Anda di halaman 1dari 2

Kasus Baiq Nuril: Perempuan yang dipidanakan karena merekam

percakapan mesum akan 'tagih amnesti' ke Jokowi

Yang dipidanakan karena merekam percakapan mesum kepala sekolah, mengatakan


akan meminta Presiden Joko Widodo memberikan amnesti setelah upaya peninjauan
kembali (PK) ditolak Mahkamah Agung.

Baiq Nuril tetap dihukum dengan enam bulan penjara dan denda Rp500 juta setelah dijerat
dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dalam kasus penyebaran informasi
percakapan mesum kepala sekolah tempat ia pernah bekerja.

Namun eksekusi hukuman tersebut ditunda oleh kejaksaan dan saat ini perempuan asal Nusa
Tenggara Barat itu masih bebas.

Salah satu pengacara Nuril, Joko Jumadi, menyatakan bahwa kliennya "sudah siap menerima
apapun putusan PK" namun berharap ia menjadi "korban terakhir yang dikriminalisasi".
 Baiq Nuril, perekam percakapan 'tidak senonoh' kepala sekolah di Mataram, akan ajukan
PK
 Kasus Baiq Nuril: Solusi hukum dengan grasi atau amnesti?
 Dugaan pelecehan seksual mahasiswi UIN SGD Bandung: Mengapa 'tidak pernah
terungkap'?

Juru bicara Mahkamah Agung (MA), Andi Samsan Nganro, mengatakan MA menolak upaya PK
yang diajukan kuasa hukum Baiq Nuril pada Kamis (04/07).

Majelis hakim yang dipimpin oleh Suhadi dengan anggota Margono dan Desnayeti menyatakan
dalil PK yang diajukan pihak Baiq Nuril—bahwa ada kekhilafan atau kekeliruan nyata di dalam
putusan kasasi MA—tidak dapat dibenarkan.

"Karena menurut majelis hakim PK bahwa putusan majelis kasasi yang menyatakan bersalah dan
menjatuhkan pidana kepada Baiq Nuril itu sudah tepat dan benar dalam pertimbangan hukumnya,"
kata Andi kepada wartawan BBC News Indonesia, Pijar Anugerah, lewat sambungan telepon.

Sebelumnya, hakim kasasi Mahkamah Agung menyatakan Nuril bersalah atas sangkaan
"mendistribusikan atau mentransmisikan konten kesusilaan" yang tertera dalam pasal 27 ayat 1
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Kronologi kasus Baiq Nuril

Putusan MA ini membatalkan vonis yang ditetapkan oleh Pengadilan Negeri Kota Mataram
pada Juli tahun lalu yang menyatakan Baiq Nuril tidak bersalah dan dia dibebaskan dari status
tahanan kota.

Pada November lalu, kejaksaan menunda eksekusi hukuman Nuril. Perjuangan Nuril
mendapatkan keadilan mendapat dukungan dari Presiden Joko Widodo, yang mempersilakan
perempuan itu untuk mengajukan grasi seandainya PK-nya ditolak. "Seandainya nanti PK-nya
masih belum mendapatkan keadilan, bisa mengajukan grasi ke Presiden. Memang tahapannya
seperti itu. Kalau sudah mengajukan grasi ke presiden, nah nanti itu bagian saya," kata Jokowi, 19
November lalu.

Menanggapi komentar Jokowi, kuasa hukum Nuril mengatakan tawaran grasi itu akan
ditolak karena grasi menyiratkan kliennya bersalah.

Sekarang, tim kuasa hukum Nuril mengatakan akan meminta Presiden Jokowi
mengeluarkan amnesti. "Dari kuasa hukum sendiri sedang berusaha menagih janji dari Presiden,
bahwa waktu itu pernah menyatakan statemen presiden adalah kalau MA tetap menghukum nanti
kemudian Presiden yang akan turun tangan," kata pengacara Joko Jumadi, yang mengaku belum
menerima putusan salinan MA dan baru mengetahui soal putusan ini dari situs MA pada Jumat pagi
(05/07).

"Maka dalam konteks ini saya pikir amnesti menjadi satu-satunya jalan untuk
menyelamatkan ibu Nuril."

Menjadi Korban Terakhir

Ditanyai bagaimana kondisi Nuril menghadapi putusan ini, Joko mengatakan bahwa
perempuan itu "relatif tegar".

"Dia menyampaikan bahwa tidak apa-apalah dia yang menjalani pidana penjara ini, asalkan
dia menjadi perempuan terakhir yang menjadi korban yang harus menjalani pidana," ujarnya.

Joko mengaku tidak tahu kapan hukuman terhadap kliennya akan dieksekusi. Namun ia
mengatakan bahwa "kapan pun jaksa mau melakukan eksekusi pada prinsipnya kita sudah siap."

Anda mungkin juga menyukai