Anda di halaman 1dari 24

SEKRETARIAT PASTORAL KEUSKUPAN LARANTUKA

Jl. Mgr. Miguel Rangel No. 1-2-(0383) 21231- San Dominggo


Larantuka - Flores Timur - NTT

AKSI PUASA PEMBANGUNAN 2019


KEUSKUPAN LARANTUKA

TEMA UMUM
MENJADI MURID YESUS YANG MILITAN

TUJUAN
SUPAYA KITA MENYADARI BAHWA KITA HARUS MENJADI MURID YESUS YANG MILITAN

PESAN TEKS KITAB SUCI

MINGGU I

Tema : Realitas kita sebagai murid Yesus.


Tujuan : Supaya kita menyadari realitas kita sebagai murid Yesus.

Pokok Pikiran:
1. Iman warisan (iman sebagai pemberian dan belum menjadi milik).
2. Beriman di tengah mayoritas (penghayatan iman secara massal, iman musiman: Natal,
Paskah, penerimaan sakramen, iman KTP).
3. Beriman “selebritis” (bertugas tetapi tidak fokus dalam perayaan).
4. Iman situasional: iman reaktif.

Kitab Suci:
Yoh. 6:60-71: Murid-murid yang mengundurkan diri di Galilea.

1. Pengantar:
Yoh. 6:1-71 adalah episode ketiga dari Kitab Tanda yang berbicara tentang Yesus
sebagai Roti Hidup. Episode ini mencakup empat peristiwa, yakni: penggandaan roti
(Yoh. 1:1-15); Yesus berjalan di atas air (Yoh. 6:16-21); wejangan tentang Roti Hidup
(Yoh. 6:22-59; dan reaksi murid-murid Yesus (Yoh. 6:60-71). Dalam wejangan tentang
Roti Hidup, Yesus telah menyatakan bahwa tubuh-Nya benar-benar makanan dan
darah-Nya benar-benar minuman bagi hidup kekal. Penyataan Yesus ini berdampak
buruk terhadap murid-murid-Nya. Banyak murid yang terguncang imannya, karena tak
sanggup menerima perkataan itu, lalu mereka pun mengundurkan diri dan tidak lagi
mengikuti Dia. Reaksi berbeda ditunjukkan Petrus atas nama kesebelas temannya,
mereka tetap percaya dan setia mengikuti Yesus.
Ayat-ayat terakhir perikop ini (Yoh. 6:67-69) meringkaskan kritikan atas reaksi
orang banyak dalam Yoh. 6:41-43.52, untuk melukiskan krisis iman yang semakin
berkembang di antara murid-murid Yesus. Inilah bagian tersulit dalam Injil ini, karena
berkaitan langsung dengan peristiwa tragis (pemberitaan tentang salib), sebab di
dalamnya terdapat permulaan dari kesudahan-Nya. Jika hampir dalam setiap
kesempatan pewartaan-Nya, Yesus selalu dikerumuni banyak orang, namun kini,
dengan peristiwa ini suasananya menjadi berubah. Mulai timbul kebencian terhadap
Yesus yang kelak akan memuncak pada peristiwa salib. Perikop ini menampilkan tiga
kelompok murid yang menunjukkan sikap dan tindakan yang berbeda sebagai reaksi
atas pewartaan tentang salib dan kematian-Nya.

2. Ulasan

a. Reaksi banyak murid: gambaran sikap dan tindakan murid durhaka (Yoh. 6: 60-
66).

Dalam wejangan-Nya tentang Roti Hidup, dengan tegas Yesus menyatakan


tentang daging dan darah-Nya sebagai santapan bagi hidup kekal, telah
memancing reaksi keras dari banyak murid yang mendengarkan Dia. Mereka
bersungut-sungut: “Perkataan ini keras, siapakah yang sanggup mendengarnya?”
(ay. 60). Kata Yunani yang digunakan di sini adalah skeleros yang bukan berarti sulit
untuk mendengarnya, tetapi sulit untuk menerimanya. Orang banyak itu adalah
mereka yang mengikuti Yesus dan mendengarkan Dia, juga yang telah menyaksikan
peristiwa penggandaan roti, dan mereka semuanya telah makan sampai kenyang.
Mereka jugalah yang terpesona dengan Yesus dan mencari Dia setelah peristiwa
penggandaan roti itu (Yoh. 6:22-23). Namun, kini mereka tidak menerima
pernyataan diri-Nya sebagai Roti Hidup, santapan bagi hidup kekal. Bagi banyak
murid, ucapan Yesus tentang makan daging dan minum darah-Nya itu dianggap
terlalu keras, sehingga sulit diterima akal sehat, apalagi untuk dilaksanakan. Inilah
tipe murid yang hanya mau menikmati keenakan, kesenangan dan kepuasan dari
Yesus saja. Mereka terkesan sebagai kelompok besar dan kekuatan mayoritas,
tetapi mereka tidak tahan uji terhadap tantangan salib. Mereka gampang berubah
sikap, dari simpati menjadi antipati; dari percaya menjadi tidak percaya, lalu
beramai-ramai mengundurkan diri dan tidak mengikuti Yesus lagi, apabila bayang-
bayang salib menghantui mereka. Inilah sikap murid-murid durhaka, habis manis
sepah dibuang.
Yesus mengetahui bahwa banyak murid-Nya berkeberatan terhadap ajaran-
Nya tentang Roti Hidup, yakni tubuh dan darah-Nya sebagai makanan yang
memberi hidup yang kekal. Atas reaksi penolakan banyak murid itu, Yesus
mengajukan sebuah pertanyaan kepada mereka: “Adakah perkataan itu
mengguncangkan kamu? Dan bagaimana jika kamu melihat Anak Manusia naik ke
tempat di mana Ia sebelumnya berada?” Pertanyaan-pertanyaan ini berfungsi
sebagai argumen untuk menjelaskan keilahian Yesus dan sekaligus memaklumkan
misi karya keselamatan yang terlaksana lewat salib. Inilah misteri ilahi yang tidak
akan mungkin diterima sempurna hanya dengan kemampuan akal budi manusia
saja. Tetapi mereka yang mencintai-Nya dengan seluruh totalitas diri dapat
menerima dan percaya kepada-Nya. Manusia di dalam segala keberadaannya tidak
akan dapat mengerti Allah secara sempurna. Karena Allah adalah misteri yang
hanya mampu diterima dan didekati dengan iman saja.
Sebagai kritikan atas sikap tidak percaya dari banyak murid-Nya itu, Yesus
menyampaikan sebuah argumen lain: “Rohlah yang memberi hidup, daging sama
sekali tidak berguna”. Kata “daging” (Yun. sarx) yang dimaksudkan Yesus di sini
bukan daging Yesus yang harus dimakan untuk hidup kekal (Yoh. 6:51-56). Bukan
juga tentang keadaan Yesus sebagai manusia yang merupakan perwujudan Sabda
Allah yang menjelma. Daging yang dimaksudkan Yesus dalam argumen ini adalah
manusia dengan segala kelemahan yang tidak mungkin hidup tanpa bantuan Allah.
Jika mengandalkan kekuatan sendiri maka manusia tidak mungkin dapat
memperoleh hidup kekal. Hanya roh yang datang dari Allahlah yang memberi
hidup. Maka, perkataan-perkataan yang keluar dari mulut Yesus, yang adalah Anak
Allah itu, sesungguhnya adalah roh dan hidup. Perkataan yang dimaksud Yesus di
sini bukan hanya perkataan mengenai roti hidup saja, tetapi seluruh pengajaran
yang disampaikan-Nya mengandung roh dan hidup.
Mereka yang mendengar dan percaya, memiliki roh dan hidup di dalam
dirinya. Kepercayaan timbul karena mendengar dan bukan karena melihat. Hanya
mereka yang dikaruniai oleh Allah sajalah yang sanggup mendengarkan perkataan
Yesus dan percaya kepada-Nya. Dan, dengan demikian mereka memperoleh hidup
kekal. Maka, terhadap reaksi penolakan banyak murid itu, Yesus menegaskan
kembali apa yang pernah disampaikan-Nya: “Tidak ada seorang pun yang dapat
datang kepada-Ku, jikakalau ia tidak ditarik oleh Bapa yang mengutus Aku” (Yoh.
6:44). Kepercayaan adalah karunia yang diterima dengan cuma-cuma dari Allah.
Jadi, kepercayaan sesungguhnya adalah anugerah Allah dan bukan karena usaha
atau jasa manusia. Bagi orang yang percaya, tak ada yang tak mungkin bagi Allah.
Karena tidak ada yang mustahil bagi Allah.

b. Reaksi Petrus: gambaran sikap dan tindakan murid yang militan (Yoh. 6:67-69).

