Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

MEKANISME VENTILASI

Disusun Oleh:
HARUMI KUSUMA 1710221053

Pembimbing:
dr. Thariq Emyl T.H, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ANESTESI DAN


REANIMASI
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT PERSAHABATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA
2019

1
LEMBAR PENGEESAHAN KOORDINATOR KEPANITERAAN

REFERAT
MEKANISME VENTILASI

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian


Kepaniteraan Klinik Di Departemen Anestesi dan Reanimasi
Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan

Harumi Kusuma
1710221053

Mengesahkan:
Pembimbing

dr. Thariq Emyl T.H, Sp.An

2
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Ventilasi mekanik adalah teknik yang berlawanan dengan fisiologi
ventilasi, yaitu dengan menghasilkan tekanan positif sebagai pengganti tekanan
negatif untuk mengembangkan paru-paru. Kecenderungan terbaru saat ini tentang
penggunaan volume tidal yang rendah selama ventilasi mekanik adalah langkah
yang benar karena strategi “semakin rendah semakin baik” adalah yang paling
tepat diterapkan pada teknik ventilasi yang berlawanan dengan proses fisiologi
yang normal. Pasien membutuhkan ventilasi mekanik karena mengalami
kegagalan pada sistem pernapasannya. Mekanisme pertukaran gas didalam paru-
paru mengalami gangguan.
Pemasangan ventilasi mekanik dapat dibantu dengan Intubasi Endotrakeal
(ETT). Intubasi endotrakeal merupakan "gold standard" untuk penanganan jalan
nafas.Prosedur ini dapat dilakukan pada sejumlah kasus pasien yang mengalami
penyumbatan jalan nafas, kehilangan reflek proteksi, menjaga paru-paru dari
sekret agar tidak terjadi aspirasi dan pada segala jenis gagal nafas. Intubasi
endotrakeal dapat dilakukan melalui hidung ataupun mulut. Tindakan intubasi
endotrakheal selama anestesi umum berfungsi sebagai sarana untuk menyediakan
oksigen (O2) ke paru-paru dan sebagai saluran untuk obat-obat anestesi yang
mudah menguap. Tindakan ini seringkali menyebabkan trauma terhadap mukosa
saluran nafas atas, yang bermanifestasi sebagai gejala-gejala yang muncul pasca
operasi.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi
Ventilasi mekanik adalah suatu alat bantu mekanik yang berfungsi
memberikan bantuan nafas pasien dengan cara memberikan tekanan udara positif
pada paru-paru melalui jalan nafas buatan untuk membantu sebagian atau seluruh
proses ventilasi untuk mempertahankan oksigenasi. Ventilasi mekanik memiliki
prinsip yang berlawanan dengan fisiologi ventilasi, yaitu dengan menghasilkan
tekanan positif sebagai pengganti tekanan negatif untuk mengembangkan paru.

II.2 Prinsip Dasar Ventilasi Mekanik2


Ventilasi yang adekuat sangat dipengaruhi oleh compliance dan resistensi.
1. Compliance
Compliance mengukur elastisitas atau distensibilitas dari sistem respirasi
(paru dan dinding dada) dan menggambarkan perubahan volume oleh
karena perubahan tekanan. Compliance yang rendah dijumpai pada pasien
dengan paru yang kaku, misalnya pada RDS, hipoplasia paru, atelektasis
paru, edema paru, dan pneumotoraks.

4
2. Resistensi
Pada resistensi, tekanan dibutuhkan untuk mengalirkan gas melalui saluran
napas ke alveoli. Resistensi menggambarkan tekanan dibagi dengan aliran
gas. Resistensi ditentukan oleh sifat dari saluran napas (panjang, diameter,
cabang dan karakteristik permukaan) dan tipe dari flow (laminar atau
turbulen).

3. Time Constant
Time constant adalah waktu (dalam detik) yang dibutuhkan oleh tekanan
(volume) alveolar untuk mencapai 63% perubahan tekanan udara. Time
constant adalah compliance dikalikan resistensi. Time constant pendek
pada RDS dan memanjang pada compliance tinggi (bayi besar yang
parunya normal) atau pada resistensi tinggi (misalnya pada chronic lung
disease).
Bila waktu inspirasi terlalu pendek (kurang dari 3-5 kali time constant)
akan mengakibatkan hiperkapnia dan hipoksemia. Bila waktu ekspirasi
terlalu pendek (kurang dari 3-5 kali time constant) akan terjadi gas
trapping sehingga mengakibatkan hiperkapnia dan menurunnya cardiac
output.
4. Hipoksemia
Patofisiologi hipoksemia pada bayi terjadi karena adanya ventilasi-perfusi
missmatch, shunt, hipoventilasi dan gangguan difusi

