Anda di halaman 1dari 44

BAB I

STATUS PASIEN

I. Identitas Pasien
Nama : Ny. R
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 61 tahun
Agama : Islam
Pendidikan Terakhir : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status Pernikahan : Janda
Tanggal Masuk RS : 04 Juni 2019
Tanggal Periksa : 10 Juni 2019
Ruang Rawat : Mawar 1
Pembiayaan : BPJS

II. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis di Bangsal
Mawar 1 RSUD Pasar Minggu pada 10 Juni 2019 pukul 14:30 WIB
a. Keluhan Utama
Mata dan seluruh badan berwarna kuning sejak 1 minggu SMRS.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien merupakan pasien rujukan dari RSU Zahira dengan diagnose TB on
OAT dengan Ikterus datang ke IGD RSUD PM dengan keluhan mata dan seluruh
badan berwarna kuning sejak 1 minggu SMRS. Selain itu pasien juga mengeluhkan
bahwa pasien merasa lemas sejak 1 minggu SMRS, terutama untuk beraktivitas
sehari-harinya. Mual (+), muntah (+), nyeri ulu hati (-), pusing (+). Pasien
mengeluhkan batuk sejak ± 3 atau 2 bulan yang lalu, batuk berdarah (-), demam (-
). Sesak kadang terasa jika batuk namun tidak mengganggu dan tidak menetap.
Keluhan sesak disertai dengan napas berbunyi dan terbangun malam hari karena
sesak disangkal pasien, pasien masih tidur dengan 1 bantal, sesak tidak dipengaruhi
aktivitas. Saat malam hari suka keluar keringat, disertai rasa menggigil sejak 1

1
minggu terakhir. Pasien mengalami penurunan berat badan 3 bulan belakangan
sekitar 8 kg. Nafsu makan juga diakui pasien menurun. BAK dan BAB dalam batas
normal.
Pasien saat ini sedang pengobatan TB Paru minggu ke 3, dengan obat TB
KDT yang berisi isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol. Dikatakan
sudah pernah cek dahak dan hasilnya positif terdapat flek paru, namun hasilnya
tidak dibawa.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat stroke : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat penyakit ginjal : disangkal
Riwayat penyakit paru : disangkal
Riwayat penyakit liver : disangkal
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat penyakit ginjal : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat penyakit liver : disangkal
Riwayat stroke : disangkal
e. Riwayat Pengobatan
Pasien sedang dalam pengobatan TB Paru minggu ke-3, dengan obat TB
KDT yang berisi isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol.
f. Riwayat Sosial, Ekonomi, dan Kebiasaan
Pasien tinggal bersama seorang anaknya. Riwayat minum alcohol dan
merokok disangkal. Pasien sehari-hari makan seperti biasa 3x/hari dengan menu
nasi dan lauk pauk secukupnya, tetapi semenjak 3 bulan SMRS, pasien mengaku
tidak nafsu makan dan sering tidak makan atau hanya makan 1 kali sehari. Ekonomi

2
pasien menengah ke bawah, suami pasien sudah meninggal 2 tahun yang lalu dan
saat ini pasien dirawat anaknya.

III. Pemeriksaan Fisik


Status Generalis
Keadaan umum : Sedang
Kesadaran : GCS E4V4M6 (14)
Tanda Vital
 Tekanan darah : 150/90 mmHg
 Laju nadi : 99 x/menit, reguler
 Laju pernapasan : 20 x/menit
 Suhu : 37,2 oC
 SaO2 : 98%
1. Pemeriksaan kepala
Bentuk kepala : Simetris, mesocephal
Rambut : Distribusi rambut merata, warna hitam
2. Pemeriksaan mata
a. Konjungtiva : Anemis (+/+)
b. Sklera : Ikterik (+/+)
c. Palpebra : Oedem (-/-)
d. Refleks cahaya : Langsung (+/+), tidak langsung (+/+), pupil isokor
3mm/3mm
3. Pemeriksaan telinga
a. Simetris : (+)
b. Kelainan bentuk : (-)
c. Discharge : (-)
4. Pemeriksaan hidung
a. Discharge : (-)
b. Napas cuping hidung : (-)

3
5. Pemeriksaan mulut
a. Bibir : sianosis (-), pucat (-), mukosa kering
b. Lidah : sianosis (-)
c. Mukosa dalam : perdarahan (-)
6. Pemeriksaan leher
Tidak ada deviasi trakea, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid dan KGB, JVP
5+2 mmHg
7. Pemeriksaan thoraks
Pulmo
Inspeksi : simetris kanan kiri, retraksi (-), ketinggalan gerak (-)
Palpasi : vocal fremitus tidak dapat dinilai
Perkusi : sonor di kedua lapang paru, batas paru hepar di SIC V LMCD
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), RBK +/+, RBH -/-, wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tampak di SIC V LMCS
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V LMCS, kuat angkat
Perkusi : Batas atas kanan : SIC II LPSS
Batas atas kiri : SIC II LPSD
Batas bawah kanan : SIC IV LPSD
Batas bawah kiri : SIC V LMCS
Auskultasi : S1>S2, regular, murmur (-), gallop (-)
8. Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : tampak buncit, jaringan parut (-), spider navy (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani, undulasi (-), shifting dullness (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (+) kuadran dan kiri atas
Hepar : teraba 3 jari bawah arcus costae
Lien : tidak teraba
9. Pemeriksaan ekstremitas
Superior : Edema (-/-), akral dingin (-/-), sianosis (-/-), ikterik (+/+)
Inferior : Edema pitting (-/-), akral dingin (-/-), sianosis (-/-), ikterik (+/+)

4
IV. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium RSUD Pasar Minggu 4 Juni 2019
Parameter Nilai Satuan Nilai normal
Darah rutin
Hb 10.1 (↓) g/dL 11.7-15.5
Ht 30 (↓) % 35-47
Leukosit 18.4 (↑) 103/μL 3.8─10.6
Trombosit 172 103/μL 150─440
Eritrosit 5.48 106/μL 4.40-5.90
MCV 90 fl 80-100
MCH 30 pg 26-34
MCHC 33 g/dL 32-36
GDS 87 mg/dL 70-180
Fungsi Ginjal
Ureum 56 (↑) mg/dL <48
Kreatinin 0.73 mg/dL 0.60-1.10
Fungsi hati
SGOT 208 (↑) U/L <35
SGPT 162 (↑) U/L <35
Bil Total 24.94 (↑) mg/dL 0.1-1.2
Bil Direk 17.09 (↑) mg/dL 0.1-0.3
Bil Indirek 7.85 (↑) mg/dL 0.1-1.0
Anti HCV
Anti HCV Non Reaktif Non Reaktif
Anti HBsAg Non Reaktif Non Reaktif
Pemeriksaan Laboratorium RSUD Pasar Minggu 4 Juni 2019
Parameter Nilai Satuan Nilai normal
Elektrolit
Natrium 119 (↓) mEq/L 135-147
Kalium 2.80 (↓) mEq/L 3.50-5.00
Chlorida 81 (↓) mEq/L 95-105

