Anda di halaman 1dari 20

MOBILISASI ORGANISASI UNTUK PROMOSI KESEHATAN: TEORI

PERUBAHAN ORGANISASI
MATA KULIAH TEORI PERUBAHAN PERILAKU
MINAT STUDI PROMOSI KESEHATAN DAN ILMU PERILAKU

Oleh :

MUHAMMAD ANWARUL ‘IZZAT 102114153017

ANA RIZQY SOLIHA 102114153019

RISAH BELLAH 102114153022

EKY SETIYO KURNIAWAN 102114153034

PROGRAM MAGISTER KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii

BAB 1 ..................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 2

1.3 Tujuan ..................................................................................................... 2

1.4 Manfaat ................................................................................................... 3

BAB 2 ..................................................................................................................... 4

PEMBAHASAN .................................................................................................... 4

A. Organisasi dan Pengembangan Masyarakat ........................................... 4

B. Tahapan Perorganisasian dan Pengembangan Masyarakat ................. 5

C. Pendekatan Direktif dan Non Direktif ..................................................... 7

D. Sejarah Keterlibatan Masyarakat Dalam Kesehatan ........................... 10

E. Contoh Implementasi Promosi Kesehatan Melalui Upaya


Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat ..................................... 13

BAB 3 ................................................................................................................... 15

KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 16

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Makalah ini berjudul
“MOBILISASI ORGANISASI UNTUK PROMOSI KESEHATAN : TEORI
PERUBAHAN ORGANISASI”. Penuliasan makalah ini dilakukan dalam rangka
memnuhi tugas mata kuliah Teori Perubahan Perilaku. Kami sangat berharap
semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami.
Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi perbaikan untuk makalah ini.

Surabaya, 10 Mei 2022

Penulis

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pemahaman tentang fungsi kelompok, organisasi, lembaga sosial, dan
masyarakat sangat penting untuk peningkatan kesehatan. Merancang inisiatif
perubahan perilaku kesehatan dan kebijakan, sistem, dan lingkungan untuk
memberi manfaat bagi komunitas dan populasi adalah inti dari orientasi
kesehatan masyarakat (Brownson, Haire-Joshu, & Luke, 2006; Glanz &
Bishop 2010; Smedley & Syme, 2000). Kesejahteraan kolektif masyarakat
dapat dibina dengan menciptakan struktur dan kebijakan yang mendukung
gaya hidup sehat, dengan mengurangi atau menghilangkan kendala kesehatan
di lingkungan sosial dan fisik, dan dengan mobilisasi masyarakat melalui
berbagai upaya. Semua pendekatan ini memerlukan pemahaman tentang
bagaimana sistem sosial beroperasi, bagaimana perubahan terjadi di dalam dan
di antara komunitas dan organisasi, dan bagaimana ide dan informasi
menyebar, termasuk melalui suatu upaya mobilisasi atau perngorganisasian
masyarakat.

Konsep keterlibatan masyarakat, dilihat melalui berbagai lensa, berakar


pada keadilan sosial dan proses perubahan masyarakat. Dalam publikasi Pusat
Pengendalian dan Pencegahan Penyakit 1997, Prinsip Keterlibatan
Masyarakat, keterlibatan masyarakat didefinisikan sebagai “proses bekerja
secara kolaboratif dengan kelompok orang yang berafiliasi dengan kedekatan
geografis, minat khusus, atau situasi serupa sehubungan dengan masalah.
mempengaruhi kesejahteraan mereka” (CDC, 1997, hal. 9). Istilah ini telah
mendapatkan daya tarik dalam beberapa tahun terakhir, terutama dengan
pertumbuhan program Clinical and Translational Science Awards
(www.ctsacentral.org), dan diambil dari tiga bidang utama yang sering
tumpang tindih dan sejarahnya: organisasi komunitas dan pembangunan

1
komunitas, koalisi dan kemitraan, dan penelitian partisipatif berbasis
masyarakat.

