Anda di halaman 1dari 4

SEPUCUK SURAT BUAT AYAH

Di malam yang dingin , kutuliskan sepucuk kisah yang begitu bermakna.


Merupakan sandiwara dalam akhir sayonara kehidupan Terhadap kasih sayang yang
tidak akan pudar sepanjang masa. Ayah di balik tirai senja ini, izinkanlah putra
sulungmu mengenang masa lalu. Mengenang dengan iringan kerinduan yang
semakin bertalu. Semakin merindu ketika gerombolan burung camar dalam
perjalanan ke sarang. Mengingatkan kesabaranmu dalam mendidik anakmu.
Dengan ditemani kawan derai ombak ini, kuingat kembali kenangan tatkala belajar
ketabahan bersamamu. Air mata menetes tak kuasa menahan kelu lidah dan
dekapan perasaan penuh rindu.Ayah, kasih sayang dan cintamu telah
menghantarkan anakmu belajar nan jauh. Begitu jauh, hingga wajahmu tak sanggup
kubayangkan di ujung laut sana. Kerinduan akan senyuman dan dekapanmu begitu
mencekam. Hingga selalu terbayang dermaga ini merupakan jalan pulang menuju
kampung halaman.Ini hanyalah sekilas kisah kecil dalam diriku. Sekilas kisah
tentang perjalanan belajar yang begitu bermakna. Mengandung sayatan-sayatan arti
kehidupan tentang cinta dan kasih sayang seorang ayah. Ketabahan dan kesabaran
yang ayah miliki, menghantarkan anak sulungnya untuk terus belajar dalam
keterbatasan yang menghimpit.

Tepi bibir pantai ini menjadi saksi bisu, akan curahan perasaan nan pilu.
Kenangan muncul silih berganti dalam mengingat perjalanan masa kecil dulu. Ayah,
engkau bagaikan oase dalam hidupku. Bermacam hambatan dan cobaan dalam
hidup. Engkau jadikan makna sebagai pengganti proses belajar. Engkau selalu
menanamkan pendidikan dalam setiap sendi kehidupan. Tidak hanya kecerdasan
dalam berpikir, namun ketajaman menggunakan hati dalam menghargai orang lain.

Teringat tatkala engkau pertama kali menghantarkanku untuk masuk ke sekolah.


satu demi satu sekolah tiada yang menerima karena keterbatasan dalam diriku.
Namun kegigihan membuat engkau terus berjalan, berkilometer terus engkau
telusuri, demi untuk membuka sedikit demi sedikit pintu harapan masa depan. Masa
depan yang entah tak tahu bagaimana putra sulungmu mempertanggungjawabkan.
Ayah selalu mengatakan bahwa kita merupakan keluarga yang sedehana.
Berbeda dengan kebanyakan tetangga kita yang serba kecukupan. Masih
membekas dalam ingatan. Ketika dalam keheningan sholat isya, ayah digiring keluar
dari surau peribadatan. Putramu menangis melihat ayah difitnah dan dilecehkan.
Mengapa ayah waktu itu melarang putramu marah untuk memukuli mereka.
Mengapa ayah menahan putramu yang tak tertahankan dalam linangan air mata.
Ayah memang selalu mengajarkan tentang sikap rendah hati, menghargai dan
menyayangi orang lain sekalipun kita harus diselimuti kehinaan dan cacian oleh
mereka. Namun tidak sepantasnya ayah mendapat perlakukan seperti ini.

Ketabahan dan kesabaran ayah juga tampak, ketika ibu pergi meninggalkan kita.
Enam bulan ibu pergi dan tak pernah memberikan suatu kabar berita. Suatu ketika
ibu pulang dan kebahagiaan terpancar dari raut wajah ayah. Namun sayang,
kepulangan ibu menjadi perjumpaan untuk terakhir kalinya. Ibu menggugat ayah
karena keluarga kita hidup dalam lingkaran kemiskinan. Ibu mencaci dan mencela
ayah dalam ungkapan yang menyakitkan. Air mata tak dapat terbendung ketika ayah
menatap kepergian ibu dari balik tirai pintu. Ibu pergi bersama pria lain yang lebih
mapan dari pada ayah.

