Anda di halaman 1dari 10

DIAGNOSIS DAN MANAJEMEN AWAL ATRESIA ESOFAGUS

I. Sejarah
Sejarah atresia esofagus (AE) telah dideskripsikan di berbagai literatur. Periode sebelum tahun
1935 merupakan era presurvival. Dengan meningkatnya angka harapan hidup, variabel prognostik
menjadi fokus perhatian. Perkembangan perawatan intensif neonatal dan anesthesia berkontribusi
dalam manajemen bayi “risiko tinggi” dengan AE. 1
AE pertama kali dideskripsikan dalam sejarah oleh William Durston pada tahun 1670, beliau
menemukan adanya esofagus yang buntu pada salah satu bayi perempuan kembar siam thorakofagus.
AE klasik dengan fistula trakheoesofageal (FTE) disebutkan dalam buku Thomas Gibson yang berjudul
The Anatomy of Human Bodies Epitomized pada tahun 1697. Pada tahun 1840, terbit beberapa laporan
kasus, salah satunya oleh Thomas Hill yang menyebutkan adanya kelainan penyerta agenesis rectum
dan fistula rektourinarius pada bayi dengan AE. Pada tahun 1861, Harald Hirschsprung melaporkan 4
kasus AE dengan FTE distal ditambah 10 kasus lagi dari literatur yang ada. Pada 1880, Morell
Mackenzie melaporkan 57 kasus dengan 37 contoh FTE atau bronkhioesofageal, di dalam laporannya
juga dibahas mengenai embriologi, patologi, dan manifestsi klinis AE serta dibahas pula kelainan
penyerta seperti spina bifida, horseshoe kidney, dan anus imperforata. Pada tahun 1944, E. D. Plass
menyebutkan adanya 136 kasus AE dengan 92 kasus memiliki FTE.2
Sejarah manajemen operatif terhadap AE dimulai sejak 270 tahun yang lalu. Tahun 1869,
Timothy Homes menyebutkan bahwa kelainan congenital ini dapat disembuhkan secara operatif, namun
sebaiknya tidak dilakukan. Pada tahun 1888, Charles Steel mencoba melakukan operasi dengan anestesi
kloroform, beliau membuat gastrostomi dan mencoba menembus yang beliau kira sebagai esophageal
membran dengan silinder baja melalui kantung distal esofagus dan berharap akan mencapai kantung
proksimal esofagus, percobaan ini gagal dan saat otopsi tidak ditemukan sama sekali hubungan
(membrane) yang menghubungkan kendua kantung. Pada tahun 1899, Hoffman adalah yang pertama
melakukan gastrostomi permanen. Pada tahun 1913, H. M. Richter juga melakukan operasi, walaupun
operasi tersebut tidak berhasil namun beliau optimis bahwa suatu hari operasi anastomosis esofagus
primer akan berhasil. 2
Thomas Lanmann pada tahun 1937 melakukan operasi dengan ekstrapleural approach,
sedangkan Robert Shaw dan Paul C. Samson melakukan operasi anastomosis esofagus primer dan ligasi
fistula pada tahun 1938, dimana pasien-pasien mereka kemudian meninggal karena overhidrasi atau
reaksi transfusi. Bayi AE tanpa fistula pertama yang selamat adalah bayi laki-laki yang lahir pada tahun
1935, dimana dilakukan gastrostomi, kemudian operasi definiitf baru dilakukan pada tahun 1940. Bayi
AE dengan trakheoesofageal fistula pertama yang selamat tercatat pada tahun 1939. Pada bulan Maret
1941 operasi AE pertama dilaporkan berhasil dilakukan pada bayi perempuan berusia 12 hari. Selama
tahun 1939 sampai dengan 1969, Haight melaporkan 284 bayi dengan AE dimana angka
keselamatannya mencapai 52%.2

