Anda di halaman 1dari 98

mo

Modul Bahan Ajar


KATA PENGANTAR

PromosiDengan
Kesehatan
memanjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
atas segala rahmat-Nya, penyusun dapat menyelesaikan modul bahan ajar mata
kuliah rehabilitasi pada lansia.

Segala sesuatu yang ada pada modul ini tentunya masih jauh dari kata sempurna,
untuk itu penyusun dengan segala kerendahan hati sangat mengharapkan saran
dan kritik dalam mendapatkan hasil yang lebih bain dikemudian hari. Penyusun
sangat mengharapkan semoga nantinya modul bahan ajar ini dapat bermanfaat
dalam pengembangan ilmu keperawatan khususnya dalam bidang rehabilitasi
pada lansia dimasa yang akan datang

2018/2019
Palembang, Februari
2019
Penyusun

P R O D I S I K E P E R A WA T A N
S T I K E S M I T R A A D I G U N A PA L E M B A N G
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
atas segala rahmat-Nya, penyusun dapat menyelesaikan modul bahan ajar mata
kuliah Promosi kesehatan.

Segala sesuatu yang ada pada modul ini tentunya masih jauh dari kata
sempurna, untuk itu penyusun dengan segala kerendahan hati sangat
mengharapkan saran dan kritik dalam mendapatkan hasil yang lebih baik
dikemudian hari. Penyusun sangat mengharapkan semoga nantinya modul bahan
ajar ini dapat bermanfaat dalam pengembangan ilmu keperawatan khususnya
dalam bidang promosi kesehatan dimasa yang akan datang.

Palembang, Agustus
2019

Penyusun
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ........................................................................................................................i


Daftar Isi ................................................................................................................................ii
Uraian Materi 1: Perspektif Keperawatan...............................................................................1
Uraian Materi 2 : Konsep Perawatan Paliatif........................................................................11
Uraian Materi 3 : Etik Dalam Perawatan..............................................................................19
Uraian Materi 4 : Kebijakan Nasional Terkait Perawatan Paliatif........................................26
Uraian Materi 5 : Teknik Meyampaikan Berita Buruk ........................................................36
Uraian Materi 6 : Prinsip Komunikasi Dalam Perawatan.....................................................38
Uraian Materi 7 : Patofisiologi Berbagai Penyakit Kronik...................................................46
Uraian Materi 8 : Patofisiologi penyakit terminal................................................................52
Uraian Materi 9 : Pengkajian Fisik dan Psikologis...............................................................65
Uraian Materi 10 : Tinjauan Agama Tentang Perawatan Paliatif..........................................79
Uraian Materi 11 : Tinjauan Sosial Budaya Tentang Perawatan Paliatif..............................90
Uraian Materi 12 : Askep Pada Pasien Terminal..................................................................93
Uraian Materi 13 : Manajemen Nyeri.................................................................................101
Uraian Materi 14 : Terapi Komplementer...........................................................................117
HANDOUT

Mata Kuliah : Promosi Kesehatan dan Pendidikan Kesehatan


Semester : VII
Pokok Bahasan : Peran perawat dalam promosi kesehatan dan pendidikan
kesehatan
Sub Pokok Bahasan : Peran perawat dalam promosi kesehatan dan pendidikan
kesehatan menurut kebijakan pemerintah tentang promosi
kesehatan
TIU : Pada akhir perkuliahan ini mahasiswa mampu
menjelaskan
Peran perawat dalam promosi kesehatan dan pendidikan
kesehatan
TIK : Pada akhir perkuliahan ini mahasiswa mampu menjelaskan
Peran perawat dalam promosi kesehatan dan pendidikan
Kesehatan

Sumber Pustaka
1. Edelmen, C L. , Mandle C L., Kudzman E. C. (2014) Health Promotion
Throughout The Life Span. 8th edition. Mosby: Elsevier Inc.
2. Rankin, S.H. & Stallings, K.D. (2005). Patient Education in Health and
Illness.5th. Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
3. Rankin, Sally H.& Stallings, Karen Duffy. (2001). Patient Education:
Principles Practice. 4th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
4. Redman, B.K. (2003). Measurement Tool in PatientEducation. 2nd Ed.
Springer Publishing Company.
PENDAHULUAN

Perawat adalah mereka yang memiliki kemampuan kewenangan


melakukan tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang dimilikinya yang
diperoleh melalui pendidikan keperawatan ( Undang-undang Kesehatan No 23.
1992 ).
Saat ini dunia keperawatan semakin berkembang. Perawat dianggap
sebagai salah satu profesi kesehatan yang harus dilibatkan dalam pencapaian
tujuan pembangunan kesehatan baik di dunia maupun di Indonesia. Saat ini
perawat memiliki peran yang lebih luas dengan penekanan pada peningkatan
kesehatan dan pencegahan penyakit, juga memandang klien secara komprehensif.
Fungsi utama perawat adalah membantu klien mencapai derajat kesehatan yang
optimal melalui layanan keperawatan. Intervensi keperawatan dilakukan dalam
upaya meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit, menyembuhkan, serta
memelihara kesehatan melalui upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif
sesuai wewenang, tanggung jawab, etika profesi keperawatan yang
memungkinkan setiap orang mencapai kemampuan hidup sehat dan produktif.
Dari penjelasan tersebut terlihat jelas bahwa peran perawat sangatlah penting
dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal.
Peran perawat yang utama meliputi pelaksanan layanan keperawatan (care
provider), pengelola (manager), pendidik (educator), dan peneliti (researcher).
Terkait dengan peran perawat sebagai pendidik, perawat dituntut mampu untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan melalui kegiatan
promosi kesehatan. Melalui promosi kesehatan perawat dapat memberikan
edukasi pada masyarakat secara luas terkait dengan masalah kesehatan.
URAIAN MATERI

A. Pengertian perawat
Perawat atau Nurse berasal dari bahasa latin yaitu dari kata Nutrix
yang berarti merawat atau memelihara.
Menurut International Council of Nurses (1965), perawat adalah
seseorang yang telah menyelesaikan program pendidikan keperawatan,
berwenang di Negara bersangkutan untuk memberikan pelayanan dan
bertanggung jawab dalam peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit
serta pelayanan terhadap pasien.
Perawat adalah seseorang yang berperan dalam merawat atau
memelihara, membantu dan melindungi seseorang karena sakit, injury dan
proses penuaan (Harlley, 1997).
Perawat adalah mereka yang memiliki kemampuan kewenangan
melakukan tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang dimilikinya yang
diperoleh melalui pendidikan keperawatan ( Undang-undang Kesehatan
No 23. 1992 ).
Perawat Profesional adalah perawat yang bertanggung jawab dan
berwewenang memberikan pelayanan keperawatan secara mandiri dan
atau berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain sesuai dengan
kewenagannya (Depkes RI, 2002 dalam Aisiyah 2004).
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 17 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor HK.0.02.02/Menkes/148/I/2010 Tentang Izin dan
Penyelenggaraan Praktik Perawat, dijelaskan bahwa perawat adalah
seseorang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam maupun
diluar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Contoh kasus :
Ada seseorang, misal A. A ini mempunyai keterampilan, dulu ia pernah
sekolah di keperawatan namun hanya sampai tingkat SMK. Meski A ini
lulusan SMK Keperawatan dan mengetahui sedikit banyak tentang
kesehatan tapi A ini tidak bisa dikatakan sebagai perawat. Karena di
Indonesia sendiri, seseorang bisa dikatakan sebagai perawat jika lulus
pendidikan keperawatan minimal lulus D3/AKPER atau S1 Keperawatan.
B. Definisi dari peran
Peran merupakan tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain
terhadap seseorang sesuai dengan kedudukan dalam system, dimana dapat
dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari profesi yang bersifat konstan.
Peran adalah aspek dinamis dari kedudukan(status). Apabila
seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan
kedudukannya, maka dia menjalankan suatu peran. (Soekanto:1990)
Contoh kasus :
A adalah seorang mahasiswa di sebuah perguruan tinggi swasta. Sebagai
seorang mahasiswa A mempunyai kewajiban untuk belajar dan
mengerjakan tugas yang diberikan. Di lain sisi A juga mempunyai hak
untuk mendapat liburan, waktu untuk konsultasi dengan dosen
pembimbing. Dalam contoh kasus diatas A melaksanakan kewajibannya
sebagai mahasiswa dan mendapatkan haknya. Sehingga bisa dikatakan A
ini telah melaksanakan perannya sebagai mahasiswa dengan baik.

C. Peran utama dari perawat


Peran perawat menurut Konsorsium Ilmu Kesehatan tahun 1989 adalah :
1. Pemberi asuhan keperawatan
Memperhatikan keadaan kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan
melalui pemberian pelayanan keperawatan dengan menggunakan
proses keperawatan, dari yang sederhana sampai dengan kompleks.
2. Advokat pasien / klien
Menginterprestasikan berbagai informasi dari pemberi pelayanan atau
informasi lain khususnya dalam pengambilan persetujuan atas tindakan
keperawatan yang diberikan kepada pasien- mempertahankan dan
melindungi hak-hak pasien.
3. Pendidik / Educator
Membantu klien dalam meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatan,
gejala penyakit bahkan tindakan yang diberikan, sehingga terjadi
perubahan perilaku dari klien setelah dilakukan pendidikan kesehatan.
4. Koordinator
Mengarahkan, merencanakan serta mengorganisasi pelayanan
kesehatan dari tim kesehatan sehingga pemberian pelayanan kesehatan
dapat terarah serta sesuai dengan kebutuhan klien.
5. Kolaborator
Peran ini dilakukan karena perawat bekerja melalui tim kesehatan yang
terdiri dari dokter, fisioterapis, ahli gizi dan lain-lain berupaya
mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang diperlukan termasuk
diskusi atau tukar pendapat dalam penentuan bentuk pelayanan
selanjutnya.
6. Konsultan
Tempat konsultasi terhadap masalah atau tindakan keperawatan yang
tepat untuk diberikan. Peran ini dilakukan atas permintaan klien
terhadap informasi tentang tujuan pelayanan keperawatan yang
diberikan.
7. Peneliti
Mengadakan perencanaan, kerja sama, perubahan yang sistematis dan
terarah sesuai dengan metode pemberian pelayanan keperawatan.

PERAN PERAWAT MENURUT HASIL LOKAKARYA KEPERAWATAN


TAHUN 1983, adalah sebagai berikut :
1. Pelaksana Pelayanan Keperawatan
2. Pendidik dalam Keperawatan
3. Pengelola pelayanan Keperawatan
Mengelola pelayanan maupun pendidikan keperawatan sesuai dengan
manajemen keperawatan dalam kerangka paradigma keperawatan.
4. Peneliti dan Pengembang pelayanan Keperawatan
5. Mengidentifikasi masalah penelitian, menerapkan prinsip dan metode
penelitian, serta memanfaatkan hasil penelitian untuk meningkatkan
mutu asuhan atau pelayanan dan pendidikan keperawatan.
Contoh Kasus :
A adalah seorang perawat di suatu rumah sakit. Dalam melaksanakan
tugasnya A mempunyai peran yang banyak, salah satunya yaitu sebagai
pelaksana pelayanan keperawatan. Maksudnya yaitu perawat memberikan
asuhan keperawatan baik secara langsung ataupun tidak langsung, baik
secara mandiri atau kerja tim. Dalam memberikan asuhan keperawatan,
perawat tidak boleh membeda-bedakan dan harus sesuai dengan standar
operasional prosedur.

D. Peran perawat dalam promosi kesehatan ditatanan sarana kesehatan,


institusi pendidikan, tempat kerja, dan tempat umum
Promosi kesehatan adalah upaya memberdayakan perorangan,
kelompok, dan masyarakat agar memelihara, meningkatkan, dan
melindungi kesehatannya melalui peningkatan pengetahuan, kemauan, dan
kemampuan serta mengembangkan iklim yang mendukung, dilakukan
dari, oleh dan untuk masyarakat sesuai dengan faktor budaya setempat.
Perawat sebagai salah satu tenaga kesehatan sangat erat kaitannya
dengan lingkungan sarana kesehatan semisal rumah sakit, puskesmas, dan
posyandu. Di lingkungan rumah sakit perawat selain berhadapan dengan
pasien yang dirawat juga berinteraksi dengan anggota keluarga yang
memerlukan informasi mendalam yang berkenaan dengan status
kesehatan. Upaya promosi kesehatan dalam hal ini, pendidikan kesehatan
sangat bermanfaat untuk meningkatkan status kesehatan pasien dan
keluarga. Hal yang dapat dilakukan pada lingkungan rumah sakit adalah
melakukan penyuluhan baik secara massal ataupun individu di rumah
sakit. Kegiatan pendidikan kesehatan maupun penyuluhan dilakukan di
sisi pasien serta keluarga secara khusus mengenai suatu penyakit dan
upaya penyelesaian masalah kesehatan yang dihadapi.
Perawat di puskesmas sebagai tenaga kesehatan, minimal dapat
berperan sebagai pemberi pelayanan kesehatan melalui asuhan
keperawatan, pendidik atau penyuluh kesehatan, penemu kasus,
penghubung dan koordinator, pelaksana konseling keperawatan dan model
peran. Dua peran perawat kesehatan komunitas yaitu sebagai pendidik dan
penyuluh kesehatan serta pelaksana konseling keperawatan kepada
individu, keluarga, kelompok dan masyarakat merupakan bagian dari
ruang lingkup promosi kesehatan. (Efendi,Makhfudi, 2009)
Di lingkungan Puskesmas upaya promosi kesehatan lebih
ditekankan daripada di rumah sakit. Sebagai contoh perawat di komunitas
menyikapi dan menindaklanjuti perilaku masayarakat bantaran sungai
yang selalu melakukan BAB di sungai sehingga mengotori dan
mencemari sungai yang menjadi sumber air bersih keperluan masyarakat
setempat. Perawat beranggapan bahwa suatu masalah kesehatan sebagai
contoh diare. Diare yang terjadi akibat tercemarnya sumber air bersih tidak
akan tuntas apabila hanya mengobati pasien di rumah sakit tanpa
memotong atau menyingkirkan penyebab utamanya. Penyebab utamanya
yaitu pencemaran serta pengkontaminasian sumber air sungai yang
menyebabkan keadaan diare pada masayarakat setempat.
Di lingkungan posyandu baik posyandu balita maupun lansia sama
halnya dengan program yang ada di puskesmas yaitu upaya promosi
kesehatan seperti penyuluhan dan upaya preventif seperti pemberian
imunisasi pada balita serta pemeriksaan kesehatan secara berkala pada
lansia yang berada di wilayah lingkungan posyandu.
Di lingkup istitusi pendidikan, peran perawat pendidik dalam
upaya promosi kesehatan tidak kalah besarnya. Dalam kurikulum bahkan
silabus yang disusun selalu ada dimasukkan pengajaran tentang simulasi
pendidikan baik setting individu, kelompok bahkan komunitas pada tahap
pendidikan akademik. Di keadaan nyata mahasiswa serta dosen
keperawatan sering kali melakukan kegiatan pengabdian masyarakat yang
umumnya juga menggambarkan upaya promosi kesehatan seperti
pendidikan kesehatan pada kelompok tertentu dan penyuluhan pada
masayarakat umum.
Di lingkungan kerja peran perawat sangat diharapkan karena
keterbatasan pengetahuan yang dimiliki para pekerja, misalkan upaya
promosi kesehatan dalam tatanan Kesehatan Keselamatan Kerja (K3).
Lingkungan pabrik yang umumnya mempunyai paparan terhadap debu,
polusi serta risiko adanya cidera sangat penting bagi perawat dalam
memberikan pemahaman baik dengan cara pendidikan kesehatan maupun
penyuluhan mengenai pemakaian Alat Pelindung Diri (APD). APD yang
mereka pakai diharapkan dapat melingdungi dari segala risiko yang
mungkin terjadi pada para pekerja.
Di tempat umum peran perawat tidak kalah penting dalam upaya
promosi kesehatan karena disana masyarakat sering berkumpul,
bercengkrama bahkan melakukan aktivitas. Beberapa contoh tempat
umum antara lain Pasar, Halte Bus, Terminal, Stasiun, Pelabuhan bahkan
Bandara yang semuanya sangat diharapkan tidak terdapat kegiatan ataupun
perilaku yang merugikan bahkan membahayakan orang lain. Merokok di
tempat umum sebagai contoh sangat dilarang karena dapat menyebabkan
polusi udara. Peran perawat untuk mensosialisasikan peraturan tentang
pelarangan kegiatan merokok di tempat umum merupakan salah satu
upaya dalam promosi kesehatan.
Contoh kasus :
Perawat A mengenakan APD (Alat Pelindung Diri) berupa masker,
handscoon, celemek, ketika melakukan asuhan keperawatan memandikan
pasien diatas tempat tidur. Dengan melakukan hal tersebut berarti perawat
telah mengupayakan Kesehatan Keselamatan Kerja (K3) dan secara tidak
langsung juga melakukan perannya ditatanan sarana kesehatan dan tempat
kerja.
E. Peran perawat dalam promosi kesehatan ditatanan organisasi
kemasyarakatan/organisasi profesi/media masa
Upaya promosi kesehatan dilakukan agar tercapai masyarakat yang sehat
dan mandiri, hal ini tidak hanya dilakukan oleh perawat maupun tenaga
kesehatan namun harus bekerja sama dengan organisasi
kemasyarakatan/LSM/organisasi profesi dan media massa yang peduli
dengan kesehatan. Kerja sama tersebut dapat berupa pemberian informasi
yang terus-menerus agar klien dapat berubah dari tidak tahu menjadi tahu
atau sadar (aspek knowledge) dari tahu menjadi mau (aspek attitude) dan
dari mau menjadi mampu melakukan perilaku yang diperkenalkan (aspek
practise).
Agar terjalin kerja sama yang baik maka peran perawat pada tatanan ini
adalah memberikan advokasi, hal ini penting untuk mendapatkan
komitmen dan dukungan dari sasaran advokasi. Pada tatanan ini umumnya
advokasi dapat beberapa tahap antara lain :
1. Menyadari adanya suatu masalah.
2. Tertarik untuk ikut mengatasi masalah.
3. Peduli terhadap pemecahan masalah dengan mempertimbangkan
beberapa alternatif pemecahan masalah.
4. Sepakat untuk memecahkan masalah dengan memilih salah satu
alternatif dan memutuskan tindak kanjut kesepakatan.
Dengan demikian advokasi harus dilakukan secara terencana, cermat dan
tepat.
Contoh kasus :
A bersama rekan-rekan relawan dan tenaga kesehatan melakukan
penyuluhan kesehatan, pendidikan kesehatan dan pemeriksaan kesehatan
gratis di daerah yang sulit dijangkau atau jauh dari tempat layanan
kesehatan.

F. Peran Perawat dalam Promosi Kesehatan ditatanan Program/Petugas


Kesehatan
Kegiatan yang dilakukan terintegrasi sesuai fungsi manajemen
meliputi perencanaan, penggerakan pelaksanaan, pengawasan
pengendalian dan penilaian, yang dilakukan diberbagai tingkat
administrasi baik dipusat, propinsi maupun kabupaten/ kota. Kegiatan
tersebut memuat strategi promosi kesehatan yaitu pemberdayaan
masyarakat, bina suasana dan advokasi.
1. Perencanaan
Pada tahap perencanaan dilakukan kegiatan sebagai berikut :
a. Pengkajian yang dimaksud untuk mendapatkan informasi tentang
besaran masalah dan penyebabnya, potensi yang dapat didayagunakan
dalam pemecahan masalah.
b. Menggalang komitmen dan dukungan dari lintas program dan sektor
dalam pelaksanaan integrasi melalui pertemuan lintas program dan
sektor terkait dalam promosi kesehatan.
c. Menyusun perencanaan integrasi promosi kesehatan dan program
kesehatan.
2. Penggerakan pelaksanaan
a. Melaksanakan integrasi promosi kesehatan dalam program
kesehatan di kabupaten/kota sesuai rencana yang telah disepakati
bersama.
b. Melaksanakan pertemuan koordinasi lintas program dan sektor
secara berkala untuk menyelaraskan kegiatan.
c. Pengawasan, pengendalian dan penilaian
Pengawasan, pengendalian dan penilaian dilakukan disetiap tahap fungsi
manajemen.
a. Pengawasan untuk melihat apakah kegiatan dilaksanakan sesuai
rencana yang telah ditetapkan.
b. Pengendalian dilakukan agar kegiatan yang telah dilaksanakan sesuai
dengan arah dan tujuan, mengantisipasi masalah/ hambatan yang
mungkin terjadi.
c. Penilaian dilakukan untuk melihat keberhasilan pelaksanaan integrasi
`pada akhir kegiatan.
d. Mendokumentasikan kegiatan integrasi, untuk bahan pembelajaran
perbaikan program integrasi mendatang.
e. Memberikan umpan balik kepada lintas program dan sektor terkait
untuk perbaikan kegiatan integrasi selanjutnya.
Kegiatan integrasi promosi kesehatan
Kegiatan yang dilakukan dalam berbagai tatanan rumah tangga, bina
suasana dan advokasi yang meliputi :
a. Integrasi promosi kesehatan dengan program KIA dan Anak
b. Integrasi promosi kesehatan dengan program gizi masyarakat
c. Integrasi promosi kesehatan dengan program lingkungan sehat
d. Integrasi promosi kesehatan dengan program jaminan pemeliharaan
kesehatan ( JPK )
e. Integrasi promosi kesehatan dengan program pencegahan dan
penanggulangan penyakit tidak menular (P2PTM).
(Pusat promosi kesehatan departemen kesehatan RI, tahun 2006)
Contoh kasus :
A bersama petugas kesehatan lainnya mempunyai rencana untuk membuat
sebuah program promosi kesehatan tentang cuci tangan yang benar di
sebuah panti. Setelah melakukan perencanaan dan persiapan yang matang
mereka menuju ke panti tersebut. Disana, perawat mulai mengajari cuci
tangan yang benar kepada warga panti. Selain mengajari cuci tangan yang
benar para perawat juga membuat beberapa tempat cuci tangan untuk
warga panti. Para perawat tinggal beberapa hari untuk memantau dan
mengawasi jalannya program tersebut, serta mengevaluasinya untuk
mengetahui perkembangan program tersebut.

