Anda di halaman 1dari 16

LATAR BELAKANG

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2015 tentang Kode dan
Data Wilayah Administrasi Pemerintahan, secara administratif wilayah Sulawesi
Tengah terbagi atas 12 wilayah kabupaten dan 1 kota. Wilayah tersebut meliputi
1.842 desa dan 175 kelurahan.1 Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) ditinjau
jumlah penduduk Sulawesi Tengah pada tahun 2017 penduduk Sulawesi Tengah
mencapai 2,96 juta jiwa.. Ditinjau berdasarkan status pekerjaannya ada sebesar
22,81 persen yang berusaha sendiri tanpa bantuan orang lain, sementara dengan
status buruh/karyawan sebesar 28,41 persen dan sebagai pekerja keluarga (pekerja
tak dibayar) sebesar 15,46 persen. Makanan dan minuman jadi, padi-padian,
rokok, dan ikan adalah kelompok makanan yang paling banyak dikonsumsi
penduduk Sulawesi Tengah pada tahun 2017 dengan proporsi berturut-turut adalah
28,70 persen, 15,24 persen, 14,23 persen, dan 10,14 persen. Sedangkan untuk
kelompok non makanan yang paling banyak dihabiskan antara lain untuk
pengeluaran perumahan dan fasilitas rumah (49,86 persen), aneka barang dan jasa
(20,69 persen), dan barang tahan lama (12,76 persen).2
Besarnya daya beli rumah tangga dan harga pangan di suatu daerah akan
mempengaruhi ketersediaan pangan di daerah itu. Selanjutnya ketersediaan
pangan akan berdampak pula pada kecukupan gizi masyarakat. Tingkat kecukupan
gizi yang mencakup konsumsi kalori dan protein merupakan salah satu indikator
yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduk. Angka
Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan adalah suatu kecukupan rata-rata zat gizi
setiap hari bagi semua orang menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran
tubuh, aktivitas tubuh untuk mencapai derajat kesehatan optimal. 2
Menurut Data World Health Organization (WHO) tahun 2002
menyebutkan penyebab kematian balita urutan pertama disebabkan gizi buruk
dengan angka 54 persen. Pengelompokan prevalensi gizi kurang berdasarkan
WHO, Indonesia tahun 2004 tergolong negara dengan status kekurangan gizi yang
tinggi karena 5.119.935 (atau 28,47 persen) dari 17.983 balita Indonesia termasuk
kelompok gizi kurang dan gizi buruk.3 Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan
Provinsi Sulawesi Tengah tahun 2017, jumlah kasus gizi buruk yang ditemukan
sebanyak 479 kasus. Trend kasus gizi buruk di Provinsi Sulawesi Tengah yang
dilaporkan antara tahun 2011 (473 kasus) sampai 2012 meningkat menjadi 657
kasus. Namun pada tahun 2013 jumlah kasus gizi buruk menurun menjadi 442
kasus. Tahun 2014 sampai tahun 2015 jumlah kasus gizi buruk meningkat lagi
menjadi 521 pada tahun 2014 dan tahun 2015 berjumlah 569 kasus dan tahun
2016 kasus gizi buruk berjumlah sebanyak 463 kasus.1
Ada 3 (tiga) kabupaten yang tertinggi jumlah kasus gizi buruk tingkat
Provinsi Sulawesi Tengah tahun 2017 yaitu Kabupaten Donggala (131 kasus),
Kabupaten Tojounauna (53 kasus), Kabupaten Toli-Toli (57 Kasus) dan Kota Palu
(53 kasus) sedangkan kabupaten yang jumlah kasusnya terendah ada 3 kabupaten
di antaranya Kabupaten Banggai laut (6 kasus), Kabupaten Morowali Utara (8
kasus) dan kabupaten Morowali (9 kasus) dari kegiatan pembinaan gizi
masyarakat seperti program sistem kewaspadaan pangan dan gizi berupa
penanganan kasus gizi buruk dan pelacakan kasus atau sweping Balita bersama
tim Perkesmas Kabupaten/Kota.1
Provinsi Sulawesi Tengah merupakan salah satu provinsi daerah rawan
dengan prioritas 3. Daerah rawan pangan yang dikategorikan sebagai daerah
tertinggal paling banyak terdapat di Provinsi Sulawesi Tengah yaitu sebanyak 7
(tujuh) daerah. Dari jumlah tersebut diketahui bahwa sebanyak 5 (lima) daerah
tertinggal merupakan daerah rawan pangan prioritas 3 dan sebanyak 2 (dua)