1
II. Embriologi
Embriologi foregut masih merupakan topik kontroversial. Selama kehamilan minggu ke-4
forgut mulai berdiferensiasi menjadi bagian respirasi di ventral dan bagian esophagus di dorsal.
Divertikulum laringotrakeal kemudian berevaginasi di ventral dalam mesenkim. Teori tradisional
berpostulasi bahwa sistem respirasi ventral berpisah dari esophagus dengan formasi sulkus
trakeoesofagus lateral yang berfusi di garis tengah dan membentuk septum trakeoesofagus. Pada
kehamilan minggu ke-6 dan ke-7, separasi antara trakea dan esophagus selesai. Fusi inkomplit lipatan
akan menyebabkan defek septum trakeoesofagus dan koneksi abnormal antara trakea dan esophagus.3
Teori sulkus trakeoesofageal longitudinal yang bersatu menjadi septum telah menantang
perdebatan. Pada embrio ayam, sulkus ini tidak dapat dilihat, malahan ditemukan sulkus cranial dan
kaudal pada bagian pemisahan trakeoesofagus. Menurut teori ini, AE/TEF disebabkan oleh ketidak
seimbangan pertumbuhan pada sulkus ini. Lebih jauh, percobaan pada tikus menunjukkan bahwa
AE/TEF disebabkan oleh gangguan proliferasi epitel atau apoptosis. 3
Model tikus adriamycin (doxorubicin) membantu memahami perkembangan AE/TEF. Dari
model ini, tampaknya AE berkembang terlebih dahulu, dengan tunas paru muncul dari foregut yang
atretik terbagi menjadi 3 bukannya 2 cabang. Cabang tengah menjadi esophagus distal yang
berhubungan dengan gaster. 3
Beberapa teori besar yang menjelaskan embriopatologi dari foregut dijelaskan oleh baru-baru
ini oleh Kluth dan Fiegel, teori ini meliputi oklusi esofageal, deviasi spontan septum trakheoesofageal,
teori mekanik, dan teratogenik malformasi AE pada tikus. 2
Teori oklusi foregut dan kegagalan kanalisasi lumen intestinal merupakan salah satu teori yang
mendasari terjadinya atresia intestinal,ternasuk AE. Teori adanya migrasi abnormal dari septum
trakheoesofaeal dan tekanan mekanik pada perkembangan foregut juga mendukung terjadinya AE dan
masih terus menjadi bahan diskusi. 2
Teori lainnya dari Cozzi et al menyatakan bahwa AE berkaitan dengan kelainan perkembangan
neurokristopati sefalik dan lengkung faringeal karena sering kali AE disertai kelainan penyerta
cardiovascular yang berhubungan dengan pekembangan neural crest (kelainan arkus aorta, VSD,
malformasi fasial, tiroid, paratiroid, dll). 2
Hingga sekarang telah ditemukan beberapa gen yang diduga berperan, antara lain gen-gen grup
HOX D dan gen-gen yang mempromosi diferensiasi glikoprotein sonic hedgehog (Shh). Namun, masih
banyak lagi gen, matriks selular, proses biokimia, interaksi genetik, dan organogenesis yang perlu
diketahui untuk memeahami terbentuknya AE dan fistula trakheobronkhial secara menyeluruh. 2

III. Epidemiologi
Kejadian AE dengan atau tanpa FTE bervariasi dari 1 dari 2440 kelahiran di Finlandia sampai
dengan 1 dari 4500 kelahiran di Amerika dan Australia. Data dari California Birth Defects Monitoring

2
Database pada tahun 1983 – 1988 prevalensinya mencapai 2,82 tiap 10.000 kelahiran hidup. Sedangkan
di Eropa prevalensinya mencapai 2,86 tiap 10.000 kelahiran hidup, dan cenderung menurun tiap
tahunnya. Anomali ini lebih sering ditemukan pada bayi laki-laki dan pada populasi kulit putih, Risiko
terjadinya anomali ini meningkat pada kehamilan pertama, ibu berusia > 35 tahun. 2

