TEMA UMUM
MENJADI MURID YESUS YANG MILITAN
TUJUAN
SUPAYA KITA MENYADARI BAHWA KITA HARUS MENJADI MURID YESUS YANG MILITAN
MINGGU I
Pokok Pikiran:
1. Iman warisan (iman sebagai pemberian dan belum menjadi milik).
2. Beriman di tengah mayoritas (penghayatan iman secara massal, iman musiman: Natal,
Paskah, penerimaan sakramen, iman KTP).
3. Beriman “selebritis” (bertugas tetapi tidak fokus dalam perayaan).
4. Iman situasional: iman reaktif.
Kitab Suci:
Yoh. 6:60-71: Murid-murid yang mengundurkan diri di Galilea.
1. Pengantar:
Yoh. 6:1-71 adalah episode ketiga dari Kitab Tanda yang berbicara tentang Yesus
sebagai Roti Hidup. Episode ini mencakup empat peristiwa, yakni: penggandaan roti
(Yoh. 1:1-15); Yesus berjalan di atas air (Yoh. 6:16-21); wejangan tentang Roti Hidup
(Yoh. 6:22-59; dan reaksi murid-murid Yesus (Yoh. 6:60-71). Dalam wejangan tentang
Roti Hidup, Yesus telah menyatakan bahwa tubuh-Nya benar-benar makanan dan
darah-Nya benar-benar minuman bagi hidup kekal. Penyataan Yesus ini berdampak
buruk terhadap murid-murid-Nya. Banyak murid yang terguncang imannya, karena tak
sanggup menerima perkataan itu, lalu mereka pun mengundurkan diri dan tidak lagi
mengikuti Dia. Reaksi berbeda ditunjukkan Petrus atas nama kesebelas temannya,
mereka tetap percaya dan setia mengikuti Yesus.
Ayat-ayat terakhir perikop ini (Yoh. 6:67-69) meringkaskan kritikan atas reaksi
orang banyak dalam Yoh. 6:41-43.52, untuk melukiskan krisis iman yang semakin
berkembang di antara murid-murid Yesus. Inilah bagian tersulit dalam Injil ini, karena
berkaitan langsung dengan peristiwa tragis (pemberitaan tentang salib), sebab di
dalamnya terdapat permulaan dari kesudahan-Nya. Jika hampir dalam setiap
kesempatan pewartaan-Nya, Yesus selalu dikerumuni banyak orang, namun kini,
dengan peristiwa ini suasananya menjadi berubah. Mulai timbul kebencian terhadap
Yesus yang kelak akan memuncak pada peristiwa salib. Perikop ini menampilkan tiga
kelompok murid yang menunjukkan sikap dan tindakan yang berbeda sebagai reaksi
atas pewartaan tentang salib dan kematian-Nya.
2. Ulasan
a. Reaksi banyak murid: gambaran sikap dan tindakan murid durhaka (Yoh. 6: 60-
66).
b. Reaksi Petrus: gambaran sikap dan tindakan murid yang militan (Yoh. 6:67-69).
Reaksi keduabelas murid yang ditunjuk Yesus, berbeda dengan reaksi murid-
murid kebanyakan. Banyak murid yang mengundurkan diri dan pergi meninggalkan
Yesus itu disaksikan juga oleh kedua belas murid itu. Terhadap kenyataan itu, Yesus
pun bertanya kepada murid-murid-Nya: “Apakah kamu tidak mau pergi juga?” (ay.
67). Yesus menggugat dan menantang keduabelas murid-Nya. Apakah mereka juga
mengambil sikap yang sama dengan orang banyak yang pergi meninggalkan-Nya
ataukah tetap setia percaya dan mengikuti Dia?
