Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

RETENSI URINE
DISUSUN OLEH
Eki Marliani 030.07.079
Febriani Valentina 030.07.091

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


PERIODE 17 Oktober 2011 – 25 Desember 2011
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARAWANG
UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
PENDAHULUAN

Traktus urinarius bagian bawah memiliki dua fungsi utama, yaitu: sebagai tempat
untuk menampung produksi urine dan sebagai fungsi ekskresi. Fungsi kandung kencing
normal memerlukan aktivitas yang terintegrasi antara sistim saraf otonom dan somatik.
Jaras neural yang terdiri dari berbagai refleks fungsi destrusor dan sfingter meluas dari
lobus frontalis ke medula spinalis bagian sakral, sehingga penyebab neurogenik dari
gangguan kandung kencing dapat diakibatkan oleh lesi pada berbagai derajat.

Retensi Urin merupakan suatu keadaan darurat urologi yang paling sering ditemukan
dan dapat terjadi kapan saja dan dimana saja.Retensi Urin adalah ketidakmampuan
seseorang untuk mengeluarkan urin yang terkumpul di dalam buli-buli hingga kapasitas
maksimal buli-buli terlampaui. Residu urine setelah berkemih normalnya kurang atau sama
dengan 50 ml, jika residu urine ini lebih dari 200 ml dikatakan abnormal dan dapat juga dikatakan
retensi urine.

Salah satu penyebab retensi urine adalah BPH. Benign Prostat Hyperplasia
merupakan penyakit yang sering diderita pada pria. Di klinik 50 % dijumpai penderita
BPH berusia 60-69 tahun, yang menimbulkan gejala-gejala bladder outlet obstruction.
Faktor-faktor predisposisi lainnya dari retensio urine meliputi epidural anestesia, pada
gangguan sementara kontrol saraf kandung kemih , dan trauma traktus genitalis,
khususnya pada hematoma yang besar, dan sectio cesaria.
BAB I
ANATOMI DAN FISIOLOGI DASAR SALURAN KEMIH

1.1 ANATOMI SALURAN KEMIH


Alat-alat kemih terdiri dari : ginjal, pelvis renalis (pielum), ureter, buli-buli (vesika
urinaria), dan uretra. Dinding alat-alat saluran kemih mempunyai lapisan otot yang
mampu menghasilkan gerakan peristaltik. Gambaran anatomi saluran kemih sebagai
berikut :

Ginjal
Ginjal menghasilkan air seni dengan membuang air dan berbagai bahan metabolik
yang berbahaya yang mayoritas dihasilkan oleh alat-alat lain.

Pelvis Renalis (Pielum)

Mengumpulkan air seni yang datang dari apeks papilla. Mengecil menjadi ureter
yang dilalui air seni dalam porsi-porsi kecil sampai ke dalam kandung kemih.
Kapasitas rata-rata 3-8 ml. Air seni mula-mula terkumpul di kaliks, saat sfingter
kaliks berkontraksi. Kemudian, otot-otot dinding kaliks, sfingter forniks,
berkontraksi dan pada waktu yang bersamaan sfingter kaliks berelaksasi. Lalu air
seni terdorong ke dalam pelvis renalis. Air seni dibuang dengan cepat oleh
penutupan bergantian dari sfingter pelvis dan kaliks.
Ureter
Berbentuk seperti pipa yang sedikit memipih, berdiameter 4-7 mm. Panjang
bervariasi + 30 cm pada laki-laki dan + 1 cm lebih pendek dari wanita. Kedua ureter
menembus dinding kandung kemih pada fundusnya, terpisah dalam jarak antara 4-5
cm, miring dari arah lateral, dari belakang atas ke medial depan bawah.

Ureter berjalan sepanjang 2 cm di dalam kandung kemih dan berakhir pada suatu
celah sempit (ostium ureter).

Pandangan umum alat-alat Penampang frontal melalui


urogenital wanita kandung kemh pria

Kandung kemih (Buli-buli)


Pada dasar buli-buli, kedua muara ureter dan meatus uretra internum membentuk
suatu segitiga yang disebut trigonum buli-buli. Buli-buli berfungsi menampung urin
dari ureter dan kemudian mengeluarkannya melalui uretra dalam mekanisme
berkemih. Kapasitas maksimal (volume) untuk orang dewasa + 350-450 ml;
kapasitas buli-buli pada anak menurut Koff :
Kapasitas buli-buli = [ Umur (tahun) + 2] x 30 ml
Bila buli-buli terisi penuh, verteks dan dinding atas terangkat dan membentuk suatu
bantal yang lonjong dan pipih, yang dapat meluas sampai tepi atas simfisis pubis.
Selama kontraksi otot kandung kemih, ketika dikosongkan selama berkemih,
bentuknya menjadi bulat.

