Anda di halaman 1dari 13

INVERTED PAPILLOMA

Riko Radityatama Susilo, Rizalina A. Asnir

Pendahuluan

Inverted papilloma merupakan tumor jinak yang berasal dari epitel mukosa hidung,
umumnya mengenai dinding lateral rongga hidung. Epitel yang hyperplastik secara mikroskopsik
terlihat membalik atau terdapat pertumbuhan endofatik ke stroma di bawahnya.1,2
Tumor ini mudah pecah, berwarna merah sampai kelabu seperti bentuk edem yang
terlihat bening, menyerupai polip tetapi lebih padat dan biasanya bersifat unilateral. Meskipun
secara histologi inverted papilloma merupakan tumor jinak tapi berkemampuan untuk tumbuh
cepat dan bertendensi menjadi keganasan 5-15%. Dikatakan sebagai tumor pra ganas
berdasarkan dua alasan : 1). bersifat invasih lokal, terkadang menyebabkan erosi tulang yang
luas dan jika diangkat secara konservatif, maka kejadian untuk terulang kembali cukup tinggi; 2).
dalam papilloma ditemukan fokus – fokus karsinoma sel gepeng yaitu pada sekitar 10 persen
kasus. Umumnya inverted papilloma sering terjadi pada orang dewasa umur 40 – 70 tahun,
terutama laki-laki cenderung lebih banyak dari perempuan dengan perbandingan 4 : 1. 1,2,3
Penatalaksanaan inverted papiloma yang baik adalah dengan metode operasi dengan
pengangkatan tumor secara keseluruhan tanpa meninggalkan sisa, oleh karena punya
kecenderungan untuk kambuh dan berhubungan dengan keganasan. Tindakan operasi yang
paling sering dipilih adalah pendekatan rinotomi lateral jika tumor berbatas pada rongga hidung,
jika sudah meluas ke sinus paranasal dapat dilakukan maksilektomi. 1,2,4

Anatomi
Hidung Luar
Bentuk hidung luar seperti piramid. Bagian puncak hidung disebut apeks. Agak ke atas
dan belakang dari apeks disebut batang hidung (dorsum nasi), yang berlanjut sampai ke belakang
ke pangkal hidung dan menyatu ke dahi. Yang disebut kolumela membranosa mulai dari apeks,
yaitu di posterior bagian tengah pinggir dan terletak sebelah distal dari kartilago septum. Titik
pertemuan kolumela dengan bibir atas dikenal sebagai dasar hidung. Disini bagian bibir atas
membentuk cekungan dangkal memanjang dari atas ke bawah, disebut filtrum. Sebelah kanan

1
dan kiri kolumela adalah nares anterior atau nostril kanan dan kiri, sebelah laterosuperior dibatasi
oleh ala nasi dan di sebelah inferior oleh dasar hidung.3,5
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan
ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang
hidung.2

Gambar 1 anatomi hidung luar6

Kerangka tulang terdiri dari : 3.6


1. Sepasang os nasalis
2. Prosesus frontalis os maksila
3. Prosesus nasalis os frontal
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari 3,6
1. Sepasang kartilago nasalis lateral superior
2. Sepasang kartilago nasalis lateral inferior
3. Beberapa pasang kartilago ala minor
4. Kartilago septum

Kerangka tulang dan kartilago dari hidung ditutupi oleh otot-otot yang dapat menggerakkan ala
nasi, otot-otot tersebut antara lain:6
1. M. proserus
2. M. dilator nares
3. M. levator labii superior
4. M. nasalis
5. M. depresor septi

Hidung dalam
Hidung dalam dibagi menjadi kavum nasi kanan dan kiri oleh septum nasi. Setiap kavum
nasi tersebut dihubungkan dengan dunia luar melalui nares anterior dan dihubungkan dengan
nasofaring melalui nares posterior (koana). 3,6
Hidung bagian dalam terdiri dari :3
a. Vestibulum

2
Terletak tepat di belakang nares anterior, dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar
sebasea dan rambut-rambut yang disebut vibrissae.
b. Septum nasi dibentuk oleh tulang dan tulang rawan, yang membagi kavum nasi menjadi
kavum nasi kanan dan kiri.
Bagian tulang terdiri dari:
- Lamina perpendikularis os etmoid
- Os vomer
- Krista nasalis os. Maksila
- Krista nasalis os. Palatine
Bagian tulang rawan terdiri dari:
- Kartilago septum (lamina kuadraangularis)
- kolumela
c. Kavum Nasi

1. Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatina os. Maksila dan prosesus horizontal os. Palatum
2. Atap hidung
Terdiri dari kartilago lateralis superior dan inverior, os nasal prosesus nasalis os. Maksila, korpus
os. Etmoid dan korpus os. Sphenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa
yang didahului oleh filament-filamen n. olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan cranial konka superior.
3. Dinding lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os. Maksila, os. Lakrimalis,
konka superior, konka media, konka inferior, lamina perpendikularis os. Palatum dan lamina
pterigodeus medial.
4. Konka
Pada dinding lateral hidung terdapat 4 buah konka. Dari bawah ke atas yaitu konka inferior,
konka media, konka superior dan konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter.
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os. Maksila dan labirin etmoid,
sedangkan konka media dan superior merupakan bagian dari labirin etmoid
5. Meatus nasi
Diantara konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Meatus
inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung,
dimana pada meatus ini terdapat muara duktus nasolakrimalis. Meatus media terletak di antara
konka media dan dinding lateral rongga hidung, di meatus ini terdapat muara sinus maksila,

3
sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang antara
konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sphenoid.
6. Dinding medial
Dinding medial hidung adalah septum nasi.

Gambar 2 : Struktur dinding lateral hidung6

Perdarahan Hidung 6
Septum Nasi
1. Sistem karotis interna
a. Arteri etmoidalis anterior
b. Arteri etmoidalis posterior
Kedua arteri ini adalah cabang dari arteri ophtalmika
2. Sistem karotis eksterna
a. Arteri spenopalatina (cabang arteri maksilaris).
b. Arteri palatina mayor cabang septum (cabang dari arteri maksilaris).
c. Arteri labialis superior cabang septum (cabang dari arteri fasialis).

Dinding Lateral
1. Sistem karotis interna
a. Arteri etmoidalis anterior
b. Arteri etmoidalis posterior
Kedua arteri ini adalah cabang dari arteri ophtalmika
2. Sistem karotis eksterna
a. Arteri spenopalatina
b. Arteri palatina mayor dari arteri maksilaris
c. Arteri maksilaris cabang infraorbital
d. Cabang arteri fasialis

4
Pada bagian bawah depan dari septum terdapat anastomosis dari empat jenis arteri yaitu arteri
etmoidalis anterior, arteri laibialis superior, arteri sfenopalatina, arteri palatina mayor, yang
membentuk plexus Kiesselbach (Little’s Area). Area ini mudah berdarah oleh trauma dan
merupakan lokasi biasa terjadinya epistaksis pada anak-anak dan dewasa muda.3
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya.
Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena ophtalmika superior yang
berhubungan dengan sinus kavernosus.3
Persarafan hidung3
1. Saraf motorik
Untuk gerakan otot-otot pernafasan pada hidung luar mendapat persarafan dari cabang
nervus fasialis.
2. Saraf sensoris
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus
etmoidalis anterior, merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari nervus
ophtalmika (N. V-I). rongga hidung lainnya sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari
nervus maksila melalui ganglion sfenopalatina.
3. Saraf otonom
Ganglion sfenopalatinum, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut parasimpatis
dari nervus petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas
ujung posterior konka media.
4. Nervus olfaktorius (penciuman)
Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribriformis dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di
daerah sepertiga atas hidung.

Definisi
Inverted papilloma merupakan tumor jinak yang berasal dari epitel mukosa hidung,
umumnya mengenai dinding lateral rongga hidung1,2
Kekerapan
Angka kejadian terbanyak pada usia antara 40 – 70 tahun, dengan perbandingan angka
kejadian pada laki-laki dan perempuan 4 : 1.5,7,8

