Anda di halaman 1dari 19

CLINICAL SCIENCE SESSION

DIABETES MELLITUS TIPE II

Disusun oleh:
Yanvatra Bayu 12100109014
Devina Nurul O. 12100109045
Sumaya Zain 12100109046

Partisipan:
Muhamad Wirawan Adityo 12100109003
Medina Nur Hadyanti 12100109021
Adhitya Agung P. 12100109026

Preceptor:
Octo Indradjadjs, dr. Sp.PD

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
RS MUHAMMADIYAH BANDUNG
2009

1
BAB I
PENDAHULUAN

Diabetes Melitus (DM) adalah suatu penyakit menahun yang ditandai


dengan kadar glukosa darah yang melebihi nilai normal. Apabila dibiarkan tidak
terkendali, penyakit ini akan menimbulkan berbagai penyulit yang dapat berakibat
fatal seperti penyakit jantung, ginjal, kebutaan, dan nekrosis jaringan sehingga
harus diamputasi.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Department of Medicine and
Therapeutics, The Chinese University of Hong Kong, Prince of Wales Hospital,
Shatin, Hong Kong pada tahun 2000 menyebutkan bahwa untuk daerah Asia
Pasifik terdapat lebih dari 30 juta orang menderita DM. Bahkan World Health
Organization (WHO) memprediksi bahwa jumlah penderita DM akan meningkat
secara dramatis pada tahun 2025.
Sedangkan untuk Indonesia, dari berbagai penelitian epidemiologis
menunjukkan bahwa angka prevalensi DM mencapai 4,6% dari 125 juta jiwa
penduduk Indonesia yang berusia > 20 tahun pada tahun 2000. Jumlah penderita
diperkirakan akan terus meningkat mengingat jumlah penduduk Indonesia yang
terus bertambah, sehingga diperkirakan pada tahun 2020 nanti jumlah penderita
DM akan mencapai 8,2 juta jiwa.
Mengingat bahwa DM adalah penyakit menahun yang akan diderita seumur
hidup, maka dalam pengelolaannya dibutuhkan peran serta tidak hanya dari dokter,
perawat, dan ahli gizi, namun lebih penting lagi partisipasi aktif dari pihak pasien
dan keluarganya. Edukasi kepada pasien dan keluarganya akan sangat membantu
meningkatkan keikutsertaan mereka dalam usaha memperbaiki hasil pengelolaan
DM.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi DM
Istilah Diabetes Melitus menggambarkan suatu kelainan metabolik dengan
pelbagai etiologi yang ditandai dengan hiperglikemia kronis dengan gangguan
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan oleh gangguan
sekresi insulin, fungsi insulin, ataupun kedua-duanya. Penyebab diabetes biasanya
primer tetapi bisa juga sekunder yang disebabkan oleh penyakit lain seperti
gangguan pada pankreas (pankreatektomi total, pankreatitis kronis,
haemokromatosis), gangguan endokrin (akromegali, Cushings syndrome) dan juga
drug induced (diuretik thiazid dan kortikosteroid). Diabetes melitus mengakibatkan
kerusakan jangka panjang, disfungsi, dan kegagalan pelbagai organ. Gejala umum
dari Diabetes melitus adalah rasa haus berlebihan, polyuria, penglihatan yang
kabur, dan penurunan berat badan. Pada keadaan yang lebih berat dapat terjadi
ketoasidosis atau non ketotic hyperosmolar state yang menyebabkan stupor, coma,
dan juga kematian jika tidak ditangani dengan benar. Biasanya gejala tidak berat
ataupun tidak terlihat sama sekali sehingga diagnosis diabetes melitus hanya
ditegakkan setelah mengalami periode hiperglikemia yang lama. Efek jangka
panjang dari diabetes termasuk perkembangan komplikasi yang progresif seperti
retinopati dengan kemugkinan terjadinya kebutaan, nefropati yang bisa
menyebabkan gagal ginjal dan atau neuropati dengan resiko foot ulcer, amputasi,
charcot joints dan disfungsi otonom seperti disfungsi seksual. Penderita diabetes
mellitus mempunyai resiko yang tinggi untuk penyakit-penyakit kardiovaskular,
peripheral vascular dan cerebrovascular.
Keluhan khas DM
1. Poliuria
2. Polidipsia
3. Polifagia
4. BB menurun dengan cepat
Keluhan tidak khas DM
1. Kesemutan
2. Gatal di daerah genital

