Anda di halaman 1dari 6

ETNOGRAFI DI INDONESIA : BERBAGAI CIRI.

(Heddy Shri Ahimsa Putra)

Tidak mudah sebenarnya untuk menunjukkan ciri-ciri umum etnografi-etnografi yang lahir dari tangan
ahli antropologi Indonesia, karena hingga kini belum ada suatu telaahpun tentang etnografi-etnografi tersebut
dengan menggunakan perspektif kritik sastra seperti yang dilakukan Marcus, Fischer, Clifford dan teman-
temannya, yang kini dikenal sebagai "antropologi post-modern" (Scholte, 1987). Namun demikian, saya akan
mencoba memaparkan di sini hasil telaah saya atas berbagai etnografi Indonesia. Fokus perhatian saya adalah
pada gaya dan isi penulisan. Perspektif ini tentu saja berbeda dengan perspektif yang digunakan oleh Marcus
dan Cushman (1982), atau oleh Marcus dan Fischer (1986) atau oleh Spencer (1989). Saya berharap dengan
strategi telaah semacam ini akan dapat saya tampilkan beberapa ciri dari etnografi-etnografi tersebut yang akan
relevan dengan tema "Etnografi Sebagai Kritik Kebudayaan".
Berbicara mengenai etnografi di Indonesia, maka mau tidak mau kita harus membicarakan berbagai
buku yang diedit terutama oleh Koentjaraningrat, seperti misalnya Manusia dan Kebudayaan di Indonesia,
Masyarakat Desa di Indonesia Masa Kini, Penduduk Irian Barat, Masyarakat Terasing di Indonesia, serta buku-
buku seperti Minawang dari H.S.Ahimsa Putra, Dunia Orang Sawu dari N.L.Kana, Tradisi Pesantren dari
Z.Dhofier, Kinship, Descent and Alliance among the Karo Batak dari M.Singarimbun, Tradisi dan Struktur dalam
Masyarakat Jawa dari P.M.Laksono, The Javanese Trah dari S.Sairin, Manusia Jawa dan Merapi dari
L.S.Triyoga, Manusia dan Hutan dari H.A.Pranowo, Konflik dan Integrasi dari A.F.Saifuddin, Kebudayaan Petani
Desa Trunyan, Bali dari J.Danandjaja, serta berbagai macam artikel yang ditulis oleh para ahli antropologi dan
dimuat dalam berbagai macam jurnal.
Jika kita perhatikan isi dari berbagai macam buku dan artikel etnografis tersebut, maka dari perspektif
tertentu kita akan dapat mengelompokkan mereka ke dalam tiga kategori, yakni (a) kategori etnografi yang
bersifat asal deskripsi, yang saya sebut Etnografi Awam ; kemudian (b) etnografi yang berisi deskripsi, baik yang
mendalam maupun yang dangkal, tetapi juga bersifat klasifikatif, yang saya sebut Etnografi Laci , dan yang
terakhir adalah (c) etnografi yang berisi deskripsi juga, namun sudah lebih analitis, dan saya sebut saja Etnografi
Analitis.

a. Etnografi Awam.
Etnografi Awam adalah etnografi yang umumnya ditulis bukan oleh para ahli antropologi, namun
mempunyai beberapa ciri yang tidak jauh berbeda dengan berbagai etnografi dari para ahli antropologi.
Kebanyakan tulisan semacam ini berasal dari para wartawan, yang biasanya memang lebih banyak pengalaman
lapangannya (bukan pengalaman penelitiannya) daripada ahli antropologi, serta banyak dimuat di berbagai surat
kabar dan majalah-majalah populer. Etnografi Awam semacam ini juga banyak memuat informasi yang sering
kita temukan dalam Etnografi Antropologis, namun dia berbeda dengan yang ke dua terutama dalam soal
penggunaan konsep-konsep antropologis. Dalam Etnografi Awam konsep-konsep antropologis ataupun analitis
yang biasa kita temui dalam Etnografi Antropologis jarang kita temui, atau kalau kita temui konsep tersebut
seringkali tidak sangat jelas maknanya.
Ciri lain dari Etnografi Awam adalah deskripsinya yang datar. Artinya di situ umumnya tidak terdapat
analisa ataupun kesimpulan tertentu dari si penulis mengenai apa yang ditulisnya. Tujuan penulisan biasanya
adalah benar-benar sekedar menyampaikan berita. Tidak ada maksud untuk menjelaskan fenomena yang ditulis.