Etiologi

5
Sampai saat ini penyebab yang pasti dari papiloma inverted ini belum diketahui. Faktor-
faktor yang diduga berpengaruh seperti alergi, sinusitis kronis, terpapar zat karsinogen dan
infeksi virus.7,9
Histopatologi
Gambaran makroskopis papiloma inverted mirip seperti polip tetapi lebih padat dan
permukaan bergerombol, dengan warna bervariasi dari merah muda sampai agak pucat, lebih
banyak jaringan vaskularnya dari polip.5
Lesi dari papiloma inverted ini umumnya berasal dari mukosa dinding lateral dari nasal
dan dapat melibatkan sinus paranasal, orbital dan anterior basis kranii.5
Papiloma inverted merupakan bentuk kelainan yang ditandai dengan epitel yang
hiperplastik terlihat membalik (inverted) dan terdapat pertumbuhan yang endofilik ke stroma
dibawahnya Papiloma ini secara histologik dibagi dalam tiga tipe yaitu papiloma inverted,
papiloma fungiform dan papiloma silindris. Papiloma fungiform berasal dari septum nasi,
sedangkan papiloma inverted dan silindrik berasal dari dinding lateral hidung.5,10,1
Gejala Klinik
Lamanya timbul gejala papiloma inverted bervariasi antara beberapa minggu sampai
tahunan, tidak ada gejala spesifik yang dapat membedakan papiloma inverted dan papiloma
inverted dengan keganasan.4,12
Gejala utama yang paling banyak dikeluhkan oleh penderita papiloma inverted ini adalah
sumbatan hidung yang bersifat unilateral, diikuti oleh gejala rinorhea dan perdarahan hidung.
Kemudian gejala proptosis dan epipora pada kondisi yang lebih lanjut melibatkan orbita dan
duktus lakrimalis.4,12
Pemeriksaan Penunjang
 Radiologi
Pemeriksaan radiologi penting untuk mengetahui keadaan tumor, kerusakan terhadap
jaringan sekitarnya yang akan menentukan tindakan yang akan dilakukan serta evaluasi. Pada
pemeriksaan foto polos tampak bayangan radioopak di sinus paranasal dan destruksi tulang pada
sebagian besar kasus.
a) Pemeriksaan tomografi computer (CT Scan) lebih bermanfaat, karena dapat memberikan
gambaran yang lebih jelas tentang keadaan tumor, perluasan ke jaringan sekitarnya, destruksi
tulang atau perluasan ke intracranial. Pada keganasan dapat terlihat gambaran obliterasi, infiltrasi
ke struktur sekitarnya. Pemeriksaan itu juga dapat mendeteksi adanya pembesaran kelenjar limfe
leher.

6
Gambar 3 : CT Scan inverted papiloma, Massa inferted papilloma13

b) Pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging ( MRI ) lebih unggul dalam menilai batas-
batas tumor, secara 3 dimensi tanpa memanipulasi posisi penderita pada saat pemeriksaan.
Oleh karena papiloma inverted sangat tinggi angka rekurensinya dan hubungannya
dengan keganasan maka seharusnya dilakukan CT Scan ataupun MRI untuk menentukan secara
akurat perluasan dari tumor.5,14,15
 Pemeriksaan Biopsi
Hasil pemeriksaan biopsi merupakan diagnosis pasti serta menentukan derajat keganasan.
Selain itu untuk menentukan terapi selanjutnya serta meramalkan prognosis. Pemeriksaan ini
sebaiknya dilakukan sebelum operasi dan ketika operasi berlangsung, biopsi dilakukan dengan
hati-hati karena dapat terjadi perdarahan.5
Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan:
 Anamnesa yang cermat dari gejala klinis
 Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan penunjang:
- Radiologis
- Histopatologi

Diagnosa Banding
-
Polip nasal, mempunyai gambaran berupa massa putih keabuan, permukaan licin dan
mengkilat. Dapat terjadi pada semua golongan umur, biasanya setelah dewasa, tidak ada
perbedaan tingkat kejadian pada jenis kelamin, biasanya ada riwayat alergi ataupun infeksi yang
bersifat kronis.7,8
-
Angiofibroma, gambaran massa berwarna merah muda sampai keabuan, permukaan rata,
mudah berdarah, konsistensi kenyal, tumbuh dengan cepat. Berasal dari posterolateral atau

7
superior kavum nasi, dapat menyebar dan mendestruksi jaringan sekitarnya. Secara histologis
terdiri dari jaringan ikat dan pembuluh darah.7,8