5
II.3 Tujuan Pemasangan Ventilator Mekanik
Ada beberapa tujuan pemasangan ventilator mekanik, yaitu:
1. Mencapai oksigen arteri dan kadar karbondioksida (CO2) yang normal
2. Meminimalkan usaha nafas yang berat
3. Meningkatkan atau mengoptimalkan tingkat kenyamanan pasien
4. Mengatasi ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi
5. Menjamin hantaran O2 ke jaringan adekuat

II.4 Indikasi Pemasangan Ventilator Mekanik


1. Pasiendengan gagal nafas
Pasien dengan distres pernafasan gagal nafas, henti nafas (apneu) maupun
hipoksemia yang tidak teratasi dengan pemberian oksigen merupakan
indikasi ventilasi mekanik. Idealnya pasien telah mendapat intubasi dan
pemasangan ventilasi mekanik sebelum terjadi gagal nafas yang
sebenarnya. Distres pernafasan disebabkan ketidakadekuatan ventilasi dan
atau oksigenasi. Prosesnya dapat berupa kerusakan paru (seperti pada
pneumonia) maupun karena kelemahan otot pernafasan dada (kegagalan
memompa udara karena distrofi otot).
2. Insufisiensi jantung
Tidak semua pasien dengan ventilasi mekanik memiliki kelainan
pernafasan primer. Pada pasien dengan syok kardiogenik dan CHF,
peningkatan kebutuhan aliran darah pada sistem pernafasan (sebagai
akibat peningkatan kerja nafas dan konsumsi oksigen) dapat
mengakibatkan jantung kolaps. Pemberian ventilasi mekanik untuk
mengurangi beban kerja sistem pernafasan sehingga beban kerja jantung
juga berkurang.
3. Disfungsi neurologis
Pasien dengan GCS 8 atau kurang yang beresiko mengalami apnu
berulang juga mendapatkan ventilasi mekanik. Selain itu ventilasi mekanik
juga berfungsi untuk menjaga jalan nafas pasien serta memungkinkan
pemberian hiperventilasi pada klien dengan peningkatan tekanan intra
cranial.

6
4. Tindakan operasi
Tindakan operasi yang membutuhkan penggunaan anestesi dan sedative
sangat terbantu dengan keberadaan alat ini. Resiko terjadinya gagal napas
selama operasi akibat pengaruh obat sedative sudah bisa tertangani dengan
keberadaan ventilasi mekanik.

II.5 Setting Ventilator Mekanik


Untuk menentukan mode operasional ventilator terdapat beberapa parameter yang
diperlukan untuk pengaturan pada penggunaan volume cycle ventilator, yaitu:
1. Frekuensi pernafasan permenit (Respiratory Rate)
Frekuensi napas adalah jumlah pernapasan yang dilakukan ventilator
dalam satu menit. Setting normal pada pasien dewasa adalah 10-20 x/mnt.
Parameter alarm RR diseting diatas dan dibawah nilai RR yang diset.
Misalnya set RR sebesar 10x/menit, maka setingan alarm sebaliknya diatas
12x/menit dan dibawah 8x/menit. Sehingga cepat mendeteksi terjadinya
hiperventilasi atau hipoventilasi.
2. Volume Tidal (VT)
Volume tidal merupakan jumlah gas yang dihantarkan oleh ventilator ke
pasien setiap kali bernafas. Umumnya disetting antara 8 - 10 cc/kgBB,
tergantung dari compliance, resistance, dan jenis kelainan paru. Pasien
dengan paru normal mampu mentoleransi volume tidal 10-15 cc/kgBB,
sedangkan untuk pasien PPOK cukup dengan 5-8 cc/kgBB. Parameter
alarm tidal volume diseting diatas dan dibawah nilai yang kita seting.
Monitoring volume tidal sangat perlu jika pasien menggunakan time
cycled.
3. Konsentrasi oksigen/Fraksi Oksigen Terinspirasi (FiO2)
FiO2 adalah jumlah kandungan oksigen dalam udara inspirasi yang
diberikan oleh ventilator ke pasien. Konsentrasinya berkisar 21-100%.
Settingan FiO2 pada awal pemasangan ventilator direkomendasikan
sebesar 100%. Untuk memenuhi kebutuhan FiO2 yang sebenarnya, 15
menit pertama setelah pemasangan ventilator dilakukan pemeriksaan

7
analisa gas darah. Berdasarkan pemeriksaan AGD tersebut, maka dapat
dilakukan penghitungan FiO2 yang tepat bagi pasien.

