Anda di halaman 1dari 16

KURIKULUM & PERENCANAAN PEMB.

MATEMATIKA
“Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI)”

Oleh : KELOMPOK V
 MUNIRAH
 MUHAMMAD IDRIS UMAR (16030277)
 NURFADILA (16030283)
 NURLAELI (16030288)
 SARIDA (16030298)
 TIFANI RAHMA SARI (16030306)
 YISKA OKTAVIANA (16030311)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEMBILANBELAS NOVEMBER KOLAKA
2018
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb
Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Azza Wa Jalla
sang Maha Pencipta, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah serta inayahNya
sehingga dengan izinNya makalah dengan judul “ PENDIDIKAN MATEMATIKA
REALISTIK INDONESIA (PMRI)” ini dapat terselesaikan. Tidak lupa sholawat
serta salam kami haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam yang menjadi panutan setiap umat manusia dalam menempuh dan
meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Matematika merupakan ilmu dasar yang mendasari perkembangan ilmu-
ilmu lain. Pada umumnya tujuan pembelajaran matematika adalah membentuk
kemampuan bernalar siswa yang terukur dalam berfikir kritis, logis, kreatif,
inovatif, pemecahan masalah, bersikap obyektif baik dibidang matematika itu
sendiri ataupun bidang lain dalam kehidupan sehari-hari
Adapun maksud dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
mata kuliah Kurikulum dan Perencanaan Pengajaran Matematika.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna.
Maka dengan kerendahan hati, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
penulis harapkan untuk kesempurnaan makalah ini. Harapan penulis semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan khususnya yang
tertarik dengan ilmu Pendidikan matematika.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Kolaka, 25 Oktober 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusah Masalah 1
1.3 Tujuan Penulisan 2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi Pendidikan Matematika Realistik Indonesia 3
2.2 Sejarah Perkembangan PMR Di Indonesia 3
2.3 Relevansi Pendekatan Rme Dengan Kurikulum Di Indonesia 4
2.4 Dasar Teoritik atau Prinsip PMR 5
2.5 Dasar Aplikatif atau Karakteristik PMR 7
2.6 Dampak (Implikasi) PMR 8
2.7 Langkah Umum Pelaksanaan PMR 10

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan 12
3.2 Saran 12

DAFTAR PUSTAKA 13

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Upaya pembaharuan dengan maksud memperbaiki pendidikan matematika
sudah sejak lama dilakukan dengan berbagai cara dan tujuan. Ada upaya
pembaharuan melalui perubahan kurikulum beserta tujuan yang diperjelas, ada
pembaharuan melalui proses pembelajarannya di dalam kelas, meski sifatnya
mungkin sporadis. Hal tersebut wajar dilakukan, tidak hanya di Indonesia tetapi
juga di banyak negara. Indonesia pernah mengalami pembaharuan pendidikan
matematika yang agak menyeluruh ketika sekolah-sekolah diarahkan untuk
menggunakan “Matematika modern” meski tidak disebut secara eksplisit demikian.
Demikian juga negara tetangga kita Malaysia dengan “Matematika Modern”-nya.
Pada saat gencar-gencarnya matematika modern itu, Belanda tidak mengikutinya.
Dalam kurun waktu tahun 1970-an, Universitas UTRECHT yang memiliki lembaga
penelitian, melakukan upaya pembaharuan pendidikan matematika yang dipelopori
oleh Hans Freudenthal. Lembaga itu bernama Freudenthal Institute. Sedangkan
karya pembaharuannya diberi nama “Realistic Mathematics Education” (RME),
yang bertumpu pada realita dalam kehidupan keseharian. Pemikiran dasar RME
kemudian menyebar ke berbagai negara seperti Amerika Serikat dan negara-negara
di benua Afrika.
Di Indonesia digunakan nama “Pendidikan Matematika Realistik Indonesia”
(PMRI) dalam bentuk pendek adalah “Pendidikan Matematika Realistik”,
sedangkan secara operasional juga sering disebut “Pembelajaran Matematika
Realistik” (PMR).