IV. Kelainan penyerta


Malformasi yang paing sering menyertai AE adalah kelainan jantung (13%-34%), vertebra
(6%-21%), ekstremitas (5%-19%), anorektal (10%-16%), renal (5%-14%). 3
Kelainan vertebra biaanya terdapat pada region toraks. Kelainan penyerta kardiovaskular antara
lain: VSD (19%), ASD (20%), tetralogi Fallot (5%), dan PDA (20%). Kelainan penyerta genitourinari
antara lain: agenesis atau hipoplasia renal (1%), hipospadias, UDT, cystis renal disease,
hidronefrosis,refluks vesikoureteral, duplikasi ureter, PUJO, seks ambigus, ekstrofi kloaka, dan ekstrofi
vesika urinaria. Kelainan penyerta gastrointestinal antara lain: malformasi anorektal (14%), atresia
duodenum (2%),malrotasi intestinal (4%), atresia ileum, anular pancreas, dan stenosis pilorus. 2
Asosiasi kelainan dikenal dengan VACTERL (abnormalitas vertebra, anorektal, kardia,
trachea-esophageal, renal dan limb) dan CHARGE (coloboma, heart defects, atresia choana,
3
developmental retardation, genital hypiplasia, dan ear deformity). AE juga sering kali menyertai
sindroma kelainan genetic tertentu seperti: sindroma Down, sindroma DiGeorge, polisplenia, sindroma
Holt-Oram, sindroma Pierre Robin, sindroma Feingold, sindroma Fanconi, sindroma Townes-Brock,
sindroma Bartsocas-Papas, sindroma McKusick-Kaufman, schizis (omphalocele, defek neural tube,
bibir dan langit-langit sumbing, genital hypoplasia). Kelainan penyerta genetik lainnya bersifat lebih
mematikan, antara lain: sindroma trisomi 18, hipoplasia serebral, dan sindroma Potter (agenesis renal
bilateral). Sedangkan kelainan penyerta seperti agenesis paru-paru hanya dilaporkan sebanyak 37 kasus
sejak tahun 1874. 2

V. Klasifikasi
AE dan TEF merupakan suatu spektrum anomaly. Pembagiannya adalah sebagai berikut:

3
Beberapa sistem klasifikasi telah diajukan untuk membagi AE, namun sampai saat ini
klasifikasi berdasarkan bentuk anatomis dari Gross merupakan yang paling praktis dan mudah
diterapkan. Klasifikasi tersebut adalah (Gbr. 1): 2
A. AE tanpa FTE (6%)
B. AE dengan FTE proksimal (5%)
C. AE dengan FTE distal (84%)
D. AE dengan FTE proksimal dan distal (1%)
E. FTE tanpa AE (4%)
F. Stenosis esofagus

VI. Diagnosis dan manifestasi klinis

Diagnosis pre natal


Tidak seperti kelainan congenital lainnya, AE sulit dideteksi saat prenatal. Kecurigaan adanya
AE hanya bila USG menemukan polihidramnion, gambaran anekhoik di bagian tengah leher fetus, dan
gambaran gelembung lambung fetus kecil atau tidak ada. Ketepatan diagnosis USG prenatal hanya
berkisar antara 20 – 40%. 2 Kombinasi gaster yang kecil dan dilatasi esophagus di leher (tanda pouch)
mengkonfirmasi diagnosis AE murni pada beberapa pasien. Teknolgi terbaru pada USG tidak dapat
mendiagnosis AE/TEF secara definitive. Aplikasi Doppler 3D menunjukkan anomali arkus aorta. MRI
dapat memperlihatkan lesi toraks fetus. Kriteria MRI untuk AE/TEF adalah tidak terlihatnya bagian
intratorakal pada esophagus. 3

Diagnosis post natal


Apabila kehamilan disertai polihidramnion, makan harus dilakukan pemasangan selang
nasogastrik untuk menentukan kelainan esophagus. 3 Sebagian besar bayi dengan atresisa esofagus akan

