Anda di halaman 1dari 48

PENGARUH PERLAKUAN PANAS TERHADAP MIKROSTRUKTUR,

FLUX PINNING, dan SIFAT MAGNETIK dari BSCCO DENGAN


METODE SOL GEL
(Makalah Superkonduktor)

Oleh
Kelompok XII
Azizatun Naafi’ah (1517041013)
Nur Asyriani (1517041044)
Sri Rahayu (1517041070)
Prastiana Tiara P (1517041115)

JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMPUNG
2018

i
DAFTAR ISI

Halaman
COVER ............................................................................................................... i

DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... iii

DAFTAR TABEL ............................................................................................. iv

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang ...................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 4
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................. 5

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1. High Temperature Superconductors (HTS) ........................................ 6
2.2 Superkonduktor Bismuth Strontium Calcium CoPP.er Oxide
(BSCCO) ............................................................................................. 8
2.3 Penelitian Terkait Bi-2223 ................................................................... 12
2.4 Flux Pinning ........................................................................................ 15
2.5 Heat Treament (Kalsinasi dan Sintering) ............................................ 16
2.6 Superkonductors Properties ................................................................ 18

III. METODE PENELITIAN


4.2Alat dan Bahan .....................................................................................21
4.3 Metode penelitian ................................................................................21
4.4 Diagram alir ......................................................................................... 23

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Analisis Fasa ........................................................................................ 25
4.2 Analisis Mikrostruktur ......................................................................... 28
4.3 Sifat Magnetik ..................................................................................... 31

V. KESIMPULAN DAN SARAN

DAFTAR PUSTAKA

ii
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1. Fluks magnet pada jangkauan medan kritis ....................................... 7

Gambar 2. Skema permukaan superkonduktor (a) d-wave dan (b) s-wave......... 8

Gambar 3.Diagram fase superkonduktor system BSCCO................................... 9

Gambar 4. Struktur kristal sistem BSCCO (a) 2201, (b) 2212 dan (c) 2223 ...... 10

Gambar 5.(a)Hubungan antara Fraksi volume dan impuritas terhadap


waktu sintering (b) Hubungan antara Prosentase fasa terorientasi
(P) dan diameter grain (D) terhadap waktu sintering ........................................... 14

Gambar 6.Grafik ukuran kristal terhadap temperatur sintering ........................... 17

Gambar7. Eksklusi fluks magnetik ...................................................................... 19

Gambar 8. Magnetisasi bahan superkonduktor terhadap kuat medan ................. 20

Gambar 9.Diagram Alir Penelitian ...................................................................... 24

Gambar 10. Pola XRD dari Bi-2223 dikalsinasi pada temperatur yang
berbeda selama 24 jam .......................................................................................... 25

Gambar 11.Pola XRD dari Bi-2223 dikalsinasi pada 820 °C dan disinter pada
temperatur yang berbeda selama 100 jam ............................................................. 26

Gambar 12. Pola XRD dari Bi-2223 dikalsinasi pada 830°C dan disinter pada
temperatur yang berbeda selama 100 jam ........................................ 27

Gambar 13. Gambar FESEM dari sampel yang dikalsinasi pada a) 820 dan
b)830°C selama 24 jam ......................................................................................... 28

Gambar 14. Gambar FESEM dari Bi-2223 dipanaskan pada temperatur yang
Berbeda 29

Gambar 15. Pemetaan distribusi unsur untuk Bi-2223820850 ................................ 30

Gambar 16. Ketergantungan suhu kerentanan untuk sampel disinter pada suhu
yang berbeda di bidang terapan 10 Oe. a) sampel dikalsinasi pada
820°C dan b) sampel dikalsinasi pada 830°C ....................................................... 31

Gambar 17. Kurva histeresis magnetik yang diperoleh untuk sampel yang
disinter pada suhu yang berbeda di bidang terapan 10 Oe pada 10 K.

iii
a) sampel dikalsinasi pada 820°C dan b) sampel dikalsinasi pada
830°C ............................................................................................... 32

Gambar 18. Kerapatan arus kritis sampel yang disinter pada temperatur yang
berbeda pada 10K. a) sampel dikalsinasi pada 820 °C b) sampel
dikalsinasi pada 830 °C. Inset menunjukkan ketergantungan medan
dari kepadatan penjepit fluks Fp ...................................................... 33

Gambar 19. Kekuatan penambatan yang dinormalkan sebagai fungsi dari bidang
yang dinormalisasi untuk semua sampel. Garis berwarna (biru),
padat (merah) dan putus-putus (hijau) mewakili kurva teoritis yang
diberikan oleh Persamaan. (4) - (6) masing-masing ........................ 35

iv
v

DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1.Ukuran kristal masing-masing sampel superkonduktor ..................... .... 17

Tabel 2. Nilai Tc ditentukan dari pengukuran M-T, parameter kisi dan volume
sel satuan untuk semua sampel (x = 0,0-0,2). .................................................. .....27

Tabel 3. Perbandingan sifat superkonduktor dalam berbagai penyelidikan di Bi-


2223.................................................................................................... .....36

v
1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Teknologi superkonduktor mulai berkembang pesat sejak ditemukannya

superkonduktor suhu kritis tinggi atau dikenal juga sebagai High Temperature

Superconductors (HTS) pada tahun 1986. Superkonduktor sendiri merupakan

bahan penghantar listrik yang memiliki resistansi nol (superconducting) ketika

berada dibawah suhu tertentu yang dinamakan dengan suhu kritis (Tc) bahan

tersebut. Sedangkan, HTS adalah berupa bahan oksida atau keramik yang

berinduk pada senyawa kuprat (Cu-O) dengan komposisi kimiawi yang multi

komponen (Khurana,1989). Akibatnya bahan HTS bersifat multifase, struktur

kristalnya berlapis, derajat anisotropinya tinggi dan panjang koherensinya yang

pendek. Walau belum tuntas dalam pemahaman dasarnya, bahan HTS telah

dikembangkan dalam aplikasi teknologi yang bervariasi luas, mulai dari aplikasi

piranti elektronik,transmisi daya berkapasitas besar, peralatan yang menggunakan

medan magnet berkekuatan tinggi,sampai dengan berbagai peralatan teknik yang

mengandalkan efek levitasi magnetik seperti misalnya SMES (superconducting

magnetic energy storage system). Riset yang sangat intensif terus dilakukan untuk

menghasilkan pemahaman menyeluruh tentang persoalan fisis yang berkaitan

dengan aspek teoritis, eksperimen, maupun aplikasinya. Salah satu bahan HTS

yang banyak dikaji adalah sistem Bi-Sr-Ca-Cu-O (BSCCO) yang dikenal juga

sebagai bahan superkonduktor berbasis Bi (Chu et al., 1997).

Sistem BSCCOadalah suatu sistem spesial di antara superkonduktor suhu kritis

karena performa yang baik dalam bidang elektronik, suhu transisi kritis tinggi
2

(Tc), rapat arus kritis tinggi (Jc), kapasitas membawa medan magnet tinggi dan

fitur yang baik pada struktur kristal berlapis. BSCCO dapat dijelaskan sebagai

komposisi umum Bi2Sr2Can-1CunO2n+4+θ yang megindikasi jumlah lapisan CuO2

dalam unit sel.Berdasarkan jumlah CuO2, material berbasis CuO2 dengan tiga fase

berbeda menunjukan superkonduktivitas pada nilai suhu transisi kritis Tc ~ 20 K

(n = 1, Bi-2201), Tc ~ 85–95 K (n = 2, Bi-2212), and Tc ~100–110 K (n = 3, Bi-

2223). Di antara fase, Bi-2223 merupakan fase yang paling menjanjikan untuk

tape dan kabel pada skala besar dan aplikasi arus tinggi. (Costa et al., 2015; Wang

et al., 2015; Wang et al., 2015; Turk et al., 2014).

Walaupun fabrikasi dari sampel Bi-2223 murni polikristalin sulit karena

pembentukan dari beberapa fase yang tidak diinginkan seperti Bi-2212, Bi-2201

dan Ca4PBO4 (Chen et al., 1992; Chen et al., 1991; Yoo et al.,2004). Fase residu

sekunder yang dihasilkan pada hubungan antar butir dan kemampuan flux pinning

lemah, merupakanketerbatasan pada aplikasi superkonduktor Bi-2223 (Zouaoui et

al.,2008). Flux pinning lemah berhubungan dengan rendahnya Jc dalam oksida

superkonduktor. Baru-baru ini dalam pembentukannya, mengenalkan pusat

sematan (pinning) yang dibutuhkan untuk meningkatkan Jc dalam medan magnet

(Murakamiet al., 1993).Dalam beberapa literatur juga menjelaskan adanya

pengaruh perlakuan panas untuk reduksi fase impuritas pada superkonduktor

berbasis Bi telah dipelajari secara luas dan menunjukan kemungkinan untuk

meningkatkan nilai Tc dan Jc dengan hati-hati melalui pengaturan parameter

proses. Telah ditunjukan bahwa fase sekunder berada diantara butir Bi-2223. Tc

dan Jc ditingkatkan selama fase impuritas diturunkan pada fase Bi-2223 sebagai

hasil perlakuan panas yang cocok. Terlebih lagi Jc ditentukan oleh mekanisme
3

flux pinning yang diaktifkan pada sampel dan juga dibatasi oleh struktur butir dan

konektivitas butir (Ghattas et al., 2008).

Dengan kata lain, perlakuan panas mempunyai peran penting dalam menentukan

morfologi butir dari superkonduktor. Pasangan butir dan sarana mensejajarkan

bentuk dari fase superkonduktor (Ozkurt, 2014; Aksan et al., 2014; Safran et al.,

2016). Kemudian, penelitian lebih jelas dari keadaan perlakuan panas merupakan

pokok yang sangat penting untuk mengoptimalkan fabrikasi sampel limpahan

polikristalin (Garnier, et.al., 2000; Garnier, et.al., 2001). Perlakuan panas tersebut

berupa kalsinasi dan sintering (Arani et al., 2018).