3
3. Keputihan
4. Infeksi sulit sembuh
5. Bisul yang hilang timbul
6. Penglihatan kabur
7. Cepat lelah
8. Mudah mengantuk
Faktor resiko DM
1. Usia > 45tahun
2. Kegemukan (BB > 110% BB idaman atau IMT > 23 kg/m2)
BB Idaman (BBI) = (TB – 100) – 10%
IMT = BB (kg) / TB2 (m2)
3. Hipertensi (TD > 140/90 mmHg)
4. Riwayat DM dalam garis keturunan
5. Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat, atau BB lahir bayi >
4000g
6. Riwayat DM pada kehamilan (DM gestational)
7. Riwayat Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) atau Glukosa Darah Puasa
Terganggu (GDPT)
8. Penderita Penyakit Jantung Koroner, TBC, hipertiroidisme
9. Kolesterol HDL < 35mg/dl dan/atau trigliserida ≥ 250 mg/dl, kolesterol
total ≥ 200 mg/dl

Klasifikasi Diabetes Melitus


1. DM tipe 1:
 Defisiensi insulin absolute
 Defisiensi insulin relative akibat destruksi sel beta:- autoimun
- idiopatik
2. DM tipe 2:
 Defek sekresi insulin lebih dominan daripada
resistensi insulin
 Resistensi insulin lebih dominan daripada defek
sekresi insulin
3. DM tipe lain

4
 Defek genetik fungsi sel beta :
- Maturity onset diabetes of the young
MODY 1: Kromosom 20, HNF 4 alfa
MODY 2: Kromosom 7, glukokinase
MODY 3: Kromosom 12, HNF 1alfa
MODY 4: Kromosom 13, IPF 1
- Mutasi mitokondria: DNA 3243 dan lain-lain
 Penyakit Eksokrin pankreas: - pankreatitis
- pankreatektomi
 Endokrinopati: - akromegali
- Cushing
- Hipertiroidisme
 Akibat obat dan kimia: Glukokortikoid, hormon tiroid
 Infeksi
- Cytomegalovirus (CMV)
- Rubella
 Imunologi (jarang)
- Antibodi anti insulin
 Sindrom genetik lain yang berhubungan dengan DM, contoh:
- Sindroma Down
- Klinefelter, Turner
4. DM Gestational

Patofisiologi
Diabetes melitus tipe 1
DM tipe 1 adalah penyakit katabolisme yang ditandai dengan kegagalan sel
beta pankreas dalam merespon stimulus untuk mensekresikan hormon insulin,
sehingga penderita membutuhkan hormon insulin dari luar untuk membantu proses
katabolisme di dalam tubuh. Keadaan ini ditandai dengan kadar hormon insulin
yang sangat rendah atau bahkan tidak ada dalam darah dan kadar hormon glukagon
meningkat.

5
DM tipe 1 merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan infiltrasi
limfosit pada pankreas dan adanya destruksi sel penghasil insulin pada pulau-pulau
Langerhans yang menyebabkan defisiensi insulin. DM tipe 1 disebabkan tiga
faktor yang saling berhubungan, yaitu genetik, lingkungan, dan faktor imunologis.
Sebuah teori yang berhubungan dengan etiologi DM tipe 1 menyebutkan bahwa
DM tipe 1 ditimbulkan dari adanya kerusakan pada sel beta pankreas akibat agen
infeksius dari lingkungan. Agen yang masuk ke dalam tubuh tersebut akan
merangsang sistem imun yang kemudian secara genetik (bersifat individual) akan
membentuk reaksi autoimun terhadap sel beta pankreas itu sendiri. Agen-agen
lingkungan yang telah dijadikan hipotesa dapat menginduksi DM tipe 1, antara lain
virus (mumps, rubella, coxsackie B4), zat kimia beracun, pemberian susu formula
sejak masih bayi, dan sitotoksin.
Prevalensi kejadian DM tipe 1 meningkat pada orang-orang yang menderita
penyakit autoimun, seperti Graves disease, Hashimoto thyroiditis, dan Addison’s
disease. Sekitar 95% pasien yang menderita DM tipe 1 memiliki Human
Leukocyte Antigen (HLA)-DR3 atau HLA-DR4 yang merupakan marker spesifik
DM tipe 1.