Simon Petrus sebagai juru bicara dengan tegas menyatakan sikap mereka:
“Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup
yang kekal; dan kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah yang kudus
dari Allah” (ay. 68-69). Ada dua argumen yang diungkap Petrus untuk tetap
percaya dan setia mengikuti Yesus. Pertama, karena perkataan Yesus adalah
perkataan hidup yang kekal. Dengan jawaban itu, Petrus menegaskan hakikat
keilahian Yesus sebagai Firman Allah yang telah menjadi manusia. Maka, semua
yang diajarkan dan dilakukan Yesus menghantar orang untuk percaya kepada-Nya
dan dengan demikian memperoleh hidup yang kekal. Kedua, karena Yesus adalah
yang Kudus dari Allah. Kata “kudus” berarti dikhususkan untuk Allah. Yesus
menyebut diri-Nya sebagai pribadi yang “dikuduskan oleh Bapa dan yang telah
diutus-Nya ke dalam dunia” (Yoh. 10:36), Dia Anak Allah. Misi Yesus ke dunia
adalah melakukan kehendak Bapa, dan selama hidup-Nya Ia membaktikan diri-Nya
untuk menyelesaikan pekerjaan Allah (Yoh. 4:34), yakni mengasihi manusia dan
mengaruniakan hidup abadi (Yoh. 3:16).
Setelah sekian lama hidup bersama Yesus, para murid percaya dan tahu
bahwa Yesus adalah yang kudus dari Allah. Pengalaman inilah yang membawa
mereka pada pengakuan iman akan Yesus dan menjadi dasar bagi mereka untuk
tetap memilih selalu bersama dan mengikuti Yesus. Bagi mereka, tidak mungkin
untuk tidak percaya kepada Yesus dan meninggalkan Dia: “Kepada siapa kami akan
pergi?” Tidak ada yang lebih utama dan unggul untuk disembah, selain Yesus.
Hanya Yesuslah yang dapat menganugerahkan hidup kekal, karena Dialah Yang
kudus dari Allah.
Petrus menjadi gambaran murid Yesus yang militan. Bagi Petrus hanya satu
kenyataan, yaitu bahwa tidak ada orang lain lagi yang kudus seperti Yesus. Karena
hanya Yesus sajalah yang memiliki perkataan-perkataan yang mengandung roh dan
hidup. Inilah pernyataan iman dan kesetiaan Petrus yang didasarkan pada
hubungan dan pengenalan pribadinya dengan Yesus. Petrus percaya bahwa ada
sesuatu yang hanya ada dalam diri Yesus, yakni roh dan hidup. Maka demi itu, ia
bersedia untuk mati. Inilah beriman yang militan, yakni beriman dengan cerdas,
tanggap, tangguh, dan misioner. Iman sesungguhnya adalah suatu jawaban pribadi
yang lahir dari batin. Jawaban itu adalah kesetiaan dan kasih yang keluar dari hati
manusia, bukan karena ada apa-apanya, tetapi harus menerima apa adanya
dengan sebulat hati.
c. Reaksi Yudas: gambaran sikap dan tindakan murid pengkhianat (ay. 70-71).
3. Amanat
Kehidupan murid-murid zaman Yesus sesungguhnya adalah gambaran
kehidupan Gereja, umat Allah sepanjang zaman: dulu, sekarang dan yang akan
datang. Tiga tipe murid yang ditampilkan dalam perikop ini merupakan gambaran
kenyataan kehidupan Gereja. Ada banyak murid durhaka, yang bersembunyi di
balik kekuatan mayoritas agama, yang terkesan kuat dan besar. Mereka ini
cenderung bergaya hidup glamor, yang bersemangat mengejar keenakan,
kesenangan dan kepuasan diri atas nama agama. Namun kenyataannya, hampir
semua mereka tidak tahan uji terhadap tantangan salib. Mereka gampang berubah
sikap, dari simpati menjadi antipati; dari percaya menjadi tidak percaya. Mereka
pun bisa beramai-ramai mengundurkan diri dan meninggalkan Yesus, apabila
bayang-bayang salib menghantui hidup mereka. Mereka adalah manusia
bermental enak, habis manis sepah dibuang. Ada juga tipe murid pengkhianat.
Seperti Yudas Iskariot, murid yang mengkhianati Yesus. Pada umumnya mereka itu
memikiki karakter mata duitan. Dalam kehidupan bersama, mereka selalu bersikap
arogan terhadap sesamanya: menipu, mencuri dan merampok kekayaan bersama
atas nama Tuhan dan agama. Bahkan paling sadis lagi, mereka merperdagangkan
Tuhan untuk mendapat segenggam kekayaan, kuasa dan kenikmatan diri. Namun
di sisa hidupnya, mereka terbilang sebagai orang-orang terkutuk. Segenggam
kekayaan, kuasa dan kenikmatan, ternyata tak sebanding dengan segudang duka
dan derita yang mengiringi langkah mereka hingga ke abadian.