Proses pemanasan (pengontrolan suhu dan waktu) merupakan parameter penting

dalam sintesis superkonduktor. Pemilihan parameter proses secara optimal (suhu

dan waktu) mempengaruhi keadaan mikrostruktur dan sifat bahan superkonduktor.

Superkonduktor Bi-2223 tanpa doping Pb yang relatif baik disintesis pada suhu

kalsinasi 800oC selama 10 jam, suhu sintering 850oC selama 20 jam, serta

kalsinasi dan sintering dilakukan secara terpisah (Santoso, 2006).

Selain itu, saat ini sejumlah besar metode tersedia untuk mempersiapkan material

superkonduktor berbasis Bi dibeberapa aplikasi komersial, seperti laser floating

zone, co-preparation, keramik kaca, matriks polimer, reaksi padatan, sol gel dan

lain-lain (Yoo et al., 2004). Di antara teknik yang disebutkan, sol gel adalah salah

satu teknik yang menarik, memiliki beberapa keuntungan seperti pemrosesan

dalam suhu rendah, serbuk dengan homogenitas terbaik, pengulangan baik,

kemampuan untuk membentuk serbuk kemurnian tinggi dengan ukuran seragam.

Keuntungan yang disebutkan karena pencampuran awal kation logam pada sebuah
4

skala atomik dalam larutan , yang menghasilkan peningkatan reaksi dan reduksi

fase impuritas. Kemudian sol gel adalah salah satu metode terefektif pada

fabrikasi sistem BSCCO (Rehman et al., 2012; Danks et al., 2016; Yang et al.,

2012). Namun, sintesis BI-2223 murni masih mempertimbangkan perbedaan,

karena banyak faktor yang perlu dikontrol dengan metode ini. Penelitian baru-

baru ini ditunjukan bahwa konsentrasi larutan prekusor, pH larutan campuran,

chelating agen dan kondisi perlakuan panas merupakan faktor vital dalam

perubahan struktur fase dan mikrostruktur bahan. Pengaruh suhu kalsinasi dan

sintering diantara parameter ini khusus signifikan pada memasangkan butir,

morfologi butir, transisi dan pembentukan fase, mempengaruhi untuk

meningkatkan sifat kelistrikan polikristalin BPSCCO (Darsono et al., 2016;

Ozcelik et al., 2017). Penelitian terbaru ini ditujukan untuk menginvestigasi

pengaruh kombinasi dari suhu kalsinasi dan sintering pada perubahan fase dan

sifat superkonduktor Bi-2223 material keramik yang disintesis dengan metode sol

gel.

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh suhu kalsinasi dan sintering pada perubahan fase

Superkonduktor Bi-2223 dengan metode sol-gel?

2. Bagaimana pengaruh suhu kalsinasi dan sintering pada sifat Superkonduktor

Bi-2223 dengan metode sol-gel?

3. Bagaimana pengaruh suhu kalsinasi dan sintering mikrostruktur

Superkonduktor Bi-2223 dengan metode sol-gel?


5

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui pengaruh suhu kalsinasi dan sintering pada perubahan fase

Superkonduktor Bi-2223 dengan metode sol-gel.

2. Mengetahui pengaruh suhu kalsinasi dan sintering pada sifat Superkonduktor

Bi-2223 dengan metode sol-gel.

3. Mengetahui pengaruh suhu kalsinasi dan sintering mikrostruktur

Superkonduktor Bi-2223 dengan metode sol-gel.


6

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 High Temperature Superconductors (HTS)

Superkonduktor suhu tinggi umumnya adalah hal yang mempertunjukkan

superkonduktivitas pada suhu diatas suhu nitrogen cair yaitu sebesar 77 K, karena

suhu tersebut merupakan suhu cryogenic yang mudah dicapai. Superkonduktor

suhu tinggi (HTS) pertma kali digunakan untuk menunjukkan material keramik

cuprate-perovskit yang ditemukan pada tahun 1986 oleh peneliti IBM Karl Muller

dan Johannes Bednorz, serta mereka meraih hadiah Nobel Fisika pada tahun 1987

dengan penemuannya La2-xSrxCuO4 dengan suhu transisi superkonduktor (Tc)

sebesar 35 K (Bednorz and Mueller, 1986). Ditahun berikutnya, YBa2Cu3O7 telah

ditemukan dengan Tc lebih besar dari 90 K (Wu, et al., 1987). “Suhu tinggi”

memiliki dua definisi umum dalam konteks superkonduktivitas:

1. Di atas suhu 30 K secara historis dianggap sebagai batas atas menurut teori

BCS (Berdeen, Cooper dan Schrieffer).

2. Memiliki suhu transisi yang merupakan fraksi yang memiliki suhu Fermi

lebih tinggi dibandingkan dengan superkonduktor konvensional seperti

merkuri.

Sifat-sifat magnetik superkonduktor suhu tinggi lebih rumit dibandingkan suhu

rendah karena magnetik terkuantisasi fluks sehingga dapat menembus bagian

dalam material, yang termasuk superkonduktor suhu tinggi yaitu superkonduktor

tipe II.Superkonduktor tipe II mempunyai dua nilai medan magnet kritis, Hc1 (di

bawah) dan Hc2 (di atas). Selain itu, superkonduktor tipe II memiliki tiga keadaan

seperti pada Gambar 1.


7

Gambar 1. Fluks magnet pada jangkauan medan kritis (Widodo, 2009)

Keadaan bahan superkonduktor tipe II berdasarkan Gambar 1, ketika H < Hc1

bahan superkonduktor tipe II berada dalam keadaan Meissner yaitu fluks magnetic

ditolak sempurna hingga medan magnet kritis dengan resistivitas (𝜌) adalah nol

dan induksi magnetic (B) adalah nol. Selain itu ketika Hc1 < H < Hc2 maka

superkonduktor berada dalam keadaan campuran, yaitu sebagian fluks magnetic

menerobos specimen superkonduktor. Ketika H > Hc2 bahan superkonduktor

berada dalam keadaan normal yaitu fluks magnetik dapat menembus bahan

superkonduktor seluruhnya(Cyrot dan Pavuna, 1992).

Karakteristik superkonduktor suhu tinggi jauh berbeda dengan superkonduktor

suhu rendah yaitu suhu kritis lebih tinggi, parameter superkonduktivitas ∆(0) juga

1/2
lebih besar, kedalaman penetrasi  = (𝑀𝑒∗ /𝜇0 𝑛𝑠 𝑒∗2 ) lebih besar dikarenakan

kosentrasi pengangkut lebih kecil dua kali lipat, panjang koheran pada

superkonduktor temperatur tinggi jauh lebih kecil dan juga anisotropy kuat serta

fungsi gelombang superkonduktivitas memiliki d-wave simetri pada suatu

superkonduktor suhu tinggi (Tanaka, 2006).

Terdapat dua teori untuk superkonduktor suhu tinggi. Pertama, pada

superkonduktor suhu tinggi terdapat fluktuasi spin antiferomagnetik dalam sistem

doping (Monthoux, et al., 1992). Menurut teori ini, fungsi gelombang pasangan
8

dari cuprate HTS harus memiliki simetri dx2-y2 (d-wave). Kedua, model kopling

diantara lapisan. Menurut teori ini strukturnya berlapis terdiri dari superkonduktor

BCS tipe s-wave simetri yang dapat meningkatkan superkonduktivitas

(Chakravarthy, et al., 1993).

(a) (b)

Gambar 2. Skema permukaan superkonduktor (a) d-wave dan (b) s-wave

Superkonduktor cuprete umumnya dianggap sebagai bahan superkonduktor yang

mempunyai sifat-sifat ditentukan oleh elektron yang bergerak dalam lapisan

tembaga oksida (CuO). Lapisan tersebut mengandung ion seperti lanthanum,

barium, strontium atau atom lain yang bertindak untuk menstabilkan struktur pada

tembaga oksida. Superkonduktor suhu tinggi pada cuprate superkonduktor

digunakan untuk senyawa seperti Yttrium Barium Cooper Oxide (YBCO) dan

Bismuth Strontium Calcium CoPP.er Oxide (BSCCO) (Ren., et al, 2008)

2.2 Superkonduktor Bismuth Strontium Calcium Cooper Oxide (BSCCO)

Penelitian mengenai superkonduktor system BSCCO telah dimulai sejak tahun

1987. Sistem BSCCO merupakan salah satu golongan superkonduktor suhu tinggi

golongan cuprate superkonduktor (CuO). Bahan BSCCO memiliki ciri-ciri antara

lain, suhu tinggi di atas nitrogen cair 77K, merupakan bahan kompleks yang

terbentuk dari precursor Bi2O3, SrCO3, CaCO3 dan CuO. Bahan superkonduktor
9

suhu tinggi ini pada valensi Cu termasuk dopinghole, struktur kristalnya berlapis

berupa othorombil perovskite (ABX3) (Widodo, 2009). Bahan BSCCO

merupakan bahan superkonduktor tipe II(Cyrot dan Pavuna, 1992).Seluruh fase

superkonduktif BSCCO memenuhi persamaan Bi2Sr2Can-1CunO2n+4, dengan nilai

n = 1, 2, 3 dan seterusnya (Majewski, et al., 1997). Pembentukan senyawa

bergantung pada komposisi nominal bahan penyusun dan suhu pemrosesannya

yang dapat digambarkan oleh diagram fase system yang bersangkutan (Suprihatin,

2002). Diagram fase superkonduktor BSCCO ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Diagram fase superkonduktor system BSCCO (Strobel et al., 1992)

Pada Gambar 3, terdapat lima daerah pembentukan fase 2223, yaitu daerah fase

Bi-2212+Bi-2223+L1, daerah fase Bi-2223+(Sr,Ca)2CuO3+CuO dan daerah fase

Bi-2212+Bi-2223. Dari kelima daerah fase tersebut, tiga daerah mengandung

cairan (L1) karena sudah mengalami lelehan sebagian, sedangkan dua fase lainnya
10

berupa padatan. Untuk menghindari impuritas seperti CuO, (Sr,Ca)2CuO3 dan fase

lain, maka daerah fase Bi-2212+Bi-2223 merupakan daerah yang paling efektif

dalam menumbuhkan fase 2223, karena hanya mengandung fase 2212 dan fase

2223 (Marhendrajaya, 2001). Struktur Kristal dari superkonduktor BSCCO

ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Struktur kristalsistem BSCCO (a) 2201, (b) 2212 dan (c)
2223(Lehndroff, 2001).