daerah lainnya merupakan daerah rawan pangan prioritas 4. Sebagian kecil daerah
tertinggal di Wilayah Sulawesi dikategorikan dalam daerah rawan pangan prioritas
5. Berdasarkan kondisi tersebut, maka dapat diketahui bahwa sebagian besar
daerah tertinggal yang berada di Wilayah Sulawesi memiliki tingkat kerawanan
terhadap pangan sedang dan rendah yang didominasi oleh Provinsi Sulawesi
Tengah. Kabupaten Tojo Una-una, Donggala, Banggai Kepulauan, Buol, dan Toli-
toli merupakan daerah rawan pangan yang dikategorikan sebagai daerah tertinggal
di Wilayah Sulawesi Tahun 2015.4
Pola makan pada balita sangat berperan penting dalam proses
pertumbuhan pada balita, karena dalam makanan banyak mengandung gizi. Gizi
menjadi bagian yang sangat penting dalam pertumbuhan. Gizi di dalamnya
memiliki keterkaitan yang sangat erat hubungannya dengan kesehatan dan
kecerdasan. Jika pola makan tidak tercapai dengan baik pada balita maka
pertumbuhan balita akan terganggu, tubuh kurus, pendek bahkan bisa terjadi gizi
buruk pada balita.5
Dasar dari kebiasaan pangan dicirikan dalam suatu sistem nilai seseorang
dalam memilih makanan yang boleh dikonsumsi dan tidak boleh dikonsumsi.
Sistem nilai tersebut pada dasarnya berasal dari tiga sumber kebenaran yang
dipercayai yaitu Agama dan kepercayaan kepada Tuhan, Adat-adat yang berasal
dari moyang, Pengetahuan yang diperoleh dari proses pendidikan formal. Selain
itu, sistem nilai tersebut disosialisasikan dalam keluarga dan dalam pendidikan
informal melalui media masa.6
Masalah gizi kurang sangat erat hubungannya dengan kualitas dan
kuantitas pangan yang dikonsumsi.7 Faktor yang sangat menentukan kualitas
pangan adalah tingkat pendapatan. Selain tingkat pendapatan, faktor sosial budaya
termasuk tabu atau pantangan makanan secara tidak langsung dapat menyebabkan
timbulnya masalah gizi kurang. Jika ditinjau dari konteks gizi, bahan pangan yang
dipantang tersebut seringkali justru mengandung zat gizi yang baik untuk
pertumbuhan.8
Anak balita merupakan kelompok anggota rumahtangga yang paling
rentan terhadap kemungkinan kurang gizi. Kondisi balita sangat peka terhadap
jumlah asupan dan jenis pangan yang dikonsumsi. Anak yang paling kecil
biasanya yang paling terpengaruh oleh kekurangan pangan, karena anak-anak
yang paling kecil umumnya makan lebih lambat dan dalam jumlah yang kecil
dibandingkan anggota rumahtangga yang lain, sehingga memperoleh bagian yang
terkecil dan tidak mencukupi kebutuhan gizi anak yang sedang tumbuh. 8
Menurut hasil penelitian, penderita KEP cenderung lebih banyak dan parah
di lingkungan rumahtangga yang hidup dalam kemiskinan dan rawan pangan.9
Umumnya rumahtangga ini memiliki daya beli kurang, jumlah anak banyak
disertai tingkat pengetahuan yang rendah, sehingga kekurangan pangan yang
dialaminya bersifat kronis dan pada akhirnya mengakibatkan KEP pada anak-anak
mereka. Tetapi penelitian yang dilakukan oleh Sanjaya et al. (1999) di Jawa Barat,
mengenai positive deviance (penyimpangan positif) status gizi balita, bahwa pada
keluarga yang kondisi ekonominya rendah, faktor perawatan yang baik, akan
mampu mengoptimalkan status gizi balita. Dengan kata lain, anak-anak dengan
keadaan gizi baik juga ditemukan pada rumahtangga miskin atau yang kondisi
ekonominya rendah.10
Dengan adanya hal tersebut peneliti tertarik untuk mengetahui
karakteristik rumahtangga yang tinggal di daerah rawan pangan, pola konsumsi
pangan, adanya tabu makanan dan status gizi anak balita pada rumahtangga yang
tinggal di daerah rawan pangan pada provinsi Sulawesi Tengah.
A. TUJUAN UMUM
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
pola konsumsi pangan dan tabu makanan dengan status gizi anak balita pada
rumahtangga yang tinggal di daerah rawan pangan di Kabupaten Donggala
Provinsi Sulawesi Tengah.

