Anda di halaman 1dari 5

Makalah Sejarah

Pemberontakan DI-TII Di Jawa Tengah Dan Kalimantan Selatan

Guru Pembimbing :
Ibu Rahmah S. Pd
Kelompok 3 :
M. Iman Rizqullah
M. Laduni
M. Naza Allya F.
M. Maulana R.
Madrasah Aliyah Negeri 2 Banjarmasin
2019-2020
1. Pemberontakan DI-TII di Jawa Tengah

Pemberontakan DI/TII Jawa Tengah muncul berawal dari adanya Majelis Islam yang
dipimpin oleh Amir Fatah. Amir Fatah yang merupakan komandan Laskar Hizbullah yang
berdiri sejak 1946 menggabungkan diri dengan TNI battalion 52 dan berdomisili di Brebes-
Tegal. Dia mendapatkan pengikut yang banyak dengan cara menggabungkan laskar-laskar untuk
masuk ke dalam TNI. Setelah mendapatkan pengikut yang banyak maka pada tanggal 23
Agustus 1949 di desa Pengarasan, Tegal, ia memproklamasikan berdirinya Darul Islam (DI).
Pasukannya diberi nama Tentara Islam Indonesia (TII). Ia menyatakan gerakannya bergabung
dengan Gerakan DI/TII Jawa Barat pimpinan Kartosuwiryo.

Gerakan DI/Tll Amir Fatah muncul setelah Agresi Militer Belanda II, yang ditandai dengan
diproklamasikannya NII (Negara Islam Indonesia) di desa Pengarasan, tanggal 28 April 1949.
Gerakan ini didukung oleh Laskar Hisbullah dan Majelis Islam (MI), yang merupakan
pendukung inti gerakan, serta massa rakyat yang mayoritas terdiri dari para petani pedesaan.

Kelompok-kelompok masyarakat tersebut memberikan dukungannya kepada DI/TII karena


alasan ideologi, yaitu memperjuangkan Ideologi Islam dengan mengakui eksistensi Negara Islam
Indonesia (NII).

Amir Fatah merupakan tokoh yang membidani lahirnya DI/TII Jawa Tengah. Semula ia
bersikap setia pada RI, namun kemudian sikapnya berubah dengan mendukung Gerakan DI/TII.
Perubahan sikap tersebut disebabkan oleh beberapa alasan. Pertama, terdapat persamaan ideologi
antara Amir Fatah dengan S.M. Kartosuwiryo, yaitu keduanya menjadi pendukung setia Ideologi
Islam. Kedua, Amir Fatah dan para pendukungnya menganggap bahwa aparatur Pemerintah RI
dan TNI yang bertugas di daerah Tegal-Brebes telah terpengaruh oleh "orang-orang Kiri", dan
mengganggu perjuangan umat Islam. Ketiga, adanya pengaruh "orang-orang Kiri" tersebut,
Pemerintah RI dan TNI tidak menghargai perjuangan Amir Fatah dan para pendukungnya selama
itu di daerah Tegal-Brebes. Bahkan kekuasaan MI yang telah dibinanya sebelum Agresi Militer
II, harus disebahkan kepda TNI di bawah Wongsoatmojo. Keempat, adanya perintah
penangkapan dirinya oleh Mayor Wongsoatmojo.

Didaerah Merapi-Merbabu terjadi kerusuhan-kerusuhan yang dilancarkan oleh Gerakan


Merapi-Merbabu Complex (MMC). Gerakan ini juga dapat dihancurkan. Untuk menumpas
gerakan DI/TII di daerah, Gerakan Banteng Nasional dilancarkan operasi Banteng Raiders. DI /
TII Jawa Tengah terjadi Pada tanggal 23 Agustus 1949, Pemimpinnya Amir Fatah dan Mahfu‘dz
Abdurachman ( Kyai Somalangu).

DI/TII itu kemudian memusuhi pasukan TNI dengan mengadakan pengadangan dan
menyerang pasukan TNI yang sedang dalam perjalanan kembali ke Jawa Barat. Pemberontakan
DI/TII di Jawa Barat dengan segala cara menyebarkan pengaruh-nya ke Jawa Tengah. Gerakan
DI/TII di Jawa Tengah di pimpin Amir Fatah. Daerah operasinya di daerah Pekalongan Tegal
dan Brebes dimana daerah tersebut mayoritas penduduknya beragama Islam yang fanatik.
Pada waktu daerah pendudukan Belanda terjadi kekosongan, maka pada bulan Agustus 1948 Amir
Fatah masuk ke daerah pendudukan Belanda di Tegal dan Brebes dengan membawa 3 kompi
Hizbullah. Amir Fatah masuk daerah pendudukan melalui Sektor yang dipimpin oleh Mayor
Wongsoatmojo. Mereka berhasil masuk dengan kedok untuk mengadakan perlawanan terhadap
Belanda dan mendapat tugas istimewa dari Panglima Besar Sudirman untuk menyadarkan
Kartosuwiryo.