Penatalaksanaan
 Pembedahan
Prinsip pengobatan papiloma inverted adalah pengangkatan tumor secara keseluruhan,
tanpa meninggalkan sisa, mengingat tumor ini cenderung kambuh. Sebagai pilihan pengobatan
utama adalah pengangkatan tumor dan eksisi dengan pendekatan rinotomi lateral atau
degloving.2 Pendekatan degloving atau rinotomi lateral yang dikombinasi dengan medial
maksilektomi sangat menurunkan angka rekurensi.7,10
a) Rinotomi Lateral
Myers dan Thawley menganjurkan rinotomi lateral pada dinding samping hidung diikuti
dengan pengangkatan dengan hati-hati semua mukosa lainnya yang ada pada ipsilateral sinus
paranasal. Sessions, Larson dan Pope menganjurkan cara rinotomi lateral yang dilanjutkan
dengan etmoidektomi dan maksilekstomi medial untuk mengangkat tumor-tumor yang
terlokalisir di hidung, baik jinak maupun ganas.
Teknik rinotomi lateral telah mengalami beberapa modifikasi. Moure, membuat insisi di
samping hidung setinggi kantus medial samapai ke ala nasi, diteruskan sampai ke dasar
kolumela, bila insisi Moure dilanjutkan ke bawah melalui sulkus infranasal dan mendorong bibir
atas disebut insisi weber. Bila insisi weber ini diperluas sampai dibawah kelopak mata disebut
insisi weber-ferguson. Insisi dapat diteruskan sampai bersambung dengan insisi gingivobukal.
Setelah kulit diinsisi dan periosteum dilepaskan dari tulang muka, dilakukan osteotomi untuk
mengangkat tulang hidung. Mukosa hidung dipotong sepanjang pinggir aperture piriformis
sehingga pyramid hidung bisa ditarik ke sisi yang berlawanan.
Semua kasus – kasus yang ditemui bersama skuamosa sel karsinoma telah ditanggulangi
dengan cara seperti di atas tanpa terjadi kekambuhan kembali tumor tersebut dan didapat hasil
yang cukup baik mengenai aspek kosmetik dan fungsionalnya16,17,18,19
b) Degloving
Teknik pembedahan degloving yang digunakan ada 2 jenis yaitu:
 Menurut Conley dan Price serta Magnila:
Pada prinsipnya dibuat 4 macam insisi yaitu:
1. Insisi sublabial seperti pada operasi Caldwell luc, mulai dari tuberositas maksila satu sisi
sampai tuberositas maksila sisi lainnya. Insisi diteruskan sampai mencapai periosteum

8
dan jaringan lunak muka dilepaskan dari dinding depan maksila sampai mencapai
foramen infraorbita. Saraf dan pembuluh darah infraorbita dipertahankan.
2. Dilakukan insisi transfiksi yang akan memisahkan tulang rawan septum dengan kolumela
3. Insisi interkartilago pada kedua sisi, sehingga memisahkan jaringan lunak hidung dengan
kartlago lateral atas hidung. Periosteum di atas tulang dilepaskan ke lateral sejauh
mungkin dan juga ke superior sampai mencapai pangkal hidung.
4. Insisi sekeliling apertura piriformis pada kedua sisi.
Keempat insisi ini dihubungkan menjadi satu dengan mempergunakan gunting lengkung,
sehingga jaringan lunak di bagian tengah muka dan hidung dapat ditarik ke arah kranial sampai
mencapai sutura nasofrontal dan lengkung infraorbita. Tarikan ke atas dapat dilakukan retraktor
“langerbeck” atau 2 buah penrose drain yang dimasukkan melalui lubang hidung dan kemudian
dijepitkan dengan hemostat yang kuat pada penutup kepala. Setelah itu dilakukan reseksi tulang
sesuai dengan kebutuhan untuk jalan masuk ke arah nasofaring dan tempat-tempat lain sesuai
kebutuhan. Mula-mula dilakukan pengangkatan dinding depan sinus maksilaris dan tulang
sepanjang pinggir apertura piriformis. Bila kelainan meluas sampai ke arah duktus nasofrontal
dan lamina kribriformis, dilakukan osteotomi medial, lateral dan superior. Bila perlu tulang
hidung dan prosesus frontalis maksila dapat diangkat. Dengan bantuan elevatorium, mukosa
dinding lateral rongga hidung beserta konka inferior dan media dilepaskan dari dinding lateral
rongga hidung dan kemudian tulang dinding lateral rongga hidung diangkat seluruhnya dengan
menggunakan pahat dan rongeur. Sel-sel etmoid dibersihkan dengan kuret. Mukosa dinding
lateral rongga hidung kemudian digunting dari depan, menyusuri rongga hidung ke arah
posterior maksila kemudian melengkung ke atas mencapai dasar orbita. Mukosa ini bersama
konka yang melekat padanya ditarik ke lateral atas masuk ke rongga sinus maksilaris.
Jika perlu untuk memperluas lapangan operasi dapat dilakukan reseksi submukosa tulang
rawan dan septum bagian posterior. Jika tumor telah meluas ke fosa pterigomaksila, dinding
posterior sinus maksila diangkat. Dengan bantuan jari-jari, tumor dilepaskan dari perlengketan
sekitarnya dan ditentukan tempat basis tumor melekat. Dengan elevatorium basis tumor
dilepaskan, kemudian tumor dikeluarkan dengan tang tumor. Perdarahan diatasi dengan tampon
tekan dan kauterisasi, kemudian dipasang tampon posterior dan anterior pada kedua rongga
hidung.
Insisi transfiksi dijahit dengan dexon 3/0 yang membentuk angka delapan agar pinggir
insisi tepat bertemu dan tidak bergeser. Insisi sublabial dijahit seperti biasa, hidung luar difiksasi
dengan plester. Pada hari ketiga tampon posterior dan anterior dibuka.

