Anda di halaman 1dari 10

A.

Isu-isu Psikologis dan Penyakit Terminal

1. Staf Medis dan Pasien yang Sakit Terminal

Kematian pasien di rumah sakit seringkali dapat dipersonalisasi dan difragmentasi. Rumah sakit

sering mengalami kekurangan perawat dan staff khususnya di bagian bangsal rumah sakit,

ditambah dengan tidak mampunya semua staf dan perawat memberikan dukungan emosional

yang dibutuhkan oleh pasien. Selain ketidakmampuan memberikan dukungan emosional, aturan

rumah sakit yang membatasi jam membesuk dan jumlah pengunjung yang dapat tinggal bersama

pasien juga dapat mengurangi ketersediaan dukungan dari keluarga dan teman.

Nyeri adalah salah satu gejala utama dalam penyakit terminal. Di lingkungan rumah sakit yang

sibuk, kemampuan pasien untuk mendapatkan jumlah obat nyeri yang mereka butuhkan dapat

dikompromikan. Turk dan Feldman (Taylor, 2018) mengemukakan bahwa prasangka untuk

perawatan obat terhadap pasien dengan penyakit terminal masih sering dilakukan oleh para

perawat, sehingga pasien menghadapi risiko undermedikasi atau kurangnya obat yang diberikan

untuk mengurangi rasa nyeri mereka.

Pentingnya Staf Medis di Rumah Sakit untuk Pasien

Staf medis berperan penting bagi keberlangsungan hidup pasien di rumah sakit. Bantuan yang

sangat kecil misalnya keinginan pasien membalikkan badan di tempat tidur dan berbagai bantuan

fisik lainnya yang dibutuhkan pasien lebih sering diberikan oleh staf medis. Dokter biasanya

membantu pasien untuk mengurangi rasa sakit yang dirasakan, namun dukungan emosional lebih

sering ditunjukkan oleh para staf medis, khususnya bagi pasien yang tidak memiliki keluarga

atau teman. Bahkan, tidak dapat dipungkiri bahwa staf mungkin satu-satunya orang yang

mengetahui keadaan fisik pasien yang sebenarnya. Hal ini karena pasien merasa lebih dekat
dengan staf yang lebih sering mengunjunginya dibandingkan dokter. Oleh karena itu, staf medis

sesungguhnya adalah sumber informasi yang realistis mengenai keadaan pasien. Karena

kedekatannya dengan staf, bahkan ada pasien yang memberitahukan rahasianya kepada staf yang

berkaitan dengan penyakit yang dialami.

Risiko Perawatan Penyakit Terminal untuk Staf

Pasien yang menderita penyakit terminal membutuhkan perawatan yang lebih sulit, sehingga

tidak sedikit staf yang ingin menarik diri dari merawat pasien yang mengalami penyakit terminal.

Perawatan yang diberikan bersifat paliatif, yaitu perawatan yang bertujuan membuat pasien

merasa nyaman, bukannya perawatan kuratif, yaitu perawatan yang bertujuan untuk

menyembuhkan. Perawatan yang bersifat paliatif tersebut membuat staf medis merasa bahwa

pekerjaan mereka tidak menyenangkan karena yang dilakukan adalah demi kenyamanan pasien,

misalnya memberi makan, mengganti pakaian, sampai memandikan pasien. Staf medis bahkan

kelelahan karena harus mengawasi pasien meskipun pada akhirnya ada pasien yang dinyatakan

meninggal.

Dokter seringkali lebih menyediakan waktu untuk pasien yang dapat disembuhkan dibanding

dengan pasien yang sakit parah. Sehingga, banyak pasien penyakit terminal yang merasa

ditinggalkan bahkan tidak dilayani dengan baik. Oleh karena itu, meski singkat, dokter perlu

memberikan waktu secara teratur kepada pasien yang menderita penyakit terminal.

Mencapai Kematian yang Tepat

Psikiater Avery Weisman mengemukakan bahwa hal-hal berikut perlu diperhatikan oleh staf

medis yang dapat membantu pasien untuk menghadapi kematiannya.


 Informed consent - Pasien harus diberi tahu kondisi fisiknya dan perawatan yang dapat

diberikan sampai pada taraf tertentu.

 Safe conduct - Dokter dan staf lain harus bertindak sebagai panduan yang bermanfaat

bagi pasien untuk melalui tahap kehidupan yang baru dan menakutkan ini.

 Significant survival - Dokter dan staf medis lainnya harus membantu pasien

menggunakan sisa waktu sebaik mungkin.

 Anticipatory grief - Pasien dan anggota keluarganya harus dibantu dalam mengatasi rasa

kehilangan mengantisipasi timbulnya depresi.