5
Foto Thorax

Kesan : TB Paru dan tampak kardiomegali

V. Diagnosis Kerja
 Ikterus ec hepatitis akibat obat OAT dd hepatitis dd kolelitiasis dd anemia
hemolitik dd pankreatitis
 TB Paru bakteriologis Kasus Baru (dalam pengobatan OAT minggu ke
3)
 Hipertensi
 Hiponatremi
 Hipokalemi

6
VI. Tatalaksana
Terapi Igd
− NK O2 3 lpm
− IVFD NaCl 0,9% 500cc/12 jam
− Stop OAT
− Curcuma 3x20 mg
− Rontgen thoraks
− Konsul Paru
− Konsul IPD
Terapi Paru
− Curcuma 3x20 mg, HP pro 3x7,5 mg, NS/12 jam, NaCl cap 3x1 gr, USG
Abdomen, O2 bila sesak, follow up hasil OT/PT dan bilirubin total, direk,
indirek per 3 hari, terapi lain lanjut
Terapi IPD
− IVFD Nacl 3% 500cc per 24 jam threeway dengan infus KaEN 3B 500cc
per 12 jam, Diet blenderized per NGT 1900 kkal, Inj. Omeprazol 1x40 mg
IV, Inj. Cefotazim 3x1gr drip dalam nacl 100 cc, Curcuma 3x2 tab, KSR
3x600mg, Digoksin 1x0.25mg, Miniaspi 1x80mg, Spironolakton
1x1.25mg, USG abdomen, Cek PT, APTT, Bilirubin total, direk, indirek/5
hari.

VII. Prognosis
 Quo ad vitam : dubia ad bonam
 Quo ad functionam : dubia ad bonam
 Quo ad sanationam : dubia ad bonam

VIII. Follow Up
11 Juni 2019
S Lemas
O KU: tampak sakit sedang
Kes: GCS 15 (CM)
Tanda vital

7
TD: 130/80 mmHg
HR: 90x/menit
RR: 20x/menit
T: 37.2oC
SaO2: 98%
Status Generalis
Mata: CA -/-, SI +/+
Pulmo: SD Vesikuler +/+, Rh +/+, Wh-/-
Cor: S1>S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen: tampak buncit, supel, nyeri tekan (-), timpani, bising usus
(+) normal
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2 detik, edema -/- ikterik -
Lab RSUDPM 08/6/19
SGOT 91 (↑) dari 208
SGPT 145 (↑) dari 162
Bil Total 11.23 (↑) dari 24.94
Bil Dir 7.61 (↑) dari 17.09
Bil Indirek 3.62 (↑) dari 7.85
USG Abdomen 08/6/19
Kesan: hepatomegaly, cholecytitis
A  Hepatitis imbas obat akibat OAT
 TB Paru Bakteriologis Kasus Baru (dalam pengobatan OAT
minggu ke 3)
 Hipertensi
 Hiponatremi
 Hipokalemi
P  O2 bila sesak
 IVFD NaCl 500cc/8jam
 Stop OAT
 Curcuma 3x20 mg
 HP pro 3x7,5 mg

8
 Bil+OT/PT per 5 hari
 Diet lunak 1900kkal

12 Juni 2019
S Lemas
O KU: tampak sakit sedang
Kes: GCS 15 (CM)
Tanda vital
TD: 110/70 mmHg
HR: 80x/menit
RR: 18 x/menit
T: 37.0oC
SaO2: 99%
Status generalis:
Mata: CA -/-, SI +/+
Pulmo: SD Vesikuler +/+, Rh -/-, Wh-/-
Cor: S1>S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen: tampak buncit, supel, nyeri tekan (-), timpani, bising usus
(+) normal
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2 detik, edema -/- ikterik -
Lab RSUDPM 11/1/19
SGOT 76 (↑) dari 91
SGPT 80 (↑) dari 145
Bil Total 3.97 (↑) dari 11.23
Bil Dir 3.68 (↑) dari 7.61
Bil Indirek 1.29 (↑) dari 3.62
USG Abdomen 08/1/19
Kesan: hepatomegaly, cholecytitis

9
A  Hepatitis imbas obat akibat OAT
 TB Paru Bakteriologis Kasus Baru (dalam pengobatan OAT minggu
ke 3)
 Hipertensi
 Hiponatremi
 Hipokalemi
 Cholecytitis
P  IVFD NaCl 500cc/8jam
 Stop OAT
 Curcuma 3x20 mg
 HP pro 3x7,5 mg
 Bil+OT/PT per 5 hari
 Diet lunak 1700kkal

14 Juni 2019
S Tidak ada keluhan
O KU: tampak sakit ringan
Kes: GCS 15 (CM)
Tanda vital
TD: 100/70 mmHg
HR: 90x/menit
RR: 22x/menit
T: 37.0oC
SaO2: 98%
Status Generalis
Mata: CA -/-, SI +/+
Pulmo: SD Vesikuler +/+, Rh -/-, Wh-/-
Cor: S1>S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen: tampak buncit, supel, nyeri tekan (-), timpani, bising usus
(+) normal
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2 detik, edema -/- ikterik -

10
USG Abdomen 14/6/19
Kesan: hepatomegaly, cholecytitis
Lab RSUDPM 14/6/19
SGOT 49 (↑) dari 76
SGPT 24 dari 80
Bil Total 1.23 dari 4.97
Bil Dir 0.3 dari 3.68
Bil Indirek 0.67 dari 1.29
A  Hepatitis imbas obat akibat OAT
 TB Paru Bakteriologis Kasus Baru (dalam pengobatan OAT minggu
ke 3)
 Hipertensi
 Hiponatremi
 Hipokalemi
 Cholecytitis
P  Besok rajal sesuai Sp.PD
 Obat Pulang: curcuma 3x20mg, HP pro 3x7,5 mg

11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

TUBERCULOSIS PARU
II.1 Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh
respon imunitas diperantarai sel. Sel efektor adalah makrofag dan limfosit (biasanya
sel T) adalah sel imunoresponsif 6,8,9.
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi kronik yang sudah sangat
lama dikenal manusia, misalnya dia dihubungkan dengan tempat tinggal didaerah
urban, lingkungan yang padat, dibuktikan dengan adanya penemuan kerusakan
tulang vertebra torak yang khas TB dari kerangka yang digali di Heidelberg dari
kuburan zaman neolitikum, begitu juga penemuan yang berasal dari mumi dan
ukiran dinding piramid di Mesir kuno pada tahun 2000-4000 SM3.

II.2 Epidemiologi
Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di
dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah
mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency. Laporan WHO tahun 2004
menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif.
Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional
WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33% dari jumlah
penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih
besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 penduduk6.
Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2-3 juta
setiap tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar
kematian akibat TB terdapat di Asia Tenggara yaitu 625.000 orang atau angka
mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat
di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, prevalensi HIV yang cukup tinggi
mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul6.

12
Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB
setelah India dan Cina. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar
140.000 kematian akibat TB. Di Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor
satu diantara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga
setelah jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia6.