Diabetes Melitus tipe 2


DM tipe 2 merupakan penyakit yang ditandai dengan tiga faktor, yaitu
gangguan sekresi insulin, resistensi insulin di perifer, dan peningkatan produksi
glukosa di hepar. Semua penderita overweight memiliki resistensi insulin, namun
hanya pada orang-orang yang tidak mampu meningkatkan produksi insulin yang
kemudian akan berkembang menjadi DM tipe 2. Sekitar 90% pasien DM tipe 2
menderita obesitas.
Penurunan kemampuan insulin dalam bekerja efektif di perifer disebabkan
kombinasi faktor genetik dan obesitas. Penurunan sensitivitas insulin di perifer
akan menyebabkan penurunan penggunaan glukosa plasma 30-60%, sehingga
merangsang terjadinya peningkatan produksi glukosa di hepar.
Pada awalnya, sekresi insulin meningkat sebagai respon terhadap adanya
resistensi insulin untuk memenuhi kebutuhan tubuh terhadap glukosa. Namun
lambat laun terjadi penurunan kapasitas sekresi insulin yang penyebabnya masih

6
belum jelas mulai dari gangguan sekresi yang ringan namun bersifat progresif
hingga akhirnya sekresi insulin pun tidak adekuat.
Pada DM tipe 2, resistensi insulin pada organ hepar dapat merangsang
terjadinya glukoneogenesis yang menghasilkan keadaan hiperglikemia serta
menurunkan cadangan glikogen. Peningkatan produksi glukosa hepar terjadi
setelah adanya resistensi insulin dan penurunan sekresi insulin.

Gestational Diabetes Melitus


GDM merupakan suatu keadaan adanya intoleransi glukosa yang terjadi
selama proses kehamilan. Resistensi insulin terjadi akibat perubahan proses
metabolisme pada akhir masa kehamilan, sehingga meningkatkan kebutuhan
terhadap hormon insulin. Pada kasus GDM yang tidak ditangani dengan baik dapat
berakibat fetal makrosomia, hipoglikemia, hipokalsemia, dan hiperbilirubinemia.

7
Diagnosis
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah dan
tidak dapat ditegakkan hanya atas dasar adanya glukosuria saja. Untuk diagnosis
DM, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara
enzimatik dengan bahan darah plasma vena.
Pemeriksaan Penyaring
Ada perbedaan antara uji diagnostic DM dengan pemeriksaan penyaring.
Uji diagnostic DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala / tanda DM,
sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang
tidak bergejala, tetapi memiliki risiko DM. Serangkaian uji diagnostic akan
dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif.
Pemeriksaan penyaring dilakukan pada mereka yang mempunyai salah satu risiko
DM. Untuk kelompok risiko tinggi yang hasil pemeriksaan penyaringnya negatif,
dilakukan pemeriksaan ulangan tiap tahun, sedangkan untuk yang berusia > 45
tahun tanpa faktor risiko, dapat dilakukan tiap 3 tahun.
Pemeriksaan penyaring berguna untuk menyaring pasien DM, TGT, dan
GDPT, sehingga dapat ditentukan langkah yang tepat bagi mereka. Pasien dengan
TGT atau GDPT merupakan tahapan sementara menuju DM. Setelah 5 – 10 tahun
kemudian 1/3 kelompok TGT akan berkembang menjadi DM, 1/3 tetap TGT,
sedangkan 1/3 lainnya kembali normal.
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa
darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes
toleransi glukosa oral (TTGO) standar. (lihat tabel 1)