Tipe terakhir adalah Murid yang militan. Mereka yang percaya bahwa Yesus
adalah yang kudus dari Allah. Mereka merasakan dan mengalami bahwa Yesus
adalah harta karun dan mutiara terindah yang mereka temukan. Pengenalan inilah
yang membawa mereka pada pengakuan iman akan Yesus dan menjadi dasar
baginya untuk tetap memilih selalu ada bersama dan mengikuti Yesus. Bagi mereka
tidak mungkin untuk tidak percaya dan meninggalkan Yesus. Tidak ada yang lebih
utama dan unggul yang layak disembah dan diikuti, selain Yesus. Hanya Yesuslah
yang dapat menganugerahkan hidup kekal. Murid yang militan adalah dia yang
memiliki kekuatan iman dan kesetiaan yang didasarkan pada hubungan dan
pengenalan pribadinya dengan Yesus. Ia percaya bahwa ada sesuatu yang terdapat
di dalam diri Yesus, yakni roh dan hidup. Demi inilah mereka lebih memilih untuk
bersedia mati dari pada murtad. Inilah militansi iman seorang murid Yesus. Iman
sesungguhnya adalah jawaban pribadi yang lahir dari batin. Jawaban itu adalah
kesetiaan dan kasih yang keluar dari hati yang percaya. Masih adakah iman seperti
ini kita jumpai sekarang dan di sini?
MINGGU II
Pokok Pikiran:
1. Siapa itu murid Yesus:
Panggilan secara pribadi tetapi penghayatan secara bersama-sama (iman personal
dan komunal).
Gambaran atau ciri-ciri sebagai seorang murid Yesus: mengambil bagian dalam tri
tugas Yesus (nabi, imam, raja) dan panca tugas Gereja (leitourgia, kerygma,
diakonia, koinonia, martyria).
2. Militansi seorang murid Yesus.
Beriman yang tanggap dan beriman dalam konteks (gambaran murid Yesus yang
militan: cerdas, tanggap, tangguh, dan misioner).
Kitab Suci:
Mat 5:13-16: Garam dunia dan terang dunia.
1. Pengantar
Perikop Mat. 5:13-16 tentang garam dunia dan terang dunia punya
hubungan erat dengan Sabda Bahagia dalam Mat. 5:2-12. Artinya, jika murid-murid
Yesus yang memiliki kualitas diri seperti yang diidealkan dalam Sabda Bahagia itu,
maka mereka itu dapat diumpamakan seperti garam dunia dan terang dunia. Dalam
konteks Sabda Bahagia, unsur garam dan terang, sesungguhnya menganalogikan
dua hal ini, yakni penghayatan hukum kasih di bumi dan pengaruh murid Yesus di
tengah dunia. Hanya kasih yang mendekatkan manusia dengan Allah dan manusia
dengan manusia. Maka di mana ada kasih, di situ ada Allah dan kerajaan-Nya.
Melalui perbuatan-perbuatan kasih, para murid Yesus seharusnya
mempunyai pengaruh atas dunia agar menjadi dunia semakin baik. Perbuatan-
perbuatan kasih oleh murid-murid Yesus membuat para penghuni dunia merasa
aman dan tenteram. Namun jika para murid Yesus gagal dalam misi ini, maka
mereka tidak berguna seperti garam yang tidak asin lagi atau pelita yang cahayanya
disembunyikan di bawah gantang. Analogi garam dan terang dunia ini
mengungkapkan kesejatian (militansi) murid-murid Yesus, meskipun dihina dan
dianiaya mereka tetap setia untuk menjadikan umat manusia bernilai di hadapan
Allah (garam bumi) dan mencahayakan dunia (terang dunia) dengan terang Sabda
Allah yang disaksikan dengan kata dan teladan hidup.