Reaksi keduabelas murid yang ditunjuk Yesus, berbeda dengan reaksi murid-
murid kebanyakan. Banyak murid yang mengundurkan diri dan pergi meninggalkan
Yesus itu disaksikan juga oleh kedua belas murid itu. Terhadap kenyataan itu, Yesus
pun bertanya kepada murid-murid-Nya: “Apakah kamu tidak mau pergi juga?” (ay.
67). Yesus menggugat dan menantang keduabelas murid-Nya. Apakah mereka juga
mengambil sikap yang sama dengan orang banyak yang pergi meninggalkan-Nya
ataukah tetap setia percaya dan mengikuti Dia?
Simon Petrus sebagai juru bicara dengan tegas menyatakan sikap mereka:
“Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup
yang kekal; dan kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah yang kudus
dari Allah” (ay. 68-69). Ada dua argumen yang diungkap Petrus untuk tetap
percaya dan setia mengikuti Yesus. Pertama, karena perkataan Yesus adalah
perkataan hidup yang kekal. Dengan jawaban itu, Petrus menegaskan hakikat
keilahian Yesus sebagai Firman Allah yang telah menjadi manusia. Maka, semua
yang diajarkan dan dilakukan Yesus menghantar orang untuk percaya kepada-Nya
dan dengan demikian memperoleh hidup yang kekal. Kedua, karena Yesus adalah
yang Kudus dari Allah. Kata “kudus” berarti dikhususkan untuk Allah. Yesus
menyebut diri-Nya sebagai pribadi yang “dikuduskan oleh Bapa dan yang telah
diutus-Nya ke dalam dunia” (Yoh. 10:36), Dia Anak Allah. Misi Yesus ke dunia
adalah melakukan kehendak Bapa, dan selama hidup-Nya Ia membaktikan diri-Nya
untuk menyelesaikan pekerjaan Allah (Yoh. 4:34), yakni mengasihi manusia dan
mengaruniakan hidup abadi (Yoh. 3:16).
Setelah sekian lama hidup bersama Yesus, para murid percaya dan tahu
bahwa Yesus adalah yang kudus dari Allah. Pengalaman inilah yang membawa
mereka pada pengakuan iman akan Yesus dan menjadi dasar bagi mereka untuk
tetap memilih selalu bersama dan mengikuti Yesus. Bagi mereka, tidak mungkin
untuk tidak percaya kepada Yesus dan meninggalkan Dia: “Kepada siapa kami akan
pergi?” Tidak ada yang lebih utama dan unggul untuk disembah, selain Yesus.
Hanya Yesuslah yang dapat menganugerahkan hidup kekal, karena Dialah Yang
kudus dari Allah.
Petrus menjadi gambaran murid Yesus yang militan. Bagi Petrus hanya satu
kenyataan, yaitu bahwa tidak ada orang lain lagi yang kudus seperti Yesus. Karena
hanya Yesus sajalah yang memiliki perkataan-perkataan yang mengandung roh dan
hidup. Inilah pernyataan iman dan kesetiaan Petrus yang didasarkan pada
hubungan dan pengenalan pribadinya dengan Yesus. Petrus percaya bahwa ada
sesuatu yang hanya ada dalam diri Yesus, yakni roh dan hidup. Maka demi itu, ia
bersedia untuk mati. Inilah beriman yang militan, yakni beriman dengan cerdas,
tanggap, tangguh, dan misioner. Iman sesungguhnya adalah suatu jawaban pribadi
yang lahir dari batin. Jawaban itu adalah kesetiaan dan kasih yang keluar dari hati
manusia, bukan karena ada apa-apanya, tetapi harus menerima apa adanya
dengan sebulat hati.

c. Reaksi Yudas: gambaran sikap dan tindakan murid pengkhianat (ay. 70-71).

Yesus mengetahui apa yang terjadi dengan Firman yang disampaikan-Nya


untuk menghantar orang kepada hidup yang kekal. Banyak orang yang mendengar
perkataan-Nya itu menjadi percaya. Mereka yang percaya memperoleh hidup
kekal. Namun, masih ada juga di antara para rasul (orang-orang terpilih) yang tidak
percaya. Karena itu Yesus menyapa dia dengan sebutan “iblis”. Yesus tahu dari
semula bahwa ada di antara murid-murid-Nya yang tidak percaya dan
menyerahkan Dia. Pengkhianatan yang dilakukan oleh Yudas Iskariot, bukanlah
peristiwa kecelakaan yang terjadi di luar pengetahuan Yesus. Tindakan Yudas
dilihat sebagai sebuah kejahatan terselubung sejak awal. Yesus seakan
membiarkan itu, sambil memberi kesempatan bagi Yudas untuk berubah. Untuk
mewujudkan harapan itu, Yesus mempercayakan Yudas sebagai pemegang kas.
Namun si mata duitan itu tidak menyadari maksud baik Yesus atas dirinya. Yudas
malahan bertindak arogan, sering mencuri uang kas dan bahkan ia tak segan-segan
menjual Yesus dengan tiga puluh keping uang perak.
Yudas yang tergabung dalam kelompok inti, rasul-rasul terpilih yang
sesungguhnya disiapkan untuk menjadi pahlawan Kristus, tetapi ternyata berubah
menjadi pengkhianat. Dia yang sebenarnya bisa menjadi orang suci, ternyata
berubah menjadi orang yang menyandang nama buruk dan menjijikkan, si
pengkhianat. Tindakan pengkhianatan Yudas Iskariot adalah lebih keji daripada
perbuatan pembunuhan yang dilaksanakan oleh pemimpin-pemimpin Yahudi dan
para algoju. Kekejian pengkhianatan Yudas Iskariot itu terungkap dalam kata-kata
Yesus sendiri:”Dia yang bersama-sama dengan Aku mencelupkan tangannya ke
dalam pinggan ini, dialah yang akan menyerahkan Aku. Anak Manusia memang
akan pergi sesuai dengan yang ada tertulis tentang Dia, akan tetapi celakalah
orang yang olehnya Anak Manusia itu diserahkan. Adalah lebih baik baik bagi
orang itu sekiranya ia tidak dilahirkan” (Mat. 26:23-24).
Yudas Iskariot adalah gambaran murid yang mengkhianati Yesus. Murid yang
tidak hanya mata duitan, tetapi dia yang selalu bersikap arogan: menipu, mencuri
dan merampok kekayaan Gereja atas nama Tuhan. Bahkan dia yang tak segan-
segan merperdagangkan Tuhan untuk mendapat segenggam kekayaan, kuasa dan
kenikmatan diri. Namun, akhir hidupnya menjadi orang terkutuk yang harus
menerima segudang duka dan derita hingga kekal.

3. Amanat
Kehidupan murid-murid zaman Yesus sesungguhnya adalah gambaran
kehidupan Gereja, umat Allah sepanjang zaman: dulu, sekarang dan yang akan
datang. Tiga tipe murid yang ditampilkan dalam perikop ini merupakan gambaran
kenyataan kehidupan Gereja. Ada banyak murid durhaka, yang bersembunyi di
balik kekuatan mayoritas agama, yang terkesan kuat dan besar. Mereka ini
cenderung bergaya hidup glamor, yang bersemangat mengejar keenakan,
kesenangan dan kepuasan diri atas nama agama. Namun kenyataannya, hampir
semua mereka tidak tahan uji terhadap tantangan salib. Mereka gampang berubah
sikap, dari simpati menjadi antipati; dari percaya menjadi tidak percaya. Mereka
pun bisa beramai-ramai mengundurkan diri dan meninggalkan Yesus, apabila
bayang-bayang salib menghantui hidup mereka. Mereka adalah manusia
bermental enak, habis manis sepah dibuang. Ada juga tipe murid pengkhianat.
Seperti Yudas Iskariot, murid yang mengkhianati Yesus. Pada umumnya mereka itu
memikiki karakter mata duitan. Dalam kehidupan bersama, mereka selalu bersikap
arogan terhadap sesamanya: menipu, mencuri dan merampok kekayaan bersama
atas nama Tuhan dan agama. Bahkan paling sadis lagi, mereka merperdagangkan
Tuhan untuk mendapat segenggam kekayaan, kuasa dan kenikmatan diri. Namun
di sisa hidupnya, mereka terbilang sebagai orang-orang terkutuk. Segenggam
kekayaan, kuasa dan kenikmatan, ternyata tak sebanding dengan segudang duka
dan derita yang mengiringi langkah mereka hingga ke abadian.
Tipe terakhir adalah Murid yang militan. Mereka yang percaya bahwa Yesus
adalah yang kudus dari Allah. Mereka merasakan dan mengalami bahwa Yesus
adalah harta karun dan mutiara terindah yang mereka temukan. Pengenalan inilah
yang membawa mereka pada pengakuan iman akan Yesus dan menjadi dasar
baginya untuk tetap memilih selalu ada bersama dan mengikuti Yesus. Bagi mereka
tidak mungkin untuk tidak percaya dan meninggalkan Yesus. Tidak ada yang lebih
utama dan unggul yang layak disembah dan diikuti, selain Yesus. Hanya Yesuslah
yang dapat menganugerahkan hidup kekal. Murid yang militan adalah dia yang
memiliki kekuatan iman dan kesetiaan yang didasarkan pada hubungan dan
pengenalan pribadinya dengan Yesus. Ia percaya bahwa ada sesuatu yang terdapat
di dalam diri Yesus, yakni roh dan hidup. Demi inilah mereka lebih memilih untuk
bersedia mati dari pada murtad. Inilah militansi iman seorang murid Yesus. Iman
sesungguhnya adalah jawaban pribadi yang lahir dari batin. Jawaban itu adalah
kesetiaan dan kasih yang keluar dari hati yang percaya. Masih adakah iman seperti
ini kita jumpai sekarang dan di sini?

MINGGU II

Tema : Menjadi murid Yesus yang militan.


Tujuan : Supaya kita menyadari bahwa kita harus menjadi murid Yesus yang militan.

Pokok Pikiran:
1. Siapa itu murid Yesus:
 Panggilan secara pribadi tetapi penghayatan secara bersama-sama (iman personal
dan komunal).
 Gambaran atau ciri-ciri sebagai seorang murid Yesus: mengambil bagian dalam tri
tugas Yesus (nabi, imam, raja) dan panca tugas Gereja (leitourgia, kerygma,
diakonia, koinonia, martyria).
2. Militansi seorang murid Yesus.
Beriman yang tanggap dan beriman dalam konteks (gambaran murid Yesus yang
militan: cerdas, tanggap, tangguh, dan misioner).