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa definisi Pendidikan Matematika Realistik ?
2. Bagaimana sejarah pendidikan matematika realistik di Indonesia?
3. Bagaimana relevansi pendekatan PMR dengan kurikulum di Indonesia?
4. Apa prinsip pendidikan matematika realistik

1
2

5. Apa karakteristik pendidikan matematika realistik?


6. Bagaimana dampak penddidikan matematika realistik?
7. Bagaimana langkah umum pelaksanaan PMR?

1.3 TUJUAN PENULISAN


1. Mengetahui Definisi Pendidikan Matematika Realistik
2. Mengetahui sejarah Pendidikan matematika realistik di Indonesia
3. Mengetahui relevansi pendekatan PMR dengan kurikulum di Indonesia
4. Mengetahui prinsip pendidikan matematika realistik
5. Mengetahui karakteristik pendidikan matematika realistik
6. Mengetahui dampak penddidikan matematika realistik
7. Mengetahui langkah umum dari pelaksanaan PMR
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK INDONESIA


Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) adalah
sebuah pendekatan pembelajaran matematika dalam dunia pendidikan di
Indonesia yang mengadaptasi dari Realistic Mathematics Education
(RME) yang dikembangkan di Belanda oleh Hans Freudenthal dan kawan-
kawan dari Freudenthal Institute pada tahun 1970-an. Freudenthal
berpandangan bahwa “mathematics is a human activity”.
Kata realistik dalam Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI)
berarti dapat dibayangkan. Penggunaan kata realistik menunjukkan adanya
suatu koneksi dengan dunia nyata tetapi fokus PMRI lebih mengacu pada
penempatan penekanan penggunaan suatu situasi yang bisa dibayangkan oleh
siswa.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendekatan PMRI adalah suatu
pendekatan matematika yang memandang bahwa matematika merupakan suatu
bentuk aktivitas manusia, sehingga proses pembelajarannya diawali dengan
menggunakan masalah kontekstual sebagai pondasi dalam membangun konsep
matematika.

2.1 SEJARAH PERKEMBANGAN PMRI DI INDONESIA


Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) merupakan adaptasi dari
Realistic Mathematics Education (RME). Sejarahnya PMRI dimulai dari usaha
mereformasi pendidikan matematika yang dilakukan oleh Tim PMRI (dimotori
oleh Prof. RK Sembiring dkk) sudah dilaksanakan secara resmi mulai tahun
1998, pada saat tim memutuskan untuk mengirim sejumlah dosen pendidikan
matematika dari beberapa LPTK di Indonesia untuk mengambil program S3
dalam bidang pendidikan di Belanda. Selanjutnya ujicoba awal PMRI sudah
dimulai sejak akhir 2001 di delapan sekolah dasar dan empat madrasah
ibtidaiyah. Kemudian, PMRI mulai diterapkan secara serentak mulai kelas satu

3
4

di Surabaya, Bandung dan Yogyakarta. Setelah berjalan delapan tahun, pada


tahun 2009 terdapat 18 LPTK yang terlibat, yaitu 4 LPTK pertama ditambah UNJ
(Jakarta), FKIP Unlam Banjarmasin, FKIP Unsri Palembang, FKIP Unsyiah
(Banda Aceh), UNP (Padang), Unimed (Medan), UM (Malang), dan UNNES
(Semarang), UM (Universitas Negeri Malang), dan Undiksa Singaraja, Bali, UNM
Makassar, UIN Jakarta,Patimura Ambon, Unri Pekan Baru, dan Unima Manado.
Selain itu juga ada Unismuh, Uiversitas Muhamadiyah Purwokerto dan STKIP
PGRI Jombang. Jumlah sekolah yang terlibat, dalam hal ini disebut sekolah mitra
LPTK tidak kurang dari 1000 sekolah.

