis superkonduktor BPSCCO-2223 menggunakan

metode reaksi padatan dan mendapatkan hasil Tc yang paling tinggi sebesar

98,93 K dengan suhu sintering 840 ℃ selama 72 jam.


4

Merujuk dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, maka penulis melakukan

penelitian yaitu sintesis dan karakterisasi superkonduktor BPSCCO-2223 dengan

penambahan CNT dengan proses sintering berulang. Dalam penelitian ini

dilakukan sintesis superkonduktor BPSCCO-2223 dengan penambahanCNT

dengan menggunakan metode reaksi padatan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dituliskan rumusan masalah

sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh sintering berulang pada bahan superkonduktor

BPSCCO-2223 dengan penambahan 0,1% wt CNT dan 0,5% wt TiO2?

2. Bagaimana pengaruh penambahan CNT dan TiO2 bahan superkonduktor

BPSCCO-2223?

1.3 Tujuan

Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Menganalisis pengaruh sintering berulang pada bahan superkonduktor

BPSCCO-2223 dengan penambahan 0,1% wt CNT dan 0,5% wt TiO2.

2. Menganalisis pengaruh penambahan CNT dan TiO2 pada bahan

superkonduktor BPSCCO-2223.

1.4 Review Jurnal

Jurnal yang akan di review pada pembahasan makalah ini yaitu:

Judul : .Review Studi Awal Sintesis dan Karakterisasi Bi(Pb)-Sr-..Ca-


5

Cu-O dengan Penambahan Carbon Nanotube dan TiO2

Menggunakan Metoda Reaksi Padatan dan Proses ..Sintering

Berulang

Penulis m.: Rizki Syahfina, Bintoro Siswayanti, Sigit Dwi Yudanto,

,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,Agung Imaduddin, Nurul Suhada, Fauzan Amri, dan

pppppppppppppp.Mukti Hamjah Harahap.

Asal Pembuatan : Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Medan Jl. Willem

Iskandar, PsrV Medan 20222

Bulan/Tahun : Agustus 2017


6

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Superkonduktor

Superkonduktor adalah suatu material yang tidak memiliki hambatan di bawah

suatu nilai suhu tertentu. Sehingga superkonduktor dapat menghantarkan arus

walaupun tanpa adanya sumber tegangan. Suatu superkonduktor dapat berupa

konduktor, semikonduktor ataupun insulator pada keadaan ruang. Suhu dimana

terjadi perubahan sifat konduktivitas menjadi superkonduktor disebut dengan

temperature critis (Tc) (Ismunandar & Sen, 2004).

Superkonduktor pertama kali ditemukan oleh seorang fisikawan Belanda, Heike

Kamerlingh Onnes, dari Universitas Leiden pada tahun 1911. Pada tanggal 10 Juli

1908, Onnes berhasil mencairkan helium dengan cara mendinginkan hingga 4 K

atau -269°C. Kemudian pada tahun 1911, Onnes mulai mempelajari sifat-sifat

listrik dari logam pada suhu yang sangat dingin. Pada waktu itu telah diketahui

bahwa hambatan suatu logam akan turun ketika didinginkan di bawah suhu ruang,

akan tetapi belum ada yang dapat mengetahui batas bawah hambatan yang dicapai

ketika suhu logam mendekati 0 K atau nol mutlak.

Beberapa ilmuwan pada waktu itu seperti William Kelvin memperkirakan bahwa

elektron yang mengalir dalam konduktor akan berhenti ketika suhu mencapai nol

mutlak. Dilain pihak, ilmuwan yang lain termasuk Onnes memperkirakan bahwa
7

hambatan akan menghilang pada keadaan tersebut. Untuk mengetahui yang

sebenarnya terjadi, Onnes mengalirkan arus pada kawat merkuri yang sangat

murni, kemudian mengukur hambatannya sambil menurunkan suhunya. Pada suhu

4,2 K, Onnes mendapatkan hambatannya tiba-tiba hilang. Arus mengalir melalui

kawat merkuri terus-menerus. Dengan tidak adanya hambatan, maka arus dapat

mengalir tanpa kehilangan energi.

Percobaan Onnes yang lain dilakukan dengan mengalirkan arus pada suatu

kumparan superkonduktor dalam rangkaian tertutup, kemudian mencabut sumber

arusnya. Satu tahun kemudian Onnes mengukur arusnya dan arus masih tetap

mengalir. Fenomena ini kemudian oleh Onnes diberi nama superkondutivitas.

Atas penemuannya itu, Onnes dianugerahi hadiah Nobel Fisika pada tahun 1913.

Dari eksperimen tersebut, Onnes mengambil kesimpulan bahwa hambatan suatu

logam akan turun (bahkan hilang sama sekali) ketika logam didinginkan di bawah

suhu ruang (suhu yang sangat dingin) atau setidaknya lebih rendah dari

temperature critis (Tc) logam tersebut.

2.2 Karakteristik Superkonduktor

Suatu bahan dikatakan sebagai bahan superkonduktor apabila menunjukkan sifat

khusus, yaitu konduktivitas sempurna dengan resistivitas (ρ) adalah nol pada

seluruh T ≤ Tc dan tanpa induksi magnetik (B) adalah nol atau diamagnetik

sempurna di dalam superkonduktor. Hubungan antara suhu terhadap resistivitas

dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut:


8

Gambar 1. Hubungan antara suhu terhadap resistivitas (Pikatan,


mm...1989).