II.3 Etiologi
Penyakit TB paru adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini memiliki bentuk batang dan
bersifat tahan asam, oleh karena itu dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam
(BTA). Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif. Pada waktu batuk atau
bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet
nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya
penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang
lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari
langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam
dalam keadaan yang gelap dan lembab. Daya penularan seorang pasien ditentukan
oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat
kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. Faktor yang
memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan
dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut10.

Gambar 1. Bakteri Mycobacterium tuberculosis.

13
II.4. Patogenesis
II.4.1 Tuberkulosis Primer
Penularan Tuberkulosis paru dari orang ke orang terjadi karena kuman
dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita.
Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung
pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk, dan kelembaban. Dalam
suasana lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan.
Bila partikel infeksi ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran
napas, atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran parikel < 5
mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian baru oleh
makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag
keluar percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya3.
Bila kuman menetap dijaringan paru, berkembang biak di dalam sitoplasma
makrofag. Disini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang
bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan
disebut sarang primer atau efek primer atau sarang (fokus) Ghon. Sarang primer ini
dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura, maka
terjadilah efusi pleura. Kuman dapat juga masuk melalui saluran gastrointestinal,
jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri
masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, dan
tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka akan terjadi penjalaran ke seluruh
bagian paru menjadi TB milier3.
Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju
hilus (limfangitis lokal), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus
(limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis lokal bersama-sama limfadenitis
regional dikenal sebagai kompleks primer (Ranke). Semua proses ini memakan
waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi3:
a. Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang banyak terjadi.
b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik,
kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya >
5 mm dan ±10% diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang
dormant

14
c. Berkomplikasi dan menyebar secara :
1) Perkontinuitatum, yakni menyebar ke sekitarnya.
Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan
bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang
membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas
bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan
menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis
dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang
dikenal sebagai epituberkulosis6.
2) Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru yang
disebelahnya. Kuman dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah
sehingga menyebar ke usus
3) Secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya
tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat
sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak terdapat imuniti yang
adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan yang cukup gawat
seperti TB milier, meningitis TB, typhobachillosis Landouzy6.

Gambar 2. Patogenesis Tuberkulosis Paru.

15
II.4.2. Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder)
Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-
tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa
(Tuberkulosis post primer = TB pasca primer = TB sekunder). Mayoritas reinfeksi
mencapai 90%. Tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti
malnutrisi, alcohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS, dan gagal ginjal.
Tuberkulosis sekunder ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas
paru (bagian apical-posterior lobus sduperior atau inferior). Invasinya adalah ke
daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru3.
Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam
3-10 minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari
sel-sel Histiosit dan sel Datia-Langhans (sel besar dengan banyak inti) yang
dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat3. Tergantung dari jumlah
kuman, virulensinya, dan imunitas pasien, sarang dini ini dapat menjadi3:
1) Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.
2) Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan serbukan
jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan
perkapuran.
3) Sarang dini yang meluas sebagai granuloma berkembang menghancurkan
jaringan ikat sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis, menjadi
lembek membentuk jaringan keju. Bila jaringan keju dibatukkan keluar
terjadilah kavitas. Kavitas ini mula-mula berdinding tipis, lama-lama
dindingnya menebal karena infiltrasi jaringan firbroblas dalam jumlah
besar, sehingga menjadi kavitas sklerotik (kronik). Terjadinya perkijuan dan
kavitas adalah karena adanya hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh
enzim yang diproduksi oleh makrofag, dan proses yang berlebihan sitokin
dengan TNF-nya.

16
Gambar 3. Skema Patogenesis Infeksi TB Paru Post Primer

II.5 Klasifikasi
American Thoracic Society memberikan klasifikasi baru yang diambil
berdasarkan aspek kesehatan masyarakat2:
1) Kelas 0  Tidak pernah terpajan TB, tidak terinfeksi. Orang-orang pada
kelas ini tidak mempunyai riwayat terpajan dan tes kulit tuberkulin
menunjukkan hasil negatif (jika dilakukan)
2) Kelas 1  Terpajan TB, tidak ada bukti terinfeksi. Orang-orang pada kelas
ini mempunyai riwayat terpajan tuberkulosis, tetapi tes tuberkulin
menunjukkan hasil negative. Tindakan yang diambil untuknya tergantung
pada derajat dan kebaruan paparan M. tuberculosis, serta kekebalan
tubuhnya. Jika terpapar secara signifikan selama 3 bulan, tes tuberculin
lanjutan harus dilakukan 10 minggu setelah paparan terakhir, dan sementara
itu pengobatan terhadap infeksi tuberculosis laten harus dipertimbangkan
terutama pada anak-anak berusia kurang dari 15 tahun dan penderita infeksi
HIV.
3) Kelas 2  Infeksi TB laten, tidak timbul penyakit. Orang-orang pada kelas
2 menunjukkan hasil tes tuberculin positif, pemeriksaan radiologi dan
bakteriologi negatif.

17
4) Kelas 3  Tuberkulosis, aktif secara klinis. Kelas 3 mencakup semua pasien
dengan TB aktif secara klinis dengan prosedur diagnostik telah selesai. Jika
diagnosis masih tertunda, orang tersebut harus diklasifikasikan sebagai
tersangka tuberkulosis (kelas 5). Untuk masuk ke kelas 3, seseorang harus
memiliki bukti klinis, bakteriologis, dan/atau radiografi TB saat ini. Hal ini
dipastikan dengan isolasi M. tuberkulosis. Seseorang yang menderita TB di
masa lalu dan juga yang saat ini memiliki penyakit aktif secara klinis
termasuk dalam kelas 3. Seseorang tetap di kelas 3 sampai pengobatan untuk
episode penyakit saat ini selesai.
5) Kelas 4  TB tidak aktif secara klinis. Ditemukan radiografi yang
abnormal atau tidak berubah, dan reaksi tes kulit tuberkulin positif, dan tidak
ada bukti klinis.
6) Kelas 5  Tersangka TB (diagnosis tertunda). Seseorang termasuk dalam
kelas ini ketika diagnosis TB sedang dipertimbangkan. Seseorang
seharusnya tidak tetap di kelas ini selama lebih dari 3 bulan. Ketika prosedur
diagnostik telah selesai, orang tersebut harus ditempatkan pada salah satu
kelas sebelumnya.

Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit6:


1) Tuberkulosis paru
Adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru. Milier TB
dianggap sebagai TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru.
Limfadenitis TB dirongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau efusi
pleura tanpa terdapat gambaran radiologis yang mendukung TB pada paru,
dinyatakan sebagai TB ekstra paru. Pasien yang menderita TB paru dan
sekaligus juga menderita TB ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien TB
paru.
2) Tuberkulosis ekstra paru
Adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya: pleura,
kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak dan
tulang. Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil

18
pemeriksaan bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstra paru harus
diupayakan berdasarkan penemuan Mycobacterium tuberculosis.

