Oleh :
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada
Oleh : Prof. Dr. Bambang Sudibyo, M.B.A., Akt
Audit dalam konteks pidato ini didefinisikan sebagai pemeriksaa keuangan oleh auditor
independen, sesuai dengan Standar Profesional Akuntan Publik yang dikeluarkan oleh Ikatan
Akuntan Indonesia (Ikatan Akuntan Indonesia, 1994) yang ditujukan untuk menilai integritas
pelaporan keuangan yang disusun sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan, yang juga
dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia-adalah suatu pekerjaan yang sarat dengan acuan
normatif dan muatan moral. Pada prinsipnya pekerjaan audit adalah pekerjaan menentukan
integritas pengungkapan informasi dalam laporan keuangan. Kewajiban untuk mengungkapkan
informasi dalam laporan keuangan dengan penuh integritas adalah tanggung jawab direksi dari
organisasi yang menjadi objek audit sementara kewajiban untuk memeriksa, menguji, menilai dan
kemudian memberikan kesaksian tertulis akan integritas direksi tersebut berada di pundak auditor.
Integritas adalah begitu sentralna bagu profesi auditor independen, karena profesi ini
mempertaruhkan integritasnya untuk memberikan kesaksian tentang integritas pihak lain.
Kesaksian tentang integritas pihak lain itu hanya bisa dipercaya kalau auditor itu sendiri
integritasnya memang baik. Dalam kaitan ini perlu dibedakan tiga integritas. Pertama, keamana
direksi dalam menjalankan tugas yang diamanatkan kepadanya. Kedua, kejujuran direksi dalam
melakukan pelaporan keuangan. Ketiga, integritas auditor dalam mengaudit dan kemudian
memberikan opini atas integritas direksi dalam laporan keuangan. Audit yang dilaksanakan dengan
penuh integritas akan memberikan kesaksian secara benar tentang integritas tingkat pertama dan
tingkat kedua, yang keduanya mengacu kepada integritas Direksi, sebagaimana digambarkan
secara matriks pada Tabel 1. Audit oleh para auditor independen yang memenuhi Standar
Profesional Akuntan Publik (Ikatan Akuntan Indonesia, 1994) diharapkan bisa memberikan dasar
atau basis yang bisa dipercaya bagi para pembaca audit untuk menentukan apakah integritas direksi
termasuk kategori (1,1), (1,2), (2,1), atau (2,2). Jika tidak bisa maka itu berarti auditor telah gagal
memenuhi kebutuhan stakeholder utamanya, yaitu para pembaca laporan keuangan.
Kegagalan itu identic dengan kegagalan menjalankan fungsi sosialnya yang implisit dalam
kontrak sosial yang mendasari keberadaan dan hak hidup profesi auditor independen di tengah
masyarakatnya. Kegagalan jenis pertama pertama bersifat individual dan karenanya tidak terkait
langsung dengan kontrak sosial ataupun implementasi nilai ecologizing dari profesi auditor
independen, kecuali jika auditor pada umumnya memang telah gagal mempertahankan
integritasnya itu. Kegagalan jenis kedua terkait langsung dengan kontrak sosial ataupun
implementasi nilai ecologizing dari profesi auditor independen, profesi yang profilnya justru naik
daun selama krisis ekonomi.
Moralitas auditor di Indonesia diatur dalam salah satu standar umum dari Standar
Profesional Akuntan Publik (Ikatan Akuntan Indonesia, 1994), yaitu standar tentang independensi
sikap mental. Semua standar umum menjiwai dan mendasar setiap standar pekerjaan lapangan dan
standar pelaporan audit. Dalam kaitan itu, makalah ini bertujuan untuk mengangkat ke permukaan
suatu kesalahpahaman yang begitu kaprah dan melembaga terhadap salah satu standar pekerjaan
lapangan, yaitu standar evidential matter.
Tujuan pengauditan adalah penerbitan pernyataan intelektual dan moral (intellectual and moral
statement) yang meruakan kesaksian tertulis auditor tentang integritas pelaporan keuangan.
Pernyataan ini dikeluarkan atas dasar pemahaman dan keyakinan bahwa laporan keuangan secara
subtantif disusun sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang diterbitkan oleh Ikatan
Akuntan Indonesia. Pemahaman dan keyakinan inilah yang disebut evidential matter. Reduksi
pemahaman standar evidential matter ini telah berlangsung sekian lama, sejak mulai
diperkenalkannya profesi pengauditan di negeri ini, Potensi dampaknya pada kualitas audit dan
integritas pelaporan keuangan di Indonesia cukup serius seperti yang akan dipaparkan pada
penjelasan selanjutnya.
Yang menarik, ternyata literature auditing di Amerika Serikatpun tidak terlalu peduli untuk
membedakan antara evidential matter dan evidence. Tentunya observasi ini tidak perlu terlalu
mengagetkan, mengingat filsafat, dan lebih spesifiknya epistemologi, memang suatu disiplin yang
relatif asing bagi kebanyakan pemikir dan praktisi akuntansi.
KONKLUSI
Adalah sama sekali bukan tujuan pidato ini untuk mencela, mempermalukan dan
menggurui Ikatan Akuntan Indonesia. Sebagai Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan dalam
kepengurusan pusat Ikatan Akuntan Indonesia dan sebagai pendidik yang terlibat dalam proses
pencetakan akuntan di Indonesia, tentunya penulis bertanggung jawab atas terjadinya reduksi yang
telah diungkapkan di muka. Epistemologi, yang dijadikan sudut pandang dalam diskusi ini,
mengacu kepada bagaimana manusia memahami atau menyalahpahami sesuatu. Kepahaman
maupun kesalahpahaman manusia sangat erat kaitannya dengan bagaimana manusia menggunakan
dan mengembangkan bahasanya, karena kepahaman dan kesalahpahaman di benak manusia selalu
terstruktur dan oleh bahasa yang dipakainya untuk memahami. Itu sebabnya Ludwig Wittgenstein
melakukan perintisan bagi analisis kebahasaan dalam pengembangan epistemologi (Dallmayr dan
McCarthy, 1997). Dalam kaitan itu, kejernihan dan disiplin yang ketat dalam penggunaan bahasa,
sebagaimana diadvokasikan dengan gigih oleh Dr. Suwardjono MBA, perlu sekali untuk
diperhatikan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. Kemapuan dan kejernihan berbahasa mempengaruhi
keefektifan kecerdasan, dan karenanya juga kefektifan pemahaman, meskipun yang sebaliknya
juga betul, yaitu bahwa kecerdasan mempengaruhi kemampuan dan kejernihan berbahasa.