G. Peran Perawat dalam Promosi Kesehatan ditatanan Lembaga


Pemerintahan/Politisi/ Swasta.
Promosi kesehatan sebagai proses mengupayakan individu dan
masyarakat untuk meningkatkan kemampuan mereka mengendalikan
faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan sehingga dapat meningkatkan
derajat kesehatannya. Perawat mempunyai peran penting dalam
meningkatakn kesehatan salah satunya bekerjasama dengan tenaga
kesehatan lain memanfaatkan dan memaksimalkan fasilitas pelayanan
kesehatan sebagai tempat untuk menyelenggarakan upaya kesehatan baik
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
Setiap indivividu memiliki kesempatan untuk mendapatkan
pelayanan yang bermutu dan aman, hal ini sejalanan dengan UU RI no. 36
Tahun 2009 yang menyatakan bahwa, setiap orang mempunyai hak dalam
memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau.
Dalam UU tersebut pasal 16 dinyatakan bahwa pemerintah bertanggung
jawab atas ketersediaan sumber daya di bidang kesehatan yang adil dan
merata bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya.
Perawat mempunyai banyak peran dimana dalam setiap perannya
bertujuan untuk mensukseskan dan mendukung program pemerintah,
antara lain mendukung dalam program :
1. Integrasi dengan Program Kesehatan Ibu dan Anak
2. Integritasi dengan program jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK).
3. Integrasi dengan Program Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit
Tidak Menular (P2PTM)
(Panduan Integrasi Promosi Kesehatan, 2006)
Sesuai dengan tujuan promosi kesehatan, pemerintah dapat peduli
dan mendukung upaya kesehatan, minimal dalam mengembangkan
lingkungan dan perilaku sehat. Selain itu, membuat kebijakan dan
peraturan perundang-undangan dengan memperhatikan dampaknya
dibidang kesehatan. Dukungan yang optimal dari berbagai pihak
seyogyanya dapat memecahkan masalah kesehatan dan dapat membantu
tenaga kesehatan terutama dalam hal promosi kesehatan. Perawat
diharapkan menjadi lini terdepan dalam upaya promosi kesehatan untuk
mempengaruhi semua sasaran yang ada.
Contoh Kasus :
A ikut serta dalam program pemerintah yang berhubungan dengan
kesehatan, missal puskesmas keliling, membantu promosi kesehatan
tentang program BPJS, dll.
HANDOUT

Mata Kuliah : Rehabilitasi Pada Lansia


Semester : VII
Pokok Bahasan : Konsep Rehabilitasi Pada Lansia
Sub Pokok Bahasan : Konsep Rehabilitasi Pada Lansia
TIU : Pada akhir perkuliahan ini mahasiswa mampu
menjelaskan
Konsep Rehabilitasi Pada Lansia
TIK : Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa mampu
menjelaskan Konsep Rehabilitasi Pada Lansia

Sumber Pustaka
1. Edelmen, C L. , Mandle C L., Kudzman E. C. (2014) Health
Promotion Throughout The Life Span. 8th edition. Mosby: Elsevier
Inc.
2. Rankin, S.H. & Stallings, K.D. (2005). Patient Education in Health and
Illness.5th. Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
3. Rankin, Sally H.& Stallings, Karen Duffy. (2001). Patient Education:
Principles Practice. 4th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins.
4. Redman, B.K. (2003). Measurement Tool in PatientEducation. 2nd Ed.
Springer Publishing Company.

PENDAHULUAN

Penuaan adalah suatu proses akumulasi dari kerusakan sel somatik yang
diawali oleh adanya disfungsi sel hingga terjadi disfungsi organ dan pada
akhirnya akan meningkatkan risiko kematian bagi seseorang. Apabila dilihat dari
sudut pandang yang lebih luas, proses penuaan merupakan suatu perubahan
progresif pada organisme yang telah mencapai kematangan intrinsik dan bersifat
irreversibel serta menunjukkan adanya kemunduran sejalan dengan waktu. Pada
hakikatnya menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti seseorang telah
melalui tiga tahap kehidupannya, yaiyu : masa kanak-kanak, masa remaja, dan
masa tua. Tiga tahap ini berbeda, baik secara biologis maupun psikologis.
Memasuki masa tua berarti mengalami kemunduran baik fisik maupun psikis.

Corak perkembangan proses penuaan bersifat lambat namun dinamis dan


bersifat individual baik secara fisiologis maupun patologis, karena banyak
dipengaruhi oleh riwayat maupun pengalaman hidup di masa lalu yang terkait
dengan faktor biologis, psikologis, spiritual, fungsional, lingkungan fisik dan
sosial. Perubahan struktur dan penurunan fungsi sistem tubuh tersebut diyakini
memberikan dampak yang signifikan terhadap gangguan homeostasis sehingga
lanjut usia mudah menderita penyakit yang terkait dengan usia misalnya: stroke,
Parkinson, dan osteoporosis dan berakhir pada kematian. Penuaan patologis dapat
menyebabkan disabilitas pada lanjut usia sebagai akibat dari trauma, penyakit
kronis, atau perubahan degeneratif yang timbul karena stres yang dialami oleh
individu. Stres tersebut dapat mempercepat penuaan dalam waktu tertentu,
selanjutnya dapat terjadi akselerasi proses degenerasi pada lanjut usia apabila
menimbulkan penyakit fisik. Oleh karena itu diperlukannya pelaksanaan program
terapi yang diperlukan suatu instrument atau parameter yang bisa digunakan untuk
mengevaluasi kondisi lansia, sehingga mudah untuk menentukan program terapi
selanjutnya. Tetapi tentunya parameter tersebut harus disesuaikan dengan kondisi
lingkungan dimana lansia itu berada, karena hal ini sangat individual sekali, dan
apabila dipaksakan justru tidak akan memperoleh hasil yang diharapkan.

URAIAN MATERI

1. Pengertian Rehabilitasi
Rehabilitasi merupakan semua tindakan yang bertujuan untuk mengurangi
dampak disability serta handicap agar individu lansia dapat berintegrasi
dalam masyarakat.
Rehabilitasi adalah aspek yang tidak dapat dipisahkan dalam pelayanan
kesehatan lansia. ( British G. Society ).
Rehabilitasi merupakan suatu proses pendidikan, yang memerlukan
kontinuitas yang langgeng.(FKUI, 2000),
Rehabilitasi medic adalah proses pelayanan kesehatan yang bertujuan
untuk mengembangkan kemampuan fungsional dan fisikologik dan kalau
perlu mengembangkan mekanisme kompensasinya agar individu dapat
mandiri. Rehabilitasi medik adalah suatu bentuk pelayanan kesehatan yang
bertujuan untuk memulihkan atau mengoptimalkan kemampuan seseorang
setelah mengalami gangguan kesehatan yang berakibat pada penurunan
kemampuanfisik.

2. Tujuan Rehabilitasi Medik pada Usia Lanjut


Tujuan rehabilitasi pada lansia adalah :
a. Memberikan pelayanan rehabilitasi medik yang komprehensif.
b. Berperan dalam mempertahankan dan atau meningkatkan kualitas
hidup pasien (kesehatan, vitalitas, fisik, dan fungsi)
c. Mencegah atau mengurangi keterbatasan (impairment), hambatan
(disability) dan kecacatan (handicap).
Tujuan pokok rehabilitasi para usia lanjut bukanlah untuk
mengembalikan peran mereka sebagai pencari nafkah, melaikan
bagaimana mempersiapkan mereka untuk dapat menikmati ruas ahir
dari kehidupannya dengan kemandirian yang maksimal.

3. Konsep Rehabilitasi Pada Usia Lanjut


Reintegrasi adalah rentetan usaha untuk kembali pada kemampuan
fungsional yang pernah dimiliki. Reintegrasi terhadap kehidupan normal
adalah hal yang samgat di dambakan oleh seorang pasien. Harapan inilah
yang mewakili kualitas hidu yang diinginkan . upaya reintegrasi diartikan
sebagai reorganisasi kondisi fisik, psikis, dan social serta spiritual menuju
kesatuan yang harmonis sehingga adaptasi terhadap kehidupan dapat
diperoleh, setelah mengalami sakit atau trauma. Dengan demikian dapat di
tarik kesimpulan bahwa inti upaya mempertahankan dan meningkatkan
kualitas hidup seseorang yang menderita sakit adalah yang melaksanakan
upaya berdasarkan konsep rehabilitasi. Konsep rehabilitasi menyatu dan
berkesinambungan dengan proses penyembuhan penyakit, termasuk
berbagai reaksi dan efek samping terapi, khususnya pada penyakit
geriatric.

4. Gangguan Fungsi Pada Lanjut Usia


Menjadi tua bukanlah menjadi sakit, tetapi suatu proses perubahan dimana
kepekaan bertambah atau batas kemampuan beradaptasi menjadi
berkurang, dimana sering dikenal dengan geriatric giant, yang meliputi
antara lain :
a. Immobilitas
b. Instabilitas ( mudah jatuh )
c. Intelektualitas terlambat ( demensia )
d. Isolasi ( depresi )
e. Inkontinensia
f. Impotensi
g. Imunodefisiensi
h. Infeksi mudah terjadi
i. Inpaksi ( kontipasi )
j. Latrogenesis
k. Insomnia
l. Amputasi
m. Penyakit Parkinson, metabolic, osteoporosis
Perubahan yang terjadi pada lansia dapat mengakibatkan
ketidakstabilan system lokomotor atau neuromuskuler, hal ini sering
kali menganggu aktivitas fungsional dalam melakukan aktivitas sehari
– hari. Untuk mempertahankan system lokomotor ini sangat
diutamakan. Penurunan fungsi yang berkaitan dengan diconditioning
atau disuse mengakibatkan flesibilitas menurun dan pada akhirnya
akan menghambat aktivitas kehidupan sehari – hari, oleh karena perlu
adanya program latihan rutin untuk menjaga system neuromuskuler
tersebut.

5. Pelakasanaan Rehabilitasi
Pada dasarnya falsafah dan teknik rehabilitasi pada penderita lansia
tidak berbeda dengan rehabilitasi pada umumnya, demikian pula modalitas
yang diberikan seperti fisioterapi, okufasiterapi, fisikologi,
ortotikprostetik, terapi wicara dan social medic. Yang perlu diperhatikan
adalah sasaran program haruslah tepat pada kelompok umur berapa,
program rehabilitasi bisa diterapkan.
Dalam melaksanakan program rehabilitasi sering kali justru
merugikan menderita dengan menberikan proteksi yang berlebihan dan
tidak jarang penderita “ DIPAKSA “ berbaring dan dilayani segala
kebutuhannya, dan yang lebih tidak menguntungkan lagi sering kali
penderitanya sendiri “ MENIKMATI “ pelayanan semacam itu, meskipun
sesunguhnya dapat melakukan sendiri. Pada keadaan imobilisasi kira –
kira 3 % kekuatan otot berkurang setiap harinya sebelumnya akan lebih
cepat mengalami kemunduran karena disuse. Keadaan seperti dekubitus,
kontraktur, osteoporosis, hipotensi, ortostatik, konstipasi, thrombosis dan
juga tidak kalah pentingnya berkurangnya rangsang pada system saraf
sensorik yang dapat mengakibatkan munculnya keluhan kebingungan
(confusion ) keluhan ini dapat diberikan terapi modalitas berupa
pemanasan baik secara alamiah maupun dengan alat diatermi seperti micro
wave diathermi ( MWD ), short wave diathermi ( SWD ), Utra sound
diathermi ( US ), pacu listrik dan lain – lain. Terapi yang bersifat aktif
berupa latihan – latihan tidak disukai penderita lansia, karena dianggap
seperti anak kecil dan kurang senang bila “ DIPERINTAH “ untuk
melakukan sesuatu oleh orang yang mungkin usia cucunya. Banyak
penelitian yang menunjukkan hasil positif dari latihan – latihan seperti
Raab, Agre, Mc Adam, dan Smith membuktikan bahwa peningkatan
kekuatan otot serta lingkup gerak sendi dapat mengurangi rasa nyeri sendi
pada pemberian latihan pereganggan dan pembebanan ringan pada usia
lanjut. Pada penelitian Sinaki dan Grubbs mengemukakan bahwa dengan
peningkatkan kekuatan otot. otot paraspinal penderita post menopous
dengan cara – cara sederhana yang bertujuan agar dapat memperbaiki
sikap tubuh serta mencegah fraktur kompresi tulang punggung yang sudah
osteoporotic. Pada penelitian Mc Mundo dan Rennie dapat meningkatkan
kekuatan otot quadriceps pemoris dengan pemberian latihan lingkup gerak
sendi sambil duduk pada penghuni panti jompo sehingga mereka lebih
mampu naik turun tangga pada berbagai ketinggian.

6. Program Rehabilitasi Medik


Untuk memulai program rehabilitasi medic pada penderita lansia,sebagai
tenaga professional harus mengetahui kondisi lansia saat itu,baik penyakit
yang menyertai maupun kemampuan fungsional yang mampu
dilakukan.salah satunya di kemukakan oleh Katz, DKK yang telah
menetapkan Fungsional Assessment Instrument untuk menggolongkan
kemandian merawat diri pada lansia dengan berbagai macam penyakit,
misal fraktur collum femoris, infark cerebri, arthritis, paraplegia,
keganasan, dll. adapun aktivitas yang dinilai adalah Bathing, Dressing,
Toileting, Transfering, Continence dan Feeding.
1) Program Fisioterapi
a. Aktivitas di tempat tidur : Positioning, alih baring, latihan pasif dan
aktif lingkup gerak sendi.
b. Mobilisasi : Latihan bangun sendiri, duduk, transfer dari tempat tidur
ke kursi, berdiri, jalan, Melakukan aktifitas kehidupan sehari-hari :
mandi, makan, berpakaian.
2) Program okupasi terapi, Latihan ditujukan untuk mendukung aktifitas
kehidupan sehari-hari, dengan memberikan latihan dalam bentuk
aktifitas, permainan, atau langsung pada aktifitas yang diinginkan.
Misal latihan jongkok – berdiri.
3) Program ortetik prostetikPada ortotis prostetis akan membuat alat
penopang atau alat pengganti bagian tubuh yang memerlukan sesuai
dengan kondisi penderita, misal pembuatan alat diusahakan dari
bahan yang ringan, model alat yang lebih sederhana sehingga mudah
di pakai.
4) Program terapi bicaraProgram ini kadang – kadang tidak selalu di
tujukan untuk latihan bicara saja, tetapi di perlukan untuk memberi
latihan pada penderita dengan gangguan fungsi menelan apabila di
temukan adanya kelemahan pada otot – otot sekitar tenggorok. Hal ini
sering terjadi pada penderita stroke, dimana terjadi kelumpuhan saraf
fagus, saraf lidah, dll.
5) Program social medicPetugas social medic memerlukan data pribadi
maupun keluarga yang tinggal bersama lansia, melihat bagaimana
struktur atau kondisi di rumahnya yang berkaitan dengan aktifitas
yang di butuhkan penderita, tingkat social ekonomi. Misal seorang
lansia yang tinggal dirumahnya banyak tramp/anak tangga,
bagaimana bisa di buat landai/pindah kamar yang datar dan bisa deket
dengan kamar mandi.
6) Program psikologi Dalam menghadapi lansia sering kali harus
memperhatikan keadaan emosionalnay yang mempunyai ciri-ciri yang
khas pada lansia, misal apakah seorang yang tipe agresif atau
konstruktif. Untuk memberikan motifasi lansia agar lansia mau
melakukan latihan, mau berkomunikasi, sosialisaai dan sebagainya.

7. Keunggulan Rehabilitasi Medik pada Usia Lanjut


a. Pendkekatan pelayanan bersifat medico – psiko – social – edukasional
– vokasional yang merupakan pemenuhan aspek kebutuhan dasar
manusia.
b. Penanganan oleh Tim Dokter Spesialis Rehabilitasi Medik.
c. Penanganan bersifat komprehensif dan terintegrasi di suatu tempat
d. Senantiasa menyediakan alat – alat terapi yang baru untuk menunjang
pelayanan rehabilitasi medik yang lebih baik.

8. Rehabilitasi Sosial (Social Rehabilitation)


Rehabilitasi sosial merupakan bagian dari proses rehabilitasi
penderita cacat yang berusaha untuk menghilangkan atau setidak-tidaknya
mengurangi semaksimal mungkin pengaruh-pengaruh negatif yang
disebabkan kecacatannya, sehingga penderita dapat aktif dalam kehidupan
di masyarakat. Rehabilitasi sosial dimaksudkan dalam kaitannya dengan
layanan kepada individu yang membutuhkan layanan khusus di bidang
sosial, yaitu meningkatkan kemampuan bersosialisasi, mencegah agar
kemampuan sosialnya tidak menurun atau lebih parah dari kondisi sosial
sebelumnya.
Adapun tujuan dari rehabilitasi sosial ini yaitu:
a. Memulihkan kembali rasa harga diri, percaya diri, keasadaran serta
tanggung jawab terhadap masa depan diri, keluarga maupun
masyarakat, atau lingkungan sosialnya.
b. Memulihkan kembali kemauan dan kemampuan untuk dapat
melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar.
c. Untuk tercapainya tujuan tersebut, maka kegiatan-kegiatan yang dapat
dilakukan adalah sebagai berikut:
1) Pencegahan
Mencegah timbulnya masalah sosial penyandang cacat, baik
masalah dari penyandang cacat itu sendiri, maupun masalah
yang datang dari lingkungannya.
2) Tahap Rehabilitasi
Rehabilitasi ini diberikan melalui bimbingan sosial dan
pembinaan mental, maupun bimbingan keterampilan.
Bimbingan diberikan secara individu maupun kelompok yang
nantinya dapat menimbulkan kesadaran akan harga diri serta
tanggung jawab sosial secara mentap. Bimbingan keterampilan
diberikan agar individu mampu menyadari akan keteranpilan
yang dimiliki. Serta bimbingan penyuluhan diberikan untuk
meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab sosial keluarga
dan lingkungan sosial.
3) Resosialisasi
Kegiatan ini bertujuan menyiapkan penyandang cacat agar
mampu berintegrasi dalam kehidupan masyarakat. Resosialisasi
ini merupakan proses penyaluran dan usaha penempatan para
penyandang cacat setelah mendapat bimbingan dan penyuluhan
sesuai dengan situasi dan kondisi individu yang bersangkutan.
4) Pembinaan Tindak Lanjut
Tujuan dari pembinaan tidak lanjut ini adalah memelihara,
menetapkan, dan memantapkan serta meningkatkan
kemampuan sosial, ekonomi, dan mengembangkan rasa
tanggung jawab dan kesadaran hidup bermasyarakat.

HANDOUT

Mata Kuliah : Rehabilitasi Pada Lansia


Semester : VII
Pokok Bahasan : Terapi Modalitas Lansia : Terapi Aktivitas Kelompok
(TAK)
Sub Pokok Bahasan : Terapi Modalitas Lansia : Terapi Aktivitas Kelompok
(TAK)
TIU : Pada akhir perkuliahan ini mahasiswa mampu
menjelaskan
Pemeriksaan Terapi Modalitas Lansia : Terapi Aktivitas
Kelompok (TAK)
TIK : Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa mampu
menjelaskan Terapi Modalitas Lansia : Terapi Aktivitas
Kelompok (TAK)
Sumber Pustaka
1. Edelmen, C L. , Mandle C L., Kudzman E. C. (2014) Health Promotion
Throughout The Life Span. 8th edition. Mosby: Elsevier Inc.
2. Rankin, S.H. & Stallings, K.D. (2005). Patient Education in Health and
Illness.5th. Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
3. Rankin, Sally H.& Stallings, Karen Duffy. (2001). Patient Education:
Principles Practice. 4th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
4. Redman, B.K. (2003). Measurement Tool in PatientEducation. 2nd Ed.
Springer Publishing Company.

PENDAHULUAN

Penuaan adalah suatu proses akumulasi dari kerusakan sel somatik yang
diawali oleh adanya disfungsi sel hingga terjadi disfungsi organ dan pada
akhirnya akan meningkatkan risiko kematian bagi seseorang. Apabila dilihat dari
sudut pandang yang lebih luas, proses penuaan merupakan suatu perubahan
progresif pada organisme yang telah mencapai kematangan intrinsik dan bersifat
irreversibel serta menunjukkan adanya kemunduran sejalan dengan waktu. Pada
hakikatnya menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti seseorang telah
melalui tiga tahap kehidupannya, yaiyu : masa kanak-kanak, masa remaja, dan
masa tua. Tiga tahap ini berbeda, baik secara biologis maupun psikologis.
Memasuki masa tua berarti mengalami kemunduran baik fisik maupun psikis.

Corak perkembangan proses penuaan bersifat lambat namun dinamis dan


bersifat individual baik secara fisiologis maupun patologis, karena banyak
dipengaruhi oleh riwayat maupun pengalaman hidup di masa lalu yang terkait
dengan faktor biologis, psikologis, spiritual, fungsional, lingkungan fisik dan
sosial. Perubahan struktur dan penurunan fungsi sistem tubuh tersebut diyakini
memberikan dampak yang signifikan terhadap gangguan homeostasis sehingga
lanjut usia mudah menderita penyakit yang terkait dengan usia misalnya: stroke,
Parkinson, dan osteoporosis dan berakhir pada kematian. Penuaan patologis dapat
menyebabkan disabilitas pada lanjut usia sebagai akibat dari trauma, penyakit
kronis, atau perubahan degeneratif yang timbul karena stres yang dialami oleh
individu. Stres tersebut dapat mempercepat penuaan dalam waktu tertentu,
selanjutnya dapat terjadi akselerasi proses degenerasi pada lanjut usia apabila
menimbulkan penyakit fisik. Oleh karena itu diperlukannya pelaksanaan program
terapi yang diperlukan suatu instrument atau parameter yang bisa digunakan untuk
mengevaluasi kondisi lansia, sehingga mudah untuk menentukan program terapi
selanjutnya. Tetapi tentunya parameter tersebut harus disesuaikan dengan kondisi
lingkungan dimana lansia itu berada, karena hal ini sangat individual sekali, dan
apabila dipaksakan justru tidak akan memperoleh hasil yang diharapkan.