Oleh karena itu, judul-judul etnografi semacam ini biasanya dibuat "menarik perhatian" dengan menggunakan
kata-kata yang tidak biasa, yang dianggap akan lebih membangkitkan minat pembaca untuk mengetahui isi
tulisan tersebut lebih lanjut, bukan hanya membaca judulnya saja. Sebagai contoh adalah uraian mengenai
masyarakat Baduy di daerah Banten yang dimuat dalam surat kabar Suara Karya tanggal 9 Mei, 1988. Tulisan
ini diberi judul "Mereka Bukan Terasing, Tetapi Mengasingkan Diri". Huruf yang lebih kecil di atasnya
menyebutkan "Masyarakat Baduy, Mei 1988 (1)". Judul ini memang menarik perhatian, karena maknanya
berlawanan dengan anggapan yang umum berlaku dalam masyarakat bahwa masyarakat Baduy merupakan
masyarakat yang terasing. Dengan judul yang melawan pendapat umum ini, penulis artikel tersebut (atau
editornya) berharap bahwa orang (awam) akan lantas tertarik untuk membaca artikel tersebut. Bagian kedua
tulisan tersebut diberi judul lain lagi yaitu : "Mereka Ternyata Manusia Kerja". Judul ini juga dapat dianggap
berlawanan dengan pendapat awam tentang masyarakat petani, termasuk di dalamnya masyarakat Baduy dan
masyarakat "Terasing" yang "belum maju", yang mengatakan bahwa warga masyarakat semacam itu biasanya
"malas bekerja". dan karena itu pula "tidak dapat maju". Dengan judul semacam itu, tulisan tersebut diharapkan
akan lantas banyak dibaca, dan gambaran umum yang dianggap keliru tentang masyarakat Baduy, masyarakat
petani, serta masyarakat "Terasing” lainnya, dapat berubah.
Tulisan-tulisan lain dengan judul-judul seperti itu sangat banyak kita temui dalam berbagai surat kabar
dan majalah-majalah populer di Indonesia. Judul-judul seperti "Kekuatan Gaib Dari Rimba Sumatera" (Suara
Karya, 4 Juni, 1987), "Orang Dani Panen Padi" (Kompas, 15 September, 1986), "Perubahan Nilai di Baduy
Jangan Jadi Obyek Tontonan" (Suara Karya, 14 Juli, 1986), "Primitif, Curiga dan Keramat" (Kompas, 3 Januari,
1991), “Suku Bajo: Manusia Laut Bebas” (Intisari, 1991), “Menanti Datangnya Metropolis Kapuknaga” (Kompas,
26 September, 1997), “Pesta Tenun Lempot Umbak, Cermin Kebersamaan” (Kompas, 28 September, 1997) dan
sebagainya, merupakan judul-judul yang sering kita jumpai. Pembuatan judul yang menarik perhatian seperti itu
sebenarnya bukanlah monopoli penulis non-antropologi, karena para ahli antropologi sendiri -dulu maupun kini-
sudah biasa melakukannya. Lihat saja judul buku J.G.Frazer tentang agama, yang merupakan salah satu buku
klasik antropologi, The Golden Bough (Ranting Emas). Buku Malinowski -ahli antropologi pelopor penulisan
etnografi holistik-, juga menggunakan judul-judul yang menarik, seperti misalnya Argonauts of the Western
Pacific, Coral Garden and Their Magic. Juga ada judul-judul menarik lainnya dari ahli-ahli antropologi yang lain
seperti misalnya, Son of the Shaking Earth, We Eat The Mines, The Mines Eat Us, In The Realm of The
Diomand Queen, Sex and Repression in Savage Society, Day of Shining Red, The Sorrow of the Lonely and the
Burning of the Dancers, Celebration of Death, dan masih banyak lagi lainnya.
Selanjutnya Etnografi Awam biasanya juga tidak sangat tajam fokus pembicaraannya. Apa yang
terdapat dalam etnografi semacam ini bisa bermacam-macam, namun tidak ada yang sangat mendalam.
Walaupun judul selalu diarahkan pada suatu hal tertentu yang dipandang akan menarik perhatian pembaca,
tetapi apa yang diuraikan di situ biasanya tidak sangat dalam. Tampaknya hal ini tidak terlepas dari soal
kebutuhan untuk menarik pembaca sebanyak-banyaknya, dengan memberikan informasi yang menarik dan
penuh variasi, sementara ruang yang tersedia sangat terbatas. Kebanyakan Etnografi Awam bermanfaat untuk
merangsang rasa ingin tahu dari pembaca, tetapi tidak untuk memberikan pengetahuan yang sangat mendalam
dan bagus mengenai suatu kebudayaan atau masyarakat. Pembaca yang sudah bangkit minatnya untuk
mempelajari lebih lanjut apa yang ada dalam Etnografi Awam harus mencarinya sendiri dalam sumber-sumber
tertulis yang lain lagi atau melakukan penelitian lapangan sendiri.