Kitab Suci:
Mat 5:13-16: Garam dunia dan terang dunia.
1. Pengantar
Perikop Mat. 5:13-16 tentang garam dunia dan terang dunia punya
hubungan erat dengan Sabda Bahagia dalam Mat. 5:2-12. Artinya, jika murid-murid
Yesus yang memiliki kualitas diri seperti yang diidealkan dalam Sabda Bahagia itu,
maka mereka itu dapat diumpamakan seperti garam dunia dan terang dunia. Dalam
konteks Sabda Bahagia, unsur garam dan terang, sesungguhnya menganalogikan
dua hal ini, yakni penghayatan hukum kasih di bumi dan pengaruh murid Yesus di
tengah dunia. Hanya kasih yang mendekatkan manusia dengan Allah dan manusia
dengan manusia. Maka di mana ada kasih, di situ ada Allah dan kerajaan-Nya.
Melalui perbuatan-perbuatan kasih, para murid Yesus seharusnya
mempunyai pengaruh atas dunia agar menjadi dunia semakin baik. Perbuatan-
perbuatan kasih oleh murid-murid Yesus membuat para penghuni dunia merasa
aman dan tenteram. Namun jika para murid Yesus gagal dalam misi ini, maka
mereka tidak berguna seperti garam yang tidak asin lagi atau pelita yang cahayanya
disembunyikan di bawah gantang. Analogi garam dan terang dunia ini
mengungkapkan kesejatian (militansi) murid-murid Yesus, meskipun dihina dan
dianiaya mereka tetap setia untuk menjadikan umat manusia bernilai di hadapan
Allah (garam bumi) dan mencahayakan dunia (terang dunia) dengan terang Sabda
Allah yang disaksikan dengan kata dan teladan hidup.
2. Ulasan

a. Garam dunia: Kamu adalah garam dunia (Mat. 5:13).


Dalam Kitab Suci, kita menemukan catatan-catatan tentang pemakain dan
fungsi garam dalam masyarakat Yahudi. Garam berfungsi sebagai bahan pengawet
dan bumbu untuk makanan (Mat. 5:13, Mrk. 9:50; Kol. 4:6). Dalam masyarakat
Palestina, garam juga digunakan untuk mensahkan perjanjian, sehingga garam
menjadi lambang kesetiaan dan kelanggengan. Maka dalam ritus korban sajian,
garam digunakan sebagai pengawet untuk menandai ciri kesetiaan dan
kelanggengan dari “perjanjian garam” antara Allah dengan Israel (Bil. 18:19; 2 Taw.
13:5).
Dalam dunia pertanian di Palestina, para petani biasanya memakai garam
sebagai pupuk untuk menyuburkan tanah (Luk. 14:34-35). Juga dalam makna
simbolik, Abimelekh mengikuti kebiasaan kuno menaburi reruntuhan kota Sikhem
dengan garam (Hak. 9:45) sebagai tanda kesunyian kekal. Nabi Elisa pun
menggunakan garam untuk menyehatkan air yang tidak baik di mata air Yerikho (2
Raj. 2:19-22). Ada juga dalam tradisi Yahudi, bayi-bayi yang baru lahir biasanya
diolesi garam sebelum dibungkus dengan lampin (Yeh. 6:4).
Dari catatan-catatan tersebut, ungkapan “garam dunia” dalam perikop ini
yang mempunyai hubungan yang erat dengan “Sabda Bahagia”, lebih dekat
maknanya dengan makna simbolik “perjanjian garam” dalam Bil. 18:19; 2Taw. 13:5.
Artinya, perjanjian yang bernilai tetap dan kekal. Garam menjadi lambang kesetiaan
dan kelanggengan perjanjian antara manusia dengan Allah. Dalam konteks inilah,
seorang murid Yesus adalah manusia yang telah “mengikat” perjanjian dengan
Allah dalam diri Yesus Kristus. Seorang murid Yesus harus menggarami dunia
manusia terhadap kebusukan dengan melakukan perbuatan-perbuatan kasih
supaya dunia terasa sedap bagi Allah dan sesama manusia.
Melalui perbuatan-perbuatan kasih, para murid Yesus seharusnya
mempunyai pengaruh atas dunia agar menjadi semakin baik. Perbuatan-perbuatan
kasih oleh murid-murid Yesus membuat para penghuni dunia merasa aman dan
tenteram. Namun, jika para murid Yesus gagal dalam misi ini, maka mereka tidak
berguna seperti garam yang tidak asin lagi. Jika seperti ini, apakah gunanya ia
mengikut Yesus? Maka analogi garam dunia ini, sesungguhnya mengungkapan
impian dan harapan Yesus akan kesejatian dari murid-murid-Nya (militansi
kemuridan). Meskipun mengalami banyak penderitaan, dihina dan dianiaya namun
harus tetap setia supaya menjadikan umat manusia bernilai di hadapan Allah.
Garam yang murni tidak pernah menjadi tawar. Dengan anologi garam ini,
Yesus mengajarkan suatu pengetahuan spiritual, yakni kebijaksanaan sebagai “jalan
hidup” (way of life) supaya mereka mempertahankan hidup di dunia ini dengan
sikap iman yang militan, yakni beriman cerdas, tanggap, tangguh, dan misioner.

b. Terang dunia: Kamu adalah terang dunia (Mat. 5:14-16).


Dari catatan Kitab Suci, kata “terang” digunakan berkaitan dengan sukacita
beroleh berkat dan hidup, bertentangan dengan dukacita, kemalangan dan
kematian (Kej. 1:3; Ayb. 10:22; 18:5). Sudah sejak zaman awal, kata terang dipakai
untuk menandakan kehadiran dan kasih Allah (Mzm. 27:1; Yes. 9:2; 2Kor. 4:6).
Gagasan tentang kekudusan Allah juga diungkapkan dengan istilah “terang” (1Tim.
6:16).
Dalam Injil Yohanes istilah “terang” tidak bermaksud mengungkapkan
kekudusan Allah, tetapi lebih mengarah kepada penyataan kasih-Nya di dalam
Yesus Kristus yang menerobos ke dalam hidup manusia yang digelapkan oleh dosa.
Maka hanya dalam Yohanes, Yesus menyatakan diri-Nya sebagai terang dunia (Yoh.
8:12; 9:5). Hal itu berbeda dengan Matius. Matius tidak memperkenalkan Yesus
sebagai terang dunia, tetapi menaruh gagasan ini di dalam mulut Yesus untuk
menyebut para murid-Nya sebagai terang dunia. Para murid disebut terang dunia,
sebab menurut Matius Yesus dan Gereja adalah kesatuan yang tak terpisahkan.
Sama seperti Yerusalem tidak terpisahkan dari gunung Sion. Maka dalam konteks
ini, para murid Yesus harus dilihat sebagai satu kesatuan, bukan masing-masing
individunya. Para murid menjadi terang dunia, bila mereka hidup rukun dan
memancarkan kasih timbal balik.
Sedangkan ungkapan Yesus tentang “kota di atas gunung, tak mungkin
tersembunyi” dan “meletakkan pelita di atas kaki dian supaya menerangi semua
orang di dalam rumah” menunjuk kepada dampak misioner dari cara hidup para
murid Yesus. Jadi ucapan Yesus terhadap murid-murid-Nya sebagai “terang dunia”,
diartikan sebagai tuntutan untuk tidak menyembunyikan apa yang telah mereka
peroleh dari Yesus, yakni cahaya ilahi yang adalah Gereja Allah. Para murid harus
mencahayakan penghuni dunia ini dengan terang sejati yakni, Yesus Kristus.
Cahaya tak mungkin tidak dilihat, demikian pun jati diri para murid Yesus
harus nyata bagi semua orang lewat perbuatan-perbuatan baiknya. Dalam konteks
Sabda Bahagia, perbuatan-perbuatan baik itu adalah tindakan cinta kasih,
kemurahan hati, belas kasihan dan rekonsiliasi (Mat. 5:38-48; 25:31-46). Dengan
cara inilah murid-murid Yesus memuliakan Allah. Allah hanya dapat menyatakan
kemuliaan-Nya bila manusia melakukan perbuatan-perbuatan baik demi Dia saja
dan bukan supaya dilihat dan dipuji orang seperti yang dilakukan orang-orang
munafik. Dengan cara hidup yang demikian, para murid Yesus menjadi terang yang
menghantar orang lain kepada Allah.

3. Amanat

Analogi garam dari perikop ini melambangkan kesetiaan dan kelanggengan


perjanjian antara manusia dengan Allah. Dengan menyebut “kamu adalah garam
dunia” sesungguhnya Yesus menyatakan bahwa murid-murid-Nya adalah orang-
orang yang telah “mengikat” perjanjiannya dengan Allah di dalam Dia. Maka, tugas
para murid adalah menggarami dunia manusia terhadap kebusukan dengan
melakukan perbuatan-perbuatan kasih supaya dunia terasa sedap bagi Allah dan
sesama manusia. Melalui perbuatan-perbuatan kasih, kita seharusnya mempunyai
pengaruh atas dunia agar dunia menjadi semakin baik dan para penghuni dunia
merasa aman dan tenteram. Namun jika kita gagal dalam misi ini, maka kita tidak
berguna seperti garam yang tidak asin lagi. Jika sudah seperti ini, apakah kita masih
pantas menjadi murid-murid Yesus?