Pada Gambar 4 (a), fase BSCC0-2201 disusun oleh bidang (BiO)2 / SrO / CuO2 /

SrO / CaO / SrO /CuO2 / SrO / (BiO2) dimana piramida Cu berada diantara dua

bidang SrO. BSCCO-2201 memiliki parameter kisi a = b = 5,39Å dan c = 24,6Å.

Bidang BiO berada pada bagian ujung struktur dan atom Cu dihubungkan dengan

6 atom oksigen dalam structural octahedral. Sedangkan pada Gambar 4 (b), fase

BSCCO-2212 disusun oleh bidang senyawa BiO)2 / SrO / CuO2 / SrO / CaO / SrO

/ CuO2 / SrO / (BiO2) dimana piramida atom Cu dipisahkan oleh adanya bidang

Ca. Struktur Kristal berbentuk tetragonal ini memiliki parameter kisi a = b = 5,4 Å

dan c = 24,6 Å. Struktur Kristal dari fase Bi-2223 membentuk struktur


11

orthorombik seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4 (c). Rantai Sr-Sr memiliki

ikatan yang paling lemah, sedangkan atom Cu(1) sebagai kation yang paling tidak

stabil memiliki tiga rantai ikatan yaitu Cu(1)-Ca, Cu(1)-O(1) dan Cu(1)-Cu(2).

Rantai ikatan Cu(1)-O(1) Merupakan ikatan yang paling kuat (r = 1,916 Å). Atom

oksigen O(3) hanya memiliki satu rantai ikatan dengan atom Bi yang memiliki

panjang ikatan sebesar 2,231 Å (Widodo, 2009).

Untuk memperoleh fase tunggal atau Kristal tunggal fase 2223 terdapat beberapa

upaya yang telah dilakukan, seperti penggunaan doping Pb dan Ag, doping Pb dan

Sb, serta penggunaan luks (Bi2O3, KCl dan NaCl). Selain itu juga dilakukan

ddengan mengubah beberapa parameter pemrosesan seperti variasi komposisi

awal (Rachmawati, 2009).

Proses pembuatan yang sering digunakan untuk mensintesis superkonduktor

BSCCO-2223 antara lain metode padatan, lelehan dan sol gel. Metode padatan

menggunakan bahan-bahan oksida dan karbonat penyusun BSCCO-2223 seperti

Bi2O3, SrCO3, CaCO3, CuO dan dopan PbO. Unsur-unsur tersebut dicampurkan

sesuai dengan stoikiometri yang diinginkan. Selanjutnya dilakukan pengadukan,

penggerusan dan peletisasi. Proses dilanjutkan dengan kalsinasi, penggerusan

kembali, peletisasi dan sintering sesuai dengan diagram fase. Apabila

dibandingkan dengan proses-proses sintesis lainnya, maka proses sintesis

BSCCO-2223 dengan metode padatan merupakan metode yang relatif mudah,

murah, serta tidak terlalu menggunakan bahan-bahan yang dapat membahayakan

kesehatan tubuh (Sukirman dkk., 2003; Kirom dan Ramdlan, 2001).

Pada metode lelehan digunakan bahan-bahan oksida penyusun BSCCO-2223

seperti BiO2O3, SrCO3, CaCO3, CuO dan dopan PbO. Bahan-bahan tersebut
12

dicampur dengan aquades dan HNO3 sebagai pelarut. Apabila seluruh bahan telah

terlarut, dilakukan pengeringan sehingga didapatkan aglomerat-aglomerat. Setelah

itu dilakukan kalsinasi dan penggerusan. Proses selanjutnya dengan peletisasi dan

sintering. Pada proses sinteringlah dilakukan pelelehan bahan BSCCO, yaitu pada

suhu sekitar 863oC selama beberapa menit. Kemudian proses dilanjutkan dengan

pemanasan sesuai dengan diagram fase agar terbentuk BSCCO-2223

(Marhaendrajaya, 2001).

Metode sol gel umumnya menggunakan senyawa ligan ethylene-

diaminetetraacetit acid (EDTA) yang dapat membantu mengikat logam

(Wuryanto, 1996). Sedangkan bahan-bahab dasarnya digunakan garam nitrat,

seperti Bi(NO3)3, Pb(NO3)2, Sb(NO3)2, Ca(NO3)2, Sr(NO3)2 dan Cu(NO3)2. Garam

nitrat tersebut dicampur dalam pelarur etilen glikol, kemudian EDTAditambahkan

ke dalam larutan ini. Agar pH larutan tetap berada pada 8,0-8,2, maka larutan

selalu dikontrol dengan menambahkan ammonium hidroksida (NH4OH). Setelah

itu larutan dipanaskan pada suhu 90oC hingga menjadi gel. Selanjutnya gel

didekomposisi pada suhu 300oC hingga didapat aglomerat-aglomerat yang lunak

dan berpori. Langkah selanjutnya adalah penggerusan, kalsinasi, penggerusan

kembali, peletisasi dan sintering sesuai diagram fase (Sukirman dkk., 2003).

2.3 Penelitian Terkait Bi-2223

Salah satu bahan SKST yang banyak dikaji adalah sistem Bi-Pb-Sr-CaCu-O

(BPSCCO) yang dikenal juga sebagai bahan superkonduktor berbasis Bi.

Dalam sistem ini dikenal 3 fase superkonduktif yang berbeda yaitu fase

Bi2201, fase Bi-2212 dan fase Bi-2223(Suprihatin,2008). Struktur kristal dari


13

fasa Bi-2223 dapat membentuk struktur orthorombik dengan panjang ikatan antar

atom.Rantai Sr-Sr memiliki ikatan yang paling lemah, sedangkan atom Cu(1)

sebagai kation yang paling tidak stabil memiliki tiga rantai ikatan yaitu Cu(1)-Ca,

Cu(1)-O(1) dan Cu(1), Cu(2). Rantai ikatan Cu(1)-O(1) merupakan ikatan paling

kuat (r = 1,916 Ǻ). Atom oksigen O(3) hanya memiliki satu rantai ikatan dengan

atom Bi dengan panjang ikatan sebesar 2,231 Ǻ. Superkonduktor fasa Bi-2223

memiliki jumlah atom O 10 dan membutuhkan 20 elektron yang diperoleh dari

2Bi3+ + 2Sr2+ + 2Ca2+ + 3Cu2+ ,material ini tidak superkonduktif. Jika

diberikan overdoped extra atom O (δ = 0.22) ditempatkan di antara bidang BiO

(karena Bi memiliki energi ionisasi terendah dibanding atom lain) maka menjadi

superkonduktif. Extra atom O membutuhkan elektron dari perubahan 3Cu2+

menjadi 3Cu3+ sehingga susunan elektronnya dalam sel satuan (2Bi3+ + 2Sr2+ +

2Ca2+ + 3Cu3+) membentuk 3 lapisan superkonduktif bidang CuO2 dengan

doping hole kuprat. Temperatur kritisnya mencapai 108±2 K (Roeser dkk, 2008).

Menurut Andes Joko Susilo (2005),pembentukan grafik hasil plot Jc dengan suhu

lelehnya, menunjukkan bahwa bahan superkonduktor Bi-2223 dengan perlakuan

suhu leleh 875 oC memiliki Jc yang lebih tinggi jika dibandingkan pada bahan

dengan perlakuan suhu leleh 870 oC dan 880 oC. Penurunan Jc pada bahan

dengan perlakuan suhu leleh 880oC itu diperkirakan karena dengan suhu leleh

yang terlalu tinggi menyebabkan ikatan antar butiran tidak mampu menahan gerak

pertumbuhan butiran sehingga terjadi pergeseran butiran yang mengakibatkan

retak pada daerah batas butiran. Sedangkan pada bahan dengan perlakuan suhu

leleh 870 oC, pertumbuhan butiran masih belum optimal karena dengan suhu leleh
14

870 oC belum mampu memperbaiki koneksitas butiran pada bahan yang mungkin

retak saat dilakukanya proses peletisasi.

Sedangkan menurut Henry Widodo (2010), pembentukan fasa 2223 lebih baik

dengan metode pencampuran basah daripada kopresipitasi, hasilnya fraksi volume

fasa 2223 tanpa Pb dan doping Pb berturut-turut mencapai 85,80% and 87,57%,

setelah sintering pada 8400C selama 8x1jam. Sampel secara bersamaan memiliki

Tc = 79,6 K dan 98,3 K; dan ukuran kristal 170,30 nm, 216,47 nm. Sampel juga

menunjukkan gejala ferromagnetik untuk fasa 2223 tanpa Pb sedangkan yang

doping Pb bersifat paramagnetik.