4. Rasio inspirasi : ekspirasi

Keterangan :
a. Waktu inspirasi merupakan waktu yang diperlukan untuk memberikan
volume tidal atau mempertahankan tekanan.
b. Waktu istirahat merupakan periode diantara waktu inspirasi dengan
ekspirasi
c. Waktu ekspirasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk
mengeluarkanudara pernapasan
d. Rasio inspirasi : ekspirasi biasanya disetting 1:2 yang merupakan nilai
normalfisiologis inspirasi dan ekspirasi. Akan tetapi terkadang
diperlukan fase inspirasi yang sama atau lebih lama dibandingkan
ekspirasi untuk menaikan PaO2.

5. Limit pressure / Peak inspiratory pressure (PIP)


Pressure limit berfungsi untuk mengatur jumlah tekanan dari ventilator
volume cycled. Tekanan terlalu tinggi dapat menyebabkan barotrauma dan
penurunan curah jantung.
6. Laju Aliran (Flow rate/peak flow)
Flow rate merupakan kecepatan ventilator dalam memberikan volume tidal
pernapasan yang telah disetting permenitnya. Flow yang tinggi akan
memperbaiki oksigenasi. Flow 6-10 liter/menit cukup untuk rata-rata
neonatus. Laju aliran ini penting terutama untuk kenyamanan pasien
karena mempengaruhi kerja pernapasan
7. Sensitivity/trigger
Sensitivity berfungsi untuk menentukan seberapa besar usaha yang
diperlukan pasien dalam memulai inspirasi dari ventilator atau tekanan

8
negatif yang harus dihasilkan oleh pasien untuk memulai suatu bantuan
napas oleh ventilator. Pressure sensitivity memiliki nilai sensivitas antara 2
sampai -20 cmH2O, sedangkan untuk flow sensitivity adalah antara 2-20
L/menit. Semakin tinggi nilai pressure sentivity maka semakin mudah
seseorang melakukan pernapasan. Kondisi ini biasanya digunakan pada
pasien yang diharapkan untuk memulai bernapas spontan, dimana
sensitivitas ventilator disetting -2 cmH2O. Sebaliknya semakin rendah
pressure sensitivity maka semakin susah atau berat pasien untuk bernapas
spontan. Settingan ini biasanya diterapkan pada pasien yang tidak
diharapkan untuk bernafas spontan.
8. Alarm
Alarm tekanan rendah menandakan adanya pemutusan dari pasien
(ventilator terlepas dari pasien), sedangkan alarm tekanan tinggi
menandakan adanya peningkatan tekanan, misalnya pasien batuk, cubing
tertekuk, terjadi fighting, dan lain-lain. Alarm volume rendah menandakan
kebocoran. Alarm jangan pernah diabaikan tidak dianggap dan harus
dipasang dalam kondisi siap.
9. Positive End Respiratory Pressure (PEEP)
PEEP bekerja dengan cara mempertahankan tekanan positif pada alveoli
diakhir ekspirasi. PEEP yang optimal mencegah kolaps alveolar dan tidak
menyebabkan overdistensi. PEEP mampu meningkatkan kapasitas residu
fungsional paru dan sangat penting untuk meningkatkan penyerapan O2
oleh kapiler paru sehingga memperbaiki ratio ventilasi perfusi.
Peningkatan PEEP meningkatkan Mean Airway Pressure (MAP) sehingga
meningkatkan PaO2. Penurunan PEEP pada bayi yang parunya sangat
kaku akan menurunkan PaO2. Level PEEP yang dipakai biasanya 5-7
cmH2O. PEEP yang tinggi dapat menyebabkan overdistensi sehingga
menurunkan compliance paru, tidal volume, pengeluaran CO2 dan curah
jantung serta meningkatkan PaCO2 sedangkan PEEP <3 cmH2O pada
bayi prematur dapat mengakibatkan atelektasis. PEEP hanya digunakan
pada fase ekspirasi, sementara CPAP berlangsung selama siklus respirasi.