Oleh karena tidak bermaksud memberikan analisis dan penjelasan, maka dalam Etnografi Awam pada
umumnya juga tidak terdapat kerangka teori seperti yang biasanya kita temukan dalam berbagai buku dan artikel
antropologi yang lebih ilmiah. Kerangka teori memang tidak dibutuhkan di situ. Akibatnya segera terlihat dengan
jelas, yaitu uraian yang tidak selalu runtut dan sistematis. Dia bisa meloncat dari satu topik ke topik yang lain
dengan urutan logika yang tidak harus jelas. Berbagai keterangan dan argumentasi yang diberikan oleh informan
kadang-kadang berdesak-desakan tampil ke permukaan teks.
Jika kita mencoba melihatnya dari perspektif hubungan antara penulis etnografi semacam ini dengan
informan-informannya, maka yang dapat kita simpulkan adalah bahwa penulis etnografi di situ masih mengambil
jarak dengan para informan dan dengan apa yang ingin disampaikannya kepada pembaca. Tanpa disadari
penulis Etnografi Awam tampak berusaha untuk menampilkan obyek atau subyek yang diuraikannya
"sebagaimana adanya", tanpa dibumbui tafsir dan analisis. Oleh karena itu pula, Etnografi Awam ini kadang-
kadang dapat dianggap sebagai "data mentah" yang bisa dimanfaatkan oleh para ilmuwan sosial-budaya untuk
menjelaskan suatu fenomena tertentu.
Uraian dalam Etnografi Awam umumnya juga tidak memperlihatkan adanya perenungan-perenungan
dari pihak penulis atas etnografi yang ditulisnya. Alasan utama tampaknya adalah karena hal semacam itu
bukanlah merupakan tugas seorang penulis Etnografi Awam, yang memang tidak bermaksud menulis sebuah
etnografi sama sekali. Walaupun perenungan kadang-kadang juga muncul, namun ini biasanya juga tidak sangat
dalam. Keterbatasan ruang tampaknya juga merupakan salah satu sebabnya.
Meskipun Etnografi Awam memang tidak dapat memenuhi keinginan seorang ahli antropologi akan
informasi kebudayaan yang dalam dan lengkap, akan tetapi hal itu tidak berarti bahwa etnografi semacam ini
tidak perlu dibaca. Anggapan semacam ini tentu saja sangat keliru. Etnografi Awam tetap perlu dibaca, karena
seringkali isinya sangat informatif. Salah satu hal yang penting dari Etnografi Awam -yang membuatnya tetap
pantas dan perlu dibaca oleh para ahli antropologi- adalah bahwa informasi yang diberikannya seringkali sangat
rinci, dan disertai dengan kutipan kata-kata yang dikemukakan oleh informan secara langsung, sehingga
menimbulkan kesan bahwa etnografi yang ditulis sangat reliable, dapat dipercaya.
b. Etnografi Laci
Predikat ini dapat kita berikan pada berbagai tulisan para ahli antropologi yang terdapat dalam buku-
buku yang diedit oleh Koentjaraningrat, seperti misalnya "Kebudayaan Jawa” oleh Kodiran, "Kebudayaan Bugis-
Makassar" oleh Mattulada, "Kebudayaan Batak" oleh Payung Bangun, dan sebagainya, yang terdapat dalam
buku Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Juga berbagai tulisan ilmuwan Indonesia yang ada dalam
Masyarakat Desa di Indonesia, seperti misalnya artikel dari Budisantosa tentang masyarakat desa Celepar,
tulisan Harsya W. Bachtiar tentang masyarakat desa di Sumatera Barat, dan berbagai tulisan lain dalam
Penduduk Irian Barat, serta tulisan para ahli antropologi dari generasi yang lebih muda yang dimuat dalam
Masyarakat Terasing di Indonesia. Berbagai tulisan dalam buku ini sebagian besar memang "hanya" berisi
pelukisan tentang apa yang dimaksud sebagai "kebudayaan" dari suku-suku bangsa yang ditulis di situ.