Uretra
Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urin keluar dari buli-buli melalui proses
miksi. Secara anatomis, uretra dibagi menjadi 2 bagian, yaitu : uretra posterior dan
uretra anterior. Uretra diperlengkapi dengan sfingter uretra interna yang terletak
pada perbatasan buli-buli dan uretra, serta sfingter uretra eksterna yang terletak pada
perbatasan uretra anterior dan uretra posterior. Sfingter uretra interna terdiri atas otot
polos yang dipersarafi oleh saraf simpatik sehingga saat buli-buli penuh, sfingter
terbuka. Sfingter ani eksterna terdiri atas otot bergaris yang dipersarafi oleh sistem
somatik yang dapat diperintah sesuai keinginan seseorang; pada saat kencing,
sfingter ini terbuka dan tetap menutup pada saat menahan kencing.
Panjang uretra wanita + 3-5 cm dengan diameter 8 mm, berada di bawah
simfisis pubis dan bermuara di sebelah anterior vagina. + 1/3 medial uretra terdapat
sfingter uretra eksterna yang terdiri atas otot bergaris. Tonus otot sfingter uretra
eksterna dan tonus otot Levator ani berfungsi mempertahankan agar urin tetap
berada di dalam buli-buli pada saat perasaan ingin miksi. Miksi terjadi bila tekanan
intra vesika melebihi tekanan intrauretra akibat kontraksi otot detrusor, dan relaksasi
sfingter uretra eksterna.
Panjang uretra pria dewasa + 23-25 cm. Uretra posterior pria terdiri atas uretra pars
prostatika yaitu bagian uretra yang dilingkupi oleh kelenjar prostat, dan uretra pars
membranasea. Uretra anterior adalah bagian uretra yang dibungkus oleh korpus
spongiosum penis; uretra anterior terdiri atas : (1) pars bulbosa, (2) pars pendularis,
(3) fossa navikularis, dan (4) meatus uretra eksterna.

1.2 FISIOLOGI
Pada dasarnya proses berkemih dapat dibagi menjadi 2 fase, yaitu fase
penyimpanan dan fase pengosongan. Fase penyimpanan ialah fase di mana kandung
kemih terisi oleh urin hingga mencapai nilai ambang batas. Setelah nilai ambang
tersebut dicapai, maka akan masuk ke dalam fase kedua yaitu fase pengosongan atau
disebut dengan refleks mikturisi. Refleks ini dikendalikan oleh sistem saraf otonom
tetapi dapat dihambat atau difasilitasi oleh pusat-pusat saraf di korteks serebri atau
batang otak. Kedua proses tersebut melibatkan struktur dan fungsi komponen
saluran kemih bawah, kognitif, fisik, motivasi dan lingkungan.
Persarafan kandung kemih dikendalikan oleh saraf-saraf pelvis, berhubungan
dengan pleksus sakralis terutama segmen S-2 dan S-3. Perjalanan impuls melalui
dua jalur, sensorik dan motorik. Peregangan yang terjadi pada dinding kandung
kemih akan dibawa oleh saraf sensorik kemudian diteruskan ke pusat saraf kortikal
dan subkortikal. Pusat saraf subkortikal menyebabkan dinding kandung kemih
semakin meregang sehingga menunda desakan untuk segera berkemih. Sedangkan,
pusat saraf kortikal akan memperlambat produksi urin. Sehingga, proses berkemih
dapat ditunda. Gangguan pada pusat saraf tersebut menurunkan kemampuan
seseorang untuk menunda berkemih.
Proses berkemih akan terjadi bila otot destrusor kandung kemih berkontraksi.
Kontraksi ini disebabkan oleh aktivitas saraf parasimpatis yang dibawa oleh saraf-
saraf motorik pelvis. Sedangkan pada fase pengisian, saraf simpatis akan
menghambat kerja parasimpatis dan merelaksasi dinding kandung kemih.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Retensi Urin adalah ketidakmampuan seseorang untuk mengeluarkan urin yang terkumpul di
dalam buli-buli hingga kapasitas maksimal buli-buli terlampaui.