9
 Cara Pavolainen dan Malmberg
1. Dilakukan insisi sublabial bilateral seperti cara Conley.
2. Mukosa hidung hanya diinsisi sepanjang bagian bawah apertura piriformis.
3. Dilakukan osteotomi lateral pada kedua sisi, yang juga memotong mukosa hidung sampai
mencapai sutura naso frontal.
4. Tulang rawan septum bersama mukosa yang menutupinya digunting mulai dari spina
nasalis anterior ke atas sampai mencapai sutura nasofrontal, yaitu pada batas atas
osteotomi sejajar dengan arah osteotomi. Kemudian dilakukan tindakan yang sama
seperti cara Conley untuk mengeksisi massa tumor.16,17,18,19

Teknik yang mulai dikembangkan di beberapa negara saat ini adalah menggunakan alat
endoskopi dengan keberhasilan cukup baik. Pemeriksaan endoskopi ini memiliki angka
kekambuhan yang rendah dan beberapa keuntungan lain baik secara kosmetik, mempersingkat
waktu perawatan, perdarahan yang sedikit dan yang penting adalah pandangan yang jelas dari
tumor sehingga mencegah pengangkatan tumor secara tidak lengkap.20
 Radioterapi
Penggunaan radioterapi pada papiloma inverted masih diperdebatkan. Beberapa penulis
menganggap radioterapi tidak efektif untuk tumor ini dan juga tidak efektif untuk
mencegah kekambuhan. Radioterapi juga dianggap mempunyai resiko menimbulkan
transformasi ganas.5
 Kemoterapi
Kemoterapi diindikasikan untuk kasus-kasus yang sudah jelas ada keganasan, keadaan
penderita inoperable dan bersifat paliatif. Adanya metastase jauh juga merupakan indikasi
untuk kemoterapi.5
Prognosa
Prognosisnya dipengaruhi banyak faktor seperti usia penderita, lokasi dan penyebaran
tumor dan keterlibatan organ sekitar serta jenis terapi dan teknik pendekatan yang dilakukan,
keterlibatan kelenjar limfe leher dan gambaran histology.4
Kesimpulan
 Papiloma inverted merupakan tumor jinak yang jarang dengan angka kekambuhan yang
sangat tinggi.
 Papiloma inverted secara histologi jinak tapi berkemampuan untuk tumbuh cepat dan
bertendensi menjadi keganasan.

10
 Teknik pendekatan bedah dengan sebersih mungkin mengangkat massa tumor dengan
tidak meninggalkan sisa untuk menghindari rekurensi.
 Penggunaan radioterapi pada papiloma inverted masih diperdebatkan. Radioterapi tidak
dianjurkan karena dapat meningkatkan transformasi keganasan.