4
memberikan gejala pada jam-jam pertama kehidupannya. Gejala awal yang muncul adalah hiperalivasi
karena akumulasinya di esofagus proksimal. 2 Bayi akan mengeluarkan nafas melalui saliva, sehingga
terlihat gelembung udara. Pada keadaan ini feeding harus ditunda sampai terbukti adanya kontinuitas
esovagus. Hal ini dilakukan dengan pemasangan kateter 10 Fr yang rigid melalui hidung atau pada
kasus atresia choana pada mulut. Pada AE, kateter akan berhenti sekitar 12 cm dari nostril. Radiografi
polos dada dan abdomen akan menunjukkan dimana kateter terhenti di mediastinum superior (T2-T4).
Sering kali pouch esophagus proksimal akan terlihat mengandung udara. Adanya udara di gaster
menunjukkan TEF distal. 3 Sebagai tambahan dapat digunakan 0,5 – 1 mL barium yang telah terdilusi
untuk melihat dengan jelas atresia yang ada. Zat kontras ini juga berguna untuk melihat adanya FTE
proksimal,namun harus benar-benar hati-hati dalam memasukkannya agar tidak berlebihan dan terjadi
aspirasi. 2 AE diragukan bila kateter dapat melewati carina. Perforasi traumatic esophagus menyebabkan
kesalahan diagnosis AE. Jarang terjadi kateter dapat turun ke trakea dan fistula distal ke dalam gaster.
3
Diagnosis FTE tanpa AE lebih sulit, sering kali diperlukan esofagografi pada posisi prone ditambah
dengan pemeriksaan esofagoskopi atau bronkhoskopi. 2

Apabila bayi diberi minum untuk pertama kalinya, maka akan terjadi regurgitasi, tersedak, dan
batuk. Sedangkan gejala penyerta yang dapat timbul antara lain: sianosis, distress pernapasan, dan tidak
dapat menelan. Jika terdapat FTEdistal maka abdomen akan terdistensi karena udara masuk kedalam
lambung melalui fistula tersebut saat inspirasi. Sebaliknya, cairan lambung pun dapat melintasi fistula

5
tersebut mencapai trachea kemudian bronchus dan parenkim paru sehingga terjadi pneumonia kimia.
Semakin banyak udara yang masuk ke dalam lambung, abdomen akan semakin distensi, menekan
diafragma, dan memperburuk fungsi pernapasan. Aspirasi saliva pun akan memperburuk pneumonia
yang terjadi. 2
Hal penting yang perlu diperhatikan adalah bahwa AE sering disertai kelainan kongenital lain
(VACTERL), sehingga saat pemeriksaan perlu dicari tanda-tanda kelainan congenital tersebut.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan sebaiknya meliputi ekhokardiografi, USG renal, dan analisa
kromosom. 2

VII. Penatalaksanaan preoperatif


Apabila diagnosis AE telah ditegakkan, bayi dikirim ke senter bedah anak dengan incubator. 3
Masalah yang sering dihadapi sebelum operasi adalah pneumonia karena aspirasi atau refluks cairan
lambung. Selang 10 Fr dipertahankan di esofagus proksimal dan secara kontinu saliva dikeluarkan,
selang berlumen ganda tipe Reploge merupakan yang terbaik digunakan untuk kasus ini. Bayi
diposisikan sedemikian sehingga meminimalkan refluks cairan lambung, yaitu posisi kepala lebih
tinggi, duduk, atau telungkup, atau miring ke salah satu sisi. Dilakukan monitor tanda vital. Antibiotik
spectrum luas diberikan untuk meredakan pneumonia. Cairan intravena yang diberikan meliputi
dekstrose 10% dan hipotonis saline untuk menjaga keseimbangan kebutuhan cairan, glukosa, dan
elektrolit. Vitamin K diberikan sebelum operasi. 2 Bila bayi mengalami distress pernapasan mungkin
intubasi endotrakeal dan ventilasi diperlukan. Ventilasi kuat dapat menyebabkan distensi gaster,
menyebabkan splinting diaphragm dan rupture gaster. Ventilasi tekanan rendah harus dilakukan.
Ventilasi frekuensi tinggi harus dilakukan, tetapi ligasi fistula dapat menyelamatkan hidup. Setelah
ligasi fistula, anastomosis primer dilakukan tidak lebih dari 7 sampai 14 hari kemudian karena
rekanalisasi dapat terjadi. 3
Secara umum, terapi operatif AE/TEF bukan merupakan prosedur emergency, sehingga masih
terdapat waktu untuk mengkonfirmasi diagnosis dan kelainan lain yang menyertai. 3

VIII. Komplikasi
Walaupun AE saat ini dapat diterapi dengan baik, beberapa pasien mengalami komplikasi pasca
operasi. Komplikasi ini dapat bersifat awal (kebocoran anastomosis, striktur anastomosis, rekuren
fistula trakheoesofageal) atau lambat (refluks gastroesofageal, trakheomalasia). 2

Kebocoran anastomosis
Kebocoran anstomosis terjadi sekitar 14 – 16% kasus. Kebocoran mayor terjadi lebih jarang
3,5-4,5%. 3 Dengan drainase adekuat dan nutrisi yang baik 95% kebocoran ini akan menutup spontan.