Klasifikasi berdasarkan tipe pasien dari riwayat pengobatan sebelumnya


yaitu6:
1) Kasus baru  pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan untuk
tuberkulosis atau sudah mendapakan obat-obat anti tuberkulosis kurang
dari satu bulan.
2) Kasus Pindah  penderita yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu
kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Penderita
pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindah
3) Kasus pengobatan ulang 
a. Kasus kambuh (relaps) : pasien yang sebelumnya pernah mendapatkan
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan
dahak BTA positif atau biakan positif.
b. Kasus gagal (smear positive failure) : pasien yang menjalani
pengobatan ulang karena pengobatan sebelumnya gagal, ditandai
dengan sputum BTA-nya tetap positif setelah mendapatkan obat anti
tuberkulosis pada akhir bulan ke 5.
c. Kasus defaulted atau drop out : pasien yang telah menjalani pengobatan
≥ 1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih
sebelum masa pengobatannya selesai.
4) Kasus kronik  pasien yang sputum BTA-nya tetap positif setelah
pengobatan ulang lengkap yang disupervisi dengan baik.
5) Kasus Bekas TB 
a. Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan
gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau
foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan
OAT adekuat akan lebih mendukung.

19
b. Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan dan telah
mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak
ada perubahan gambaran radiologik.

Gambar 4. Skema klasifikasi Tuberkulosis6.

20
II.6 Gejala Klinis
II.6.1 Gejala Respiratori
Gejala respiratori yaitu3:
1. Batuk / Batuk Darah
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu
atau lebih. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini
diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Sifat batuk
dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul
peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan lanjut
adalah batuk darah (hemoptisis).
Kavitas dapat menjadi sumber hemoptisis mayor. Menetapnya arteri
pulmonalis terminal didalam kavitas dapat menjadi sumber perdarahan
yang hebat (aneurisma Rasmussen). Penyebab perdarahan lainnya
adalah aspergiloma pada kavitas tuberkulosis kronik.
2. Sesak Napas
Sesak napas akan dirasakan pada penyakit yang sudah lanjut, yang
infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.
3. Nyeri dada
Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga
menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien
menarik / melepaskan nafasnya.
II.6.B Gejala Sistemik
Gejala sistemik yaitu3:
1. Demam
Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-
kadand panas badan dapat mencapai 40-41°C. Serangan demam
pertama dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali.
Begitulah seterusnya, sehingga pasien tidak pernah merasa terbebas dari
serangan demam influenza.
2. Malaise
Gejala malaise yang sering ditemukan berupa anoreksia tidak nafsu
makan, badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang,

21
nyeri otot, keringat malam, dan lain-lain. Gejala malaise ini makin lama
makin berat dan hilang timbul secara tidak teratur.
II.6.C Gejala Tuberkulosis ekstrapulmonal
Gejala Tuberkulosis ekstrapulmonal yaitu4:
1. Pleuritis dengan Efusi
Pleuritis dengan efusi terjadi bila rongga pleura terinfeksi oleh M.
tuberculosis. Setelah infeksi primer perifer, rongga pleura dapat
terkontaminasi dengan organisme yang diangkut melalui aliran limfe ke
pleura dan kemudian melintasi permukaan paru ke hilus. Efusi pleura
terjadi, kadangkala massif, biasanya dengan nyeri pleura yang amat
sangat. Efusi terjadi plaing sering unilateral, tetapi tidak selalu. Efusi
bersifat eksudatif, dan gambaran cairan pleura yang paling khas adalah
konsentrasi protein yang lebih dari 3,0 g/dL.
2. Peritonitis dan Perikarditis tuberculosis
Perikardium dan peritoneum dapat menjadi tempat tuberkulosis.
Perikarditis kadang terjadi bersama dengan pleuritis. Terjadilah efusi
eksudatif, dan pasien datang dengan demam dan nyeri perikardial. Bisa
didapati bising gesek (friction rub). Diagnosis perikarditis tuberkulosis
sering sukar dan kadang-kadang memerlukan torakotomi untuk
melakukan biopsi perikardial.
3. Tuberkulosis Meningeal
Infeksi kronik ini berwujud tidak saja sebagai tanda meningeal tetapi
sering juga sebagai tanda saraf kranialis. Yang khas pada cairan
serebrospinal adalah kandungan protein yang tinggi, glukosa rendah,
dan limfositosis.
4. Tuberkulosis Laring dan Endobronkial
5. Tuberkulosis Tulang
6. Tuberkulosis Genitourinarius

22
7. Adenitis Tuberkulosis
Gambar 5. Limfadenitis Tuberkulosis

Scrofula merupakan limfadenitis tuberkulosis kronik pada kelenjar


limfe leher. Beberapa kelenjar leher munkin terkena tetapi tempat yang
paling sering adalah segitiga anterior leher tepat dibawah mandibula.
Pembesaran kelenjar tuberkulosis biasanya kenyal dan tidak nyeri tekan.
Dengan perkembangan penyakit pembesaran kelenjar ini menjadi lebih
keras dan kasar. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan biopsi secara
bedah.
8. Tuberkulosis pada AIDS
Tuberkulosis merupakan infeksi oportunistik utama pada penderita
infeksi HIV. Pada pasien yang terinfeksi pertama kali dengan M.
tuberculosis dan kemudian dengan HIV, risiko perkembangan
tuberculosis adalah 5 hingga 10 persen pertahun.
Limfosit dan monosit, yaitu sel-sel pertahanan primer yang
dikerahkan untuk infeksi tuberkulosis, dihancurkan oleh HIV.
Reaktivasi uji kulit tuberkulin dapat tidak ada pada individu yang
terinfeksi HIV yang masih sehat dan bebas gejala klinis AIDS, sekalipun
begitu banyak dua pertiga persen pasien yang terinfeksi HIV dengan
tuberkulosis memiliki uji kulit tuberkulin positif. Jumlah limfosit T CD4
pada pasien tuberkulosis seropositif-HIV yang khas berada dalam
rentang 150-200 sel per milimeter kubik. Hampir separuh pasien AIDS
dengan tuberkulosis memiliki bentuk ekstrapulmonal, dengan
limfadenitis tuberkulosa yang menonjol, biasanya di leher anterior.

23
9. Tuberkulosis Saluran Makanan
Lambung sangat resisten terhadap infeksi tuberkulosis. Hal yang jarang,
yang biasanya terjadi bersama dengan penyakit paru yang berkavitas
luas dan kecacatan berat, organism yang tertelan mencapai ileum
terminalis, dan sekum sehingga timbul ileitis tuberkulosa. Diare kronik
dan terbentuknya fistula merupakan manifestasi utama, dan penyakit ini
sulit dibedakan dari penyakit Crohn.
10. Tuberkulosis Milier
Tuberkulosis milier disebabkan oleh penyebaran hematogen yang luas.
Cenderung lebih fulminan pada anak daripada orang dewasa. Yang
klasik, tuberkulosis milier timbul setelah penyebaran hematogen
sewaktu infeksi primer, dan pasien datang tanpa adanya riwayat
tuberkulosis sebelumnya. Lesi timbul serempak diseluruh tubuh. Pasien
menjadi sakit sebelum terdapat perubahan radiografik, yang memakan
waktu 4 hingga 6 minggu untuk dapat dikenali. Temuan radiologi yang
khas adalah nodul-nodul halus, tersebar secara uniformis, dan lembut
pada kedua lapangan paru.