2. Ulasan
3. Amanat
Garam yang murni tidak pernah menjadi tawar. Dengan anologi garam ini,
Yesus mengajarkan kepada kita suatu pengetahuan spiritual, yakni kebijaksanaan
sebagai “jalan hidup” (way of life) supaya kita dapat mempertahankan hidup di
dunia ini dengan sikap iman yang militan, yakni beriman yang cerdas, tanggap,
tangguh, dan misioner. Apakah kekristenan sudah menjadi cara hidup kita, ataukah
masih sebatas nama yang kita sandang?
Pokok Pikiran:
1. Dasar-dasar panggilan (baptis, krisma dan ekaristi).
2. Dokumen Ajaran Sosial Gereja.
3. Militansi kedalam dan keluar (menjadi garam dan terang dunia):
Terlibat dalam tata dunia (100% Katolik, 100% Indonesia).
Dialog kehidupan (lintas suku, agama, ras, antar golongan dan budaya).
Kitab Suci:
Yoh. 1:35-51: Murid-murid Yesus yang pertama.
1. Pengantar
Bab pertama Injil Yohanes (1:1-51) berfungsi sebagai pengantar untuk seluruh
Injilnya ini. Pada bagian pengantar ini, Yohanes memperkenalkan kepada para
pembaca pokok-pokok ajarannya berupa gagasan-gagasan teologis, yakni apa yang ia
percaya mengenai Allah dan Yesus serta karya pelayanan-Nya.
Berbeda dengan penginjil sinoptik (Matius, Markus, dan Lukas), Yohanes tidak
memulai Injilnya dengan menampilkan kisah tentang kelahiran Yesus dan masa
kanak-kanak-Nya, tetapi membukanya dengan sebuah madah tentang Firman.
Firman Allah yang telah menjadi manusia dan diam di antara manusia, gagasan
tentang misteri inkarnasi. Pada bagian pengantar ini juga, Yohanes menyampaikan
beberapa kesaksian sebagai pokok-pokok ajarannya yang akan diuraikannya dalam
“Kitab Tanda” (Yoh. 2:1-12:50) dan “Kitab Kemuliaan” (Yoh. 13:1-20:31).
Kisah panggilan murid-murid Yesus yang pertama (Yoh. 1:35-51) sebagai
penutup bagian pengantar Injil ini pun, disajikan dengan cara yang berbeda pula
dengan para penginjil sinoptik, di mana Yesus secara bebas dan langsung memilih
dan memanggil murid-murid-Nya. Kisah panggilan murid-murid pertama dalam
Yohanes didahului dengan dua cerita kesaksian, yakni kesaksian Yohanes Pembaptis
tentang dirinya sendiri (Yoh. 1:19-28) dan kesaksian Yohanes Pembaptis tentang
Yesus (Yoh. 1:29-34). Dengan cara ini pula, Yohanes menjelaskan panggilan murid-
murid Yesus yang pertama.
2. Ulasan
Dalam ayat-ayat ini, pergerakan perjalanan pastoral Yesus berubah arah, dari
selatan (Yudea) menuju ke utara (Galilea). Di Galilea, mungkin tepatnya di Kana,
Yesus bertemu dan memanggil Filipus. Sama seperti Andreas, Filipus juga tidak
dapat menyimpan kabar baik itu. Ia segera pergi menemukan temannya Natanael
(Aram, pemberian Allah) dan mengatakan telah bertemu dengan Mesias yang
dijanjikan. Mesias itu adalah Yesus dari Nazaret (Aram, natserat yang berarti
menara jaga). Natanael berasal dari Kana, salah satu kota yang juga terdapat di
wilayah Galilea, sama seperti Nazaret. Persaingan antar tempat, atau desa, atau
kota merupakan kenyataan sosial yang menonjol di zaman itu. Reaksi Natanael
terkesan menganggap rendah Nazaret, bukanlah suatu kota yang pantas
melahirkan Mesias. Namun dengan semangat pantang menyerah, Filipus mengajak
Natanael: “Mari dan lihatlah” (Yoh. 1:47). Meskipun terkesan kalah dalam
perdebatan dengan Natanael, namun Filipus tidak kehilangan cara untuk
meyakinkan Natanael, yakni memperhadapkannya langsung dengan Yesus agar
menyaksikan sendiri kehebatan Yesus.
Cara Filipus inilah mengungkapkan kenyataan dalam kehidupan beriman,
bahwa pada umumnya yang menyebabkan orang mengimani Kristus bukan karena
ajaran yang hebat atau kotbah-kotbah filosofis dengan argumen yang brilyan.