Definisi lain mengenai retensio urin:

 Definisi retensio urin adalah kesulitan miksi karena kegagalan urine dari vesika
urinaria. (Kapita Selekta Kedokteran).
 Retensio urin adalah ketidakmampuan untuk melakukan urinasi meskipun terdapat
keinginan atau dorongan terhadap hal tersebut. (Brunner & Suddarth).
 Retensio urin adalah sutau keadaan penumpukan urine di kandung kemih dan tidak
punya kemampuan untuk mengosongkannya secara sempurna. (PSIK UNIBRAW).

2.2 EPIDEMIOLOGI

Di klinik 50 % dijumpai penderita BPH berusia 60-69 tahun, yang menimbulkan


gejala-gejala bladder outlet obstruction. Pada wanita Salah satu komplikasi umum
yang terjadi setelah proses persalinan, baik persalinan pervaginam atau sectio
caesarea adalah retensi urin postpartum. Pada tahun 1998, dr. Kartono dkk dari
FKUI-RSCM Jakarta melansir data bahwa terdapat 17,1% kejadian retensi urin pada
ibu melahirkan yang telah dipasang kateter selama enam jam dan 7,1% untuk yang
dipasang selama 24 jam pasca operasi sectio caesarea. Yip SK (Hongkong, 1997)
melaporkan terdapat angka 14,6% untuk kasus retensi urin postpartum pervaginam.

2.3 ETIOLOGI

Penyebab retensi urin :

1. Kelemahan otot detrusor :


- Kelainan medulla spinalis.
- Kelainan saraf perifer.

2. Hambatan / obstruksi uretra :


- Batu uretra.
- Klep uretra.
- Striktura uretra.
- Stenosis meatus uretra.
- Tumor uretra.
- Fimosis.
- Parafimosis.
- Gumpalan darah.
- Hiperplasia prostat.
- Karsinoma prostat.
- Sklerosis leher buli-buli.
3. Inkoordinasi antara Detrusor-Uretra :
- Cedera kauda ekuina.

Menurut lokasi, penyebab retensi urin :

a. Supravesikal :
Kerusakan terjadi pada pusat miksi di Medula Spinalis setinggi Th12-L1; kerusakan
saraf simpatis dan parasimpatis, baik sebagian atau seluruhnya.

b. Vesikal :
Berupa kelemahan otot detrusor karena lama teregang, atoni pada pasien DM atau
penyakit neurologis.

c. Infravesikal (distal kandung kemih) :


Berupa pembesaran prostat (kanker, prostatitis), tumor pada leher vesika, fimosis,
stenosis meatus uretra, tumor penis, striktur uretra, trauma uretra, batu uretra, sklerosis
leher kandung kemih (bladder neck sclerosis).

Pada retensi urin kronik, disebabkan oleh : obstruksi uretra yang semakin hebat,
sehingga akhirnya kandung kemih mengalami dilatasi. Pada keadaan ini, urin keluar
terus menerus karena kapasitas kandung kemih terlampaui. Penderita tidak mampu
berkemih lagi, tetapi urin keluar terus tanpa kendali.

Etiologi lainnya,yaitu :

a. Dapat disebabkan oleh kecemasan


b. Beberapa obat mencakup preparat antikolinergik antispasmotik (atropine), preparat
antidepressant antipsikotik (Fenotiazin), preparat antihistamin (Pseudoefedrin
hidroklorida = Sudafed), preparat penyekat β adrenergic (Propanolol), preparat
antihipertensi (hidralasin).

2.4 KLASIFIKASI

Retensi urin dapat terjadi secara akut, yaitu : penderita secara tiba-tiba tidak dapat miksi,
buli-buli penuh disertai rasa sakit yang hebat di daerah suprapubik dan hasrat ingin miksi
yang hebat disertai mengejan, seringkali urin belum menetes atau sedikit-sedikit; dapat pula
terjadi secara kronis, yaitu penderita secara perlahan-lahan dan dalam waktu yang lama tidak
dapat miksi, merasakan nyeri di daerah suprapubik hanya sedikit / tidak ada sama sekali
walaupun buli-buli penuh.