Berdasarkan Gambar 1, ketika suhu T > Tc bahan dikatakan berada dalam

keadaan normal yang artinya bahan tersebut memiliki resistansi listrik. Bahan

dapat berupa konduktor, penghantar yang jelek dan bahkan ada yang menjadi

isolator. Ketika suhu T ≤ Tc bahan berada dalam keadaan superkonduktor, yang

artinya fluks magnetik ditolak oleh bahan superkonduktor, sehingga induksi

magnetik menjadi nol di dalam superkonduktor. Hal ini ditandai dengan

resistivitasnya turun drastis mendekati nol (Pikatan, 1989). Pada tahun 1933,

Meissner dan Ochsenfeld mengamati sifat kemagnetan superkonduktor.

Superkonduktor berkelakuan seperti bahan diamagnetik sempurna ketika T ≤ Tc

seperti ditunjukkan pada Gambar 2.2 dan Gambar 2.3 berikut:

T > Tc T ≤ Tc

H H

Gambar 2.2. Efek Meissner (Mundy & Cross, 2006).


9

Gambar 2.3. Bahan superkonduktor yang melayangkan magnet di atasnya


..(Ismunandar dan Sen, 2004).

Pada Gambar 2.2, ketika T ≤ Tc bahan superkonduktor menolak medan magnet.

Sehingga apabila sebuah magnet tetap diletakkan di atas bahan superkonduktor,

maka magnet tersebut akan melayang seperti ditunjukkan pada Gambar 2.3. Jadi

kerentanan magnetnya (susceptibility) χ = -1, sedangkan konduktor biasa memiliki

kerentanan magnet χ = -10-5. Fenomena ini dikenal dengan nama efek Meissner.

Jika bahan non superkonduktor diletakkan di atas suatu medan magnet, maka

fluks magnet akan menerobos ke dalam bahan, sehingga terjadi induksi magnet di

dalam bahan. Sebaliknya, jika bahan superkonduktor yang berada di bawah suhu

kritisnya dikenai medan magnet, maka superkonduktor akan menolak fluks

magnet yang mengenainya. Hal ini terjadi karena superkonduktor menghasilkan

medan magnet dalam bahan yang berlawanan arah dengan medan magnet luar

yang diberikan (Pikatan, 1989).

2.3 Jenis-jenis Superkonduktor

Superkonduktor dapat dibedakan berdasarkan suhu kritis dan medan magnet

kritisnya. Berdasarkan suhu kritisnya superkonduktor dibagi menjadi 2, yaitu

superkonduktor suhu rendah dan superkonduktor suhu tinggi (SKST).

Superkonduktor suhu rendah merupakan superkonduktor yang memiliki suhu

kritis di bawah suhu nitrogen cair (77 K). Sehingga untuk memunculkan
10

superkonduktivitasnya, material tersebut menggunakan helium cair sebagai

pendingin (Windartun, 2008). Adapun contoh dari superkonduktor suhu rendah

adalah Hg (4,2 K), Pb (7,2 K), niobium nitride (16 K), niobium-3-timah (18,1 K),

Al0,8Ge0,2Nb3 (20,7 K), niobium germanium (23,2 K), dan lanthanum barium

tembaga oksida (28 K) (Pikatan, 1989).

Sedangkan SKST (Superkonduktor Suhu Tinggi) adalah superkonduktor yang

memiliki suhu kritis di atas suhu nitrogen cair (77 K) sehingga sebagai

pendinginnya dapat digunakan nitrogen cair (Windartun, 2008). Pada tahun 1987,

kelompok peneliti di Alabama dan Houston yang dikoordinasi oleh K.Wu dan P.

Chu, menemukan superkonduktor YBa2Cu3O7-x dengan Tc = 92 K. Ini adalah

suatu penemuan yang penting karena untuk pertama kali didapat superkonduktor

dengan suhu kritis di atas suhu nitrogen cair, yang harganya jauh lebih murah

daripada helium cair. Pada awal tahun 1988, ditemukan superkonduktor oksida

Bi-Sr-Ca-Cu-O dan Tl-Ba-Ca-Cu-O berturut-turut dengan Tc = 110 K dan 125 K

(Sukirman et al., 2003).

Berdasarkan sifat magnetisnya, superkonduktor dibagi menjadi 2, yaitu

superkonduktor tipe I dan superkonduktor tipe II. Superkonduktor tipe I menurut

teori BCS (Bardeen, Cooper, dan Schrieffer) dijelaskan menggunakan pasangan

elektron (yang sering disebut pasangan Cooper). Pasangan elektron bergerak

sepanjang terowongan penarik yang dibentuk ion-ion logam yang bermuatan

positif. Akibat dari pembentukan pasangan dan tarikan ini arus listrik akan

bergerak dengan merata dan akan terjadi superkonduktivitas. Superkonduktor

yang berkelakuan seperti ini disebut superkonduktor tipe I yang secara fisik
11

ditandai dengan efek Meissner, yakni gejala penolakan medan magnet luar

(asalkan kuat medannya tidak terlalu tinggi) oleh superkonduktor. Bila kuat

medan melebihi batas kritis, gejala superkonduktivitasnya akan menghilang.

Maka pada superkonduktor tipe I akan terus-menerus menolak medan magnet

yang diberikan hingga mencapai medan magnet kritis.

