Anda di halaman 1dari 4

Muhammad Ichsan (186020300111033)

Akuntansi Multiparadigma

AKUNTANSI, QUO VADIS?

Lima abad lebih telah berlalu sejak buku Summa de arithmetica, geometria, proportioni
et proportionata (Summary of arithmetic, geometry, proportions and proportionally) karya
Luca Pacioli pertama kali dipublikasikan di tahun 1494. Buku fenomenal yang sejatinya adalah
sebuah buku teks matematika inilah yang membuat Pacioli kerap menyandang gelar “father of
accounting”. Sebab, selain membahas secara komprehensif mengenai matematika (aritmetika,
aljabar, geometri), buku ini merupakan buku teks pertama yang memasukkan deskripsi detail
mengenai double-entry system, sebuah sistem pembukuan yang menjadi teknik dasar dalam
bidang akuntansi.
Pacioli hidup di tahun-tahun awal era Rennaisance, suatu pergerakan kultur yang
bermula di Italia dan kemudian menyebar hingga ke seluruh Eropa sampai abad ke-16.
Karakter era ini yang humanis dan realis dapat terlihat pada aspek-aspek sastra, filsafat, seni,
musik, politik hingga agama. Tokoh-tokoh pentingnya meliputi Niccolo Machiavelli (filsafat
politik), Leonardo da Vinci (seni), Martin Luther (agama), hingga Luca Pacioli sendiri (sains).
Pendekatan humanis oleh para tokoh-tokoh tersebut dalam bidangnya masing-masing terasa
dalam karya-karya yang dihasilkan. Selain menekankan tujuan mewujudkan manusia universal
(uomo universale – dari ideologi Yunani-Romawi kuno) yang mengkombinasikan
kesempurnaan intelektual dan fisik, para humanis juga meyakini hal yang transendental seperti
kehidupan setelah mati. Tidak mengherankan jika nuansa religius dalam karya-karya yang ada
masih cukup kental. Di penghujung abad ke 17, era ini mulai tergantikan dengan Age of
Enlightment atau Age of Reason, dimana ide pemisahan agama (religion) dan negara (state)
mulai diajukan, salah satunya oleh John Locke (1632-1704).
Seperti yang pernah dijelaskan dalam tulisan sebelumnya, kehidupan Pacioli sebagai
seorang ilmuwan sekaligus seorang biarawan menjadikan karyanya seolah suatu kombinasi
sains dan agama. Ini terlihat dari judul salah satu bukunya De Divina Proportione atau Proporsi
Ilahiah, dan pada tulisan “a name de dio” atau “dengan nama Tuhan” di awal contoh-contoh
accounting records dalam salah satu bab bukunya yang lain Summa de Arithmetica. Penekanan
ini sendiri sangat jelas, bahkan masih di buku yang sama Pacioli menegaskan,

1
“tujuan setiap pedagang adalah menghasilkan laba yang jujur dan sah, dimana mereka haeus
memulai seluruh transaksi dengan nama Tuhan dan menuliskan nama yang suci itu pada setiap
akun1”
Salah satu observasi yang dilakukan Pacioli yang mendasari double-entry system
adalah pada praktik niaga para pedagang Islam di Venesia (pusat maritim dan perdagangan di
Eropa saat itu). Kejujuran berdagang yang ia amati, serta sifat religius Pacioli sendiri, bisa jadi
dua hal itulah yang membuat ia berpendapat bahwa jika prinsip kejujuran dalam berdagang
harus ada, maka dalam pencatatannya pun kejujuran mutlak tidak boleh hilang. Dan satu-
satunya yang bisa menjaga prinsip ini senantiasa dipegang teguh masing-masing pihak adalah
keyakinannya akan Tuhan sebagai pengawas tertinggi.
Berkaca kembali pada kondisi akuntansi sekarang, menghadirkan (lagi) Tuhan ke
dalam bidang ini bagi sebagian besar akademisi dan praktisinya mungkin tidak berada pada
prioritas yang utama. Sudut pandang sekularistik menjadikan kita cenderung melihat akuntansi
sebagai ilmu yang bebas nilai, alih-alih sebagai ilmu yang sarat nilai (terlebih nilai ketuhanan).
Bahkan pada cerita ruang perkuliahan yang penulis pernah baca, ketika ide menyertakan nilai
ketuhanan disodorkan oleh dosen di kelas, mayoritas peserta/mahasiswa justru tertawa (antara
tertawa geli atau menyangsikan keseriusan sang dosen). Namun setelah diberikan penalaran
serta analogi yang logis, mahasiswa sadar bahwa ide itu masuk akal dan bahkan mungkin
demikianlah ilmu akuntansi itu seharusnya. Dapat dikatakan bahwa panggilan untuk
memurnikan kembali akuntansi sebenarnya secara alami terdapat dalam jiwa mereka. Yang
perlu menjadi diskusi menurut hemat penulis adalah bagaimana agar konsep ini dapat konsisten
diperoleh dan dikaji mahasiswa sehingga lebih banyak terserap, ditengah luapan pendekatan
akuntansi tradisional.
Menurut dokumen sejarah yang ada, hal ketuhanan masih terdapat di akuntansi hingga
paling tidak hingga awal abad ke-18 (arsip Bank of England – frase “God be praised” di setiap
awal buku kas). Dengan demikian, era akuntansi dengan hal ketuhanan dan tanpa hal ketuhanan
telah berbagi durasi yang kurang lebih sama, masing-masing tiga abad (abad ke-15 sampai 18;
dan abad ke 19 hingga sekarang, abad 21). Akan kemana akuntansi berikutnya? Apakah
kembali kepada nilai-nilai ketuhanan? Ataukah semakin terjatuh ke dalam lembah
sekularisme?
Melihat perkembangan dunia sekarang, memang wabah sekularisme telah menjangkiti
hampir seluruh pelosok dunia, dalam berbagai aspek (tidak terkecuali pendidikan). Namun
tidak dipungkiri bahwa kesadaran terhadap nilai abstrak sebagai pelengkap (tidak dalam artian
inferioritas) atas hal-hal yang konkrit – linier atau bersifat materi juga telah tumbuh.