URAIAN MATERI

1. Konsep Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)


a. Definisi terapi aktivitas kelompok
Kelompok adalah kumpulan individu yang memiliki hubungan satu dengan
yang lain, saling bergantung dan memiliki norma yang sama (Stuart & Laraia,
2001). anggota kelompok mungkin datang dari berbagai latar belakang yang
harus ditangani sesuai dengan keadaannya, seperti agresif, takut, kebencian,
kompetitif, kesamaan, ketidaksamaan, kesukaan, dan menarik (Yalom, 1995
dalam Stuart & Laria, 2001).semua kondisi ini akan mempengaruhi dinamika
kelompok, ketika anggota kelompok memberi dan menerima umpan balik yang
berarti dalam berbagai interaksi yang terjadi dalam kelompok (Kelliat dan
Akemat, 2005).

b. Tujuan dan Fungsi Kelompok


Tujuan kelompok adalah membantu anggotanya berhubungan dengan orang lain
serta mengubah perilaku yang destruktif dan maladaptifkekuatan kelompok ada
pada kontribusi setiap anggotanya. Kelompok berfungsi sebagai tempat berbagi
pengalaman dan saling membantu satu sama lain, untuk menemukan cara
menyelesaikan masalah. Kelompok merupakan laboratorium tempat mencoba
dan menemukan hubungan interpersonal yang baik, serta mengembangkan
perilaku yang adaptif. Anggota kelompok merasa dimiliki, diakui, dan dihargai
eksistensinya oleh anggota kelompok yang lain
c. Komponen Dalam Aktivitas Kelompok
Menurut Keliat dan Akemat (2005) dalam pelaksanaan tarapi aktivitas
kelompok ada delapan komponen yang perlu diperhatikan antara lain :
1) Struktur kelompok
Struktur kelompok menjelaskan batasan, komunikasi, proses pengambilan
keputusan, dan otoritas dalam kelompok. Stuktur kelompok menjaga
stabilitas dan membantu pengaturan pada perilaku dan interaksi. Stuktur
dalam kelompok diatur dengan adanya pemimpin dan anggota, arah
komunikasi dipadu oleh pemimpin, sedangkan keputusan diambil secara
bersama.
2) Besar kelompok Jumlah anggota kelompok yang nyaman adalah kelompok
kecil yang anggotanya berkisar antara 5-12 orang. Jumlah anggota
kelompok kecil menurut Struart dan Laria (2001) adalah 7-10 orang,
menurut Lancester (1980) adalah 10-12 orang, sedangkan menurut Rawlins,
Williams, dan Beck (1993) adalah 5-10 orang. Jika anggota kelompok
terlalu besar akibatnya tidak semua anggota mendapat kesempatan
mengungkapkan perasan, pendapat, dan pengalamannya. Jika terlalu kecil,
tidak cukup variasi informasi dan interaksi yang terjadi dikutip dari Kelliat
dan Akemat, 2005

d. Lamanya sesi
Waktu optimal untuk satu sesi adalah 15-25 menit bagi fungsi kelompok yang
rendah dan 60-120 menit bagi fungsi kelompok yang tinggi Stuart & Laraia,
2001. Biasanya dimulai dengan pemanasan berupa orientasi, kemudian tahap
kerja, dan finishing berupa terminasi. Banyaknya sesi tergantung pada tujuan
kelompok, dapat satu kali / dua kali per minggu; atau dapat direncanakan sesui
dengan kebutuhan.

e. Komunikasi
Salah satu ugas pemimpin kelompok yang penting adalah mengoservasi dan
menganaliss pola komunikasi dalam kelompok. Pemimpin menggunakan
umpan balik untuk memberi kesadaran pada anggota kelompok terhadap
dinamika yang terjadi. Pemimpin kelompok dapat memgkaji hambatan dalam
kelompok, konflik interpersonal, tingkat kompetisi, dan seberapa jauh anggota
kelompok mngerti serta melaksanakan kegiatan yamg di laksanakan.
f. Peran Kelompok
Pemimpin perlu megobservasi peran yang terjadi dalam kelompok. Ada tiga
peran dan fungsi kelompok yang ditampilkan anggota kelompok dala kerja,
yaitu (Beme & Sheat,1948 dala Stuart & Laraia, 2001), maintenance roles, task
roes, dan ndividual role. 11
Maintenance roles, yaitu peran serta aktif dalam proses kelompok dan fungsi
kelompok. Task roles, yaitu fokus pada penyelesaian tugas. Individual roles
adalah selft – centered dan distraksi pada kelompok.
g. Kekuatan Kelompok
Kekuatan (power) adalah kemampuan anggota kelompok dalam memengaruhi
berjalannya kegiatan kelompok. Untuk menetapkan kekuatan anggota
kelompok yang bervariasi diperlukan kajian siapa yang paling banyak
mendengar, dan siapa yang membuat keputusan dalam kelompok.
h. Norma kelompok
Norma adalah standar perilaku yang ada dalam kelompok. Pengharapan
terhadap prilaku kelompok pada masa yang akan datang berdasarkan
pengalaman masa lalu dan saat ini. Kesesuaian perilaku anggota kelompok
dengan norma kelompok, penting dalam menerima anggota kelompok
Anggota kelompok yang tidak mengikuti norma dianggap pemberontakan dan
ditolak anggota kelompok lain.
i. Kekohesifan
Kekohesifan adalah kekuatan anggota kelompok bekerja sama dalam
mencapai tujuan. Hal ini mempengaruhi anggota kelompok untuk tetap betah
dalam kelompok. Apa yang membuat anggota kelompok tertarik dan puas
terhadap kelompok, perlu diidentifikasi agar kehidupan kelompok dapat
dipertahankan.

5. Tahap-Tahap Dalam Terapi Kelompok


Tahap-tahap dalam terapi kelompok Tahap
1. Tahap 1 : ini dimana therapist membentuk hubungan kerja dengan para
anggota kelompok. Tujuannya ialah agar para anggota saling mengenal,
mengetahui tujuan serta membiasakan diri untuk melakukan diskusi
kelompok.
2. Tahap 2 : Terutama tercapainya tranference dan perkembangan identitas
kelompok. Tranferece ialah suatu perilaku atau keinginan seorang pasien
(misalnya si A) yang seharusnya ditujukan kepada seseorang lain
(misalnya si B) tetapi dialihkan kepada orang lain lagi (si C, misalnya
therapist) contoh: perilaku seorang lansia seharusnya ditujukan kepada
orang tuanya tetapi didalam kenyataanya dialihkan kepada therapist.
Perkembangan identitas kelompok ialah tercapainya suatu “sense of
belonging” atau rasa menyatu dan berdasarkan kesatuan itu mereka
merasa mempunyai kesamaan dalam problem atau kesamaan dalam
konflik ini makin memberikan ikatan di antara kelompok.
3. Tahap 3 : Disebut tahap mutualisis (saling menganalisa), yaitu setiap
orang akan mendapatkan informasi atau reaksi atas apa yang sudah
dikemukakan. Dengan mendapat reaksi yang macam-macam, maka
kelompok juga dapat mengambil kesimpulan reaksi mana yang benar.
Dengan demikian setiap orang akan mendapat koreksi atau kesan
kelompok secara umum atau tingkah lakunya
6. Indikasi dan Kontra indikasi
Semua lansia rehabilitasi perlu mendapatkan terapi kelompok kecuali
mereka yang mengalami :
1. Psikopat dan sosiopat.
2. Selalu diam dan / atau austitik.
3. Delusi yang tidak terkontrol.
4. Lansia yang mudah bosan.
5. Lansia rehabilitasi ambulatory yang tidak termasuk psikosis, tidak
menunjukkan gejala regresi dan halusinasi dan ilusi yang berat dan
orang-orang dengan kepribadian sciozoid serta neurotik.
6. Pasien dengan ego psiko patologi berat yang menyebabkan psikotik
kronik sehingga menyebabkan toleransi terhadap kecemasan rendah
dan adaptasi yang kurang
7. Jenis Terapi Kelompok
Beberapa ahli membedakan kegiatan kegiatan kelompok sebagai tindakan
keperawatan pada kelompok dan terapi kelompok.
1. Stuart dan Laraia (2001) menguraikan kelompok yang dapat dipimpin
dan digunakan perawat sebagai tindakan keperawatan bagi lansia,
misalnya, task groups, supportive groups, intensive problom- solving
groups, medikation groups, activity therapy, dan peer support groups.
2. Terapi aktivitas kelompok Rawlins, Williams, dan Beck (1993)
membagi kelompok menjadi tiga, yaitu:
a. Terapi kelompok
Terapi kelompok adalah metode pengobatan ketika lansia ditemui
dalam rancangan waktu tertentu dengan tenaga yang memenuhi
persyaratan tertentu.fokus terapi kelompok adalah membuat sadar
diri (self-awereness), peningkatan hubungan interpersonal,
membuat perubahan, atau ketiganya (Kelliat dan Akemat, 2005).

b. Kelompok terapeutik
Kelompok terapeutik membantu mengatasi stres emosi, penyakit
fisik krisis, tumbuh-kembang, atau penyesuaian sSosial, misalnya,
kelompok wanita hamil yang akan menjadi ibu, individu yang
kehilangan, penyakit terminal. Banyak kelompok terapeutik yang
dikembangkan menjadi self-help-group, tujuan kelompok ini
adalah sebagai berikut:
1) Mencegah masalah kesehatan;
2) Mendidik dan mengembangkan potensi anggota keelompok;
3) Meningkatkan kualitas kelompok. Antara anggota kelompok
saling membantu dalam menyelesaikan masalah.

Terapi aktivitas kelompok (TAK)


Kelompok dibagi sesuai dengan kebutuhan yaitu, stimulasi persepsi, stimulasi
sensoris, orientasi realitas, dan sosialisasi. Terapi aktifitas kelompok sering
dipakai sebagai terapi tambahan. Sejalan dengan hal tersebut, maka Lancester
mengemukakan beberapa aktifitas yang digunakan pada TAK, yaitu menggambar,
membaca puisi, mendengarkan musik, mempersiapkan meja makan, dan kegiatan
sehari-hari yang lain. Wilson dan Kneisl (1992) menyatakan bahwa TAK adalah
manual, rekreasi, dan teknik kreatif untuk memfasilitasi pengalaman seseorang
serta meningkatkan respon sosial dan harga diri dikutip dari Kelliat dan Akemat,
2005. Aktifitas yang digunakan sebagai terapi di dalam kelompok, yaitu membaca
puisi, seni, musik, menari,dan literatur.
Terapi aktivitas kelompok (TAK) merupakan salah satu terapi modalitas yang
dilakukan perawat pada sekelompok pasien yang mempunyai masalah
keperawatan yang sama. Terapi aktivitas kelompok dibagi menjadi empat, yaitu
terapi aktivitas kelompok stimulasi kognitif / persepsi, terapi aktivitas kelompok
stimulasi sensori, terapi aktivitas kelompokstimulasi realita, terapi aktivitas
kelompok sosialisasi.

Terapi aktivitas kelompok stimulasi kognitif / persepsi

Lansia dilatih mempersepsikan stimulus yang disediakan atau stimulus yang


pernah dialami. Kemampuan lansia dievaluasi dan ditingkatkan pada tiap sesi.
Dengan proses ini diharapkan respon lansia terhadap berbagai stimulus dalam
kehidupan menjadi adaptif.
Aktifitas berupa stimulus dan persepsi. Stimulus yang disediakan: baca
artikel/majalah/buku/puisi, menonton acara TV; stimulus dari pengalaman masa
lalu yang menghasilkan proses persepsi lansia yang maladaptif atau destruktif,
misalnya kemarahan, kebencian, putus hubungan,pandangan negatif pada orang
lain, dan halusinasi. kemudian persepsi lansia terhadap stimulus.
Terapi aktivitas kelompok stimulasi sensori

Aktivitas digunakan sebagai stimulus pada sensori lansia. Kemudian diobservasi


reaksi sensori lansia terhadap stimulus yang disediakan, berupa ekspresi perasaan
secara nonvebal (ekspresi wajah, gerakan tubuh). Biasanya lansia yang tidak mau
mengungkapkan komunikasi verbal akan tersetimulusi emosi dan perasaannya,
serta menampilkan respon. Aktivitas yang digunakan sebagai stimulus adalah :
musik, seni, menyanyi dan menari. Jika hobi lansia diketahui sebelumnya, dapat
dipakai sebagai stimulus, misalnya lagu kesukaan lansia, dapat digunakan
sebagai stimulus. Ada empat macam, yaitu:
a) TAK stimulasi persepsi umum

b) TAK stimulasi persepsi : perilaku kekerasan

c) TAK stimulasi persepsi : halusinasi

d) TAK stimulasi persepsi : harga diri rendah

6) Terapi aktivitas kelompokstimulasi realita

Lansia diorentasikan pada kenyataan yang ada disekitar lansia, yaitu diri
sendiri, orang lain yang ada disekeliling lansia atau orang yang dekat dengan
lansia, dan lingkungan yang pernah mempunyai hubungan dengan lansia.
Demikian juga dengan orientasi waktu saat ini, waktu yang lalu, dan rencana
kedepan. Aktivitas dapat berupa orientasi orang,tempat, benda yang ada disekitar,
dan semua kondisi nyata.

Terapi aktivitas kelompok sosialisasi

Lansia dibantu untuk melakukan sosialisasi dengan individu yang ada disekitar
lansia. Sosialisasi dapat pula dilakukan secara bertahap dari interpersonal (satu
dan satu), kelompok, dan massa. Aktifitas dapat berupa latihan sosialisasi dalam
kelompok.

A. Keuntungan terapi kelompok

1. Dapat mengobati lansia dalam jumlah banyak.

2. Anggota kelompok dapat mendiskusikan masalah-masalah yang mereka,


sehingga menurunkan perasaan terisolasi, perbedaan- perbedaan dan
meningkatkan lansia untuk berpartisipasidan bertukar pikiran, masalah
dengan orang lain.

3. Memberi kesempatan pada lansia untuk menggali gaya-gaya komunikasi


dari lansia dalam lingkungan yang aman dan mampu menerima umpan
balik dari orang lain.

4. Anggota kelompok dapat belajar bermacam cara dalam memecahkan


masalah, serta dapat membantu memecahkan masalah orang lain.

5. Anggota kelompok dapat belajar peranannya dalam kelompok sebagai


(sebagai anggota, pembantu therapis).

6. Kelompok dapat menimbulkan pemahaman / pengertian, konfrontasi,


identifikasi, kelompok rujukan.

B. Kerugian terapi kelompok

1. Kehidupan pribadi lansia tidak terlindungi.

2. Lansia mengalami kesulitan dalam mengungkapkan masalahnya karena


berbeda keyakinan / sulit dalam berkomunikasi, tidak mau berubah.

3. Jika therapis menyelenggarakan secara individual.

Menurut Stuart dan Sundeen (1998) peran perawat dalam terapi aktivitas kelompok
adalah sebagai berikut:

1. Mempersiapkan program terapi aktivitas kelompok Sebelum mempersiapkan


terapi aktifitas kelompok, perawat harus terlebih dahulu membuat proposal.
Proposal tersebut akan dijadikan panduan dalam melaksanakan terapi aktifitas
kelompok. Komponen proposal dalam terapi aktifitas kelompok adalah:
a. Menentukan tujuan umum dan khusus
b. Menentukan siapa yang jadi leder
c. Kriteria keanggotaan
d. Menentukan proses sekrining
2. Persiapan pelaksanaan meliputi: menenyukan wakyu pelaksanaan, tempat
kegiatan, lamanya session, besar kelompok, kondisi ruangan, alat bantu yang
digunakan, harapan perilaku anggota dan leader
3. Uraian tugas leader, co leader, fasilitator dan observer
4. Biaya yang dibutuhkan
5. Sebagai co leader
a. Menganalisa dan mengobserfasi pola-pola komunikasi dalam kelompok
b. Membantu anggota kelompok untuk menyadari dinamis kelompok
c. Membantu motifator
d. Membantu kelompok menetapkan tujuan dan membuat peraturan
e. Mengarahkan dan memimpin jalannya terapi aktivitas kelompok bersama
leader
6. Sebagai fasilitator
Sebagai fasilitator perawat ikut serta dalam kegiatan kelompok sebagai
anggota kelompok dengan tujuan memeberi stimulus pada anggota kelompok
lain agar dapat mengikuti jalannya kegiatan
7. Sebagai observer
a. Mencatat serta mengamati respon lansia
b. Mengamati jalannya aktitivitas terapi
c. Mencegah peserta yang drop out

Hal-hal yang perlu diobservasi :


1. Keanggotaan, meliputi: petugas, anggota yang lambat, anggota yang absen
2. Issue atyau perilaku yang didiskusikan kelompok
3. Tema kelompok
4. Peran, norma perkembangan kelompok
5. Strategi kepemimpinan yang digunakan
6. Meprediksi anggota dan respon kelompok setiap session
7. Mengatasi masalah yang timbul saat pelaksanaan
HANDOUT

Mata Kuliah : Rehabilitasi Pada Lansia


Semester : VII
Pokok Bahasan : Terapi Modalitas Lansia : Terapi Berkebun
Sub Pokok Bahasan : Terapi Modalitas Lansia : Terapi Berkebun
TIU : Pada akhir perkuliahan ini mahasiswa mampu
menjelaskan
Terapi Modalitas Lansia : Terapi Berkebun
TIK : Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa mampu
menjelaskan Terapi Modalitas Lansia : Terapi Berkebun

Sumber Pustaka
1. Edelmen, C L. , Mandle C L., Kudzman E. C. (2014) Health
Promotion Throughout The Life Span. 8th edition. Mosby: Elsevier
Inc.
2. Rankin, S.H. & Stallings, K.D. (2005). Patient Education in Health and
Illness.5th. Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
3. Rankin, Sally H.& Stallings, Karen Duffy. (2001). Patient Education:
Principles Practice. 4th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins.
4. Redman, B.K. (2003). Measurement Tool in PatientEducation. 2nd Ed.
Springer Publishing Company.

PENDAHULUAN

Penuaan adalah suatu proses akumulasi dari kerusakan sel somatik yang
diawali oleh adanya disfungsi sel hingga terjadi disfungsi organ dan pada
akhirnya akan meningkatkan risiko kematian bagi seseorang. Apabila dilihat dari
sudut pandang yang lebih luas, proses penuaan merupakan suatu perubahan
progresif pada organisme yang telah mencapai kematangan intrinsik dan bersifat
irreversibel serta menunjukkan adanya kemunduran sejalan dengan waktu. Pada
hakikatnya menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti seseorang telah
melalui tiga tahap kehidupannya, yaiyu : masa kanak-kanak, masa remaja, dan
masa tua. Tiga tahap ini berbeda, baik secara biologis maupun psikologis.
Memasuki masa tua berarti mengalami kemunduran baik fisik maupun psikis.

Corak perkembangan proses penuaan bersifat lambat namun dinamis dan


bersifat individual baik secara fisiologis maupun patologis, karena banyak
dipengaruhi oleh riwayat maupun pengalaman hidup di masa lalu yang terkait
dengan faktor biologis, psikologis, spiritual, fungsional, lingkungan fisik dan
sosial. Perubahan struktur dan penurunan fungsi sistem tubuh tersebut diyakini
memberikan dampak yang signifikan terhadap gangguan homeostasis sehingga
lanjut usia mudah menderita penyakit yang terkait dengan usia misalnya: stroke,
Parkinson, dan osteoporosis dan berakhir pada kematian. Penuaan patologis dapat
menyebabkan disabilitas pada lanjut usia sebagai akibat dari trauma, penyakit
kronis, atau perubahan degeneratif yang timbul karena stres yang dialami oleh
individu. Stres tersebut dapat mempercepat penuaan dalam waktu tertentu,
selanjutnya dapat terjadi akselerasi proses degenerasi pada lanjut usia apabila
menimbulkan penyakit fisik. Oleh karena itu diperlukannya pelaksanaan program
terapi yang diperlukan suatu instrument atau parameter yang bisa digunakan untuk
mengevaluasi kondisi lansia, sehingga mudah untuk menentukan program terapi
selanjutnya. Tetapi tentunya parameter tersebut harus disesuaikan dengan kondisi
lingkungan dimana lansia itu berada, karena hal ini sangat individual sekali, dan
apabila dipaksakan justru tidak akan memperoleh hasil yang diharapkan.

URAIAN MATERI
PROPOSAL TERAPI MODALITAS LANSIA : TERAPI BERKEBUN

A. Defenisi Terapi Berkebun

Terapi berkebun adalah salah satu terapi modalitas pada lansia yang
dilakukan dengan media kebun.

B. Tujuan Terapi Berkebun


1. Meningkatkan interaksi sosial dengan orang lain, meningkatkan
rasa kasih sayang terhadap seseorang dan lingkungan.
2. Merasa nyaman, mengurangi stress, menurunkan depresi dan
kecemasan.
3. Mengekspresikan perasaan dan melepaskan tekanan emosi yang
dihadapi.
4. Meningkatkan control diri dan perasaan berharga.
5. Mengubah perilaku.
6. Mengembangkan kreatifitas.
7. Hiburan atau kegiatan yang menyenangkan.
8. Klien dapat meningkatkan interaksi social dengan orang lain.
9. Menurunkan atau mengurangi kejenuhan dengan kegiatan rutinitas.
10. Klien dapat mengekspresikan perasaan dan melepaskan tekanan
emosional yang dihadapi.
11. Klien mendapatkan hiburan atau kegiatan yang menyenangkan.

C. Indikasi Terapi Berkebun


Dilakukan pada lanjut usia dengan kondisi:
1. Lansia yang masih bisa bergerak dan sehat secara fisik
2. Defisit fungsional pada fisik, psikologis/fungsi mental.
3. Marah gusar dan kesepian.
4. Gangguan emosi dan perilaku.
5. Stres dan kecemasan\
6. Gangguan kepribadian (anti sosi

D. Proses Seleksi
Seleksi dilakukan oleh terapis selama pengkajian dan observasi serta
wawancara dengan menggunakan pedoman pengkajian fisik, psikososial,
masalah emosional, spiritual, pengkajian fungsional klien yaitu KATZ
indeks, BARTHEL indeks, pengkajian status mental gerontik yaitu
SPSMQ dan MMSE serta pengkajian keseimbangan.