Garam yang murni tidak pernah menjadi tawar. Dengan anologi garam ini,
Yesus mengajarkan kepada kita suatu pengetahuan spiritual, yakni kebijaksanaan
sebagai “jalan hidup” (way of life) supaya kita dapat mempertahankan hidup di
dunia ini dengan sikap iman yang militan, yakni beriman yang cerdas, tanggap,
tangguh, dan misioner. Apakah kekristenan sudah menjadi cara hidup kita, ataukah
masih sebatas nama yang kita sandang?

Pernyataan Yesus “kamu adalah terang dunia”, mengisyaratkan tuntutan


terhadap kita agar tidak menyembunyikan apa yang telah kita peroleh dari Dia,
yakni cahaya ilahi yang adalah Kerajaan Allah. Kita harus mencahayakan penghuni
dunia ini dengan terang sejati yakni, Yesus Kristus. Seperti cahaya tak mungkin tidak
dilihat, demikian pun jati diri kita sebagai murid-murid Yasus harus nyata bagi
semua orang lewat perbuatan-perbuatan baik. Perbuatan-perbuatan baik itu tidak
lain adalah tindakan cinta kasih, kemurahan hati, belas kasihan dan rekonsiliasi.
Dengan itu kita memuliakan Allah. Dengan cara itu pula, kita mengambil bagian
dalam tri tugas Yesus, yakni menjadi nabi, imam, raja, dan ikut serta melaksanakan
panca tugas Gereja, yakni, leitourgia, kerygma, diakonia, koinonia,dan martyria.
MINGGU III

Tema : Kita dipanggil menjadi murid Yesus yang militan.


Tujuan : Supaya kita menyadari bahwa kita dipanggil menjadi murid Yesus yang
militan.

Pokok Pikiran:
1. Dasar-dasar panggilan (baptis, krisma dan ekaristi).
2. Dokumen Ajaran Sosial Gereja.
3. Militansi kedalam dan keluar (menjadi garam dan terang dunia):
 Terlibat dalam tata dunia (100% Katolik, 100% Indonesia).
 Dialog kehidupan (lintas suku, agama, ras, antar golongan dan budaya).
Kitab Suci:
Yoh. 1:35-51: Murid-murid Yesus yang pertama.

1. Pengantar

Bab pertama Injil Yohanes (1:1-51) berfungsi sebagai pengantar untuk seluruh
Injilnya ini. Pada bagian pengantar ini, Yohanes memperkenalkan kepada para
pembaca pokok-pokok ajarannya berupa gagasan-gagasan teologis, yakni apa yang ia
percaya mengenai Allah dan Yesus serta karya pelayanan-Nya.
Berbeda dengan penginjil sinoptik (Matius, Markus, dan Lukas), Yohanes tidak
memulai Injilnya dengan menampilkan kisah tentang kelahiran Yesus dan masa
kanak-kanak-Nya, tetapi membukanya dengan sebuah madah tentang Firman.
Firman Allah yang telah menjadi manusia dan diam di antara manusia, gagasan
tentang misteri inkarnasi. Pada bagian pengantar ini juga, Yohanes menyampaikan
beberapa kesaksian sebagai pokok-pokok ajarannya yang akan diuraikannya dalam
“Kitab Tanda” (Yoh. 2:1-12:50) dan “Kitab Kemuliaan” (Yoh. 13:1-20:31).
Kisah panggilan murid-murid Yesus yang pertama (Yoh. 1:35-51) sebagai
penutup bagian pengantar Injil ini pun, disajikan dengan cara yang berbeda pula
dengan para penginjil sinoptik, di mana Yesus secara bebas dan langsung memilih
dan memanggil murid-murid-Nya. Kisah panggilan murid-murid pertama dalam
Yohanes didahului dengan dua cerita kesaksian, yakni kesaksian Yohanes Pembaptis
tentang dirinya sendiri (Yoh. 1:19-28) dan kesaksian Yohanes Pembaptis tentang
Yesus (Yoh. 1:29-34). Dengan cara ini pula, Yohanes menjelaskan panggilan murid-
murid Yesus yang pertama.

2. Ulasan

a. Kesaksian Yohanes Pembaptis tentang Yesus kepada murid-muridnya (ay. 35-39).


Kini tiba saat yang mendebarkan dari tugasnya sebagai perintis jalan Tuhan,
yakni Yohanes harus memperkenalkan dan menunjukkan keunggulan keilahian
Yesus di hadapan murid-muridnya sendiri: “Lihatlah Anak Domba Allah” (Yoh.
1:36). Ia tentu tahu dampak kesaksiannya ini, yakni dapat mengalihkan kesetiaan
para muridnya kepada Guru baru yang lebih hebat itu. Tetapi Yohanes sadar
bahwa ia datang bukan untuk menarik orang-orang kepada dirinya, melainkan agar
mereka melekat pada Kristus. Tidak ada tugas yang lebih berat daripada
menyerahkan tempat pertama yang pernah dinikmatinya kepada Yesus, lalu
mengambil tempat kedua sebagai gantinya: biarlah aku semakin kecil, agar ia
semakin besar (Yoh. 3:30).
Dampak kesaksiannya pun langsung nyata. Dua orang murid terdekatnya
segera pergi meninggalkan dia dan langsung mengikuti Yesus. Mungkin agak ragu-
ragu bercampur malu, kedua calon murid itu dengan diam-diam mengikuti Yesus
dari belakang. Tetapi segera pula Yesus melakukan tindakan yang khas, Ia menoleh
kepada mereka dan mengajak mereka berbicara. Dengan cara itu Yesus menerima
mereka. Yesus membuka pintu sehingga mereka boleh mudah masuk dan berguru
pada-Nya. Tindakan Yesus ini memperlihatkan simbol inisiatif ilahi. Allah selalu
mengambil langkah pertama. Allah yang memilih kita dan bukan sebaliknya kitalah
yang memilih Allah. Seperti kata Santo Agustinus: “Kita tidak pernah akan mulai
mencari Allah, kecuali kalau Allah telah menemukan kita lebih dahulu”.
Yesus membuka pembicaraan dengan melemparkan sebuah pertanyaan:
“Apakah yang kamu cari?” (Yoh. 1:38). Pertanyaan Yesus ini mengacu pada
kebiasaan di Palestina zaman itu, di mana banyak orang suka mencari hal-hal yang
mereka anggap penting. Jawaban kedua calon murid itu sungguh menarik: “Rabi
(artinya: Guru), di manakah Engkau tinggal?” (Yoh. 1:38). Mereka menyapa Yesus
dengan sebutan rabbi, (Yunani: didaskalos) yakni kata Ibrani yang secara harafiah
berarti “orang besarku”. Kata “rabi” adalah gelar kehormatan yang diberikan oleh
para murid kepada guru mereka, atau para pencari ilmu kepada kaum bijak.
Kedua calon murid itu menanyakan tempat tinggal Yesus, karena dorongan
sikap ingin tahu. Karena mereka tidak ingin berbicara dengan Yesus hanya di jalan
dan sambil lalu saja. Mereka ingin bergaul dengan Yesus lebih lama lagi serta
membicarakan persoalan dan kesulitan mereka. Menjadi murid Yesus tidak hanya
puas dengan percakapan sepintas saja, atau bukan sebatas berkenalan sambil lalu
saja, melainkan sebagai sahabat yang akrab di tempat tinggal Yesus. Yesus
menjawab mereka dengan sebuah ajakan: “Marilah dan kamu akan melihatnya”
(Yoh 1:39). Dengan jawaban ini, Yesus bermaksud mengajak mereka bukan hanya
untuk datang dan berbicara, tetapi juga untuk datang dan menemukan hal-hal
yang hanya Dia sajalah yang dapat menunjukkannya kepada mereka.

b. Kesaksian Andreas tentang Yesus kepada Petrus (ay. 40-42).


Salah seorang dari kedua murid Yohanes itu bernama Andreas, nama Yunani
yang berarti “jantan”. Ia bertemu dengan Petrus dan memberi kesaksian tentang
Yesus dengan sebutan Mesias (Yunani, Kristus) yang berarti Dia yang diurapi.
Beberapa kali dalam Kitab Suci, nama Andreas selalu disebut bersama dan
berkaitan dengan Simon Petrus sebagai saudaranya. Mungkin karena ia kurang
terkenal dan berada di balik bayang-bayang ketenaran Petrus (Yoh. 1: 40-41; 6:8;
Mat. 4:18; 10:2; Mrk. 1:16; Luk. 6:14). Meskipun Andreas yang pertama bertemu
dan mengenal Yesus, namun ia membiarkan saudaranya Petrus untuk maju dan
menjadi lebih terkenal. Andreas ditampilkan dalam peran-peran sederhana saja.
Bagi Andreas, keterkemukaan, kedudukan dan kehormatan bukan menjadi soal.
Persoalan justru terletak pada bagaimana mengikuti Yesus dan bagaimana
melayani Dia sebaik mungkin. Ia menjadi contoh bagi semua orang kudus yang
dengan rendah hati, setia dan tulus ikhlas dan berada di belakang serta mengikuti
Tuhan.
Yohanes mencatat tiga peran sederhana yang dilaksanakan Andreas namun
berdampak besar, yakni pada peristiwa: Murid-murid Yesus yang pertama (Yoh.
1:41); Yesus memberi makan lima ribu orang (Yoh. 6:8-9); dan Yesus memberitakan
kematian-Nya (Yoh. 12:22). Andreas selalu ditampilkan sebagai peran pembantu
yang membawa dan memperkenalkan orang lain kepada Yesus.
Ketika Andreas membawa Petrus kepada Yesus, Yesus memandang (Yunani,
emblepein, yang berarti memandang secara cermat, terus menerus dan
mendalam) Petrus dan berkata: “Engkau Simon anak Yohanes, engkau akan
dinamakan Kefas (artinya Petrus)” (Yoh. 1:42). Kefas adalah sebutan Aram
sedangkan Petrus adalah sebutan Yunani yang berarti batu karang atau batu besar.
Dalam tradisi Kitab Suci, pergantian nama seringkali menyatakan adanya
perubahan hubungan orang tersebut dengan Allah. Tatkala seseorang memasuki
hubungan baru dengan Allah, ia memulai suatu hidup yang baru dan menjadi orang
baru, sehingga ia mendapatkan sebuah nama yang baru pula. Hal yang paling
penting dari kisah perikop ini adalah Yesus yang melihat jauh di dalam diri Petrus,
bukan hanya sebatas seorang nelayan dari Galilea, tetapi seorang yang bisa
dijadikan batu alas bagi bangunan Gereja-Nya. Hal ini berhubung dengan kesaksian
iman Petrus, yang akan menjadi dasar kesaksian Gereja sepanjang zaman.

c. Kesaksian Filipus tentang Yesus kepada Natanael (ay. 43-51).

Dalam ayat-ayat ini, pergerakan perjalanan pastoral Yesus berubah arah, dari
selatan (Yudea) menuju ke utara (Galilea). Di Galilea, mungkin tepatnya di Kana,
Yesus bertemu dan memanggil Filipus. Sama seperti Andreas, Filipus juga tidak
dapat menyimpan kabar baik itu. Ia segera pergi menemukan temannya Natanael
(Aram, pemberian Allah) dan mengatakan telah bertemu dengan Mesias yang
dijanjikan. Mesias itu adalah Yesus dari Nazaret (Aram, natserat yang berarti
menara jaga). Natanael berasal dari Kana, salah satu kota yang juga terdapat di
wilayah Galilea, sama seperti Nazaret. Persaingan antar tempat, atau desa, atau
kota merupakan kenyataan sosial yang menonjol di zaman itu. Reaksi Natanael
terkesan menganggap rendah Nazaret, bukanlah suatu kota yang pantas
melahirkan Mesias. Namun dengan semangat pantang menyerah, Filipus mengajak
Natanael: “Mari dan lihatlah” (Yoh. 1:47). Meskipun terkesan kalah dalam
perdebatan dengan Natanael, namun Filipus tidak kehilangan cara untuk
meyakinkan Natanael, yakni memperhadapkannya langsung dengan Yesus agar
menyaksikan sendiri kehebatan Yesus.
Cara Filipus inilah mengungkapkan kenyataan dalam kehidupan beriman,
bahwa pada umumnya yang menyebabkan orang mengimani Kristus bukan karena
ajaran yang hebat atau kotbah-kotbah filosofis dengan argumen yang brilyan.
Orang percaya karena ditarik oleh Allah sendiri; kontak dan pengalaman pribadinya
dengan Tuhan. Maka, argumentasi yang paling tepat untuk membuat orang
percaya kepada Kristus adalah ajakan: mari dan lihatlah. Tentu saja sebelum
mengajak orang untuk berhadapan langsung dengan Tuhan, si pengajak sudah
mengalami dan mengenal Tuhan secara pribadi juga.
Sama seperti Yesus memandang (Yunani, emblepein) Petrus, kini Dia
memandang Natanael langsung ke dalam hatinya. Yesus mengenal Natanael:
“Lihat, inilah seorang Israel sejati, tidak ada kepalsuan di dalamnya!” (Yoh. 1:47).
Ungkapan “Israel sejati” langsung terarah pada kualitas beriman sebagaimana yang
disaksikan dalam Mzm. 32:2: “Berbahagialah manusia, yang keselamatannya tidak
diperhitungkan Tuhan dan yang tidak berjiwa penipu”. Juga yang ditandaskan
dalam Yes. 52:9: “Ia tidak berbuat kekerasan dan tipu tidak ada di dalam
mulutnya”. Singkat kata, Israel sejati adalah mereka yang hidup benar dan jujur di
hadapan Allah.
Natanael tersentak dan heran atas pernyataan Yesus tentang dirinya, sambil
bertanya bagaimana Yesus mengenali dirinya begitu sempurna, “Bagaimana
Engkau mengenal aku” (Yoh. 1:48). Terhadap pertanyaan Natanael itu, Yesus
langsung menunjukkan sebuah kenyataan: “Sebelum Filipus memanggil engkau,
Aku telah melihat engkau di bawah pohon ara” (Yoh. 1:48). Bagi orang Yahudi,
pohon ara dan pohon anggur selalu merupakan simbol perdamaian (Bdk. 1Raj.
4:25; Mi. 4:4). Pohon ara yang rindang juga menjadi kebiasaan bagi orang Yahudi
untuk duduk bersemadi, membaca, merenungkan Kitab Suci dan berdoa. Maka
“duduk di bawah pohon ara” berarti mereka yang dengan tekun berdoa dan
membaca Kitab Suci.
Natanael bertambah heran karena merasa bahwa Yesus mengetahui pikiran
dan isi hatinya yang terdalam saat itu. Ia merasa Yesus mengetahui tentang
impian-impiannya, tentang doa-doanya dan bahkan tentang kerinduan yang ia
rahasiakan, yang tidak terungkap dengan kata-kata. Orang ini sanggup mengetahui
isi jiwaku yang bisu. Sungguh benar, Dia adalah Mesias. Dia yang dijanjikan dan
telah diurapi Allah. Dalam keharuan atas pengalaman rohani yang luar biasa itu,
Natanael membenarkan kesaksian Filipus tentang Yesus sambil berkata: “Rabi,
Engkau Anak Allah, Engkau Raja orang Israel” (Yoh. 1:49). Akhirnya Natanael untuk
selamanya menyerahkan dirinya kepada Dia yang telah membaca, mengerti dan
memuaskan isi hatinya.
Atas kesejatian iman Natanael itu, Yesus memberikan peneguhan rohani,
dengan mengacu pada sebuah kisah tua tentang Yakub di Betel yang melihat
tangga emas yang menjulang ke langit (Kej. 28:12-13). Yesus menjanjikan
kenyataan yang jauh lebih agung dan semarak kepada Natanael: “Aku berkata
kepadamu, sesungguhnya engkau akan melihat langit terbuka dan malaikat-
malaikat Allah turun naik kepada Anak Manusia” (Yoh. 1:51). Kini Natanael
percaya, bahwa hanya Yesuslah jalan dan menjadi tangga bagi jiwa-jiwa untuk naik
menuju surga. Natanael adalah gambaran Israel sejati yang mendobrak ikatan
kebangsaan dan segala prasangka buruk dalam sikap fatal-fanatik, dan
menyerahkan diri kepada Yesus. Inilah militansi beriman yang benar: beriman
dengan cerdas, tanggap, tangguh, dan misioner.

3. Amanat

Allah selalu mengambil langkah pertama. Allah yang memanggil dan memilih
kita dan bukan sebaliknya kitalah yang memilih Allah. Seperti kata Santo Agustinus:
“Kita tidak pernah akan mulai mencari Allah, kecuali kalau Allah telah menemukan
kita lebih dahulu”. Namun, dorongan sikap ingin tahu sebagai ungkapan hasrat
mencari Allah harus menjadi tanda mutlak orang terpanggil: “Dimanakah Engkau
tinggal?” Pertanyaan ini mengekspresikan hasrat orang-orang terpanggil, yang
tidak ingin berbicara dengan Yesus hanya di jalan dan sambil lalu saja. Tetapi ingin
bergaul dengan Yesus lebih dalam. Menjadi murid Yesus tidak sekedar merasa puas
dengan percakapan sepintas menurut kata orang, melainkan harus tinggal dan
bergaul bersama Dia dan menjadi sahabat sejati-Nya. Orang-orang terpanggil
adalah mereka yang terpilih menjadi murid Yesus, bukan untuk mengejar
kedudukan dan kehormatan, tetapi bagaimana sesungguhnya harus mengikuti
Yesus dan melayani Dia sebaik mungkin. Apakah kita seperti Andreas yang tidak
mencari kehormatan dan kedudukan, tetapi selalu menjadi murid yang rendah
hati, setia dan tulus ikhlas mengikuti dan melayani Dia?
Di sini juga kita melihat dalam tradisi Kitab Suci, tentang makna pergantian
nama dari orang-orang terpanggil untuk menyatakan adanya perubahan hubungan
orang tersebut dengan Allah. Tatkala seseorang memasuki hubungan baru dengan
Allah, ia memulai suatu hidup yang baru dan menjadi orang baru, sehingga ia
mendapatkan sebuah nama yang baru pula. Dalam pembaptisan, kita pun telah
menerima nama baru, nama baptis untuk menyatakan adanya perubahan
hubungan kita dengan Yesus. Rahmat sakramen baptis telah menjadikan kita
manusia baru dan memulai suatu hidup baru dalam Yesus. Sudah sejauh mana kita
mengartikan nama baru, nama baptis kita dengan menunjukkan kualitas
perubahan hubungan kita dengan Allah?
Kita belajar dari pengalaman panggilan dan kesejatian iman Natanael. Ia
percaya dan mengikuti Yesus, bukan karena kata Filipus, melainkan atas dasar
pengenalan pribadinya dengan Yesus. Ia sadar bahwa Yesus lebih dahulu
mengenalnya dengan sempurna. Ia merasakan bahwa Yesus mengetahui pikiran
dan isi hatinya yang terdalam dan semua impian-impian serta doa-doanya. Bahkan
ia merasakan bahwa Yesus tahu tentang kerinduan yang ia rahasiakan, yang tidak
terungkap dengan kata-kata. Ia percaya bahwa Yesus mengetahui isi jiwanya yang
bisu. Yesus adalah sungguh Mesias, Dia yang dijanjikan dan telah diurapi Allah.
Pengalaman rohani inilah yang menghantar Natanael untuk selamanya
menyerahkan dirinya kepada Yesus yang telah membaca, mengerti dan
memuaskan isi hatinya. Natanael adalah gambaran Israel sejati yang mendobrak
ikatan kebangsaan dan segala prasangka buruk yang terpenjara dalam sikap fatal-
fanatik dan menyerahkan diri kepada Yesus. Inilah militansi iman dari seorang
terpanggil. Adakah kita temukan iman sejati seperti ini dalam diri murid-murid
Tuhan sekarang dan di sini? Apakah kita masih merasakan dan saksikan getaran
iman sejati ini pada diri dan hidup orang-orang pilihan Tuhan: para imam,
biarawan-biarawati masa kini? Jika tidak ada lagi, apakah kita masih merasa
nyaman untuk tinggal dalam kebanggaan semu sebagai murid-murid Tuhan dan
orang-orang terpanggil? Ataukah kita berbangga dengan sikap fanatik lantaran
merasa memiliki dukungan kekuatan mayoritas?
MINGGU IV

Tema : Tantangan menjadi murid Yesus yang militan.

Tujuan : Supaya kita menyadari adanya tantangan menjadi murid Yesus yang
militan.

Pokok Pikiran:
1. Tantangan dari DALAM:
 Beda pemahaman kita tentang toleransi, kebebasan beragama, radikalisme, dan
fanatisme.
 Lemahnya iman dalam keseharian hidup.
 Kenyamanan dalam mayoritas.
 Tekanan ekonomi.

2. Tantangan dari LUAR:


 Situasi politik (kepemimpinan, sistem demokrasi, kubu-kubu partai), radikalisme
 Kemajuan iptek
 Indiferentisme agama (menganggap semua agama sama).
 Aliran-aliran baru.
3. TOBAT pribadi dan bersama.

Kitab Suci:
2 Mak 7:1-41: Tujuh orang bersaudara serta ibunya disengsarakan.
Catatan: bacaan ibadat memakai rumusan yang agak singkat: 2 Mak 1:1-19, 30-41.

1. Pengantar
Fokus perhatian Kitab 2 Makabe adalah kenisah Yerusalem. Kitab 2Makabe
meliputi periode zaman Helenis ketika kenisah mengalami profanisasi, penyucian
dan restorasi dari pengaruh tekanan politik yang dijalankan oleh raja Antiokhus IV
dan anaknya. Kenisah sebagai simbol dari apa yang terjadi pada umat Israel, yakni
penderitaan dan penganiayan, diikuti pembebasan dan restorasi. Tekanan ajaran
teologi Kitab ini adalah bahwa dosa menyebabkan hukuman, tetapi pertobatan
mendatangkan keselamatan. Dosa berarti kegagalan menepati hukum dan
menodai hubungan perjanjian dengan Allah dan umat-Nya.
Gagasan teologis tersebut dituangkan dalam kisah kemartiran tujuh
bersaudara bersama ibu mereka. Kisah ini menjadi contoh ketahanan dan
kesetiaan (mitansi iman) terhadap hukum agama, yang secara langsung kepada
Tuhan sendiri. Penganiayaan dilihat sebagai jalan Allah untuk menyadarkan dan
membersihkan umat dari dosa. Keberanian dan kerelaan menanggung
penganiayaan demi iman, bahkan sampai mengorbankan hidup, akan berdampak
bagi pentingnya pertumbuhan dan pembaharuan iman bangsa Israel. Darah para
martir adalah benih-benih iman. Kisah kemartiran tujuh bersaudara bersama ibu
mereka ini, ditempatkan sebagai akhir dari bagian kedua kitab ini, yang menyajikan
tema pencemaran dan penganiayaan, pengejaran agama oleh raja Antiokhus
Epifanes.

2. Ulasan

a. Kematian sebagai martir dari sebuah keluarga Yahudi sejati: 2 Mak. 7:1-41

Kisah heroik kemartiran tujuh bersaudara bersama ibunya ini, dibuka


dengan perkenalan singkat tentang sebuah keluarga Yahudi yang beriman
sejati. Mereka ditangkap dan dihadapkan kepada raja Antiokhus Epifanes (dewa
yang dinyatakan). Untuk mewujudkan kebijakan politik raja, satu bangsa satu
agama, ketujuh bersaudara bersama ibu mereka dipaksa untuk melepaskan
agama Yahudi. Dengan siksaan cambuk dan rotan, mereka dipaksa untuk makan
daging babi yang haram. Itu berarti mereka harus meninggalkan adat istiadat
nenek moyang mereka dan tidak lagi hidup menurut hukum-hukum Allah.
Latar belakang cerita ini adalah periode pembuangan, ketika bangsa
Israel hidup dalam tekan social, politik, ekonomi, budaya dan agama pada masa
pemerintahan raja Antiokhus IV, yang kemudian bergelar Antiokhus Epifanes. Ia
mengeluarkan perintah supaya orang-orang Yahudi dipaksa untuk mengingkari
hukum nenek moyangnya dan tidak lagi hidup menurut hukum-hukum Allah.
Antiokhus Epifanes jugalah yang memerintahkan orang untuk menodai Bait
Allah Yerusalem dan membaktikannya kepada dewa Zeus Olimpios, sedangkan
Bait Suci di gunung Gerizim harus dibaktikan kepada dewa Zeus Ksenios (2 Mak.
6:1-2). Bahkan pada tahun 169 SM ketika mengunjungi Yerusalem, Antiokhus
Epifanes memasuki tempat paling suci di dalam Bait Suci dan menjarah bejana-
bejana emas dan perak perbendaharaan Bait Allah itu.
Terhadap kebijakan politik raja ini, banyak orang Yahudi menjadi martir
(2 Mak. 6:8-11). Maka, kisah heroik 2 Mak. 7:1-41 ini diangkat untuk
membangkitkan semangat iman (proselit) dan nasionalisme (sionisme) orang-
orang Israel di tanah pembuangan (2 Mak. 6:15). Jika seorang ibu dan
perempuan yang selalu dianggap lemah di mata budaya patriarkat Yahudi
mampu mempertahankan imannya dan meneguhkan iman ketujuh putranya,
bagaimana dengan para bapak dan laki-laki Yahudi yang adalah representasi
soko guru iman dalam keluarga Yahudi? Maka cerita ini berfungsi sebagai
ajakan profetis bagi para bapak untuk melihat peran tanggung jawabnya
sebagai soko guru iman di dalam keluarga.
Cerita ini ditulis dengan sangat indah, di mana setiap tokoh (tujuh
bersaudara) memberikan argumen teologis tentang kemartirannya. Jumlah
tujuh dalam tradisi Yahudi melambangkan kesempurnaan, maka penulis
bermaksud menggugah pembaca belajar dari keluarga ini sebagai “keluarga
yang sempurna”. Dengan ini, penulis kitab 2 Makabe menunjukkan peran
sentral keluarga Yahudi sebagai tempat penanaman iman dan moral yang jauh
lebih sempurna dari lembaga-lembaga keagamaan.

b. Kemartiran tujuh bersaudara mengemukakan tujuh argumentasi teologis: 2


Mak. 7: 2-19, 30-41.