Tabel 1. kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring
dan diagnosis DM
Bukan DM Belum pasti DM DM
Kadar glukosa darah Plasma vena <110 110 – 199 ≥ 200
sewaktu (mg/dl)
Darah <90 90 – 199 ≥ 200
kapiler
Kadar glukosa darah Plasma vena <110 110 – 125 ≥ 126
puasa (mg/dl)
Darah <90 90 – 109 ≥ 110
kapiler

8
Diagnosis DM
Diagnosis klinis DM dipikirkan bila terdapat keluhan khas DM berupa
poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 1 di bawah.

Cara Pelaksanaan TTGO (WHO,1994):


 3 (tiga) hari sebelum pemeriksaan makan seperti biasa (karbohidrat cukup)
 Kegiatan jasmani seperti yang biasa dilakukan
 Puasa paling sedikit 8 jam mulai malam hari sebelum pemeriksaan, minum
air putih diperbolehkan
 Diperiksa kadar gula darah puasa
 Diberikan glukosa 75 gram (dewasa), atau 1.75 gram/KgBB (anak),
dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 5 menit
 Diperiksa kadar gula darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa
 Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa istirahat dan tidak
merokok

Kriteria Diagnosis Diabetes Mellitus


 Glukosa darah sewaktu ≥11,1 mmol/l (≥200 mg/dl)
atau
 Glukosa darah puasa ≥ 7 mmol/l (≥126 mg/dl)
atau
 Glukosa darah 2 jam post prandial ≥ 11,1 mmol/l (≥ 200 mg/dl)
setelah beban glukosa 75 gram pada Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
Sumber: Konsensus Pengelolaan DM Tipe 2 di Indonesia, PERKENI 2002

9
Gambar 1: Langkah-langkah Diagnostik DM dan Gangguan Toleransi Glukosa

Keluhan klinis diabetes

Keluhan khas (+) Keluhan khas (-)

GDP ≥ 126 < 126 ≥ 120 110 - 125 < 110


GDS ≥ 200 < 200 ≥ 200 110 - 199

Ulang GDS atau GDP

GDP < 126 < 126 TTGO


GDS < 200 < 200 GD 2 jam

≥ 200 140 - 199 < 140

DIABETES MELLITUS TGT GDPT Normal

Nasihat Umum
Evaluasi Status Gizi Perencanaan Makanan
Evaluasi Penyulit DM Latihan Jasmani
Evaluasi dan Perencanaan Makanan Sesuai Kebutuhan
Berat Idaman
Belum Perlu Obat Penurun Glukosa

GDM= Glukosa Darah Puasa


GDS= Glukosa Darah Sewaktu
GDPT= Glukosa Darah Puasa Terganggu
TGT= Toleransi Glukosa Terganggu

Penatalaksanaan

10
Penatalaksanaan Diabetes Mellitus mencakup (1) edukasi, (2) perencanaan
makanan, (3) pengaturan aktifitas fisik, serta (4) Intervensi Farmakologik.
1. Edukasi
Meliputi pemahaman tentang:
 Penyakit DM
 Makna dan perlunya pengandalian dan pemantauan DM
 Penyulit DM
 Intervensi Farmakologis dan non-farmakologis
 Hipoglikemia
 Masalah khusus yang dihadapi
 Cara mengembangkan sistem pendukung dan mengajarkan
keterampilan
 Cara menggunakan fasilitas perawatan kesehatan
2. Perencanaan Makanan
Perencanaan makanan harus disesuaikan dengan kebiasaan masing-masing
individu. Yang berpengaruh terhadap respons glikemik makanan adalah cara
memasak, proses penyiapan makanan, dan bentuk serta komposisi makanan
(karbohidrat, lemak, protein).Standar yang diajukan adalah makanan dengan
komposisi: Karbohidrat 60 – 70%
Protein 10 – 15%
Lemak 20 – 25%
Jumlah kolesterol yang disarankan < 300mg/hari dengan lemak yang berasal
dari sumber asamlemak tidak jenuh (MUFA), dan membatasi PUFA dan asam
lemak jenuh.
Untuk mrnghitung kebutuhan kalori antara lin dengan menggunakan rumus
Broca:
Berat Badan Idaman dikalikan kebutuhan kalori basal (30 Kkal/KgBB untuk
laki-laki, dan 25 Kkal/KgBB untuk wanita), ditambah dengan:
 kebutuhan kalori untuk aktivitas
- ringan + 10%
- sedang + 20%
- berat + 30%

