Tugas Paper Hukum Ling Bu Lita
Tugas Paper Hukum Ling Bu Lita
Dosen Pengampu :
Disusun Oleh:
PENDAHULUAN
2. Untuk memperoleh informasi mengenai kondisi sampah popok sekali pakai sebagai salah
satu pemicu pencemaran lingkungan.
3. Untuk mengetahui upaya mengurangi sampah popok sekali pakai.
1.2.2. Sasaran
1. Teridentifikasinya bahan-bahan berbahaya di dalam popok sekali pakai.
2. Teridentifikasinya kondisi sampah popok sekali pakai sebagai salah satu pemicu pencemaran
lingkungan.
3. Teridentifikasinya upaya mengurangi sampah popok sekali pakai.
BAB II
PEMBAHASAN
Revolusi popok terjadi ketika muncul popok sekali pakai (disposable diapers). Pada 1942,
sebuah perusahaan kertas di Swedia, Paulistrom, menciptakan popok sekali pakai pertama,
terbuat dari lembaran tisu yang dimasukkan ke dalam celana karet. Empat tahun kemudian
Marion Donovan, seorang ibu rumahtangga asal Connecticut, AS, membuat popok anti-air dari
lembaran plastik yang biasa dipakai untuk tirai kamar mandi. Upayanya bermula dari
kerepotannya karena kerap kali harus mengganti popok bayinya. Buah dari usahanya, Marion
mendapat empat hak paten atas temuannya, termasuk penggunaan kancing plastik yang lebih
aman sebagai pengganti peniti.
Pada 1950-an, banyak perusahaan ikut bermain dalam industri popok. Procter & Gamble (P&G)
mulai serius mendalami popok. Penelitian dilakukan tahun 1956. Tiga tahun kemudian Victor
Mills –ilmuwan perusahaan yang ikut dalam proyek bernama p-57– berhasil mengembangkan
popok modern, yang kemudian diberi merek Pampers. Produk ini mulai dipasarkan dua tahun
kemudian. Pampers kemudian menjadi nama yang sering dipakai untuk menyebut popok sekali
pakai.
Tapi P&G bukanlah satu-satunya yang memproduksi popok sekali pakai. Ada Kimberly Clark,
misalnya, yang mengeluarkan produk Huggies. Persaingan ketat pun tak terelakkan. Perseteruan
antara Pampers (P&G) dan Huggies (Kimberly Clark) “membuat harga murah dan perubahan
drastis pada desain popok,” tulis Leah Leverich dalam Cloth Diapers.
Di Indonesia, penggunaan popok sekali pakai dimulai pada 1980-an. Umumnya, dipakai bayi-
bayi dari kalangan ekspatriat. Baru pada 1990-an, penggunaannya meluas. Ia jadi pilihan karena
lebih praktis. Si buah hati bisa diajak jalan ke mana-mana. Si ibu atau pengasuh tak perlu repot-
repot mengganti popok setiap kali si kecil ngompol –dan mencucinya. Tak perlu khawatir sofa
atau kasur jadi kotor. Juga tak perlu repot membersihkan ceceran pipisnya di lantai.
Penggunaan popok sekali pakai menjadi tren. Tapi, sejumlah ibu punya pertimbangan lain untuk
tak memilihnya. Harga popok sekali pakai jauh lebih mahal ketimbang popok kain. Popok sekali
pakai juga membuat kulit bayi merah, lecet, alergi, atau bahkan bengkak. Kulit bayi juga lebih
rentan terhadap jamur. “Keadaan kulitnya belum sebagus kita,” ujar dr. Wibisono, praktisi
kesehatan asal Tangerang. Selain itu, pemakaian popok ini menyebabkan anak tak peka terhadap
sinyal tubuh akan keperluan membuang hajat. Si kecil juga agak kesulitan untuk membiasakan
diri buang air di toilet (potty training). Tak kalah penting, alasan kelestarian lingkungan karena
popok sekali pakai umumnya mengandung unsur plastik dan bahan kimia.
Popok kain juga mengalami evolusi, yang disesuaikan dengan kebutuhan orangtua modern.
Sudah lebih praktis, tak seperti popok kain zaman dulu. Jenisnya pun beragam. Ada popok kain
yang bisa menahan pipis si kecil agar tak tembus dan berceceran ke mana-mana seperti
jenis prefold, diaper cover, pocket diaper, atau fitted diaper. Berdasarkan peruntukannya pun
popok berbeda-beda, berjenjang menurut usia dan kebutuhan. Jenis pull ups pants, misalnya,
cocok untuk bayi yang sudah bisa lari ke mana-mana. …………………
2.3 …………
PENUTUP
1. nnnnnn
2. nnnnnnnnnnnn
3. nnnnnnnnnnn
DAFTAR PUSTAKA
www.diaperjungle.com