Orang percaya karena ditarik oleh Allah sendiri; kontak dan pengalaman pribadinya
dengan Tuhan. Maka, argumentasi yang paling tepat untuk membuat orang
percaya kepada Kristus adalah ajakan: mari dan lihatlah. Tentu saja sebelum
mengajak orang untuk berhadapan langsung dengan Tuhan, si pengajak sudah
mengalami dan mengenal Tuhan secara pribadi juga.
Sama seperti Yesus memandang (Yunani, emblepein) Petrus, kini Dia
memandang Natanael langsung ke dalam hatinya. Yesus mengenal Natanael:
“Lihat, inilah seorang Israel sejati, tidak ada kepalsuan di dalamnya!” (Yoh. 1:47).
Ungkapan “Israel sejati” langsung terarah pada kualitas beriman sebagaimana yang
disaksikan dalam Mzm. 32:2: “Berbahagialah manusia, yang keselamatannya tidak
diperhitungkan Tuhan dan yang tidak berjiwa penipu”. Juga yang ditandaskan
dalam Yes. 52:9: “Ia tidak berbuat kekerasan dan tipu tidak ada di dalam
mulutnya”. Singkat kata, Israel sejati adalah mereka yang hidup benar dan jujur di
hadapan Allah.
Natanael tersentak dan heran atas pernyataan Yesus tentang dirinya, sambil
bertanya bagaimana Yesus mengenali dirinya begitu sempurna, “Bagaimana
Engkau mengenal aku” (Yoh. 1:48). Terhadap pertanyaan Natanael itu, Yesus
langsung menunjukkan sebuah kenyataan: “Sebelum Filipus memanggil engkau,
Aku telah melihat engkau di bawah pohon ara” (Yoh. 1:48). Bagi orang Yahudi,
pohon ara dan pohon anggur selalu merupakan simbol perdamaian (Bdk. 1Raj.
4:25; Mi. 4:4). Pohon ara yang rindang juga menjadi kebiasaan bagi orang Yahudi
untuk duduk bersemadi, membaca, merenungkan Kitab Suci dan berdoa. Maka
“duduk di bawah pohon ara” berarti mereka yang dengan tekun berdoa dan
membaca Kitab Suci.
Natanael bertambah heran karena merasa bahwa Yesus mengetahui pikiran
dan isi hatinya yang terdalam saat itu. Ia merasa Yesus mengetahui tentang
impian-impiannya, tentang doa-doanya dan bahkan tentang kerinduan yang ia
rahasiakan, yang tidak terungkap dengan kata-kata. Orang ini sanggup mengetahui
isi jiwaku yang bisu. Sungguh benar, Dia adalah Mesias. Dia yang dijanjikan dan
telah diurapi Allah. Dalam keharuan atas pengalaman rohani yang luar biasa itu,
Natanael membenarkan kesaksian Filipus tentang Yesus sambil berkata: “Rabi,
Engkau Anak Allah, Engkau Raja orang Israel” (Yoh. 1:49). Akhirnya Natanael untuk
selamanya menyerahkan dirinya kepada Dia yang telah membaca, mengerti dan
memuaskan isi hatinya.
Atas kesejatian iman Natanael itu, Yesus memberikan peneguhan rohani,
dengan mengacu pada sebuah kisah tua tentang Yakub di Betel yang melihat
tangga emas yang menjulang ke langit (Kej. 28:12-13). Yesus menjanjikan
kenyataan yang jauh lebih agung dan semarak kepada Natanael: “Aku berkata
kepadamu, sesungguhnya engkau akan melihat langit terbuka dan malaikat-
malaikat Allah turun naik kepada Anak Manusia” (Yoh. 1:51). Kini Natanael
percaya, bahwa hanya Yesuslah jalan dan menjadi tangga bagi jiwa-jiwa untuk naik
menuju surga. Natanael adalah gambaran Israel sejati yang mendobrak ikatan
kebangsaan dan segala prasangka buruk dalam sikap fatal-fanatik, dan
menyerahkan diri kepada Yesus. Inilah militansi beriman yang benar: beriman
dengan cerdas, tanggap, tangguh, dan misioner.