E. Sasaran Kegiatan
Semua klien perempuan dan laki-laki ( oma dan opa) dengan kriteria di
atas yang berjumlah 12 orang.
F. Tempat
Kebun BPSTW Ciparay

G. Waktu ( terdiri dari hari, tanggal dan jam )

H. Metode Alat Bantu


1. Metode : Dinamika kelompok.
2. Alat Bantu :
a. Tanah kosong
b. Alat Perkakas
c. Ember
d. Air
e. Gayung
f. Benih Kangkung
g. Pupuk

I. Uraian struktur Kelompok


1. Leader
Tugas :
a. Membuka acara
b. Memimpin kegiatan.
c. Memotivasi peserta.
d. Menjelaskan tujuan terapi berkebun.
e. Menjelaskan langkah-langkah terapi berkebun.
f. Melaksanakan dan mengontrol jalannya terapi berkebun
g. Menutup acara
2. Co-Leader
Tugas :
a. Mendampingi dan membantu Leader menjalankan tugasnya.
b. Mengambil alih tugas Leader jika Leader pasif.
3. Fasilitator
Tugas :
a. Mempertahankan keikutsertaan klien
b. Memfasilitasi dan memotivasi klien untuk ikut Berkebun
4. Observer : Selvyana Agustie
Tugas :
a. Mencatat anggota yang pasif/aktif, respon verbal dan non
verbal, kejadian penting selama terapi tertawa.
b. Mengidentifikasi issue penting selama terapi berkebun
c. Memberika umpan balik selama proses kegiatan dari mulai
persiapan sampai selesai.

J. Langkah-Langkah
1. PERSIAPAN
Klien diatur membentuk persegi,
Fase Orientasi ( 5 menit)
a. Leader membuka acara.
b. Melakukan perkenalan (terapis dan klien).
c. Leader menyampaikan tujuan terapi berkebun.
d. Leader membuat validasi kontrak.
e. Co-Leader membaca tata tertib.
f. Leader di bantu Co-Leader menjelaskan langkah-langkah terapi
berkebun.

Fase Kerja (30 menit)


Pelaksanaan terapi berkebun :
a. Leader memimpin peserta dan terapis untuk menggali tanah
sedalam 20 cm.
b. Lalu tanah yang sudah di gali di isi dengan biji kangkung
c. Selanjutnya di tutup kembali dengan tanah
d. Lalu di beri pupuk
e. Serta di siram air
f. Leader membuat kesimpulan.
Fase Terminasi (10 menit)
a. Leader menanyakan perasaan peserta setelah mengikuti terapi
berkebun.
b. Leader menanyakan / melakukan evaluasi materi.
c. Leader memberikan tugas/rencana tindak lanjut.
d. Leader membuat kontrak untuk yang akan datang
e. Leader menutup acara.

K. Perilaku Yang Diharapkan


Persiapan:
1. Fasilitator
a. Mengidentifikasi masalah yang dialami lansia sebelum terapi
berkebun dilakukan.
b. Mengatuir setting tempat/ruangan untuk terapi berkebun.
2. Lansia:
a. Siap untuk mengikuti terapi berkebun:
b. Mengetahui aturan permainan terapi berkebun
c. Hadir 10 menit sebelum terapi dimulai.
3. Proses
a. Terapis
 Melaksanakan terapi berkebun sampai dengan selesai.
 Mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan
b. Lansia
 Mengikuti terapi berkebun sampai dengan selesai.
 Klien aktif mengikuti terapi berkebun dengan ceria.
4. Hasil
a. Fasilitator : Menjalankan tugas dengan baik sesuai rencana atau
modifikasi saat acara
b. Lansia : Mengungkapkan rasa senang dan lebih santai.
L. TATA TERTIB
Peserta bersedia mengikuti terapi berkebun.
a. Peserta wajib hadir 10 menit sebelum acara dimulai.
b. Peserta tidak diperkenankan makan dan minum selama terapi
c. Perserta yang mengacaukan jalannya terapi akan dikeluarkan.
d. Jika ingin mengajukan pertanyaan peserta mengangkat tangan dan
bicara setelah dipersilahkan.
e. Waktu terapi dapat berubah sesuai dengan kondisi peserta
f. Peserta yang ingin keluar dari acara untuk keperluan ijin terlebih
dahulu kepada pemimpin acara.

M. PROGRAM ANTISIPASI.
1. Bila ada peserta yang melakukan kegiatan tidak sesuai dengan
tujuan, fasilitator mengingatkan dan mengarahkan.
2. Bila peserta pasif, fasilitator memotivasi untuk mengikuti
kegiatan.
3. Jika peserta ingin pergi sebelum terapi berkebun selesai, fasilitator
membimbingnya agar menyelesaikan terapi
4. Bila leader bloking maka co-leader yang mengambil jalan acara

HANDOUT

Mata Kuliah : Rehabilitasi Pada Lansia


Semester : VII
Pokok Bahasan : Senam Lansia
Sub Pokok Bahasan : Senam Lansia
TIU : Pada akhir perkuliahan ini mahasiswa mampu
menjelaskan
Senam Lansia
TIK : Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa mampu
menjelaskan Senam Lansia

Sumber Pustaka
1. Edelmen, C L. , Mandle C L., Kudzman E. C. (2014) Health Promotion
Throughout The Life Span. 8th edition. Mosby: Elsevier Inc.
2. Rankin, S.H. & Stallings, K.D. (2005). Patient Education in Health and
Illness.5th. Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
3. Rankin, Sally H.& Stallings, Karen Duffy. (2001). Patient Education:
Principles Practice. 4th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins.
4. Redman, B.K. (2003). Measurement Tool in PatientEducation. 2nd Ed.
Springer Publishing Company.

PENDAHULUAN

Penuaan adalah suatu proses akumulasi dari kerusakan sel somatik yang
diawali oleh adanya disfungsi sel hingga terjadi disfungsi organ dan pada
akhirnya akan meningkatkan risiko kematian bagi seseorang. Apabila dilihat dari
sudut pandang yang lebih luas, proses penuaan merupakan suatu perubahan
progresif pada organisme yang telah mencapai kematangan intrinsik dan bersifat
irreversibel serta menunjukkan adanya kemunduran sejalan dengan waktu. Pada
hakikatnya menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti seseorang telah
melalui tiga tahap kehidupannya, yaiyu : masa kanak-kanak, masa remaja, dan
masa tua. Tiga tahap ini berbeda, baik secara biologis maupun psikologis.
Memasuki masa tua berarti mengalami kemunduran baik fisik maupun psikis.
Corak perkembangan proses penuaan bersifat lambat namun dinamis dan
bersifat individual baik secara fisiologis maupun patologis, karena banyak
dipengaruhi oleh riwayat maupun pengalaman hidup di masa lalu yang terkait
dengan faktor biologis, psikologis, spiritual, fungsional, lingkungan fisik dan
sosial. Perubahan struktur dan penurunan fungsi sistem tubuh tersebut diyakini
memberikan dampak yang signifikan terhadap gangguan homeostasis sehingga
lanjut usia mudah menderita penyakit yang terkait dengan usia misalnya: stroke,
Parkinson, dan osteoporosis dan berakhir pada kematian. Penuaan patologis dapat
menyebabkan disabilitas pada lanjut usia sebagai akibat dari trauma, penyakit
kronis, atau perubahan degeneratif yang timbul karena stres yang dialami oleh
individu. Stres tersebut dapat mempercepat penuaan dalam waktu tertentu,
selanjutnya dapat terjadi akselerasi proses degenerasi pada lanjut usia apabila
menimbulkan penyakit fisik. Oleh karena itu diperlukannya pelaksanaan program
terapi yang diperlukan suatu instrument atau parameter yang bisa digunakan untuk
mengevaluasi kondisi lansia, sehingga mudah untuk menentukan program terapi
selanjutnya. Tetapi tentunya parameter tersebut harus disesuaikan dengan kondisi
lingkungan dimana lansia itu berada, karena hal ini sangat individual sekali, dan
apabila dipaksakan justru tidak akan memperoleh hasil yang diharapkan.

URAIAN MATERI

A. Defenisi
Senam osteoporosis yaitu kegiatan yang merangsang kekuatan otot, tulang

dan latihan yang biasanya ditambah beberapa bentuk permainan-permainan untuk

meningkatkan koordinasi, keseimbangan dan kelenturan (Tilarso, 1988). Senam

osteoporosis merupakan kombinasi beberapa jenis latihan yang bersifat aerobik

dengan benturan ringan, latihan kekuatan dengan menggunakan beban di kedua

tangan, latihan keseimbangan dan latihan pernafasan.

B. Manfaat Senam Osteoporosis


Gerakan aerobik pada senam osteoporosis yang berbeban berat badan akan

bermanfaat pada kepadatan tulang punggung, pinggang dan pinggul, dan bila

latihan tersebut dilakukan dengan duduk dikursi akan aman untuk sendi panggul

dan sendi lutut. Latihan kekuatan otot dengan menggunakan beban di kedua

tangan masing-masing beratnya 0,5 – 1 Kg akan bermanfaat mengurangi resiko

patah tulang pada pergelangan tangan. Latihan keseimbangan mencegah usia

lanjut agar tidak mudah jatuh latihan ini harus dilakukan dengan hati-hati benar

dan perlahan-lahan. Latihan pernafasan sangat baik dilakukan karena menghirup

oksigen yang banyak ke dalam otot-otot, pembuluh darah, kepala/otak, jantung

dan paru-paru, yang akan menambah ketenangan dalam menjalani kehidupan atau

aktivitas sehari-hari dan menambah


energi, serta pengendalian stress. Ditegaskan bahwa melakukan senam

osteoporpsis juga dapat menjaga postur tubuh, menjaga kelenturan dan pergerakan

otot, meningkatkan kerja jantung dan paru-paru, menjaga keseimbangan tubuh,

melatih koordinasi anggota gerak. Aktivitas fisik merupakan gerakan fisik apapun

yang dihasilkan oleh otot dan rangka yang memerlukan atau membutuhkan

pengeluaran energi di atas kebutuhan energi saat istirahat, yang diukur dalam

jumlah kilo kalori (Public Health, 1985).

C. Hal-Hal yang tidak Dianjurkan dalam Senam Osteoporosis

1. Gerakan membungkuk. Misalnya Sit Up/meraih jari-jari kaki berdiri


sambil membungkuk ke depan dari pinggang dengan pinggang
melengkung

2. Gerakan naik turun dingklik atau step aerobic

3. Gerakan memutar badan/twisting misalnya memutar ke kanan dan ke kiri


tidak boleh lebih dari sudut 90 derajat, tetapi boleh 30 derajat sampai 45
derajat

4. Gerakan terlalu lama berdiri

5. Gerakan yang terlalu cepat

6. Mengangkat beban dengan ayunan punggung

7. Duduk dengan punggung membungkuk

D. Frekuensi Senam Osteoporosis


Frekuensi latihan olahraga yaitu tiga kali seminggu, maksimal intensitas
50-70% VO2 maks dan frekuensi denyut nadi yaitu 110-120 (Sukarman,
1987). Untuk individu dengan tingkat kebugaran yang rendah, tiga sesi
perminggu pada hari yang bergantian Jika intensitas dan durasi latihan
bertambah, frekuensi juga harus bertambah bila penigkatan ingin
diteruskan (Pollock, 1973).
Pembahasan ini mendapati bahwa perubahan kebugaran berkaitan
langsung dengan frekuensi latihan, walaupun dianggap tidak tergantung
pada efek intensitas, durasi, lama program, dan tingkat kebugaran awal
(Wenger & Bell, 1986). Individu yang tidak terlatih pada kenyataan
membutuhkan waktu 48 jam untuk beradaptasi dan pulih dengan
ransangan latihan.

1. Gerakan senam osteoporosis


HANDOUT

Mata Kuliah : Rehabilitasi Pada Lansia


Semester : VII
Pokok Bahasan : Terapi Wicara
Sub Pokok Bahasan : Terapi Wicara
TIU : Pada akhir perkuliahan ini mahasiswa mampu menjelaskan Terapi
Wicara
TIK : Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa mampu menjelaskan
Terapi Wicara

Sumber Pustaka
1. Edelmen, C L. , Mandle C L., Kudzman E. C. (2014) Health Promotion Throughout
The Life Span. 8th edition. Mosby: Elsevier Inc.
2. Rankin, S.H. & Stallings, K.D. (2005). Patient Education in Health and Illness.5th.
Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
3. Rankin, Sally H.& Stallings, Karen Duffy. (2001). Patient Education: Principles
Practice. 4th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
4. Redman, B.K. (2003). Measurement Tool in PatientEducation. 2nd Ed. Springer
Publishing Company.

PENDAHULUAN

Penuaan adalah suatu proses akumulasi dari kerusakan sel somatik yang diawali oleh
adanya disfungsi sel hingga terjadi disfungsi organ dan pada akhirnya akan meningkatkan
risiko kematian bagi seseorang. Apabila dilihat dari sudut pandang yang lebih luas, proses
penuaan merupakan suatu perubahan progresif pada organisme yang telah mencapai
kematangan intrinsik dan bersifat irreversibel serta menunjukkan adanya kemunduran sejalan
dengan waktu. Pada hakikatnya menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti
seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya, yaiyu : masa kanak-kanak, masa remaja,
dan masa tua. Tiga tahap ini berbeda, baik secara biologis maupun psikologis. Memasuki
masa tua berarti mengalami kemunduran baik fisik maupun psikis.

Corak perkembangan proses penuaan bersifat lambat namun dinamis dan bersifat
individual baik secara fisiologis maupun patologis, karena banyak dipengaruhi oleh riwayat
maupun pengalaman hidup di masa lalu yang terkait dengan faktor biologis, psikologis,
spiritual, fungsional, lingkungan fisik dan sosial. Perubahan struktur dan penurunan fungsi
sistem tubuh tersebut diyakini memberikan dampak yang signifikan terhadap gangguan
homeostasis sehingga lanjut usia mudah menderita penyakit yang terkait dengan usia
misalnya: stroke, Parkinson, dan osteoporosis dan berakhir pada kematian. Penuaan patologis
dapat menyebabkan disabilitas pada lanjut usia sebagai akibat dari trauma, penyakit kronis,
atau perubahan degeneratif yang timbul karena stres yang dialami oleh individu. Stres
tersebut dapat mempercepat penuaan dalam waktu tertentu, selanjutnya dapat terjadi
akselerasi proses degenerasi pada lanjut usia apabila menimbulkan penyakit fisik. Oleh
karena itu diperlukannya pelaksanaan program terapi yang diperlukan suatu instrument atau
parameter yang bisa digunakan untuk mengevaluasi kondisi lansia, sehingga mudah untuk
menentukan program terapi selanjutnya. Tetapi tentunya parameter tersebut harus disesuaikan
dengan kondisi lingkungan dimana lansia itu berada, karena hal ini sangat individual sekali,
dan apabila dipaksakan justru tidak akan memperoleh hasil yang diharapkan.

URAIAN MATERI

A. DEFENISI TERAPI WICARA

Terapi wicara adalah suatu ilmu/kiat yang mempelajari perilaku komunikasi


normal/abnormal yang dipergunakan untuk memberikan terapi pada penderita
gangguan perilaku komunikasi, yaitu kelainan kemampuan bahasa, bicara, suara,
irama/kelancaran, sehingga penderita mampu berinteraksi dengan lingkungan secara
wajar. Kelainan kemampuan bahasa, bicara, suara, irama/kelancaran terjadi karena
adanya penyakit, gangguan fisik, psikis ataupun sosiologis. Kelainan ini dapat
timbul pada masa prenatal, natal maupun post natal.
Selain itu penyebabnya bisa dari Heriditer, Congenital maupun Acquired. Kelainan
berkomunikasi dibedakan menjadi:

1. Kelainan Bicara
2. Kelainan Bahasa
3. Kelainan Suara
4. Kelainan Irama/Kelancaran
B. KELAINAN BICARA
Merupakan salah satu jenis kelainan berkomunikasi yang ditandai adanya kesalahan
proses produksi bunyi bicara, baik itu yang terjadi pada POA (Point Of Articulation)
dan/atau MOA (Manner OF Articulation).
1. Disaudia, Gangguan bicara/artikulasi yang berhubungan dengan adanya
kesulitan/gangguan feedback auditory, dapat terjadi karena gangguan
pendengaran
2. Dislogia. Kelainan berkomunikasi yang disertai kerusakan mental. Rendahnya
kecerdasan menyebabkan kesulitan dalam mengamati serta mengolah dalam
pembentukan konsep dan pengertian bahasa.
3. Disartria. Kelainan bicara akibat gangguan koordinasi otot-otot organ bicara
sehubungan adanya kerusakan/gangguan sistem syaraf pusat maupun perifer
4. Disglosia. Kelainan bicara akibat adanya kelainan bentuk dan/atau struktur
organ bicara, khususnya organ artikulator.
5. Dislalia. Gangguan artikulasi yang disebabkan ketaknormalan di luar organ
wicara dan bukan dikarenakan kerusakan sistem syaraf pusat maupun perfer
dan psikologis tapi merupakan gangguan fungsi artikulasi.

C. KELAINAN BAHASA
Merupakan salah satu jenis kelainan berkomunikasi, dimana penderita mengalami
kesulitan/kehilangan kemampuan dalam proses simbolisasi bahasa. Kelainan ini
diakibatkan oleh adanya kerusakan otak dan diartikan sebagai kerusakan sebagian
atau seluruh dari pemahaman bahasa, perumusan, penggunaan bahasa. Tidak
termasuk gangguan yang dihubungkan dengan berkurangnya sensor primer,
keadaan mental yang memburuk dan gangguan psikis.
1. Afasia Perkembangan/Anak
2. Afasia Dewasa
D. KELAINAN SUARA
Gangguan suara yang utamanya disebabkan oleh aksi atau perilaku pita suara,
intensitas suara dan/atau kualitas suara yang tidak sesuai untuk individu tersebut
dalam kaitannya dengan usia, jenis kelamin atau lingkungan.
 Kelainan kenyaringan suara
 Kelainan nada suara
 Kelainan kualitas suara
E. KELAINAN IRAMA/KELANCARAN
1. Stuttering/Gagap. Gangguan kelancaran bicara yang berupa adanya
pengulangan, perpanjangan, penghentian pada kata dan suku kata.
2. Cluttering. Gangguan bicara yang ditandai dengan adanya irama sangat cepat
sehingga terjadi misartikulasi dan sulit dimengerti.
3. Palilalia. Kecenderungan mengulang kata atau phrase pada waktu
mengucapkan kalimat.

HANDOUT

Mata Kuliah : Rehabilitasi Pada Lansia


Semester : VII
Pokok Bahasan : Terapi Okupasi
Sub Pokok Bahasan : Terapi Okupasi
TIU : Pada akhir perkuliahan ini mahasiswa mampu menjelaskan
Terapi Okupasi
TIK : Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa mampu
menjelaskan Terapi Okupasi
Sumber Pustaka
1. Edelmen, C L. , Mandle C L., Kudzman E. C. (2014) Health Promotion
Throughout The Life Span. 8th edition. Mosby: Elsevier Inc.
2. Rankin, S.H. & Stallings, K.D. (2005). Patient Education in Health and Illness.5th.
Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
3. Rankin, Sally H.& Stallings, Karen Duffy. (2001). Patient Education: Principles
Practice. 4th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
4. Redman, B.K. (2003). Measurement Tool in PatientEducation. 2nd Ed. Springer
Publishing Company.

PENDAHULUAN

Penuaan adalah suatu proses akumulasi dari kerusakan sel somatik yang diawali oleh
adanya disfungsi sel hingga terjadi disfungsi organ dan pada akhirnya akan meningkatkan
risiko kematian bagi seseorang. Apabila dilihat dari sudut pandang yang lebih luas, proses
penuaan merupakan suatu perubahan progresif pada organisme yang telah mencapai
kematangan intrinsik dan bersifat irreversibel serta menunjukkan adanya kemunduran sejalan
dengan waktu. Pada hakikatnya menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti
seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya, yaiyu : masa kanak-kanak, masa remaja,
dan masa tua. Tiga tahap ini berbeda, baik secara biologis maupun psikologis. Memasuki
masa tua berarti mengalami kemunduran baik fisik maupun psikis.

Corak perkembangan proses penuaan bersifat lambat namun dinamis dan bersifat
individual baik secara fisiologis maupun patologis, karena banyak dipengaruhi oleh riwayat
maupun pengalaman hidup di masa lalu yang terkait dengan faktor biologis, psikologis,
spiritual, fungsional, lingkungan fisik dan sosial. Perubahan struktur dan penurunan fungsi
sistem tubuh tersebut diyakini memberikan dampak yang signifikan terhadap gangguan
homeostasis sehingga lanjut usia mudah menderita penyakit yang terkait dengan usia
misalnya: stroke, Parkinson, dan osteoporosis dan berakhir pada kematian. Penuaan patologis
dapat menyebabkan disabilitas pada lanjut usia sebagai akibat dari trauma, penyakit kronis,
atau perubahan degeneratif yang timbul karena stres yang dialami oleh individu. Stres
tersebut dapat mempercepat penuaan dalam waktu tertentu, selanjutnya dapat terjadi
akselerasi proses degenerasi pada lanjut usia apabila menimbulkan penyakit fisik. Oleh
karena itu diperlukannya pelaksanaan program terapi yang diperlukan suatu instrument atau
parameter yang bisa digunakan untuk mengevaluasi kondisi lansia, sehingga mudah untuk
menentukan program terapi selanjutnya. Tetapi tentunya parameter tersebut harus disesuaikan
dengan kondisi lingkungan dimana lansia itu berada, karena hal ini sangat individual sekali,
dan apabila dipaksakan justru tidak akan memperoleh hasil yang diharapkan.

URAIAN MATERI

A. PENGERTIAN

Terapi okupasi adalah usaha penyembuhan melalui kesibukan atau pekerjaan


tertentu. Terapi okupasi adalah salah satu jenis terapi kesehatan yang merupakan
bagian dari rehabilitas medis. Penekanan terapi ini adalah sebagai pada sensomotorik
dan proses neurologi dengan cara memanipulasi, memfasilitasi dan mengnibisi
lingkungan, sehingga tercapai peningkatan, perbaikan dan pemeliharaan kamampuan
anak. Dengan memperhatikan asset (kemampuan) dan Emitasi (keterbatasan) yang
dimiliki anak, terapi ini bertujuan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan
anak. Terapi okupasi adalah prilaku atau kegiatan – kegiatan individu yang akan
dilakukan pada area kerja, perawatan diri dan rekreasi. Terapi okupasi adalah suatu
aktifitas–aktifitas yang secara disadari dapat dilihat, direncanakan dan
menyenangkan.