9
II.6 Fisiologik pada Ventilasi Mekanik
1. Pernafasan Spontan
Diafragma dan otot intercostalis berkontraksi  rongga dada
mengembang  terjadi tekanan negative (-)  aliran udara masuk ke paru
dan berhenti pada akhir inspirasi (fase ekspirasi berjalan secara pasif).
2. Pernafasan dengan Ventilasi Mekanik
Ventilator mengirimkan udara dengan memompakan ke paru pasien 
sehingga tekanan selama inspirasi adalah positif  tekanan intra thorakal
meningkat  pada akhir inspirasi tekanan dalam rongga thoraks pali ng
positif (fase ekspirasi berjalan pasif)

II.7 Efek Fisiologik pada Ventilasi Mekanik


1. Penurunan PCO2 Arteri
Ada beberapa alasan mengapa ventilasi tekanan-positif
meningkatkan ruang mati. Pertama, volume paru biasanya meningkat,
terutama jika ditambah dengan PEEP dapat meningkatkan ruang mati
anatomik. Kemudian, tekanan jalan napas yang meningkat itu cenderung
mengalihkan aliran darah dari daerah yang berventilasi sehingga
menyebabkan daerah dengan rasio ventilasi-perfusi tinggi atau bahkan
daerah tidak berperfusi. Ini khususnya terjadi di daerah paru paling atas
yang memiliki tekanan arteri pulmonal yang relatif rendah karena efek
hidrostatik. Jika tekanan dalam kapiler turun di bawah tekanan jalan napas,
kapiler dapat kolaps seluruhnya, menyebabkan paru tidak berperfusi.
Kolaps ini didukung oleh dua faktor: 1) tekanan jalan napas yang
abnormal tinggi dan 2) penurunan aliran balik vena dan diikuti oleh
hipoperfusi paru.
Kecenderungan PCO2 arterial meningkat akibat peningkatan ruang
mati dapat diatasi dengan mengatur ulang ventilator untuk meningkatkan
ventilasi total. Dalam praktik, banyak pasien yang diventilasi secara
mekanik mengalami PCO2 arteri abnormal rendah karena diventilasi
berlebihan. PCO2 arteri yang terlalu rendah perlu dihindari karena hal ini
mengurangi aliran darah serebral sehingga menyebabkan hipoksia

10
serebral. Bahaya lain ventilasi berlebihan pada pasien dengan retensi CO2
adalah kalium serum yang rendah, yang mencetuskan irama jantung
abnormal. Ketika CO2 ditahan, kalium bergerak keluar sel ke dalam
plasma dan diekskresi oleh ginjal. Jika PCO2 berkurang dengan cepat,
kalium kembali masuk ke dalam sel sehingga mengurangi plasma.
2. Peningkatan PO2 Arteri
Pada beberapa pasien gagal napas, PCO2 arterinya sering tidak
meningkat dan tujuan ventilasi mekanik adalah meningkatkan PO2. Dalam
praktik, pasien seperti ini selalu diventilasi dengan yang diperkaya
oksigen, dan kombinasi ini biasanya efektif untuk mengurangi hipoksemia.
Konsentrasi oksigen inspirasi idealnya harus cukup untuk meningkatkan
PO2 arteri paling tidak menjadi 60 mmHg, tetapi konsenrasi inspirasi yang
terlalu tinggi perlu dihindari karena bahaya toksisitas oksigen dan
atelektasis.
3. Efek pada Aliran Balik Vena
Ventilasi mekanik cenderung mengganggu kembalinya darah ke
dalam toraks sehingga mengurangi curah jatung. Jika tekanan jalan napas
ditingkatkan oleh ventilator, tekanan intratoraks rata-rata meningkat dan
menghambat aliran balik vena. Efek ventilasi tekanan-positif pada aliran
balik vena bergantung pada besar dan durasi tekanan inspirasi dan
khususnya, penambahan PEEP. Darah yang lewat paru juga berkurang
karena adakanya kompresi mikrovaskuler akibat tekanan positif sehingga
darah yang menuju atrium kiri berkurang dan akhirnya cardiac output juga
berkurang. Bila tekanan terlalu tinggi bisa terjadi gangguan oksigenasi dan
besar resiko terjadinya pneumothoraks. Cardiac output yang menurun
menyebabkan perfusi ke organ-organ lain menurun seperti hepar, ginjal,
dll, sehingga darah yang ke otak akan terhambat dan bisa menyebabkan
tekanan intrakranial meningkat.Hal ini dapat diketahui secara klinis
dengan adanya peningkatan distensi dari vena jugularis. Oleh karena itu,
pada keadaan perfusi otak yang menurun dapat menimbulkan hipoksemia
serebral dan ICP yang meningkat dapat memperparah edema serebral. Bila
pasien memiliki kondisi hemodinamik intrakranial yang normal, maka