B. TUJUAN KHUSUS
Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk :
1. Mengetahui karakteristik rumahtangga (umur orang tua, besar keluarga,
pendidikan orang tua, pengetahuan gizi ibu, pekerjaan orang tua dan
alokasi pengeluaran rumahtangga untuk pangan dan non pangan) dan
karakteristik balita (umur anak balita dan jenis kelamin).
2. Menganalisis tingkat kecukupan energi dan protein anak balita.
3. Mempelajari pola konsumsi pangan anak balita.
4. Mengidentifikasi tabu makanan pada anak balita.
5. Mempelajari status gizi anak balita.
6. Mempelajari hubungan karakteristik rumahtangga, tingkat kecukupan
energi dan protein serta tabu makanan pada anak balita dengan status gizi
balita.

C. MANFAAT
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu
pengetahuan tentang pola konsumsi pangan, pelayanan kesehatan dan tabu
makanan dengan status gizi anak balita, khususnya pada rumahtangga yang
tinggal di daerah rawan pangan. Informasi ini sangat bermanfaat bagi instansi
terkait (misalnya Dinas Kesehatan, Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan
sebagainya) dalam merumuskan upaya pemberdayaan masyarakat rawan pangan,
terutama dalam hal perbaikan gizi dan kesehatan. Diharapkan masyarakat dapat
memperbaiki pola konsumsi pangan, meski dalam keadaan rawan pangan.
Tabel 1 Rencana Target Capaian
No. Jenis Luaran Indikator
Capaian
1 Publikasi ilmiah di jurnal Nasional (ber-ISSN) Published
Nasional Terdaftar
2 Pemakalah dalam temu ilmiah
Lokal Terdaftar
3 Bahan Ajar Sudah Terbit
4 Luaran lainnya jika ada (Teknologi Tepat Guna,
Model/Purwarupa/Desain/Karya seni/ Rekayasa Tidak Ada
Sosial)
5 Tingkat Kesiapan Teknologi (TKT)

TINJAUAN PUSTAKA

A. Karakteristik Rumah Tangga


Keluarga adalah sekelompok orang yang tinggal atau hidup bersama
dalam satu rumah tangga dan ada ikatan darah. Berdasarkan norma keluarga
kecil bahagia dan sejahtera (NKKBS) yang dikeluarkan oleh Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), sebuah keluarga terdiri
dari ayah, ibu dan dua orang anak.11 Setiap keluarga memiliki kebiasaan yang
berbeda-beda dalam hal konsumsi pangan. Kebiasaan ini dipengaruhi oleh
karakteristik keluarga tersebut, di antaranya umur orang tua, besar keluarga,
pendidikan orang tua, pengetahuan gizi ibu, pekerjaan orang tua dan alokasi
pengeluaran rumah tangga.
1. Umur Orang Tua
Orang tua terutama ibu, cenderung kurang pengetahuan dan
pengalaman dalam merawat anak sehingga mereka umumnya merawat
anak didasarkan pada pengalaman orang tua terdahulu. Selain itu, faktor
usia muda juga cenderung menjadikan seorang ibu akan lebih
memperhatikan kepentingannya sendiri daripada kepentingan anaknya,
sehingga kuantitas dan kualitas perawatan kurang terpenuhi. Sebaliknya,
ibu yang lebih berumur cenderung akan menerima perannya dengan
sepenuh hati.12
2. Pendidikan Orang Tua
Salah satu faktor sosial ekonomi yang ikut memengaruhi tumbuh
kembang anak adalah pendidikan.13 Pendidikan yang tinggi diharapkan
sampai kepada perubahan tingkah laku yang baik). 9 Tingkat pendidikan
yang rendah mempunyai konsekuensi terhadap rendahnya kemampuan
ekonomi dan pengetahuan gizi. Tingkat pendidikan yang rendah
mengurangi peluang untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang
relatif tinggi, sehingga kemampuan untuk menyediakan pangan dengan
kualitas dan kuantitas yang cukup juga terbatas, apalagi dengan tingkat
pengetahuan gizi yang rendah.13
Tingkat pendidikan ibu berhubungan dengan perbaikan pola
konsumsi pangan. Tingkat pendidikan ibu lebih berpengaruh terhadap
perbaikan konsumsi anggota keluarga, khususnya anak-anak, daripada
tingkat pendidikan ayah.14 Menurut Engle (1995), tingkat pendidikan dan
pengetahuan gizi mempunyai hubungan positif yang kuat dengan
kesehatan anak dan gizi, terutama tingkat pendidikan dan pengetahuan gizi
ibu. Oleh karena itu, peningkatan dan pengetahuan gizi ibu berdampak
pada perbaikan gizi anak.15
Pendidikan gizi diperlukan karena kenyataan menunjukkan bahwa
suatu keadaan kesehatan tidaklah dipengaruhi oleh hanya satu faktor
diantara berbagai faktor yang ada, faktor perilaku manusia memegang
peranan penting. Pendidikan gizi bukan hanya memberikan informasi gizi
secara formal tetapi merupakan kumpulan pengalaman dimana saja dan
kapan saja, sepanjang dapat memengaruhi pengetahuan, sikap dan
kebiasaan agar individu, kelompok atau masyarakat dapat memperbaiki
sikap dan tingkah lakunya.15
Dalam hal tingkat pendidikan ibu yang kurang sebagai penyebab
terjadinya anak balita stunting, hasil analisis ini mendukung penelitian
Moestue et al. (2008) di Vietnam dan India, yang menyimpulkan bahwa
tingkat pendidikan ibu berefek positif terhadap status gizi anak-anaknya di
negara-negara berkembang. Bahkan, tingkat pendidikan seseorang,
tetangga atau ibu yang dekat dengan ibunya secara langsung atau tidak
langsung juga dapat memberikan efek positif pada status gizi anak.