Menurut Evi Yufita dan Nurmalita (2016), Pola-pola grafik intensitas yang

dihasilkan selanjutnya dihitung dan diperoleh karakteristik sampel seperti yang

terangkum pada grafik di Gambar 5. Hasil perhitungan fraksi volume 2223 dan

prosentasi impuritas ditunjukkan pada Gambar 5(a). Dari hasil tersebut tampak

bahwa penambahan waktu sinter sangat berpengaruh pada pembentukan fase

2223. Fraksi volume fasa 2223 terbesar diperoleh pada sampel dengan waktu

sinter 32 jam yaitu sebesar 72.63% (Gambar 5(a)). Dengan penambahan waktu

sinter dari 30 jam menjadi 32 jam fraksi volume 2223 meningkat.

Gambar 5.(a) Hubungan antara Fraksi volume dan impuritas terhadap waktu
sintering (b) Hubungan antara Prosentase fasa terorientasi (P) dan
diameter grain (D) terhadap waktu sintering
15

Prosentase fasa terorientasi terbesar yaitu 30.62% diperoleh pada sampel dengan

waktu sinter 32 jam , yang juga mempunyai fraksi volume 2223 tertinggi. Hal ini

disebabkan fasa 2223 yang terbentuk dengan bidang selain 00 pada sampel ini

lebih sedikit meskipun ukuran diameter grainnya lebih kecil dibanding sampel

yang waktu sinternya pada 34 jam. Sedangkan prosentase fasa terorientasi

terendah diperoleh dari sampel dengan waktu sinter 30 jam yaitu sebesar 29.26%.

2.4 Flux Pinning

Flux Pinning adalah fenomena dimna superkonduktor disematkan pada

permukaan diatas magnet. Gerak fluks magnet dipengaruhi oleh efek pinning.

Fluks disematkan dengan kerusakan kisi-kisi, kotoran dan partikel kecil pada

keadaan normal serta fluks tidak dapat bergerak pada medan magnet yang lemah,

jika medan magnet kuat maka fluks menjadi bebas dari pinning dan bisa bergerak

dengan kehilangan energi (Sekitani, et al., 2003). Nilai kepadatan gaya pinning

yang dinormalisasi (ƒp = F P / FP-max) sebagai fungsi b = H / Hmax. Perhatikan

bahwa, kekuatan pin yang menempel dalam sistem BSCCO bergantung pada sifat

pinning center, pinning centerize, sifat interaksi antara garis flux dan pinning

center, geometri dari pinning center, kekakuan kisi flux dan lain-lain. Ada dua

jenis pinning yang berbeda dalam bahan keramik superkonduktor untuk

menyematkan:

(1) partikel non superkonduktor (normal), embedding dalam matriks

superkonduktor, yang mengarah ke hamburan jalur bebas berarti elektron, dan

(2) Δκ pinning, yang merupakan hasil variasi spasial dari parameter Ginzburg –

Landau κ terkait dengan fluktuasi pada suhu kritis. (Fallah, et al., 2018).
16

2.5 Heat Treament (Kalsinasi dan Sintering)

Pembuatan komposit YBCO-123/Ag melalui reaksi padat atom-atom penyusun

bentuk oksida atau karbonat biasanya memerlukan penggerusan berulang kali agar

homogen. Bahkan setelah kalsinasi sintering juga memerlukan penggerusan.

Karena pencampuran di media basah atom-atom penyusun dapat bereaksi

,sehingga serbuk hasil pirolisis relatip lebih homogen. Oleh karena itu proses

kalsinasi sintering tidak memerlukan pengulangan. Penambahan temperatur

sintering dari 750 sampai 950 mengakibatkan penurunan intensitas fasa

impuritas, sedangkan pertumbuhan fasa superkonduktor terjadi pada penambahan

temperatur dari 750 sampai 850 , kemudian menurun dengan penambahan

temperatur sintering sampai 950 . Hal ini disebabkan temperatur pemanasan

sudah melampaui titik jenuh. Dari hasil tersebut dapat ditentukan bahwa

temperatur optimum pembentukan kristal superkonduktor berada diantara 850

dan 950 . Untuk mengetahui persentase terbentuknya fasa superkonduktor dan

fasa impuritas maka dilakukan perhitungan Fraksi Volume (FV) pada masing-

masing sampelsintering.Hasil perhitungan memperlihatkan penambahan

persentase fasa superkonduktor dengan penambahan temperatur sintering,

sebaliknya persentase fraksi volume impuritas menurun dengan meningkatnya

temperatur sintering. Pada penelitian ini, persentase fraksi volume tertinggi

diperoleh sebesar 95.04%. Hal tersebut mengindikasikan masih terdapat fasa

impuritas dalam jumlah kecil, sehingga diperlukan sintering yang lebih lama.

Ukuran kristal masing-masing sampel superkonduktor dapat dihitung dengan

menggunakan persamaan Scherrer sebagai berikut,sedanngkan grafik perubahan


17

ukuran kristal superkonduktor terhadap temperatur sintering dapat dilihat pada

Gambar 6.

𝜆 𝜆
𝐷 = (𝐻 = 𝐿𝜋 (1)
𝐿 −𝐻𝐿.5 ) ( −0,000784)
180

Daftar Lorentzian dan hasil perhitungan ukuran kristal diperlihatkan pada Tabel

1.

Tabel 1.Ukuran kristal masing-masing sampel superkonduktor

Sampel L HL HL-HL.5 D(nm)

Υ05Lα0.5Bα2Cu3O7- 0.165027 0.0028788 0.0020948 74


o
δ (750 C)

Υ05Lα0.5Bα2Cu3O7- 0.104094 0.0018159 0.0010319 149


o
δ (850 C)

Υ05Lα0.5Bα2Cu3O7- 0.100048 0.0017453 0.0009613 160


o
δ (950 C)

Gambar 6.Grafik ukuran kristal terhadap temperatur sintering.

Tabel 1 dan Gambar 6 menunjukkan bahwa seiring dengan penambahan

temperatur sintering mengakibatkan ukuran kristal sampel semakin besar.

Penambahan temperatur sintering juga mengakibatkan terjadinya aglomerasi

sehingga ukuran kristal bertambah besar. Hasil perhitungan ukuran kristal untuk
18

sampel yang disintering pada temperatur 750 oC, 850 oC, dan 950 oC diperoleh 73

nm, 149 nm, dan 160 nm (I G. Cahya Pradhana, dkk,2016.)

Sedangkan pada temperatur konstan 500 °C selama 8 jam (pirolisis) dan diproses

seperti pada reaksi padatan yaitu memanaskannya pada termperatur konstan

sekitar 800 °C selama 12 - 24 jam (kalsinasi) dan memanaskannya lagi dengan

temperatur konstan 846 °C selama 48 - 120 jam (sintering). Hasil yang diperoleh

belum seperti yang diinginkan, fase yang terbentuk masih rendah. Dan

penambahan Ag tidak menunjukkan peningkatan yang besar pada pembentukan

fasa 2223. Hal ini disebabkan oleh:

1. Penambahan komposisi Ag belum sesuai. Sehingga hasilnya belum

menunjukkan perubahan yang banyak.

2. Pada saat sintering suhu furnace tidak sesuai dengan termometer digital

dan berubah-ubah, sehingga mempengaruhi proses pembentukan kristal.

3. Kurang optimalnya waktu sintering pada tiap sampel. Sehingga fasa 2223

yang terbentuk belum begitu banyak.

Pada sintesis Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10+δ dilakukan dengan metoda padatan,

yaitu dengan mencampurkan semua bahan-bahan dasar kemudian diaduk secara

manual dilanjutkan dengan pyrolisis, penggerusan, kalsinasi, proses kompaksi

dan sintering (Lusiana,2013).

2.6Superconductors Properties

Sifat kemagnetan superkonduktor diamati oleh Meissner dan Ochsenfeld pada

tahun 1933, ternyata superkonduktor memiliki sifat seperti bahan diamagnetik

sempurna, ia menolak medan magnet sehingga ia pun dapat mengambang di atas

sebuah magnet tetap yang kuat. Jika suatu bahan superkonduktor ditempatkan
19

pada suatu medan magnet eksternal (H) dan bahan tersebut didinginkan di bawah

suhu kritisnya atau minimal mencapai suhu kritis agar sifat konduktivitas muncul,

maka akan terjadi eksklusi fluks magnetik (penolakan garis-garis gaya magnet).

Eksklusi dapat terjadi pula dengan cara menurunkan suhu hingga T<Tc, baru

diberikan medan magnet padanya, fenomena magnetisasi bahan ditunjukkan pada

Gambar 7.

T>Tc T<Tc

Gambar 7. Eksklusi fluks magnetik.

Pada keadaan ini medan induksi magnetic didalam bahan sama dengan nol (B=0)

(Smitt, 1990). Jika postulat ini diterapkan pada persamaan medan induksi

magnetic suatu bahan, yaitu

B = μo (H+M) (2)

Dimana: B= Medan magnet induksi (Wb/m2)

H = Medan magnet eksternal (A/m)

M= Magnetisasi Bahan (A/m)

μo = konstanta permeabilitas ruang hampa (Wb/A.m)

Hasil pengukuran magnetik suseptibilitas fungsi suhu ditunjukkan pada Gambar

8 bentuk kurvanya menampilkan perubahan rasa diamagnetik pacta suhu terjadi

rasa superkonduktor yang ditandai oleh turunnya kurva yang nyata secara tajam.
20

Pacta penambahan Ag yang besar yaitu 45 % dan 50 % terjadi penurunan yang

kurang tajam. Hal ini menyulitkan untuk menentukan harga suhu transisi kritis,

Tc. Gejala tersebut terjadi karena keberadaan Ag dalam bentuk metal dan dalam

jumlah yang relatif besar sehingga mempengaruhi pengukuran suseptibilitas

magnit vs suhu.