Etnografi Laci semacam ini berbeda dengan etnografi Awam terutama dalam susunan dan retorikanya.
Etnografi Laci pada umumnya sudah lebih sistematis, dalam arti uraian mengenai masyarakat atau kebudayaan
diberikan dengan mengikuti urutan tertentu yang telah ditentukan. Umumnya urutan ini didasarkan pada
pandangan mengenai unsur-unsur kebudayaan yang universal, seperti bahasa, mata pencaharian, organisasi
sosial, kesenian, agama dan sebagainya. Judul-judul unsur kebudayaan ini menjadi semacam laci tempat si
penulis memasukkan berbagai informasi etnografi yang didapatnya dari pengalamannya di lapangan. Tulisan-
tulisan tentang kebudayaan suku-sukubangsa di Indonesia dalam buku Manusia dan Kebudayaan di Indonesia,
Masyarakat Desa di Indonesia, Penduduk Irian Barat, Masyarakat Terasing di Indonesia, serta Kebudayaan
Jawa, yang diedit dan ditulis oleh Koentjaraningrat sangat jelas menunjukkan ciri ini.
Etnografi Laci umumnya sudah lebih “ilmiah” atau “antropologis”. Artinya, dalam etnografi semacam ini
kita akan menemukan banyak konsep-konsep analitis yang penting dalam antropologi, yang tidak kita temui
dalam Etnografi Awam; sesuatu yang memang dituntut oleh tulisan-tulisan yang diinginkan bersifat “ilmiah” dan
ditujukan pada publik yang lebih terbatas, yakni mereka yang ingin mengetahui, memahami dan dapat
menjelaskan fenomena sosial budaya, serta ingin memahami kehidupan dan dinamika masyarakat dan
kebudayaan di Indonesia. Dalam Etnografi Laci ini akan sering kita temui pendefinisian beberapa konsep yang
dipandang penting, dengan maksud untuk mencegah simpang-siurnya pendapat yang tidak perlu antara penulis
dengan pembaca.
Dalam memaparkan kebudayaan sukubangsa tertentu di situ, si penulis etnografi tampak mengambil
jarak dengan subyek etnografinya. Dia tampak sebagai seorang pengamat. Berbagai hal yang dia lihat dan
dengar dia uraikan kembali lewat bahasanya sendiri dengan cara sedemikian rupa, sehingga berbagai perasaan
dan perenungannya –yang saya kira ada dalam diri mereka-- sebagai peneliti tidak tampil ke permukaan dan
masuk ke dalam teks. Pandangan-pandangan subyektif tampak berusaha untuk dihindari. Berbagai pernyataan
dari informan yang mungkin pernah mereka dengar dan rekam, tidak ditampilkan. Tampaknya ini dilakukan untuk
menghindarkan kesan bahwa tulisan tersebut subyektif, yang akan dapat membuat tulisan tersebut dinilai “tidak
ilmiah”, atau “tidak obyektif”. Secara implisit para penulis Etnografi Laci juga beranggapan bahwa apa yang
mereka tampilkan di situ adalah pelukisan yang “obyektif”, yang menggambarkan realitas empiris yang ada di
sana. Di sini bahasa sebagai medium representasi tidak disangsikan lagi kebenarannya atau ketepatannya. Bagi
pemulis Etnografi Laci ini, bahasa dapat dipakai untuk menampilkan dan memaparkan realitas empiris dengan
baik.
Kalau dalam Etnografi Awam pernyataan-pernyataan langsung dari informan seringkali ditampilkan,
maka dalam Etnografi Laci boleh dikata sebaliknya. Hampir tidak kita temukan di situ dialog antara peneliti
dengan mereka yang diteliti. Para informan dan warga pendukung kebudayaan yang ada di lapangan tenggelam
di balik teks. Apa yang tampil kemudian adalah abstraksi dari si peneliti atas hal-hal yang telah dia dengar, lihat
dan mungkin alami, selama dia tinggal di lapangan, yang kadang-kadang dilakukan dengan menggunakan
konsep-konsep antropologis. Di sini penulis etnografi merasa dirinya berhak mewakili suara para informannya
dalam menyampaikan apa yang telah dikemukakan oleh informan pada peneliti. Pembaca tidak lagi diberi
kesempatan untuk menilai ketepatan abstraksi dan interpretasi yang diberikannya atas berbagai keterangan
yang telah diberikan oleh para informan. Tidak mengherankan jika dalam hal ini Etnografi Awam seringkali
menjadi terasa “lebih jujur” karena menampilkan apa yang didengar dan dilihat dengan lebih “sebagaimana
adanya”, dan karena itu pula kadang-kadang lebih terasa sentuhan kemanusiaannya karena sosok informan
tampil lebih jelas, daripada apa yang ditampilkan oleh Etnografi Laci.