Superkonduktor tipe II mempunyai dua nilai medan magnet kritis, Hc1 (di bawah)

dan Hc2 (di atas). Selain itu, superkonduktor tipe II memiliki tiga keadaan seperti

ditunjukkan pada Gambar 2.4 berikut:

Meissner state Meissner state Meissner state


H<Hc1 Hc1<H<Hc2 H<Hc2

Gambar 2.4. Fluks magnet pada jangkauan medan kritis (Widodo, 2009)

Keadaan bahan superkonduktor tipe II berdasarkan Gambar 4, ketika H<Hc1

bahan superkonduktor tipe II berada dalam keadaan Meissner, yaitu fluks

magnetik ditolak sempurna hingga medan magnet kritis dengan resistivitas (ρ)

adalah nol dan induksi magnetik (B) adalah nol. Selain itu ketika Hc1<H<Hc2

maka superkonduktor berada dalam keadaan campuran, yaitu sebagian fluks

magnetik menerobos spesimen superkonduktor. Ketika H>Hc2 bahan

superkonduktor berada dalam keadaan normal, fluks magnetik menembus bahan

superkonduktor seluruhnya (Cyrot & Pavuna, 1992).


12

2.4 Superkonduktor BSCCO

Penelitian mengenai superkonduktor sistem BSCCO telah dimulai sejak tahun

1987 dan pertama kali diprakarsai oleh Maeda et al. (Maeda et al., 1988). Sistem

BSCCO merupakan salah satu SKST golongan superkonduktor kuprat (CuO).

Bahan SKST BSCCO memiliki ciri-ciri antara lain, suhu tinggi di atas nitrogen

cair 77 K, merupakan bahan kompleks yang terbentuk dari prekursor Bi2O3,

SrCO3, CaCO3, dan CuO. Bahan SKST ini pada valensi Cu termasuk doping hole,

struktur kristalnya berlapis berupa orthorombik perovskite (ABX3) (Widodo,

2009). Bahan SKST BSCCO merupakan bahan superkondukto tipe II (Cyrot &

Pavuna, 1992). Seluruh fase superkonduktif BSCCO memenuhi persamaan

Bi2Sr2Can-1CunO2n+4, dengan nilai n=1,2,3, dan seterusnya. Pembentukan senyawa

bergantung pada komposisi nominal bahan penyusun dan suhu pemrosesannya

yang dapat digambarkan oleh diagram fase sistem yang bersangkutan (Suprihatin,

2002). Struktur kristal dari superkonduktor BSCCO ditunjukkan pada Gambar 2.5

berikut:

(a) (b) (c)


Gambar 2.5. Struktur kristal sistem BSCCO: (a) 2201, (b) 2212 dan (c) 2223
(Lehndroff, 2001).
13

Pada Gambar 2.5, (a) fase BSCCO-2201 disusun oleh bidang (BiO)2/SrO/CuO2/

SrO/CaO/SrO/CuO2/SrO/(BiO)2 dimana piramida Cu berada diantara dua bidang

SrO. BSCCO-2201 memiliki parameter kisi a=b=5,39 Å dan c=24,6 Å. Bidang

BiO berada pada bagian ujung struktur dan atom Cu dihubungkan dengan 6 atom

oksigen dalam struktur oktahedral. Sedangkan pada Gambar 6 (b), fase BSCCO-

2212 disusun oleh bidang senyawa (BiO)2/SrO/CuO2/SrO/CaO/SrO/CuO2/

SrO/(BiO)2 dimana piramida atom Cu dipisahkan oleh adanya bidang Ca. Struktur

kristal berbentuk tetragonal ini memiki parameter kisi a=b=5,4 Å dan c=30,7 Å.

Struktur kristal dari fase Bi-2223 membentuk struktur orthorombik seperti yang

ditunjukkan pada Gambar 6 (c). Rantai Sr–Sr memiliki ikatan yang paling lemah,

sedangkan atom Cu(1) sebagai kation yang paling tidak stabil memiliki tiga rantai

ikatan yaitu Cu(1)-Ca, Cu(1)-O(1) dan Cu(1)-Cu(2). Rantai ikatan Cu(1)-O(1)

merupakan ikatan yang paling kuat (r=1,916 Ȧ). Atom oksigen O(3) hanya

memiliki satu rantai ikatan dengan atom Bi yang memiliki panjang ikatan sebesar

2,231 Ȧ (Widodo, 2009).

2.5 Metode Sintesis Superkonduktor BSCCO-2223

Untuk memperoleh fase tunggal atau kristal tunggal superkonduktor fase 2223

terdapat beberapa upaya yang telah dilakukan, seperti penggunakan doping Pb

dan Ag, doping Pb dan Sb, serta penggunakan fluks (Bi2O3, KCl, dan NaCl).

Selain itu juga dilakukan dengan mengubah beberapa parameter pemrosesan

seperti variasi komposisi awal. Proses pembuatan yang sering digunakan untuk

mensintesis superkonduktor BSCCO-2223 antara lain metode sol-gel, padatan dan

lelehan. Metode sol-gel umumnya menggunakan senyawa ligan ethylene-

diaminetetraacetit acid (EDTA) yang dapat membantu mengikat logam.


14

Sedangkan bahan-bahan dasarnya digunakan garam nitrat, seperti Bi(NO3)3,

Pb(NO3)2, Sb(NO3)2, Ca(NO3)2, Sr(NO3)2, dan Cu(NO3)2. Garam nitrat tersebut

dicampur dalam pelarut etilen glikol, kemudian EDTA ditambahkan ke dalam

larutan ini. Agar pH larutan tetap berada pada 8,0-8,2, maka larutan selalu

dikontrol dengan menambahkan amonium hidroksida (NH4OH). Setelah itu

larutan dipanaskan pada suhu 90°C hingga menjadi gel. Selanjutnya gel

didekomposisi pada 300°C hingga didapat aglomerat-aglomerat yang lunak dan

berpori. Langkah selanjutnya adalah penggerusan, kalsinasi, penggerusan

kembali, peletisasi, dan sintering sesuai diagram fase yang ada (Sukirman et.al.,

2003).