2.3 RELEVANSI PENDEKATAN RME DENGAN KURIKULUM DI


INDONESIA
Di dalam Permendiknas R1 nomor 41 tahun 2007 tentang Standar Proses,
mengamanatkan bahwa proses pembelajaran sebaiknya dilakukan melalui proses
eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. Ketiga macam proses tersebut merupakan
karakteristik dari RME.
Wijaya (2012) menjelaskan bahwa penerapan pendekatan RME untuk
pembelajaran matematika sejalan dengan kurikulum yang digunakan di Indonesia.
Hal ini dapat dilihat dari ketiga macam proses tersebut yang berhubungan dengan
pendekatan RME. Wijaya juga mengulas hubungan pendekatan RME dengan tiga
macam proses sebagai berikut:
1. Kegiatan eksplorasi merupakan fokus karakteristik RME yang pertama yaitu
penggunaan konteks. Konteks dalam RME digunakan di awal pembelajaran
yang ditujukan untuk titik awal pembangunan konsep matematika dan
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengeksplorasi strategi
penyelesaian masalah. Selain itu penggunaan konteks di awal pembelajaran
juga bisa meningkatkan minat dan motivasi siswa dalam belajar.
2. Hasil kegiatan eksplorasi selanjutnya dikembangkan menuju penemuan dan
pengembangan konsep melalui proses elaborasi. Dalam RME, penerjemahan
konteks situasi melalui matematisasi horizontal dielaborasi menjadi penemuan
matematika formal dari konteks situasi melalui matematisasi vertikal.
5

3. Proses terakhir dari rangkaian unsur proses pembelajaran adalah proses


konfirmasi yang ditujukan untuk menguatkan hasil proses eksplorasi dan
elaborasi. Melalui proses konfirmasi, gagasan siswa tidak hanya
dikomunikasikan ke siswa lain tetapi juga dapat dikembangkan berdasarkan
tanggapan dari siswa lain. Karakter interaktivitas dari RME memberi ruang
bagi siswa untuk saling berkomunikasi dalam mengembangkan strategi dan
membangun konsep matematika.
Berdasarkan ulasan yang diungkapkan oleh Wijaya tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa pendekatan RME memiliki relevansi atau hubungan dengan
kurikulum di Indonesia. Relevansi tersebut terletak pada karakteristik dari RME
dan Standar Proses dalam pembelajaran (proses eksplorasi, elaborasi, dan
konfirmasi), sehingga pendekatan RME ini dapat diterapkan di Indonesia.

2.4 DASAR TEORETIK ATAU PRINSIP PMR


1. Guided Reinvention dan Progressive Mathematization
a) Guided Re-invention atau “menemukan kembali secara terbimbing”
Prinsip ini menekankan “penemuan kembali” secara terbimbing.. Melalui
topik-topik tertentu yang disajikan, siswa diberi kesempatan sama untuk
membangun dan menemukan kembali ide-ide dan konsep-konsep matematika.
Setiap siswa diberi kesempatan sama untuk merasakan situasi dan mengalami
masalah kontekstual yang memiliki berbagai kemungkinan solusi. Bila
diperlukan dapat diberikan bimbingan yang diperlukan. Jadi pembelajaran tidak
diawali dari “sifat” atau “definisi” atau “teorema” atau “aturan” dan diikuti
dengan “contoh=contoh” serta “penerapannya”, tetapi justru dimulai dengan
masalah kontekstual atau real/nyata meski hanya dengan membayangkannya,
dan selanjutnya melalui aktivitas, siswa diharapkan dapat menemukan kembali
sifat, definisi dan lainnya itu. Hal terakhir menunjukkan kesesuaiannya dengan
paham konstruktivisme yang meyakini bahwa pengetahuan tidak dapat
ditransfer dari seseorang kepada orang lain tanpa aktivitas yang dilakukan
sendiri oleh orang yang akan mengetahui pengetahuan tersebut.
b) Progressive mathematization atau matematisasi progresif.
6

Bagian -2 dari prinsip pertama ini menekankan “matematisasi” atau


“pematematikaan” yang dapat diartikan sebagai “upaya untuk mengarahkan
kepada pemikiran matematika”. Dikatakan prograsif karena terdapat dua
langkah matematisasi itu, yaitu matematisasi horisontal dan vertikal.yang
berawal dari masalah kontekstual yang diberikan dan akan berakhir pada
matematika yang formal.