11
 koreksi status gizi
- BB gemuk - 20%
- BB lebih - 10%
- BB kurang + 20%
 Stress metabolik (cth: infeksi, operasi, dsb.): + (10 – 30%)
 Usia > 40 tahun - 5%
 Hamil
- Trimester I, II + 300 kal
- Trimester III/laktasi +500 kal

jumlah kalori tersebut kemudian dibagi dalam 3 porsi besar (20% pagi, 30%
siang, 25% malam), serta 2 – 3 x makanan selingan (10 – 15%).
3. Pengaturan Aktifitas Fisik
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan teratur (3-4 x seminggu selama kurang
lebih 30 menit). Latihan jasmani dapat menurunkan berat badan, memperbaiki
sensitivitas terhadap insulin, sehingga dapat mengendalikan kadar gula darah.
Contoh latihan yang dapat dilakukan antara lain: bersepeda santai, jogging,
berenang. Prinsip: Continues-Rythmical-Interval-Progressive-Endurance
4. Intervensi Farmakologik
Intervensi farmakologik diberikan apabila sasaran kadar gula darah belum
tercapai dengan pengaturan makan dan latihan
Obat Hipoglikemia Oral(OHO)
Berdasarkan cara kerjanya dibagi menjadi 3 golongan:
 Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea, glinid
 Penambah sensitivitas terhadap nsulin: metformin, tiazolidindion
 Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa

12
Tabel 2. Mekanisme kerja, efek samping, dan pengaruh terhadap
penurunan A1C (Hb-glikosilat)
Efek samping Penurunan
Nama obat Cara kerja utama
utama A1C
BB naik,
Sufonilurea Meningkatkan sekresi insulin 1,5 – 2,5%
Hipoglikemia
Glinid Meningkatkan sekresi insulin 1,5 – 2,5%
Menekan produksi glukosa Diare, dispepsia,
Metformin 1,5 – 2,5%
hati Asidosis laktat
Penghambat Menghambat absorpsi Flatulens
0,5 – 1,0%
glukosidase alfa glukosa Tinja lembek
Menambah sensitivitas
Tiazolidindion Edema 1,3%
terhadap insulin
Menekan produksi glukosa
Hipoglikemia Potensial
Insulin hati, stimulasi pemanfaatan
BB naik minimal
glukosa

Insulin
Insulin dibutuhkan untuk terapi semua pasien IDDM dan banyak pasien
NIDDM. Pada pasien NIDDM, insulin diperlukan dalam keadaan:
- Penurunan berat badan yang cepat
- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- Ketoasidosis Diabetik
- Hiperglikemia Hiperosmolar non-Ketotik
- Hiperglikemia dengan asidosis laktat
- Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
- Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
- Kehamilan dengan DM/diabetes mellitus gestasional yang tidak
terkendsali dengan perencanaan makanan
- Gangguan fungsi hati atau ginjal yang berat
- Kontraindikasi atau alergi terhadap OHO
Teknik penyuntikan insulin ada 3 macam:
a) Terapi insulin konvensional
Diberikan satu atau dua suntukan insulin kerja sedang sehari seperti
zinc insulin (insulin lente) atau isophane insulin (insulin NPH) dengan atau
tanpa penambahan insulin reguler.