Pada metode lelehan digunakan bahan-bahan oksida penyusun BSCCO-2223

seperti Bi2O3, SrCO3, CaCO3, CuO, dan dopan PbO. Bahan-bahan tersebut

dicampur dengan aquades HNO3 sebagai pelarut. Apabila seluruh bahan telah

terlarut dilakukan pengeringan sehingga didapatkan aglomerat-aglomerat. Setelah

itu dilakukan kalsinasi dan penggerusan. Proses dilanjutkan dengan peletisasi dan

sintering. Pada proses sinteringlah dilakukan pelelehan bahan BSCCO, yaitu pada

suhu sekitar 863°C selama beberapa menit. Kemudian proses dilanjutkan dengan

pemanasan sesuai dengan diagram fase agar terbentuk BSCCO-2223.

Sintesis BSCCO-2223 metode padatan menggunakan bahan-bahan oksida dan

karbonat penyusun BSCCO-2223 seperti Bi2O3, SrCO3, CaCO3, CuO, dan dopan

PbO. Unsur-unsur tersebut dicampurkan sesuai dengan stoikiometri yang

diinginkan. Selanjutnya dilakukan pengadukan, penggerusan dan peletisasi.

Proses dilanjutkan dengan kalsinasi, penggerusan kembali, peletisasi, dan


15

sintering sesuai dengan diagram fase. Apabila dibandingkan dengan proses-proses

sintesis yang lainnya, maka proses sintesis BSCCO-2223 dengan metode padatan

merupakan metode yang relatif mudah, murah, serta tidak terlalu menggunakan

bahan-bahan yang dapat membahayakan kesehatan tubuh (Sukirman dkk., 2003).

2.6 Penelitian Terkait

Penelitian terkait berikut menjadi salah satu referensi penulis dalam penyusunan

makalah, sehingga penulis dapat memperkaya teori yang digunakan dalam me-

review jurnal penelitian yang dibahas.

Penelitian “Pengaruh Penambahan MgO, CNT, TiO2 pada Sifat dan Pembentukan

Transport (Bi, Pb) -2223 Disiapkan Dengan Metode Solid State dan Sintering

yang Berulang” yang dilakukan oleh Binoro, dkk. pada tahun 2017. Penelitian ini

dilakukan untuk mengetahui pengaruh penambahan MgO, CNT, TiO2 pada sifat

struktural dan transportasi sampel superkonduktor Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O8. Sampel

BSCCO disusun dari campuran Bi2O3 (98%), PbO2 (97%), SrCO3 (96%),

CaCO3(98,5%), dan CuO (99%) dengan rasio Bi: Pb : Sr: Ca: Cu = 1.6: 0.4: 2: 2:

3. Pada penelitian ini, terdapat 4 sampel diantaranya sampel dtanpa tambahan,

dengan tambahan 5%wt TiO2, 5% wt MgO, dan ),1% wt carbon nanotubes.

Pertama, bahan digerus dengan menggunakan mortar agate selama 3 jam, bubuk

yang dihasilkan kemudian dilakukan dua tahap pemanasan dan kalsinasi pada

suhu 300 oC selama 8 jam dan 820 oC selama 20 jam. Dengan kenaikan

temperatur pada sampel yaitu 5 oC/menit. setiap sampel di press ke dalam pellet

berbentuk piringan. Resintering pada suhu 850 oC selama 30 jam. Kemudian

Sampel disiapkan dengan kondisi yang berbeda sebagai berikut: satu kali sintering
16

850 ° C di udara selama 30 jam, dengan peningkatan suhu adalah 5 °C/menit dan

resintering pada 850 ° C di udara selama 30 jam. Kemudian sampel

dikarakterisasi dengan menggunakan XRD type PAN Analytical Empyrean

dengan radiasi Cu Ka (λ=1.54056 Å). Sedangkan ukuran butir dan morfologi

permukaan sampel di identifikasi dengan menggunakan SEM JEOL-6390A.

Dimana pengaruh penambahan 5% wt MgO, 5% wt TiO2, 0,1% wt CNT pada

struktural dan kelistrikan BPSCCO telah diketahui bahwa temperatur kritis (Tc)

superkonduktivitas dari penambahan MgO dan Ti2 ditemukan lebih rendah

dibandingkan dengan sampel tanpa penambahan (murni). Tc-onset yang diperoleh

yaitu 121,5 K; 117,5 K; 120,8 K; 120,1 K dengan transisi luas 15,4 K; 15,8 K; 22

K; 46,8 K untuk sampel BPSCCO murni dan sampel tambahan MgO, CNT, TiO2

secara berturut-turut. Analisis XRD menunjukkan bahwa penurunan fraksi volume

Bi-2223 dan meningkatkan fase Bi-2212 terjadi dengan penambahan MgO, CNT,

dan TiO2 serta sintering berulang meningkatkan suhu transisi (Tc) (Bintoro et.al.,

2017).

Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Cindy dkk. pada tahun 2018

mengenai “Pengaruh waktu sintering dan diameter terhadap pembentukan kawat

superkonduktor Bi-Pb-Sr-Ca-Cu-O dengan dopan TiO2 menggunakan tabung

perak (Ag)”. Pada penelitian ini sangat penting untuk dibahas karena hal ini

berpengaruh terhadap adanya suhu kritis yang merupakan syarat penting

superkonduktor. Pada penelitian ini ada beberapa tahap yang dilakukan yaitu

preparasi bahan yaitu proses permesinan, penarikan kawat dan proses perlakuan

panas. Serbuk BPSCCO dengan dopan TiO2 dimasukkan ke dalam tabung perak
17

(Ag) dan dikalsinasi pada temperatur 820 oC selama 20 jam, lalu proses penarikan

(Rolling) sampai diameter 6 mm dan 2,6 mm serta sintering dilakukan pada

temperatur 850 oC selama 9 jam dan 30 jam untuk masing-masing ukuran

diameter dengan dua kali proses sintering.

Waktu sintering dan ukuran diameter kawat saat dan setelah proses penarikan

(rolling) superkonduktor. Waktu yang sangat berpengaruh pada pembentukan fasa

superkonduktor yang ditandai dengan adanya suhu kritis jam sedangkan untuk

ukuran diameter kawat yang memiliki suhu kritis yaitu pada ukuran 6 mm dengan

hasil Tc-onset=99 K dan Tc-zero = 70 K dan dapat dikatakan bahwa kawat ini

merupakan kawat superkonduktor. Sedangkan waktu sintering selama 30 jam

dapat merubah fasa BPSCCO dengan dopan TiO2 sehingga tidak terbentuk

superkonduktor melainkan konduktor dan semikonduktor dan diameter 2,6 mm

belum menjadi ukuran yang tepat untuk pembentukan kawat superkonduktor.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kawat superkonduktor memiliki suhu kritis

yaitu Tc-onset=99 K dan Tc-zero=70 K. Waktu yang sangat berpengaruh pada

pembentukan fasa superkonduktor yaitu sintering selama 9 jam sedangkan untuk

ukuran diameter kawat yang memiliki suhu kritis yaitu 6 mm, sedangkan waktu

sintering selama 30 jam dapat merubah fasa BPSCCO sehingga tidak terbentuk

superkonduktor melainkan konduktor dan semikonduktor. Pada diameter 2,6 mm

belum menjadi ukuran yang tepat pada pembentukan kawat superkonduktor.

Penelitian yang dilakukan oleh Lusiana pada tahun 2014 mengenai “Proses

Pembuatan Material Superkonduktor Bscco Dengan Metoda Padatan”, dipelajari

proses pembuatan bulk superkonduktor BSCCO dari campuran berbagai oksida


18

yaitu Bi2O3, SrCO3, CaO, CaCO3, dan PbO sebelumnya dilakukan proses

penimbangan, terlebih dahulu dilakukan pemanasan awal untuk menghilangkan

kadar air yang masih terkandung dalam bahan-bahan dasar tersebut dengan

metoda padatan atau pencampuran kering. Tujuan penelitian yang dilakukan

adalah mencari temperatur optimum proses sintering untuk menghasilkan material

superkonduktor BSCCO dengan menggunakan metoda padatan. Campuran serbuk

sebelumnya ditekan menggunakan mesin kompresi dengan beban 1000 KPa pada

temperatur kamar menggunakan cetakan berbentuk silinder dengan diameter 10

mm. Temperatur sintering dilakukan pada T = 800 °C, 820 °C, 845 °C, dan 865

°C dengan waktu penahanan 90 jam. Hasil sintering kemudian dikarakterisasi

dengan menggunakan XRD, SEM, dan uji Meissner. Dari hasil dari sampel

tersebut didapatkan analisa XRD yang diperoleh fasa Bi2212 dan fasa Bi2223.

Fraksi volume fasa Bi2212 terbesar diperoleh pada T= 845 °C yaitu sebesar

73,6%, sedangkan untuk fasa Bi2223 terbesar diperoleh pada T= 865 °C sebesar

42,4%. Efek dari tingginya fraksi volume fasa-fasa pada kondisi tersebut secara

berturut-turut memberikan efek levitasi kuat dan sedang.


7

III. METODELOGI PENELITIAN

3.1 Alat dan Bahan

3.1.1 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Neraca digital digunakan untuk menimbang sampel.

2. Spatula digunakan untuk mengambil sampel.

3. Tisu digunakan untuk mengelap alat yang telah dicuci.

4. Mortar dan pastel digunakan untuk menggerus sampel.

5. Furnace digunakan untuk sintering.

6. Mesin pencetak pelet digunakan untuk mencetak bahan menjadi pelet.

3.1.2 Bahan

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah:

1. Serbuk Bi2O3 (Bismuth Oxide) digunakan dalam proses sintesis sampel.

2. Serbuk SrCO3 (Strontium Carbonate) digunakan dalam proses sintesis sampel.

3. Serbuk CaCO3 (Calcium Carbonate) digunakan dalam proses sintesis sampel.

4. Serbuk CuO (Copper Oxide) digunakan dalam proses sintesis sampel.

5. Serbuk PbO2 (Lead Dioxide) digunakan dalam proses sintesis sampel.

6. Serbuk PbNO3 (Lead(II) Nitrate) digunakan dalam proses sintesis sampel.

7. Serbuk CNT (Carbon Nanotube) digunakan dalam proses sintesis sampel.

8. Serbuk TiO2 (Tianium Dioxide 98,5%) digunakan dalam proses sintesis sampel.
20

3.2 Prosedur Penelitian

Prosedur yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menimbang bahan dengan perbandingan Bi=1,6, Pb=0,4, Sr=2,0, Ca=2,0 dan

Cu=3,0.

