Anda di halaman 1dari 1

Dua orang biksu, dalam perjalanan pulang kembali ke biara, bertemu dengan seorang wanita

yang sangat cantik jelita di tepi sungai. Seperti mereka, wanita itu pun ingin menyeberangi
sungai. Sayang, airnya terlalu tinggi. Maka salah seorang biksu menggendongnya sampai di
seberang.
Biksu yang satunya lagi sungguh-sungguh merasa mendapat batu sandungan. Selama dua jam
penuh ia mencaci-maki temannya, karena lengah mematuhi Peraturan Suci. Apakah ia lupa,
bahwa ia seorang biksu? Bagaimana ia sampai-sampai berani menyentuh seorang wanita? Dan
lebih lagi menggendongnya menyeberang sungai. Lalu bagaimana kata orang nanti? Apakah
tidak merendahkan martabat agamanya? Dan begitu seterusnya.
Biksu yang bersalah itu dengan sabar mendengarkan khotbah yang tak habis-habisnya itu.
Akhirnya ia menyela: 'Kawanku, aku sudah meninggalkan wanita tadi di pinggir sungai. Apakah
engkau masih tetap membawanya?'

----

Si pendosa telah melakukan kesalahan yang besar, di masa lalu. Tetapi ia meminta maaf. Dan ia
telah ditangkap. Dan dihukum. Dan kita terus menggunjingkannya. Menghinanya. Mencelanya.
Mencemoohkannya. Menebarkan kebencian kepada orang lain supaya ikut membencinya. Kita
melakukannya setiap waktu, setiap hari, bahkan setiap detik. Di masyarakat, di media sosial, di
instagram, di facebook, di grup WA. Tujuannya mungkin terdengar mulia, supaya orang tetap
mengingat bahwa perbuatan dia itu salah. Namun pertanyaannya adalah, apakah dengan berbuat
demikian, kita menjadi lebih baik dari pendosa itu sendiri? Atau sebaliknya? Bukankah dia
melakukannya sekali, tetapi kita membalasnya berkali-kali, bahkan setiap detik dalam hidup
kita? Jika sudah demikian, apa mungkin pertanyaan pada dongeng di atas ditujukan kepada kita :
'Kawanku, aku sudah meninggalkan wanita tadi di pinggir sungai. Apakah engkau masih tetap
membawanya?'

Anda mungkin juga menyukai