Dalam Etnografi Laci di Indonesia otoritas penulis ini tampaknya tidak hanya didasarkan pada upaya
untuk menunjukkan bahwa saya “ada di sana” atau saya “pernah di sana” sebagaimana yang biasa ada dalam
etnografi yang ditulis oleh ahli antropologi Barat (Geertz, 1988), tetapi juga pada fakta bahwa “dia adalah orang
dari daerah itu”, yang dapat diartikan sebagai (…tak dapat dibaca…) seseorang pada sukubangsa tersebut,
sebagaimana tercermin dalam pernyataan editornya bahwa penulisan berbagai etnografi di situ telah diusahakan
untuk “sedapat mungkin … ditulis oleh seorang ahli antropologi asal dari daerah yang bersangkutan dan juga
tinggal di daerah itu, atau yang belum lama waktu yang lalu mengunjungi dan melakukan penelitian di daerah
yang bersangkutan“ (Koentjaraningrat, 1988: viii). Ini tampak terutama pada etnografi-etnografi dalam Manusia
dan Kebudayaan Indonesia. Oleh karena itu “Kebudayaan Jawa” kemudian ditulis oleh Kodiran yang orang
Jawa, “Kebudayaan Batak” oleh Payung Bangun yang orang Batak, “Kebudayaan Minahasa” oleh N.S.Kalangie
yang orang Minahasa (Menado), “Kebudayaan Bugis-Makassar” oleh Mattulada yang orang Bugis, “Kebudayaan
Bali” oleh I Gusti Ngurah Bagus yang orang Bali, dan seterusnya. Pada etnografi yang lain otoritas ini berasal
dari kenyataan bahwa si penulis pernah “tinggal” atau “mengunjungi” atau “melakukan penelitian di daerah yang
bersangkutan”, yang berarti bahwa dia telah “pernah berada di sana” sehingga lebih mengetahui daerah tersebut
dibanding kita –para pembaca—yang belum pernah datang ke sana. Dengan demikian otoritas dan reliability
dalam Etnografi Laci ini didasarkan pada dua hal yakni: kewargaan suku-bangsa dan keberadaan di tempat.
Kalau dalam Etnografi Awam kerangka teori boleh dikata tidak ada, dalam Etnografi Laci ini kerangka
teori tersebut ada tetapi masih belum terlalu eksplisit. Dia masih agak tersembunyi. Hanya dengan telaah yang
agak teliti kita dapat menemukan kerangka pemikiran yang ada di balik penulisan etnografi semacam itu. Buku-
buku etnografi yang diedit oleh Koentjaraningrat di atas misalnya secara implisit menunjukkan bahwa selain
buku itu disusun mengikuti pandangan tentang tujuh unsur kebudayaan universal, buku tersebut juga
dimaksudkan untuk memudahkan para peneliti memanfaatkannya dalam studi perbandingan yang cross-cultural.
Melalui studi perbandingan yang semacam ini diharapkan akan dapat dicapai rumusan-rumusan yang sedikit
banyak menyerupai “hukum-hukum” atau “dalil” tentang fenomena sosial-budaya. Epistemologi yang ada di balik
pemikiran semacam ini adalah epistemologi yang positivistik (Ahimsa-Putra, t.t.).
Kerangka teori ini memang rupanya tidak harus eksplisit dalam Etnografi Laci, sebab etnografi
semacam ini biasanya tidak berangkat dari suatu masalah tertentu yang kemudian menuntut adanya suatu
perspektif tertentu untuk menjawabnya, akan tetapi berawal dari sebuah keinginan untuk membuat
perbandingan, atau kemungkinan akan digunakannya etnografi tersebut untuk studi perbandingan di masa
mendatang. Oleh karena itu pula dalam Etnografi Laci biasanya tidak kita temukan kesimpulan tertentu ataupun
suatu pandangan baru. Di situ tidak kita temukan analisis dengan perspektif tertentu, yang kemudian mampu
membukakan pandangan baru.
Pemaparan kebudayaan di situ juga terasa datar. Artinya tidak ada unsur budaya tertentu yang disoroti
atau diuraikan dan ditelaah dengan lebih mendetail. Semua unsur kebudayaan tampak diperlukan dengan sama,
sehingga etnografi yang dihasilkan juga terasa dangkal dan kurang tajam. Ini memang sebuah konsekuensi yang
harus ditanggung, dari keinginan dilakukannya dan dimanfaatkannya deskripsi kebudayaan tersebut untuk studi
perbandingan. Penggunaan konsep-konsep antropologi untuk merangkum dan mengabstraksikan berbagai
fenomena sosial-budaya yang dilihat serta berbagai keterangan yang diperoleh dari para informan, yang
membuat Etnografi Laci ini menjadi terasa kering, sebenarnya juga merupakan implikasi lebih lanjut dari
kerangka pemikiran komparatif yang tersembunyi tersebut.
Kedataran pemaparan kebudayaan tersebut sangat tampak misalnya pada judul dan kerangka isinya,
yang tampak mengulang-ulang, tanpa variasi. Semua penulis berbicara tentang kebudayaan dengan teknik yang
nyaris sama dan hanya isinya saja yang berbeda. Kesamaan judul ini sekaligus menyiratkan bahwa berbagai
etnografi sukubangsa tersebut ditulis tidak berawal dari suatu masalah tertentu, tetapi dari sebuah kerangka
yang sama, yang di dalamnya terdapat laci-laci kebudayaan, dan si penulis etnografi tinggal mengisi laci-laci
unsur kebudayaan tersebut dengan data yang diperoleh dari sukubangsa tertentu.
Gaya retorika dan penulisan semacam ini merupakan gaya yang dominan dalam buku-buku etnografi
yang diedit oleh Koentjaraningrat. Perhatikan saja judul tulisan para ahli antropologi Indonesia dalam Masyarakat
Desa di Indonesia, seperti “Armopa: Sebuah Desa Peramu Sagu di Pantai Utara Irian Jaya” dan “Ciracas dan
Cilangkap: Dua Desa di Pasar Rebo, Selatan Jakarta”, “Celapar: Sebuah Desa di Jawa Tengah Bagian Selatan”
yang ditulis oleh Koentjaraningrat, “Jagakarsa: Desa Kebun Buah-Buahan Dekat Jakarta” oleh S. Budhisantoso,
“Kuta Gamber: Sebuah Kampung Karo” oleh M. Singarimbun, dan “Negeri Taram: Masyarakat Desa
Minangkabau” oleh Harsya W. Bachtiar. Judul dan isi berbagai tulisan ini tidak terlalu jauh berbeda dengan yang
ada dalam Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia, Penduduk Irian Barat, dan Masyarakat Terasing di
Indonesia.
Di sini apa yang disebut “kebudayaan” suku-sukubangsa dan masyarakat desa betul-betul merupakan
sebuah rekonstruksi dari si penulis dan bukan merupakan pelukisan dari “realitas” yang dilihat, didengar dan
dialami oleh para penulis etnografi tersebut. Para penulis kebudayaan di situ memang telah menjelma menjadi
pencipta-pencipta kebudayaan (cultural creators) (King, 1990). Memang, kita tidak pernah sangsi bahwa mereka
telah melakukan penelitian lapangan, namun tampak jelas bahwa mereka tidak menampilkan “kenyataan yang
sebenarnya” (kalau ini dianggap memang ada). Apa yang mereka tampilkan di situ merupakan kreasi mereka,
rangkuman mereka, yang berpangkal pada pandangan-pandangan tertentu yang sudah ada sebelum mereka
menulis etnografi-etnografi tersebut.

c. Etnografi Analitis
Etnografi semacam ini memusatkan perhatian pada satu fenomena sosial-budaya tertentu, entah itu
fenomena politik, kekerabatan, organisasi sosial, agama ataupun yang lain. Jadi salah satu ciri penting yang
membedakan Etnografi Analitis dengan dua jenis etnografi sebelumnya adalah fokus yang dimilikinya. Buku
Singarimbun (1975) misalnya memusatkan perhatian pada sistem kekerabatan orang Batak Karo, sedang buku
Sairin (1982) memberikan perhatian khusus pada organisasi kekerabatan orang Jawa. Buku Laksono
membahas struktur sosial masyarakat Jawa dan tradisi yang hidup di dalamnya; buku Triyoga (1991)
memperhatikan sistem kepercayaan orang Jawa tentang Gunung Merapi, sedang buku Pranowo (1985) lebih
memperhatikan adaptasi ekologi masyarakat pedesaan di lereng Merapi. Ini semua berbeda dengan buku
Ahimsa-Putra (1986), yang membahas hubungan minawang (patron-klien) di kawasan Sulawesi Selatan,
terutama di kalangan orang Bugis-Makasar, dan kondisi yang mendukungnya, ataupun buku Dhofier (1982) yang
mengulas tradisi dan jaringan kekerabatan para kyai di dunia pesantren Jawa.