2. Menggerus bahan selama 3 jam.

3. Menghidrolisis bahan pada suhu 300 oC selama 8 jam.

4. Menggerus ulang bahan selama 6 jam.

5. Mengkalsinasi bahan pada suhu 820 oC selama 20 jam.

6. Menambahkan serbuk CNT 0,1% dan TiO2 5%.

7. Menggerus ulang selama 20 menit.

8. Mencetak dengan diameter 12 mm dan ketebalan 3 mm.

9. Menekan sekitar 379 MPa.

10. Mensintering bahan pada suhu 850 oC selama 30 jam dengan kenaikan suhu 5
o
C/menit.

11. Menggerus dan mensintering ulang pellet.

3.3 Karakterisasi Bahan

3.3.1 Uji XRD (X-Ray Diffraction )

Uji struktur kristal pada sampel B-CNT dan sampel B-TiO2 dilakukan dengan

tahapan sebagai berikut:

1. Menyiapkan sampel B-CNT dan sampel B-TiO2 yang akan diuji untuk melihat

struktur kristalnya.

2. Meletakkan sampel B-CNT dan sampel B- TiO2 pada alat uji XRD dan melihat

struktur kristalnya menggunakan software Match.


21

3.3.2 Uji SEM (Scanning Electron Microscope)

Uji struktur mikro dan komposisi pada sampel B-CNT dan sampel B- TiO2

dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

1. Menyiapkan sampel B-CNT dan sampel B-TiO2 yang akan diujiuntuk melihat

struktur mikronya dan komposisi pada sampel B-CNT dan sampel B- TiO2.

2. Meletakkan sampel B-CNT dan sampel B-TiO2 pada alat uji SEM dan

3. melihat struktur mikronya.

3.4 Diagram Alir Penelitian

Proses penelitian secara keseluruhan disajikan dalam bentuk diagram alir seperti

yang ditunjukkan pada Gambar 3.1 berikut:

Bi2O3 SrCO3 CaCO3 CuO PbO2

Penimbangan bahan

Penggerusan bahan

Penghidrolisisan bahan padasuhu


300oCselama 8 jam

Pemanasan pada suhu 820oC selama 20 jam

Penambahan serbuk CNT dan TiO2

Penggerusan ulang

Gambar 3.1. Diagram alir


20

IV. PEMBAHASAN

Pada penelitian ini dilakukan sintesis Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10+δ dengan

penambahan CNT dan penambahan TiO2 dengan menggunakan metoda reaksi

padatan dengan proses sintering berulang. Sampel yang dipersiapkan yaitu

sebanyak 4 sampel, yang pertama yaitu BPSCCO-2223 yang diberi tambahan

0,1% berat CNT dengan disintering sebanyak 1 kali (B-CNT1), yang kedua yaitu

BPSCCO-2223+CNT dengan sintering sebanyak 2 kali (B-CNT2), yang ketiga

yaitu BPSCCO-2223 yang diberi tambahan 0,1% berat TiO2 dengan sintering

sebanyak 1 kali (B-TiO-1), dan BPSCCO-2223+TiO2 dengan sintering sebanyak 2

kali (B-TiO-2).

4.1 Analisis Fasa Menggunakan XRD

Sampel dilakukan analisis fasa dengan menggunakan XRD tipe PAN Analytical

Empyrean. Hasil analisis XRD pada superkonduktor B-CNT dan B-TiO dengan

perlakuan sintering berulang dapat dilihat pada Gambar 4.1 dan Gambar 4.2

berikut ini:
23

Gambar 4.1. Pola difraksi BPSCCO-2223+CNT sintering 1 kali (B-CNT1) dan


sintering 2 kali (B-CNT2)

Gambar 4.1 merupakan pola difraksi yang dihasilkan dari BPSCCO-2223 yang

diberi tambahan CNT dengan sintering sebanyak 1 kali (B-CNT1) dan sintering

sebanyak 2 kali (B-CNT2). Pada Gambar 4.1, sampel B-CNT1 menunjukan

bahwa fasa yang terbentuk adalah fasa 2223 dan fasa 2221. Sementara fasa

impuritasnya adalah CaCO3 dan CaPbO3. Fasa impuritas ini terbentuk akibat

adanya dekomposisi pada bahan dasar pembentuk BPSCCO yang belum bereaksi

sempurna.

Sedangkan pada superkonduktor B-CNT2, menunjukkan bahwa sintering

berulang mampu menyempurnakan reaksi sehingga fasa impuritas tersebut

bertransformasi menjadi fasa BPSCCO (Darsono, dkk., 2015). Gambar 4.1

menunjukkan fasa pengotor berasal dari bahan baku BPSCCO. Fasa puncak CNT

yang merupakan bahan tambahan pada material tidak terdeteksi karena CNT yang

bersifat amorf (Amirani, 2016).


24

Gambar 4.2. Pola difraksi BPSCCO+TiO2 sintering 1 kali (B-Ti-1) dan .sintering
2 kali (B-Ti-2)

Gambar 4.2 merupakan pola difraksi yang dihasilkan dari BPSCCO-2223 yang

diberi tambahan TiO2 dengan sintering sebanyak 1 kali (B-Ti-1) dan sintering

sebanyak 2 kali (B-Ti-2).Gambar 4.2 dapat dilihat bahwa sampel B-TiO-1

membentuk berbagai fasa impuritas, yakni CaPbO3, Ti3O5, Ti4O7, Ti5O9, Ti8O15,

dan Ti9O17. Sementara pada sampel B-TiO-2, sejumlah impuritas menghilang

sehingga hanya tersisa CaPbO3, Ti3O5, dan Ti8O15. Tambahan TiO2 turut terlibat

dalam mekanisme reaksi dan menghasilkan berbagai jenis oksida Ti.