II.7 Pemeriksaan Fisik


Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung kelainan
struktur paru. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus
superior terutama daerah apeks dan segmen posterior, serta daerah apeks
lobus inferior. Dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik,
suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma
dan mediastinum6.
Pada pleuritis tuberkulosis, kelainan pemeriksaan fisik tergantung
dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak,
pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi
yang terdapat cairan. Pada limfadenitis tuberkulosis, terlihat pembesaran
kelenjar getah bening, tersering di daerah leher, kadang-kadang di daerah
ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut menjadi cold abcess6.

24
II.8 Pemeriksaan Penunjang
Gambar 6. Pemeriksaan Tuberkulosis paru

II.8.1 Pemeriksaan Bakteriologi


a. Bahan pemeriksaan
Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman tuberkulosis
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan
untuk pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura,
liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan
biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH) 3.
b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 2 kali dengan minimal satu kali dahak pagi
hari. Bahan pemeriksaan / spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/
ditampung dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih
dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada
fasiliti, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek
(difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium.

25
Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di
gelas objek, atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat
ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium12.
c. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain
Pemeriksaan bakteriologi dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan
pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar / BAL, urin, fases dan jaringan biopsi, termasuk BJH)
dapat dilakukan dengan cara:
− Mikroskopik biasa : Pewarnaan Ziehl-Nielsen
− Mikroskopik fluoresens : Pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya
untuk screening) 12.

Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD


(rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against
Tuberculosis and Lung Disease) 12:
 Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negative
 Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman
yang ditemukan
 Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)
 Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)
 Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)

II.8.2 Pemeriksaan Biakan


Pada pemeriksaan dengan biakan, setelah 4-6 minggu penanaman
sputum dalam medium biakan, koloni kuman tuberkolosis mulai tampak.
Bila setelah 8 minggu penanaman koloni tidak juga tampak, biakan
dinyatakan negative. Medium biakan telur yang sering dipakai yaitu
Lowenstein Jensen, Kudoh atau Ogawa3. Sementara medium biakan agar
adalah Middle Brook6.

26
II.8.3 Pemeriksaan Radiologi
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang
praktis untuk menemukan lesi tuberkulosis serta memberikan keuntungan
seperti pada tuberkulosis anak-anak dan tuberkulosis milier. Pada kedua hal
ini diagnosis dapat diperoleh melalui pemeriksaan radiologis dada,
sedangkan pemeriksaan sputum selalu negatif3.
Pemeriksaan standar adalah foto toraks posterior-anterior.
Gambaran yang dicurigai sebagi lesi tuberkulosis aktif adalah :
1) Pada segmen apikal dan posterior lobus atas paru serta
segmen superior lobus bawah paru ditemukan berupa
bercak-bercak seperti awan / nodular6.
2) Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang mula-mula
berdinding tipis. Lama-lama dinding jadi sklerotik dan
terlihat menebal,
3) Bayangan bercak milier, berupa bercak-bercak halus yang
umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru3.
4) Efusi pleura unilateral atau bilateral.
Gambaran radiologis yang dicurigai lesi tuberkulosis inaktif adalah6:
1) Fibrotik, terlihat bayangan yang bergaris-garis,
2) Kalsifikasi, terlihat seperti bercak-bercak padat dengan
densitas tinggi
3) Schwarte atau penebalan pleura.

Gambar 8. Rontgen Toraks Tuberkulosis Paru

27
II.8.4 Tes Tuberkulin Intradermal (Mantoux)
Pemeriksaan ini masih banyak dipakai utuk membantu menegakkan
diagnosis tuberkulosis terutama pada anak-anak (balita)3. Teknik standar
tes Mantoux adalah dengan menyuntikkan tuberkulin PPD (Purified Protein
Derivative) sebanyak 0,1 ml yang mengandung 5 T.U. tuberkulin secara
intrakutan, pada sepertiga atas permukaan volar atau dorsal lengan bawah
setelah kulit dibersihkan dengan alkohol. Jarum dipegang dengan
permukaan miring diarahkan ke atas dan ujungnya dimasukkan ke bawah
permukaan kulit. Akan terbentuk satu gelembung berdiameter 6-10 mm
yang menyerupai gigitan nyamuk bila dosis 0,1 ml disuntikkan dengan tepat
dan cermat9.
Untuk memperoleh reaksi kulit yang maksimum diperlukan waktu
antara 48-72 jam sesudah penyuntikan dan reaksi harus dibaca dalam
periode tersebut, yaitu dalam cahaya yang terang dan posisi lengan bawah
sedikit ditekuk. Hanya indurasi (pembengkakan yang teraba) dan bukan
eritem yang bernilai9. Hasil tes mantoux ini dibagi dalam3:
a. Indurasi berdiameter 0-5 mm : Mantoux negatif
b. Indurasi berdiameter 6-9 mm : hasil meragukan
c. Indurasi berdiameter 10-15 mm : Mantoux positif
d. Indurasi berdiameter > 15 mm : Mantoux positif kuat
e. Untuk pasien dengan HIV positif, tes mantous ± 5 mm, dinilai positif.

Gambar 9. Tes Tuberkulin Intradermal (Mantoux)12

28
Tes Mantoux hanya menyatakan apakah seseorang individu sedang
atau pernah mengalami infeksi Mycobacterium tuberculosis,
Mycobacterium bovis, vaksinasi BCG dan Mycobacteria patogen lainnya.
Dasar tes tuberkulin ini adalah reaksi alergi tipe lambat. Biasanya hampir
seluruh pasien tuberkulosis memberikan reaksi Mantoux yang positif
(99,8%). Kelemahan tes ini juga terdapat positif palsu yakni pada pemberian
BCG atau terinfeksi Mycobacterium lain. Negatif palsu lebih banyak
dijumpai daripada positif palsu3. Hal-hal yang memberikan reaksi
tuberkulin berkurang (negatif palsu) yakni3:
a. Pasien yang baru 2-10 minggu terpajan tuberkulosis.
b. Penyakit sistemik berat (Sarkoidosi, LE),
c. Penyakit eksantematous dengan panas yang akut : morbili, cacar air,
poliomielitis,
d. Reaksi hipersensitivitas menurun pada penyakit Hodgkin.
e. Pemberian kortikosteroid yang lama,
f. Usia tua, malutrisi, uremia, penyakit keganasan.

II.8.5 Pemeriksaan Penunjang Lain


1. Pemeriksaan Histopatologi Jaringan
Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis tuberkulosis. Bahan jaringan dapat diperoleh melalui biopsi atau
otopsi, yaitu6:
 Biopsi aspirasi dengan jarum halum (BJH) kelenjar getah bening
(KGB),
 Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum Abram, Cope
dan Veen Silverman),
 Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy / TBLB) dengan
bronkoskopi,
 Biopsi atau aspirasi pada lesi organ di luar paru yang dicurigai
tuberkulosis.
 Otopsi

29
2. Pemeriksaan Darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang
spesifk untuk tuberkulosis. Pada saat tuberkulosis baru mulai (aktif) akan
didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung jenis
pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih dibawah normal. Laju endap
darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit
kembali normal, dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai
turun ke arah normal lagi3.