11
dengan ventilasi tekanan positif tidak akan meningkatkan tekanan
intrakranial (ICP). Pada pasien dengan fungsi serebral yang abnormal,
perubahan yang terjadi pada perfusi dan tekanan serebral akan sangat
mempengaruhi kondisi hemodinamik. Bila terdapat peningkatan ICP,
maka akan timbul hiperventilasi untuk menurunkan ICP yaitu dengan
mengurangi PaCO2 menjadi 25 sampai 30 mmHg. Alkalosis yang timbul
karena PaCO2 yang rendah dapat menyebabkan vasokonstriksi pembuluh-
pembuluh darah.
4. Efek Terhadap Fungsi Renal
a. Respon renal terhadap perubahan hemodinamik yang timbul karena
peningkatan tekanan intratorakal
Penurunan curah jantung karena tekanan positif alveolar,
cenderung menurunkan aliran darah ginjal (renal blood flow /RBF)
dan laju filrasi glomerular (GFR) sehingga produksi urin berkurang.
Pada saat tekanan kapiler glomerular menurun di bawah 75 mmHg,
laju aliran glomerular menurun dan aliran urin berkurang. Pada
hipotensi yang berat, aliran urin dapat terhenti. Pada saat penggunaan
ventilasi tekanan positif, tekanan darah arterial biasanya
terkompensasi. Penurunan tekanan bukan faktor penyebab penurunan
produksi urin yang signifikan selama ventilasi mekanik. Redistribusi
darah dalam ginjal yang mempengaruhi perubahan fungsi ginjal itu
sendiri. Aliran ke korteks bagian luar menurun, sementara aliran
menuju korteks bagian dalam dan nefron- nefron jukstaglomerular
meningkat sehingga urin, kreatinin dan natrium yang diekskresikan
lebih sedikit. Hal ini terjadi karena nefron jukstaglomerular di dekat
medula ginjal lebih efisien mengabsorbsi natrium daripada yang
berada di korteks bagian luar sehingga natrium yang diabsorbsi lebih
banyak, diikuti pula dengan absorbsi air yang meningkat. Redistribusi
darah merupakan respons terhadap stimulasi simpatis seperti
peningkatan katekolamin, vasopresin, dan angiotensin.

12
b. Respons humoral antara lain perubahan pada hormon antidiuretik
(ADH), peptida natriuretik atrial (ANP) dan renin-angiotensin-
aldosteron (RAA)
Produksi urin selama pemberian ventilasi tekanan positif akan menurun.
Hal ini disebabkan oleh perubahan perfusi dan fungsi endokrin. Peningkatan
pelepasan hormon antidiuretik (ADH) dari hipofisis posterior dapat
menurunkan produksi urin. ADH menghambat ekskresi air. Semakin tinggi
ADH yang dilepaskan ke dalam sirkulasi, semakin sedikit pembentukan urin
sehingga volume cairan dalam tubuh semakin besar.Faktor penentu utama
dari pelepasan ADH adalah osmolalitas plasma. Faktor lainnya adalah
tekanan darah, nausea, vomitus, dan berbagai macam obat-obatan seperti
golongan narkotik serta obat antiinflamasi nonsteroid. Perubahan tekanan
darah yang disebabkan pemberian ventilasi tekanan positif dapat
meningkatkan pelepasan ADH melalui mekanisme berikut ini, yaitu reseptor
volume yang terdapat di atrium kiri mengirimkan impuls-impuls saraf
melalui jalur vagal ke hipotalamus. Aktivitas saraf ini dapat menstimulasi
peningkatan atau penurunan produksi dan sekresi ADH. Baroreseptor yang
terdapat di badan karotis dan di sepanjang arkus aorta menginderakan
perubahan tekanan serta dapat menaikkan atau menurunkan level ADH. Pada
saat pemberian ventilasi tekanan positif, reseptor-reseptor tadi terpapar
olehperubahan tekanan intratorakal, volume dan tekanan darah. Telah
diketahui bahwa ventilasi tekanan negatif menghambat pelepasan ADH dan
menyebabkan efek diuretik, sebaliknya ventilasi tekanan positif
meningkatkan pelepasan ADH sehingga menimbulkan oliguria.
Ventilasi tekanan positif dan PEEP menurunkan tekanan pengisian atrial
dengan kompresi mekanik pada atrium dengan menurunkan regangan atrium
kanan karena venous return yang menurun. Penurunan regangan atrial
menyebabkan produksi hormon lainnya ikut berkurang yaitu atrial
natriuretic peptide (ANP). ANP berfungsi untuk menjaga keseimbangan
cairan dan elektrolit. Menurunnya kadar ANP ikut berperan dalam retensi air
dan natrium selama ventilasi tekanan positif.
c. Pengaruh terhadap ginjal karena pH, PaCO2 dan PaO2 yang abnormal
Perubahan PaO2 dan PCO2 merupakan pengaruh dari ventilasi
terhadap ginjal. Penurunan PaO2 pada pasien dengan gagal napas