Retensi urin dapat terjadi sebagian, yaitu penderita masih bisa mengeluarkan urin, tetapi
terdapat sisa kencing yang cukup banyak di kandung kemih ; pada retensi urin total,
penderita sama sekali tidak dapat mengeluarkan urin.

2.5 PATOFISIOLOGI

Proses berkemih akan terjadi bila otot destrusor kandung kemih berkontraksi.
Kontraksi ini disebabkan oleh aktivitas saraf parasimpatis yang dibawa oleh saraf-
saraf motorik pelvis. Sedangkan pada fase pengisian, saraf simpatis akan
menghambat kerja parasimpatis dan merelaksasi dinding kandung kemih.
Bila terjadi gangguan koordinasi dari sistem saraf parasimpatis dan saraf simpatis
maka proses berkemih akan terganggu dan dapat menyebabkan urine terperangkap
dalam buli-buli atau retensi urine.
Selain itu proses berkemih juga dipengaruhi oleh otot-otot detrusor buli dan
kelancaran saluran uretra. Bila terjadi kelemahan otot detrusor buli-buli dan atau
penyumbatan pada uretra maka akan terjadi gangguan pada proses berkemih. Residu
urine setelah berkemih normalnya kurang atau sama dengan 50 ml, jika residu urine
ini lebih dari 200 ml dikatakan abnormal dan dapat juga dikatakan retensi urine.

2.6 GAMBARAN KLINIS

Gejala retensi urin dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan pada pasien, yang
dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Pemeriksaan subyektif
Yaitu mencermati keluhan yang disampaikan oleh pasien yang digali melalui
anamnesis yang sistematik. Dari pemeriksaan subyektif biasanya didapat
keluhan seperti nyeri suprapubik, mengejan karena rasa ingin kencing, serta
kandung kemih berasa penuh.

Dari hasil anamnesis biasanya diperoleh :

 Tidak bisa kencing atau kencing menetes /sedikit-sedikit


 Nyeri dan benjolan/massa pada perut bagian bawah
 Riwayat trauma: "straddle", perut bagian bawah/panggul, ruas tulang
belakang.
 Pada kasus kronis, keluhan uremia

2. Pemeriksaan obyektif

Yaitu melakukan pemeriksaan fisik terhadap pasien untuk mencari data-data


yang objektif mengenai keadaan pasien. Dari pemeriksaan obyektif dengan
metode palpasi atau perkusi, biasanya ditemukan massa di daerah
suprasimfisis karena kandung kemih yang terisi penuh dari suatu retensi urin.

Inspeksi:
 Penderita gelisah
 Benjolan/massa perut bagian bawah
 Tergantung penyebab : batu dimeatus eksternum, pembengkakan
dengan/tanpa fistulae didaerah penis dan skrotum akibat striktura uretra,
perdarahan per uretra pada kerobekan akibat trauma.
Palpasi dan perkusi
 Teraba benjolan/massa kistik-kenyal (undulasi) pada perut bagian bawah.
 Bila ditekan menimbulkan perasaan nyeri pada pangkal penis atau
menimbulkan perasaan ingin kencing yang sangat mengganggu.
 Terdapat keredupan pada perkusi.
Dari palpasi dan perkusi dapat ditetapkan batas atas buli-buli yang penuh, dikaitkan
dengan jarak antara simfisis-umbilikus. Tergantung penyebabnya :
- teraba batu di uretra anterior sampai dengan meatus eksternum.
- teraba dengan keras (indurasi) dari uretra pada striktura yang panjang
- teraba pembesaran kelenjar prostat pada pemeriksaan colok dubur.
- teraba kelenjar prostat letaknya tinggi bila terdapat ruptur total uretra
posterior

3. Pemeriksaan penunjang

Yaitu melakukan pemeriksaan-pemeriksaan laboratorium, radiologi atau


imaging (pencitraan), uroflometri, atau urodinamika, elektromiografi,
endourologi, dan laparoskopi. Pada pemeriksaan laboratorium paling sering
digunakan kateter dan uroflowmetri, yaitu untuk mengukur volume dan
residu urin pada kandung kemih. Selain itu juga dapat digunakan
cystourethrografi untuk melihat gambaran radiografi kandung kemih dan
uretra. Menurut dr. Basuki Purnomo, volume maksimal kandung kemih
dewasa normal berkisar antara 300-450 ml dengan volume residu sekira 200
ml. Apabila dari hasil kateterisasi didapatkan volume/residu urin telah
mendekati/melampaui batas normal, maka pasien dinyatakan mengalami
retensi urin.