6
Namun perlu diwaspadai terjadinya striktur dan rekuren FTE kelak pada tempat kebocoran. Namun jika
kebocoran yang terjadi besar dan keadan bayi memburuk, maka diperlukan koreksi operatif ulang.

Striktur anastomosis
Striktur esofagus merupakan komplikasi tersering yang terjadi pada anastomosis esophagus,
didefinisikan sebagai penyempitan lumen lebih dari 50% atau penyempitan yang ditemukan saat
pemeriksaan kontras atau esofagografi dengan kombinasi gejala (disfagia, gangguan pernapasan
rekuren, obstruksi benda asing). Insidensi berkisar antara 17% sampai 59%. Faktor risiko adalah tension
anastomosis, leakage anastomosis, dan reflux gastrosofagus. Dilaporakan sekitar 80% striktur
memerlukan dilatasi. Sebanyak 53% striktur membaik setelah 1 – 3 kali dilatasi. 2 Reseksi striktur tidak
diperlukan. Dilatasi dengan balon nampaknya superior, tetapi belum terdapat bukti. 3

Rekuren fistula trakheoesofageal


Fistula rekuren terjadi pada 3 – 14% pasien setelah operasi. Walaupun hal ini terjadi awal
setelah operasi, sering kali menifestasi klinis tampak setelah beberapa bulan atau bahkan beberapa
tahun. 2 Fistula rekuren dicurigai bila anak batuk saat feeding, episode apnea atau sianotik, atau infeksi
saluran napas berulang. Sering kali abdomen distensi karena udara. Pada foto dada tampak pneumonia.
Terkadang terlihat udara mengisi esophagus. Diagnosis dapat dilakukan dengan esofagografi
menggunakan kontras water soluble. Bronkoskopi mengkonfirmasi diagnosis. 3 Rekurensi sering terjadi
karena adanya kebocoran anastomosis. Kejadian kebocoran sendiri dapat diminimalisasi dengan
menggunakan flap pleura, flap pericardium, atau flap vena azygoos sebagai penutup anastomosis. 2

Kelainan peristaltik/Refluks gastroesofageal


Komplikasi ini terjadi pada 30 – 70% pasien setelah koreksi AE. Hal ini mungkin disebabkan
berkurangnya bagian esofagus intraabdominal atau gangguan peristaltik esofagus karena anastomosis
tension atau manipulasi intraoperatif. 2 Manometri preoperative pada poch atas dan bawah esophagus
saat menelan menunjukkan kontraksi terkoordinasi dan reflex relaksasi pada sphincter bawah
esophagus. Postoperatif, kontraksi terjadi dengan simultan, kontraksi terjadi pada esophagus dengan
relaksasi parsial sphincter esophagus bawah. Penemuan ini menyimpulkan adanya gangguan motalitas
akibat kerusakan bedah. Pada model tikus terlihat defisiensi pleksus saraf intrinsic pada esophagus
bawah. Dismotilitas seperti akalasia pada AE juga pernah dilaporkan. 3
Refluks gastroesofageal akan menyebabkan esofagitis sehingga berisiko terjadi Barrett’s
esofagus sebanyak 9%. Gejala yang timbul antara lain: vomitus, disfagia, dan stenosis anastomosis
rekuren. Refluks gastroesofageal ini diterapi secara medikmentosa dengan H-2 blocker, proton pump
inhibitor, dan agen prokinetik. Namun ternyata 45 – 75% memerlukan terapi operatif antirefluks. 3