II.8.6 Pemeriksaan Khusus13


a. Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode
radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian
menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini.
Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara
cepat untuk membantu menegakkan diagnosis dan melakukan uji kepekaan.
Bentuk lain teknik ini adalah dengan menggunakan Mycobacteria Growth
Indicator Tube (MGIT).
b. Polymerase chain reaction (PCR)
Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA,
termasuk DNA M.tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan
teknik ini adalah kemungkinan kontaminasi. Hasil pemeriksaan PCR dapat
membantu untuk menegakkan diagnosis sepanjang pemeriksaan tersebut
dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai standar internasional.
Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak ada yang
menunjang ke arah diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai
sebagai pegangan untuk diagnosis TB
Gene X-pert ( Uji kepekaan untuk R)10
Xpert MTB adalah uji diagnostik adalah sistem real-time PCR otomatis
yang mendeteksi DNA kompleks MTB pada sputum dengan hasil
mikroskopis BTA positif dan negatif. Secara bersamaan mengidentifikasi
mutasi pada gen rpoB yang berhubungan dengan resistensi terhadap

30
rifampicin. Sistem GeneXpret MTB/RIF terdiri dari mesin GeneXpret,
komputer, barcode scanner dan memakai catridge Xpret MTB/RIF tunggal,
sekali pakai yang berisi reagen.
Setelah melalui 3 tahap penyiapan contoh uji, specimen dipindahkan ke
dalam Catridge MTB/RIF dan dimasukkan ke dalam mesin GeneXpret yang
didukung oleh perangkat lunak secara otomatis pada seluruh tahapan
termasuk pengolahan contoh uji, amplifikasi asam nukleat, deteksi target
sekuen dan interprestasi hasil. Cepheid GeneXpert GXMTB/RIF-10.

II.9 Penatalaksanaan
Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif dan
fase lanjutan6. Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien,
mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan
dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT1. Pengobatan
tuberkulosis dilakukan dengan prinsip – prinsip berikut10:
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,
dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan.
Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-
Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat
dianjurkan.
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan
pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh
seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan
lanjutan.

Tahap Awal (Intensif) 10


 Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
 Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.

31
 Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan10
 Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama.
 Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga
dapat mencegah terjadinya kekambuhan.

II.9.1 Obat Anti Tuberkulosis14


Jenis, sifat dan dosis OAT secara ringkas akan dijelaskan pada tabel dibawah ini:
Tabel 1. Pengelompokan OAT
Golongan dan Jenis Obat
 Pyrazinamide(Z)
Golongan-1 Obat Lini  Isoniazid (H)
 Rifampicin (R)
Pertama  Ethambutol (E)
 Streptomycin (S)
Golongan-2 / Obat
 Amikacin (Am)
suntik/ Suntikan lini Kanamycin (Km)
kedua  Capreomycin (Cm)
Golongan-3 / Golongan  Ofloxacin (Ofx)
Moxifloxacin (Mfx)
Floroquinolone  Levofloxacin (Lfx)
 Ethionamide(Eto)
Golongan-4 / Obat  Para amino salisilat (PAS)
 Prothionamide(Pto)
bakteriostatik lini kedua  Terizidone (Trd)
 Cycloserine (Cs)
Golongan-5 / Obat yang
belum terbukti  Clofazimine (Cfz)
 Thioacetazone(Thz)
efikasinya  Linezolid(Lzd)
 Clarithromycin(Clr)
dan tidak  Amoxilin -
direkomendasikan  Imipenem(Ipm).
Clavulanate (Amx-Clv)
oleh WHO

Tabel 2. Jenis, Sifat dan Dosis OAT lini pertama


Dosis yang direkomendasikan
Jenis OAT Sifat (mg/kg)
Harian 3 x seminggu
Isoniazid (H) Bakterisid 5 (4-6) 10 (8-12)
Rifampicin (R) Bakterisid 10 (8-12) 10 (8-12)
Pyrazinamide (Z) Bakterisid 25 (20-30) 35 (30-40)
Streptomycin (S) Bakterisid 15 (12-18) 15 (12-18)
Ethambutol (E) Bakteriostatik 15 (15-20) 30 (20-35)

32
Kemasan :
a. Obat tunggal : obat disajikan secara terpisah.
Tabel 3. Dosis OAT Tunggal

Dosis Obat (mg)


Berat
Rifampisin INH Pirazinamid Etambutol Streptomisin
Badan
(R) (H) (Z) (E) (S)
< 40 300 150 750 750 Sesuai BB
40-60 450 300 1000 1000 750
>60 600 450 1500 1500 1000

b. Obat Kombinasi dosis tetap/KDT (Fixed Dose Combination-FDC)


Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet.
International union Againts Tuberculosis and Lung Disease
(IUALTD) dan WHO menyarankan untuk menggantikan paduan
obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB
primer pada tahun 1998. Dosis obat kombinasi tetap berdasarkan
WHO seperti terlihat pada berikut1:
Tabel 4. Dosis OAT KDT
Tahap Lanjutan
Tahap Intensif
Berat 3 kali seminggu selama 16
tiap hari selama 56 hari
Badan minggu
RHZE (150/75/400/275)
RH (150/150)
30-37 2 tablet 2 tablet
38-54 3 tablet 3 tablet
55-70 4 tablet 4 tablet
>71 5 tablet 5 tablet

II.9.2 Paduan Obat Anti Tuberkulosis


Menurut buku Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis
pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi1:
1) Kategori-1 (2HRZE/ 4R3H3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
a) Pasien baru TB paru BTA positif.
b) Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
c) Pasien TB ekstra paru

33
2) Kategori -2 (2RHZES/ RHZE/5R3H3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah
diobati sebelumnya:
a) Pasien kambuh
b) Pasien gagal
c) Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

Tabel 5. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2

Tahap Lanjutan
Tahap Intensif
3 kali seminggu
tiap hari
Berat RH (150/150) +
RHZE (150/75/400/275) + S
Badan E(400)
Selama 56 hari Selama 28 hari selama 20 minggu
30-37 2 tab 4KDT 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT
+ 500 mg Streptomisin inj. + 2 tab Etambutol

38-54 3 tab 4KDT 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT


+ 750 mg Streptomisin inj + 3 tab Etambutol

55-70 4 tab 4KDT 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT


+ 1000 mg Streptomisin + 4 tab Etambutol
inj.
>71 5 tab 4KDT 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT
+ 1000mg Streptomisin inj. + 5 tab Etambutol

3) OAT Sisipan (HRZE)


Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap
intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).