2) Didactical Phenomenology atau fenomenologi didaktik


a) Prinsip ini menekankan fenomena pembelajaran yang bersifat mendidik dan
menekankan pentingnya masalah kontekstual untuk memperkenalkan topik-
topik matematika kepada siswa. Masalah kontekstual dipilih dengan
mempertimbangkan aspek kecocokan aplikasi yang harus diantisipasi dalam
pembelajaran dan
b) kecocokan dengan proses re-invention yang berarti bahwa aturan/cara,atau
konsep atau sifat termasuk model matematika tidak disediakan atau diajarkan
oleh guru tetapi siswa perlu berusaha sendiri untuk menemukan atau
membangun sendiri dengan berpangkal dari masalah kontekstual yang
diberikan. Ini akan menimbulkan “learning trajectory” / lintasan belajar yang
akan menuju tujuan yang ditetapkan. Tidak mustahil lintasan belajar itu untuk
setiap siswa bisa berbeda meskipun akan mencapai tujuan yang sama. Ini
berarti bahwa pembelajaran tidak lagi terpusat pada guru tetapi akan berpusat
pada siswa bahkan dapat juga disebut berpusat pada masalah kontekstual
yang dihadapi. Masalah kontekstual dapat juga untuk memantapkan
pemahaman sesuatu yang telah didapatnya..

3) Self developed model atau membangun sendiri model


Prinsip ketiga ini menunjukkan adanya fungsi “jembatan” yang berupa
model. Karena berpangkal dari masalah kontekstual dan akan menuju ke
matematika formal serta adanya kebebasan pada anak maka tidaklah mustahil
siswa akan mengembangkan model sendiri. Model itu mungkin masih sederhana
dan masih mirip dengan masalah kontekstualnya. Model ini disebut “model of” dan
7

sifatnya masih dapat disebut “matematika informal”. Selanjutnya melalui


generalisasi ataupun formalisasi dapat mengembangkan model yang mengarahkan
ke matematika formal, model ini dapat disebut “model for”. Hal tersebut sesuai
dengan matematisasi horisontal dan matematisasi vertikal, yang memungkinkan
siswa dapat menyelesaikan masalah tersebut dengan caranya sendiri.

2.5 DASAR APLIKATIF ATAU KARAKTERISTIK PMR


1. Menggunakan konteks.
Pembelajaran menggunakan masalah kontekstual. Kontekstual yang
dimaksud adalah lingkungan siswa yang nyata baik aspek budaya maupun aspek
geografis.. Didalam matematika hal itu tidak selalu diartikan “konkret” tetapi
dapat juga yang telah dipahami siswa atau dapat dibayangkan. Masalah
kontekstual biasanya dikemukakan di awal pembelajaran. Namun demikian
masalah dapat saja disajikan di tengah atau di akhir pembelajaran suatu topik
atau sub topik. Masalah kontekstual disajikan di awal pembelajaran, bila
dimaksudkan untuk memungkinkan siswa membangun/menemukan sesuatu
konsep, definisi, operasi ataupun sifat matematika serta cara pemecahan masalah
itu. Masalah kontekstual di sajikan di tengah pembelajaran bila dimaksudkan
untuk “memantapkan” apa yang telah dibangun/ditemukan. Masalah kontekstual
disajikan di akhir pembelajaran bila dimaksudkan untuk mampu
“mengaplikasikan” apa yang telah dibangun/ditemukan.
2. Menggunakan model
Dalam pembelajaran matematika sering perlu melalui waktu yang panjang
serta bergerak dari berbagai tingkat abstraksi. Dalam abstraksi itu perlu
menggunakan model. Model itu dapat bermacam-macam, dapat konkret berupa
benda, gambar, skema, yang kesemuanya itu dimaksudkan sebagai jembatan dari
konkret ke abstrak atau dari abstrak ke abstrak yang lain. Dikenal model yang
serupa atau mirip dengan masalah nyatanya, yang disebut “model of” dan
dikenal juga model yang mengarahkan ke pemikiran abstrak atau formal, yang
disebut “model for”.
3. Menggunakan kontribusi siswa.
8