13
menunjukkan adanya produksi urin dan fungsi ginjal yang berkurang.
Nilai PaO2 di bawah 40 mmHg (hipoksemia berat) menyebabkan
penurunan fungsi ginjal. Demikian pula dengan PaCO2 di atas 65
mmHg juga dapat menurunkan fungsi ginjal.

5. Efek Terhadap Hepar dan Gastrointestinal


Pasien-pasien yang mendapatkan ventilasi tekanan positif dan PEEP
menunjukkan adanya gangguan fungsi hepar yang ditandai dengan
peningkatan bilirubin serum lebih dari 2,5 mg/100 ml tanpa disertai
dengan riwayat penyakit hepar sebelumnya. Hal ini disebabkan karena
penurunan curah jantung, pergerakan diafragma ke arah bawah yang
berlawanan dengan hepar, penurunan aliran vena porta atau
peningkatan resistensi splanknik sehingga menyebabkan iskemi pada
jaringan hepar dan juga faktor-faktor lain yang mengganggu fungsi
hepar.Ventilasi tekanan positif meningkatkan resistensi splanknik,
menurunkan aliran vena splanknik dan berperan dalam mencetuskan
iskemi mukosa gaster. Hal ini terjadi karena peningkatan permeabilitas
sawar mukosa gaster. Oleh karena itu, pada pasien-pasien tersebut
diberikan antasida atau simetidin untuk mencegah perdarahan
gastrointestinal karena acute stress ulceration.Peningkatan risiko
pneumonia nosokomial pada pasien yang diventilasi. Pada keadaan
tersebut dapat diberikan sukralfat oral yang dapat mengatasi perdarahan
gastrointestinal tanpa mengubah pH.Pasien yang mendapatkan ventilasi
tekanan positif juga berisiko untuk mengalami distensi gaster yang
berat karena menelan udara yang bocor di sekitar pipa endotrakea atau
bila ventilasi tekanan positif ini diberikan melalui sungkup.
Pemasangan selang nasogastrik dapat membuang udara yang masuk
dan mendekompresi gaster.

14
II.8 Prosedur Pemberian Ventilator
Sebelum memasang ventilator pada pasien. Lakukan tes paru pada ventilator
untuk memastikan pengesetan sesuai pedoman standar. Sedangakan pengesetan
awal adalah sebagai berikut:
1. Fraksi oksigen inspirasi (FiO2) 100%
2. Volume Tidal: 6-8 ml/kgbb
3. Frekuensi Pernafasan: 12-14 x/menit
4. Aliran Inspirasi: 40-60 liter/detik
5. PEEP atau tekanan positif akhir ekspirasi: 0-5cm, ini diberikan pada
pasien yang mengalami edema paru dan untuk mencegah atelectasis.

II.9 Mode Ventilator Mekanik


Mode ventilator terbagi menjadi 2 bagian besar yaitu mode bantuan
sepenuhnya dan mode bantuan sebagian.
1. Mode bantuan penuh terdiri dari mode volume control (VC) dan pressure
control (PC). Baik VC ataupun PC, masing-masing memenuhi target Tidal
Volume (VT) sesuai kebutuhan pasien (10-12 ml/kgBB/breath).
a. Volume Control (VC)
Pada mode ini, frekuensi nafas (f) dan jumlah tidal volume (TV)
yang diberikan kepada pasien secara total diatur oleh mesin. Mode
ini digunakan jika pasien tidak sanggup lagi memenuhi kebutuhan
TV sendiri dengan frekuensi nafas normal. Karena pada setiap
mode control, jumlah nafas dan TV mutlak diatur oleh ventilator,
maka pada pasien-pasien yang sadar atau inkooperatif akan
mengakibatkan benturan nafas (fighting) antara pasien dengan
mesin ventilator saat inspirasi atau ekspirasi. Sehingga pasien
harus diberikan obat-obat sedatif dan pelumpuh otot pernafasan
sampai pola nafas kembali efektif. Pemberian muscle relaksan
harus benar-benar dipertimbangkan terhadap efek merugikan
berupa hipotensive.