Waktupun terus berputar, menghantarkan putramu kepada gerbang pendidikan


yang lebih tinggi. Ayah, aku ingat ketika engkau mengusirku dengan kasih
sayangmu. Engkau putuskan aku untuk belajar di pesantren. Engkau selalu
menyisipkan nasihat akan bekal cahaya ilmu agama. Ilmu yang akan menjadi lentera
dalam kegelapan kedzaliman. Aku tahu bahwa ini berat bagiku. Begitupun berat
bagimu. Tak kuasa air mata menetes, ketika berpamitan denganmu. Tampak terlihat
urat-urat wajahmu menandakan teramat berat engkau berpisah denganku. Namun
engkau tetap berada dalam pendirian kuatmu ayah. Dengan berkata terbata engkau
mengatakan jika seorang laki-laki harus kuat. Karena engkau selalu berharap
putramu membawa lentera di masa depan. Menghadirkan senyuman harapan dalam
setiap keterbatasan. Dan satu pesan lagi darimu yang membuat terisak tangis dalam
jiwaku ayah. Engkau tak izinkan aku pulang sebelum terdapat pancaran lentera
keluar dari hatiku.Sesaat membuat hening suasana dalam perpisahan itu. Menyayat
dalam kesunyian relung kalbu. Dalam hati ini selalu berkata tak ingin
meninggalkanmu sendiri ayah. Langkah demi langkah dan semakin jauh tapak kaki
ini meninggalkanmu ayah. Hingga sampai hanya terlihat lambaian tanganmu yang
mengiringi kepergianku. Selain air mata yang menjadi pelengkap dalam perpisahan
itu.

Apa kabar ayah kutuliskan dalam sepucuk perasaan rindu. Sepuluh tahun berlalu
dalam setiap goresan tinta ilmu. Sepuluh tahun itu putramu menunggu dan
berharap. Akan perjumpaan indah bersamamu. Sepuluh tahun itu pula putramu
memegang janji suci darimu. Kini putramu telah tumbuh menjadi seorang pemuda
yang kuat. Yang siap bertahan dalam setiap gelombang kehidupan dunia, yang juga
siap dalam memancarkan lentera, dan berlayar dalam kebahagiaan menuju yang
maha kuasa.

Ayah engkau telah mengirim putramu untuk berlayar dan beradu dengan asa.
Sedangkan di sisi lain engkau mempertaruhkan jiwa dan raga dalam membiayai
putramu. Tak lekang oleh waktu dan tak terbayang betapa letih dirimu. Engkau
merelakan tubuhmu sayu dan kurus tersengat matahari.

Ayah semangatmu tidak akan pernah padam, walaupun dengan napas


tersengal. Engkau tetap melangkah dan berlayar dalam serdadu perjuangan. Cinta
dan pengorbanan meruntuhkan keletihan dalam dirimu. Air matamu menjadi
penyubur akan masa depan buah hatimu. Terkadang engkau tetap belum bisa
bernapas lega, ketika semua orang telah tenggelam dalam selimut kehangatan.
Dengan ditemani angin malam, engkau tetap bekerja dengan membongkah
sekeping demi sekeping batu. Engkau selalu beralasan belum lelah, walaupun
ukiran penderitaan terpahat dalam bahumu. Begitu pula matamu yang terlihat sayu
dan lesu.

Kini putramu telah berhasil dalam menyelesaikan pendidikan ayah. Tak sabar lagi
putramu menunggu bulan depan untuk berjumpa denganmu ayah. Dengan ditemani
suara desir pasir pantai ini. Putramu selalu membayangkan perjumpaan denganmu.
Membayangkan ketika dari kejauhan melihat ayah sedang bergulat dengan
pekerjaan. Setiap tapak kaki melangkah semakin mendekatkan jarak perjumpaan.
Wajah ayah yang terlihat samar dari kejauhan mulai semakin tampak. Urat-urat yang
terpahat dalam wajah ayah menandakan kedewasaan. Tangan ayah yang kaku tak
pernah berhenti dalam melepas keringat dan peluh tubuh ayah. Kaki putramu
bergetar ayah, air mata ikut menagis melihat pengorbanan ayah. Hati terasa
terbungkus, membuat lidah dan tenggorokan seakan di cekal oleh bisu. Tak mampu
mengatakan bahwa putramu kini berada di hadapanmu ayah. Ketika ayah
memalingkan wajah melihat diriku. Sejenak wajah ayah terharu. Tak percaya melihat
sandiwara kehidupan dalam diri ayah. Dengan napas tersengal aku berlari dan
memeluk tubuh ayah. Hingga dunia pun menagis terharu dalam sandiwara
perjumapaan itu. Dalam hati pun terucap, “Terima kasih ayah, kasih sayang dan
cintamu mengokohkan langkah perjalanan hidupku. Ketabahan dan kesabaran
dirimu bukan lagi menjadi inspirasi dalam diriku. Tetapi menjadi inspirasi dari setiap
inspirasi yang terpahat dalam jejak masa lalu. Luka dan dukamu akan segera
terkikis oleh lentera. Lentera yang ayah jaga dengan air mata cinta dan juga kasih
sayang.

Anda mungkin juga menyukai