Dalam pemaparannya penulis Etnografi Analitis ternyata tidak berbeda dengan penulis Etnografi Laci,
yakni sama-sama mengambil jarak dengan obyek dan subyek penelitian. Penulis etnografi di situ masih
menempatkan dirinya sebagai pengamat atau peneliti, yang harus menjaga jarak dengan apa yang ditelitinya,
seperti dalam ilmu eksak. Dalam Etnografi Analitis masih belum kita temukan dialog-dialog antara peneliti
dengan informan. Oleh karena analisis ditujukan pada gejala sosial-budaya, maka dengan sendirinya yang
tampil dalam etnografi adalah berbagai macam abstraksi. Berbagai data hasil pengamatan dan wawancara
dengan para informan dirangkum dalam satu uraian, yang merupakan abstraksi dari berbagai hal yang didapat
oleh penulis etnografi dari penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan. Keterangan-keterangan yang
langsung berasal dari informan umumnya tidak tampak, dan kalau toh ditampilkan masih dalam kerangka untuk
mendukung argumentasi yang diajukan.
Etnografi Analitis ini biasanya juga ditulis berawal dari sebuah permasalahan tertentu, yang kemudian
dicari jawabnya melalui suatu penelitian, baik lapangan maupun kepustakaan. Berbagai informasi etnografis
yang diperoleh kemudian disusun sedemikian rupa untuk menjawab masalah yang dikemukakan, sehingga
Etnografi Analitis ini juga memiliki karakter sistematis, teratur, dan mempunyai alur pemikiran yang jelas. Data
etnografi yang berhasil dihimpun dari berbagai sumber ditempatkan dalam posisi-posisi tertentu untuk
mendukung argumentasi. Pada umumnya etnografi semacam ini berupaya untuk menampilkan keterkaitan
antara unsur budaya satu dengan yang lain, dengan permasalahan pokok sebagai pusatnya atau tali
pengikatnya.
Adanya masalah yang ingin dijawab dalam Etnografi Analitis ini menuntut pula adanya suatu perspektif
tertentu untuk menjawabnya, sehingga etnografi semacam ini pada umumnya juga memiliki kerangka teori yang
lebih eksplisit. Kerangka teori ini berfungsi membimbing si penulis etnografi mengorganisir datanya sedemikian
rupa, dan menjadi alat pembenaran etnografi tersebut untuk memperoleh status ilmiahnya. Hadirnya kerangka
teori di situ berarti pula hadirnya berbagai konsep antropologis dengan definisi-definisi yang eksplisit. Kalau
Etnografi Awam dan Etnografi Laci terasa datar dan tidak argumentatif, Etnografi Analitis adalah sebaliknya.
Etnografi Analitis biasanya bersifat argumentatif, karena ditujukan untuk memperluas wawasan
pengetahuan dan membuka dimensi-dimensi pemikiran yang baru dan dianggap lebih dalam daripada yang
sudah ada. Untuk menguatkan kesan semacam ini, maka Etnografi Analitis seringkali diisi dengan kritik terhadap
pandangan-pandangan yang lama. Dengan begitu penulis dapat menempatkan pandangannya dalam konteks
tertentu, yang sekaligus juga menunjukkan kelebihan dan perbedaan perspektif yang digunakannya. Etnografi
Analitis, sesuai dengan cirinya, juga dimaksudkan untuk melontarkan pandangan-pandangan baru, bukan hanya
yang informatif, tetapi juga yang eksplanatif (menjelaskan) dan interpretif (menafsirkan).
Dengan adanya masalah yang jelas dalam penulisan etnografi ini, maka pada akhirnya juga ada
jawaban atau tesis yang lebih eksplisit dalam Etnografi-etnografi Analitis ini, yang turut menentukan “nilai ilmiah”
etnografi tersebut di mata para ahli antropologi. Tesis ini bisa berupa pandangan baru, yang berbeda dengan
pandangan yang telah ada sebelumnya, tetapi tidak berlawanan, sehingga bersifat memperluas cakrawala
pemikiran pembaca, bisa pula berupa pandangan baru yang membantah berbagai pendapat yang sebelumnya
telah ada. Etnografi Analitis yang berupaya membantah pandangan yang lama misalnya adalah etnografi
kekerabatan orang Batak Karo dari Singarimbun (1975), dan etnografi patron-klien di Sulawesi Selatan dari
Ahimsa-Putra (1986), sedang Etnografi Analitis yang berupaya membuka cakrawala baru adalah etnografi-
etnografi dari Danandjaja (1985), Laksono (1985a), Sairin (1982), Triyoga (1991), dan Pranowo (1985). Etnografi
Analitis –sadar atau tidak—ditujukan terutama untuk membangun sebuah “gedung” ilmu pengetahuan yang
teratur, sistematis, dan logis.