15
b. Pressure Control (PC)
Jika pada mode VC, sasaran mesin adalah memenuhi kebutuhan
TV melalui pemberian volume, maka pada mode PC target mesin
adalah memenuhi kebutuhan TVmelalui pemberian tekanan. Mode
ini efektif digunakan pada pasien dengan kasus edema paru akut.

2. Mode bantuan sebagian terdiri dari SIMV (Sincronous Intermitten Minute


Volume), Pressure Support (PS), atau gabungan volume dan tekanan
SIMV-PS.
a. Sincronous Intermitten Minute Volume (SIMV)
Jika VC adalah bantuan penuh maka SIMV adalah bantuan
sebagian dengan targetnya volume. SIMV memberikan bantuan
ketika usaha nafas spontan pasien mentriger mesin ventilator. Tapi
jika usaha nafas tidak sanggup mentriger mesin, maka ventilator
akan memberikan bantuan sesuai dengan jumlah frekuensi yang
sudah diatur. Untuk memudahkan bantuan, maka trigger dibuat
mendekati standar atau dibuat lebih tinggi. Tetapi jika kekuatan
untuk mengawali inspirasi belum kuat dan frekuensi nafas terlalu
cepat, pemakaian mode ini akan mengakibatkan tingginya WOB
(Work Of Breathing) yang akan dialami pasien. Mode ini
memberikan keamanan jika terjadi apneu. Pada pasien jatuh apneu
maka mesin tetap akan memberikan frekuensi nafas sesuai dengn
jumlah nafas yang di set pada mesin. Tetapi jika kemampuan
inspirasi pasien belum cukup kuat, maka bisa terjadi fighting antara
mesin dengan pasien. Beberapa pengaturan (setting) yang harus di
buat pada mode SIMV diantaranya: TV, Minute Volume (MV),
Frekuensi nafas, trigger sensitivity, PEEP, FiO2 dan alarm batas
atas dan bawah MV.
b. Pressure Support (PS)
Jika PC merupakan bantuan penuh, maka PS merupakan mode
bantuan sebagian dengan target TV melalui pemberian tekanan.
Mode ini tidak perlu mengatur frekuensi nafas mesin karena

16
jumlah nafas akan dibantu mesin sesuai dengan jumlah trigger
yang dihasilkan dari nafas spontan pasien. Semakin tinggi trigger
yang diberikan akan semakin mudah mesin ventilator memberikan
bantuan. Demikian pula dengan Inspiratory Pressure Level (IPL),
semakin tinggi IPL yang diberikan akan semakin mudah TV pasien
terpenuhi. Tapi untuk tahap weaning, pemberian trigger yang
tinggi atau IPL yang tinggi akan mengakibatkan ketergantungan
pasien terhadap mesin dan ini akan mengakibatkan kesulitan pasien
untuk segera lepas dari mesin ventilator. Beberapa pengaturan
(setting) yang harus di buat pada mode PS diantaranya: IPL,
trigger sensitivity, PEEP, FiO2, alarm batas atas dan bawah MV
serta Upper Pressure Level. Jika pemberian IPL sudah dapat
diturunkan mendekati 6 cm H2O, dan TV atau MV yang dihasilkan
sudah terpenuhi, maka pasien dapat segera untuk diweaning ke
mode CPAP (Continuous Positive Air Way Pressure).
c. SIMV + PS (Sincronous Intermitten Minute Volume + Pressure
Support)
Mode ini merupakan gabungan dari mode SIMV dan mode PS.
Umumnya digunakan untuk perpindahan dari mode kontrol.
Bantuan yang diberikan berupa volume dan tekanan. Jika dengan
mode ini IPL dibuat 0 cmH2O, maka sama dengan mode SIMV
saja. SIMV + PS memberikan kenyamanan pada pasien dengan
kekuatan inspirasi yang masih lemah. Beberapa pengaturan
(setting) yang harus di buat pada mode SIMV + PS diantaranya:
TV, MV, Frekuensi nafas, Trigger, IPL, PEEP, FiO2, alarm batas
atas dan bawah dari MV serta Upper Pressure Limit.
d. Continous Positif Airway Pressure (CPAP)
Mode ini digunakan pada pasien dengan daya inspirasi sudah
cukup kuat atau jika dengan mode PS dengan IPL rendah sudah
cukup menghasilkan TV yang adekuat. Bantuan yang di berikan
melalui mode ini berupa PEEP dan FiO2 saja. Dengan demikian
penggunaan mode ini cocok pada pasien yang siap ekstubasi.