13
b) Teknik Multiple Subcutaneus Injection (MSI)
Dengan pemberian insulin kerja sedang atau panjang pada malam hari
sebagai dosis tunggal bersama dengan insulin reguler setiap sebelum
makan.
c) Continous Subcutaneus Insulin Infusion (CSII)
Dengan menggunakan pompa kecil yang dijalankan dengan batrai yang
mengeluarkan insulin subkutaneus ke dalam dinding perut, biasanya
melalui jarum kupu-kupu nomor 27.

Tabel 3. Jenis dan Lama Kerja Insulin


Efek terhadap glukosa darah (dalam jam sesudah pemberian)
Tipe Insulin
Awitan Puncak Akhir
Kerja singkat
Regular Segera 2–4 6–8
Semilente (SL) 1 4–6 12 – 16
Kerja Sedang
NPH 2–3 8 – 12 18 – 24
Lente 2–3 8 – 12 18 – 24
Kerja Panjang
PZI 6 14 – 20 24 – 36
Ultralente (UL) 6 16 – 18 30 – 36

Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dosis rendah, untuk kemudian
dinaikkan bertahap sesuai respon kadar glukosa darah. Kalau dengan OHO
tunggal sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, perlu kombinasi dua
kelompok obat hipoglikemik oral yang berbeda mekanisme kerjanya. Apabila
dengan OHO dosis hampir maksimal, baik sendiri maupun kombinasi gagal,
barulah dapat dipakai kombinasi insulin dengan OHO.

14
Hiperglikemia
Merupakan penyulit akut pada penyakit Diabetes Melitus (DM). Keadaan krisis
hiperglikemia dibagi dua tipe yaitu, ketoasidosis diabetikum (KAD) dan
hiperosmolar non-ketotik (HONK).
Ketoasidosis diabetikum (KAD)
Kriteria diagnosis KAD :
 Klinis/riwayat DM sebelumnya, kesadaran menurun, napas cepat dan
dalam (Kussmaul) seta tanda-tanda dehidrasi.
 Faktor pencetus yang biasa menyertai : infeksi akut, infark miokard akut,
stroke
 Laboratorium :
- hiperglikemia (GD > 250 mg/dL)
- asidosis metabolik (pH < 7,3 ; bikarbonat < 15 mEq/L)
- ketosis (ketonemia dan atau ketonuria)
Gejala dan tanda ketoasidosis dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu akibat
hiperglikemia dan akibat ketosis.
Defisiensi insulin menyebabkan berkurangnya penggunaan glukosa oleh jaringan
tepi dan dan bertambahnya glukoneogenesis di hati, keduanya menyebabkan
hiperglikemia.

Defisensi insulin menyebabkan bertambahnya kadar glukagon dan perubahan rasio


ini menyebabkan peningkatan lipolisis di jaringan lemak serta ketogenesis di hati.
Lipolisis terjadi karena defisiensi insulin merangsang kegiatan lipase di jaringan
lemak dengan akibat bertambahnya pasokan asam lemak bebaske hati. Di dalam
mitokondria hati enzim karnitil asil transferase I terangsang untuk mengubah asam
lemak bebas ini menjadi benda keton, alih-alih menoksidasinya menjadi CO2 atau
menimbunnya menjadi trigliserida. Proses ketosis ini menghasilkan asam
betahidroksibutirat dan asam asetoasetat, yang menyebabkan asidosis.

Perubahan kadar elektrolit :


Hiperglikemia dapat menyebabkan diuresis osmotik dan hiperosmolaritas ruang
ekstraseluler. Hiperglikemia juga menyebabkan pindahnya cairan dalam sel ke
ruang ekstrasel yang lebih sempit, sehingga kehilangan cairan intrasel tidak