3. Amanat
Allah selalu mengambil langkah pertama. Allah yang memanggil dan memilih
kita dan bukan sebaliknya kitalah yang memilih Allah. Seperti kata Santo Agustinus:
“Kita tidak pernah akan mulai mencari Allah, kecuali kalau Allah telah menemukan
kita lebih dahulu”. Namun, dorongan sikap ingin tahu sebagai ungkapan hasrat
mencari Allah harus menjadi tanda mutlak orang terpanggil: “Dimanakah Engkau
tinggal?” Pertanyaan ini mengekspresikan hasrat orang-orang terpanggil, yang
tidak ingin berbicara dengan Yesus hanya di jalan dan sambil lalu saja. Tetapi ingin
bergaul dengan Yesus lebih dalam. Menjadi murid Yesus tidak sekedar merasa puas
dengan percakapan sepintas menurut kata orang, melainkan harus tinggal dan
bergaul bersama Dia dan menjadi sahabat sejati-Nya. Orang-orang terpanggil
adalah mereka yang terpilih menjadi murid Yesus, bukan untuk mengejar
kedudukan dan kehormatan, tetapi bagaimana sesungguhnya harus mengikuti
Yesus dan melayani Dia sebaik mungkin. Apakah kita seperti Andreas yang tidak
mencari kehormatan dan kedudukan, tetapi selalu menjadi murid yang rendah
hati, setia dan tulus ikhlas mengikuti dan melayani Dia?
Di sini juga kita melihat dalam tradisi Kitab Suci, tentang makna pergantian
nama dari orang-orang terpanggil untuk menyatakan adanya perubahan hubungan
orang tersebut dengan Allah. Tatkala seseorang memasuki hubungan baru dengan
Allah, ia memulai suatu hidup yang baru dan menjadi orang baru, sehingga ia
mendapatkan sebuah nama yang baru pula. Dalam pembaptisan, kita pun telah
menerima nama baru, nama baptis untuk menyatakan adanya perubahan
hubungan kita dengan Yesus. Rahmat sakramen baptis telah menjadikan kita
manusia baru dan memulai suatu hidup baru dalam Yesus. Sudah sejauh mana kita
mengartikan nama baru, nama baptis kita dengan menunjukkan kualitas
perubahan hubungan kita dengan Allah?
Kita belajar dari pengalaman panggilan dan kesejatian iman Natanael. Ia
percaya dan mengikuti Yesus, bukan karena kata Filipus, melainkan atas dasar
pengenalan pribadinya dengan Yesus. Ia sadar bahwa Yesus lebih dahulu
mengenalnya dengan sempurna. Ia merasakan bahwa Yesus mengetahui pikiran
dan isi hatinya yang terdalam dan semua impian-impian serta doa-doanya. Bahkan
ia merasakan bahwa Yesus tahu tentang kerinduan yang ia rahasiakan, yang tidak
terungkap dengan kata-kata. Ia percaya bahwa Yesus mengetahui isi jiwanya yang
bisu. Yesus adalah sungguh Mesias, Dia yang dijanjikan dan telah diurapi Allah.
Pengalaman rohani inilah yang menghantar Natanael untuk selamanya
menyerahkan dirinya kepada Yesus yang telah membaca, mengerti dan
memuaskan isi hatinya. Natanael adalah gambaran Israel sejati yang mendobrak
ikatan kebangsaan dan segala prasangka buruk yang terpenjara dalam sikap fatal-
fanatik dan menyerahkan diri kepada Yesus. Inilah militansi iman dari seorang
terpanggil. Adakah kita temukan iman sejati seperti ini dalam diri murid-murid
Tuhan sekarang dan di sini? Apakah kita masih merasakan dan saksikan getaran
iman sejati ini pada diri dan hidup orang-orang pilihan Tuhan: para imam,
biarawan-biarawati masa kini? Jika tidak ada lagi, apakah kita masih merasa
nyaman untuk tinggal dalam kebanggaan semu sebagai murid-murid Tuhan dan
orang-orang terpanggil? Ataukah kita berbangga dengan sikap fanatik lantaran
merasa memiliki dukungan kekuatan mayoritas?
MINGGU IV
Tujuan : Supaya kita menyadari adanya tantangan menjadi murid Yesus yang
militan.