Sehingga, berdasarkan Gambar 4.1 dan Gambar 4.2 menunjukkan bahwa

pengulangan sintering baik pada B-CNT maupun B-TiO, keduanya menghasilkan

fasa 2223 dan 2212, serta sintering berulang mampu mengurangi fasa-fasa

pengotor. Gambar 4.1 dan 4.2 juga mengkonfirmasikan bahwa sintering berulang

pada B-CNT maupun B-TiO memberikan pengaruh hasil yang baik, yakni

peningkatan kemurnian fasa superkonduktor Bi(Pb)-2223 yang dapat dilihat


25

melalui nilai fraksi volume perbandingan fasa 2223 dan fasa 2212 pada Tabel 4.1

berikut ini:

Tabel 4.1. Perbandingan fraksi volume BPSCCO+CNT dan BPSCCO+TiO2 fasa


.2223 dan fasa 2212
Proses Sintering Fraksi Volume (%)
No Material
(850 oC, 30 jam) Bi-2223 Bi-2212
1. BPSCCO+CNT 1 kali 40 60
2. BPSCCO+CNT 2 kali 65 35
3. BPSCCO+TiO2 1 kali 33 67
4. BPSCCO+TiO2 2 kali 62 38

Berdasarkan analisis fasa yang dilakukan menggunakan MATCH, struktur kristal

pada material BPSCCO dengan penambahan 0,1 % berat CNT dan 5 % berat TiO2

ialah orthorombik. Fraksi volume superkonduktor BPSCCO dengan penambahan

CNT dan TiO2 antara fasa 2223 dan fasa 2212 dapat diketahui melalui persamaan

1 dan 2 di bawah ini:

∑ 𝐼2213
𝐵𝑖 − 2213 = ∑ 𝐼 𝑋 100% ................................................(1)
2223 +∑ 𝐼2212

∑ 𝐼2212
𝐵𝑖 − 2212 = ∑ 𝐼 𝑋 100%..................................................(2)
2223 +∑ 𝐼2212

4.2 Analisis Morfologi Menggunakan SEM

Pada penelitian ini dilakukan karakterisasi dengan menggunakan SEM type PAN

Analytical Empyrean untuk mengamati morfologi permukaan material

superkonduktor. Hasil morfologi permukaan material superkonduktor B-CNT dan

B-TiO dengan perlakuan sintering berulang dapat dilihat pada Gambar 4.3 dan

Gambar 4.4 berikut:


26

Gambar 4.3. Hasil uji SEM untuk BPSCCO+CNT sintering 1 kali (B-CNT1),
BPSCCO+CNT sintering 2 kali (B-CNT2), BPSCCO+CNT
sintering 3 kali (B-CNT3)

Gambar 4.3 memperlihatkan morfologi permukaan material superkonduktor

BPSCCO untuk B-CNT1 yang terdistribusi secara acak berbentuk serpihan

memanjang yang belum menyatu dan memiliki ruang porositas yang besar

(Saoudel, 2013). Pada B-CNT2 struktur berubah seperti bentuk lelehan yang

mulai memadat dan porositas yang terbentuk juga semakin kecil. Pada B-CNT3

menunjukkan perubahan morfologi yang semakin bagus ditandai dengan struktur

permukaan semakin memadat dan porositas yang semakin kecil. Struktur

morfologi berubah diperkirakan karena proses penggerusan berulang dan proses

sintering berulang.

Pada saat proses sintering berlangsung terjadi difusi kristal melewati batas butir

(grain boundaries) dan perluasan area singgungan antar kristal sehingga akan
27

memperbesar ukuran butir dan terjadi proses rekristalisasi dan pertumbuhan butir.

Proses difusi atom-atom terjadi dan menghasilkan penyusutan material yang

diiringi dengan pengurangan porositas (Lusiana, 2014).

Gambar 4.4. Hasil uji SEM untuk BPSCCO+TiO sintering 1 kali (B-TiO-1),
..BPSCCO+TiO sintering 2 kali (B-TiO-2), BPSCCO+TiO
..sintering 3 kali (B-TiO-3)

Gambar 4.4 memperlihatkan morfologi B-TiO-1 berupa butiran kecil berlapis dan

membentuk gumpalan-gumpalan. Penurunan rata-rata ukuran butir juga akibat

adanya penambahan serbuk TiO2 (Hamid dan Abd-Shukor, 2000). Porositas pada

B-TiO-1 terlihat sedikit dengan ruang kosong yang cukup besar sedangkan pada

B-TiO-2 dan B-TiO-3 butiran terdistribusi lebih stabil dengan porositas dan

gumpalan yang semakin sedikit akibat proses sintering berulang. Namun struktur

morfologi Bi(Pb)-2223 dengan penambahan TiO2 terlihat lebih rapat

dibandingkan dengan penambahan CNT.


29

V. KESIMPULAN

Kesimpulan yang diperoleh berdasarkan penelitian yang telah dilakukan yaitu:

1. Berdasarkan hasil analisis XRD menunjukkan BPSCCO yang mendapat

penambahan TiO2 menghasilkan berbagai impuritas yang lebih banyak

jenisnya daripada yang mendapat penambahan CNT.

2. Proses sintering berulang pada B-CNT dan B-TiO menghilangkan fasa

impuritas sehingga meningkatkan fraksi volume 2223 serta menurunkan fraksi

volume 2212.

3. Berdasarkan pengamatan struktur morfologi melalui SEM, penambahan CNT

pada Bi(Pb)-2223 membentuk serpihan memanjang dengan ruang porositas

yang besar sedangkan penambahan TiO2 membentuk gumpalan.