Pengorganisasian masyarakat didefinisikan sebagai proses di mana


kelompok masyarakat dibantu untuk mengidentifikasi masalah bersama atau
mengubah target, memobilisasi sumber daya, dan mengembangkan serta
menerapkan strategi untuk mencapai tujuan kolektif mereka. Konsep terkait
pembangunan komunitas merupakan pendekatan strategis daripada orientasi
kepada komunitas yang terlibat dan secara kolektif membangun kapasitas
dalam prosesnya (Walter & Hyde, 2012).

Kesehatan masyarakat adalah ilmu dan seni untuk mencegah penyakit,


memperpanjang hidup dan mempromosikan kesehatan fisik dan mental melalui
upaya masyarakat yang terorganisir (Winslow, 1926). Upaya kesmas
dilaksanakan melalui upaya masyarakat yang terorganisir. Penanggulangan
penyakit dan peningkatan derajat kesehatan masyarakat tidak bisa dilakukan
melalui upaya perorangan, tetapi harus melalui upaya bersama dan
dilaksanakan secara berkelanjutan (jangka panjang). Upaya jangka panjang
tidak bisa hanya mengandalkan tenaga kesehatan tetapi harus dilandasi
keterlibatan aktif masyarakat melalui serangkaian upaya yang bersifat edukatif
untuk membentuk perilaku sehat. Berdasarkan latar belakang makal ini kami
ingin membahas terkait mobilisasi organisasi untuk promosi kesehatan sebagai
pengantar teori perubahan perilaku yang teorganisir atau teori perubahan
perilaku masyarakat luas atau komunitas.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang makalah diatas maka rumusan masalah pada
makalah ini yaitu: Bagaimana mobilisasi organisasi untuk promosi kesehatan?
1.3 Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui mobilisasi


organisasi untuk promosi kesehatan dalam mata kuliah teori perubahan
perilaku.

2
1.4 Manfaat
Manfaat penulisan makalah ini yaitu sebagai referensi dan pengetahuan
terkait mobilisasi organisasi untuk promosi kesehatan pada mata kuliah teori
perubahan perilaku.

3
BAB 2

PEMBAHASAN

A. Organisasi dan Pengembangan Masyarakat

Penggunaan istilah Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat


diambil dari konsep Pengorganisasian Masyarakat (Community Organization) dan
Pengembangan Masyarakat (Community Development). Istilah Community
Organization terutama lebih banyak muncul dalam kepustakaan yang berasal dari
atau berkiblat pada Amerika Serikat sedangkan Community Development" lebih
banyak ditemukan dalam kepustakaan yang berasal atau berkiblat dari Inggris.
Meskipun "nama"nya berbeda, tetapi isi dan konsepnya adalah sama. Keduanya
berorientasi pada proses menuju tercapainya kemandirian melalui keterlibatan atau
peran serta aktif dari keseluruhan anggota masyarakat.

Pelaksanaan upaya pembangunan dalam garis besarnya dapat dilaksanakan


dengan menggunakan pendekatan yang bersifat direktif atau pendekatan yang
bersifat non direktif. Pada pendekatan yang bersifat direktif, diambil asumsi bahwa
petugas tahu apa yang dibutuhkan dan apa yang baik untuk masyarakat. Dalam
pendekatan ini maka peranan petugas bersifat lebih dominan karena prakarsa
kegiatan dan sumber daya yang dibutuhkan untuk keperluan pembangunan datang
dari petugas. Interaksi yang muncul lebih bersifat instruktif dan masyarakat dilihat
sebagai obyek.

Pada pendekatan yang bersifat non -direktif, maka diambil asumsi bahwa
masyarakat tahu apa sebenarnya yang mereka butuhkan dan apa yang baik untuk
mereka. Peranan pokok ada pada masyarakat, sedangkan petugas lebih bersifat
menggali dan mengembangkan potensi masyarakat. Prakarsa kegiatan dan sumber
daya yang dibutuhkan berasal dari masyarakat. Sifat interaksi adalah partisipatif
dan masyarakat dilihat sebagai subyek. Mengingat keragaman dalam potensi
masyarakat, diperlukan penyesuaian antara pendekatan yang dipilih dikaitkan
dengan potensi dari masyarakat dimana kegiatan pembangunan itu dilaksanakan.