Gambar 8. Magnetisasi bahan superkonduktor terhadap kuat medan

Superkonduktor keramik Pb2Ba2Ca2Cu3O9 termasuk dalam golongan

superkonduktor tipe II dan mempunyai suhu tinggi. Superkonduktor tipe II

terdapat dua medan kritis, yaitu: medan kritis bawah Hc1 dan medan kritis atas

Hc2. Dibawah Hc1 fluks magnetik ditolak secara sempurna dan diatas Hc1 fluks

magnet sebagian dapat menembus interior bahan sampai batas medan kritis Hc2.

Di atas Hc2 bahan akan kehilangan sifat superkonduktivitasnya (Gambar 8).

Medan magnet yang diperlukan untuk menghilangkan superkonduktivitas atau

memulihkan resistivitas normalnya disebut medan kritis (Hc)(Saxena, A.K., 2010)


21

III. METODE PENELITIAN

3.1 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah:

a. Bi(NO3)3 · 5H2O

b. Pb(NO3)2

c. Sr(NO3)2

d. Ca(NO3)2 · 4H2O

e. Cu(NO3)2 · 3H2O

f. Asam Nitrat (HNO3)

g. Air (H2O)

h. Etilen Glikol

i. asam ethylenediaminetetraacetic (EDTA)

j. amonium hidroksida (NH4OH)

3.2 Prosedur Penelitian

Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Nitrat bismut Bi(NO3)3 · 5H2O dilarutkan dalam larutan asam nitrat berair

(50 ml 0,1M HNO3) dan diaduk pada 50 °C. Asam nitrat membantu

untuk mendapatkan solusi yang jelas dan menghindari pembentukan

Bi(OH)2NO3;

2. sejumlah nitrat lainnya (Pb(NO3)2, Sr(NO3)2,Ca(NO3)2 · 4H2O dan

Cu(NO3)2 · 3H2O) dilarutkan dalam larutan berair secara terpisah, dan


22

larutan yang dihasilkan diaduk pada suhu 50 °C untuk menyiapkan

larutan prekursor biru muda;

3. asam ethylenediaminetetraacetic (EDTA), dengan rasio molar EDTA

dengan total ion logam adalah 1: 1, dilarutkan dalam amonium hidroksida

(NH4OH) sebagai agen chelating;

4. Larutan ini kemudian diaduk pada suhu 80 °C dan secara bertahap

ditambahkan ke larutan prekursor untuk menyiapkan kompleks logam

chelate stabil (MEDTA). Nilai pH larutan diukur antara 6 dan 7.

Pengikatan EDTA ke ion logam tergantung pada pH larutan;

5. Ethylene glycol (EG) sebagai agen polimerisasi, dengan rasio molar EG

dengan total ion logam adalah 3.5: 1, disuntikkan ke larutan, sehingga

larutan biru gelap diperoleh;

6. Larutan ini dipanaskan dalam penangas minyak pada suhu 120 °C untuk

mendapatkan viskositas yang tepat setelah 10 jam. Pada pemanasan lebih

lanjut hingga 200 ° C, larutan viskos diubah menjadi massa seperti busa

hitam;

7. Massa yang diperoleh dikeringkan pada suhu 300 °C untuk

menghilangkan air dan kotoran organik, dan akhirnya diubah menjadi

bubuk precursor;

8. Bubuk prekursor dikalsinasi pada kisaran suhu 800–830 °C (TCalc);

9. Setelah kalsinasi, bubuk digiling dan ditekan menjadi pelet di bawah

tekanan 5 t / cm2;
23

10. Pelet disinter pada suhu antara 840 °C - 860 °C (TSint) selama 100 jam di

atmosfer, untuk mempelajari peran kalsinasi dan suhu sintering pada

superkonduktor keramik Bi-2223.

11. Sampel yang direalisasikan pada beberapa TCalc dan TSint di

karakterisasi dan dilakukan analisis lebih lenjut.

3.3 Diagram Alir

Diagram alir pada penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 9 berikut.


24

Preparasi sampel

Bi(NO3)3 · 5H2O (Pb(NO3)2, Sr(NO3)2, Cu(NO3)2 · 3H2O)


Ca(NO3)2 · 4H2O

Larutan prekusor biru


muda

Ditambahkan EDTA

Larutan pH 6-7

Ditambahkan Etilen
Glikol

Larutan Biru Gelap

Larutan Dipanaskan
dan dikeringkan

Bubuk Prekursor

Dikalsinasi

Pellet

Disinter

Pellet

Analisis
25

Gambar 9. Diagram Alir Penelitian

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Fasa

Gambar 10. Pola XRD dari Bi-2223 dikalsinasi pada temperatur yang berbeda
selama 24 jam

Gambar 10 menunjukkan pola XRD bubuk prekursor dikalsinasi di TCalc = 800,

810, 820 dan 830 °C selama 24 jam. Dari grafik, jelas bahwa fase utama dalam

semua sampel adalah Bi-2212. Bubuk dikalsinasi pada 800 ° C terdiri dari Bi-

2212 sebagai fase utama dan Bi-2201, Ca2PbO4, CuO, Sr14Cu24O41, Ca2CuO3 dan

SrCO3 sebagai fase minor. Ketika suhu meningkat, jumlah Ca2PbO4 dan

Sr14Cu24O41 menurun dan Sr14Cu24O41 tidak terdeteksi pada 820 °C dan 830 °C.

Di atas 820 °C, Ca2PbO4 terdekomposisi menjadi CaO dan cairan Pb-kaya dan

kemudian Ca2CuO3 terbentuk oleh reaksi dari CaO danCuO. Oleh karena itu,

jumlah Ca2CuO3 tertinggi diamati pada sampel yang dikalsinasi pada 830 °C.

Pengamatan pola XRD mengungkapkan bahwa jumlah Bi-2212 meningkat


26

dengan bertambahnya suhu kalsinasi dan Bi-2212, Ca2CuO3 dan CuO hadir

sebagai fase utama. Sehingga pertumbuhan fase Bi-2223 dapat teramati, dengan

meningkatkan suhu, puncak menjadi tajam dan sempit, menandakan peningkatan

kristalinitas.

Gambar 11.Pola XRD dari Bi-2223 dikalsinasi pada 820 °C dan disinter
pada temperatur yang berbeda selama 100 jam

Seperti ditunjukkan pada Gambar 11, serbuk yang dikalsinasi pada 820°C dan

disinter pada 840, 850 dan 860°C selama 100 jam menunjukkan kehadiran fase

Bi-2223 pada Tc tinggi dengan Bi-2212 yang sangat kecil dan Bi -2201 puncak.

Selain itu, perubahan yang jelas dalam ketajaman puncak diamati dengan

meningkatkan suhu sintering 840-850°C. Seperti yang terlihat pada Tabel 2,

fraksi volume fase Bi-2223 awalnya meningkat dengan suhu hingga 850°C dan

kemudian mulai menurun dengan meningkatnya suhu hingga 860°C. Tampaknya

suhu sintering optimum untuk sampel yang dikalsinasi pada 820°C, untuk

mendapatkan fraksi volume yang tinggi dari Bi-2223 adalah 850°C.


27

Tabel 2. Nilai Tc ditentukan dari pengukuran M-T, parameter kisi dan volume sel
satuan untuk semua sampel (x = 0,0-0,2).
Sampel f(2223) f(2212) Tc (K) Tcj (K)

intraganular interganular

transisi transisi

Suhu Suhu

kalsinasi sintering

(°C) (°C)

820 840 ~82,1 ~11,8 107,6 98,5

850 ~89,2 ~5,7 110,9 -

860 ~78,3 ~14,7 105,75 96,4

830 840 ~81,6 ~12,5 106,8 97,4

850 77,4 ~18,4 104,6 96,1

860 73,7 ~20,8 103,5 94,2

Gambar 12. Pola XRD dari Bi-2223 dikalsinasi pada 830°C dan disinter
pada temperatur yang berbeda selama 100 jam.
28

Seperti ditunjukkan pada Gambar 12, serbuk yang dikalsinasi pada 830°C dan

disinter pada 840, 850 dan 860°C selama 100 jam mengungkapkan fase utama

yang terbentuk adalah Bi-2223, dengan sangat sedikit Bi-2212 dan Bi-2201

puncak. Fraksi volume fase Bi-2223 dalam sampel yang dikalsinasi pada 830°C

lebih rendah daripada yang dikalsinasi pada 820°C. Akibatnya, suhu kalsinasi

sekitar 820°C lebih efektif dari 830°C untuk pembentukan Bi-2223 (Jiang, et.al.,

1999). Akibatnya, nampaknya temperatur nukleasi fase Bi-2223 hanya sekitar

820°C. Hasil sampel yang dikalsinasi pada 810 dan 830°C menunjukkan bahwa

pembentukan Bi-2223 terjadi dalam rentang temperatur yang sempit.

4.2 Analisis Mikrostruktur

Gambar 13. Gambar FESEM dari sampel yang dikalsinasi pada a) 820 dan
b) 830°C selama 24 jam

Gambar 13 menunjukkan efek TCalc pada morfologi butir beberapa sampel.

Dapat diketahui bahwa ukuran butir Bi-2212 sedikit lebih besar untuk sampel

yang dikalsinasi pada suhu yang lebih tinggi. Menurut spektrum XRD, kedua

sampel ini memiliki komposisi fase yang sama setelah kalsinasi. Oleh karena itu,

fraksi volume yang lebih tinggi dari Bi-2223 setelah sintering dalam sampel yang

dikalsinasi pada 820°C menunjukkan bahwa ukuran butir optimal dan suhu
29

kalsinasi (820°C) diperlukan untuk pembentukan fase Bi-2223 yang tepat. Di sisi

lain, ukuran butir optimal meningkatkan reaktivitas dan pengaruh, mempengaruhi

pembentukan fase Bi-2223.