Adapun pemeriksaan diagnostic yang dapat dilakukan pada retensio urine adalah
sebagai berikut: Pemeriksaan specimen urine, pengambilannya secara steril, random,
midstream. Diperiksa pH, BJ, Kultur, Protein, Glukosa, Hb, KEton, Nitrit. –
Sistoskopy, IVP.

Kepastian diagnosis

 Foto polos abdomen dan genitalia


- terlihat bayangan buli-buli yang penuh dan membesar.
- adanya batu (opaque) di uretra atau orifisium internum.
 Uretrografi untuk melihat adanya striktura, kerobekan uretra, tumor uretra.
 Ultrasonografi untuk melihat volume buli-buli, adanya batu, adanya
pembesaran kelenjar prostat.
BAB III

PENATALAKSANAAN

3.1 PENANGANAN RETENSI URINE

Urin dapat dikeluarkan dengan cara Kateterisasi atau Sistostomi. Penanganan pada retensi urin
akut berupa : kateterisasi – bila gagal – dilakukan Sistostomi.

3.1.1. Kateterisasi

Kateterisasi Uretra adalah memasukkan kateter ke dalam buli-buli melalui uretra.

Tujuan Kateterisasi
Tindakan ini dimaksudkan untuk tujuan diagnosis maupun untuk tujuan terapi.

Tindakan diagnosis antara lain adalah :

1. Kateterisasi pada wanita dewasa untuk memperoleh contoh urin guna pemeriksaan
kultur urin.
2. Mengukur residu (sisa) urin yang dikerjakan sesaat setelah pasien selesai miksi.
3. Memasukkan bahan kontras untuk pemeriksaan radiologi, antara lain : Sistografi atau
pemeriksaan adanya refluks vesiko-ureter melalui pemeriksaan voiding cysto-
urethrography (VCUG).
4. Pemeriksaan urodinamik untuk menentukan tekanan intra vesika.
5. Untuk menilai produksi urin pada saat dan setelah operasi besar.

Indikasi kateterisasi :

1. Mengeluarkan urin dari buli-buli pada keadaan obstruksi infravesikal, baik yang
disebabkan oleh hiperplasia prostat maupun oleh benda asing (bekuan darah) yang
menyumbat uretra.
2. Mengeluarkan urin pada disfungsi buli-buli.
3. Diversi urin setelah tindakan operasi sistem urinaria bagian bawah, yaitu pada operasi
prostatektomi, vesikolitektomi.
4. Sebagai splint setelah operasi rekonstruksi uretra untuk tujuan stabilisasi uretra.
5. Memasukkan obat-obatan intravesika, antara lain sitostatika atau antiseptik untuk
buli-buli.
Kontraindikasi kateterisasi :
Ruptur uretra, ruptur buli-buli, bekuan darah pada buli-buli.

Macam-macam Kateter

Kateter dibedakan menurut ukuran, bentuk, bahan, sifat, pemakaian, sistem retaining
(pengunci), dan jumlah percabangan.

Ukuran Kateter

Ukuran kateter dinyatakan dalam skala Cheriere’s (French). Ukuran ini merupakan
ukuran diameter luar kateter.

1 Cheriere (Ch) atau 1 French (Fr) = 0,33 milimeter atau

1 milimeter = 3 Fr

Jadi, kateter yang berukuran 18 Fr artinya diameter luar kateter itu adalah 6 mm. Kateter
yang mempunyai ukuran yang sama belum tentu mempunyai diameter lumen yang sama
karena adanya perbedaan bahan dan jumlah lumen pada kateter itu.

Bahan kateter dapat berasal dari logam (stainless), karet (lateks), lateks dengan lapisan
silikon (siliconized) dan silikon.