15
banyak. Pindahnya cairan intrasel ke ruang vaskuler ekstrasel, dalam batas tertentu
dapat mencegah terjadinya hipovolemia.
Bila hiperglikemia berlanjut, glukosuria memperberat diuresis osmotik dengan
kehilangan air dan natrium terus-menerus. Akhirnya dapat terjadi dehidrasi intrasel
dan ekstrasel, dengan gambaran koma dan renjatan.
Pengobatan dengan insulin akan menyebabkan pindahnya kalium ke dalam sel dan
dapat menurunkan kadar kalium plasma.
Pengobatan :
Cairan ; dehidrasi dan hiperosmolar (bila ada) perlu diobati secepatnya dengan
NaCl 0,9%. Tahap awal dibutuhkan 1-2 liter dalam satu jam pertama. Pedoman
untuk menilai hidrasi adalah turgor jaringan, tekanan darah, keluaran urin dan
pemantauan keseimbangan cairan.
Insulin baru diberikan pada jam kedua. Bolus 180 mU/kgBB dilanjutkan dengan
drip insulin 90 mU/jam/kgBB dalam NaCl 0,9%. Bila GD < 200 mg/dL kecepatan
dikurangi menjadi 45 mU/jam/kgBB.
Kalium diberikan sesuai dengan hasil pemeriksaan kadar plasma sebagai larutan
KCl 13-20 mEq/l/jam.
Bikarbonat baru diberikan bila pH kurang dari 7,0. diberikan 100 mEq bikarbonat
+ 20 mEq KCl dalam 20-40 menit.

Hiperosmolar non-ketotik (HONK)


Kriteria diagnosis HONK :
 Riwayat penyakit sama seperti pada KAD (biasanya berusia > 40 tahun)
 Terdapat hiperglikemia disertai osmolaritas darah yang tinggi (> 320
mOsm/L)
 Tanpa asidosis dan ketosis

Mekanisme terjadinya koma HONK hampir serupa dengan KAD. Pada mulanya
sel beta pankreas gagal atau terhambat oleh beberapa keadaan stress yang
menyebabkan sekresi insulin yang tidak adekuat. Pada keadaan stress tersebut
terjadi peningkatan hormon glukagon sehingga pembentukan glukosa akan
meningkat dan menghambat pemakaian glukosa perifer, yang akhirnya
menimbulkan hiperglikemia. Selanjutnya terjadi diuresis osmotik yang

16
menyebabkan cairan dan elektrolit tubuh berkurang, perfusi ginjal menurun dan
sebagai akibatnya sekresi hormon lebih meningkat lagi dan timbul hiperosmolar
hiperglikemik.
Dari pemeriksaan fisik ditemukan :
 Pasien dalam keadaan apatis sampai koma
 Tanda-tanda dehidrasi seperti tirgor menurun disertai tanda kelainan
neurologis, hipotensi postural, bibir dan lidah kering.
 Tidak ada bau aseton yang tercium dari pernafasan
 Tidak ada tanda pernafasan Kussmaul

Pemeriksaan laboratorium sangat membantu untuk membedakannya dengan KAD.


Dapat digunakan sebagai pegangan bila pasien mempunyai kadar glukosa darah >
600 mg%, osmolalitas serum 350 mOsm/kg, pemeriksaaan aseton negatif.

Hipoglikemia
Hipoglikemia bila :
- kadar glukosa darah < 60 mg/dL, atau
- kadar glukosa darah < 80 mg/dL dengan gejala klinis
Tanda-tanda klinis hipoglikemia:
 stadium parasimpatik : lapar, mual, tekanan darah turun
 stadium gangguan otak ringan : lemah, lesu, sulit bicara, kesulitan
menghitung sementara
 stadium simpatik : keringat dingin pada muka, bibir, atau tangan gemetar
 stadium gangguan otak berat : tidak sadar dengan atau tanpa kejang

Terjadinya hipoglikemia terutama pada usia lanjut merupakan suatu hal yang harus
dihindari, mengingat konsekuensi yang ditimbulkannya dapat fatal atau
menyebabkan kemunduran mental bermakna pada pasien. Pada setiap pasien DM
dengan kesadaran menurun kemungkinan hipoglikemia harus selalu dipikirkan dan
dan diantisipasi. Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut sering lebih lamban.
Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia
akibat sulfonilurea juga dapat berlangsung lama, sehingga harus diawasi benar