Seseorang dengan tingkat pendidikan yang lebih baik, relatif akan lebih
mudah juga memahami pengetahuan yang didapat dan mempraktikkan
dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam bidang gizi.16
3. Pekerjaan Orang Tua
Tingkat pendapatan seseorang akan berpengaruh terhadap jenis
dan jumlah bahan pangan yang dikonsumsinya. Sesuai dengan hukum
Bennet, semakin tinggi pendapatan maka kualitas bahan pangan yang
dikonsumsi pun semakin baik yang tercermin dari perubahan pembelian
bahan pangan yang harganya murah menjadi bahan pangan yang
harganya lebih mahal dengan kualitas yang lebih baik. Sebaliknya,
rendahnya pendapatan yang dimiliki oleh seseorang akan mengakibatkan
terjadinya perubahan kebiasaan makan yang tercermin dari pengurangan
frekuensi makan dari 3 kali menjadi 2 kali dalam sehari. Selain itu,
masyarakat berpendapatan rendah juga akan mengonsumsi pangan dalam
jumlah dan jenis yang beragam untuk memenuhi kebutuhan gizi yang
seimbang seperti mengonsumsi tahu dan tempe sebagai pengganti
daging.17
B. Pola Asuh Makan Balita
Pada suatu keluarga, biasanya ibu yang bertanggung jawab
terhadap makanan keluarga, sehingga dengan meningkatnya
pengetahuan gizi yang dimiliki ibu, diharapkan semakin tinggi pula
kemampuan ibu dalam memilih dan merencanakan makanan dengan
ragam dan kombinasi yang tepat sesuai dengan syarat-syarat gizi.18
Mengasuh anak maksudnya adalah mendidik dan memelihara
anak itu, mengurus makan, minum, pakaiannya, dan keberhasilannya
dalam periode yang pertama sampai dewasa. Dengan pengertian diatas
dapatlah dipahami bahwa pengasuhan anak yang dimaksud adalah
kepemimpinan, bimbingan, yang dilakukan terhadap anak berkaitan
dengan kepentingan hidupnya. Orang tua memiliki peran penting dalam
perawatan anak. Tidak semua orang tua, terutama ayah dapat berlatih
peduli anak dengan cara yang tepat dan memadai. 19
Pola asuh makan pada bayi meliputi pemberian gizi yang cukup
dan seimbang melalui pemberian ASI dan MPASI. Pada bayi pemberian
ASI dan MPASI yang tidak benar ditengarai sebagai penyebab tingginya
angka kesakitan dan gizi kurang. Manfaat ASI untuk pertumbuhan dan
perkembangan bayi sudah dibuktikan secara akurat yaitu untuk imunitas
tubuh, ekonomis, psikologis, praktis dan lain-lain. Pemberian ASI secara
eksklusif yaitu pemberian ASI saja tanpa makanan lain
direkomendasikan selama 6 bulan. Sedangkan MPASI direkomendasikan
setelah usia bayi 6 bulan seiring dengan bertambahnya kebutuhan gizi
bayi dan menurunnya produksi ASI.20 Pemenuhan kebutuhan gizi bayi 0-
6 bulan mutlak diperoleh melalui Air Susu Ibu bagi bayi dengan ASI
eksklusif .21
C. Status Gizi
Status gizi adalah keadaan gizi seseorang yang dapat dinilai
untuk mengetahui apakah seseorang normal atau bermasalah (gizi salah).