4. Proses sintering berulang memperbsiki struktur morfologi B-CNT dan B-TiO

menjadi semakin rapat dan ruang porositas yang semakin kecil.


29

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, M.M., F.O. Saad, dan Q.R. Nadein. 2015. Investigating the Preparation
Conditions on Superconduting Properties of Bi2-xLixPb0.4Sr2Ca2Cu310+.
Materials Sciences and Applications,6, 310-321.

Aji,W.P. 2010. Sinteis Superkonduktor YBCO dengan Metode Kopresipitasi dan


Karakterisasinya. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Amirani, L. 2016. Sintesis Superkonduktor MgB2 Dengan Penambahan Carbon


Nanotue Menggunakan Metode Powder In Tube. Medan: Universitas
Sumatera Utara.

Cyrot, M. dan D. Pavuna. 1992. Introduction to Superconductivity and High-Tc


Materials. Singapore: World Scientific.

Darsono, N., I. Agung, R. Kati, dan Y. Dang-Hyok. 2015. Synthesis and


Character Bi1.6Pb0.4Sr2Ca2Cu3O7 Superconducting Oxide by High-Energy
Milling, J Supercond Nov Magn, DOI 10.1007/s10948-015-3036-3.

Hamadneh, I.,, S. A. Halim, dan C. K. Lee. 2006. Characterization of


Bi1.6Pb0.4Sr2Ca2Cu3Oy Ceramic Superconductor Prepared Via
Coprecipitation Method at Different Sintering Time, J. Mater. Sci41:5526-
5530.

Hamid, N.A., dan R. Abd-Shukor. Effects of TiO2 addition on the


superconducting properties of Bi-Sr-Ca-Cu-O system. J. Material Sci, vol. 35,
pp. 2325-2329, 2000.

Hooker, M.W. 1996. Preparation and properties of High Tc BiPbSrCaCuO Thick


Film Superconductors on YSZ substrates, USA: NASA Contractor Report
4761, NASA Langley Research Center.

Ismunandar dan C. Sen. a2004. sssMengenal ssssssSuperkonduktor.


http://www.fisikanet.lipi.go.id/utama.cgi?cetakartikel&1100396563. (Diakses
23 November 2016).

Lehndroff, B. R. 2001. High-Tc Superconductors for Magnet and Energy


Technology, Berlin: Springer-Verlag.
29

Lusiana. 2013. Proses Pembuatan Material Superkonduktor BSCCO Dengan


Metoda Padatan, Majalah Metalurgi, ISSN 0216-3188, hal 73-82.
Tanggerang Selatan: Pusat Penelitian Metalurgi LIPI, Gedung 470, Kawasan
Puspitek Serpong,

Maeda, H., Y. Tanaka, M. Fukutumi, dan T. Asano. 1988. A New High-Tc Oxide
Superconductor without a Rare Earth Element, Japanese Journal Applied
Physics , Vol. 27 : 209-210.

Mundy, J. and Cross, S., (2006), Organic Superconductor,


http://hoffweb@physics.harvard.edu/material/organic/backgroud.php
(Diakses 23 November 2016).

Nurmalita. 2011. The Effect of Pb Dopant On The Volume Fraction Of BSCCO-


2212 Superconducting Crystal, Jurnal Natural, Vol.11, No.2.

Nurmalita. 2013. XRD Analysis of Bi-2212 Superconductors:Prepared by the Self-


flux Method. Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala, Juenal
Natural,Vol.13,No.1.

Pikatan, S. 1989. Mengenal Superkonduktor. Majalah Kristal, No. 3.

Prasuad, W., E. Sukirman. 1994. Identifikasi Struktur Fasa 2223 Superkonduktor


(Bi,Pb)SrCaCuO Menggunakan Pendekatan Group Ruang Fmmm (No-
Dengan Menggunakan Teknik Diffraksi Neutron, Pusat Penelitian Sains
Material Batan, ISSN : 0853-9911X.

Santosa,U., dan P. Suhardjo. 1996. Pembuatan Superkonduktor dengan Metode


Sol-Gel. Yogyakarta: , Seminar Fisika Lingkungan.

Saoudel, A., A. Amira, Y. Boudjadja, N. Mahamdioua, L. Amirouche, A.Varilci,


S. P. Altintas, C. Terzioglu. 2013. Study of the Thermo-Magnetic
Fluctuations in Carbon Nano-tubes Added Bi-2223 Superconductors. Physica
B 429 : 33-37.

Sukirman, E. 1991. Pengaruh Distribusi Kekosongan Oksigen Pada


Superkonduktivitas YBa2Cu3O7-x. Jakarta: Universitas Indonesia.

Sukirman, E. 2003. Kegiatan Litbang Superkonduktor Tc Tinggi di P3IB-BATAN.


Jurnal Sains Materi Indonesia, Vol.4 No.2.

Suprihatin. 2008. Pengaruh Variasi Suhu Sintering dalam Sintesis


Superkonduktor Bi-2212 Dengan Doping Pb (BPSCCO-2212) pada Suhu
Kalsinasi 790°C. Lampung: Universitas Lampung.

Widodo,H., Darminto (2010), Nanokristalisasi Superkonduktor Bi2SrCa2Cu3O10+δ


dan Bi1.6Pb0.4Sr2Ca2Cu3O10+δ dengan Metode Kopresipitasi dan
Pencampuran Basah. Surabaya: Institut Tekhnologi Surabaya.
30

Windartun. 2008. Superkonduktor. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai