Anda di halaman 1dari 6

RESUME TELAAH EPISTEMOLOGIS STANDAR EVIDENCIAL MATTER SERTA

IMPLIKASINYA PADA KUALITAS AUDIT DAN INTEGRITAS PELAPORAN


KEUANGAN DI INDONESIA

Oleh :

Yuani Putrihandani (186020300111022)

PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI


PASCASARJANA FAKULTAS BISNIS DAN EKONOMI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2019
TELAAH EPISTEMOLOGIS STANDAR EVIDENCIAL MATTER SERTA
IMPLIKASINYA PADA KUALITAS AUDIT DAN INTEGRITAS PELAPORAN
KEUANGAN DI INDONESIA

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada
Oleh : Prof. Dr. Bambang Sudibyo, M.B.A., Akt

Audit dalam konteks pidato ini didefinisikan sebagai pemeriksaa keuangan oleh auditor
independen, sesuai dengan Standar Profesional Akuntan Publik yang dikeluarkan oleh Ikatan
Akuntan Indonesia (Ikatan Akuntan Indonesia, 1994) yang ditujukan untuk menilai integritas
pelaporan keuangan yang disusun sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan, yang juga
dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia-adalah suatu pekerjaan yang sarat dengan acuan
normatif dan muatan moral. Pada prinsipnya pekerjaan audit adalah pekerjaan menentukan
integritas pengungkapan informasi dalam laporan keuangan. Kewajiban untuk mengungkapkan
informasi dalam laporan keuangan dengan penuh integritas adalah tanggung jawab direksi dari
organisasi yang menjadi objek audit sementara kewajiban untuk memeriksa, menguji, menilai dan
kemudian memberikan kesaksian tertulis akan integritas direksi tersebut berada di pundak auditor.
Integritas adalah begitu sentralna bagu profesi auditor independen, karena profesi ini
mempertaruhkan integritasnya untuk memberikan kesaksian tentang integritas pihak lain.
Kesaksian tentang integritas pihak lain itu hanya bisa dipercaya kalau auditor itu sendiri
integritasnya memang baik. Dalam kaitan ini perlu dibedakan tiga integritas. Pertama, keamana
direksi dalam menjalankan tugas yang diamanatkan kepadanya. Kedua, kejujuran direksi dalam
melakukan pelaporan keuangan. Ketiga, integritas auditor dalam mengaudit dan kemudian
memberikan opini atas integritas direksi dalam laporan keuangan. Audit yang dilaksanakan dengan
penuh integritas akan memberikan kesaksian secara benar tentang integritas tingkat pertama dan
tingkat kedua, yang keduanya mengacu kepada integritas Direksi, sebagaimana digambarkan
secara matriks pada Tabel 1. Audit oleh para auditor independen yang memenuhi Standar
Profesional Akuntan Publik (Ikatan Akuntan Indonesia, 1994) diharapkan bisa memberikan dasar
atau basis yang bisa dipercaya bagi para pembaca audit untuk menentukan apakah integritas direksi
termasuk kategori (1,1), (1,2), (2,1), atau (2,2). Jika tidak bisa maka itu berarti auditor telah gagal
memenuhi kebutuhan stakeholder utamanya, yaitu para pembaca laporan keuangan.
Kegagalan itu identic dengan kegagalan menjalankan fungsi sosialnya yang implisit dalam
kontrak sosial yang mendasari keberadaan dan hak hidup profesi auditor independen di tengah
masyarakatnya. Kegagalan jenis pertama pertama bersifat individual dan karenanya tidak terkait
langsung dengan kontrak sosial ataupun implementasi nilai ecologizing dari profesi auditor
independen, kecuali jika auditor pada umumnya memang telah gagal mempertahankan
integritasnya itu. Kegagalan jenis kedua terkait langsung dengan kontrak sosial ataupun
implementasi nilai ecologizing dari profesi auditor independen, profesi yang profilnya justru naik
daun selama krisis ekonomi.
Moralitas auditor di Indonesia diatur dalam salah satu standar umum dari Standar
Profesional Akuntan Publik (Ikatan Akuntan Indonesia, 1994), yaitu standar tentang independensi
sikap mental. Semua standar umum menjiwai dan mendasar setiap standar pekerjaan lapangan dan
standar pelaporan audit. Dalam kaitan itu, makalah ini bertujuan untuk mengangkat ke permukaan
suatu kesalahpahaman yang begitu kaprah dan melembaga terhadap salah satu standar pekerjaan
lapangan, yaitu standar evidential matter.

Tabel 1. Matriks Integritas Tingkat 1 dan Tingkat 2


KEJUJURAN DIREKSI KEAMANAN DIREKSI DALAM MENJALANKAN TUGAS (INTEGRITAS
DALAM LAPORAN TINGKAT 1
KEUANGAN
(INTEGRITAS AMANAH TIDAK AMANAH
TINGKAT 2)
Tugas dilaksanakan dengan Tugas dilaksanakan tidak dengan amanah, tetapi
JUJUR penuh amanah dan dilaporkan kegagalan melaksanakan amanah itu dilaporkan
secara jujur (1,1) secara jujur (2,1)
Tugas dilaksanakan dengan Tugas dilaksanakan tidak dengan amanah, dan
TIDAK JUJUR penuh amanah, tetapi tidak kegagalan melaksanakan amanah itu tidak
dilaporkan secara jujur (1,2) dilaporkan secara jujur (2,2)

ANALISIS KALIMAT STANDAR EVIDENTIAL MATTER


Apakah yang dimaksud dengan evidential matter itu, serta bagaimanakah sifat-sifatnya?
Di Indonesia evidential matter ini secara kaprah, institusional dan resmi telah direduksikan melalu
penterjemahan menjadi “bukti audit” (Ikatan Akuntan Indonesia, 1994). Pereduksian ini segera
akan terasa jika istilah bukti audit ini ditranslasikan balik ke dalam bahasa Inggris yang tidak akan
kembali ke istilah evidential matter. Translasi balik dari “bukti audit” adalah audit evidence bukan
evidential matter. Telaah epistemologis berikut ini menunjukkan perbedaan antara evidence atau
evidential matter itu.

ANALISIS EPISTEMOLOGIS TERHADAP STANDAR EVIDENTIAL MATTER


Epistemologi adalah suatu tudi atau teori tentang asal, sifat, metode serta keterbatasan
pengetahuan manusia (Guralnik, 1978). Secara epistemologis konstruksi dan mekanisme
pemahaman auditor yang diimplikasikan oleh standar evidential matter digambarkan seperti pada
Gambar 1. Evdential matter tidak sama dengan evidence seperti yang dikontraskan pada Tabel 2.

Tabel 2. Perbandingan sifat antara Evidential matter dan Evidence


NO. EVIDENTIAL MATTER EVIDENCE
1. Ada di dalam benak atau kesadaran intelektual dan Ada di luar benak auditor
mental auditor
2. Abstrak Konkrit, empiris
3. Realitas subjektif Realitas objektif
4. Realitas substantif Realitas bentuk
Gambar 1. Epistemologi dan Pemahaman dan Keyakinan Auditor terhadap Obyek Audit

Tujuan pengauditan adalah penerbitan pernyataan intelektual dan moral (intellectual and moral
statement) yang meruakan kesaksian tertulis auditor tentang integritas pelaporan keuangan.
Pernyataan ini dikeluarkan atas dasar pemahaman dan keyakinan bahwa laporan keuangan secara
subtantif disusun sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang diterbitkan oleh Ikatan
Akuntan Indonesia. Pemahaman dan keyakinan inilah yang disebut evidential matter. Reduksi
pemahaman standar evidential matter ini telah berlangsung sekian lama, sejak mulai
diperkenalkannya profesi pengauditan di negeri ini, Potensi dampaknya pada kualitas audit dan
integritas pelaporan keuangan di Indonesia cukup serius seperti yang akan dipaparkan pada
penjelasan selanjutnya.
Yang menarik, ternyata literature auditing di Amerika Serikatpun tidak terlalu peduli untuk
membedakan antara evidential matter dan evidence. Tentunya observasi ini tidak perlu terlalu
mengagetkan, mengingat filsafat, dan lebih spesifiknya epistemologi, memang suatu disiplin yang
relatif asing bagi kebanyakan pemikir dan praktisi akuntansi.

PROSES PENGEMBANGAN EVIDENTIAL MATTER DAN KETERLIBATAN HATI


AUDITOR DI DALAMNYA
Seperti yang dikemukakan sebelumnya, evidential matter bukanlah realitas yang konkrit
objektif berada di luar kesadaran intelektual moral auditor. Sebaliknya, ia adalah realitas abstrak-
subjektif yang berada di dalam kesadaran intelektual-moral auditor. Moral atau etika atau akhlak
mengacu kepada pemilihan dikotomis antara yang baik dan buruk, benar dan salah, adil dan tak
adil, terpuji dan terkutuk, atau pemilihan diskotomis lainnya antara yang positif dan negative
(Dunn, 1991).
Tidak seperti entitas abotik dan organisme selain manusia, termasuk binatang dan tumbuh-
tumbuhan, manusia mempunyai kemampuan untuk mensubjekkan diri dann mengobjekkan yang
selain dirinya. Bagi organisme yang tidak mampu melakukan subjektivikasi dan objektifikasi, bisa
dibayangkan, realitas dihayatinya secara murni subjektif sebagai suatu yang esa dan kudus, kudus
dalam arti sama sekali tidak tercemari oleh agresivitas yang ditimbulkan oleh objetifikasinya.
Teori kontrak sosial atau teori stakeholders tentang etika, yang sekarang ini mendominasi
wacana akademik tentang etika bisnis, mengklasifikasikan kehendak itu ke dalam kehendak yang
bermoral dan kehendak tidak bermoral atas dasar apakah suatu kehendak itu sesuai atau
bertentangan dengan kontrak sosial antara yang bersangkutan, bisa individu, bisa pula institusi
sosial dan para stakeholdersnya.
Teori natural dan teori komplesitas tentang etika sosial memandang bahwa kemampuan
manusia, dan bahkan entitas sosial seperti perusahaan, untuk melakukan ethical judgement itu
tumbuh secara alami dari proses evolusinya yang Darwinian di alam.
Agama memandang moralitas sebagai suatu altruism. Jiwa manusia dalam kondisi
fitrahnya memang sudah mempunyai kemampuan untuk melakukan moral judgement.
Jadi jelas kiranya bahwa baik ditinjau dari teori kontrak sosial, teori kompleksitas intitusi
sosial, maupun teologi, mempertahankan moralitas bagi profesi auditor independen, dan profesi
apapun adalah kebutuhan yang dipaksakan dari luar. Standar bukt menghendaki audito untuk
mengumpulkan bukti-bukti konkrit, realitas objektif yang berada di luar benaknya sementara
tandar evidential matter menuntut auditor untuk tidak hanya sekedar mengumpulkan bukti-bukti
konkrit-empiris, tapi lebih jauh dari itu untuk juga memperoleh pemahaman objektif dan
keyakinan subjektif yang mendukung kesimpulan dan kesaksiannya tentang integritas
pengungkapan informasi keuangan.

KEPARALELAN DENGAN PRINSIP SUBSTANCE OVER FORMS DALAM


AKUNTANSI KEUANGAN
Di mula telah ditunjukkan bahwa evidential matter adalah realitas subtantif bukan realitas
bentuk. Oleh karena itu tidak mungkin bagi evidential matter untuk diikat oleh formalitas legal. Ia
tidak mungkin untuk legal adalah evidence (bukti), bukannya evidential matter. Di suatu
lingkungan hukum yang baik, legalitas bukti pada umunya mendukung evidential matter menjadi
lebih evidential. Akan tetapi, di lingkungan hukum yang tidak baik dan tidak efektif seperti
Indonesia dewasa ini, legalitas formal bukti justru kadang dipakai oleh pihak-pihak tertentu untuk
menutupi substansi ekonomis yang sebenarnya dari transaksi atau peristiwa yang
didokumentasikan oleh bukti. Oleh karena itu pemahaman dan keyakinan auditor yang dihasilkan
oleh proses pengambilan professional judgement atas bukti-bukti tidak boleh terkungkung oleh
atau terjebak pada legalitas bukti.

KETERKAITAN DENGAN STANDAR UMUM TENTANG KOMPETENSI TEKNIS


KEPROFESIAN
Reduksi itu sangat berpotensi untuk mendorong pelanggaran terhadap seluruh standar
umum dari Standar Profesional Akuntan Publik yang diterbitkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia
(1994). Tentu saja kualitas audit yang seperti ini menjadi substandard. Observasi ini menunjukkan,
betapa standar evidential matter merupakan standar yang begitu sentral dan terkait erta dengan
filosofi audit.

DAMPAK REDUKSI PADA INTEGRITAS PELAPORAN KEUANGAN DI INDONESIA


Jika sebagai dampak reduksi dari standar evidential matter itu laporan keuangan menjadi
kurang merefleksikan subtansi ekonomis perusahaan, dan laporan itu karena reduksi itu kemudian
diaudit dengan cara substandar, maka tentunya integritas pelaporan keuangan di Indonesia menjadi
tereduksi secara seirus pula.

KONKLUSI
Adalah sama sekali bukan tujuan pidato ini untuk mencela, mempermalukan dan
menggurui Ikatan Akuntan Indonesia. Sebagai Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan dalam
kepengurusan pusat Ikatan Akuntan Indonesia dan sebagai pendidik yang terlibat dalam proses
pencetakan akuntan di Indonesia, tentunya penulis bertanggung jawab atas terjadinya reduksi yang
telah diungkapkan di muka. Epistemologi, yang dijadikan sudut pandang dalam diskusi ini,
mengacu kepada bagaimana manusia memahami atau menyalahpahami sesuatu. Kepahaman
maupun kesalahpahaman manusia sangat erat kaitannya dengan bagaimana manusia menggunakan
dan mengembangkan bahasanya, karena kepahaman dan kesalahpahaman di benak manusia selalu
terstruktur dan oleh bahasa yang dipakainya untuk memahami. Itu sebabnya Ludwig Wittgenstein
melakukan perintisan bagi analisis kebahasaan dalam pengembangan epistemologi (Dallmayr dan
McCarthy, 1997). Dalam kaitan itu, kejernihan dan disiplin yang ketat dalam penggunaan bahasa,
sebagaimana diadvokasikan dengan gigih oleh Dr. Suwardjono MBA, perlu sekali untuk
diperhatikan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. Kemapuan dan kejernihan berbahasa mempengaruhi
keefektifan kecerdasan, dan karenanya juga kefektifan pemahaman, meskipun yang sebaliknya
juga betul, yaitu bahwa kecerdasan mempengaruhi kemampuan dan kejernihan berbahasa.

Anda mungkin juga menyukai