Dalam pembelajaran perlu sekali memperhatikan sumbangan atau kontribusi


siswa yang mungkin berupa ide, gagasan ataupun aneka jawab/cara. Konstribusi
siswa itu dapat menyumbang kepada konstruksi atau produksi yang perlu
dilakukan/dihasilkan sehubungan dengan pemecahan masalah kontekstual.
4. Interaktivitas.
Dalam pembelajaran jelas perlu sekali melaksanakan interaksi, baik antara
siswa dan siswa ataupun bila perlu antara siswa dan guru yang bertindak sebagai
fasilitator. Interaksi itu juga mungkin terjadi antara siswa dengan sarana atau
antara siswa dengan matematika ataupun dengan lingkungan. Bentuk interaksi
itu dapat juga macam-macam, misalnya diskusi, negosiasi, memberi penjelasan
atau komunikasi, dsb.
5. Keterkaitan antar topik (intertwinning).
Dalam pembelajaran matematika perlu disadari bahwa matematika adalah
suatu ilmu yang terstruktur dengan ketat konsistensinya. Keterkaitan antara
topik, konsep, operasi dsb sangat kuat, sehingga sangat dimungkinkan adanya
integrasi antara topik dsb. itu. Bahkan mungkin saja antar matematika dengan
bidang pengetahuan yang lain untuk lebih tajam kebermanfaat belajar
matematika. Hal ini memungkinkan akan dapat menghemat waktu
pembelajaran. Selain itu dengan dimungkinkannya pengaitan antar topik atau
sub topik sangat mungkin akan tersusun struktur kurikulum yang berbeda
dengan struktur kurikulum yang selama ini dikenal, tetapi tetap mengarah
kepada kompetensi yang ditetapkan.

2.6 DAMPAK (IMPLIKASI) PMR


1. Dampak pada kegiatan guru
Di atas telah disinggung bahwa dalam melaksanakan PMR guru perlu
mengubah kebiasaannya mengajar, yang biasanya bersifat ”menggurui”. Kebiasaan
itu perlu beralih kepada guru mempersiapkan pembelajarannya dengan menyiapkan
atau membuat masalah kontekstual sesui dengan topik atau sub topik yang
diharapkan untuk dipecahkan oleh siswa sendiri. Jadi guru menyiapkan diri umtuk
memandu siswa, bila perlu, sehingga kegiatan beralih kepada siswa belajar mandiri
9