Bentuk Kateter

Straight catheter merupakan kateter yang terbuat dari karet (lateks), bentuknya lurus
dan tanpa ada percabangan. Contoh kateter jenis ini adalah kateter Robinson dan kateter
Nelaton.
Disadur dari Basuki B. Purnomo, Dasar-dasar Urologi, edisi kedua, halaman
230

Coude catheter yaitu kateter dengan ujung lengkung dan ramping. Kateter ini dipakai jika
usaha kateterisasi dengan memakai kateter berujung lurus mengalami hambatan yaitu
pada saat kateter masuk ke uretra pars bulbosa yang berbentuk huruf “S”, adanya
hiperplasia prostat yang sangat besar, atau hambatan akibat sklerosis leher buli-buli.
Contoh jenis kateter ini adalah kateter Tiemann.

Tindakan Kateterisasi

Pada wanita

Pemasangan kateter pada wanita jarang menjumpai kesulitan karena uretra wanita
lebih pendek. Kesulitan yang sering dijumpai adalah pada saat mencari muara uretra
karena terdapat stenosis muara uretra atau tertutupnya muara uretra oleh tumor uretra /
tumor vaginalis / serviks. Untuk itu mungkin perlu dilakukan dilatasi dengan busi a boule
terlebih dahulu.

Pada pria
Teknik kateterisasi pada pria adalah sebagai berikut :

1. Setelah dilakukan desinfeksi pada penis dan daerah sekitarnya, daerah genitalia
dipersempit dengan kain steril.
2. Kateter yang telah diolesi dengan pelicin / jelly dimasukkan ke dalam orifisium uretra
eksterna.
3. Pelan-pelan kateter didorong masuk dan kira-kira pada daerah daerah sfingter uretra
eksterna akan terasa tahanan; pasien diperintahkan untuk mengambil nafas dalam
supaya sfingter uretra eksterna menjadi lebih relaks. Kateter terus didorong hingga
masuk ke buli-buli yang ditandai dengan keluarnya urin dari lubang kateter.
4. Kateter terus didorong masuk ke buli-buli hingga percabangan kateter menyentuh
meatus uretra eksterna.
5. Balon kateter dikembangkan dengan 5-10 ml air steril.
6. Jika diperlukan kateter menetap, kateter dihubungkan dengan pipa penampung
(urinbag).
7. Kateter difiksasi dengan plester di daerah inguinal atau paha bagian proksimal.
3.1.2. Kateterisasi Suprapubik

Kateterisasi Suprapubik adalah memasukkan kateter dengan membuat lubang


pada buli-buli melalui insisi suprapubik dengan tujuan mengeluarkan urin.

Kateterisasi suprapubik ini biasanya dikerjakan pada :


1. Kegagalan pada saat melakukan kateterisasi uretra.
2. Ada kontraindikasi untuk melakukan tindakan transuretra, misalkan pada ruptur uretra
atau dugaan adanya ruptur uretra.
3. Untuk mengukur tekanan intravesikal pada studi sistotonometri.
4. Mengurangi penyulit timbulnya sindroma intoksikasi air pada saat TUR Prostat.
Pemasangan kateter sistostomi dapat dikerjakan dengan cara operasi
terbuka atau dengan perkutan (trokar) sistostomi.

Sistostomi Trokar

Kontraindikasi Sistostomi Trokar : tumor buli-buli, hematuria yang belum jelas


penyebabnya, riwayat pernah menjalani operasi daerah abdomen / pelvis, buli-buli yang
ukurannya kecil (contracted bladder), atau pasien yang mempergunakan alat prostesis
pada abdomen sebelah bawah.

Tindakan ini dikerjakan dengan anestesi lokal dan mempergunakan alat trokar.
Disadur dari Basuki B. Purnomo, Dasar-dasar Urologi, edisi kedua, halaman 239

Alat-alat dan bahan yang digunakan :

1. Kain kasa steril.


2. Alat dan obat untuk desinfeksi (yodium povidon).
3. Kain steril untuk mempersempit lapangan operasi.
4. Semprit beserta jarum suntik untuk pembiusan lokal dan jarum yang telah diisi
dengan aquadest steril untuk fiksasi balon kateter.
5. Obat anestesi lokal.
6. Alat pembedahan minor, antara lain : pisau, jarum jahit kulit, benang sutra (zeyde).
7. Alat trokar dari Campbel atau trokar konvensional.
8. Kateter Foley (ukuran tergantung alat trokar yang digunakan). Jika
mempergunakan alat trokar konvensional, harus disediakan kateter Naso-
gastrik(NG tube) no. 12.
9. Kantong penampung urine (urinebag).