4
Dalam pilihan pendekatan tersebut harus tetap diingat bahwa upaya pembangunan
haruslah merupakan upaya untuk mewujudkan potensi yang dimiliki oleh
masyarakat.

Hal ini dapat dianalogikan dengan suatu konsep yang disebut konsep piring
terbang. Sesuai dengan hukum mekanika, maka suatu piringan yang berputar akan
bergerak naik jika mengalami peningkatan dalam kecepatan berputarnya dan akan
bergerak turun jika mengalami penurunan dalam kecepatan berputarnya. Potensi
masyarakat dapat digambarkan sebagai energi yang ada dalam sebuah piringan
yang berputar. Kecepatan berputar ini berbeda -beda antara satu kelompok
masyarakat dibandingkan dengan kelompok lainnya. Perbedaan inilah yang
menyebabkan adanya perbedaan ketinggian dari masing -masing piring tersebut
(Kurniati, 2015).

Pada kelompok masyarakat yang sudah berkembang maka energi yang ada
sudah dikembangkan secara optimal sehingga tingkat perkembangannya lebih
tinggi dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain yang belum berkembang.
Dikaitkan dengan hukum mekanika dalam piring terbang tersebut, maka posisi
piring terbang akan dapat ditingkatkan dengan menambah kecepatan berputarnya.
Penambahan kecepatan ini bisa berasal dari luar maupun dari dalam. Yang penting
diperhatikan adalah penambahan perputaran harus dilakukan pada saat yang tepat
dan dengan arah yang sesuai, jika kita menginginkan terjadinya peningkatan
kedudukan piring terbang tersebut agar naik lebih tinggi dari posisi semula.
Penambahan perputaran yang terjadi secara tiba -tiba dapat menimbulkan
kegoncangan dan penambahan percepatan yang tidak sesuai dengan arah semula
justru akan menimbulkan keruntuhan (Wilianarti & Wulandari, 2021).

B. Tahapan Perorganisasian dan Pengembangan Masyarakat

Apa yang dimaksud dengan pengorganisasian dan pengembangan masyarakat


atau PPM? PPM pada dasarnya adalah suatu proses pengorganisasian kegiatan
masyarakat yang bersifat setempat, yang ditujukan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat melalui pemberian pengalaman belajar, maka secara

5
bertahap dikembangkan pendekatan yang bersifat partisipatif dalam bentuk
pendelegasian wewenang dan pemberian peran yang semakin besar kepada
masyarakat. Secara keseluruhan terdapat enam tahapan pokok PPM, yaitu:

1. Persiapan

Pada tahap persiapan maka dilakukan persiapan yang bersifat intern petugas
dan persiapan sosial untuk masyarakat. Persiapan petugas berupa hal -hal yang
bersifat teknis-administratif dan yang bersifat pilihan strategis pendekatan.
Pada tahap persiapan sosial, perlu mulai dilakukan pengenalan masyarakat,
pengenalan masalah dan selanjutnya diikuti dengan upaya penyadaran.

2. Perencanaan

Pada tahap perencanaan, secara bersama disusun rencana untuk mengatasi


masalah yang dihadapi dan cara -cara penerapan rencana tersebut dalam tahap
pelaksanaan.