 Timely and appropriate death - Pasien harus dituruti keinginannya dalam hal kapan dan

bagaimana pasien ingin menutup usianya. Pasien harus mencapai kematian secara

bermartabat.

Terapi dengan Pasien yang Mengalami Penyakit Terminal

Terapi yang diberikan kepada pasien penyakit terminal biasanya bersifat jangka pendek dan

waktu kunjungan biasanya tergantung pada keinginan dan tingkat energi pasien. Pasien

seringkali memiliki unfinished business, maka terapis juga perlu membantu pasien untuk

menyelesaikannya karena dapat mengacaukan pikiran. Terapis akan membantu pasien untuk

berdamai dengan kehidupan masa lalunya agar lebih siap menghadapi penyakitnya dan

kemungkinan terburuk yang dihadapinya yaitu kematian.

Beberapa tanatolog - yaitu, mereka yang mempelajari tentang sekarat dan kematian menyarankan

bahwa terapi CBT dapat secara konstruktif digunakan untuk pasien yang sekarat. Misalnya,

relaksasi otot progresif dapat memperbaiki ketidaknyamanan dan menanamkan rasa kontrol baru.
Positive self talk , seperti berfokus pada pencapaian kehidupan seseorang, juga dapat membantu

mengurangi depresi yang sering menyertai kematian

Manajemen Penyakit Terminal pada Anak

Merawat anak-anak yang sakit parah termasuk yang paling menegangkan dari semua perawatan

penyakit terminal. Akibatnya, anggota keluarga, teman, dan bahkan staf medis mungkin enggan

untuk berbicara secara terbuka dengan anak yang sekarat tentang situasinya.

Meskipun demikian, anak-anak yang sakit parah sering tahu lebih banyak tentang keadaan

mereka daripada informasi yang diberikan oleh orang lain. Anak-anak menggunakan isyarat dari

perawatan yang diberikan dari orang-orang di sekitar mereka untuk menyimpulkan bagaimana

kondisi mereka. Ketika kondisi fisik mereka sendiri memburuk, mereka mengembangkan

konsepsi kematian mereka sendiri dan kesadaran bahwa itu kematian mereka tidak akan lama

lagi. Mungkin sulit untuk mengetahui apa yang harus dikatakan kepada seorang anak. Tidak

seperti orang dewasa, anak-anak mungkin tidak mengungkapkan pengetahuan, masalah, atau

pertanyaan mereka secara langsung. Mereka dapat mengkomunikasikan pengetahuan bahwa

mereka akan mati secara tidak langsung, seperti dengan ingin merayakan hari ulan tahun lebih

awal. Atau mereka mungkin tiba-tiba berhenti berbicara tentang rencana masa depan mereka.

Konseling dengan anak yang sakit parah mungkin diperlukan dan biasanya mengikuti beberapa

pedoman yang sama seperti yang berlaku pada orang dewasa yang sekarat, tetapi terapis dapat

mengambil isyarat tentang apa yang harus didiskusikan dari anak, berbicara hanya tentang

masalah-masalah yang siap didiskusikan oleh anak. Orang tua juga perlu konseling untuk

membantu mereka menghadapi kematian yang akan datang. Orang tua mungkin menyalahkan
diri mereka sendiri atas penyakit anak atau merasa bahwa ada lebih banyak yang bisa mereka

lakukan.

Orang tua dari anak-anak yang sekarat mengalami beban stres yang sangat besar sehingga

mereka kadang-kadang memiliki gejala PTSD. Tekanan emosional orang tua dengan anak yang

sekarat mungkin memerlukan layanan kesehatan mental suportif dan pertemuan dengan dokter

untuk membantu pasien memahami dan memperoleh makna dari penyakit terminal anak,

terutama selama beberapa bulan pertama setelah diagnosis anak.

Perawatan Alternatif untuk Pasien Penyakit Terminal

Hospice Care

Program hospice adalah pelayanan paliatif yang suportif dan terkoordinasi, bisa
disiapkan di rumah atau RS dengan memberi pelayanan fisik, psikologis, sosial dan
spiritual untuk pasien yang menunggu ajal dan keluarganya. pasien yang menjalani
hospice care akan dibuat senyaman mungkin untuk menghadapi takdir mereka.Jika
dilakukan di rumah sakit, maka ruang perawatan akan dibuat senyaman mungkin
seperti berada di rumah.Perawatan ini akan diberikan jika pasien memenuhi
persyaratan seperti sudah dalam fase end of life.
Pasien didorong untuk mempersonalisasikan tempat tinggal mereka sebanyak mungkin dengan

membawa barang-barang yang mereka kenal. Dengan demikian, dalam perawatan rumah sakit,

setiap kamar mungkin terlihat sangat berbeda, mencerminkan kepribadian dan minat

penghuninya. Pasien juga biasanya memakai pakaian mereka sendiri dan menentukan aktivitas

mereka sendiri.