Suatu perbedaan lain yang penting antara Etnografi Analitis dengan dua jenis etnografi sebelumnya
adalah kerangka teorinya. Kalau Etnografi Awam umumnya boleh dikatakan “tidak teoritis” dan “tidak
antropologis”; Etnografi Laci berawal dari kerangka berfikir yang komparatif, dengan model kebudayaan yang
sistemik dan fungsionalistis, maka Etnografi Analitis lebih bervariasi kerangka teori dan konsep-konsepnya,
sehingga tidak ada satu kerangka teori yang diikuti oleh semua atau sebagian besar penulis etnografi. Masing-
masing ahli antropologi memusatkan perhatian pada masalah yang berlainan dengan kerangka teori yang
berlainan pula, walaupun kadang-kadang ada persamaan di sana-sini. Misalnya saja, meskipun analisis Sjafri
Sairin berangkat dari kerangka berfikir yang fungsionalistis, namun pembahasan dan kesimpulannya berbeda
dengan Ahimsa-Putra yang juga menggunakan kerangka pemikiran fungsionalistis. Sjafri Sairin lebih
memperhatikan fungsi sosial organisasi kekerabatan orang Jawa, sedang Ahimsa-Putra lebih memperhatikan
hubungan fungsional antara fenomena patron-klien dengan gejala-gejala lain dalam masyarakat Sulawesi
Selatan. Implikasi lebih lanjut dari perbedaan masalah dan orientasi teoritis tersebut adalah judul dan cara
penulisan yang lebih bervariasi.
Selain itu, penulis Etnografi Analitis pada umumnya juga tidak bermaksud untuk melakukan suatu
rekonstruksi kebudayaan. Mereka tampaknya tidak tertarik untuk menulis apa yang disebut sebagai
“Kebudayaan Sukubangsa Tertentu”. Oleh karena itu penulis Etnografi Analitis kurang tampak sebagai “pencipta
kebudayaan” atau “tukang rekonstruksi kebudayaan”. Mereka lebih tampak sebagai analyst atau interpreter,
yang mencoba “memahami” suatu gejala sosial tertentu dengan menempatkannya dalam suatu konteks yang
lebih luas. Keberadaan Etnografi Analitis inilah yang membuat warna penulisan etnografi di Indonesia menjadi
lebih menarik. Etnografi Analitis tersebut sekaligus juga mencerminkan tingkat kreativitas ahli antropologi di
Indonesia serta perkembangan wawasan pemikiran analitis mereka.
Apa yang dapat kita simpulkan dari pembicaraan kita mengenai jenis-jenis etnografi Indonesia di atas
dalam kaitannya dengan etnografi sebagai media kritik kebudayaan ? Tidak lain adalah “hampir tidak adanya”
kesadaran di kalangan ahli antropologi Indonesia bahwa etnografi yang mereka tulis dapat mereka manfaatkan
sebagai media untuk melakukan telaah kritis atau melontarkan kritik terhadap kebudayaan yang telah atau
sedang tumbuh dalam masyarakat. Berbagai Etnografi Analitis, yang semestinya dapat menjadi sarana kritik
kebudayaan, ternyata sebagian besar berkutat dengan masalah-masalah teoritis antropologis. Berbagai
perkembangan dan perubahan kebudayaan yang tengah berlangsung dalam masyarakat Indonesia, memang
juga dibahas dalam etnografi tersebut, tetapi tidak dilakukan kritik terhadap kebudayaan yang dominan berlaku,
yang seringkali merugikan kehidupan budaya pinggiran. Kebenaran budaya dominan tidak dipertanyakan lagi
ataupun dipertentangkan dengan bentuk kebenaran yang lain.

Sumber Tulisan : ETNOGRAFI SEBAGAI KRITIK BUDAYA: MUNGKINKAH DI INDONESIA?


Oleh : Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa Putra, M.A. Phil

Anda mungkin juga menyukai