Tabel 6. Dosis KDT untuk Sisipan


Tahap Intensif
Berat Badan tiap hari selama 28 hari
RHZE (150/75/400/275)
30-37 kg 2 tablet 4KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT
71 kg 5 tablet 4KDT

34
II.9.3 Efek Samping Obat Dan Penatalaksanaannya

Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat, bila efek samping ringan
dan dapat diatasi dengan obat simptomats maka pemberian OAT dapat dilanjutkan.
Tabel pada halaman berikutnya, menjelaskan efek samping ringan maupun berat
dengan pendekatan gejala1.
Tabel 7. Efek samping ringan OAT
Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan
Tidak ada nafsu Rifampisin Semua OAT diminum malam
makan, mual, sakit sebelum tidur
perut
Nyeri Sendi Pirasinamid Beri Aspirin
Kesemutan s/d rasa INH Beri vitamin B6 (piridoxin)
terbakar di kaki 100mg per hari
Warna kemerahan Rifampisin Tidak perlu diberi apa-apa, tapi
pada air seni (urine) perlu penjelasan kepada pasien

Tabel 8. Efek samping berat OAT


Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan
Gatal dan kemerahan Semua jenis Ikuti petunjuk
kulit OAT penatalaksanaan dibawah *).
Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan, ganti
Etambutol.
Gangguan Streptomisin Streptomisin dihentikan, ganti
keseimbangan Etambutol
.
Ikterus tanpa Hampir semua Hentikan semua OAT sampai
penyebab lain OAT ikterus menghilang.

Bingung dan muntah- Hampir semua Hentikan semua OAT, segera


muntah (permulaan OAT lakukan tes fungsi hati.
ikterus karena obat)
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan Etambutol.
Purpura dan renjatan Rifampisin Hentikan Rifampisin.
(syok)

PENGOBATAN TUBERKULOSIS DENGAN HEPATITIS IMBAS OBAT 14


Dikenal sebagai kelainan fungsi hati akibat penggunaan obat-obat
hepatotoksik (drug induced hepatitis). Penatalaksanaannya :
a) Bila klinik (+) (Ikterik [+], gejala mual, muntah [+])  OAT Stop
b) Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT ≥ 3 kali  OAT stop

35
c) Bila gejala klinis (-), Laboratorium terdapat kelainan: Bilirubin > 2  OAT
stop
d) SGOT, SGPT > 5 kali  OAT stop
e) SGOT, SGPT > 3 kali  teruskan pengobatan, dengan pengawasan
Panduan OAT yang dianjurkan :
a) Pengobatan TB dihentikan menunggu sampai fungsi hepar kembali normal
dan gejala klinik menghilang, maka OAT dapat diteruskan kembali.
b) Bila klinik dan laboratorium normal kembali maka OAT dicoba satu
persatu. Pemberian obat sebaiknya dimulai dengan rifampisisn yang jarang
menyebabkan hepatotoksisk dibandingkan OAT lainnya. Setelah 3-7 hari
baru isoniazid diberikan. Pasien dengan riwayat jaundice sebaiknya tidak
lagi mendapatkan pyrazinamide.
c) Jika terjadi hepatitis pada fase lanjutan dan hepatitis sudah teratasi maka
OAT dapat diberikan kembali (isoniazid dan rifampisisn) untuk
menyelesaikan fase lanjutan.

II.9.4 Evaluasi Pengobatan


1) Evaluasi klinis
Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan
selanjutnya setiap 1 bulan. Evaluasi respon pengobatan dan ada tidaknya
efek samping obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit. Evaluasi klinis
meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisis6.
2) Evaluasi bakteriologi
Evaluasi bakteriologi (0-2-6/9 bulan pengobatan). Tujuan untuk mendeteksi
ada tidaknya konversi dahak. Pemeriksaan dan evaluasi pemeriksaan
mikroskopis sebelum pengobatan dimulai, setelah 2 bulan pengobatan
(setelah fase intensif) dan pada akhir pengobatan. Bila ada fasiliti biakan,
dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi6.
3) Evaluasi radiologis
Evaluasi radiologis (0-2-6/9 bulan pengobatan). Pemeriksaan dan evaluasi
foto toraks dilakukan pada saat sebelum pengobatan, setelah 2 bulan
pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan

36
keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan) dan pada akhir
pengobatan6.
4) Evaluasi efek samping secara klinis6.
a. Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal,
dan darah lengkap.
b. Fungsi hati : SGOT, SGPT, bilirubin. Fungsi ginjal : ureum, kreatinin,
dan gula darah, serta asam urat untuk data dasar penyakit peyerta atau
efek samping pengobatan.
c. Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid.
d. Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila
ada keluhan)
e. Pasien yang mendapat streptomisin harus diuji keseimbangan dan
audiometric (bila ada keluhan)
f. Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan
awal tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinis kemungkinan
terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi klinis dicurigai terdapat
efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk
memastikannya dan penangan efek samping obat sesuai pedoman.
5) Kriteria sembuh6:
a. BTA mikroskopis negatif dua kali (pada akhir fase itensif dan akhir
pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat.
b. Pada foto toraks, gambaran radiologi serial tetap sama/perbaikan.
c. Bila ada fasilitas biakan, maka criteria ditambah biakan negatif.
6) Evaluasi pasien yang telah sembuh
Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi
minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk
mengetahui kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah mikroskopis BTA
dahak dan foto toraks. Mikroskopis BTA dahak 3, 6, 12, dan 24 bulan
(sesuai indikasi/bila ada gejala) setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto
toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh (bila ada kecurigaan TB
kambuh)6.

37
Tabel 6.Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Ulang Dahak

II.10 Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara :
 Terapi pencegahan dengan Isoniazid (INH) dengan dosis 5 mg/kgBB
(tidak lebih dari 300 mg) sehari selama minimal 6 bulan untuk orang
HIV/AIDS
 Diagnosis dan pengobatan TB paru BTA positif untuk mencegah penularan4

38
BAB III
PEMBAHASAN

Pasien saat masuk awal ke IGD RSUD Pasar Minggu, masuk dengan
keluhan utama mata dan seluruh badan berwarna kuning sejak 1 minggu SMRS.
Keluhan utama tersebeut disertai mual dan muntah tanpa nyeri ulu hati yang
kemungkinan bukan dari gejala dyspepsia. Dari keluhan-keluhan ini, dapat ditarik
kemungkinan pasien mengalami gangguan di hati, empedu, pancreas ataupun di
darah. Dapat ditarik diagnose yaitu Ikterus ec hepatitis imbas obat dd hepatitis dd
kolelitiasis dd pankreatitis. Dari semua diagnose banding bias terdapat keluhan
kuning/icterus pada pasien
Gejala-gejala TB terlihat pada pasien ini seperti batuk sejak +/- 2 atau 3
bulan yll, sesak, keringat pada malam hari (+), rasa menggigil sejak 1 minggu
terakhir ini. Serta pasien juga mengalami penurunan BB 3 bulan belakangan ini
sebanyak 8 kg dan mengaku hasil pemeriksaan dahak positif terdapat flek paru.
Ditemukan juga rhonki pada paru kanan & kiri dan gambaran foto thorax dengan
kesan TB Paru. Dikarenakan gejala dan hasil pemeriksaan tersebut ditarik diagnosis
TB Paru Bakteriologis Kasus Baru (dalam pengobatan OAT minggu ke-3).
Walaupun terdapat beberapa diagnosis banding terkait gejala ikterus,
namun saya lebih cenderung berpikir bahwa ini adalah icterus akibat hepatitis imbas
obat dikarenakan gejala kuning pasien baru muncul 1 minggu yang lalu secara tiba-
tiba setelah pasien mengkonsumsi OAT 3 minggu belakangan ini. Disertai dengan
gejala mual dan muntah yang mendukung gejala klinis hepatitis imbas obat Serta
fungsi hati yang meningkat >= 3x lipat. Dari PDPI tahun 2011, hepatitis imbas
dapat ditegakkan jika:
a) Bila klinik (+) (Ikterik [+], gejala mual, muntah [+])  OAT Stop
b) Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT ≥ 3 kali  OAT stop
c) Bila gejala klinis (-), Laboratorium terdapat kelainan: Bilirubin > 2  OAT
stop
d) SGOT, SGPT > 5 kali  OAT stop
e) SGOT, SGPT > 3 kali  teruskan pengobatan, dengan pengawasan14