Terapi okupasi adalah ilmu dan seni untukmengarahkan pertisipasiseseorang


dalam melaksanakan suatu tugas terpilih yang telah ditentukan dengan maksud
mempermudah belajar fungsi dan keahlian yang dibutuhkan dalam proses
penyesuaian diri dengan lingkungan. Prinsip : Pasien tidak merasa dipaksa, tetapi
memahami kegiatan ini sebagai suatu kebutuhan dan akhir suatu keahlian yang dapat
dijadikan bekal hidup.

B. METODE PENDEKATAN TERAPI OKUPASI


Metode pendekatan terapi okupasi ini menggunakan beberapa kerangka acuhan
yang terstandarisasi oleh WFOT(Word Federation Of Occupation Therapy) meliputi:

1. Kerangka acuan Psikososial

a) Behavior / perilaku

b) Object relation

c) Cognitif behavior

d) Occupation behavior

2. Kerangka acuan sensomotorik

a) NDT (Neoro Development Treatment)

b) Sensori integritas (Sensori Integration)

Beberapa acuan ini, secara umum terapi okupasi mencakup empat tahan atau
program:

a. Penilaian atau semacam diagnosis dengan serangkaian wawancara dan uji


kemampuan untuk mendaptkan gambaran kondisi lansia.
b. Rangkaian terapi yang disesuaikan dengan hasil penelitian

c. Bimbingan berupa pemaparan, penelitian, konsultasi dan penyelidikan


kepustakaan bagi orang tua dan pengasuh untuk membantu kemajuan yang
telah didapat anak selama terapi.

d. Bila perlu konsultasi dan bantuan untuk program disekolah, jika anak
mengalami kesulitan akademi karena gangguan tumbuh kembangnya. Antara
lain mencakup kemampuan menulis (fungsi tangan) dan sensomotorik.

C. PERSIAPAN TERAPI OKUPASI

1. Penetuan materi latihan

materi latihan dipilih dan ditentukan dengan memperhatikan karakteristik atau


cara khas masing – masing klien
2. Penetuan cara atau pendekatan

dengan system kelompok / individu

3. Penentuan waktu

kapan latihan diberikan pagi, siang atau sore hari dan berapa lamanya

4. Penetuan tempat

disesuaikan dengan keadaan klien, materi latihan dan alt yang digunakan.

D. PROSES TERAPI OKUPASI

Pelayanan terapi okupasi di rumah sakit jiwa cenderung berubah – ubah, hal ini
disesuaikan dengan kebutuhan, akan tetapi secara umum proses intervensi itu melalui
tiga tahap yaitu :

1. Assessment

adalah proses dimana seseorang terapi memperoleh pengertian tentang pasien


yang berguna untuk membuat keputusan dan mengkontruksikan kerangka kerja
atau model dari pasien. Proses ini harus dilakukan dengan adekuat untuk
menentukan jenis okupasi yang diberikan pada pasien.

2. Treatment

Setelah dilakukan assessment dengan detail, maka dilakukan treatment yang


terdiri dari tiga tahap yaitu :

a) formulasi pemberian terapi

b) impelementasi terapi yang telah direncanakan

c) review terapi yang diberikan dan selanjutnya dilakukan evaluasi


HANDOUT

Mata Kuliah : Rehabilitasi Pada Lansia


Semester : VII
Pokok Bahasan : Terapi Keagamaan
Sub Pokok Bahasan : Terapi Keagamaan
TIU : Pada akhir perkuliahan ini mahasiswa mampu menjelaskan Terapi
Keagamaan
TIK : Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa mampu menjelaskan
Keagamaan

Sumber Pustaka
1. Edelmen, C L. , Mandle C L., Kudzman E. C. (2014) Health Promotion Throughout
The Life Span. 8th edition. Mosby: Elsevier Inc.
2. Rankin, S.H. & Stallings, K.D. (2005). Patient Education in Health and Illness.5th.
Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
3. Rankin, Sally H.& Stallings, Karen Duffy. (2001). Patient Education: Principles
Practice. 4th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
4. Redman, B.K. (2003). Measurement Tool in PatientEducation. 2nd Ed. Springer
Publishing Company.

PENDAHULUAN

Penuaan adalah suatu proses akumulasi dari kerusakan sel somatik yang diawali oleh
adanya disfungsi sel hingga terjadi disfungsi organ dan pada akhirnya akan meningkatkan
risiko kematian bagi seseorang. Apabila dilihat dari sudut pandang yang lebih luas, proses
penuaan merupakan suatu perubahan progresif pada organisme yang telah mencapai
kematangan intrinsik dan bersifat irreversibel serta menunjukkan adanya kemunduran sejalan
dengan waktu. Pada hakikatnya menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti
seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya, yaiyu : masa kanak-kanak, masa remaja,
dan masa tua. Tiga tahap ini berbeda, baik secara biologis maupun psikologis. Memasuki
masa tua berarti mengalami kemunduran baik fisik maupun psikis.

Corak perkembangan proses penuaan bersifat lambat namun dinamis dan bersifat
individual baik secara fisiologis maupun patologis, karena banyak dipengaruhi oleh riwayat
maupun pengalaman hidup di masa lalu yang terkait dengan faktor biologis, psikologis,
spiritual, fungsional, lingkungan fisik dan sosial. Perubahan struktur dan penurunan fungsi
sistem tubuh tersebut diyakini memberikan dampak yang signifikan terhadap gangguan
homeostasis sehingga lanjut usia mudah menderita penyakit yang terkait dengan usia
misalnya: stroke, Parkinson, dan osteoporosis dan berakhir pada kematian. Penuaan patologis
dapat menyebabkan disabilitas pada lanjut usia sebagai akibat dari trauma, penyakit kronis,
atau perubahan degeneratif yang timbul karena stres yang dialami oleh individu. Stres
tersebut dapat mempercepat penuaan dalam waktu tertentu, selanjutnya dapat terjadi
akselerasi proses degenerasi pada lanjut usia apabila menimbulkan penyakit fisik. Oleh
karena itu diperlukannya pelaksanaan program terapi yang diperlukan suatu instrument atau
parameter yang bisa digunakan untuk mengevaluasi kondisi lansia, sehingga mudah untuk
menentukan program terapi selanjutnya. Tetapi tentunya parameter tersebut harus disesuaikan
dengan kondisi lingkungan dimana lansia itu berada, karena hal ini sangat individual sekali,
dan apabila dipaksakan justru tidak akan memperoleh hasil yang diharapkan.

URAIAN MATERI

i. Defenisi Lansia

Lanjut usia (lansia) menurut UU Nomor 13 Tahun 1998 tentang

Kesejahteraan Lanjut Usia pasal 1 ayat 2 adalah seseorang yang telah mencapai usia

enam puluh tahun ke atas. Selanjutnya pada pasal 5 ayat 1 disebutkan bah wa lanjut

usia mempunyai hak yang sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Pasal 6 ayat 1 menyatakan bahwa lanjut usia mempunyai kewajiban yang

sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Manusia usia lanjut dalam penilaian banyak orang adalah manusia yang

tidak produktif lagi. Kondisi fisik rata-rata sudah menurun sehingga dalam kondisi

yang uzur ini berbagai penyakit siap menggorogoti mereka. Dengan demikian, di usia

lanjut ini terkadang muncul semacam pemikiran bahwa mereka barada pada sisa-sisa

umur menunggu kematian

Dari ayat-ayat itu jelas, lansia seperti halnya warga negara yang lain

memiliki hak dan kewajiban sama dengan warga negara lain yang belum memasuki

usia lanjut. Masa ini dimulai sekitar usia 60, ketika seseorang mulai meninggalkan

masa-masa aktif di masyarakat dan bersiap untuk hidup lebih menyendiri. Sangat

berbeda dengan rata-rata orang yang ketakutan dengan datangnya usia tua, maka bagi

Erikson ini adalah masa yang sama pentingnya dengan fase-fase sebelumnya.

Bahkan, masa ini mungkin masa yang paling penting karena ini adalah masa terakhir

di mana kita harus bersiap untuk meninggalkan dunia ini

B. SEJARAH SINGKAT PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA.

Untuk menetapkan secara pasti kapan psikologi agama mulai di pelajari memang

agak sulit. Baik dalam kitab suci, maupun dalam sejarah tentang agama-agama tidak

terungkap secara jelas mengenai hal itu. Namun demikian, walupun secara tidak lengkap,

ternyata yang menjadi ruang lingkup kajian psikologi agama banyak di jumpai baik melalui

imformasi melalui kitab suci agama maupun sejarah agama.


Perjalanan hidup sidarta gautama dari seorang putra raja kapila-wastu yang bersedia

mengorbankan kemegahan dan kemewahan hidup menjadi seorang petapa menunjukkan

bagaimana kehidupan batin yang dialaminya dalam kaitan dengan keyakinan agama yang di

anutnya. Proses purubahan keyakinan agama ini mengungkapkan pengalaman keagamaan

yang mempengaruhi dari tokoh agam budha. Dan proses itu kemudian dalam psikologi

agama disebut dengan konversi agama.

Sidarta gautama yang putra raja itu, sejak kecil sudah hidup dalam lingkungan istana

yang serba mewah. Tetapi, ketika usia remaja, saat melihat kehidupan masyarakat, sidarta

menyaksikan berbagai bentuk penderitaan manusia dari yang tua, sakit dan orang yang

meninggal dunia. Pemandangan seperti itu tak pernah di lihat sidarta sebelumnya. Dari dialog

dengan pengawalnya, sidarta berkesimpulan bahwa kehidupan manusia penuh dengan

penderitaan, mengalami usia lanjut dan seturusnya mati.

Segala yang di saksikan sidarta membatin dalam dirinya, hingga pada suatu malam ia

keluar dari istana dan meninggalkan segala kemewahan hidup. Selenjutnya sidrata

mengalami konversi agama dari pemeluk agama hindu kepada pendakwah agama baru yaitu

agama budha.

Proses yang hampir serupa juga di lukiskan dalam alqura’an tentang cara Ibrahim as.

Memimpin ummatnya untuk bertauhid kepada Allah. Ketika malam semkin gelap di melihat

sebuah bintang dan berkata:

“Inilah tuhanku”. Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “saya tidak suka kepada

tuhan yang tenggelam.” Kemudian, tatkala melihat bulan terbit, dia berkata: ”inilah

tuhanku.”Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: “sesungguhnya jika tuhanku

memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.”Kemudian,

tatkala melihat matahari terbit ia berkata: “inilah tuhanku.ini yang lebih besar” maka tatkal
mentari itu terbenam, dia berkata “hai kaumku, sesunguhnya aku berlepas diri dari apa

yang kamu persekutukan.” (QS 6:76-78).

Perumpamaan ini melukiskan bagaimana proses konversi terjadi, walaupun dalam

informasi kitab suci tersebut di kiaskan kepada Ibrahim as. yang berusaha meyakinkan

pengikutnya tentang kekeliruan mereka menyembah benda-benda alam yang hakikatnya

hanya ciptaan dan tidak layak di sembah.

Terlalu banyak contoh-contoh yang dapat di kemukakan tentang hubungan antara

kesadaran dan pengalaman agama dengan sikap dan tingkah laku para pengikut agama, yang

kemudian di jadikan objek kajian psikologi agama. Namun, kasus-kasus seperti itu belum

dipelajri secara ilmiah, hingga hanya di anggap sebagai peristiwa keagamaan

biasa.Barangkali, kenyataan yang serupa ini menimbulkan anggapan bahwa kelahiran

psikologi agama merujuk pada kalangan pemula yang merujuk kepada ilmuan barat.

Berdasarkan sumber barat, para ahli psikologi agama menilai bahwa kajian psikologi

agama mulai popoler pada abad ke-19. sekitar masa itu psikologi yang semakin berkembang

di gunakan sebagai alat untuk kajian keagamaan. Kajian semacam itu dapat membantu

pemahaman tentang cara bertingkah laku, berpikir dan mengemukakan prasangka ke

agamaan (Robert H. Thouless, 1992:1)

Menurut Thouless, semenjak terbit buku The Varieties Of Religious Ekperience tahun

1903, sebagai kumpulan dari materi kuliah william james di empat universitas di Skotlandia,

maka langkah awal dari kajian psikologi agama mulai di akui para ahli psikologi dan dalam

jangka waktu 30 tahun kemudian banyak buku-buku lain di terbitkan sejalan dengan konsep

yang serupa. Sejak saat itu, kajian-kajian tentang psikologi agama tidak hanya terbatas pada

masalah yang menyangkut keagamaan secara umum melainkan masalah-masalah khusus.


Di tanah air sendiri tulisan mengenai psikologi agama di kenal sekiatar tahun 1970-

an, yaitu oleh Prof zakiah daradjat ada sejumlah buku yang beliau tulis untuk kepentingan

buku pegangan bagi mahasiswa di lingkungan IAIN. Di luar itu, kuliah mengenai psikologi

agama juga sudah di berikan. Khususnya di Fakultas Tarbiyah oleh Prof. Dr. A. Mukti Ali dan

Prof. zakiah daradjat sendiri. Kedu orang ini di kenal sebagai pelopor psikologi agama di

Indonesia. Sumber- sumber barat umumnya merujuk awal kelahiran psikologi agama adalah

dari karya Edwin Diller dan Starbuck dan William james, sebaliknya di dunia timur,

khususnya di wilayah kekuasaan islam kajian-kajian yang tentang hal serupa belum sempat di

masukkan. Padahal, tulisan Muhammad Ishaq ibn Yasar pada abad 7 masehi berjudul Al-

syiar wa al-Maghazi memuat berbagai fragumen dari biografi nabi Muhammad Saw ataupun

Risalah Hay Yaqzan Fi Asrar Al-Hikmat Al Masyriqiyyat yang di tulis oleh Abu Bakr

Muhammad Ibn Abd Al Malim Ibn Tufail juga memuat masalah yang erat kaitannya dengan

psikologi.

Ilmu Psikologi agama tergolong cabang psikologi yang berusia muda berdasarkan informasi

dari berbagai literature, dapat di simpulkan bahwa kelahiran psikologi agama di dukung oleh

para ahli dari berbagai disiplin ilmu.

C. SIKAP KEBERAGAMAAN PADA LANSIA

Perubahan terjadi pada manusia seiring dengan berjalannya waktu dengan melalui

tahap-tahap perkembangan. Hurlock (1991) menyebutkan tahap perkembangan tersebut

adalah periode pranatal, bayi, masa bayi, masa awal kanak-kanak, masa akhir kanak-kanak,

masa remaja awal, masa remaja, masa dewasa awal, masa dewasa madya, dan masa usia

lanjut. Masing-masing tahapan tersebut mempunyai tugas perkembangan dan karakteristik


yang berbeda-beda. Melalui tahap-tahap perkembangan tersebut, Hurlock (1991) ingin

menjelaskan bahwa menjadi tua pada manusia adalah suatu hal yang pasti terjadi dan tidak

dapat dihindari. Dengan kata lain, seiring dengan bertambahnya usia, manusia akan menjadi

tua, yaitu periode penutup dalam rentang hidup seseorang di saat seseorang telah “beranjak

jauh” dari periode tertentu yang lebih menyenangkan. Pada tahap perkembangan ini, Erikson

(dalam Santrock, 1997) menyebutnya dengan sebutan ”Integrity versus Despair”. Pada masa-

masa ini, individu melihat kembali perjalanan hidup ke belakang, apa yang telah mereka

lakukan selama perjalanan mereka tersebut. Ada yang dapat mengembangkan pandangan

positif terhadap apa yang telah mereka capai, jika demikian ia akan merasa lebih utuh dan

puas (integrity), tetapi ada pula yang memandang kehidupan dengan lebih negatif, sehingga

mereka memandang hidup mereka secara keseluruhan dengan ragu-ragu, suram, putus asa

(despair).

Sama seperti setiap periode lainnya dalam rentang kehidupan seseorang, usia lanjut

ditandai dengan perubahan fisik dan psikologis tertentu. Efek-efek tersebut menentukan,

sampai sejauh tertentu, apakah pria atau wanita lanjut usia (lansia) tersebut akan melakukan

penyesuaian diri secara baik atau buruk (Hurlock, 1991). Pendapat tersebut diperkuat oleh

pernyataan Papalia (2001) yang menyebutkan bahwa perubahan-perubahan fisik yang terjadi

pada lansia dapat menyebabkan perubahan pada kondisi jiwanya. Salah satu contohnya

adalah perubahan fisik pada lansia mengakibatkan dirinya merasa tidak dapat mengerjakan

berbagai aktivitas sebaik pada saat muda dulu. Hal ini Lansia dengan komitmen beragama

yang sangat kuat cenderung mempunyai harga diri yang paling tinggi (Krase, 1995 dalam

Papalia, 2003). Individu berusia 65 ke atas mengatakan bahwa keyakinan agama merupakan

pengaruh yang paling signifikan dalam kehidupan mereka, sehingga mereka berusaha untuk

melaksanakan keyakinan agama tersebut dan menghadiri pelayanan agamamenyebabkan

lansia kemudian menjadi demotivasi dan menarik diri dari lingkungan sosial. Masalah-
masalah lain yang terkait pada usia ini antara lain loneliness, perasaan tidak berguna,

keinginan untuk cepat mati atau bunuh diri, dan membutuhlan perhatian lebih. Masalah-

masalah ini dapat membuat harapan hidup pada lansia menjadi menurun

Melihat masalah-masalah yang potensial terjadi pada lansia maka perlu diperoleh suatu

cara untuk mencegah atau mengurangi beban dari masalah-masalah tersebut. Salah satu cara

yang dapat dilakukan oleh para lansia adalah dengan berusaha mencapai kesejahteraan

psikologis (psychological well-being). Bradburn (dalam Ryff, 1989) mendefinisikan

psychological well-being (PWB) sebagai kebahagiaan dan dapat diketahui melalui beberapa

dimensi. Dimensi-dimensi tersebut antara lain otonomi, penguasaan lingkungan,

pertumbuhan pribadi, hubungan positif dengan orang lain, tujuan hidup, serta penerimaan diri

(Ryff, 1989). Ryff juga menyebutkan bahwa PWB menggambarkan sejauh mana individu

merasa nyaman, damai, dan bahagia berdasarkan penilaian subjektif serta bagaimana mereka

memandang pencapaian potensi-potensi mereka sendiri.

Dari beberapa tiori diatas memgambarkan bahwa tujuan hidup berdasarkan nilai-nilai

yang di jalani oleh setiap manusia merupakan pondasi dasar yang membuat manusia

mencapai kesejahteraan hidup, kebahagian dunia dan akhirat, agama merupakan nilai yang

membawa manusia kepada kebahagian dunia dan akhiarat

Kehidupan keagaman pada usia lanjut menurut hasil penelitian psikologi agama

ternyata meningkat. M.Argyle mengutip sejumlah penelitian yang dilakukan ole Cavan yang

mempelajari 1.200 orang sampel yang berusia 60-100 tahun. Temuan menunjukkan secara

jelas kecendrungan untuk menerima pendapat keagamaan yang semakin meningkat pada

umur-umur ini sedangkan pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan akhirat baru

muncul sampai dengan seratus persen setelah usia 90 tahun.

Dalam banyak hal, tak jarang para ahli psikologi menghubungkan kecendrungan

peningkatan kehidupan keberagaman dengan penurunan gairah seksual.Menurut pendukung


pendapat ini manusia usia lanjut mengalami frustasi di bidang seksual, sejalan dengan

penurunan kemampuan fisik dan frustasi semacam itu di nilai sebagai satu-satunya faktor

yang membentuk sikap keagamaan. Tetapi menurut Robet H Thoules pendapat tersebut

terlalu berlebih lebihan, sebab katanya, hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun

kegiatan seksual secara biologis boleh jadi tidak ada lagi pada usia lanjut, namun kebutuhan

mencintai dan di cintai tetap ada poda usia tua

Menganalis hasil penelitian M. Argyle dan Elie A. Cohen, Robert H Thouless

cendrung berkesimpulan bahwa yang menentukan berbagai sikap keberagaman di umur tua

adalah depersonalisasi. Kecendrungan hilangnya identifikasi diri dengan tubuh dan juga

cepatnya akan datang kematian merupakan salah satu faktor yang menentuakan sikap

keberagaman.

Dalam buku psikologi agama jalaluddin menuliskan beberapa ciri-ciri keberagaman

manusia pada usia lanjut secara garis besarnya adalah:

5. Kehidupan keberagaman pada usi lanjut sudah mencapai tingkat kemantapan

6. Meningkatkan mulai munculnya pengakuan terhadap realitas tentang kehidupan

akhirat secara lebih sungguh-sungguh

7. Sikap kebragaman cendrung mengarah kepada kebutuhan saling cinta antar sesama

manusia, serta sifat-sifat luhur.

8. Meningkatnya kecendrungan untuk menerima pendapat keagamaan

9. Timbul rasa takut kepada kematian yang sejalan dengan pertambahan usia lanjut

10. Perasaan takut kepada kematian ini berdampak pada peningkatan pembentukan sikap

dan kepercayaan terhadap kehidupan abadi (akhirat)

Sebuah penelitian menyatakan bahwa lansia yang lebih dekat dengan agama

menunjukkan tingkatan yang tinggi dalam hal kepuasan hidup, harga diri dan optimisme.

Studi lain menyatakan bahwa praktisi religius dan perasaan religius berhubungan dengan
sense of well being, terutama pada wanita dan individu berusia di atas 75 tahun (Koenig,

Smiley, & Gonzales, 1988 dalam Santrock, 2006). Studi lain di San Diego menyatakan hasil

bahwa lansia yang orientasi religiusnya sangat kuat diasosiasikan dengan kesehatan yang

lebih baik (Cupertino & Haan, 1999 dalam Santrock, 2006).