Inilah bagian yang paling menegangkan dari cerita ini. Pelaksanaan


hukuman mati yang diuraikan secara terperinci dengan siksaan yang kejam
terhadap tujuh bersaudara bersama ibu mereka ini, dimaksudkan untuk
mendidik bangsa Israel. Ketujuh putra itu masing-masing memberikan argumen
teologis tentang kemartirannya. Lewat cerita ini, penulis kitab 2Makabe
menegaskan keyakinannya bahwa ketaatan kepada hukum Tuhan adalah lebih
penting daripada hidup itu sendiri. Baginya adalah lebih mulia jika mati sebagai
martir untuk menerima hidup bahagia di sorga, daripada murtad. Kemurtadan
dipandang sebagai tindakan tercela dan hina dan berakibat pada siksaan dan
kesengsaraan kekal.
Dengan iman dan keyakinan seperti itu, ketujuh bersaudara bersama
ibu mereka merasa berbahagia dan mulia mati demi mempertahankan hukum
Tuhan daripada murtad. Mereka tampil dengan gagah perkasa menerima maut
atas dasar iman yang mantap. Putra pertama (2 Mak. 7:2-6) sebagai buah
pertama dari keluarga ini, tampil dengan berani di hadapan raja untuk
menerima penderitaan dan kematiannya. Ia menerima siksaan yang keji.
Lidahnya dipotong, kepalanya dikuliti dan tangan serta kakinya dipotong di
hadapan saudara-saudara dan ibunya. Dalam penderitaannya ia mengatakan
adalah lebih baik menjadi martir daripada murtad. Karena kematian kemartiran
adalah kematian suci yang mendatangkan keselamatan. Dengan tenang ia
kembali ke dalam pangkuan Allah.
Giliran putra kedua, (2 Mak. 7:7-9), ia pun disiksa dengan cara yang
sama dengan saudara sulung. Dalam penderitaannya ia menghina raja. Dia
menyatakan keyakinannya kepada raja, bahwa raja boleh mengambil hidup dan
berkuasa membunuhnya, tetapi Allah berkuasa membangkitkan dia.
Putra ketiga, (2 Mak. 7:10-12) pun dianiaya dan dibunuh dengan cara
yang sama. Dalam deritanya, ia menghina raja dengan menyampaikan
keyakinan imannya, bahwa raja boleh menyiksa, merusakkan dan
membunuhnya, namun Allah akan memulihkan dan menganugerahkan
kepadanya tubuh yang sempurna dalam keabadian.
Putra keempat (2 Mak. 7:13-14) pun diperlakukan yang sama dengan
saudara-saudaranya terdahulu. Sebelum akhir hidupnya, ia berkata kepada raja:
biar sekarang dia mati, tetapi kelak Allah akan membangunkan kembali
hidupnya. Hidup orang benar diselamatkan Allah, tetapi hidup orang jahat
menerima hukuman kekal.
Kini giliran putra kelima, (2 Mak. 7:15-17) sementara disiksa dan
disengsarakan, dia menyampaikan kepada raja bahwa Allah tidak akan pernah
meninggalkan umat-Nya. Mati karena iman akan diterima sebagai sahabat-
sahabat Allah.
Sesudah yang kelima, dibawalah putra keenam (2 Mak. 718-19). Ketika
hampir menemui ajalnya ia mengungkapkan penyesalan dan tobatnya. Ia
melihat penderitaan dan kematian yang dialaminya adalah akibat kegagalan
dan dosa bangsanya. Maka penderitaan dan kematian yang ditanggungnya
membawa tebusan bagi bangsanya.
Akhirnya, tibalah giliran putra ketujuh (2 Mak. 7:24-40) anak bungsu. Ia
mendapat perlakuan sedikit lain dari kakak-kakaknya. Sebelum disiksa ia
dibujuk oleh raja dengan janji-janji indah, bahwa raja akan membuatnya kaya
raya dan bahagia. Ia akan diangkat menjadi sahabat raja dan kepadanya akan
dipercayakan berbagai jabatan negara, asalkan ia mau meninggalkan adat
istiadat nenek moyangnya. Bahkan raja juga meminta bantuan ibu kandungnya
untuk membujuk dia. Tetapi dengan bahasa ibu, sang bunda justru memberi
semangat kepada si bungsu, agar berlaku ksatria seperti kakak-kakaknya.
Dengan kekuatan cinta kemartiran dari saudara-saudaranya dan juga dukungan
kekuatan cinta sang bunda, putra ketujuh tampil lebih berani dari saudara-
saudaranya. Ia menghina raja dan menunjukkan keyakinan kemartirannya
sebagai persembahan terindah kepada Allah. Ia memandang kemartiran yang
diterimanya, bukan pilihan untuk mati bodoh, melainkan suatu kematian suci
yang menghantarnya ke sorga dan bergabung dengan para kudus di sorga.
Dengan murka yang meluap-luap raja menyuruh menyiksa anak bungsu itu
dengan lebih kejam daripada saudara-saudaranya.
Akhirnya, ketujuh bersaudara itu dengan sikap ksatria menerima
kematian kemartiran mereka, disaksikan ibu mereka. Darah para martir suci
adalah benih-benih iman. Bagai biji gandum yang jatuh ke dalam tanah dan
mati, agar memberikan pertumbuhan dan mengasilkan buah berlimpah,
demikian pun kematian kemartiran suci.

c. Kesejatian iman dan persembahan cinta sang bunda yang sempurna kepada
Allah: 2 Mak. 7:20-29

Pada akhir kisah ini, penulis kitab 2Makabe terutama mengagumi sikap
iman ibu dari ketujuah putra itu. Sungguh luar biasa ibu itu. Dengan kasih dan
kekuatan cinta keibuannya, ia mendorong dan memberi semangat kepada
putra-putranya. Dengan sangat mengagumkan ia mengungkapkan kesaksian
imannya akan kekuasaan Allah yang menciptakan dan memulihkan kehidupan.
Jika Allah dapat membuat semua yang ada dan hidup dari ketiadaan, maka Dia
pulalah yang berkuasa memulihkan kehidupan itu sendiri.
Dengan tekad keibuannya yang kuat seperti baja, ibu itu menyaksikan
dengan mata kepalanya sendiri ketujuh putranya disiksa dengan kejam dan
dibunuh. Kesudahan kisah ini, ibu itu pun mati seperti ketujuh putranya itu
(2Mak. 7:41). Sungguh luar biasa iman ibu itu. Ibu adalah manusia paling
perkasa. Kehebatan seorang anak sangat besar bergantung kepada kekuatan
cinta ibunya. Bandingkan Luk. 11:27, “Berbahagialah ibu yang telah
mengandung Engkau dan susu yang telah menyusui Engkau”. Maka tidaklah
mengherankan jika orang banyak mengatakan: surga ada di telapak kaki ibu.

3. Amanat
Kisah tujuh bersaudara beserta ibunya yang disengsarakan ini, menjadi
contoh sikap beriman yang militan, yakni beriman yang cerdas, tanggap, tangguh
dan misioner. Dengan kualitas beriman seperti ini, seseorang akan merasa
berbahagia bila menderita demi iman: “Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu
dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat” (Mat. 5:11).
Penganiayaan demi iman bukan sebuah kefatalan, tetapi dianggap sebagai
anugerah untuk mengambil bagian dalam kekudusan Allah. Keberanian menerima
celaan, penganiayaan dan finah demi iman dianggap sebagai pahala dan
kemartiran diterima sebagai mahkota. Darah para martir adalah benih-benih iman.
Tekanan politik, ekonomi, budaya dan agama adalah realita sosial yang ada
dan terus ada dalam kehidupan orang beriman sejati. Sikap iman yang militan,
yakni beriman cerdas, tanggap, tangguh, dan misioner adalah kekuatan untuk
tetap teguh dan berkanjang dalam iman. Sikap iman yang demikian membuat
seseorang berani memilih mati demi iman daripada melepaskan imannya.
Penderitaan dilihat sebagai akibat dosa dan kesalahan masa lalu. Sebagai
mana tekanan ajaran teologi Kitab ini adalah bahwa dosa menyebabkan hukuman
tetapi pertobatan mendatangkan keselamatan. Dosa berarti kegagalan menepati
hukum dan menodai hubungan perjanjian dengan Allah dan umat-Nya. Maka
penderitaan karena setia hidup menurut hukum-hukum Tuhan menjadi tanda
berkat yang mendatangkan pertobatan dan pengampunan. Jangan takut bila kita
menanggung penderitaan demi iman. Karena dengan cara itu, kita mewartakan
pertobatan dan pembaharuan diri bagi banyak orang.
MINGGU V

Tema : Bersama Yesus yang bangkit, kita menjadi murid yang militan

Tujuan : Supaya kita menyadari bahwa bersama Yesus yang bangkit kita harus
menjadi murid-Nya yang militan

Pokok Pikiran:
1. Mengenal Tuhan yang bangkit: dalam sabda dan ekaristi, sesama dan lingkungan.
- Pembentukan murid yang militan (semakin cerdas, tangguh, dan misioner).
2. Rekonsiliasi (kembali ke Galilea) dan persatuan. Kembali ke komunitas awal:
- Setia kawan / solidaritas
- Beriman yang membumi
- Menyatu dengan budaya
- Beriman yang tangguh
3. Perutusan:
- Murid Yesus yang militan dalam panca tugas Gereja (aplikasi).

Kitab Suci:
Yoh. 21:15-19: Gembalakanlah domba-domba-Ku.

1. Pengantar
Yoh. bab 21 adalah tambahan yang disisipkan kemudian, setelah Injil ini
ditutup dalam Yoh. 20:31: “Tetapi semua yang tercantum di sini telah dicatat,
supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh
imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya”. Sebagai bab tambahan, penulis
berusaha untuk menghubungkan bab ini dengan bab-bab terdahulu dengan
sejumlah gagasan literer dan teologis kebangkitan. Ciri-ciri Yohanes dapat
ditemukan dalam bab ini, yakni: penangkapan ikan dan penampakan Yesus di
danau Tiberias (Yoh. 21:1-14); pengakuan Petrus dan pemberian mandat
kegembalaan (Yoh. 21:15-19); referensi terhadap posisi murid yang dikasihi (Yoh.
21:20-23); kata penutup kedua dan referensi kewibawaan Injil (Yoh. 21: 24-25).
Perikop Yoh. 21:15-19 ini, secara gamblang dan indah berbicara tentang
perjumpaan Petrus dan Tuhan sesudah bangkit. Pada perjumpaan ini, Yesus
memberikan kesempatan kepada Petrus untuk mengungkapkan penyesalan dan
pertobatannya dengan kasih, sebagai pemulihan hubungan dengan Tuhan sesudah
ia melakukan dosa, menyangkali Yesus tiga kali. Kisah ini ditutup mulia, dengan
pengukuhan mandat kegembalaan kepada Petrus dan pernyataan kesetiaan Petrus
dengan cara kematian kemartirannya sebagai sebagai ungkapan memuliakan Allah.