Kepustakaan
1. M.D, Hilger, Penyakit Hidung, dalam: Buku Ajar Penyakit THT, edisi 6, Jakarta, EGC,
1997,h: 200- 39
2. Averdi Roezin, Endang M, Tumor Hidung Dan Sinus Paranasal, dalam: Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala dan Leher, edisi kelima, Jakarta, FKUI,
2001, h: 143-5
3. Ballenger JJ, Aplikasi Klinis Anatomi dan Fisiologi Hidung dan Sinus Paranasal, dalam :
Ballenger JJ, Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala dan Leher, Jilid I, edisi 13,
Jakarta, Bina Rupa Aksara, 1994, h: 1-25
4. LEE KJ, The Nose and Paranasal Sinus, in: Essential Otolaryngology Head and Neck
Surgery, ninth edition, Mc Graw Hill Medical, New York, 2008 365-412
5. Carrau LR, Zimmer AL, Neoplasma of the Nose and Paranasal Sinuses, Bailey JB, Head
and Neck Surgery – Otolaryngology, fourth edition, lippincot – raven, New York, 2006, p
: 1482-98.

11
6. Dhingra PL. Disease of the Nose and Paranasal Sinuses. In: Disease of Ear, Nose and
Throat. Fourth Edition. Elsevier. India. 2007.
7. Lalwani AK, Paranasal Sinus Neoplasms, in Current Diagnosis and Treatment
Otolaryngology Head and NeckSurgery, second edition, Mac Graw-Hill, 2007.
8. Chessman AD, Jami O, Cyst Granulomas and Tumours oh the Jaws, Nose, and Sinuses,
in : Scott – Brown’s Otolaryngology, Sixth Edition, Vol. 5 Laryngology and Head and
Neck Surgery, BH. International Edition, British 1997, p : 5/23/1-24
9. Oikawa et al, Clinical and Pathological Analysis of Recurrent Inverted Papilloma, in
:The Annals of Otology, Rhinology and Laryngologi : April 2007; 116, 4.
10. Marhaimi Sri, Inverted Papiloma Sinus Maksilaris dengan Teknik Degloving, dalam :
Kumpulan Karya Ilmiah Bagian THT, FK USU, 1999, h : 101-18.
11. Ara A. Chalian, MD, Neoplasms of the Nose and Paranasal Sinuses, Ballenger’s Manual
of Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery, Hamilton London, 2002, 304-13
12. Dhingra PL, NEOPLASMS OF NASAL CAVITY. In: Disease of Ear, Nose and Throat.
Fourth Edition. Elsevier. India. 2007.
13. Sharma V and Koirala K, Lateral rhinotomy vs mid-facial degloving for
T3 inverted papilloma of nose and paranasal sinus, Department of ENT
and Head Neck surgery, Nepal Med Coll J 2009; 11(2): 115-117
14. Zeifer A Barbara, Sinus Imaging, Bailey JB, Head and Neck Surgery – Otolaryngology,
fourth edition, lippincot – raven, New York, 2006, p : 430-46
15. Kim YJ et al, The prevalence of human papillomavirus infection in sinonasal inverted
papilloma specimens classified by histological grade, in: American journal of Rhinology,
Vol. 21, 6, 2007.
16. Shah P Jatin, Nasal Cavity and paranasal sinuses, in : Head and Neck Surgery and
Onkology, Third Edition, Philadelphia, 2003, p: 57-92.
17. Stern JS, Hanna E, Cancer of the Nasal Cavity and Paranasal Sinuses, in : Myers NE,
Cancer of the Head and Neck, Third Edition, Philadelphia, 1996, p: 204-31.
18. Mark CS, Surgical Approach for Tumors of the Nose, Sinuses and Anterior Skull Base,
in : Nasal and Sinus Surgery, WB Saunders, Philadelphia 2000, p : 317-40
19. F. Walter,Approaches to the Paranasal Sinuses, Anterior Skull Base, Midface, Orbi and
Pituitary, in; Surgical approaches in Otorhinolaryngology, Thieme New York, 1999, p :
186-209
20. Sautter BN et al, Comparison of open versus andoscopic resection of inverted papilloma,
in : American Journal of Rhinology, Vol. 21, 3 2007.

12
13

Anda mungkin juga menyukai