Pokok Pikiran:
1. Tantangan dari DALAM:
Beda pemahaman kita tentang toleransi, kebebasan beragama, radikalisme, dan
fanatisme.
Lemahnya iman dalam keseharian hidup.
Kenyamanan dalam mayoritas.
Tekanan ekonomi.
Kitab Suci:
2 Mak 7:1-41: Tujuh orang bersaudara serta ibunya disengsarakan.
Catatan: bacaan ibadat memakai rumusan yang agak singkat: 2 Mak 1:1-19, 30-41.
1. Pengantar
Fokus perhatian Kitab 2 Makabe adalah kenisah Yerusalem. Kitab 2Makabe
meliputi periode zaman Helenis ketika kenisah mengalami profanisasi, penyucian
dan restorasi dari pengaruh tekanan politik yang dijalankan oleh raja Antiokhus IV
dan anaknya. Kenisah sebagai simbol dari apa yang terjadi pada umat Israel, yakni
penderitaan dan penganiayan, diikuti pembebasan dan restorasi. Tekanan ajaran
teologi Kitab ini adalah bahwa dosa menyebabkan hukuman, tetapi pertobatan
mendatangkan keselamatan. Dosa berarti kegagalan menepati hukum dan
menodai hubungan perjanjian dengan Allah dan umat-Nya.
Gagasan teologis tersebut dituangkan dalam kisah kemartiran tujuh
bersaudara bersama ibu mereka. Kisah ini menjadi contoh ketahanan dan
kesetiaan (mitansi iman) terhadap hukum agama, yang secara langsung kepada
Tuhan sendiri. Penganiayaan dilihat sebagai jalan Allah untuk menyadarkan dan
membersihkan umat dari dosa. Keberanian dan kerelaan menanggung
penganiayaan demi iman, bahkan sampai mengorbankan hidup, akan berdampak
bagi pentingnya pertumbuhan dan pembaharuan iman bangsa Israel. Darah para
martir adalah benih-benih iman. Kisah kemartiran tujuh bersaudara bersama ibu
mereka ini, ditempatkan sebagai akhir dari bagian kedua kitab ini, yang menyajikan
tema pencemaran dan penganiayaan, pengejaran agama oleh raja Antiokhus
Epifanes.
2. Ulasan
a. Kematian sebagai martir dari sebuah keluarga Yahudi sejati: 2 Mak. 7:1-41
c. Kesejatian iman dan persembahan cinta sang bunda yang sempurna kepada
Allah: 2 Mak. 7:20-29
Pada akhir kisah ini, penulis kitab 2Makabe terutama mengagumi sikap
iman ibu dari ketujuah putra itu. Sungguh luar biasa ibu itu. Dengan kasih dan
kekuatan cinta keibuannya, ia mendorong dan memberi semangat kepada
putra-putranya. Dengan sangat mengagumkan ia mengungkapkan kesaksian
imannya akan kekuasaan Allah yang menciptakan dan memulihkan kehidupan.
Jika Allah dapat membuat semua yang ada dan hidup dari ketiadaan, maka Dia
pulalah yang berkuasa memulihkan kehidupan itu sendiri.
Dengan tekad keibuannya yang kuat seperti baja, ibu itu menyaksikan
dengan mata kepalanya sendiri ketujuh putranya disiksa dengan kejam dan
dibunuh. Kesudahan kisah ini, ibu itu pun mati seperti ketujuh putranya itu
(2Mak. 7:41). Sungguh luar biasa iman ibu itu. Ibu adalah manusia paling
perkasa. Kehebatan seorang anak sangat besar bergantung kepada kekuatan
cinta ibunya. Bandingkan Luk. 11:27, “Berbahagialah ibu yang telah
mengandung Engkau dan susu yang telah menyusui Engkau”. Maka tidaklah
mengherankan jika orang banyak mengatakan: surga ada di telapak kaki ibu.
3. Amanat
Kisah tujuh bersaudara beserta ibunya yang disengsarakan ini, menjadi
contoh sikap beriman yang militan, yakni beriman yang cerdas, tanggap, tangguh
dan misioner. Dengan kualitas beriman seperti ini, seseorang akan merasa
berbahagia bila menderita demi iman: “Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu
dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat” (Mat. 5:11).