2. Ulasan
a. Tiga kali pengakuan Petrus, untuk menyeimbangkan tiga kali pengkhianatannya
terhadap Yesus: Yoh. 21:15-17.

Inilah penampakan Yesus yang ketiga kalinya kepada murid-murid-Nya


setelah Ia bangkit dari antara orang mati dan sekaligus sebagai kisah pemungkas
kebersamaan Yesus dengan murid-murid-Nya. Pertemuan Petrus pribadi dan
Tuhan yang dikisahkan dalam perikop ini, terjadi setelah peristiwa ajaib
penangkapan ikan yang banyak dan sarapan bersama Yesus dan murid-murid-Nya.
Dua peristiwa itu memberikan banyak pesan teologis, antara lain, nilai universalitas
karya keselamatan Kristus dan gagasan tentang Sabda dan Ekaristi sebagai asas
dan sumber kekuatan evangelisasi. Sabda dan Ekaristi dilihat sebagai cara baru
kehadiran Yesus dalam Gereja setelah kebangkitan-Nya (Luk. 24:13-35). Dalam alur
berpikir ini, Yohanes menempatkan percakapan Tuhan dan Petrus dengan maksud
menunjukkan betapa mulianya panggilan menjadi gembala.
Dalam perjumpaan itu, Yesus memberikan kesempatan kepada Petrus untuk
mengungkapkan penyesalannya melalui kasih. Inilah kesempatan indah bagi Petrus
untuk memulihkan kembali hubungan dengan Tuhan sesudah melakukan
perbuatan dosa. Pernyataan penyangkalan Petrus tiga kali, kini diimbangi dengan
tiga kali pernyataan kasihnya terhadap Yesus. Inilah ungkapan kesempurnaan
penyesalan Petrus dan kesempurnaan kasihnya kepada Yesus. Dengan ini,
hubungan Petrus dan Tuhan menyatu kembali. Martabat Petrus, batu karang yang
telah rusak akibat dosa, kini dipulihkan kembali dengan pernyataan kasihnya. Inilah
cara Tuhan mencintai domba-domba-Nya; yang hilang dan tersesat, dicari dan
ditemukan kembali; yang luka disembuhkan-Nya (Bdk. Mat. 18:12-14; Luk. 15:3-7).
Peristiwa ini juga mengangkat kembali martabat dan tugas kegembalaan
yang telah disinggung dalam bab 10:1-21. Tiga kali Yesus memberi perintah:
“Gembalakanlah domba-domba-Ku” (Yoh. 21:15-17) untuk menyatakan
pentingnya peranan Petrus sebagai gembala dikaitkan dengan kasih dan kesediaan
untuk menyerahkan nyawanya bagi domba-dombanya (Yoh. 21:18-19). Gembala
ideal haruslah yang kuat, rela berkorban dan tidak mementingkan diri sendiri.
Panggilan menjadi gembala adalah tugas mulia. Perjanjian Lama berulang-
ulang melukiskan Allah sebagai Gembala Israel (Kej. 49:24; Mzm. 23:1; 80:2; Yeh.
34:11-16). Gembala ideal juga memiliki kelemahlembutan dalam mengasuh
domba-dombanya (Yes. 40:11), tetapi kadang-kadang membina kawanan
dombanya dengan kemarahan, lalu dengan kasih mengumpulkan kembali (Yer.
31:10). Dalam Perjanjian Baru tugas Mesias adalah menjadi Gembala, bahkan
Gembala Agung (Yoh. 10:1-21; Ibr. 13:20; 1Ptr. 2:25; 5:4). Tugas mulia itu, kini
dilanjutkan oleh gembala-gembala terpilih yang atas nama Allah menggembalakan
kawanan domba Allah. Kasih dan kerelaan untuk berkorban bagi domba-domba
menjadi syarat mutlak dan tanda-tanda seorang gembala baik.
b. Kesejatian Petrus untuk mengikuti Yesus sampai mati: Yoh. 21:18-19

Peristiwa mengharukan ini, telah memulihkan kembali relasi kasih antara


Petrus dan Tuhan. Kini kewibawaan Petrus sebagai batu karang diteguhkan
kembali oleh Yesus. Dengan ini Petrus mendapatkan kembali kepercayaan dirinya
sebagai batu karang, nama baru yang telah diterima langsung dari Tuhan sejak
awal menjadi murid-Nya (Yoh. 1:42). Petrus, nama ideal yang dahulu menyiratkan
harapan adanya perubahan hubungannya dengan Yesus, kini telah menjadi sebuah
kenyataan: “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu bahwa aku
mengasihi Engkau” (Yoh. 21:17). Impian perubahan hubungan baru dengan Yesus,
dengan memulai suatu hidup yang baru dan menjadi orang baru, sehingga
mendapatkan nama baru Petrus sejak awal perkenalan dengan Yesus, kini terbukti
sudah: “Gembalakanlah domba-domba-Ku” (Yoh. 21:15-17). Benar apa yang dilihat
Yesus dalam diri Petrus, sejak pandangan pertama, yang bukan hanya sebatas
seorang nelayan dari Galilea, tetapi seorang yang bisa dijadikan batu alas bagi
bangunan Gereja-Nya.
Maka, percakapan Petrus dengan Yesus yang terjadi dalam kesempatan
penampakan terakhir ini, sesungguhnya menjadi momentum terindah untuk
menegaskan kebenaran Sabda Yesus yang diucapkan kepada Petrus pada jumpa
pertama mereka di Galilea (Yoh. 1:41-42). Ternyata, nama baru itu kini terjawab
dengan kesaksian iman Petrus yang kokoh akan Yesus pada jumpa terakhir mereka
di Galilea, yang akan menjadi dasar kesaksian iman Gereja sepanjang zaman:
“Engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan
membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki” (Yoh. 21:18). Dengan kata-
kata ini, Yesus menunjukkan bagaimana Petrus akan mati dan memuliakan Allah,
artinya, mati sebagai martir suci, mati sebagai saksi iman. Ketika Injil ini ditulis,
kematian Petrus sudah menjadi kenyataan. Seperti Tuhannya, Petrus telah
mengulurkan tangannya (artinya disalibkan) di bukit Vatikan. Nomen est omen,
(bah. Latin), nama adalah tanda.
Simon mendapat nama baru kephas (Aram) atau Petros (Yunani) yang berarti
batu karang atau batu besar. Ia termasuk dalam kelompok murid-murid pertama
yang dipanggil oleh Yesus. Ia selalu disebut pertama dalam urutan murid-murid
Yesus dan termasuk salah satu dari tiga murid Yesus terdekat dan terpercaya:
Petrus, Yakobus dan Yohanes (Mrk. 5:37; 9:2; 14:33). Tindakan pelayanannya selalu
didorong oleh gelora hatinya yang berkobar-kobar (Mat. 14:28; Mrk. 14:29; Luk.
5:8; 21:7) dan sering bertindak sebagai juru bicara dari kelompok keduabelasan
murid Yesus (Mat. 15:15; 18:21; Mrk. 1:36; 8:29; 9:5; 10:28; 11:21; Luk. 5:5; 12:41;
Yoh. 6:68-69). Karena suaranya lebih lantang dari murid-murid yang lain, maka
kesetiaan dan cintanya yang tersembunyi di lubuk hatinya menjadi terungkap dan
bergema besar, pun dosa dan kelemahannya yang sesungguhnya tersembunyi rapi
di belakang layar menjadi kentara dan nyata. Sebagai rasul agung, Petrus
dikunjungi dan disapa secara pribadi oleh Tuhan yang bangkit (Luk. 24:34; Yoh.
21:15-19; 1Kor. 15:5).

3. Amanat

Perjumpaan terakhir dengan Tuhan yang bangkit, merupakan kesempatan


terindah bagi Petrus untuk memulihkan kembali hubungannya dengan Tuhan
sesudah melakukan perbuatan dosa penyangkalan. Pernyataan penyangkalan
Petrus tiga kali, kini diimbangi dengan tiga kali pernyataan kasihnya terhadap
Yesus. Inilah ungkapan penyesalannya yang sempurna dan juga sekaligus
pembaharuan kaul kasih setianya total kepada Yesus. Dengan jalan ini hubungan
Petrus dan Tuhan bersatu kembali. Martabat kesaktian batu karang yang
dianugerahkan kepada Petrus di awal perjumpaan kemuridannya, yang nyaris
hancur karena kesalahan besar tiga kali menyangkali Tuhan di saat-saat puncak
karya keselamatan-Nya, kini digemakan kembali pada jumpa terakhir mereka.
Inilah cara Tuhan mencintai domba-domba-Nya yang hilang dan metode
mempersiapkan gembala-gembala yang baik bagi kawanan domba-Nya. Juga
menjadi cara Gereja mencintai sesama murid-murid Tuhan yang hilang tersesat,
metode untuk mempersiapkan gembala-gembala baik bagi Gereja.
Peristiwa ini juga mengungkapkan keyakinan kristiani bahwa panggilan
menjadi gembala adalah tugas mulia. Perjanjian Lama berulangkali melukiskan
Allah sebagai Gembala Israel. Tiga kali Yesus memberi perintah: “Gembalakanlah
domba-domba-Ku” (Yoh. 21:15-17) untuk menyatakan pentingnya peranan Petrus
sebagai gembala dikaitkan dengan kasih dan kesediaan untuk menyerahkan
nyawanya bagi domba-dombanya (Yoh. 21:18-19). Gembala ideal haruslah yang
kuat, rela berkorban, dan tidak mementingkan diri sendiri. Gembala ideal juga
memiliki kelemah-lembutan dalam mengasuh domba-dombanya (Yes. 40:11),
tetapi kadang-kadang membina kawanan dombanya dengan kemarahan, lalu
dengan kasih mengumpulkan kembali (Yer. 31:10).

Anda mungkin juga menyukai