Pada perawatan hospice care, tidak ada batasan pada kunjungan dari keluarga atau teman. Staf

dilatih khusus untuk berinteraksi dengan pasien dengan cara yang hangat dan penuh perhatian.

Biasanya, konselor juga tersedia untuk intervensi individu, kelompok, atau keluarga.
Home Care

Beberapa tahun terakhir telah terlihat minat baru dalam perawatan di rumah untuk pasien yang

sekarat. Perawatan di rumah tampaknya menjadi perawatan pilihan bagi sebagian besar pasien

yang sakit parah, dan bagi banyak pasien, ini mungkin satu-satunya perawatan yang layak secara

ekonomi. Keuntungan psikologis dari perawatan di rumah adalah bahwa pasien dikelilingi oleh

barang milik pribadi dan oleh keluarga daripada staf medis. Beberapa tingkat kontrol dapat

dipertahankan atas kegiatan seperti apa yang harus dimakan atau apa yang harus dipakai.

Meskipun perawatan di rumah seringkali lebih mudah bagi pasien secara psikologis, namun

perawtaan tersebut bisa membuat stress yang tinggi bagi keluarga. Bahkan jika diperlukan,

setidaknya ada satu anggota keluarga yang mengkhususkan diri bagi pasien setiap hari untuk

merawatnya. Pengasuh yang ditunjuk harus sering berhenti bekerja dan juga menghadapi tekanan

tambahan dari kontak yang konstan dengan prospek kematian. Pengasuh dapat terpecah

pikirannya antara keinginan untuk menjaga pasien supaya tetap hidup atau ingin supaya pasien

dan penderitaannya segera berakhir, dalam artian merelakan pasien menghadapi ajalnya.

Masalah-masalah yang Dihadapi oleh Survivors

Survivors adalah orang atau keluarga yang ditinggalkan yang pernah mengalami penyakit yang

kurang lebih sama dengan penyakit dari anggota keluarga yang meninggal. Kematian seorang

anggota keluarga adalah peristiwa yang menakutkan dan terkadang dianggap menjengkelkan
bagi sebagian orang. Bahkan, bagi orang yang dicintai, kematiannya kadang dianggap lebih

menakutkan daripada kematian atau penyakit diri sendiri. Perasaan-perasaan ini misalnya terjadi

pada pasangan suami istri yang suaminya meninggal lalu menjadi janda pada usia lanjut.

Maciejewski, Zhang, Block, & Prigerson (2007) mengemukakan bahwa kesedihan sebagai

respons psikologis terhadap berkabung, adalah perasaan hampa, sering ditandai dengan

keasyikan dengan citra orang yang meninggal, ekspresi permusuhan terhadap orang lain, dan

rasa bersalah atas kematian. Orang yang berduka sering menunjukkan kegelisahan dan

ketidakmampuan untuk berkonsentrasi pada kegiatan, kerinduan untuk orang yang mereka cintai,

serta kemarahan atau depresi, terutama selama 6 bulan pertama. Selain masalah-masalah

psikologis, masalah kesehatan fisik juga umum terjadi.

Orang luar terkadang sulit untuk menghargai tingkat kesedihan pada orang atau keluarga yang

ditinggalkan. Persepsi yang sering muncul adalah jika kematian itu sudah datang, yang selamat

harus siap menghadapinya dan lekas keluar dari kesedihan yang sedang dirasakan. Taylor (2018)

mengemukakan bahwa orang yang ditinggal kemudian menjadi seorang janda sering mengatakan

bahwa setelah kematian pasangan mereka, teman-temannya sering mendesaknya segera menarik

diri dari kemurungan dan melanjutkan kehidupan. Dalam beberapa kasuss, topik untuk menikah

kembali sering diangkat beberapa minggu setelah kematian pasangan. Stroebe & Stroebe (1987)

mengemukakan bahwa sekalipun telah menikah, rasa duka masih dapat bertahan sampai

beberapa bulan bahkan banyak janda dan duda yang sangat terganggu oleh kematian

pasangannya sampai beberapa tahun.

Apakah seseorang dikatakan adaptif untuk bersedih atau tidak bersedih setelah kematian

seseorang terus diperdebatkan. Beberapa psikolog mengatakan bahwa menghindari emosi yang
negatif dapat menjadi masalah. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Bonanno,

Keltner, Holen, & Horowitz (1995) bahwa penghindaran emosi negatif dapat mengarah pada

penyesuaian yang lebih baik setelah kematian. Demikian juga ditunjukkan oleh Stein, Folkman,

Trabasso dan Richards (1997) bahwa penilaian positif mengarah kepada penyesuaian yang lebih

baik setelah kematian.