17
sampai semua obat habis dieksresi, yang kadang memerlukan waktu lama (24-36
jam, bahkan mungkin lebih pada pasien dengan gagal ginjal kronik)

Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar, banyak keringat,


gemetar, rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran
menurun sampai koma). Semua pasien yang mendapat obat hipoglikemik oral atau
insulin harus mendapat penyuluhan yang memadai mengenai gejala hipoglikemia
dan cara mengatasinya. Demikian pula keluarganya.

Jika dicurigai ada hipoglikemia harus segera dilakukan pengelolaan hipoglikemia


(dari memberikan air manis, minuman yang mengandung gula murni, berkalori,
bukan gula pemanis, sampai suntikan glukosa 40% intravena atau glukagon bila
diperlukan). Dalam menghadapi pasien tidak sadar, pemberiaan glukosa 40%
merupakan tindakan darurat yang pertama kali diberikan kalau pengelola tidak
yakin bahwa kasus tersebut bukan kasus hipoglikemia.
Pengelolaan hipoglikemia :
Stadium permulaan (sadar)
 berikan gula murni 30 gram (2 sendok makan) atau sirop/permen gula
murni (bukan pemanis pengganti gula atau gula diet/gula diabetes) dan
makanan yang mengandung hidrat arang
 stop obat hipoglikemik sementara, periksa glukosa darah sewaktu
Stadium lanjut (koma hipoglikemia)
 penanganan harus cepat
 berikan larutan dekstrosa 40% sebanyak 2 flakon melalui vena setiap 10-20
menit hingga pasien sadar
 berikan cairan dekstrosa 10% per infus 6 jam per kolf untuk
mempertahankan glukosa darah dalam nilai normal atau di atas normal
disertai pemantaun glukosa darah
 bila hipoglikemia belum teratasi, berikan antagonis insulin seperti :
adrenalin, kortison dosis tinggi, atau glukagon 1 mg
intravena/intramuskular
 pemantauan kadar glukosa darah.

18
DAFTAR PUSTAKA

5. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. PERKENI,


Perhimpunan Endokrinologi Indonesia: 2002.
6. Standards of Medical Care in Diabetes–2006. care.diabetesjournals.org.
diakses pada tanggal 25 Januari 2006.
7. Anne B; Stephen P. Saunders Pocket Book of Clinical Medicine, 3rd
Edition, Series editors. Parveen Kumar and Michael Clark, Elsiever
Science, Philadelphia, Saunders: 2003.
8. http://www.hkmj.org.hk/hkmj/abstracts/v6n1/43.htm
9. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi 3.. Balai Penerbit FK UI,
Jakarta: 1996
10. Cockram, CS. The epidemiology of diabetes mellitus in the Asia-Pacific
region. http:// www.emedicine.com. Diakses pada tanggal 25 Januari 2006.
11. Foster, Daniel W. Diabetes Mellitus, dalam: Harrison’s Principles of
Internal Medicine, 16th edition. 2005
12. Journal of Diabetes Mellitus, 2003
13. Report of WHO Consultation, Part 1: Diagnosis and Classification of
Diabetes Mellitus, WHO Department of Noncommunicable Disease
Surveillance, Geneva.
14. Rani, A. Aziz; dkk. Standar Pelayanan Medik, Edisi Khusus 2005. PB
PABDI, Jakarta: 2005.
15. Schteingart, David E. Diabetes Mellitus, dalam: Patofisiologi, Konsep
Klinis Proses-proses Penyakit, edisi 4. Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta: 1995.
16. Stead, Latha G.; et al. First Aid for the Medicine Clerckship. McGraw-Hill
International Edition: 2001.
17. Votey, Scott R.; et al. Diabetes Mellitus, Type 2 - A Review.
www.emedicine.com, 2005. Diakses pada tanggal 25 Januari 2006.

19

Anda mungkin juga menyukai