2
Ketidakmampuan teori konvensional yang ada dalam menjelaskan fenomena-fenomena alam
(termasuk perilaku manusia di dalamnya) dipandang menjadi salah satu alasan tumbuhnya
kesadaran tersebut. Di bidang fisika, salah satunya adalah Fritjof Capra yang berani keluar dari
kungkungan paradigma sains yang bersifat positivistik, empiris, dan rasional menuju
paradigma spiritual, metafisis, dan moral. Dalam bukunya The Tao of Physics (1975), usaha
Capra dalam mencoba mempersatukan dua kutub yang saling bertentangan, yaitu fisika teoritis
Barat dan mistisme Timur ini membuatnya disejajarkan dengan ilmuwan kontemporer lainnya.
Di bidang akuntansi, pergeseran paradigma serupa juga tumbuh dan kini mulai
diperhitungkan. Sebagai satu cabang ilmu sosial, semestinya memang seseorang tidak melihat
akuntansi hanya secara pragmatis. Lingkup akuntansi lebih dari sekedar hal praktis saja, namun
terdapat konsep dan nilai yang terkandung di dalamnya, sebagaimana ditekankan Pacioli
(berdasarkan observasinya terhadap pedagang Muslim).
Akuntansi dengan pendekatan nilai Islami dengan beberapa model telah banyak
ditawarkan oleh penggagasnya – misalnya Shariah Enterprise Theory oleh Triyuwono (1995)
dan aplikasi triloginya Maisyah-Rizq-Maal, yang kemudian dikembangkan oleh Mulawarman
& Kamayanti (2015) melalui konsep abdullah (hamba Allah) dan khalifatullah fil ardh (wakil
Allah di muka bumi). Akuntansi syariah secara formal memang telah menjadi salah satu dari
tiga pilar standar akuntansi Indonesia. Namun pada kenyataannya, pilar ini juga tidak luput dari
benturan standar internasional yang mensyaratkan keseragaman. Selain tujuan akuntansi
syariah Indonesia yang menyiratkan mengikuti akuntansi positif (pragmatis), keanggotaan
anggota DSAS (Dewan Standar Akuntansi Syariah) juga meliputi firma akuntansi Big Four
sehingga indikasi peran firma akuntansi Barat dalam menentukan standar Syariah masih kuat
(Mulawarman & Kamayanti, 2015).
Usaha kembali ke fitrah akuntansi telah diajukan, dengan bercermin pada keberhasilan
era Rasulullah SAW dan sahabat-sahabat yang menjadi penerus dan penjaga syariah yang
murni nan lembut. Penduduk non-muslim pada wilayah yang dikuasai kekhalifahan Muslim
saat itu justru merasa lebih terlindungi. Bahkan David Wasserstein, seorang profesor sejarah
Yahudi, dalam bukunya The Jewish Chronicle mengklaim, Islam lah yang menyelamatkan
kaum Yahudi. Di bawah otoritas Muslim kala itu telah mentransformasi seluruh segi kehidupan
orang Yahudi – dalam hal hukum, demografis, sosial, agama, politik, ekonomi, bahasa dan
budaya – ke arah yang jauh lebih baik.
Cerminan di atas dimaksudkan agar dapat menjadi refleksi untuk terus berusaha
membebaskan ilmu akuntansi dari balutan sekularisme dalam rangka mewujudkan akuntansi
di masa depan yang lebih holistik dan religius. Beratnya rintangan yang ada seharusnya justru

3
membuat ide-ide ini harus lebih sering digaungkan, sebagaimana kisah perjuangan Pangeran
Diponegoro yang sebenarnya sudah “menyadari” bahwa bukan dirinya lah yang akan menang
di medan peperangan namun. Mental ini perlu untuk bahwa menyadari sejatinya kekalahan
yang ksatria adalah bentuk kemenangan. Mengutip Ari Kamayanti dalam halaman wordpress-
nya:
“Kita tidak akan pernah tahu, berapa orang yang kemudian belajar dan dipantik semangat
juangnya dari “kekalahan” yang sejatinya merupakan kemenangan. Pada akhirnya
“kekalahan” Diponegoro adalah kemenangan kita semua. Merupakan sebuah kemenangan
saat kita mampu belajar bahwa perjuangan itu berat, bahwa perjuangan butuh kebersamaan,
dan juga merupakan kemenangan untuk menyadari bahwa perjuangan menghasilkan
semakin banyak pejuang: gugur satu tumbuh seribu.”

Kata pejuang dalam kalimat di atas dapat dimaknai sebagai pemikir-pemikir baru di
bidang akuntansi.,

Anda mungkin juga menyukai