Nolen-Hoeksema, McBride & Larson (1997) mengemukakan bahwa orang dewasa yang berduka

dan merenungkan kematian cenderung kurang mendapatkan dukungan sosial yang baik,

memiliki tingkat stres yang lebih tinggi, dan lebih cenderung mengalami depresi.

Sebaliknya,menurut Pai dan Carr (2010), orang-orang dengan tipe kepribadian extravert lebih

mampu dalam hal memperoleh dukungan sosial sehingga dapat melewati masa berkabung

dengan depresi yang lebih sedikit.

Aneshensel, Botticello, & Yamamoto Mitani, (2004) ; Stroebe & Stroebe (1987) mengemukakan

bahwa respons kesedihan lebih buruk pada pria, pengasuh, dan pada mereka yang kehilangannya

tiba-tiba dan tidak terduga. Meskipun demikian, menurut Vahtera et al (2006) ada janda dan

duda yang tangguh dalam menanggapi kehilangan mereka, yaitu mereka yang memiliki pikiran

bahwa memang tidak ada harapan hidup bago pasangannya. Hal-hal yang juga sering menjadi

masalah setelah kematian adalah bagi wanita sering mengalami kesulitan keuangan dan bagi pria

mengalami tekanan manajemen rumah tangga.

Aiken dan Marx (1982) mengemukakan bahwa pengalaman berkabung dapat menyebabkan

perubahan yang merugikan dalam fungsi imunologis, meningkatkan risiko penyakit dan bahkan

kematian. Orang yang ditinggalkan juga dapat melakukan perbuatan seperti penyalahgunaan
alkohol dan narkoba. Oleh karena itu, diperlukan konseling bagi orang yang berduka untuk

mengurangi reaksi-reaksi yang merugikan tersebut.

Taylor (2018) mengemukakan bahwa anak yang selamat dari penyakit tertentu namun saudara

kandungnya meninggal dapat menimbulkan komplikasi khusus. Hal ini bisa disebabkan karena

anak berharap pada suatu waktu supaya saudara kandungnya meninggal. Ketika saudara

kandungnya benar-benar meninggal, anak yang selamat merasa bahwa dia yang menyebabkan

saudaranya meninggal. Lindsay & McCarthy (1974) mengemukakan bahwa alasan mengapa

anak sering berharap supaya saudara kandungnya meninggal bisa dipicu karena selama sakit,

anak yang selamat tersebut tidak mendapatkan banyak perhatian seperti saudaranya, sehingga

setelah saudaranya meninggal ada sedikit kegembiraan yang dirasakan karena tidak ada lagi yang

menjadi sumber kompetisi. Bluebond Langner (1977) mengemukakan bahwa ada anak yang

mengalami sedikit kegembiraan ketika mengetahui kematian saudaranya karena seluruh mainan

saudaranya dapat menjadi miliknya.

Death Education

Karena kematian telah menjadi topik yang tabu, banyak orang memiliki kesalahpahaman tentang

hal itu, termasuk gagasan bahwa orang yang sekarat ingin dibiarkan sendiri dan tidak

membicarakan situasi mereka. Karena keprihatinan ini, beberapa kursus tentang kematian, yang

mungkin termasuk pekerjaan sukarela dengan pasien yang sekarat, telah dikembangkan di

beberapa kampus perguruan tinggi. Masalah potensial dengan kursus seperti itu adalah bahwa

mereka dapat menarik siswa bunuh diri sesekali dan memberikan dorongan yang tidak disengaja

untuk kecenderungan merusak diri sendiri. Oleh karena itu, beberapa instruktur
merekomendasikan untuk menghadapi masalah seperti itu secara langsung, dengan harapan

mereka dapat dicegah.

Apakah mahasiswa adalah yang terbaik dan satu-satunya populasi yang harus menerima

pendidikan kematian adalah masalah lain. Sayangnya, sarana terorganisir untuk mendidik orang

di luar sistem universitas sangat sedikit, sehingga kursus perguruan tinggi tetap menjadi salah

satu kendaraan yang lebih layak untuk pendidikan kematian. Namun sebuah buku tentang

kematian dan kematian, Selasa dengan Morrie (Albom, 1997), adalah buku terlaris selama

bertahun-tahun, sebuah fakta yang menggarisbawahi seberapa banyak orang ingin memahami

kematian. Selain itu, penyebab kematian, terutama penyakit dengan mortalitas tinggi,

mendominasi berita (Adelman & Verbrugge, 2000). Namun, saat ini, berita dan beberapa buku

hampir semuanya ada untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Melalui pendidikan kematian,

dimungkinkan untuk mengembangkan harapan yang realistis, baik tentang apa yang dapat

dicapai oleh pengobatan modern dan tentang jenis perawatan yang diinginkan dan dibutuhkan

oleh orang yang sekarat.

Anda mungkin juga menyukai