untuk memecahkan masalah kontekstual itu ataupun menemukan sesuatu. Guru


harus lebih dahulu memilih mana dari pengetahuan atau topik/sub topik yang
diharapkan akan dibangun oleh anak atau siswa. Mungkin pengetahuan itu adalah
konsep, operasi, sifat ataupun cara pemecahan masalah yang diharapkan akan
dibangun anak atau siswa. Sudah barang tentu jangan sampai materi yang
diharapkan dibangun oleh anak/siswa dimuat dalam buku siswa ataupun LKS yang
terkait. Tetapi jelas harus dimuat dalam buku guru, mungkin sebagai salah satu
alternatif jawaban yang diperkirakan akan dibangun oleh anak/siswa. Lain halnya
untuk masalah kontekstual yang disajikan ditengah pembelajaran topik/sub topik
yang dimaksud. Dalam hal ini masalah yang utama adalah pemantapan terhadap
pengetahuan yang telah ditemukannya atau yang telah dibangunnya. Lain halnya
dengan masalah kontekstual yang ditempatkan di bagian akhir pembelajaran suatu
topik/sub topik. Dalam hal tersebut yang diutamakan adalah kemampuan
anak/siswa mengaplikasikan atau menggunakan pengetahuan yang telah
ditemukannya atau dibangunnya. Contoh: Misalkan guru bermaksud untuk
membicarakan topik/sub topik ”gradien suatu garis lurus”. Guru berharap
pengertian gradien dapat ditemukan atau dibangun oleh anak/sendiri. Guru

mengajukan masalah kontekstual sebagai berikut : Perhatikan tiga buah atap


bangunan di bawah ini.
Bila hujan jatuh, air hujan yang lewat atap manakah yang akan paling cepat
jatuh ke tanah ??? Diskusikan dengan temanmu mengapa demikian ?
Selanjutnya mungkin saja muncul istilah lebih miring atapun lebih condong.
Jadi kecondongan itulah yang mengakibatkan perbedaan kecepatan jatuh air hujan
ke tanah. Demikian dapat dikemukakan lanjutannya untuk menuju kepada kata ”
gradien yang tetap” untuk setiap atap rumah itu, yang dapat dipandang sebagai
perbandingan. Akhirnya dapat diminta anak/siswa untuk mengungkapkan dengan
10

kata-katanya sendiri makna dari kata ”gradien suatu garis lurus”. Bila anak telah
dapat menuliskan dengan kata-kata sendiri, berarti anak tersebut telah membangun
konsep gradien. Mungkin saja dengan kata-kata yang berbeda, asalkan benar
maknanya.

2. Dampak pada kegiatan siswa


Dari keterangan tentang dampak pada kegiatan guru, kiranya juga telah
terlihat bahwa kegiatan siswa/anak juga berbeda dengan kebiasaan pembelajaran
selama ini. Pertama sewaktu menerima masalah kontekstual dari guru, secara
mandiri atau berkelompok para siswa mencoba menjawab atau memecahkan
masalah itu dengan caranya sendiri. Disinilah kemungkinan ada beraneka macam
model yang dibuat oleh masing-masing anak. Jadi divergensi jawaban anak atau
divergensi cara menjawab masalah dapat muncul. Mungkin sekali semua itu benar,
sehingga anak dibiasakan untuk menghargai pendapat sesama teman. Model yang
masih mirip dengan benda atau masalah aslinya, disebut ”model of”. Jika siswa
setelah mencoba tetap tidak menemukan jalan pemecahan masakah kontekdtual,
maka siswa dapat bertanya seperlunya kepada guru atau teman dengan ijin dari
guru. Hasil kerja siswa atau kelompok siswa kemudian ditampilkan kepada semua
anggota kelas, untuk mendapat tanggapan atau kritik dari anggota kelas. Dengan
demikian siswa sangat aktif memikirkan atau mengerjakan masalah kontekstual.

2.7 LANGKAH UMUM PELAKSANAAN PMR


Secara umum dapat dikemukakan langkah-langkah pembelajaran matematika
dengan pendekatan PMR di bawah ini.
a) Mempersiapkan kelas
1. Persiapkan sarana dan prasarana pembelajaran yang diperlukan, misalnya
buku siswa, LKS, alat peraga dan lain sebagainya.
2. Kelompokkan siswa jika perlu (sesuai dengan rencana).
3. Sampaikan tujuan atau kompetensi dasar yang diharapkan dicapai serta cara
belajar yang akan dipakai hari itu
b) Kegiatan pembelajaran.
11