3. Pelaksanaan

Selama pelaksanaan dilakukan pemantauan secara berkala dan kemudian


dilakukan evaluasi untuk melihat pencapaian tujuan

4. Pemantauan

Pemantauan yang dapat dijelaskan sebagai kesadaran (awareness) tentang apa


yang ingin diketahui, pemantauan berkadar tingkat tinggi dilakukan agar dapat
membuat pengukuran melalui waktu yang menunjukkan pergerakan ke arah
tujuan atau menjauh dari itu

5. Evaluasi

Pada tahap evaluasi mempelajari kejadian, memberikan solusi untuk suatu


masalah, rekomendasi yang harus dibuat, menyarankan perbaikan. Namun
tanpa monitoring, evaluasi tidak dapat dilakukan karena tidak memiliki data

6
dasar untuk dilakukan analisis, dan dikhawatirkan akan mengakibatkan
spekulasi

6. Perluasan.

Dari hasil pelaksanaan dan evaluasi tahap berikutnya adalah perluasan


kegiatan, baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif.

Dalam keseluruhan tahapan maka terdapat pembagian peran yang berbeda -beda
antara petugas dan masyarakat. Pada tahap awal, petugas mempunyai peranan yang
lebih dominan tetapi secara bertahap dilakukan pendelegasian wewenang dan
pengembangan peran yang lebih besar kepada masyarakat, sehingga akhirnya peran
utama selanjutnya dipegang oleh masyarakat dan peran petugas lebih bersifat
konsultatif (Fitriani & Riniasih, 2021).

C. Pendekatan Direktif dan Non Direktif

Dalam suatu kegiatan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, seorang


petugas biasanya datang ke kelompok masyarakat tertentu, membuat identifikasi
masalah dan sampai kepada suatu kesimpulan bahwa masyarakat memerlukan
program tertentu untuk meningkatkan taraf hidupnya. Program yang ditujukan
untuk memperbaiki keadaan masyarakat ini sebetulnya didasarkan pada asumsi
bahwa petugas mempunyai kemampuan untuk menetapkan "konsep baik -buruk"
dari masyarakat sasaran. Meskipun hal ini kelihatannya sederhana, masalah
sebenarnya justru tidak sederhana. Setiap orang bisa mempunyai pendapat sendiri
-sendiri tentang apa yang baik dan apa yang buruk, dan pendapat -pendapat ini bisa
berbeda satu sama lain. Banyak faktor yang menentukan pandangan seseorang
tentang baik -buruknya sesuatu, seperti misalnya faktor pengalaman, pendidikan,
harapan, motovasi dan sebagainya. Dengan demikian bisa terjadi bahwa apa yang
dianggap buruk oleh petugas belum tentu ditafsirkan sama oleh masyarakat dan
demikian juga apa yang dianggap baik oleh masyarakat belum tentu mendapat
penafsiran yang sama dari petugas.

7
1. Pendekatan Direktif

Pada suatu pendekatan yang direktif, petugaslah yang menetapkan apa yang
baik atau buruk bagi masyarakat, cara -cara apa yang perlu dilakukan untuk
memperbaikinya dan selanjutnya menyediakan sarana yang diperlukan
untuk perbaikan tersebut. Dengan pendekatan seperti ini memang prakarsa
dan pengambilan keputusan berada ditangan petugas. Dalam prakteknya
petugas memang mungkin menanyakan apa yang menjadi kebutuhan
masyarakat atau cara apa yang perlu dilakukan untuk mengatasi suatu
masalah, tetapi jawaban yang muncul dari masyarakat selalu diukur dari
segi baik dan buruk menurut petugas. Dengan pendekatan ini memang
banyak hasil yang telah diperoleh, tetapi terutama untuk hal - hal yang
bersifat tujuan jangka pendek, atau yang bersifat pencapaian secara fisik.
Pendekatan seperti ini menjadi kurang efektif untuk mencapai hal -hal yang
sifatnya jangka panjang atau untuk memperoleh perubahan -perubahan
mendasar yang berkaitan dengan perilaku. Penggunaan pendekatan direktif
sebetulnya juga mengakibatkan hilangnya kesempatan untuk memperoleh
pengalaman belajar dan menimbulkan kecenderungan untuk tergantung
kepada petugas.

