Oleh:
Kelompok 1
Muhammad Ichsan 186020300111033
Annisa Geograf Puspita 186020300111046
Di Indonesia, evidential matter ini telah tereduksi melalui penterjemahan menjadi “bukti
audit”. Pereduksian ini segera akan terasa jika ditranslasikan balik ke bahasa Inggris yaitu audit
evidence. Perbedaan antara evidence dan evidential matter akan ditunjukkan pada sesi telaah
epistemologis dalam makalah ini.
Analisis epistemologis terhadap standar evidential matter
Epistemologi adalah studi atau teori tentang asal, sifat, dan metode serta keterbatasan
pengetahuan manusia (Guralnik, 1978). Telaah ini dapat berpotensi mengungkapkan
kesalahpahaman yang sudah mapan secara taken for granted di benak kelompok tertentu. Secar
epistemologis, konstruksi dan mekanisme pemahaman auditor yang diimplikasikan oleh
standar evidential matter dapat digambarkan sebagai berikut:
SUBYEK PREDIKAT OBYEK
Berusaha memahami obyek melalui
Auditor yang observasi, inspeksi, konfirmasi, dan
mempunyai indera, wawancara; kemudian melakukan
intelek, dan hati moral judgement atas pemahaman
tersebut
Bukti-bukti konkrit
(evidence)
Gambar 1. Epistemologi pemahaman dan keyakinan auditor terhadap obyek audit (Sumber:
Sudibyo: 2001)
Subyek dalam pengauditan adalah auditor yang mempunyai bakan dan kemampuan memahami
dan meyakini karena ia mempunyai indera, intelek (otak), dan hati. Untuk memperoleh
pemahaman dan keyakinan itu auditor melakukan aktivitas observasi, inspeksi, konfirmasi dan
wawancara terhadap obyek pengauditan. Obyek pengauditan adalah konkrit dan riil, yatu bukti-
bukti atau evidence. Hasil dari aktivitas itu adalah kognisi atau pemahaman dan keyakinan
terhadap bukti-bukti pengauditan. Pemahaman dan keyakinan inilah yang dimaksud dengan
evidential matter. Jadi, evidential matter berada dalam benak auditor, bukan suatu realitas
obyektif dan konkrit yang berada di luar kesadaran dan mental auditor. Secara ringkas,
perbedaan antara evidential matter dan evidence dapat dilihat pada tabel berikut:
Evidential matter Evidence
1 Ada di dalam benak atau kesadaran Ada di luar benak auditor
intelektual dan mental auditor
2 Abstrak Konkrit, empiris
3 Realitas subyektif Realitas obyektif
4 Realitas substantif Realitas bentuk
Tabel 2. Perbandingan sifat antara evidential matter dan evidence
Proses pengembangan evidential matter dan keterlibatan hati auditor di dalamnya
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, evidential matter terletak dalam kesadaran
intelektual-moral auditor. Pada mulanya auditor berusaha memahami secara obyektif dan
rasional atas substansi ekonomis yang terkandung di balik bukti-bukti, dan kemudian
mengambil kesimpulan apakah pemahaman itu mendukung kelogisan laporan keuangan yang
sedang diaudit. Terhadap kesimpulan tersebut, auditor masih melakukan satu aktivitas lagi
yaitu melakukan moral judgment atas integritas pengungkapan informasi tersebut. Sehingga
dalam proses ini auditor memberikan dua tingkat persaksian yaitu pertama, dari inteleknya
(otak) yang memiliki pendidikan, dan pengalaman teknis yang memadai. Yang kedua, hati
nuraninya, untuk memberikan kesaksian yang sejujur-jujurnya tentang integritas pelaporan
informasi keuangan tersebut.
Proses inilah yang dalam literatur pengauditan disebut dengan proses pengambilan
professional judgement yang tidak hanya mensyaratkan kompetensi teknis keprofesian saja,
tetapi juga integritas moral seorang auditor. Kedua syarat ini sebenarnya telah diatur dalam
standar umum dari SPAP yang dikeluarkan oleh IAI, yaitu standar umum tentang kompetensi
teknis keprofesian dan standar umum tentang kebebasan sikap mental. Sayangnya, reduksi
standar evidential matter menjadi evidence sangat berpotensi untuk mendorong pelanggaran
terhadap standar umum kekebasan sikap mental yang sarat muatan moral tersebut.
Moral atau etika atau akhlak mengacu kepada pemilihan dikotomis antara baik dan buruk,
benar dan salah, adil dan tidak adil, terpuji dan terkutuk, atau pemilihan dikotomis lainnya
antara yang positif dan negatif (Dunn, 1991). Manusia adalah makhluk yang senantiasa
didudukkan pada situasi harus melakukan pemilihan dikotomis itu, sehingga manusia
merupakan makhluk moral atau makhluk akal atau moral being. Oleh karenanya, moralitas
seharusnya menjadi kepedulian utama manusia dalam mengarungi perjalanan spasio-
temporalnya di dunia ini.
Dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya, manusia mempunyai kemampuan untuk
mensubyekkan diri dan mengobyekkan yang selain dirinya. Atas kemampuan itu, manusia
dikatakan memiliki previlege kebebasan berkehendak (free will). Subyek yang menikmati
previlege itu dalam teologi disebut jiwa, sedangkan perilakunya yang bebas berkehendak itu
disebut hati. Hubungan jiwa dan hati ini adalah hubungan subyek dan predikat. Pertanyaannya
adalah, mengapa kebebasan berkehendak itu kemudian berubah atau tereduksi menjadi
pemilihan yang bersifat moral.
Baik ditinjau dari teori kontrak sosial, teori kompleksitas institusi sosial, maupun teologi,
mempertahankan moralitas bagi profesi auditor independen dan profesi apa pun adalah
kebutuhan profesi itu sendiri, bukan kebutuhan yang dipaksakan dari luar. Dari perspektif teori
kontrak sosial atau teori stakeholder, profesi auditor independen mempertahankan
moralitasnya adalah masalah mempertahankan kontrak dengan para stakeholdernya, yaitu
bahwa profesi auditor independen diberi hak hidup di dalam masyarakat dengan kompensasi
bahwa profesi itu mampu untuk dengan penuh integritas memberikan kesaksian tertulis akan
integritas pelaporan keuangan dari institusi yang diauditnya. Kegagalan memenuhi kontrak ini
merupakan kegagalan moral yang berakibat dibatalkannya kontrak itu melalui suatu proses
yang biasanya menyakitkan dan itu berarti tamatnya riwayat profesi itu.
Teori natural atau teori kompleksitas tentang etika entitas sosial memandang bahwa
kemampuan manusia dan bahkan entitas sosial seperti perusahaan untuk melakukan ethical
judgement itu tumbuh secara alami dari proses evolusinya yang Darwinian di alam. Nilai yang
paling mendasar untuk bisa bertahan hidup adalah economizing dan power aggrandizing.
Economizing terjadi di alam ketika suatu organisme bertindak “ekonomis” yaitu mengambil
energi dari lingkungannya dan menggunakan energi itu untuk memproduksi sesuatu yang
bermanfaat langsung bagi dirinya (Derry dkk., 1999). Power aggrandizing merupakan naluri
setiap organisme atau entitas hidup untuk senantiasa memperbesar kekuasaan agar bisa lebih
kompetitif dalam bersaing memperebutkan sumber daya atau energi di alam. Bagi profesi
auditor independen berdasarkan perspektif teori natural atau teori kompleksitas, bahwa
economizing dan power aggrandizing yang akan menjadikan dirinya kuat harus dilakukan
dengan tetap mempertahankan dan menyempurnakan integritas moralnya jika ingin
mempertahankan keberlangsungan hidupnya. Bagi organisme sosial apa pun, tak terkecuali
profesi auditor independen, moralitas adalah masalah survival-nya dalam melewati seleksi
alam. Dan dari perspektif teologi, moralas bagi profesi auditor independen adalah masalah
kesejahteraan jiwa di dunia dan di akhirat.
Kepararelan dengan prinsip substance over forms dalam akuntansi keuangan
Evidential matter adalah realitas substantif bukan realitas bentuk. Oleh karena itu, tidak
mungkin bagi evidential matter untuk diikat oleh formalitas legal. Pemahaman dan keyakinan
auditor yang dihasilkan oleh proses pengambilan professional judgement atas bukti-bukti tidak
boleh terkungkung atau terjebak oleh legalitas bukti. Yang penting adalah pemahaman dan
keyakinannya tentang substansi ekonomis dibalik bukti-bukti yang diperiksanya. Jika dalam
akuntansi keuangan berlaku substance over forms, maka pararel dengan itu dalam pengauditan
berlaku prinsip yang sejalan: substansi ekonomis evidential matter lebih penting daripada
formalitas legal bukti-bukti.
Keterkaitan dengan standar umum tentang kompetensi teknis keprofesian
Dengan terjadinya reduksi itu, maka mindset auditor telah terjebak pada persimbulan dan
formalitas legal bukti-bukti. Perusahaann yang menginginkan opini Wajar Tanpa Syarat
(WTS) dari auditor yang sudah terjebak itu, maka mereka diperkirakan menjadi kurang peduli
pada apakah pembukuannya betul-betul merefleksikan substansi ekonomis bisnisnya. Prinsip
pembukuannya bukan lagi substance over forms melainkan forms over substance. Jika sebagai
dampak reduksi dari standar evidential matter itu laporan keuangan menjadi kurang
merefleksikan substansi ekonomis perusahaan dan laporan itu karena reduksi itu kemudian
diaudit dengan cara yang substandard, maka tentunya integritas pelaporan keuangan di
Indonesia menjadi ikut tereduksi secara serius pula.