Gizi salah adalah gangguan kesehatan yang disebabkan oleh kekurangan
atau kelebihan dan atau ketidakseimbangan zat gizi yang diperlukan
untuk pertumbuhan, kecerdasan, dan aktivitas atau produktivitas.22
Status gizi menggambarkan keadaan kesehatan tubuh seseorang
atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan,
dan penggunaan zat gizi makanan. Dengan menilai status gizi seseorang
atau sekelompok orang, maka dapat diketahui baik atau buruk status
gizinya.23 Faktor gizi yang memengaruhi status gizi secara langsung yaitu
konsumsi pangan dan keadaan kesehatan.24
Anak-anak balita adalah kelompok usia yang paling sering
menderita gizi buruk dan penyakit rawan, karena asumsi saat ini adalah
transisi dari makanan bayi ke makanan orang dewasa, anak-anak balita
belum mampu untuk mengurus dirinya sendiri, termasuk makanan, dan
biasanya sudah memiliki balita atau lebih muda ibunya bekerja penuh
sehingga perhatiannya telah berkurang. Efek dari gizi buruk pada
perkembangan mental dan otak tergantung pada tingkat keparahan,
durasi dan waktu pertumbuhan otak itu sendiri. masalah gizi adalah
sangat kompleks dan memiliki dimensi yang sangat luas, tidak hanya
tentang aspek kesehatan tetapi juga mencakup isu-isu sosial,
ekonomi, budaya, pendidikan, pendidikan, lingkungan dan perilaku .25
Usia balita merupakan masa dimana proses pertumbuhan dan
perkembangan terjadi sangat pesat. Pada masa ini balita membutuhkan
asupan zat gizi yang cukup dalam jumlah dan kualitas yang lebih
banyak, karena pada umumnya aktivitas fisik yang cukup tinggi dan
masih dalam proses belajar. Apabila intake zat gizi tidak terpenuhi
maka pertumbuhan fisik dan intelektualitas balita akan mengalami
gangguan, yang akhirnya akan menyebabkan mereka menjadi generasi
yang hilang (lost generation) dan dampak yang luas negara akan
kehilangan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas.26
Status gizi balita dapat mencerminkan keadaan status gizi
masyarakat.27 Bayi sampai anak berusia lima tahun (balita) dalam ilmu
gizi dikelompokkan sebagai golongan yang rawan terhadap kekurangan
gizi, termasuk kekurangan energi protein (KEP). KEP adalah salah satu
masalah gizi kurang akibat konsumsi pangan yang tidak cukup menjadi
energi dan protein serta karena gangguan kesehatan. Anak balita yang
mengalami KEP salah satunya disebabkan oleh kurangnya kepedulian
ibu dalam merawat anak. Status gizi balita sangat dipengaruhi oleh
lingkungan sosial terdekat. Selain itu peran keluarga sangat besar dalam
membentuk kepribadian anak.15 Pola pendidikan yang tepat yang
diterapkan oleh orang tua akan sangat membantu anak dalam
menghadapi kondisi lingkungan pada masa yang akan datang. Orang tua
merupakan sepenuhnya pada anak hingga remaja. 28
Status gizi dapat dinilai dengan empat cara, yaitu konsumsi
pangan, antropometri, biokimia dan klinis.23 Indikator yang digunakan
tergantung pada waktu, biaya, tenaga, dan tingkat ketelitian penelitian
yang diinginkan, serta banyaknya orang yang akan dinilai status gizinya.