Gambar 14. Gambar FESEM dari Bi-2223 dipanaskan pada temperatur yang
berbeda.

Gambar 14 menunjukkan gambar FESEM dari permukaan retak dari sampel

yang dibuat pada kondisi yang berbeda. Secara umum, semua sampel

menunjukkan morfologi seperti piring yang menonjol, yang merupakan mikro

khas Bi-2223 superkonduktor. Hal ini dapat dilihat dari Gambar 14a bahwa
30

butiran-butiran tumbuh dengan bentuk tidak beraturan dengan orientasi acak, hal

ini menunjukkan kondisi tersebut tidak sesuai untuk penyebaran kation logam dan

membentuk fase Bi2223 murni. Seperti ditunjukkan pada Gambar 14c, sampel

yang dikalsinasi pada 820°C dan disinter pada 860°C terdiri dari butiran besar

yang tidak saling berhubungan dengan baik. Selain itu, tanda-tanda meleleh

sebagian dan beberapa void diamati. Gambar 14b menunjukkan bahwa morfologi

yang khas meningkat dalam kondisi yang tepat. Secara lebih rinci, sampel Bi-

2223820850 memiliki ukuran butir rata-rata seperti piring terbesar dengan morfologi

permukaan yang paling halus. Selain itu, konektivitas terbaik antara butir

superkonduktor dan morfologi yang paling tinggi diamati dalam kondisi ini. Jika

membandingkan Gambar 14b dan 14d, jelas bahwa ukuran butir meningkat

ketika suhu kalsinasi meningkat. Namun, konektivitas antara butiran menurun.

Pengamatan ini sesuai dengan sejumlah besar Bi-2223 yang dibentuk untuk

sampel Bi-2223820850, yang menggunakan Ca2PbO4 untuk pembentukannya.

Gambar 15.Pemetaan distribusi unsur untuk Bi-2223820850.


Komposisi kimia dari sampel dikonfirmasi dengan EDX, menunjukkan kemurnian

tinggi fase Bi-2223. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 15, butir-butir seperti

benang adalah fase Bi-2223. Menurut hasil EDS butiran berbentuk bulat terdiri
31

dari Bi, Pb, Sr, Ca, Cu dan Oksigen. Oleh karena itu, Hasil EDS mengungkapkan

bahwa fase Bi-2223 adalah elemen stoikiometri dan pengotor tidak diamati.

4.3 Sifat Magnetik

Gambar 16. Ketergantungan suhu kerentanan untuk sampel disinter pada


suhu yang berbeda di bidang terapan 10 Oe. a) sampel
dikalsinasi pada 820°C dan b) sampel dikalsinasi pada 830°C.

Gambar 16 menunjukkan kerentanan magnetik DC (χdc (T)) sebagai fungsi suhu

untuk semua sampel di kedua bidang didinginkan (FC) dan nol bidang

didinginkan (ZFC) kondisi di bawah lapangan terapan 10 Oe.Perbandingan

Gambar 16a dan 16b menunjukkan efek simultan dari kalsinasi dan suhu

sintering, yang merupakan salah satu hasil utama dari pekerjaan ini. Untuk sampel

yang dikalsinasi pada 830°C, Tc terbaik dan magnetisasi negatif terbesar

diperoleh untuk sintering yang lebih rendah (TSint = 840°C), meskipun χZFC =

−1 tidak pernah diperoleh untuk sampel ini. Oleh karena itu, dapat disimpulkan

bahwa sampel ini terdiri dari butir superkonduktor yang tertanam dalam matriks

non-superkonduktor. Selain itu, dengan meningkatnya TSint, kerentanan magnetik


32

meningkat dan didekati keχ = 0. Seperti yang diamati, penyimpangan dari kasus

ideal (χ = −1) meluas, menunjukkan pembentukan lebih banyak superkonduktor

suhu rendah dan fase non-superkonduktor. Hasilnya sesuai dengan pola XRD dan

pengamatan FESEM yang dibahas sebelumnya, yang menunjukkan bahwa nilai

Tc terbaik untuk sampel yang dikalsinasi pada 820 °C adalah 109 K dan untuk

sampel yang dikalsinasi pada 830 °C adalah 105,2 K. Sampel yang disebutkan

memiliki fraksi tertinggi dari Bi -2223 fase bersama dengan konektivitas butiran

terbaik.

Gambar 17. Kurva histeresis magnetik yang diperoleh untuk sampel yang
disinter pada suhu yang berbeda di bidang terapan 10 Oe pada
10 K. a) sampel dikalsinasi pada 820°C dan b) sampel
dikalsinasi pada 830°C.

Gambar 17menunjukkan loop histeresis magnetik antara lapangan diterapkan

dari ± 2 T, untuk semua sampel, pada 10 K. Hal ini dapat dilihat dengan jelas

bahwa suhu sintering dan kalsinasi menyebabkan perubahan besar pada bentuk

dan lebar histeresis magnetik. Untuk TCalc = 820°C, ditunjukkan pada Gambar

17a, nilai magnetisasi dan lebar loop histeresis meningkat ketika suhu sintering

meningkat hingga 850°C dan kemudian mulai menurun untuk suhu sintering yang
33

lebih tinggi (860°C).Perilaku yang berbeda terlihat untuk sampel yang

direalisasikan dengan TCalc = 830°C. Dalam hal ini, nilai magnetisasi dan lebar

loop histeresis menurun secara signifikan karena suhu sintering meningkat karena

fase superkonduktor suhu rendah.

Gambar 18. Kerapatan arus kritis sampel yang disinter pada temperatur yang
berbeda pada 10K. a) sampel dikalsinasi pada 820 °C b) sampel
dikalsinasi pada 830 °C. Inset menunjukkan ketergantungan
medan dari kepadatan penjepit fluks Fp.

Gambar 18 menunjukkan Jc granular intra-butiran untuk mempelajari sampel,

sebagai fungsi medan magnet, pada 10 K, yang diperoleh dari loop histeresis.

Nilai Jc intra-granular menurun dengan peningkatan medan magnet untuk semua

sampel, yang merupakan perilaku khas dalam bahan superkonduktor Tc tinggi.

Perhatikan bahwa, Jc dalam sistem BSCCO bergantung pada suhu kalsinasi dan

sintering, stoikiometri oksigen, doping / substitusi, struktur butir, dll (Sharma,

et.al.,2013; Ozkurt, 2013). Nilai Jc intra-granular yang lebih tinggi untuk sampel

yang dikalsinasi pada 820°C dan disinter pada temperatur yang berbeda,

dibandingkan dengan sampel yang dikalsinasi pada 830°C, adalah hasil dari

peningkatan struktur butir dan adanya fase sekunder atau ketidakmurnian. Jc

tertinggi diperoleh untuk sampel Bi-2223820850 karena peningkatan struktur butir


34

dan parameter lain yang dinyatakan sebelumnya. Seperti yang ditunjukkan pada

Gambar 18a dan b, nilai Jc optimum terjadi pada ~ 0,1 T, menunjukkan bahwa

ini adalah medan magnet penetrasi pertama. Dengan meningkatkan medan

magnet, konfigurasi flux magnetik dihancurkan karena pergerakan vortis (Murai,

et.al.,2005).

Gambar 19 menunjukkan kepadatan gaya pemberian yang diberikan oleh FP = Jc

× B untuk semua sampel pada 10 K. Untuk sampel yang dikalsinasi pada 820°C,

gaya pinning maksimum (FP-maks) dan medan magnet maksimum (Hmax) milik

sampel Bi-2223820850. Hmax adalah bidang di mana FP mencapai maksimumnya.

Untuk sampel yang dikalsinasi pada 830°C, terjadi penurunan substansial pada

FP-maks ketika suhu sinternig meningkat. Selain itu, nilai Hmax cenderung

menurun, menyiratkan penurunan flux dengan suhu sintering, yang

mengkonfirmasikan hasil kerentanan.


35

Gambar 19. Kekuatan penambatan yang dinormalkan sebagai fungsi dari


bidang yang dinormalisasi untuk semua sampel. Garis
berwarna (biru), padat (merah) dan putus-putus (hijau)
mewakili kurva teoritis yang diberikan oleh Persamaan. (4) -
(6) masing-masing.

Gambar 19 menunjukkan kurva skala ƒ-b untuk semua sampel. Pada medan

magnet rendah, plot tersebar dan terletak di antara permukaan pinning dan pining

titik normal dan pada bidang yang lebih tinggi, titik data sampel terletak di antara

titik pinning normal dan Δκ pinning. Bentuk keseluruhan ƒp (b) untuk semua

sampel sesuaidengan model penyematan titik normal, dan permukaan butir yang

berorientasi baik bertindak sebagai pusat penyemat di bidang rendah. Hasil

menunjukkan bahwa penyalaan titik normal adalah mekanisme penyemat utama

dalam sampel meskipun tidak dapat sepenuhnya menjelaskan data kami.


36

Tabel 3. Perbandingan sifat superkonduktor dalam berbagai penyelidikan di Bi-

2223.

Sampel Metode Sintesis Tc(K) Jc(105 A/cm2) Ref.

Bi-2223 Sol Gel 110,9 12,94 Present Work

Bi-2223 Glass Ceramic - 6,96 (Kizilaslan, et.al.,


2015)
Bi-2223 Solid State 113 5,5 (Ozkurt, 2014)

Bi-2223 Solid State 112 0,45 (Turk, et.al., 2014)

Bi-2223 Solid State 110,63 - (Pakdil, et.al.,


2016)
Bi-2223 Sol Gel 103 - (Tampieri, et.al.,
2000)
Bi-2223 Glass Ceramic 62 1,29 (Aksan, et.al.,
2016)

Tabel 3 menunjukkan perbandingan antara hasil yang ditunjukkan dalam karya

ini dan nilai-nilai Tc dan Jc yang dilaporkan dalam literatur untuk sampel Bi2223.