Amir Fatah setelah tiba di daerah pendudukan Belanda di Tegal dan Brebes kemudian melepaskan
kedoknya untuk mencapai tujuan. Dengan jalan intimidasi dan kekerasan berhasil membentuk
organisasi Islam yang dinamakan Majlis Islam (MI) mulai tingkat dewasa sampai Karesidenan.
Disamping itu menyusun suatu kekuatan yaitu Tentara Islam Indonesia (TII) dan Barisan
Keamanan serta Pahlawan Darul Islam (PADI). Dengan demikian di daerah pendudukan, Amir
Fatah telah menyusun kekuatan di Jawa Tengah.
Sementara itu Mayor Wongsoatmojo pada bulan Januari 1949 masuk daerah pendudukan
Belanda di Tegal dan Brebes dengan kekuatan 4 kompi. Kemudian diadakan perundingan dengan
pimpinan Majelis Islam (MI) yang diawali Amir Fatah. Dengan perundingan itu dapat dicapai
suatu kerjasama antara pemerintah militer dengan MI juga antara TNI dengan pasukan Hizbullah
dan Amir Fatah diangkat menjadi Ketua Koordinator daerah operasi Tegal-Brebes.

Dibalik itu semuanya Amir Fatah menggunakan kesempatan tersebut untuk menyusun kekuatan
TII dan DI-nya. Usaha untuk menegakkan kekuasaan di Jawa Tengah semakin nyata. Lebih-lebih
setelah datangnya Kamran Cakrabuana sebagai utusan DI/TlI Jawa Barat untuk mengadakan
perundingan dengan Amir Fatah maka keadaan berkembang dengan cepat.

Amir Fatah diangkat Komandan Pertempuran Jawa Tengah dengan pangkat Mayor Jenderal TII.
Sejak itu Amir menyerahkan tanggung jawab dan jabatannya selaku Ketua Koordinator daerah
Tegal-Brebes kepada Komandan SKS (Sub Wherkraise) III. Ia mengatakan bahwa Amir Fatah
dengan seluruh kekuatan bersenjatanya tidak terikat lagi dengan Komandan SWKS III.

Untuk melaksanakan cita-citanya di Jawa Tengah, DI mengadakan teror terhadap rakyat dan TNI
yang sedang mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Dengan demikian dapat dibayangkan
betapa berat perjuangan TNI di daerah SWKS III, karena harus menghadapi dua lawan sekaligus
yaitu Belanda dan DI/TII pimpinan Amir Fatah.

Kemudian pasukan DI mengadakan penyerbuan terhadap markas SWKS III di Bantarsari. Pada
waktu itu pula terjadilah pembunuhan massal terhadap satu Regu Brimob pimpinan Komisaris
Bambang Suprapto. Pukulan teror DI di daerah SWKS III membuat kekuatan TNI menjadi
terpecah belah tanpa hubungan satu sama lain.
Akibat teror DI tersebut, daerah SWKS III menjadi gawat. Untuk mengatasi keadaan ini
Letkol Moch. Bachrun Komandan Brigade 8/WK I mengambil tindakan mengkonsolidasikan
SWKS III yang telah terpecah-pecah. Kemudian diadakan pengepungan terhadap pemusatan DI.
Gerakan selanjutnya dilaksanakan dalam fase ofensif. Gerakan tersebut berhasil memecah belah
kekuatan DI/TII sehingga terjadi kelompok-kelompok kecil. Dengan terpecahnya kekuatan DI
menjadi kelompok-kelompok kecil tersebut akhirnya gerakan mereka dapat dipatahkan.
Setelah itu gerakan diarahkan kepada pasukan Belanda DI/TII. Gerakan itu dilaksanakan siang dan
malam, sehingga kedudukan mereka terdesak. Dalam keadaan moril pasukan tinggi, datang
perintah penghentian tembak-menembak dengan Belanda. Akhirnya menghasilkan KMB yang
keputusan-keputusannya harus dilaksanakan oleh TNI antara lain penggabungan KNIL dengan
TNI.

Dalam situasi TNI berkonsolidasi, Amir Fatah mengambil kesempatan untuk menyusun kekuatan
kembali. Kekuatan baru itu memilih daerah Bumiayu menjadi basis dan markas komandonya.
Setelah mereka kuat mulai menyerang pos-pos TNI dengan cara menggunakan massa rakyat.
Untuk mencegah DI Amir Fatah agar tidak meluas ke daerah-daerah lain di Jawa Tengah, maka
diperlukan perhatian khusus.

Kemudian Panglima Divisi III Kolonel Gatot Subroto mengeluarkan siasat yang bertujuan
memisahkan DI Amir Fatah dengan DI Kartosuwiryo, menghancurkan sama sekali kekuatan
bersenjata dan membersihkan sel-sel DI dan pimpinannya. Dengan dasar instruksi siasat itu maka
terbentuklah Komando Operasi Gerakan Banteng Nasional (GBN). Daerah Operasi disebut daerah
GBN.