2. Pendekatan Non Direktif

Pada pendekatan non -direktif, petugas tidak menempatkan diri sebagai


orang yang menetapkan apa yang baik dan apa yang buruk bagi
masyarakat,untuk membuat analisa dan mengambil keputusan untuk
masyarakat atau menetapkan cara-cara yang bisa dilakukan oleh
masyarakat. Dengan menggunakan pendekatan ini petugas berusaha untuk
merangsang tumbuhnya suatu proses penetapan sendiri (self-determination)
dan kemandirian (self-help). Tujuannya adalah agar masyarakat
memeperoleh pengalaman belajar untuk pengembangan diri dengan melalui
pemikiran dan tindakan oleh masyarakat sendiri.

3. Kelebihan dan Kelemahan Pendekatan Direktif

8
a. Kelebihan pendekatan direktif
1) Cepat

2) Mudah dilakukan

3) Hasil bersifat cepat karena bersifat fisik

4) Tepat digunakan pada masyarakat yang kurang memiliki


inisiatif, pasif, dan kurang responsive

5) Tepat digunakan pada masyarakat yang merasa tidak


memiliki masalah, Fokus terhadap masalah yang ada

b. Kelemahan pendekatan direktif

1) Bersifat semu

2) Terpaksa

3) Bersifat temporer dan tidak permanen

4) Hasil jangka pendek

5) Individu, kelompok, dan masyarakat hanya sebagai objek


program.

6) Pelaksanaan teratur dan terencana

7) Keinginan tanggapan dan solusi masyarakat diabaikan.

8) Sedikit melibatkan masyarakat

9) Minim dalam pengalaman belajar.

10) Petugas kurang memperoleh pengalaman belajar dari


masyarakat.

11) Masyarakat tergantung dengan petugas

9
12) Bersifat pasif, kurang inisiatif, dan lebih banyak menjadi
pendengar.

13) Masyarakat tidak memiliki kemampuan dalam mengambil


keputusan.

14) Kurang efektif

4 Kelebihan dan Kelemahan Pendekatan Non Direktif

a. Kelebihan pendekatan non directive

1) Perubahan Perilaku Permanen

2) Perubahan Perilaku terjadi secara Sukarela

3) Alternatif tindakan beragam

4) Tumbuhnya kebersamaan (we-feeling)

b. Kelemahan pendekatan non directive

1) Tidak Efisien dan Sulit

2) Lambat terjadi perubahan perilaku

3) Masyarakat yang terbiasa direktif merasa “dipaksa”

4) Petugas tidak menjamin keberhasilan program

D. Sejarah Keterlibatan Masyarakat Dalam Kesehatan

Tujuan pembangunan kesehatan menurut Sistem Kesehatan Nasional


adalah masyarakat, bangsa dan negara yang ditandai oleh penduduknya yang hidup
dalam lingkungan sehat, berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), mempunyai
kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan

10
merata dalam wilayah kesatuan Negara RI yang kuat. Tujuan pembangunan seperti
ini memuat ciri-ciri keselarasan antara kemajuan lahiriah dan kepuasan batin,
keselarasan hubungan Manusia dengan Tuhan, antara Manusia dengan sesamanya,
antara Manusia dengan Lingkungan Alam dan keselarasan hubungan dengan
Bangsa-Bangsa. Oleh karena itu tujuan pembangunan adalah meningkatkan
kualitas manusia, baik kualitas fisik maupun non fisik (Depkes RI 2004). Untuk
mencapai tujuan tersebut, maka harus dilaksanakan secara bertahap dan diharapkan
keikutsertaan atau partisipasi aktif dari seluruh masyarakat didalamnya karena
partisipasi berarti ikut sertanya masyarakat di dalam usaha-usaha pemerintah dalam
proses pembangunan, baik bersifat dana, tenaga, atau pikiran.