Dari tabel ini, dapat disimpulkan bahwa sampel superkonduktor Bi-2223

disintesis oleh sol gel dalam pekerjaan ini menunjukkan nilai-nilai dari Tc dan Jc

yang sebanding dengan yang terbaik dari literatur.


37

V. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan tersebut, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:


1. Pengamatan pola XRD mengungkapkan bahwa jumlah Bi2212 meningkat
dengan suhu kalsinasi dan Bi-2212, Ca2CuO3 dan CuO hadir sebagai fase
utama. Pembentukan pahses disebutkan menjanjikan untuk pertumbuhan
fase Bi-2223. Dengan meningkatkan suhu, puncak menjadi tajam dan
sempit, menandakan peningkatan kristalinitas.
2. Pengamatan Mikrostruktur menggunakan FESEM mengungkapkan
bahwaukuran butir meningkat ketika suhu kalsinasi meningkat. Namun,
konektivitas antara biji-bijian menurun. Pengamatan ini sesuai dengan
sejumlah besar Bi-2223 yang dibentuk untuk sampel Bi-2223820850.
3. Nilai-nilai Tc dan Jc tertinggi berhubungan dengan sampel Bi-
2223820850.Loophysteresis magnetik yang diperoleh untuk sampel ini
memiliki luas permukaan tertinggi, dan dengan meningkatnya suhu
kalsinasi, loop menjadi lebih sempit.
4. Pada sampel Bi-2223820850,gaya pinning maksimum (FP-maks) dan medan
magnet maksimum (Hmax) diperoleh pada suhu kalsinasi 820°C,
sedangkan sampel yang dikalsinasi pada 830°C, terjadi penurunan
substansial pada FP-maks ketika suhu sinternig meningkat.
5. suhu kalsinasi 820 ° C dan suhu sintering 850 ° C adalah kondisi optimum
perlakuan panas untuk memperoleh sifat superkonduktor terbaik.
38

DAFTAR PUSTAKA

Aksan, M. A., and O. K. G. K. 2016. Effect Of The Er-Substitution On Critical


Current Density In Glass-Ceramic Bi2Sr2Ca2Cu3−Xerxo10+Δ Superconducting
System. Ceramics International.PP. 15072–15076.http://dx.doi.org/
10.1016/j.ceramint.2016.06.171.

Andes Joko Susilo. 2005. Pengaruh Temperatur Leleh Terhadap Rapat Arus
Kritis Pada Kristal Superkonduktor Bi – 2223 Dengan Menggunakan
Metode Self-Fluks. Skripsi. Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Jember).

Arani, H. F., S. Baghshahi, A. Seghi, D. Stornaiuolo, and F. Tafuri.2018. The


Influence Of Heat Treatment on the Microstructure, Flux Pinning, and
Magnetic Properties Of Bulk BSCCO Samples Prepared by Sol-Gel Route.
Ceramics International. PP: 5209-5218.
http://doi.org/10.1016/j.ceramint.2017.12.128.

Chasanah, R. 2006. Sintesis Superkonduktor Bi-Sr-Ca-Cu-O/Ag Dengan Metode


Sol-Gel. Serpong. Tanggerang

Chen, Y.L., and R. Stevens. 1992. 2223 Phase Formation In Bi (Pb)-Sr-Ca-Cu-O:


I, The Role Of Chemical Composition. Journal Ceramic Society. PP. 1142–
1149.

Chen, F.H., H.S. Koo, and T.Y. Tseng. 1991. Effect Of Ca2PbO4 Additions On
The Formation Of The 110 K Phase In Bi-Pb-Sr-Ca-Cu-O Superconducting
Ceramics. Application Physics. PP. 637–639.
http://dx.doi.org/10.1063/1.104553.

Chu, S., Michael E, dan Mc Henry. 1997. Growth and Characterization of


(Bi,Pb)2Sr2Ca2Cu3Ox single crystal. Department of Materials Science and
Engineering, Carnegie Mellon University. Pittsburgh Pennsylvania.

Costa, A., Ferreira, F.M., Rasekh, N.M., Fernandes, S., Torres, A.J.S., Madre.
M.A., Diez, M.A. Sotelo, J.C. 2015. Very Large Superconducting Currents
Induced By Growth Tailoring. Crystal Growth.PP. 2094-2101.
http://dx.doi.org/10.1007/978-3-642-1997.

Cyrot M, Pavuna D, 1992. Introduction to Superconductivity and High-Tc


Materials. World Scientific. Singapore.
Danks, A. E., S.R. Hall, and Z. SchnePP.. 2016. The Evolution Of “Sol–Gel”
Chemistry As A Technique For Materials Synthesis. Material Horiz. PP.
91–112. http://dx.doi.org/10.1039/C5MH00260E.
39

Darsono, N., D.-H. Yoon, and K. Raju. 2016. Effects Of The Sintering Conditions
On The Structural Phase Evolution And Tc Of Bi1.6Pb0.4Sr2Ca2Cu3O7
Prepared Using The Citrate Sol–Gel Method. Journal Superconductors.PP.
1491–1497, http://dx.doi.org/10.1007/s10948-016-3459-5.

Evi Yufita dan Nurmalita. 2016. The Effect of Sintering Time on Surface
Morfology of Pb-Doped Bi-2223 Oxides Superconductors Prepared by the
Solid State Reaction Methods at 840 oC. Journal of Aceh Physics Society
(JAcPS), Vol. 5, No. 1 PP.. 1-5

Garnier, V., I. Monot, and G. Desgardin. 2000. Optimization Of Calcination


Conditions On The Bi-2223 Kinetic Formation And Grain Size.
Superconductors Science Technology. PP. 602–611. (doi:S0953-
2048)(00)(10206-4).

Garnier, V., I. Monot-Laffez, and G. Desgardin. 2001. Optimization Of Sintering


Conditions On The Bi-2223 Formation And Grain Size. Material Science
and Engineering. B Solid-State Material Advisement Technology.PP. 48–
54.http://dx.doi.org/10.1016/S0921-5107(00)00665-6.

Ghattas, A., M. Annabi, M. Zouaoui, F. Ben Azzouz, and M. Ben Salem,. 2008.
Flux Pinning By Al-Based Nano Particles Embedded In Polycrystalline (Bi,
Pb)-2223 Superconductors. Physics C: Superconductors Applications.PP.
31–38. http://dx.doi.org/10.1016/j.physc.2007.10.006.

Henry,Widodo. 2010. Nanokristalisasi Superkonduktor Bi2SrCa2Cu3O10+x dan


Bi1.6Pb0.4Sr2Ca2Cu3O10+6 dengan Metode Kopresipitasi dan
Pencampuran Basah. Vol. 28 . Pusat Penelitian Fisika – LIPI, Komplek
LIPI - Jl. Cisitu Sangkuriang 21/154D Bandung, Indonesia.

J. G. Bednorz, K. A. Mueller (1986). Possible high TC superconductivity in the


Ba-La-Cu-O system. Zeitschrift fÄr Physik B 64 (2): 189Å193.
BibcodeÄ1986ZPhyB..64..189B. doi:10.1007/BF01303701.

Jiang, J., Abell, J.S. 1999. Effects of precursor powder calcination on critical
current density and microstructure of Bi-2223/Agtapes. Supercond.
Sci.Technol.10;678–685.

Khurana, A. 1989.Physics Today. No. 13. P. 914.


Kirom dan Ramdlan, M. 2001. Pengaruh penambahan fluks B2O3 dalam sintesa
bahan superkonduktor BPSCCO-2223 fase murni. Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Telekomunikasi Vol. 5 No.2. Hal 25-28.
Kizilaslan,O., Kirat, G., Aksan,M.A. 2015.Magnetic relaxation behavior in the
Bi2Sr2Ca2Cu3−xMoxO10+δ system fabricated by glass-ceramic technique. J.
Magn. Magn. Mater. 384 ; 186–191,
40

Lehndroff, B. R. 2001. High-Tc Superconductors for Magnet and Energy


Technology. Springer-Verlag. Berlin.

Lusiana. 2013. Proses Pembuatan Material Superkonduktor Bscco Dengan


Metoda Padatan.ISSN 0216-3188.Hal. 73-82.

Majewski, PJ., Stefanie, K., Fritz, A. 1997. Fundamental material aspects


underlyng the preparation of high-temperature superconducting
(Bi,Pb)2+xSr2Ca2Cu3O10+d ceramics. Journal of the American Ceramic
Society Vol. 80 Issue 5. PP. 1174-1180.

Marhaendrajaya, I. 2001. Eksperimen pembentukan kristal BPSCCO-2223 dengan


metode lelehan. Jurnal Berkala Fisika Vol. 4 No.2 April 2001. PP. 33-40.

Murai, K., Õ. Jun, Y. Fujii, J. Shaver, G. Kozlowski. 2005. Magnetic flux pinning
and flux jumps in polycrystalline MgB2. Cryog. (Guildf.). 45; 415–420,
http://dx.doi. org/10.1016/j.cryogenics.2005.03.001.

Murakami,M., N. Sakai, D.N. Matthews, H. Takaichi, N. Koshizuka, and S.


Tanaka.1993. Flux Pinning and Application of Melt Processed YBCO.
Advanced Materials. Vol. 19A.

Özkurt, B. 2013. Enhancement in superconducting transition temperature and Jc


values in Na-doped Bi2Sr2Ca1Cu2-xNaxOy superconductors. J. Mater. Sci.
Mater. Electron. 24 ;2426–2431.

Ozkurt, B. 2014. Improvement Of The Critical Current Density In Bi-2223


Ceramics By Sodium- Silver Co-Doping. Journal Materials Science
Materials Electron.PP. 3295–3300. http://dx.doi.org/10.1007/s10854-014-
2017-9.

