Tepi bibir pantai ini menjadi saksi bisu, akan curahan perasaan nan pilu.
Kenangan muncul silih berganti dalam mengingat perjalanan masa kecil dulu. Ayah,
engkau bagaikan oase dalam hidupku. Bermacam hambatan dan cobaan dalam
hidup. Engkau jadikan makna sebagai pengganti proses belajar. Engkau selalu
menanamkan pendidikan dalam setiap sendi kehidupan. Tidak hanya kecerdasan
dalam berpikir, namun ketajaman menggunakan hati dalam menghargai orang lain.
Ketabahan dan kesabaran ayah juga tampak, ketika ibu pergi meninggalkan kita.
Enam bulan ibu pergi dan tak pernah memberikan suatu kabar berita. Suatu ketika
ibu pulang dan kebahagiaan terpancar dari raut wajah ayah. Namun sayang,
kepulangan ibu menjadi perjumpaan untuk terakhir kalinya. Ibu menggugat ayah
karena keluarga kita hidup dalam lingkaran kemiskinan. Ibu mencaci dan mencela
ayah dalam ungkapan yang menyakitkan. Air mata tak dapat terbendung ketika ayah
menatap kepergian ibu dari balik tirai pintu. Ibu pergi bersama pria lain yang lebih
mapan dari pada ayah.
Apa kabar ayah kutuliskan dalam sepucuk perasaan rindu. Sepuluh tahun berlalu
dalam setiap goresan tinta ilmu. Sepuluh tahun itu putramu menunggu dan
berharap. Akan perjumpaan indah bersamamu. Sepuluh tahun itu pula putramu
memegang janji suci darimu. Kini putramu telah tumbuh menjadi seorang pemuda
yang kuat. Yang siap bertahan dalam setiap gelombang kehidupan dunia, yang juga
siap dalam memancarkan lentera, dan berlayar dalam kebahagiaan menuju yang
maha kuasa.
Ayah engkau telah mengirim putramu untuk berlayar dan beradu dengan asa.
Sedangkan di sisi lain engkau mempertaruhkan jiwa dan raga dalam membiayai
putramu. Tak lekang oleh waktu dan tak terbayang betapa letih dirimu. Engkau
merelakan tubuhmu sayu dan kurus tersengat matahari.
Kini putramu telah berhasil dalam menyelesaikan pendidikan ayah. Tak sabar lagi
putramu menunggu bulan depan untuk berjumpa denganmu ayah. Dengan ditemani
suara desir pasir pantai ini. Putramu selalu membayangkan perjumpaan denganmu.
Membayangkan ketika dari kejauhan melihat ayah sedang bergulat dengan
pekerjaan. Setiap tapak kaki melangkah semakin mendekatkan jarak perjumpaan.
Wajah ayah yang terlihat samar dari kejauhan mulai semakin tampak. Urat-urat yang
terpahat dalam wajah ayah menandakan kedewasaan. Tangan ayah yang kaku tak
pernah berhenti dalam melepas keringat dan peluh tubuh ayah. Kaki putramu
bergetar ayah, air mata ikut menagis melihat pengorbanan ayah. Hati terasa
terbungkus, membuat lidah dan tenggorokan seakan di cekal oleh bisu. Tak mampu
mengatakan bahwa putramu kini berada di hadapanmu ayah. Ketika ayah
memalingkan wajah melihat diriku. Sejenak wajah ayah terharu. Tak percaya melihat
sandiwara kehidupan dalam diri ayah. Dengan napas tersengal aku berlari dan
memeluk tubuh ayah. Hingga dunia pun menagis terharu dalam sandiwara
perjumapaan itu. Dalam hati pun terucap, “Terima kasih ayah, kasih sayang dan
cintamu mengokohkan langkah perjalanan hidupku. Ketabahan dan kesabaran
dirimu bukan lagi menjadi inspirasi dalam diriku. Tetapi menjadi inspirasi dari setiap
inspirasi yang terpahat dalam jejak masa lalu. Luka dan dukamu akan segera
terkikis oleh lentera. Lentera yang ayah jaga dengan air mata cinta dan juga kasih
sayang.