Langkah-langkah Sistostomi Trokar :


1. Desinfeksi lapangan operasi.
2. Mempersempit lapangan operasi dengan kain steril.
3. Injeksi (infiltrasi) anestesi lokal dengan Lidokain 2% mulai dari kulit, subkutis
hingga ke fasia.
4. Insisi kulit suprapubik di garis tengah pada tempat yang paling cembung + 1 cm,
kemudian diperdalam sampai ke fasia.
5. Dilakukan pungsi percobaan melalui tempat insisi dengan semprit 10 cc untuk
memastikan tempat kedudukan buli-buli.
6. Alat trokar ditusukkan melalui luka operasi hingga terasa hilangnya tahanan dari
fasia dan otot-otot detrusor.
7. Alat obturator dibuka dan jika alat itu sudah masuk ke dalam buli-buli akan keluar
urine memancar melalui sheath trokar.
8. Selanjutnya bagian alat trokar yang berfungsi sebagai obturator (penusuk) dan
sheath dikeluarkan melalui buli-buli sedangkan bagian slot kateter setengah
lingkaran tetap ditinggalkan.
9. Kateter Foley dimasukkan melalui penuntun slot kateter setengah lingkaran,
kemudian balon dikembangkan dengan memakai aquadest 10 cc. Setelah balon
dipastikan berada di buli-buli, slot kateter setengah lingkaran dikeluarkan dari
buli-buli dan kateter dihubungkan dengan kantong penampung urin (urinbag).
10. Kateter difiksasikan pada kulit dengan benang sutra dan luka operasi ditutup
dengan kain kasa steril.

Menusukkan alat trokar ke dalam buli-buli


Disadur dari Basuki B. Purnomo, Dasar-dasar Urologi, edisi kedua, halaman 241

Setelah yakin trokar masuk ke buli-buli, obturator dilepas dan hanya slot kateter setengah
lingkaran ditinggalkan

Disadur dari Basuki B. Purnomo, Dasar-dasar Urologi, edisi kedua, halaman 241

Jika tidak tersedia alat trokar dari Campbell, dapat pula digunakan alat trokar
konvensional, hanya saja pada langkah ke-8, karena alat ini tidak dilengkapi dengan slot
kateter setengah lingkaran maka kateter yang digunakan adalah NG tube nomer 12 F.
Kateter ini setelah dimasukkan ke dalam buli-buli pangkalnya harus dipotong untuk
mengeluarkan alat trokar dari buli-buli.

Penyulit
Beberapa penyulit yang mungkin terjadi pada saat tindakan maupun setelah
pemasangan kateter sistotomi adalah :

1. Bila tusukan terlalu mengarah ke kaudal dapat mencederai prostat.


2. Mencederai rongga / organ peritoneum.
3. Menimbulkan perdarahan.
4. Pemakaian kateter yang terlalu lama dan perawatan yang kurang baik akan
menimbulkan infeksi, ekskrutasi kateter, timbul batu saluran kemih, degenerasi
maligna mukosa buli-buli, dan terjadi refluks vesiko-ureter.
Sistostomi Terbuka

Sistostomi terbuka dikerjakan bila terdapat kontraindikasi pada tindakan sistostomi


trokar atau bila tidak tersedia alat trokar. Dianjurkan untuk melakukan sistostomi terbuka
jika terdapat jaringan sikatriks / bekas operasi di daerah suprasimfisis, sehabis
mengalami trauma di daerah panggul yang mencederai uretra atau buli-buli, dan adanya
bekuan darah pada buli-buli yang tidak mungkin dilakukan tindakan per uretram.
Tindakan ini sebaiknya dikerjakan dengan memakai anestesi umum.