Antropometri merupakan metode pengukuran status gizi secara langsung
yang umum digunakan untuk mengukur dua masalah gizi utama di
dunia, yaitu masalah gizi buruk (terutama pada anak-anak dan wanita
hamil) dan masalah gizi lebih pada semua kelompok umur.29
D. Tabu Makanan
Pantangan atau tabu makanan adalah suatu larangan untuk mengonsumsi jenis
makanan tertentu, karena terdapat ancaman budaya atau hukuman terhadap
barangsiapa yang melanggarnya. Dalam ancaman ini, ada kekuatan supranatural dan
mistik yang akan menghukum mereka yang melanggar aturan ini atau. 30 Setiap
konsumen pasti memiliki kriteria pangan. Kriteria ini dapat diubah dan dipelajari
sejak kecil. Fisiologi, perasaan, dan sikap terintegrasi membentuk preferensi terhadap
pangan dan akhirnya membentuk perilaku konsumsi pangan. Penelitian Drewnowski
& Hann (1999) menyatakan bahwa variabel demografi memiliki pengaruh terhadap
preferensi pangan termasuk umur, jenis kelamin, status kesehatan, suku, pendidikan
dan pendapatan.31
Tabu berasal dari Polynesia yang berarti suatu larangan yang ditujukan
terhadap makanan tertentu atau benda tertentu yang tidak boleh disentuh atau
dimakan. Larangan biasanya karena tradisi. Pantangan atau tabu makanan merupakan
sesuatu yang diwariskan dari leluhur melalui orang tua, terus ke generasi-generasi
yang akan datang. Orang tidak lagi mengetahui kapan suatu pantangan dimulai dan
apa sebabnya. Orang yang menganut suatu pantangan biasanya percaya bahwa bila
pantangan itu dilanggar akan memberikan akibat merugikan yang dianggap sebagai
suatu hukuman. Pada kenyataannya hukuman ini tidak selalu terjadi, bahkan
seringkali tidak terjadi sama sekali.32
Pantangan atau tabu makan jenis makanan tertentu hampir berlaku di semua
daerah di Indonesia. Pantangan makan jenis makanan tertentu biasanya dilakukan
oleh para wanita dan mencakup anak-anak yang ada di bawah asuhannya. Pantangan
ini sering dikaitkan dengan masalah kesehatan dan dipelihara secara turun temurun
dari leluhur ke kakek dan nenek, terus ke orang tua, anak-anak dan seterusnya ke
generasi-generasi yang akan datang. Pantangan ini biasanya diikuti dengan ketat,
tetapi ada pula yang goyah dan berubah bahkan dihilangkan. Pantangan yang dikuti
dengan ketat adalah pantangan makan makanan yang dilarang agama. Dari sudut
ilmu gizi, pantangan makan jenis makanan tertentu dapat dikategorikan kedalam tiga
kelompok, yaitu:9
a. Haram menurut agama yaitu pantangan yang tak boleh dipersoalkan lagi dan harus
diterima tanpa perdebatan.
b. Pantangan makan jenis makanan tertentu yang tidak berdasarkan agama
(kepercayaan), jenis pantangan ini sebaiknya dihapuskan, kalau jelas-jelas merugikan
kondisi kesehatan gizi.
c. Pantangan yang tidak jelas akibatnya terhadap kesehatan dan kondisi gizi, sebaiknya
diteliti (observasi) terus untuk melihat akibatnya dalam jangka panjang sebagai
bahan pertimbangan.
Di masyarakat, setiap kelompok mempunyai suatu pola tersendiri dalam
memperoleh, menggunakan, dan menilai makanan yang akan merupakan ciri
kebudayaan dari kelompok masing-masing. Umumnya masyarakat memberikan definisi
tertentu tentang arti makanan seperti: ada jenis makanan untuk dijual dan lainnya untuk
dimakan di rumah, ada jenis makanan untuk orang kaya dan ada yang untuk orang
miskin, ada yang untuk pesta, untuk wanita, anak-anak, orang tua dan orang sakit, ada
jenis makanan yang tidak diperbolehkan untuk orang-orang tertentu.33
Kepercayaan masyarakat menjalankan pantangan berdasarkan budaya merupakan
perwujudan masyarakat yang memandang sebuah kepedulian orang tua terhadap
keturunannya yaitu anak cucu sebagai generasi penerus keluarga. Pantangan atau
larangan merupakan cara orang tua di masa lalu dalam mempertahankan nilai-nilai
tradisional yang merupakan warisan budaya dari suatu generasi yang lebih tua ke
generasi berikutnya. Kebiasaan di masa lalu, anak sebagai generasi muda akan lebih takut
pada hal-hal gaib yang belum tentu terjadi atau kebenarannya ketimbang pada hal-hal
yang nampak nyata. Memang ada sisi negatif dan positif, baik dan buruknya menjalankan
pantangan-pantangan yang dilandasi kepercayaan tradisional.34

METODE
A. Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian
Desain penelitian ini adalah cross sectional study. Subjek penelitian ini adalah
balita (7-59 bulan) yang diperoleh dari data primer. Populasi target dalam penelitian ini
adalah semua balita di Kabupaten Donggala. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan
Januari-Juni 2020.