Trakheomalasia

7
Trakeomalasia didefinisikan sebagai kelemahan trakea lokal atau general yang menyebabkan
dinding anterior dan posterior menyatu saat ekspirasi atau batuk. terdapat area kolaps pada bagian
fistula. Kartilago cincin melunak, dan panjang otot transverse meningkat. Sebagai hasil, airway kolaps
saat ekspirasi, yang menyebabkan stridor ekspirasi yang bervariasi dari batuk mengorok sampai insiden
apnea atau sianosis yang mengancam nyawa. Pada AE tanpa fistula trakeomalasia jarang terjadi.
Trakeomalasia merupakan pathogenesis penyakit airway reaktif pada AE/TEF. Diagnosis dilakukan
dengan trakeobronkografi. 3 Komplikasi ini terjadi sampai dengan sebanyak 75%, walaupun hanya 10
– 25% pasien memperlihatkan gejala dan sekitar setengahnya memerlukan tindakan operatif
(aortopeksi, yaitu memfiksasi arkus aorta ke sternum sehingga lumen trachea terbuka). 2

Morbiditas respirasi
Morbiditas respirasi pada pasien AE cukup tinggi. Gejala dapat timbul akibat trakeomalasia
dan GERD. 2

Morbiditas terkait torakotomi


Torakotomi khususnya pada neonatus dapat menyebabkan morbiditas yang signifikan, seprti winged
scapula, elevasi atau fiksasi bahu, asimetris dinding dada, fusi iga, skoliosis, dan gangguan
perkembangan dada dan otot pectoral. Nyeri kronis juga dapat terjadi. Konsekuensi negative torakotomi
dapat diminimalisir dengan torakoskopi. 2

IX. Outcome

Sistem klasifikasi untuk menilai outcome jangka pendek diperkenalkan oleh Waterston pada
tahun 1962. Selanjutnya, factor-faktor seperti diagnosis dan rujukan dini, perbaikan dalam perawatan
perioperatif, (termasuk anestesi), perbaikan dalam diagnosis dan terapi kelainan penyerta dapat
mempengaruhi outcome. Untuk itu dibuat suatu system klasifikasi baru berdasarkan berat badan dan
adanya anomaly congenital jantung.Klasifikasi lain dari Montreal mengikutsertakan anomaly yang
mengancam nyawa atau ketergantungan ventilator. Yag terakhir terdapat 2 penelitian pada panjang gap
sebagai faktor prognostik. 2

8
9
Daftar Pustaka
1. Losti PD, Baillie CP. Esophageal atresia and tracheoesophageal fistula. Dalam: Prem Puri, ed.
Newborn Surgery, second edition. London: Arnold, 2003
2. Harmon CM, Coran AG. Congenital anomalies of esophagus. Dalam: Coran AG, et all. Pediatric
Surgery. Edisi ke-7. Philadelphia: Elsevier; 2012
3. Bax K. Esophageal atresia and tracheoesophageal malformation. Dalam: Ashcraft KW, Holcomb
GW, Murphy JP, Pediatric Surgery. Edisi ke-5. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2010
4. Tandon RK, Khan TR, Maletha M, Rawat JD, Wakhlu A, Kureel SN. Modified method of primary
esophageal anastomosis with improved outcome in cases of esophageal atresia. with
tracheoesophageal fistula. Pediatr Surg Int (2009) 25:369–372
5. Bagolan P, Iacobelli BP, De Angelis P, Federici di Abriola G, Laviani R, Trucchi A, Orzalesi M,
Dall’Oglio L. Long Gap Esophageal Atresia and Esophageal Replacement:Moving Toward a
Separation? J Pediatr Surg 39:1084-1090. © 2004 Elsevier Inc.
6. Se´guier-Lipszyca E, Bonnarda A, Aizenfiszb A, Eneziana G, Maintenantc J, Aigraina Y, de
Lagausied P. The management of long gap esophageal atresia. Journal of Pediatric Surgery (2005)
40, 1542– 1546
7. Holland AJA, Ron O, Pierro A, Drake D, Curry JI, Kiely EM, Spitz L. Surgical outcomes of
esophageal atresia without fistula for 24 years at a single institution. Journal of Pediatric Surgery
(2009) 44, 1928–1932
8. Burjonrappa S, Thiboutot E, Castilloux J, St-Vil D. aType A esophageal atresia: a critical review
of management strategies at a single center.Division of Journal of Pediatric Surgery (2010) 45, 865–
871

10

Anda mungkin juga menyukai