Agama dapat memenuhi beberapa kebutuhan psikologis yang penting pada lansia dalam
hal menghadapi kematian, menemukan dan mempertahankan perasaan berharga dan
pentingnya dalam kehidupan, dan menerima kekurangan di masa tua (Daaleman, Perera
&Studenski, 2004; Fry, 1999; Koenig & Larson, 1998 dalam Santrock, 2006). Secara sosial,
komunitas agama memainkan peranan penting pada lansia, , seperti aktivitas sosial,
dukungan sosial, dan kesempatan untuk menyandang peran sebagai guru atau pemimpin.
Hasil studi menyebutkan bahwa aktivitas beribadah atau bermeditasi diasosiasikan dengan
panjangnya usia (McCullough & Others, 2000 dalam Santrock, 2006). Hasil studi lainnya
yang mendukung adalah dari Seybold&Hill (2001 dalam Papalia, 2003) yang menyatakan
bahwa ada asosiasi yang positif antara religiusitas atau spiritualitas dengan well being,
kepuasan pernikahan, dan keberfungsian psikologis; serta asosiasi yang negatif dengan bunuh
diri, penyimpangan, kriminalitas, dan penggunaan alkohol dan obat-obatan terlarang. Hal ini
mungkin terjadi karena dengan beribadah dapat mengurangi stress dan menahan produksi
hormon stres oleh tubuh, seperti adrenalin. Pengurangan hormon stress ini dihubungkan
dengan beberapa keuntungan pada aspek kesehatan, termasuk sistem kekebalan tubuh yang
semakin kuat (McCullough & Others, 2000 dalam Santrock, 2006).

Lansia dengan komitmen beragama yang sangat kuat cenderung mempunyai harga diri
yang paling tinggi (Krase, 1995 dalam Papalia, 2003). Individu berusia 65 ke atas
mengatakan bahwa keyakinan agama merupakan pengaruh yang paling signifikan dalam
kehidupan mereka, sehingga mereka berusaha untuk melaksanakan keyakinan agama tersebut
dan menghadiri pelayanan agama (Gallup & Bezilla, 1992 dalam Santrock 1999).

Dalam survey lain dapat dilihat bahwa apabila dibandingkan dengan younger adults,
dewasa di old age lebih memiliki minat yang lebih kuat terhadap spiritualitas dan berdoa
(Gallup & Jones, 1989 dalam Santrock 1999).. Dalam suatu studi dikemukakan bahwa self-
esteem older adults lebih tinggi ketika mereka memiliki komitmen religius yang kuat dan
sebaliknya (Krause, 1995 dalam Santrock, 1999). Dalam studi lain disebutkan bahwa
komitmen beragama berkaitan dengan kesehatan dan well-being pada young, middle-aged,
dan older adult berkebangsaan Afrika-Amerika (Levin, Chatters, & Taylor, 1995 dalam
Santrock 1999). Agama dapat menambah kebutuhan psikologis yang penting pada older
adults, membantu mereka menghadapi kematian, menemukan dan menjaga sense akan
keberartian dan signifikansi dalam hidup, serta menerima kehilangan yang tak terelakkan dari
masa tua (Koenig & Larson, 1998 dalam Santrock 1999).

Secara sosial. Komunitas religius dapat menyediakan sejumlah fungsi untuk older adults,
seperti aktivias sosial, dukungan sosial, dan kesempatan untuk mengajar dan peran
kepemimpinan. Agama dapat memainkan peran penting dalam kehidupan orang-orang tua
(Mcfadden, 1996).

HANDOUT

Mata Kuliah : Rehabilitasi Pada Lansia


Semester : VII
Pokok Bahasan : Terapi Kognitif
Sub Pokok Bahasan : Terapi Kognitif
TIU : Pada akhir perkuliahan ini mahasiswa mampu menjelaskan
Terapi Kognitif
TIK : Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa mampu
menjelaskan Terapi Kognitif

Sumber Pustaka
1. Edelmen, C L. , Mandle C L., Kudzman E. C. (2014) Health Promotion Throughout
The Life Span. 8th edition. Mosby: Elsevier Inc.
2. Rankin, S.H. & Stallings, K.D. (2005). Patient Education in Health and Illness.5th.
Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
3. Rankin, Sally H.& Stallings, Karen Duffy. (2001). Patient Education: Principles
Practice. 4th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
4. Redman, B.K. (2003). Measurement Tool in PatientEducation. 2nd Ed. Springer
Publishing Company.

PENDAHULUAN

Penuaan adalah suatu proses akumulasi dari kerusakan sel somatik yang diawali oleh
adanya disfungsi sel hingga terjadi disfungsi organ dan pada akhirnya akan meningkatkan
risiko kematian bagi seseorang. Apabila dilihat dari sudut pandang yang lebih luas, proses
penuaan merupakan suatu perubahan progresif pada organisme yang telah mencapai
kematangan intrinsik dan bersifat irreversibel serta menunjukkan adanya kemunduran sejalan
dengan waktu. Pada hakikatnya menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti
seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya, yaiyu : masa kanak-kanak, masa remaja,
dan masa tua. Tiga tahap ini berbeda, baik secara biologis maupun psikologis. Memasuki
masa tua berarti mengalami kemunduran baik fisik maupun psikis.

Corak perkembangan proses penuaan bersifat lambat namun dinamis dan bersifat
individual baik secara fisiologis maupun patologis, karena banyak dipengaruhi oleh riwayat
maupun pengalaman hidup di masa lalu yang terkait dengan faktor biologis, psikologis,
spiritual, fungsional, lingkungan fisik dan sosial. Perubahan struktur dan penurunan fungsi
sistem tubuh tersebut diyakini memberikan dampak yang signifikan terhadap gangguan
homeostasis sehingga lanjut usia mudah menderita penyakit yang terkait dengan usia
misalnya: stroke, Parkinson, dan osteoporosis dan berakhir pada kematian. Penuaan patologis
dapat menyebabkan disabilitas pada lanjut usia sebagai akibat dari trauma, penyakit kronis,
atau perubahan degeneratif yang timbul karena stres yang dialami oleh individu. Stres
tersebut dapat mempercepat penuaan dalam waktu tertentu, selanjutnya dapat terjadi
akselerasi proses degenerasi pada lanjut usia apabila menimbulkan penyakit fisik. Oleh
karena itu diperlukannya pelaksanaan program terapi yang diperlukan suatu instrument atau
parameter yang bisa digunakan untuk mengevaluasi kondisi lansia, sehingga mudah untuk
menentukan program terapi selanjutnya. Tetapi tentunya parameter tersebut harus disesuaikan
dengan kondisi lingkungan dimana lansia itu berada, karena hal ini sangat individual sekali,
dan apabila dipaksakan justru tidak akan memperoleh hasil yang diharapkan.

URAIAN MATERI

A. Pengertian Terapi Kognitif


Kognisi adalah suatu tindakan atau proses memahami. Terapi kognitif

menjelaskan bahwa bukan suatu peristiwa yang menyebabkan kecemasan dan

tanggapan maladaptif melainkan harapan masyarakat, penilaian, dan interpretasi

dari setiap peristiwa ini. Sugesti bahwa perilaku maladaptif dapat diubah oleh

berhubungan langsung dengan pikiran dan keyakinan orang (Stuart, 2009). Secara

khusus, terapis kognitif percaya bahwa respon maladaptif muncul dari distorsi

kognitif. Distorsi kognitif merupakan kesalahan logika, kesalahan dalam penalaran,

atau pandangan individual dunia yang tidak mencerminkan realitas. distorsi dapat

berupa positif atau negatif. Misalnya, seseorang yang secara konsisten dapat

melihat kehidupan dengan cara yang realistis positif dan dengan demikian

mengambil peluang berbahaya, seperti menyangkal masalah kesehatan dan

mengaku sebagai "terlalu muda dan sehat untuk serangan jantung". distorsi
kognitif mungkin juga negatif, seperti yang diungkapkan oleh orang yang

menafsirkan semua situasi kehidupan disayangkan sebagai bukti kurang lengkap

diri. Distorsi kognitif umum tercantum dalam tabel di bawah ini (Stuart, 2009.
Terapi kognitif merupakan terapi jangka pendek terstruktur berorientasi

terhadap masalah saat ini dan bersifat individu. Terapi kognitif adalah terapi yang

mempergunakan pendekatan terstruktur, aktif, direktif dan berjangkan waktu

singkat, untuk menghadapi berbagai hambatan dalam kepribadian, misalnya

ansietas atau depresi (Singgih, 2007).

B. Tujuan Terapi Kognitif


Menurut Setyoadi, dkk (2011) beberapa mekanisme koping dengan menggunakan

terapi kognitif adalah sebagai berikut:


1. Membantu klien dalam mengidentifikasi, menganalisis, dan menentang

keakuratan kognisi negative klien. Selain itu, juga untuk memperkuat persepsi

yang lebih akurat dan mendorong perilaku yang dirancang untuk mengatasi

gejala depresi. Dalam beberapa penelitian, terapi ini sama efektifnya dengan

terapi depresan.
2. Menjadikan atau melibatkan klien subjek terhadap uji realitas.
3. Memodifikasi proses pemikiran yang salah dengan membantu klien mengubah

cara berpikir atau mengembangkan pola piker yang rasional.


4. Membentuk kembali pikiran individu dengan menyangkal asumsi yang

maladaptive, pikiran yang mengannggu secara otomatis, serta proses pikir

tidak logis yang dibesar-besarkan. Berfokus pada pikiran individu yang

menentukan sifat fungsionalnya.


5. Menghilangkan sindrom depresi dan mencegah kekambuhan. Tanda dan gejala

depresi dihilangkan melalui usaha yang sistematis yaitu mengubah cara

berpikir maladaptive dan otomatis. Dasar pendekatannya adalah suatu asumsi

bahwa kepercayaan-kepercayaan yang mengalami distorsi tentang diri sendiri,

dunia, dan masa depan yang dapat menyebabkan depresi. Klien menyadari
kesalahan cara berpikirnya. Kemudian klien harus belajar cara merespon

kesalahan tersebut dengan cara yang lebih adaptif. Dengan perspektif kognitif,

klien dilatih untuk mengenal dan menghilangkan pikiran-pikiran dan harapan-

harapan negative. Cara lain adalah dengan membantun klien mengidentifikasi

kondisi negative, mencari alternative, membuat skema yang sudah ada menjadi

lebih fleksibel, dan mencari kognisi perilaku baru yang lebih adaptif.
6. Membantu menargetkan proses berpikir serta perilaku yang menyebabkan dan

mempertahankan panik atau kecemasan. Dilakukan dengan cara penyuluhan

klien, restrukrisasi jognitif, pernapasan rileksasi terkendali, umpan balik

biologis, mempertanyakan bukti, memeriksa alternative, dan reframing.


7. Menempatkan individu pada situasi yang biasanya memicu perilaku gangguan

obsesif kompulsif dan selanjutnya mencegah responsnya. Misalnya dengan

cara pelimpahan atau pencegahan respons, mengidentifikasi, dan

merestrukturisasi distorsi kognitif melalui psikoedukasi.


8. Membantu individu mempelajari respons rileksasi, membentuk hirarki situasi

fobia, dan kemudian secara bertahap dihadapkan pada situasinya sambil tetap

mempertahankan respons rileksasi misalnya dengan cara desensitisasi

sistematis. Restrukturisasi kognitif bertujuan untuk mengubah persepsi klien

terhadap situasi yang ditakutinya.


9. Membantu individu memandang dirinya sebagai orang yang berhasil bertahan

hidup dan bukan sebagai korban, misalnya dengan cara restrukturisasi kognitif.
10. Membantu mengurangi gejala klien dengan restrukturisasi system keyakinan

yang salah.
11. Membantu mengubah pemikiran individu dan menggunakan latihan praktik

untuk meningkatkan aktivitas sosialnnya.


12. Membentuk kembali perilaku dengan mengubah pesan-pesan internal.

C. Indikasi Terapi Kognitif


Menurut Setyoadi, dkk (2011) terapi kognitif efektif untuk sejumlah kondisi

psikiatri yang lazim, terutama:


1. Depresi (ringan sampai sedang).
2. Gangguan panic dan gangguan cemas menyeluruh atau kecemasan.
3. Indiividu yang mengalami stress emosional.
4. Gangguan obsesif kompulsif (obsesessive compulsive disorder) yang sering

terjadi pada orang dewasa dan memiliki respon terhadap terapi perilaku dan

antidepresan – jarang terjadi pada awal masa anak-anak, meskipun kompulsi

terisolasi sering terjadi.


5. Gangguan fobia (misalnya agoraphobia, fobia social, fobia spesifik).
6. Gangguan stress pascatrauma (post traumatic stress disorder).
7. Gangguan makan (anoreksia nervosa).
8. Gangguan mood.
9. Gangguan psikoseksual
10. Mengurangi kemungkinan kekambuhan berikutnya.
D. Teknik Terapi Kognitif

Menurut Yosep (2009) ada beberapa teknik kognitif terapi yang harus diketahui

oleh perawat jiwa. Pengetahuan tentang teknik ini merupakan syarat agar peran

perawat jiwa bisa berfungsi secar optimal. Dalam pelaksanaan teknik-teknik ini

harus dipadukan dengan kemampuan lain seperti teknik komter, milieu therapy dan

counseling. Beberapa teknik tersebut antara lain:

1. Teknik Restrukturisasi Kongnisi (Restructuring Cognitive)


Perawat berupaya untuk memfasilitasi klien dalam melakukan

pengamatan terhadap pemikiran dan perasaan yang muncul. Teknik restrukturasasi

dimulai dengan cara memperluas kesadaran diri dan mengamati perasaan dan

pemikiran yang mungkin muncul. Biasanya dengan menggunakan pendekatan 5

kolom. Masing-masing kolom terdiri atas perasaan dan pikiran yang muncul saat

menghadapi masalah terutama yang dianggap menimbulkan kecemasan saat ini.


Perawat jiwa dapat memberikan blanko restructuring cognitive, untuk kemudian

diisi oleh klien. Setelah mendapat penjelasan seperlunya, maka hasil analisa klien

dan blanko yang sudah terisi dibahas secara bersama.


2. Teknik Penemuan Fakta-Fakta (Questioning the evidence)
Perawat jiwa mencoba memfasilitasi klien agar membiasakan menuangkan

pikiran-pikiran abtraknya secara konkrit dalam bentuk tulisan untuk memudahkan

menganalisanya. Tahap selanjutnya yang harus dilakukan perawat saat

memfasilitasi kognitif terapi adalah mencari fakta untuk mendukung keyakinan

dan kepercayaannya. Klien yang mengalami distorsi dalam pemikirannya

seringkali memberikan bobot yang sama terhadap semua sumber data atau data-

data yang tidak disadarinya, seringkali klien menganggap data-data itu mendukung

pemikiran buruknya. Data bisa diperoleh dari staf, keluarga atau anggota lain

dalam masyarakat sebagai support dalam lingkungan sosialnya. Lingkungan

tersebut dapat memberikan masukan yang lebih realistik kepada klien dibanding

dengan pemikiran-pemikiran buruknya. Dalam hal ini penemuan fakta dapat

berfungsi sebagai penyeimbang pendapat klien tentang pikiran buruknya.

Berdasarkan data-data yang bisa dipercaya klien bisa mengambil kesimpulan yang

tepat tentang perasaanya selama ini.


3. Teknik penemuan alternatif ( examing alternatives)

Banyak klien melihat bahwa masalah terasa sangat berat karena tidak adanya

alternative pemecahan lagi. Khususnya pada pasien depresi dan percobaan bunuh

diri. Latihan menemukan dan mencari alternatif-alternatif pemecahan masalah

klien bisa dilakukan antara klien dengan bantuan perawat. Klien dianjurkan untuk

menuliskan masalahnya. Mengurutkan masalah-masalah paling ringan dulu.

Kemudian mencari dan menemukan alternatifnya. Klien depresi atau klien klien

gangguan jiwa lain menganggap masalahnya rumit karena akumulasi berbagai

masalah seperti: listrik belum dibayar, suami selingkuh, anak sakit, genteng bocor

dan lain-lain. Bila diurutkan dari yang paling ringan biasanya klien bisa

menemukan alternatif – alternatif yang bisa dilakukan. Sebagai contoh alternatif

listrik belum dibayar klien boleh memikirkan tentang : mungkin perlu surat
keterangan tidak mampu, menerima pemutusan sementara, mengganti dengan alat

penerangan lain, gabung dengan tetangga, bermusyawarah dengan keluarga yang

lebih mampu dan sebagainya. Disini penting sekali bagi perawat jiwa untuk

merangsang klien agar berani berfikir “lain dari yang biasany “ atau berani

“berpikir beda”.

4. Dekatastropik (decatastrophizing)
Teknik dekatastropik dikenal juga dengan teknik bila dan apa ( the what-if then ).

Hal ini meliputi upaya menolong klien untuk melakukan evaluasi terhadap situasi

dimana klien mencoba memandang masalahnya secara berlebihan dari situasi

alamiah untuk melatih beradaptasi dengan hal terburuk debngan apa-apa yang

mungkin terjadi.
Pertanyaan – pernyataan yang dapat diajukan perawat adalah:
“ apa hal terburuk yang akan terjadi bila…”
“ apakah akan gawat sekali bila hal tersebut memang betul-betul terjadi…?”
“ tindakan pemecahan masalah apabila hal tersebut benar-benar terjadi…?”

Tujuannya adalah untuk menolong klien melihat konsekuensi dari kehidupan.

Dimana tidak selamanya sesuatu itu terjadi atau tidak terjadi. Sebagai contoh klien

yang tinggal dipantai harus berani berfikir : “ apa yang akan saya lakukan bila

tsunami tiba-tiba datang?; gempa tiba-tiba melanda?; suami tiba-tiba tenggelam?;

dan sebagainya.

5. Reframing
Reframing adalah strategi dalam merubah persepsi klien terhadap situasi atau

perilaku. Hal ini meliputi memfokuskan terhadap sesuatu atau aspek lain dari

masalah atau mendukung klien untuk melihat masalahnya dari sudut pandang saja.

Perawat jiwa penting untuk memperluas kesadaran tentang keuntungan-

keuntungan dan kerugian-kerugian dari masalah. Hal ini dapat menolong klien

melihat masalah secara seimbang dan melihat dalam prespektif yang baru. Dengan

memahami aspek positif dan negatif dari masalah yang dihadapi klien dapat
memperluas kesadaran dirinya. Strategi ini juga dapat memicu kesempatan pada

klien untuk merubah dan menemukan makna baru, sebab begitu makna berubah

maka akan berubah perilaku klien. Sebagai contoh, PHK dapat dipandang sebagai

stressor tetapi setelah klien merubah makna PHK, ia dapat berfikir bahwa PHK

merupakan kesempatan untuk belajar bisnis, menemukan pengalaman baru,

banyaknya waktu bersama keluarga, saatnya belajar home industry dan meraih

peluang kerja yang lainnya.


6. Thought Stopping
Kesalahan berpikir sering kali menimbulkan dampak seperti bola salju bagi klien.

Awalnya masalah tersebut kecil, tetapi lama kelamaan menjadi sulit dipecahkan.

Teknik berhenti memikirkannya ( thought stoping ) sangat baik digunakan pada

saat klien mulai memikirkan sesuatu sebagai masalah. Klien dapat

menggambarkan bahwa masalahnya sudah selesai. Menghayalkan bahwa bel

berhenti berbunyi. Menghayalkan sebuah bata di dinding yang digunakan untuk

menghentikan berpikir dysfunctional. Untuk memulainya, klien diminta untuk

menceritakan masalahnya dan mengatakan rangkuman masalahnya dalam

khayalan. Perawat menyela khayalan klien dengan cara mengatakan keras-keras

“berhenti”. Setelah itu klien mencoba sendiri untuk melakukan sendiri tanpa selaan

dari perawat. Selanjutnya klien mencoba menerapkannya dalam situasi keseharian.


7. Learning New Behavior With Modeling
Modeling adalah strategi untuk merubah perilaku baru dalam meningkatkan

kemampuan dan mengurangi perilaku yang tidak dapat diterima. Sasaran

perilakunya adalah memecahkan masalah-masalah yang disusun dalam beberapa

urutan kesulitannya. Kemudian klien melakukan observasi pada seseorang yang

berhasil memecahkan masalah yang serupa dengan klien dengan cara modifikasi

dan mengontrol lingkungannya. Setelah itu klien meniru perilaku orang yang

dijadikan model. Awalnya klien melakukan pemecahan secara bersama dengan


fasilitator. Selanjutnya klien mencoba memecahkannya sendiri sesuai dengan

pengalaman yang diperolehnya bersama fasilitator. Sebagai contoh pada klien yang

memiliki stressor kesulitan ekonomi, klien bisa ikut magang dulu sambil belajar

bisnis atau berdagang dengan orang lain, setelah mendapat pengalaman klien bisa

melakukannya sendiri.
8. Membentuk Pola ( shaping )
Membentuk pola perilaku baru oleh perilaku yang diberikan reinforcement.

Misalnya anak yang bandel dan tidak akur bdengan orang lain berniat untuk damai

dan hangat dengan orang lain, maka pada saat niatnya itu menjadi kenyataan, klien

diberi pujian.
9. Token Economy
Token economy adalah bentuk reinforcement positif yang sering digunakan pada

kelompok anak-anak atau klien yang mengalami masalah psikiatrik. Hal ini

dilakukan secara konsisten pada saat klien mampu menghindari perilaku buruk

atau melakukan hal yang baik. Misalnya setiap berhasil bangun pagi klien

mendapat permen, setiap bangun kesiangan mendapat tanda silang atau gambar

bunga berwarna hitam. Kegiatan berlangsung terus menerus sampai suatu saat

jumlahnya diakumulasikan.
10. Role Play
Role play memungkinkan klien untuk belajar menganalisa perilaku salahnya

melalui kegiatan sandiwara yang bisa dievaluasi oleh klien dengan memanfaatkan

alur cerita dan perilaku orang lain. Klien dapat menilai dan belajar mengambil

keputusan berdasarkan konsekuensi-konsekuensi yang ada dalam cerita. Klien

biasa melihat akibat-akibat yang akan terjadi melalui cerita yang disuguhkan.

Misalnya klien melihat role play tentang seorang pasien yang tidak mau makan

obat, tidak mau mandi dan sering merokok


11. Social skill Training.
Teknik ini didasari oleh sebuah keyakinan bahwa keterampilan apapun diperoleh

sebagai hasil belajar. Beberapa prinsip untuk memperoleh keterampilan baru bagi

klien adalah:
a. Feedback
Sebagai contoh bagi klien pemalas ( abulia ), dapat diajarkan keterampilan

membersihkan lantai, perawat mendemonstrasikan cara membersihkan lantai yang

baik, selanjutnya perawat mengupayakan agar klien mempraktikkan sendiri.