17
II.10 Komplikasi
Ventilator adalah alat untuk membantu pernafasan pasien, tapi bila
perawatannya tidak tepat bisa, menimbulkan komplikasi seperti:
1. Pada Paru
a. Barotrauma: tension pneumothorax, empisema sub cutis, emboli udara
b. Atelektasis/kolaps alveoli diffuse
c. Infeksi paru
d. Keracunan oksigen
e. Jalan nafas buatan: king-king (tertekuk), terekstubasi, tersumbat.
f. Aspirasi cairan lambung
2. Pada sistem kardiovaskuler
Hipotensi, menurunya cardiac output dikarenakan menurunnya
aliran balik vena akibat meningkatnya tekanan intra thorax pada
pemberian ventilasi mekanik dengan tekanan tinggi.
3. Pada sistem saraf pusat
a. Vasokonstriksi cerebral, terjadi karena penurunan tekanan CO2 arteri
(PaCO2) dibawah normal akibat dari hiperventilasi.
b. Edema cerebral, terjadi karena peningkatan tekanan CO2 arteri diatas
normal akibat dari hipoventilasi.
c. Peningkatan tekanan intra kranial.
d. Gangguan kesadaran
e. Gangguan tidur
4. Pada sistem gastrointestinal
a. Distensi lambung, ileus
b. Perdarahan lambung
5. Gangguan lainnya
a. Obstruksi jalan nafas
b. Hipertensi
c. Tension pneumotoraks
d. Atelektasis
e. Infeksi pulmonal

18
BAB III
KESIMPULAN

Ventilasi mekanik memiliki prinsip yang berlawanan dengan fisiologi


ventilasi, yaitu dengan menghasilkan tekanan positif sebagai pengganti tekanan
negatif untuk mengembangkan paru-paru. Tujuan dari pemasangan ventilator
mekanik adalah mencapai oksigen arteri dan kadar karbondioksida (CO2) yang
normal, meminimalkan usaha nafas yang berat, meningkatkan atau
mengoptimalkan tingkat kenyamanan pasien, mengatasi ketidakseimbangan
ventilasi dan perfusi dan menjamin hantaran O2 ke jaringan adekuat.Penggunaan
dari ventilator mekanik pun perlu settingan yang di pantau dari laju pernafasan
(respiratory rate), volume tidal, konsentrasi oksigen/fraksi oksigen terinspirasi
(FiO2), rasio inspirasi:ekspirasi, limit pressure/peak inspiratory pressure (PIP),
laju aliran/flow rate/peak flow, sensitivity/trigger, alarm, positive end respiratory
pressure (PEEP).

19
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Carlo WA, Ambalavanan M, Chatburn RL. 2006. Manual of Neonatal


Respiratory Care Edisi 2nd: Basic Principles of Mechanical Ventilation.
Mosby: Philadelphia. Hal. 61-73.
nd
2. Lanken PN. 2007. The Intensive Care Unit Manual edisi 2 . Saunders:
Philadelphia. Hal. 13-30

3. Manno MS. 2005. Managing Mechanical Ventilation. Hal.36-41.


https://journals.lww.com/nursing/Fulltext/2005/12000/Managing_mechani
cal_ventilation.45.aspx#O2-45

4. Marino PL. 2007. The Icu Book edisi 3rd. Lippincott Williams and
Wilkins: Newyork. Hal. 457- 511

5. Pilbeam SP. 2016. Mechanical Ventilation; Physiological and Clinical


Applications edisi 6th. Mosby:St.Louis Missouri: Hal. 4-17

6. Pietropaoli. 2005. Critical Care: The Requisites in Anesthesiology.


Elsevier: Philadelphia.

7. Vines D. 2016. Egan’s Fundamentals of Respiratory Care edisi 11th.


Mosby: St. Louis Missouri. Hal. 407-15

8. Ward J. 2008. At a Glance Sistem Respirasi Edisi 2nd. Erlangga: Jakarta.


nd
9. Whiteley SM. 2006. Intensive Care edisi 2 . Churchill Livingstone:
Philadelphia.Hal. 107-10.

20

Anda mungkin juga menyukai