Penganiayaan demi iman bukan sebuah kefatalan, tetapi dianggap sebagai
anugerah untuk mengambil bagian dalam kekudusan Allah. Keberanian menerima
celaan, penganiayaan dan finah demi iman dianggap sebagai pahala dan
kemartiran diterima sebagai mahkota. Darah para martir adalah benih-benih iman.
Tekanan politik, ekonomi, budaya dan agama adalah realita sosial yang ada
dan terus ada dalam kehidupan orang beriman sejati. Sikap iman yang militan,
yakni beriman cerdas, tanggap, tangguh, dan misioner adalah kekuatan untuk
tetap teguh dan berkanjang dalam iman. Sikap iman yang demikian membuat
seseorang berani memilih mati demi iman daripada melepaskan imannya.
Penderitaan dilihat sebagai akibat dosa dan kesalahan masa lalu. Sebagai
mana tekanan ajaran teologi Kitab ini adalah bahwa dosa menyebabkan hukuman
tetapi pertobatan mendatangkan keselamatan. Dosa berarti kegagalan menepati
hukum dan menodai hubungan perjanjian dengan Allah dan umat-Nya. Maka
penderitaan karena setia hidup menurut hukum-hukum Tuhan menjadi tanda
berkat yang mendatangkan pertobatan dan pengampunan. Jangan takut bila kita
menanggung penderitaan demi iman. Karena dengan cara itu, kita mewartakan
pertobatan dan pembaharuan diri bagi banyak orang.
MINGGU V
Tema : Bersama Yesus yang bangkit, kita menjadi murid yang militan
Tujuan : Supaya kita menyadari bahwa bersama Yesus yang bangkit kita harus
menjadi murid-Nya yang militan
Pokok Pikiran:
1. Mengenal Tuhan yang bangkit: dalam sabda dan ekaristi, sesama dan lingkungan.
- Pembentukan murid yang militan (semakin cerdas, tangguh, dan misioner).
2. Rekonsiliasi (kembali ke Galilea) dan persatuan. Kembali ke komunitas awal:
- Setia kawan / solidaritas
- Beriman yang membumi
- Menyatu dengan budaya
- Beriman yang tangguh
3. Perutusan:
- Murid Yesus yang militan dalam panca tugas Gereja (aplikasi).
Kitab Suci:
Yoh. 21:15-19: Gembalakanlah domba-domba-Ku.
1. Pengantar
Yoh. bab 21 adalah tambahan yang disisipkan kemudian, setelah Injil ini
ditutup dalam Yoh. 20:31: “Tetapi semua yang tercantum di sini telah dicatat,
supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh
imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya”. Sebagai bab tambahan, penulis
berusaha untuk menghubungkan bab ini dengan bab-bab terdahulu dengan
sejumlah gagasan literer dan teologis kebangkitan. Ciri-ciri Yohanes dapat
ditemukan dalam bab ini, yakni: penangkapan ikan dan penampakan Yesus di
danau Tiberias (Yoh. 21:1-14); pengakuan Petrus dan pemberian mandat
kegembalaan (Yoh. 21:15-19); referensi terhadap posisi murid yang dikasihi (Yoh.
21:20-23); kata penutup kedua dan referensi kewibawaan Injil (Yoh. 21: 24-25).
Perikop Yoh. 21:15-19 ini, secara gamblang dan indah berbicara tentang
perjumpaan Petrus dan Tuhan sesudah bangkit. Pada perjumpaan ini, Yesus
memberikan kesempatan kepada Petrus untuk mengungkapkan penyesalan dan
pertobatannya dengan kasih, sebagai pemulihan hubungan dengan Tuhan sesudah
ia melakukan dosa, menyangkali Yesus tiga kali. Kisah ini ditutup mulia, dengan
pengukuhan mandat kegembalaan kepada Petrus dan pernyataan kesetiaan Petrus
dengan cara kematian kemartirannya sebagai sebagai ungkapan memuliakan Allah.
2. Ulasan
a. Tiga kali pengakuan Petrus, untuk menyeimbangkan tiga kali pengkhianatannya
terhadap Yesus: Yoh. 21:15-17.
3. Amanat