Perawat melakukan feedback dengan cara menilai dan memperbaiki kegiatan yang

masih belum selesai harapan.


12. Anversion Theraphy
Anversion theraphy bertujuan untuk menghentikan kebiasan-kebiasan buruk klien

dengan cara mengaversikan kegiatan buruk tersebut dengan sesuatu yang tidak

disukai. Misalnya kebiasaan menggigit penghapus saat boring dengan cara

membayangkan bahwa penghapus itu dianggap sebagai cacing atau ulat yang

menjijikan. Setiap klien kegemukan melakukan kebiasaan ngemil makanan, maka

ia dianjurkan untuk membayangkan kotoran kambing yang dimakan terus.


13. Contingency Contracting
Contingency contracting berfokus pada perjanjian yang dibuat antara therapist

dalam hal ini perawat jiwa dengan klien. Perjanjian dibuat dengan punishment dan

reward. Misalnya bila klien berhasil mandi tepat waktu atau meninggalkan

kebiasaan merokok maka pada saat bertemu dengan perawat hal tersebut akan

diberikan reward. Konsekuensi yang berat telah disepakati antara klien dengan

perawat terutama bila klien melanggar kebiasaan buruk yang sudah disepakati

untuk ditinggalkan.
Menurut Setyoadi, dkk (2011) teknik yang digunakan dalam melakukan terapi

kkognitif adalah sebagai berikut:


1. Mendukung klien untuk mengidentifikasi kognisi atau area berpikir dan

keyakinan yang menyebabkan khawatir.


2. Menggunakan teknik pertanyaan Socratic yaitu meminta klien untuk

menggambarkan, menjelaskan dan menegaskan pikiran negative yang


merendahkan dirinya sendiri. Dengan demikian, klien mulai melihat bahwa asumsi

tersebut tidak logis dan tidak rasional.


3. Mengidentifikasi interpretasi yang lebih realities mengenai diri sendiri, nilai

diri dan dunia. Dengan demikian, klien membentuk nilai dan keyakinan baru, dan

distress enmosional menjadi hilang.


E. Langkah-Langkah Melakukan Terapi Kognitif

Menurut Setyoadi, dkk (2011) terapi kognitif dipraktikan diluar sesi terapi dan

menjadi modal utama dalam mengubah gejala. Terapi berlangsung lebih kurang

12-16 sesi yang terdiri atas:

1. Fase awal (sesi 1-4)


a. Membentuk hubungan terapeutik dengan klien.
b. Mengajarkan klien tentang bentuk kognitif yang salah serta pengaruhnyan

terhadap emosi dan fisik.


c. Menentukan tujuan terapi.
d. Mengajarkan klien untuk mengevaluasi pikiran-pikirn yang otomatis.
2. Fase pertegahan (sesi 5-12)
a. Mengubah secara berangsur-angsur kepercayaan yang salah.
b. Membantu klien mengenal akar kepercayaan diri. Klien diminta mempraktikan

keterampilann berespons terhadap hal-hal yang menimbulkan depresi dan

memodifikasinya.
3. Fase akhir (13-16)
a. Menyiapkan klien untuk terminasi dan memprediksi situasi beresiko tinggi yang

relevan untuk terjadinya kekambuhan.


b. Mengonsolidasikan pembelajaran melalui tugas-tugas terapi sendiri.
F. Strategi Pendekatan
Menurut Setyoadi, dkk (2011) strategi pendekatan terapi kognitif antara lain:
1. Menghilangkan pikiran otomatis.
2. Menguji pikiran otomatis.
3. Mengidentifikasi asumsi maladaptive.
4. Menguji validitas asumsi maladaptive.
HANDOUT

Mata Kuliah : Rehabilitasi Pada Lansia


Semester : VII
Pokok Bahasan : Terapi Review
Sub Pokok Bahasan : Terapi Life Review
TIU : Pada akhir perkuliahan ini mahasiswa mampu menjelaskan
Terapi Life Review
TIK : Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa mampu
menjelaskan Terapi Life Review

Sumber Pustaka
1. Edelmen, C L. , Mandle C L., Kudzman E. C. (2014) Health Promotion Throughout
The Life Span. 8th edition. Mosby: Elsevier Inc.
2. Rankin, S.H. & Stallings, K.D. (2005). Patient Education in Health and Illness.5th.
Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
3. Rankin, Sally H.& Stallings, Karen Duffy. (2001). Patient Education: Principles
Practice. 4th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
4. Redman, B.K. (2003). Measurement Tool in PatientEducation. 2nd Ed. Springer
Publishing Company.

PENDAHULUAN

Penuaan adalah suatu proses akumulasi dari kerusakan sel somatik yang diawali oleh
adanya disfungsi sel hingga terjadi disfungsi organ dan pada akhirnya akan meningkatkan
risiko kematian bagi seseorang. Apabila dilihat dari sudut pandang yang lebih luas, proses
penuaan merupakan suatu perubahan progresif pada organisme yang telah mencapai
kematangan intrinsik dan bersifat irreversibel serta menunjukkan adanya kemunduran sejalan
dengan waktu. Pada hakikatnya menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti
seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya, yaiyu : masa kanak-kanak, masa remaja,
dan masa tua. Tiga tahap ini berbeda, baik secara biologis maupun psikologis. Memasuki
masa tua berarti mengalami kemunduran baik fisik maupun psikis.

Corak perkembangan proses penuaan bersifat lambat namun dinamis dan bersifat
individual baik secara fisiologis maupun patologis, karena banyak dipengaruhi oleh riwayat
maupun pengalaman hidup di masa lalu yang terkait dengan faktor biologis, psikologis,
spiritual, fungsional, lingkungan fisik dan sosial. Perubahan struktur dan penurunan fungsi
sistem tubuh tersebut diyakini memberikan dampak yang signifikan terhadap gangguan
homeostasis sehingga lanjut usia mudah menderita penyakit yang terkait dengan usia
misalnya: stroke, Parkinson, dan osteoporosis dan berakhir pada kematian. Penuaan patologis
dapat menyebabkan disabilitas pada lanjut usia sebagai akibat dari trauma, penyakit kronis,
atau perubahan degeneratif yang timbul karena stres yang dialami oleh individu. Stres
tersebut dapat mempercepat penuaan dalam waktu tertentu, selanjutnya dapat terjadi
akselerasi proses degenerasi pada lanjut usia apabila menimbulkan penyakit fisik. Oleh
karena itu diperlukannya pelaksanaan program terapi yang diperlukan suatu instrument atau
parameter yang bisa digunakan untuk mengevaluasi kondisi lansia, sehingga mudah untuk
menentukan program terapi selanjutnya. Tetapi tentunya parameter tersebut harus disesuaikan
dengan kondisi lingkungan dimana lansia itu berada, karena hal ini sangat individual sekali,
dan apabila dipaksakan justru tidak akan memperoleh hasil yang diharapkan.

PRE PLANNING TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK (TAK)


REMINISCENCE THERAPY

A. Latar Belakang Topik


Reminiscence therapy atau life review therapy adalah suatu terapi yang
dilakukan pada lansia yang menekankan pada pengalaman masa lalu lansia. Life
review therapy memiliki dampak yang positif bagi lansia. Penelitian dengan judul
Group integrative reminiscence therapy on self-esteem, life satisfaction and
depressive symptoms in institutionalized older veterans yang dilakukan oleh Li-Fen
Wu pada tahun 2011 didapatkan bahwa life review therapy dapat mengurangi tanda-
tanda terjadinya depresi, meningkatkan harga diri dan meningkatkan kualitas hidup
seorang lansia.1 penelitian serupa berjudul The effects of group reminiscence therapy
on depression, self-esteem, and affect balance of Chinese community-dwelling elderly
yang dilakukan oleh Wenjuan Zhoua dkk pada tahun 2011, didapatkan pula
reminiscence therapy ini efektif terhadap penurunan depresi, peningkatan harga diri.
Pengkajian yang telah dilakukan pada tanggal 5 Maret 2012 di Wisma Kunthi Unit
Rehabilitasi Sosial Wening Wardoyo, didapatkan hasil bahwa jumlah total lanjut usia
(lansia) di wisma tersebut adalah 6 lansia yang terdiri dari 4 lansia wanita dan 2 lansia
laki-laki. Pengkajian kepada masing-masing lansia dilakukan melalui wawancara
maupun observasi. Berdasarkan pengkajian yang telah dilakukan, ditemukan adanya
hambatan komunikasi dalam wisma Kunthi. Didukung dari adanya keluhan dari Ny.
SJ bahwa para lansia lebih banyak menghabiskan waktu di kamar, Tn. SR
mengatakan jarang keluar kamar dan berkomunikasi dengan lansia lain, Ny. Sn.
Jarang berkomunikasi dengan lansia lain yang tinggal satu wisma. Selain itu, dari
hasil observasi menunjukkan jika para lansia sibuk dengan aktivitas mereka sendiri
dan tampak jarang berkomunikasi dan jarang menyapa dengan lansia lain. Tn.Sr juga
tampak menghabiskan waktu di dalam kamar. Berdasarkan hasil dari pengkajian dan
observasi didapatkan bahwa keadaan lansia yang berada di wisma kunthi masih
kurang komunikasi yang efektif, belum ada keakraban satu sama lain, maka dari itu
perlu dilakukan terapi aktivitas kelompok untuk menjalin keakraban sehingga timbul
komunikasi yang efektif sesama lansia yang tinggal di Wisma Kunthi Unit
Rehabilitasi Wening Wardoyo Ungaran. Terapi aktivitas kelompok yang akan
dilakukan adalah Life Review Therapy yang menekankan pada pengalaman masa lalu
klien atau hobi di masa lalu klien. Diharapkan dengan terapi ini dapat meningkatkan
harga diri pada lansia dan akan berdampak pada interaksi yang maksimal dan
komunikasi yang efektif antar sesama lansia.

B. Topik
Terapi Aktivitas Kelompok dengan tema menjalin keakraban dengan “reminiscence
therapy”

C. Tujuan TAK
1. Umum
Tujuan dari terapi aktivitas kelompok ini adalah untuk menambah rasa keakraban
maupun kekeluargaan antar lansia.
2. Hasil
a. Lansia mampu meningkatkan komunikasi yang efektif dengan sesama lansia
b. lansia dapat saling tolong-menolong dalam kegiatan sehari-hari
c. Lansia dapat menghabiskan waktu bersama-sama misalnya bercerita bersama,
menonton TV bersama, makan bersama sambil bersenda gurau.

D. Kriteria Peserta
Kriteria peserta dalam TAK ini antara lain :
1. Merupakan penghuni wisma Kunti Unit Rehabilitasi Sosial Wening Wardoyo
(lansia maupun pengasuh)
2. Mau dan mampu mengikuti TAK

E. Proses Seleksi Peserta


Proses seleksi peserta dilakukan dengan :
1. Memberi tahu penghuni wisma Kunti sehari sebelum dilakukan TAK
2. Menjelaskan tujuan TAK kepada penghuni wisma
3. Menanyakan kesediaan masing-masing kalayan untuk mengikuti TAK
4. Melakukan terapi antar kelompok kepada seluruh peserta
F. Uraian Struktur Kegiatan
1. Tempat Pertemuan
Kegiatan dilaksanakan di ruang tamu wisma Kunti Unit Rehabilitasi Sosial Wening
Wardoyo Ungaran
2. Hari/Tanggal
Hari : Rabu
Tanggal : 14 Maret 2012
3. Waktu
Kegiatan TAK dilaksanakan pukul 11.30 – 12.20 WIB
4. Jumlah Peserta
Jumlah : 6 peserta
5. Setting Tempat

6. Perilaku yang Ditampilkan


a. Para lansia dapat bercerita mengenai masa lalu mereka (seperti: hobi,
pekerjaan, pengalaman yang menyenangkan, dsb).
b. Para lansia dapat memberikan umpan balik kepada setiap cerita lansia.
c. Para lansia dapat saling menghargai setiap cerita yang diberikan oleh lansia
lain.
7. Metode TAK : Metode TAK berupa diskusi kelompok, bermain, bercerita.
8. Pengorganisasian (Pembagian tugas dan uraian tugas : Leader, Co Leader,
fasilitator, Observer)
a. Leader
1) Bertugas memimpin jalannya terapi
2) Bertugas memerikan bola yang akan diputar
b. Co Leader
1) Siap sedia mengganti leader apabila leader berhalangan atau sudah lelah.
2) Membantu leader dalam memimpin jalannya TAK.
3) Memanagement waktu permainan.
c. Fasilitator
1) Bertugas membantu jalannya TAK
2) Memfasilitasi lansia khususnya yang mengalami penurunan pendengaran
maupun penglihatan agar dapat memahami proses TAK.
d. Observer
1) Mengawasi jalannya proses TAK
2) Menyimpulkan hasil TAK setelah TAK berakhir

G. Alat yang akan Digunakan


1. Laptop : Digunakan untuk memainkan musik
2. Speaker : Digunakan untuk memperkeras suara musik yang dimainkan
3. Bola plastic : Sebagai alat yang digunakan untuk diputar ketika permainan
4. Kursi :Sebagai tempat duduk

H. Tahap Pelaksanaan TAK


1. Tahap Orientasi (5 menit)
a. Terapis mengucapkan salam terapeutik.
b. Menanyakan perasaan para lansia hari ini.
c. Terapis memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan dilakukannya TAK.
d. Terapis membuat kontrak waktu lama bermain dengan lansia.
e. Terapis menjelaskan aturan permainan.

2. Tahap Kerja (30 menit)


a. MP3 diputar dan musik mengalun. Sembari musik mengalun, bola plastik
diputar secara mengelilingi para lansia.
b. MP3 dimatikan dan bola berhenti pada satu lansia. Saat bola berhenti pada
satu lansia, para fasilitator/ leader/ co leader memancing lansia dalam
mengungkapkan perasaannya.
c. Lansia dapat bercerita mengenai diri mereka, seperti pekerjaan mereka
dahulu, hobi mereka, dan sebagainya.
d. Para fasilitator membantu lansia dalam mengungkapkan perasaannya.
e. Setelah lansia bercerita, leader menanyakan kepada lansia yang lain
mengenai cerita yang disampaikan lansia atau mempersilakan lansia yang
lain untuk bertanya.
f. Setelah lansia bercerita dan lansia lain mengungkapkan perasaan mereka,
lagu diputar lagi sampe tiap-tiap lansia mendapat giliran untuk bercerita
mengenai pengalaman masa lalu, hobi, atau apapun.
3. Tahap Hasil (15 menit)
a. Terapis menanyakan perasaan para lansia setelah mengikuti TAK
b. Observer membuat kesimpulan mengenai TAK yang sudah dilakukan
c. Observer mendiskusikan rencana tindak lanjut yang dapat dilalukan oleh
para lansia, seperti menganjurkan para lansia untuk meningkatkan
komunikasi yang efektif dan bersahabat antara satu dengan yang lain.
d. Observer mengucapkan salam penutup.

I. Evaluasi
1. Struktur
a. Pre planning dibuat sesuai dengan masalah keperawatan yang ada dalam
wisma Kunthi
b. Topik dan tujuan TAK sesuai dengan masalah yang ada dalam wisma
c. Kontrak waktu dan tempat sehari sebelum pelaksanaan pada lansia.
d. Media alat sesuai dengan kondisi para lansia
e. Materi TAK dipersiapkan dua hari sebelum TAK
2. Proses
a. Peserta TAK (6 orang lansia) hadir dan duduk pada kursi sesuai setting
b. Pelakasanaan TAK berjalan sesuai tempat dan waktu yang telah
ditentukan.
c. Peserta (6 orang lansia) mengikuti kegiatan hingga selesai
d. Peralatan lengkap tersedia
e. Ada evaluasi dan kontrak lebih lanjut untuk para lansia
f.Leader, Co Leader, Fasilitator, Observer, menjalankan masing-masing
tugasnya.
3. Hasil
a. TAK dilakukan 50 menit
b. Semua peserta (6 orang lansia) dapat menceritakan pengalamannya
sesuai dengan kemampuan lansia
c. Lansia berjabat tangan setelah TAK selesai

HANDOUT

Mata Kuliah : Rehabilitasi Pada Lansia


Semester : VIII
Pokok Bahasan : Terapi Musik
Sub Pokok Bahasan : Terapi Musik
TIU : Pada akhir perkuliahan ini mahasiswa mampu menjelaskan
Terapi Musik
TIK : Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa mampu
menjelaskan Terapi Musik

Sumber Pustaka
1. Edelmen, C L. , Mandle C L., Kudzman E. C. (2014) Health Promotion Throughout
The Life Span. 8th edition. Mosby: Elsevier Inc.
2. Rankin, S.H. & Stallings, K.D. (2005). Patient Education in Health and Illness.5th.
Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
3. Rankin, Sally H.& Stallings, Karen Duffy. (2001). Patient Education: Principles
Practice. 4th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
4. Redman, B.K. (2003). Measurement Tool in PatientEducation. 2nd Ed. Springer
Publishing Company.
PENDAHULUAN

Penuaan adalah suatu proses akumulasi dari kerusakan sel somatik yang diawali oleh
adanya disfungsi sel hingga terjadi disfungsi organ dan pada akhirnya akan meningkatkan
risiko kematian bagi seseorang. Apabila dilihat dari sudut pandang yang lebih luas, proses
penuaan merupakan suatu perubahan progresif pada organisme yang telah mencapai
kematangan intrinsik dan bersifat irreversibel serta menunjukkan adanya kemunduran sejalan
dengan waktu. Pada hakikatnya menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti
seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya, yaiyu : masa kanak-kanak, masa remaja,
dan masa tua. Tiga tahap ini berbeda, baik secara biologis maupun psikologis. Memasuki
masa tua berarti mengalami kemunduran baik fisik maupun psikis.

Corak perkembangan proses penuaan bersifat lambat namun dinamis dan bersifat
individual baik secara fisiologis maupun patologis, karena banyak dipengaruhi oleh riwayat
maupun pengalaman hidup di masa lalu yang terkait dengan faktor biologis, psikologis,
spiritual, fungsional, lingkungan fisik dan sosial. Perubahan struktur dan penurunan fungsi
sistem tubuh tersebut diyakini memberikan dampak yang signifikan terhadap gangguan
homeostasis sehingga lanjut usia mudah menderita penyakit yang terkait dengan usia
misalnya: stroke, Parkinson, dan osteoporosis dan berakhir pada kematian. Penuaan patologis
dapat menyebabkan disabilitas pada lanjut usia sebagai akibat dari trauma, penyakit kronis,
atau perubahan degeneratif yang timbul karena stres yang dialami oleh individu. Stres
tersebut dapat mempercepat penuaan dalam waktu tertentu, selanjutnya dapat terjadi
akselerasi proses degenerasi pada lanjut usia apabila menimbulkan penyakit fisik. Oleh
karena itu diperlukannya pelaksanaan program terapi yang diperlukan suatu instrument atau
parameter yang bisa digunakan untuk mengevaluasi kondisi lansia, sehingga mudah untuk
menentukan program terapi selanjutnya. Tetapi tentunya parameter tersebut harus disesuaikan
dengan kondisi lingkungan dimana lansia itu berada, karena hal ini sangat individual sekali,
dan apabila dipaksakan justru tidak akan memperoleh hasil yang diharapkan.
URAIAN MATERI
TERAPI MORDALITAS (TERAPI MUSIK)

A. TOPIK
Terapi Musik

B. TUJUAN
1. Tujuan Umum : Klien mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan masalah
yang diakibatkan oleh paparan stimulus pada pasien gangguan jiwa
2. Tujuan Khusus
- Klien dapat meningkatkan kwalitas fisik dan mental dengan rangsangan suara
dari musik yang diberikan.