Pimpinan Operasi GBN yang pertama Letkol Sarbini, kemudian diganti oleh Letkol M. Bachrun
dan terakhir Letkol A. Yani. Dalam kepemimpinan Letkol A. Yani untuk menumpas Di Jawa
Tengah dan gerakan ke timur dari DI Kartosuwiryo yang gerakannya meningkat dengan
melakukan teror terhadap rakyat, maka dibentuk pasukannya yang disebut Banteng Raiders.

Kemudian diadakan perubahan gerakan Banteng dari defensif menjadi ofensif. Gerakan
menyerang musuh dilanjutkan dengan fase pembersihan. Dengan demikian tidak memberi
kesempatan kepada musuh untuk menetap dan konsolidasi di suatu tempat. Operasi tersebut telah
berhasil membendung dan menghancurkan ekspansi DI ke timur, sehingga rakyat Jawa tengah
terhindar dari bahaya kekacauan dan gangguan keamanan dari DI.

Dibawah kepemimpinan Amir Fatah, sampai dengan tahun akhir tahun 1950, Gerakan DI/TII
mengalami perkembangan yang cukup pesat. Bahkan ia behasil mempengaruhi Angkatan Oemat
Islam (AOI), dan Batalyon 426 untuk melakukan pemberontakan. Sedangkan pengaruhnya
terhadap Batalyon 423 tidak sempat memunculkan pemberontakan kerena adanya tindakan
pencegahan dan Panglima Divisi Diponegoro.

Batalion ini kemudian bisa dipengaruhi sehingga bertambah banyak pengikut Amir Fatah.
Akhirnya, pada tanggal 23 Agustus 1949 diproklamasikanlah DI/TII di Desa Pangarasan, Tegal
dan menyatakan diri bergabung dengan Kartosuwirjo.

Akibatnya, ada pemerintahan kembar di daerah Brebes–Tegal. Tentu hal ini membingungkan
rakyat. Apalagi setelah pasukan Amir Fatah mulai menyerang pusat-pusat TNI dan Brimob.

Sementara itu, di Kebumen muncul pula gerakan DI/TII dipimpin oleh Mohammad
Mahfu’dh Abdulrachman (Kiai Somalangu). Gerakan yang juga hendak mendirikan negara Islam
ini menjadi kuat karena keterlibatan Batalion 423 dan 426.
Di Kudus & Magelang terjadi pemberontakan Batalion 426. Mereka menyebutkan diri
mereka bergabung dengan DI/TII. Dampak dari pemberontakan tersebut, gerakan DI/TII di Jawa
Tengah menjadi persoalan yang serius. Untuk menumpas pemberontakan tersebut, Divisi
Diponegoro melancarkan operasi militer yang bernama Operasi Merdeka Timur yang dipimpin
oleh Letnan Kolonel Soeharto dan berhasil menumpas DI/TII di Jawa Tengah.

Dalam melakukan aksi-aksi militernya, Amir Fatah berhasil memobiliasikan berbagai sumber
daya dari para pendukungnya, baik normatif, utilities, maupun Koersif. Namun di samping itu
juga terdapat hambatan yang harus dilaluinya, yaitu berupa tentangan yang datang dari kelompok
gerilyawan Gerakan Antareja Republik Indonesia (GARI), dan Gerilya Republik Indonesia
(GRI), serta dari "Orang-orang Kiri", terutama kaum Komunis.

Dalam menyelesaikan pemberontakan Dl/TII tersebut, Pemerintah RI menempuh dua cara,


yaitu operasi militer dan politik. Operasi militer dilakukan dengan membentuk Komando
Gerakan Banteng Nasional (GBN). Untuk cara-cara politis, Pemerintah menawarkan amnesti
kepada para pemberontak. Pelaksanaan kedua cara yang ditempuh oleh Pemerintah itu, ditambah
dengan kekecewaan Amir Fatah terhadap intern organisasi DI/TII telah berhasil memaksa Amir
Fatah untuk meninjau kembali perjuangannya selama itu, dan kemudian menyerah. Kekecewaan
itu muncul karena dalam struktur organisasi Divisi IV Syarif Hidayat yang baru terbentuk,
posisinya berada di bawah Satibi Mughny, yang dahulu merupakan anak buahnya. Dalam
kesatuan tersebut Amir Fatah hanya menjabat sebagai Komandan Brigade, sedangkan Satibi
Mughnya menduduki jabatan Kepala Staf Divisi.

Untuk menghadapi gerakan-gerakan itu pemerintah membentuk pasukan baru dengan nama
Banteng Raiders. Akhirnya, melalui Operasi Guntur tahun 1954 gerakan mereka bisa
dilumpuhkan oleh TNI.

Anda mungkin juga menyukai