Partisipasi dapat bersifat semu bila prilaku yang diperlihatkan bersifat sangat
sementara dan sangat jauh dari yang diharapkan atau tidak disertai dengan
kesediaan psikologis yang sesungguhnya, sebaliknya partisipasi dapat bersifat
parsial bila prilaku yang ditamapilkannya hanya sebagian saja dari yang
sesungguhnya diharapkan akan tetapi dapat juga menjadi lengkap bila sesuai atau
mendekati yang diharapkan, Menurut (Sikome et al., 2016) mengemukakan secara
operasionalnya partisipasi masyarakat diperlukan berbagai macam tingkatan yaitu:

1. Tingkat partisipasi masyarakat yang dilakukan karena perintah atau


paksaan.
2. Tingkat partisipasi masyarakat yang dilakukan karena identifikasi.
3. Tingkat partisipasi masyarakat yang dilakukan karena imbalan atau
insentif.
4. Tingkat partisipasi masyarakat yang dilakukan karena kesadaran
sendiri.
5. Tingkat partisipasi masyarakat yang dilakukan karena tuntutan hak
asasi dan tanggung jawabnya.

Keterlibatan masyarakat diambil dari banyak sejarah. Istilah organisasi


masyarakat diciptakan pada akhir 1800-an oleh pekerja sosial Amerika yang
mengoordinasikan layanan, seperti rumah pemukiman, untuk imigran yang baru

11
tiba dan orang miskin (Garvin & Cox, 2001). Sementara diskusi yang lebih lengkap
tentang sejarah pengorganisasian komunitas dapat ditemukan di tempat lain (lihat
Minkler & Wallerstein, 2012), beberapa tonggak penting dalam sejarah ini adalah
periode pasca Rekonstruksi di mana orang Afrika-Amerika terorganisir untuk
menyelamatkan hak-hak yang baru dimenangkan, gerakan agraria Populis, dan
gerakan buruh tahun 1930-an dan 1940-an (Garvin & Cox, 2001). Awalnya model
konsensus, pada 1950-an, dengan perjuangan buruh mendapatkan perhatian,
pengorganisasian masyarakat mulai menekankan konfrontasi dan strategi konflik
untuk perubahan sosial (Alinsky, 1972). Sejak 1950-an, strategi dan taktik
organisasi masyarakat semakin banyak diterapkan untuk mencapai tujuan
perubahan sosial yang lebih luas: misalnya, oleh gerakan hak-hak sipil, hak-hak
perempuan, hak-hak gay, dan hak-hak disabilitas dan bahkan oleh New Right dalam
pengorganisasiannya untuk melarang aborsi dan pernikahan gay. Sejak pertengahan
1990-an, kelompok di seluruh spektrum politik telah membangun komunitas
online, mengorganisir dukungan dalam skala massal (Smith, 2011).

12
E. Contoh Implementasi Promosi Kesehatan Melalui Upaya
Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat

Seluruh proses tahapan pembentukan Kampung KB diatas selesai, maka


dilanjutkan pada tahapan operasional untuk mengimplementasikan kegiatan yang
didahului dengan rapat persiapan oleh satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terkait
di tingkat kabupaten, dimana salah satu output yang diharapkan dapat dicapai pada
rapat tersebut adalah tersusunnya terjemahan Rencana Program dan Anggaran
Kampung KB melalui Alokasi Jadwal Kegiatan (AJK) yang meliputi rencana
pelaksanaan kegiatan bulanan dan mingguan agar dapat mengarahkan para
pelaksana kegiatan (Kelompok Kerja Kader per-Bidang) agar dapat mencapai target
kinerja yang diharapkan. Kemudian pada tahapan selanjutnya, diselenggarakan
workshop tingkat Kabupaten/Kota oleh Perwakilan BKKBN Provinsi, dimana
workshop tersebut bertujuan untuk (Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga
Berencana, 2007):

1. Memberikan pemahaman tentang konsep Kampung KB termasuk


indikator-indikator keberhasilan yang harus dicapai.