C. Landasan Teori
1.1 Definisi
Terapi music adalah usaha meningkatkan kualitas fisik dan mental
dengan rangsangan suara yang terdiri dari melodi, ritme, harmoni, tombre,
bentuk dan gaya yang di organisir sedemikian rupa hingga tercipta misik yang
bermanfaat untuk kesehatan fisik dan mental.
Terapi music adalah terapi yang universal dan bisa diterima oleh semua
ornag karena kita tidak menbutuhkan kerja otak yang berat untuk
menginterpretasi alunan music. Terapi musik sangat mudah diterima organ
pendengaran kita dan kemudian melalui saraf pendengaran disalurkan ke
bagian otak yang memproses emosi (system limbic). Musik sangat berfungsi
sebagai ungkapan perhatian, baik bagi para pendengar yang mendengarakan
maupun bagi pemusik yang menggubahnya. Sasaran terapi music dalam
lapangan pandang kedokteran adalah pada perkembangan manusia sebagai
suatu kesatuan yang unik dan tak terpisahkan.
Musik dapat berfungsi sebagai ungkapan perhatian, baik bagi para
pendengar yang mendengarkan maupun bagi pemusik yang menggubahnya.
Sasaran terapi musik dalam lapangan pandang kedokteran adalah pada
perkembangan manusia sebagai satu kesatuan yang unik dan tak terpisahkan.
Salah satu figur yang paling berperan dalam terapi music di awal abad
ke-20 adalah Eva Vescelius yang banyak mempublikasikan terapi musik lewat
tulisan-tulisannya. Ia percaya bahwa objek dari terapi music adalah melakukan
penyelarasan atau harmonisasi terhadap seseorang melalui fibrasi. Demikian
pula dengan Margareth Anderton, seorang guru piano berkebangsaan inggris,
yang meengemukakan tentang efek alat music (khusus untk pasien dengan
kendala psikologis) karena hasil penelitiannya menunjukkan bahwa timbre
(warna suara) music dapat menimbulkan efek terapeutik.
Kwalitas dari music yang memiliki andil terhadap fungsi-fungsi dalam
pemgungkapan perhatian terletak pada struktur dan urutan matematis yang di
miliki, yang mampu menuju pada ketidakberesan dalam kehidupan seseorang.
Peran sertanya Nampak dalam suatu pengalaman musical seperti menyanyi,
dapat menghasilkan intergrasi pribadi yang mempersatukan tubuh, pikiran,
dan roh. Bagi penyanyi dalam sebuah kelompok, music memberikan suatu
komunikasi yang intim dan emosional antara pemimpin dan anggota
kelompok secara individu, juga antara anggota itu sendiri, dan masih terjadi
ketika hubungan antarpribadi itu menjadi terbatas atau pecah. Music dapat
mempersatukan suatu kelompok yang beraneka ragam menjadi suatu unit
yang fungsional. Fungsi music sebagai ungkapan perhatian dapat dilihat ketika
music dialami sebagai suatu pemberian dari orang-orang yang kelihatannya
tidak memiliki apa-apa.

a. Musik sebagai Terapi dan Ungkapan Perhatian


Penggunaan musik sebagai ungkapan perhatian dan suatu terapi
tambahan bagi konseling pastoral melibatkan integrasi dari beberapa disiplin
sejarah : pendidikan musik, pelayanan musik, dan terapi musik. Terapi musik
merupakan yang paling muda dari ketiga bidang ini dan yang langsung
berhubungan dengan aplikasi klinis music.Musik dapat disebut sebagai terapi
untuk menstimulasi, memulihkan, menghidupkan, mempersatukan, membuat
seseorang peka, menjadi saluran, dan memerdekakan. Terapi musik memiliki
suatu kapasitas yang unik dan mapan sehingga memungkinkan terjadinya
perubahan hidup.
Musik mengandung kumpulan yang sistematis dan teratur dari
berbagai komponen suara irama, melodi, dan keselarasan untuk dapat dilihat
dan dinikmati. Musik, seperti bentuk seni lainnya, merupakan ekspresi yang
penuh gaya. Musik melibatkan pengelolaan serta keterampilan dari materi
artistik sehingga dapat menyajikan atau mengomunikasikan suatu hal tertentu,
gagasan, atau keadaan perasaan.
Biasanya tipe musikal dapat dipilih sendiri oleh pasien atau diusulkan
oleh terapis. Terapi musik formal sering menggunakan irama sederhana dan
instrumen perkusi yang dapat dimainkan oleh hampir setiap orang. Pilihan
materi musik, medium musik, tingkat kompleksitas, dan sasaran terapetik
merupakan keputusan dan kesepakatan antar terapis, dan antara terapis musik
dan pasien. Seperti dalam semua cara terapi, terapi musik menyangkut
penilaian terhadap pasien, aktivitas yang akan dilakukan (termasuk sasaran),
pengalaman terapetik, dan evaluasi.

b. Musik sebagai Terapi Tingkah Laku


Terapi music lebih dari sekedar penghiburan : lebih daripada sekedar
pengalaman yang mendidik atau suatu aktifitas social, bersifat mendidik, dan
maksud-maksud social. Secara teknis, tarapi music telah di definisikan sebagai
“suatu system yang telah dikembangkan secara maksimal untuk menstimulasi
dan mengarahkan tingkah laku untuk mencapai perilaku untuk mencapai
sasaran terapi yang benar-benar jelas”. Salah satu penyajian yang terbaik dan
paling singkat dari kerangka konseptual ini adalah yang diberikan oleh
William Sears dalam makalahnya yang berjudul “Proses in Music Therapy”.
a. Musik memberikan pengalaman di dalam struktur
Sasarannya ialah untuk memperpanjang komiten kepada aktifitas,
untuk membuat aneka ragam komitmen, dan menumbuhkan kesadaran
akan manfaat yang di peroleh. Dengan cara yang tidak memaksa,
music menuntut tingkah laku yang sesuai dengan urutan waktu, realitas
yang teratur, kecakapan yang teratur, dan pengaruh yang teratur. Music
menimbulkan gagasan dan asosiasi ekstramusikal.
b. Music memberikan pengalaman dalam mengorganisasi diri
Pengalaman mempengaruhi sikap, perhatian, nilai-nilai, dan
pengertian seseorang. Sasaran harus memberikan kepuasan sehingga
seseorang akan berusaha untuk memperoleh lebih banyak pengalaman
serupa yang aman, baik, dan nikmat. Music menyediakan kesempatan
untuk ekspersi diri dan memperoleh kecakapan baru yang memperkaya
citra diri (terutma bagi yang memiliki keterbatasan tubuh atau cacat)
c. Music memberikan pengalaman dalam hubungan antar pribadi
Music merupakan kesempatan untuk pertemuan kelompok di mana
individu telah mengesampingkan kepentingannya demi kepentingan
kelompok. Sasarannya ialah untuk meperbanyak jumlah anggota
dalam kelompok, menambah jangkauan dan variasi interaksi, dan
menyediakan pengalaman yang akan memudahkan melakukan
adaptasi terhadap kehidupan diluar lembaga. Pengalaman kelompok
memungkinkan seseorang berbagai rasa secara intens dalam cara-cara
yang secara social dapat diterima ; music memberikan penghiburan
dan rekreasi yang diperlukan bagi lingkungan terapi secara umum.
Juga bantuan pengalaman dalam pengembangan dalam
pengembangan kecakapan social sexara reslitis dan pola tingkah laku
pribadi yang dapat diterima secar lembaga dan kelompok sebaya
dalam masyarakat.

c. Jenis Musik yang di Gunakan


Pada dasarnya hampir semua jenis musik bisa dinamakan untuk terapi musik.
Namun kita harus tahu pengaruh setiap jenis musik terhadap pikiran. Setiap
nada, melodi, ritme, harmoni, timbre, bentuk dan gaya musik akan memberi
pengaruh berbeda kepada pikiran dan kita capai. Ada dua macam terapi musik:
1. Terapi musik aktif : Dalam terapi musik aktif pasien diajak bernyanyi,
belajar main menggunakan alat musik, menirukan nada-nada, bahkan
membuat lagu singkat. Dengan kata lain pasien berinteraksi aktif dengan
dunia musik . untuk melakukan terapi musik aktif tentu saja dibutuhkan
bimbingan seorang pakar terapi musik yang kompeten.
2. Terapi musik pasif : Inilah terapi musik yang murah, mudah dan efektif.
Pasien tinggal mendengarkan dan menghayati suatu alunan musik tertentu
yang disesuaikan dengan masalahnya. CD Terapi musik termasuk jenis
terapi musik pasif. Hal terpenting dalam terapi musik pasif adalah
pemilihan jenis musik harus tepat dengan kebutuhan pasien. Oleh karena
itu, kami membuat puluhan jenis CD Terapi musik yang disesuaikan
dengan kebutuhan anda.
Musik sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Musik memiliki 3 bagian
penting yaitu beat, ritme, dan harmony. Contoh paling nyata bahwa beat sangat
mempengaruhi tubuh adalah dalam konser musik rock. Bisa dipastikan tidak ada
penonton maupun pemain dalam konser musik rock yang tubuhnya tidak bergerak.
Semuanya bergoyang dengan dahsyat, bahkan cenderung lepas kontrol. Kita masih
ingat dengan “head banger”, suatu gerakan memutar mutar kepala mengikuti irama
music rock yang kencang. Dan tubuh itu mengikutinya seakan tanpa rasa lelah.
Jika hati kita sedang susah, cobalah mendengarkan musik yang indah, yang
memiliki irama (ritme) yang teratur. Perasaan kita akan lebih enak dan enteng,
bahkan di luar negeri, pihak rumah sakit banyak memperdengarkan lagu-lagu indah
untuk membantu penyembuhan para pasiennya. Itu suatu bukti, bahwa ritme sangat
mempengaruhi jiwa manusia.
Sedangkan harmony sangat mempengaruhi roh. Jika kita menonton film
horor, selalu terdengar harmony (melodi) yang menyayat hati, yang membuat bulu
kuduk kita berdiri. Dalam ritual-ritual keagamaan juga banyak digunakan harmony
yang membawa roh manusia masuk ke dalam alam penyembahan. Di dalam
meditasi, manusia mendengar harmony dari suara-suara alam di sekelilingnya.
Terapi musik yang efektif menggunakan musik dengan komposisi yang
tepat antara beat, ritme dan harmony yang sesuaikan dengan tujuan dilakukannya
terapi musik. Jadi memang terapi musik yang efektif tidak bisa menggunakan
sembarang musik.

1.5 Manfaat Terapi Musik


1. Relaksasi, mengistirahatkan tubuh dan pikiran
Manfaat yang pasti dirasakan setelah melakukan terapi musik adalah perasaan
rileks, tubuh lebih bertenaga dan pikiran lebih fresh. Terapi musik memberikan
kesempatan bagi tubuh dan pikiran untuk mengalami relaksasi yang sempurna.
Dalam kondisi relaksasi (istirahat) yang sempurna itu, seluruh sel dalam tubuh akan
mengalami re-produksi, penyembuhan alami berlangsung, produksi hormon tubuh
diseimbangkan dan pikiran mengalami penyegaran.
2. Meningkatkan kecerdasan.
Sebuah efek terapi musik yang bisa meningkatkan intelegensi seorang
disebut efek mozart. Hal ini telah diteliti secara ilmiah oleh frances Rauscher et al
dari Universitas California. penelitian lain juga membuktikan bahwa masa dalam
kandungan dan bayi adalah waktu yang paling tepat untuk menstimulasi otak anak
agar menjadi cerdas. Hal ini karena otak anak dalam masa pembentukan, sehinngga
sangat baik apabila mendapatkan rangsangan yang positif. Ketika seorang ibu yang
sedang hamil sering mendengarkan terapi musik, janin di dalam kandungannya juga
ikut mendengarkan. Otak janin pun akan terstimulasi untuk belajar sejak dalam
kandungan. Hal ini dimaksudkan agar kelak si bayi akan memiliki tingkat
intelegensia yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang dibesarkan tanpa
dibesarkan tanpa diperkenalkan pada musik.
3. Meningkatkan motivasi.
Motivasi adalah hal yang hanya bisa dilahirkan dengan perasaan dan mood
tertentu. Apabila ada motivasi, semangat pun akan muncul dan segala kegiatan bisa
dilakukan. Begitu juga sebaliknya, jika motivasi terbelenggu, maka semangatpun
menjadi lurus, lemas, tak ada tenaga untuk beraktivitas. Dari hasil penelitian,
ternyata jenis musik tertentu bisa meningkatkan motivasi, semangat dan
meningkatkan level energi seseorang.
4. pengembangan diri.
Musik ternyata sangat berpengaruh terhadap pengembangan seseorang. Hati-
hati, karena musik yang anda dengarkan menentukan kualitas pribadi anda. Hasil
penelitian kami menunjukan bahwa orang yang punya masasalah perasaan, biasanya
cendrung mendengarkan musik yang sesuai perasaannya. Misalnya orang yang
putus cinta, mendengarkan musik atau lagu bertema putus cinta atau sakit hati. Dan
hasilnya adalah masalahnya menjadi semakin parah. Dengan mengubah jenis musik
yang didengarkan menjadi musik yang memotivasi, dalam beberapa hari masalah
perasaan bisa hilang dengan sendirinya atau berkurang sangat banyak.
Dan jika anda mau, Anda bisa mempunyai kepribadian yang anda inginkan dengan
cara mendengarkan jenis music yang tepat
5. Meningkatkan Kemampuan Mengingat
Terapi music bisa meningkatkan daya ingat dan mencegah kepikunan. Hal ini bisa
terjadi karena bagian otak bisa memproses music terletak berdekatan dengan
memori. Sehingga ketika seseorang melatih otak dengan terapi music, maka secara
otomatis memorinya juga ikut terlatih. Atas dasar inilah terapi music banyak
digunakan di sekolah-sekolah modern di Amerika dan Eropa untuk meningkatkan
prestasi akademik siswa. Sedangkan di pusat rehabilitasi, terapi music banyak
digunakan untuk menangani masalah kepikunan dan kehilangan ingatan.
6. Kesehatan Jiwa
ilmuan Arab, Abu Nasr al-farabi (873-950M) dalam bukunya “Great Book About
Music”, mengatakan bahwa music membuat rasa tenang, sebagai pendidikan moral,
mengendalikan emosi, pengembangan spiritual, menyembuhkan gangguan
psikologis. Pernyataan itu tentu saja berdasarkan pengalamannya dalam
menggunakan music sebagai terapi. Sekarang di zaman Modern, terapi music
banyak digunakan oleh psikolog maupun psikiater untuk mengatasi berbagai macam
gangguan kejiwaan, gangguan mental atau gangguan psikologis.
7. Mengurangi Rasa Sakit
Musik bekerja pada system saraf otonom yaitu bagian sistem saraf yang
bertanggung jawab mengontrol tekanan darah, denyut jantung dan fungsi otak, yang
mengontrol perasaan dan emosi. Menurut penelitian, kedua system tersebut bereaksi
sensitive terhadap music. Ketika kita merasa sakit, kita menjadi takut, frustasi dan
marah yang membuat kita menegangkan otot-otot tubuh, hasilnua secara relaks
secara fisik dan mental, sehingga membantu menyembuhkan dan mencegah rasa
sakit. Dalam proses persalinan, terapi musik berfungsi mengatasi kecemasan dan
mengurangi rasa sakit. Sedangkan bagi para penderita nyeri kronis akibat suatu
penyakit, terapi music terbukti membantu mengatasi rasa sakit.
8. Menyeimbangkan Tubuh
Menurut penelitian para ahli, stimulasi music membantu menyeimbangkan organ
keseimbangan yang terdapat di telinga dan otak. Jika organ keseimbangan sehat
maka kerja organ tubuh lainnya juga menjadi lebih seimbang dan lebih sehat.
9. Meningkatkan Kekebalan Tubuh
Dr John Diamond dan Dr David Nobel, telah melakukan riset mengenai efek dari
musik terhadap tubuh manusia dimana mereka menyimpulkan bahwa : Apabila jenis
music yang kita dengar sesuai dan dapat diterima oleh tubuh manusia, maka tubuh
akan bereaksi dengan mengeluarkan jenis hormone (serotonin) yang dapat
menimbulkan rasa nikmat dan senang sehingga tubuh akan menjadi lebih kuat
(dengan meningkatnya sistem kekebalan tubuh) dan membuat kita menjadi lebih
sehat.
10. Meningkatkan Olahraga
Mendengarkan musik selama olahraga dapat memberikan olahraga yang baik
dalam beberapa cara, diantaranya meningkatkan daya tahan, meningkatkan mood
dan mengalihkan Anda dari setiap pengalaman yang tidak nyaman selama olahraga.
Ternyata penyembuhan terapi musik tidak hanya terbatas pada kesehatan mental
atau masalah psikologis saja. Telah dilakukan studi terhadap pasien-pasien penderita
luka bakar, penyakit jantung, hipertensi, stroke, nyeri kronis, alergi, maag, kanker
dan penyakit lainnya, terapi musik juga bisa digunakan untuk membantu proses
penyembuhan. Terapi musik dapat mengurangi kebutuhan pengobatan selama
kelahiran dan dilengkapi fungsi mati rasa dalam operasi dan perawatan gigi,
terutama jika yang dirawat anak-anak serta pasien yang menjalani prosedur
pembedahan. Musik juga berguna untuk mengatasi trauma pada bayi yang lahir
premature. Disamping situasi akut ini, terapi musik juga membantu menghilangkan
rasa sakit. Terapi musik juga dapat memperbaiki kualitas bagi pasien yang
mengalami sakit berkepanjangan dan menambah kesehatan orang-orang jompo,
termasuk untuk penderita Alzheimer. Musik juga telah digunakan untuk melengkapi
perawatan. Selain itu terapi musik juga berguna untuk mendukung keharmonisan
keluarga dan memotivasi kinerja karyawan.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa efek biologis dari suara dan musik
dapat mengakibatkan :
a. Energi otot akan meningkat atau menurun terkait dengan stimulasi irama
b. Tarikan nafas dapat menjadi cepat atau berubah secara teratur
c. Timbulnya berbagai efek pada denyut jantung, tekanan darah, dan fungsi
endokrin
d. Berkurangnya stimulus sensorik dalam berbagai tahapan
e. Kelelahan berkurang atau tertunda, tetapi tegangan otot meningkat
f. Perubahan yang meningkatkan elektrisitas tubuh
g. Perubahab pada metabolisme dan biosintesis pada beberapa proses enzim
Setidaknya ada tiga sistem saraf dalam otak yang akan terpengauh oleh musik yang
didengarkan, yaitu :
a) Sistem Otak yang Memproses Perasaan
Musik adalah bahasa jiwa, ia mampu membawa perasaan ke arah mana saja. Musik
yang Anda dengar akan merangsang sistem saraf yang akan menghasilkan suatu
perasaan. Perangsangan sistem saraf ini mempunyai arti penting bagi pengobatan,
karena sistem saraf ambil bagian dalam proses fisiologis. Dalam ilmu kedokteran
jiwa, jika emosi tidak harmonis, maka akan mengganggu sistem lain dalam tubuh
kita, misalnya sistem pernafasan, sistem endokrin, sistem immun, sistem
kardiovaskuler, sistem metabolik, sistem motorik, sistem nyeri, sistem temperatur
dan lain sebagainya. Semua sistem tersebut dapat bereaksi positif jika mendengar
musik yang tepat.
b) Sistem Otak Kognitif
Aktivasi sistem ini dapat terjadi walaupun seseorang tidak mendengarkan atau
memperhatikan musik yang sedang diputar. Musik akan merangsang sistem ini
secara otomatis. Jika sistem ini dirangsang maka seseorang akan meningkatkan
memori, daya ingat, kemampuan belajar, kemampuan matematika, analisis, logika,
intelegensi dan kemampuan memilah, disamping itu juga adanya perasaan bahagia
dan timbulnya keseimbangan sosial.
c) Sistem Otak yang Mengontrol Kerja Otot
Musik secara langsung bisa mempengaruhi kerja otot kita. Detak jantung dan
prnafasan bisa melambat atau cepat secara otomatis, tergantung alunan musik yang
didengar. Bahkan bayi dan orang tidak sadar pun tetap terpengaruh oleh alunan
musik. Bahkan ada suatu penelitian tentang efek terapi musik pada pasien dalam
keadaan koma. Ternyata denyut jantung bisa diturunkan dan tekanan darah pun
turun, kemudian begitu musik dimatikan, maka denyut jantung dan tekanan darah
kembali naik. Fakta ini juga bermanfaat untuk penderita hipertensi karena musik
bisa mengontrol tekanan darahh.
Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan, dunia kedokteran serta psikologi
membuktikan bahwa terapi musik berpengaruh dalam mengembangkan imajinasi
dan pikiran kreatif. Musik juga mempengaruhi sistem imun, sistem saraf, sistem
endokrin, sistem pernafasan, sistem metabolik, sistem kardiovaskuler dan beberapa
sistem lainnya dalam tubuh. Dari berbagai penelitian ilmiah tersebut, dinyatakan
bahwa musik dapat digunakan untuk membantu penyembuhan beberapa penyakit
seperti insomnia, stress, depresi, nyeri, hipertensi, obesitas, parkinson, epilepsi,
kelumpuhan, aritmia kanker, psikosomatis, mengurangi rasa nyeri saat melahirkan
dll.
Namun perlu diingat, meskipun manfaat terapi musik sangat besar, terapi musik
tidak dimaksudkan untuk menggantikan pengobatan medis. Terapi musik digunakan
sebagai terapi pengobatan pelengkap yang bisa mempercepat proses penyembuhan
suatu penyakit.
Dalam memproduksi CD terapi muik, kami menggabung terapi musik, terapi
gelombang otak dan terapi pemmrograman pikiran untuk hasil maksimal. Jadi
sebenarnya yang kami sebut CD terapi musik tidak hanya berisi terapi musik saja,
melainkan telah diperkaya dengan jenis terapi lain yang bisa meningkatkan hasil
terapi musik.

1.6 Strategi Pelaksanaan Terapi Modalitas (Terapi Musik)


1. Tujuan Pelaksanaan Terapi Musik
a. Klien mampu mengenali musik yang didengar
b. Klien memberi respon terhadap musik
c. Klien mampu menceritakan perasaannya setelah mendengarkan musik

2. Strategi Pelaksanaan
Alat :
a. Sound Laptop
b. Lagu Khusus
Metode :
a. Diskusi
b. Sharing persepsi

Langkah Kegiatan :
1. Persiapan
a. Membuat kontrak dengan klien yang sesuai dengan indikasi : menarik
diri, harga diri rendah, dan tidak mau bicara.
b. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan
2. Orientasi
a. Salam Terapeutik
 Salam dari terapis kepada klien
 Evaluasi/validasi
 Menanyakan kadaan klien saat ini
b. Kontrak
1) Terapis menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu mendengarkan musik
2) Terapis menjelaskan aturan main sebagai berikut :
- Jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok, harus minta ijin
dari terapis.
- Lama kegiatan 45 menit
- Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
3. Tahap Kerja
a. Terapis mengajak klien untuk saling memperkenalkan diri dimulai dari
terapis secara beraturan searah jarum jam.
b. Setiap kali seorang klien selesai memperkenalkan dirinya, terapis
mengajak semua klien untuk bertepuk tangan
c. Terapis dan klien memakai papan nama.
d. Terapis menjelaskan bahwa akan diputar lagu, klien boleh bertepuk
tangan atau berjoged sesuai dengan irama lagu. Setelah selesai klien
akan diminta menceritakan isi lagu tersebut dan perasaan klien setelah
mendengar lagu.
e. Terapi memutar lagu, klien mendengar, boleh berjoget, atau tepuk
tangan (kira-kira 15 menit). Music boleh diulang beberapa kali. Terapi
mengobservasi respons klien terhadap music.
f. Secara bergiliran, klien diminta menceritakan isi lagu dan perasaannya.
Sampai semua klien mendapat gilirannya.
g. Terapis memberikan pujian, setiap klien menceritakan perasaannya dan
mengajak klien lain bertepuk tangan.
4. Tahap Terminasi
a. Evaluasi.
b. Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti terapi.
c. Terapis memberika pujian atas keberhasilan pasien.

5. Evaluasi dan Dokumentasi.


a. Evaluasi
Evaluasi dilakukan saat proses terapi berlangsung, khususnya pada
tahap kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien sesuai
dengan terapi. Untuk terapi stimulasi sensoris memdengar music,
kemampuan klien yang diharapkan adalah mengikuti kegiatan,
respons terhadap music, memberi pendapat tentang music yang
didengar dan perasaan saat mendengarkan music.
b. Dokumentasi
Dokumentasi kemampuan yang dimiliki klien saat terapi pada catatan
proses keperawatan tiap klien.

Anda mungkin juga menyukai