Ozcelik, N., O. Nane, A. Sotelo, H. Amaveda, and M.A. Madre. 2017. Effect Of
Na Substitution And Ag Addition On The Superconducting Properties Of
Bi-2212 Textured Materials. Journal Material Science and Material
Electron. PP. 6278–6283.

Pakdil, M., Bekiroglu, E., Oz, M., Saritekin, N.K., dan Yildirim,G. 2016.Role of
preparation conditions of Bi-2223 ceramic materials and optimization of Bi-
2223 phase in bulk materials with experimental and statistical approaches.
J. Alloy. Compd. 673 ;205–214.

P. Monthoux, A. V. Balatsky, and D. Pines (1992). Weak-coupling theory of high-


temperature superconductivity in the antiferromagnetically correlated
coPP.er oxides. Physical Review B 46 (22): 14803Å14817.
Pradhana1,Cahya I.G,dkk. 2016. Pengaruh Variasi Temperatur Sintering
Terhadap Struktur Kristal Superkonduktor Y0.5La0.5Ba2Cu3O7-δ. Buletin
Fisika Vol 17 No.1.hal.34 - 40 Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
41

Alam, Universitas Udayana, Kampus Bukit Jimbaran, Badung, Bali


Indonesia 80361.

Qureshi, A.H., Arshad, M., Masud, K., Saeed, A.2005. A Comparative study of
EDTA-gel derived BSCCO and Pb-BSCCO systems by thermoanalytical and
X-ray diffraction techniques, J. Therm. Anal. Calorim. 81; 363–367,

Rachmawati, Auliati. 2009. Pengaruh Substitusi Sb pada Bi Terhadap Struktur


Kristal dan Efek Meissner Dalam Sintesis Superkonduktor Bi-Pb-Sr-CaCu-
O Menggunakan Metode Padatan. Skripsi S-1 Fisika FMIPA UNS.

Rehman, M. Anis-ur., and M. Mubeen 2012. Synthesis And Enhancement Of


Current Density Incerium Doped Bi(Pb)Sr(Ba)−2223 High Tc
Superconductor. Synthesis Method. PP. 1769–1774.
http://dx.doi.org/10.1016/j.synthmet.2012.03.006.

Rooser, H.P, F. Hetfleisch, F.M. Huber, M.F. von Schoenermark, M. StePP.er, A.


Moritz, A.S. Nikoghosyan. 2008. Correlation between oxygen excess
density and critical transition temperature in superconducting Bi-2201, Bi-
2212 and Bi-2223. Department of Microwave and Telecommunication.
Armenia.

S. Chakravarthy, A. SudbÜ, P. W. Anderson, S. Strong (1993). Interlayer


Tunneling and Gap Anisotropy in High-Temperature Superconductors.
Science 261 (5119): 337Å 340. Bibcode Ä1993 Sci...261..337C.
doi:10.1126/science.261.5119.337. PMIDÄ17836845.

S. Tanaka.1987. Jpn. J. APP.l. Phys. 26 ;L203.

Santoso, H.2006. Variasi Suhu Kalsinasi dan Sintering Pada Sintesis


Superkonduktor Bi-2223 Tanpa Dopping Pb. [Skripsi]. Universitas
Lampung. Bandar Lampung.

Safran, S., H. Ozturk, F. Bulut, and O. Ozturk. 2017. The Influence Of Re-
Pelletization And Heat Treatment On Physical, Superconducting, Magnetic
And Micro-Mechanical Properties Of Bulk BSCCO Samples Prepared By
Ammonium Nitrate Precipitation Method. Ceramics International.PP. 1–7.

Sharma, D., Kumar, R., Awana, V.P.S.2013.DC and AC susceptibility study of


sol-gel synthesized Bi2Sr2CaCu2O8+ δ superconductor. Ceram. Int. 39;
1143–1152.

Smith, W. F. 1990. Principles Of Materials Science And Engineering. Second


Edition. McGraw-Hill Book Co. Singapore. Saxena, A.K. 2010. High
Temperature Superconductors. Springer -Verlag. Berlin.
Strobel, P., Toledano, J. C., Morin, D., Schneck, J., Vaquir, G., Monnereau, O.,
Primot, J. and Fournier, T. 1992. Phase diagram of the system
42

Bi1,6Pb0,4Sr2CanCun+1O6+n between 825 ̊C and 1100 ̊C. Journal Physic


C 201: Superconductivity. PP. 27-42.

Sukirman, E., W.A. Adi, D.S. Winatapura, dan G.C. Sulungbudi. 2003. Review
kegiatan litbang superkonduktor Tc tinggi di P3IB-BATAN. Jurnal Sains
Materi Indonesia Vol. 4 No. 2. Hal 30-39.

Suprihatin. 2002. Sintesis superkonduktor Bi-2212 dengan kehadiran KCl. Tesis.


Institut Teknologi Bandung. Bandung.

Suprihatin. 2008. Pengaruh Variasi Suhu Sintering Dalam Sintesis


Superkonduktor Bi-2212 Dengan Doping Pb (BPSCCO) Pada Suhu
Kalsinasi 970ºC. Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II. Universitas
Lampung.

Tampieri, A., Celotti, G., Lesca, S., Bezzi, G., La Torretta, T.M.G.,dan Magnani,
G.2000. Bi ( Pb)Sr-Ca-Cu-O ( 2223) superconductor prepared by improved
sol-gel technique. J. Eur. Ceram. Soc. 20 ;119–126.

T. Sekitani, Y. H. Matsuda, S. Ikeda, K. Uchida, F. Herlach, N. Miura, K. Nakao,


T. Izumi, S. Tajima, M. Murakami, S. Hoshi, T. Koyama and Y.
Shiohara.2003. Physica C .392; 116.

Turk,N., H. Gündoǧmuş, M. Akyol, Z.D. Yakinci, A. Ekicibil, and B. Özçelik.


2014. Effect Of Tungsten (W) Substitution On The Physical Properties Of
Bi-(2223) Superconductors. Journal Superconductors.
http://dx.doi.org/10.1007/s10948-013-2351-9.

Wang, W.L., Lv, Y.F., Peng, J.P, Ding, H., Wang, L., He, K., Ji, S.H., Zhong, R.,
Schneeloch, J., Gu, G.D., Song, C.L., M, X.C., Xue, Q.K. 2015. MaPP.ing
The Electronic Structure Of Each Ingredient Oxide Layer Of High-Tc
Cuprate Superconductor Bi2Sr2CaCu2O8+Δ. Physics Rev.
http://dx.doi.org/10.1103/PhysRevLett.115.237002.

Wang, W.L, Y.-F. Lv, J.-P. Peng, H. Ding, Y. Wang, L. Wang, K. He, S.-H. Ji,R.
Zhong, J. Schneeloch, G.-D. Gu, C.-L. Song, X.-C. Ma, and Q.-K. Xue.
2015. MaPP.ing The Electronic Structure Of Each Ingredient Oxide Layer
Of High-Tc Cuprate Superconductor Bi2Sr2CaCu2O8+Δ. Physics Rev.
http://dx.doi.org/10.1103/PhysRevLett.115.237002.

Widodo, Henry. 2009. Nanokristalisasi Superkonduktor Bi2Sr2Ca2Cu3O10+d


dan Bi1,6Pb0,4Sr2Ca2Cu3O10+ddengan Metode Kopresipitasi dan
Pencampuran Basa. P.130.

Wu, M.K., J.R. Ashburn, C.J. Torng,P.11.Hor, R.L. Meng,L. Gao,Z.J.


Huang,Y.Q.Wang,and C.W.Chu. 1987.Superconductivity at 92 K in a New
43

Mixed-Phase Y-Ba-Cu-O Compound System at Ambient Pressure. Physical


Review Letters. Vol. 58. No. 9. P. 908.

Wuryanto., Handayani, A., Prambudi, B., 1996, Aplikasi SEM-EDAX Untuk


Karakteristik Bahan Superkonduktor (Bi,Pb)-Sr-Ca-Cu-O. Yogyakarta:
Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah PP.NY-BATAN.

Yang, H., X. Yu, Y. Ji, and Y. Q. 2012. Surface Treatment Of Nickel Substrate
For The Preparation Of BSCCO Film Through Sol-Gel Method.
APP.lication Surface Science.PP. 4852–4856.

Yoo, J., S. Kim, J.-W. Ko, and Y.K. Kim. 2004. The Fabrication Of Fine And
Homogenous Bi-2223 Precursor Powder By A Spray Pyrolysis Process,
Superconductors Science Technology. PP. S538–S542,
http://dx.doi.org/10.1088/0953-2048/17/9/016.

Yoo, S. Kim, J.-W. Ko, and Y.K. Kim. 2004. The Fabrication Of Fine And
Homogenous Bi-2223 Precursor Powder By A Spray Pyrolysis Process.
Superconductors Science Technology. http://dx.doi.org/10.1088/0953-
2048/17/9/016.

Yustinus, P., dkk. 1996. Pembuatan Komposit Ybco-123/Ag Melalui Pelarut


Garam Cair Urea. ISSN 0216-312.

Z.-H. Ren et al. (2008). "Superconductivity and phase diagram in iron-based


arsenic-oxides ReFeAsO1ÄÑ (Re = rare-earth metal) without fluorine
doping". EPL83: 17002. BibcodeÄ2008EL.....8317002R. doi:10.1209/0295-
5075/83/17002.

Zouaoui, M., A. Ghattas, M. Annabi, F. Ben Azzouz, and M. Ben Salem. 2008.
Effect Of Nanosize Zro2 Addition On The Flux Pinning Properties Of (Bi,
Pb)−2223 Superconductor.Superconductors Science Technology.
http://dx.doi.org/10.1088/0953-2048/21/12/125005

Anda mungkin juga menyukai