13
2. Mensosialisasikan Rencana Program dan Kegiatan Kampung KB
yang telah disusun.
3. Mensosialisasikan Alokasi Jadwal Kegiatan (AJK) bulanan dan
mingguan. Pemaparan informasi tentang alur pengganggaran
kegiatan (APBN/APBD/Dana Desa/Dukungan anggaran lintas
sektor).
4. Mensosialisasikan format-format evaluasi dan pelaporan.
5. Koordinasi lintas sektor dan kemitraan

Di tingkat Kecamatan, diselenggarakan lokakarya mini yang diikuti oleh


pemangku kepentingan tingkat Kecamatan dan Desa/Lokasi Kampung KB
untuk kemudian ditindaklanjuti dengan lokakarya mini tingkat Desa dan
Pelatihan Kader Desa/Kelurahan (Kelompok Kerja Kader per-bidang yang
telah ditetapkan dalam Struktur Organisasi Kampung KB) dengan target
setiap kader mampu melaksanakan kegiatan Kampung KB yang telah
direncanakan. Setelah memperoleh pelatihan di tingkat desa, Kader bersama
dengan Toga/Toma melaksanakan KIE kepada masyarakat melalui:

1. KIE Individu atau kunjungan ke rumah-rumah sasaran


2. KIE Kelompok dengan memanfaatkan forum-forum sosial
(pengajian, pertemuan BKB, Pertemuan BKR, pertemuan UPPKS,
Arisan, Taman Posyandu dll);
3. KIE Massa dengan memanfaatkan media tradisional, Mupen, acara-
acara hiburan rakyat, dll;
4. KIE Konseling kepada sasaran (Ibu Hamil, BUTEKI, PUS bukan
peserta KB, Calon Peserta KB) untuk menentukan dan
memantapkan pilihan kontrasepsi yang digunakan.

14
BAB 3

KESIMPULAN DAN SARAN

Mobilisasi orgaisasi untuk promosi kesehatan bertujuan supaya tercapainya

kemandirian melalui keterlibatan atau peran serta aktif dari keseluruhan anggota

masyarakat pada suatu program kesehatan. Pelaksanaan upaya pembangunan dalam

garis besarnya dapat dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan yang bersifat

direktif atau pendekatan yang bersifat non direktif. Pada pendekatan yang bersifat

direktif, diambil asumsi bahwa petugas tahu apa yang dibutuhkan dan apa yang baik

untuk masyarakat. Pada pendekatan yang bersifat non -direktif, maka diambil

asumsi bahwa masyarakat tahu apa sebenarnya yang mereka butuhkan dan apa yang

baik untuk mereka.

Makalah ini diharapkan tidak hanya sebatas sebagai referensi atau tambahan

pengetahuan saja, penulis berharap isi makalah ini bisa bermanfaat dan dapat di

implementasikan secara nyata dalam suatu program promosi kesehatan. Kami

menyadari makalah ini masih memiliki keterbatasan dan kekurangan, maka dari itu

penulis berharap saran dan masukan pembaca supaya makalah ini lebih baik lagi

serta bisa dijadikan acuan penulis selanjutnya untuk lebih dalam menjelaskan

terkait mobilisasi organisasi untuk promosi kesehatan.