1. Berikan masalah kontekstual atau mungkin berupa soal cerita. (secara lisan
atau tertulis). Masalah tersebut untuk dipahami siswa.
2. Berilah penjelasan singkat dan seperlunya saja jika ada siswa yang belum
memahami soal atau masalah kontekstual yang diberikan. Mungkin secara
individual ataupun secara kelompok\
3. Mintalah siswa secara kelompok ataupun secara individual, untuk
mengerjakan atau menjawab masalah kontekstual yang diberikan dengan
caranya sendiri. Berilah waktu yang cukup siswa untuk mengerjakannya.
4. Jika dalam waktu yang dipandang cukup, siswa tidak ada satupun yang dapat
menemukan cara pemecahan, berilah guide atau petunjuk seperlunya.
Petunjuk itu dapat berupa LKS ataupun bentuk lain.
5. Mintalah seorang siswa atau wakil dari kelompok siswa untuk menyampaikan
hasil kerjanya atau hasil pemikirannya (bisa lebih dari satu orang)
6. Tawarkan kepada seluruh kelompok untuk mengemukakan pendapatnya atau
tanggapannya tentang berbagai jawaban yang disajikan temannya didepan
kelas. Bila ada jawaban lebih dari satu, uangkaplah semua.
7. Buatlah kesepakatan kelas tentang jawaban manakah yang diangap paling
tepat. Terjadi suatu negosiasi. Berikanlah penekanan kepada jawaban yang
dipilih atau benar.
8. Bila masih tidak ada jawaban yang benar, mintalah siswa memikirkan cara
lain.
12

BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Salah satu pendekatan yang membawa alam pikiran siswa ke dalam
pembelajaran dan melibatkan siswa secara aktif adalah pendekatan Realistic
Mathematic Education (RME). Pendekatan Realistic Mathematic Education (RME)
adalah suatu pendekatan yang menempatkan realitas dan pengalaman siswa sebagai
titik awal pembelajaran dimana siswa diberi kesempatan untuk mengkonstruksi
sendiri pengetahuan matematika formalnya melalui masalah-masalah realitas yang
ada. Dengan pendekatan ini siswa tidak hanya mudah menguasai konsep dan materi
pelajaran namun juga tidak cepat lupa dengan apa yang telah diperolehnya tersebut.
Pendekatan ini pula tepat diterapkan dalam mengajarkan konsep-konsep dasar dan
diharapkan mampu meningkatkan hasil belajar siswa. Singkat kata RME yang di
Indonesia disebut PMRI dapat dipandang sebagai suatu inovasi dalam pembelajaran
matematika di samping pendekakan-pendekatan pembelajaran inovatif yang
lainnya.

3.2 SARAN
Secara umum hasil belajar matematika siswa dan penguasaan siswa
terhadap konsep-konsep matematika masih berada dalam tataran rendah. Untuk
meningkatkan hasil belajar matematika siswa dan penguasaan siswa terhadap
konsep dasar matematika guru diharapkan mampu berkreasi dengan menerapkan
model ataupun pendekatan dalam pembelajaran matematika yang cocok. Model
atau pendekatan ini haruslah sesuai dengan materi yang akan diajarkan serta dapat
mengoptimalkan suasana belajar.

12
13

DAFTAR PUSTAKA

Sembiring, RK. (2010). Pendidikan Matematika Realistik Indonesia ;


Perkembangan dan Tantangannya. Palembang : Jurnal IndoMS Volume 1 No. 1 Juli
2010.
Soedjadi, R. (2007) Inti Dasar – Dasar Pendidikan Matematika Realistik
Indonesia. Jurnal Pendidikan Matematika Volume 1 No.2 Juli 2007.
Anonim. 05 agustus 2017. Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia
(PMRI). Tersedia di https://www.padamu.net/pendekatan-pendidikan-matematika-
realistik-indonesia-pmri [11 november 2018]

13

Anda mungkin juga menyukai