Tindakan

1. Desinfeksi seluruh lapangan operasi.


2. Mempersempit daerah operasi dengan kain steril.
3. Injeksi anestesi lokal, jika tidak mempergunakan anestesi umum.
4. Insisi vertikal pada garis tengah + 3-5 cm diantara pertengahan simfisis dan
umbilicus.
5. Insisi diperdalam sampai lemak subkutan hingga terlihat linea alba yang merupakan
pertemuan fasia yang membungkus muskulus rektus kiri dan kanan. Muskulus
rektus kiri dan kanan dipisahkan sehingga terlihat jaringan lemak, buli-buli dan
peritoneum. Buli-buli dapat dikenali karena warnanya putih dan banyak terdapat
pembuluh darah.
6. Jaringan lemak dan peritoneum disisihkan ke kranial untuk memudahkan memegang
buli-buli.
7. Dilakukan fiksasi pada buli-buli dengan benang pada 2 tempat.
8. Dilakukan pungsi percobaan pada buli-buli diantara 2 tempat yang telah difiksasi.
9. Dilakukan pungsi dan sekaligus insisi dinding buli-buli dengan pisau tajam hingga
keluar urin, yang kemudian (jika perlu) diperlebar dengan klem. Urin yang keluar
dihisap dengan mesin penghisap.
10. Eksplorasi dinding buli-buli untuk melihat adanya : tumor, batu, adanya perdarahan,
muara ureter atau penyempitan leher buli-buli.
11. Pasang kateter Foley ukuran 20F-24F pada lokasi yang berbeda dengan luka operasi.
12. Buli-buli dijahit 2 lapis yaitu muskularis-mukosa dan sero-muskularis.
13. Ditinggalkan drain redon kemudian luka operasi dijahit lapis demi lapis. Balon
kateter dikembangkan dengan aquadest 10 cc dan difiksasikan ke kulit dengan
benang sutra.

3.2. KOMPLIKASI
Retensi urine dapat mengakibatkan :
a. Buli-buli akan mengembang melebihi kapasitas maksimal sehingga tekanan didalam
lumennya dan tegangan dari dindingnya akan meningkat.
b. Bila keadaan ini dibiarkan berlanjut, tekanan yang meningkat didalam lumen akan
menghambat aliran urin dari ginjal dan ureter sehingga terjadi hidroureter dan
hidronefrosis dan lambat laun terjadi gagal ginjal.
c. Bila tekanan didalam buli-buli meningkat dan melebihi besarnya hambatan di daerah
uretra, urin akan memancar berulang-ulang (dalam jumlah sedikit) tanpa bisa ditahan
oleh penderita, sementara itu buli-buli tetap penuh dengan urin. Keadaan ini disebut :
inkontinensi paradoksa atau "overflow incontinence"
d. Tegangan dari dinding buli-buli terns meningkat sampai tercapai batas toleransi dan
setelah batas ini dilewati, otot buli-buli akan mengalami dilatasi sehingga kapasitas buli-
buli melebihi kapasitas maksimumnya, dengan akibat kekuatan kontraksi otot buli-buli
akan menyusut.
e. Retensi urin merupakan predileksi untuk terjadinya infeksi saluran kemih (ISK) dan bila
ini terjadi, dapat menimbulkan keadaan gawat yang serius seperti pielonefritis, urosepsis,
khususnya pada penderita usia lanjut.

Urin yang tertahan lama di dalam buli-buli, secepatnya harus dikeluarkan, karena jika
dibiarkan, akan menimbulkan masalah, seperti : mudah terjadi infeksi saluran kemih,
kontraksi otot buli-buli menjadi lemah, timbul hidroureter dan hidronefrosis yang
selanjutnya akan dapat menimbulkan gagal ginjal.
Akibat retensi urin kronis dapat terjadi : trabekulasi (serat-serat otot detrusor
menebal), sacculae (tekanan intravesika meningkat, selaput lendir diantara otot-otot
membesar), divertikel, infeksi, fistula, pembentukan batu, overflow incontinence.

3.3. PROGNOSIS
Prognosis pada penderita dengan retensi urin akut akan bonam jika retensi urin
ditangani secara cepat.
BAB IV

KESIMPULAN

Retensi Urin adalah ketidakmampuan seseorang untuk mengeluarkan urin yang terkumpul di
dalam buli-buli hingga kapasitas maksimal buli-buli terlampaui.

Penyebab retensi urin :

1. Kelemahan otot detrusor


2. Hambatan / obstruksi uretra
3. Inkoordinasi antara Detrusor-Uretra
Penanganan retensio urin dengan mengevakuasi urin dari kandung kemih. Urin dapat
dikeluarkan dengan cara Kateterisasi atau Sistostomi. Penanganan pada retensi urin akut berupa :
kateterisasi – bila gagal – dilakukan Sistostomi.

Anda mungkin juga menyukai