15
DAFTAR PUSTAKA

Alinsky, S. D. (1972). Rules for radicals: A pragmatic primer for realistic radicals.
New York: Vintage.
Arnstein, S. R. (1969). A ladder of citizen participation. Journal of the American
Institute of Planners, 35(4), 216–224.
Carter-Edwards, L., Cook, J., McDonald, M. A., Weaver, S. M., Chukwuka, K., &
Eder, M. (2013). Report on CTSA consortium use of the community
engagement consulting service. Clinical and Translational Science, 6(1), 34–
39.
Centers for Disease Control and Prevention. (1997). Principles of community
engagement. Atlanta: CDC, Public Health Practice Program Office. Retrieved
from http://www.cdc.gov/phppo/pce
Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana. (2007). Perencanaan dan
Pembentukan Kampung KB.
Fitriani, & Riniasih, W. (2021). Pengaruh Pendidikan Kesehatan Pada Lansia
Tentang Vaksin Covid-19 Terhadap Motivasi Lansia Mengikuti Vaksinasi
Covid-19 Di Dusun Ngablak Desa Ngraji Kecamatan Purwodadi Kabupaten
Grobogan. 6(2).
Fawcett, S., Abeykoon, P., Arora, M., Dobe, M., Galloway-Gilliam, L., Liburd, L.,
& Munodawafa, D. (2010). Constructing an action agenda for community
empowerment at the 7th Global Conference on Health Promotion in Nairobi.
Global Health Promotion, 17(4), 52–56.
Garvin, C. D., & Cox, F. M. (2001). A history of community organizing since the
Civil War with special reference to oppressed communities. In J. Rothman, J.
L. Erlich, & J. E.
Tropman (Eds.), Strategies of community intervention (6th ed., pp. 65–100). Itasca,
IL: Peacock.
Geiger, J. (2005). The first community health centers: Model of enduring value.
Journal of Ambulatory Care Management, 28(4), 313–332.
Hood, N. E., Brewer, T., Jackson, R., & Wewers, M. E. (2010). Survey of
community engagement in NIHfunded research. Clinical and Translational
Science, 3(1), 19–22.
Institute of Medicine. (2013). The CTSA program at NIH: Opportunities for
advancing clinical and translational research. Washington, DC: National
Academies Press
Katz, J. M., Rosas, S. R., Siskind, R. L., Campbell, D., Gondwe, D., Munroe, D.,
…Schouten, J. T. (2011). Community-research partnerships at NIAID
HIV/AIDS clinical trial sites: Insights for evaluation and enhancement.

16
Progress in Community Health Partnerships: Research, Education, and
Action, 6(3), 311–320.
Kurniati, D. P. Y. (2015). Bahan Ajar Pengorganisasian dan Pengembangan
Masyarakat. Bagian Promosi Kesehatan Program Studi Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, 1–65.
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_dir/571a3cc8a3c9df700a
0b29304ec3c5ae.pdf
Minkler, M., & Wallerstein, N. (2012). Improving health through community
organizing and community building. In M. Minkler (Ed.), Community
organizing and community building for health and welfare (3rd ed., pp. 37–
58). New Brunswick, NJ: Rutgers University Press.
Morgan, M. A., & Lifshay, J. (2006). Community engagement in public health.
Retrieved from
http://www.barhii.org/resources/downloads/community_engagement.pdf
Selby, J. V., Beal, A. C., & Frank, L. (2012). The Patient-Centered Outcomes
Research Institute (PCORI) national priorities for research and initial research
agenda. JAMA, 307(15), 1583–1584.
Sikome, J., Gosal, R., & Singkoh, F. (2016). PARTISIPASI MASYARAKAT
DALAM MENINGKATKAN KESEHATAN LINGKUNGAN DI DESA
KISIHANG KECAMATAN TAGULANDANG SELATAN KABUPATEN
SITARO. 1(69), 5–24.
Smith, A. (2011). The Internet and Campaign 2010. Washington, DC: Pew Internet
& American Life Project. Retrieved from
http://pewinternet.org/Reports/2011/The-Internet-and-Campaign-2010.aspx
Wallerstein, N., & Auerbach, E. (2004). Problem-posing at work: Popular
educators guide (2nd ed.). Edmonton: Grass Roots Press.
Wallerstein, N., Mendes, R., Minkler, M., & Akerman, M. (2011). Reclaiming the
social in community movements: Perspectives from the USA and
Brazil/South America: 25 years after Ottawa. Health Promotion
International, 26(Suppl. 2), ii226–ii236.
Wallerstein, N., Yen, I., & Syme, L. (2011). Integrating social epidemiology and
community-engaged interventions to improve health equity. American
Journal of Public Health, 101(5), 822–830.
Wilianarti, P. F., & Wulandari, Y. (2021). OPTIMALISASI PERAN KADER
MENGGUNAKAN PEER GROUP EDUCATION. 4, 872–878.

17

Anda mungkin juga menyukai