39
Namun untuk mengetahui lebih lanjut icterus pada pasien ini disebabkan
karena hal apa. Harus dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk menyingkirkan
diagnosis banding lain. Pemeriksaan yang harus dilakukan adalah USG abdomen
untuk menyingkirkan kemungkinan kolelitiasis dan pankreatitis. Untuk
menyingkirkan hepatitis B atau C harus dilakukan pemeriksan HbsAg dan HCV.
Serta pemeriksaan MCV, MCH dan MCHC serta GDT untuk menyingkirkan
anemia hemolitik. Dari gambaran fungsi hati jika seperti pada pasien yang dimana
semuanya meningkat dari OT, PT serta bilirubin total, direk dan indirek, hal ini
lebih condong kepada hasil pemeriksaan penunjangnya hepatitis imbas obat (DIH)
dan hepatitis. Jika pada anemia hemolitik seharusnya yang menonjol meningkat
adalah bilirubin indirek, sementara pada kolelitiasis yang meningkat adalah
bilirubin direk. Selain itu ditemukan hyponatremia pada hasil pemeriksaan
elektrolit di RSUD Pasar Minggu pada saat awal masuk IGD yang kemungkinan
penyebabnya dikarenakan pasien muntah-muntah.
Dari pemeriksaan USG Abdomen didapatkan hasil hepatomegaly dan
cholesytitis, yang dimana dapat menyingkirkan diagnosis banding kolelitiasis dan
pankreatitis. Didapatkan hasil negative dari pemeriksaan HbsAg dan HCV yang
dimana menyingkirkan Hepatitis. Serta didapatkan penurunan fungsi hati serta
perbaikan klimis pada pasien setelah diberhentikan pemberian OAT nya.
Dikarenakan hal ini pasien didiagnosis Hepatitis Imbas Obat akibat OAT.
Tatalaksana untuk hepatitis imbas obat yaitu Stop OAT. Dari PDPI tahun
2011, bila klinik dan laboratorium normal kembali maka OAT dicoba satu persatu.
Pemberian obat sebaiknya dimulai dengan rifampisisn yang jarang menyebabkan
hepatotoksisk dibandingkan OAT lainnya. Setelah 3-7 hari baru isoniazid
diberikan. Pasien dengan riwayat jaundice sebaiknya tidak lagi mendapatkan
pyrazinamide. Pada pasien ini diperiksakan lab fungsi hati per 5 hari untuk
memantau laboratorium dari efek pemberhentian OAT.
Obat-obatn lain yang diberikan adalah Curcuma untuk penambah nafsu
makan pasien dikarenakan pasien sudah menurun nafsu makannya semenjak 3
bulan SMRS, selain itu juga dapat berfungsi untuk memperbaiki fungsi hati dan
hepatoprotektor.

40
HP pro untuk menghentikan nekroinflamasi di hepar, meningkatkan
kemampuan detoksifikasi sel hepar terhadapa bahan toksik (di pasien ini yaitu
OAT) dan mencegah kerusakan sel hepar15.

41
BAB IV
KESIMPULAN

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,


pasien didiagnosis dengan TB Paru on OAT, Drug Induce Hepatitis ec OAT,
Hipertensi, Hiponatremia, Hipokalemi
Pada pasien ini didapatkan gejala Tuberculosis paru seperti batuk lebih dari 1
minggu, sesak nafas, lemas, keluar keringat pada malam hari, nafsu makan turun,
serta BB yang menurun. Serta didapatkan gejala dari komplikasi pemakaian OAT
yaitu drug induced hepatitis berupa ikterik, peningkatan enzim hati dan bilirubin.
Terapi yang paling dilakukan saat terjadi keadaan DIH adalah berhentikan
pemakaian OAT agar komplikasi tidak menjadi semakin parah. Jika gejala dan
hasil pemeriksaan penunjang sudah kembali ke normal, OAT bisa dilanjutkan
kembali secara bertahap kecuali yang disarnakan untuk lebih baik tidak digunakan
kembali yaitu Pirazinamid.

42
DAFTAR PUSTAKA

1. Abdul A, et all. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2.


Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007.
2. American Thorachic Society. Diagnostic Standards and Classification of
Tuberculosis in Adults and Children. Am J Respir Crit Care Med vol 161.
2000; p:1376–1395.
3. Amin Z dan Asril B. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid II. Edisi IV. Hal 988-992. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006.
4. Isselbacher, Braunwald, Wilson et all. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu
Penyakit Dalam. Volume 2. Edisi 13. Hal 799-808. Jakarta: EGC, 1999.
5. Mansjoer A, et all. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid I. Hal 472-476.
Jakarta: Media Aesculapius, 2001.
6. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. Pedoman Diagnosis dan
Pentalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Indah Offset Citra Grafika, 2006.
7. Perhimpunan Doter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Tuberkulosis
Paru. Panduan Pelayanan Medik. Hal 109-111. Jakarta: BP PAPDI,2009.
8. Sastroasmoro N, et all. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: RSUP Nasional DR. Cipto Mangunkusumo,2007.
9. Sylvia A, Loraine M. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Volume 2. Edisi 6. Hal 852-860. Jakarta: EGC, 2005.
10. Kemenkes RI, 2011. Pedoman Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia.
Jakarta : Kementerian Kesehatan RI, Dirjen Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan.
11. Permenkes RI, 2016. Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta
:Kementerian Kesehatan RI, Badan Pembinaan Hukum Nasional.
12. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Sinergisme Pusat dan Daerah
dalam mewujudkan Universal Health Coverage (UHC) melalui Percepatan
Eliminasi Tuberkulosis. Jakarta; Departemen Kesehatan RI.
13. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III edisi V. Jakarta: Interna Publishing.

43
14. PDPI. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia,
Jakarta. 2011.
15. Trisnaningtyas, R.W., dkk. Evaluasi Terapi Pada Pasien Hepatitis B di
RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Jurnal Ilmiah Farmasi 13 (1) 2017; 29-34.

44

Anda mungkin juga menyukai