B. Pemilihan dan Jumlah Responden
Pemilihan responden dilakukan secara purposif, dengan kriteria keluarga lengkap
atau utuh yang tinggal dalam rumah tangga yang sama, mempunyai anak balita dan
bersedia untuk dijadikan responden. Sampel berjumlah 88 responden yang memiliki
balita pada setiap rumah tangga. Perhitungan besar responden dengan menggunakan
rumus (Lemeshow, 1997) sebagai berikut:

Keterangan:
n = jumlah responden minimal
Z = derajat kepercayaan (1.96)
p = proporsi anak stunting di Sulawesi Tengah (37%=0.37) (Riskesdas
2013)
q = 1-p (proporsi anak tidak stunting) d = limit eror (0.1)
C. Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Data penunjang yang di
dapat dari Puskesmas. Data primer mencakup karakteristik rumah tangga, karakteristik
balita, pola asuh makan balita, dan status gizi balita. Data karakteristik rumah tangga
terdiri dari umur orang tua, besar keluarga, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua dan
pengeluaran rumah tangga. Pengeluaran rumah tangga meliputi pengeluaran pangan dan
non pangan. Karakteristik balita mencakup umur, jenis kelamin, berat badan dan tinggi
badan. Data karakteristik subjek dan karakteristik sosial budaya dikumpulkan melalui
wawancara kepada orang tua responden (ibu balita). Data antropometri meliputi berat
badan dan tinggi badan diperoleh dengan pengukuran langsung oleh enumerator. Data
konsumsi pangan diperoleh dengan metode Food Frequencies Questionnaire
(FFQ) konsumsi pangan rumah tangga selama sebulan terakhir. Semua data tersebut
dikumpulkan dengan cara wawancara menggunakan kuesioner yang telah dipersiapkan
terlebih dahulu. Data sekunder adalah data tentang keadaan umum geografis,
karakteristik demografi dan sosial ekonomi masyarakat yang diperoleh dari kantor
kecamatan masing-masing lokasi penelitian.
Definisi Operasional

Anak balita adalah anak laki-laki atau perempuan berusia antara 7-59 bulan.
Pengeluaran rumah tangga. Jumlah uang yang di belanjakan oleh keluarga untuk pengeluaran
pangan dan pengeluaran non pangan per bulan dinyatakan dalam rupiah.
Pola asuh makan. pemberian ASI baduta oleh ibu, pemberian makanan dan minuman pertama
kali oleh baduta yang diberikan oleh ibu, serta pemberian makanan tambahan baduta yang
diberikan oleh ibu.
Kriteria makan adalah makanan tertentu yang diterima oleh baduta berdasarkan pemahaman
budaya atau adat yang dianut oleh ibu.
Sosial budaya adalah tata nilai yang berlaku dalam sebuah masyarakat dan menjadi ciri khas
dari masyarakat tersebut yang kemudian dinilai dengan memerhatikan makanan tabu serta
kebiasaan makan dan perilaku yang dianggap sesuai dan berdasarkan aturan suku.
Tabu makanan. Perilaku masyarakat dalam bentuk menerima dan penolakan makanan terhadap
makanan jenis tertentu karena alasan budaya atau adat atau pun alasan lain.

JADWAL PELAKSANAAN PENELITIAN

Nama Bulan
No.
Kegiatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Survey lokasi
penelitian
1. dan √
pengambilan
data awal
Pembagian
wilayah
2 penelitian √
untuk
enumerator
Pelatihan
3 √
enumerator
4 Penelitian √ √ √ √ √ √
Pengumpulan
5 data √
penelitian
Pengolahan
6 data √
penelitian
Penyusunan
7 laporan hasil √ √
penelitian
Pelaporan
8 hasil √
penelitian

DAFTAR PUSTAKA

1. Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah. 2017. Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi
Tengah. Sulawesi Tengah: Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah.
2. Badan Pusat Statistik. 2018. Provinsi Sulawesi Tengah Dalam Angka. Badan Pusat Statistik
Provinsi Sulawesi Tengah.
3. [WHO] World Health Organization. 2002. The World Health Report: Reducing Risks,
Promoting Healthy Life. Geneva. WHO Press.
4. Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan, dan Informasi. 2015. Daerah
Rawan Pangan. Pusat Data dan Informasi.
5. Purwani, E. 2013. Pola Pemberian Makan dengan Status Gizi Anak Usia 1-5 Tahun Di
Kabunan Taman Pemalang. Jurnal Keperawatan Anak. Volume 1(1).
6. Nikmawati, EE. 1999. Pola Konsumsi Pangan, Kecukupan dan Status Gizi yang berhubungan
dengan Kebiasaan Makan Singkong di Masyarakat Cireundeu, Cimahi, Jawa Barat. Thesis
Program Pasca Sarjana, IPB, Bogor.
7. Berg A. 1986. Peranan Gizi dalam Pembangunan Nasional. Zahara DM. Jakarta: CV Rajawali.
Terjemahan dari: The Nutrition Factor, It’s Role in National Development.
8. Fauziah, D. 2009. Pola Konsumsi Pangan dan Status Gizi Anak Balita yang Tinggal Di
Daerah Rawan Pangan Di Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah. Departemen Gizi
Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor.
9. Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut
Pertanian Bogor.
10. Sanjaya et al. 1999. Penyimpangan positif (positive deviance) status gizi anak balita dan
faktor-faktor yang berpengaruh. Bogor: Puslitbang Gizi.
11. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2000. Indikator Kesejahteraan Rakyat. Jakarta: BPS.
12. Gabriel A. 2008. Perilaku Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) serta Hidup Bersih dan Sehat Ibu
Kaitannya dengan Status Gizi dan Kesehatan Balita di Desa Cikarawang, Bogor. [Skripsi].
Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
13. Supariasa B, Bakri, I Fajar. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Penerbit Encourage
Creativity (EGC).
14. Sanjur D. 1982. Social and Cultural Perspective in Nutrition. New York: Prentice- Hall Inc.,
Engelwood Cliffs.
15. Engle PL. 1995. Child Caregiving and Infant and Preschool Nutrition. In Child Growth and
Nutrition in Developing Countries, Priorities for Action. Ithaca and London : Cornell
University Press.
16. Moestue H, Huttly S. Adult Education and Child Nutrition: The Role of Family and
Community. Journal Epidemiology Community Health. 62(2): 153-9.
17. Martianto D, Ariani M. 2004. Analisis perubahan konsumsi dan pola konsumsi pangan
masyarakat dalam dekade terakhir. Dalam Soekirman et al., editor. Widyakarya Nasional
Pangan dan Gizi VIII Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan
Globalisasi”Jakarta17-19Mei. 2004. Jakarta : LIPI.
18. Santoso S, Ranti SL. 2009. Kesehatan dan Gizi. Jakarta: Rineka Cipta.
19. Briawan D, Tin H. 2008. Peran Stimulasi Orangtua Terhadap Perkembangan Anak Balita
Keluarga Miskin. Jurnal Gizi dan Pangan. 1(1): 63-76.
20. Ashar T, Zulhaida L, Evawany A. 2008. Analisis Pola Asuh Makan dan Status Gizi Pada Bayi
di Kelurahan PB Selayang Medan. Jurnal Penelitian Rekayasa. 1 (2): 66-73.
21. Butte NF, DH Calloway, JL Van Duzen. 2002. Nutritional Assessment of Pregnant and
Lactating Navajo Woman. American Journal Clinic Nutrition. 34(10): 2216-2228.
22. [Depkes] Departemen Kesehatan. 2013. Laporan hasil riset kesehatan dasar Indonesia tahun
2010. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementrian Kesehatan
RI.
23. Riyadi H. 2001. Metode Penilaian Status Gizi. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
24. Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan Nasional.
25. Dahlia S. 2012. Pengaruh Pendekatan Positive Deviance terhadap Peningkatan Status Gizi
Balita. Media Gizi Masyarakat Indonesia. 2(1): 1-5.
26. Welasasih BD, R Bambang W. 2012. Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi
Balita Stunting. The Indonesian Journal of Public Health. 8 (3): 99-104.
27. Suhardjo, H Riyadi. 1990. Metode Penilaian Gizi Masyarakat. Bogor: Pusat Antar
Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.
28. Hariyadi D, Ikeu E. 2011. Analisis Pengaruh Perilaku Keluarga Sadar Gizi Terhadap Stunting
Di Propinsi Kalimantan Barat. Teknologi dan Kejuruan. 34 (1): 71-80.
29. Jellife DB, EFP Jellife. 1989. Community Nutritional Assesment with Special
Reference to Less Technically Develop Countries. New York : Oxford University
Press.
30. Susanto D. 1997. Fungsi-fungsi Sosio Budaya Makanan. Dalam Sukandar D. Makanan tabu
di Banjar, Jawa Barat. Jakarta : Jurnal Gizi dan Pangan. 1 (1): 51-56.
31. Drewnoski A & Hann C. 1999. Food Preference and Reported Frequencies of Food
Consumption as Predictors of Current Diet in Young Women. The American Journal of
Clinical Nutrition. 70(1): 28-36.
32. Sukandar D. 2007. Studi Sosial Ekonomi, Aspek Pangan, Gizi, dan Sanitasi Petani Daerah
Lahan Kering di Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat. Bogor: Departemen Gizi
Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
33. Santoso S, Ranti SL. 2009. Kesehatan dan Gizi. Jakarta: Rineka Cipta.
34. Putriana, AE. 2014. Kajian Pola Asuh Makan, Kesehatan dan Stunting pada Baduta Suku
Makassar, Bugis dan Toraja. [Tesis]. Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Anda mungkin juga menyukai