Anda di halaman 1dari 3

Pemberontakan DI/TII Jawa Tengah

LATAR BELAKANG

Pemberontakan DI/TII Jawa Tengah muncul berawal dari adanya Majelis Islam yang
dipimpin oleh Amir Fatah. Amir Fatah yang merupakan komandan Laskar Hizbullah yang
berdiri sejak 1946 menggabungkan diri dengan TNI battalion 52 dan berdomisili di Brebes-
Tegal. Dia mendapatkan pengikut yang banyak dengan cara menggabungkan laskar-laskar
untuk masuk ke dalam TNI. Setelah mendapatkan pengikut yang banyak maka pada tanggal
23 Agustus 1949 di Desa Pengarasan, Tegal. Ia memproklamasikan berdirinya Darul Islam
(DI). Pasukannya di berinama Tentara Islam Indonesia (TII). Ia menyatakan gerakannya
bergabung dengan Gerakan DI/TII Jawa Barat pimpinan Kartosuwiryo.

KRONOLOGI
Di Brebes, Tegal, dan Pekalongan. Gerakan DI/TII di daerah Brebes dipimpin oleh
Amir Fatah setelah bergabung degan Kartosuwiryo, kemudian beliau diangkat menjadi
Komandan Pertempuran di Jawa Tengah yang berpangkat Jenderal Mayor Tentara
Islam Indonesia. Usaha pemerintah dalam menumpas gerombolan tersebut dengan
dibentuknya Komandan Operasi Gerakan Banteng Negara (GBN). Mula-mula GBN
dipimpin oleh Letkol Sarbini kemudian Letkol M. Bachrun selanjutnya oleh Letkol
Ahmad Yani.

Di Kebumen. Gerakan di daerah ini dikenal dengan nama Pemberontakan


Angkatan Umat Islam atau yang disingkat AUI. Gerakan ini dipimpin oleh Kyai Mahfudz
Abdurachman yang dikenal Romo Pusat atau Kyai Somalangu. Gerombolan ini dapat
ditumpas dalam waktu tiga bulan, sedangkan sisa-sisanya bergabung dengan DI/TII di
daerah GBN/Brebes. Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah yang semula tidak terlalu berarti
menjadi lebih luas dan lebih besar setalah batalyon 426 di daerah Kudus dan Magelang
menggabungakan diri dengan DI/TII bulan Desember 1951.

Amir Fatah diangkat Komandan Pertempuran Jawa Tengah dengan pangkat Mayor
Jenderal TII. Sejak itu Amir menyerahkan tanggung jawab dan jabatannya selaku Ketua
Koordinator daerah Tegal-Brebes kepada Komandan SKS (Sub Wherkraise) III. Ia
mengatakan bahwa Amir Fatah dengan seluruh kekuatan bersenjatanya tidak terikat lagi
dengan Komandan SWKS III.

Untuk melaksanakan cita-citanya di Jawa Tengah, DI mengadakan teror terhadap


rakyat dan TNI yang sedang mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Dengan demikian
dapat dibayangkan betapa berat perjuangan TNI di daerah SWKS III, karena harus
menghadapi dua lawan sekaligus yaitu Belanda dan DI/TII pimpinan Amir Fatah.
Kemudian pasukan DI mengadakan penyerbuan terhadap markas SWKS III di
Bantarsari. Pada waktu itu pula terjadilah pembunuhan massal terhadap satu Regu Brimob
pimpinan Komisaris Bambang Suprapto. Pukulan teror DI di daerah SWKS III membuat
kekuatan TNI menjadi terpecah belah tanpa hubungan satu sama lain.

Akibat teror DI tersebut, daerah SWKS III menjadi gawat. Untuk mengatasi keadaan
ini Letkol Moch. Bachrun Komandan Brigade 8/WK I mengambil tindakan
mengkonsolidasikan SWKS III yang telah terpecah-pecah. Kemudian diadakan pengepungan
terhadap pemusatan DI. Gerakan selanjutnya dilaksanakan dalam fase ofensif. Gerakan
tersebut berhasil memecah belah kekuatan DI/TII sehingga terjadi kelompok-kelompok kecil.
Dengan terpecahnya kekuatan DI menjadi kelompok-kelompok kecil tersebut akhirnya
gerakan mereka dapat dipatahkan.

Setelah itu gerakan diarahkan kepada pasukan Belanda DI/TII. Gerakan itu
dilaksanakan siang dan malam, sehingga kedudukan mereka terdesak. Dalam keadaan moril
pasukan tinggi, datang perintah penghentian tembak-menembak dengan Belanda. Akhirnya
menghasilkan KMB yang keputusan-keputusannya harus dilaksanakan oleh TNI antara lain
penggabungan KNIL dengan TNI.

Dalam situasi TNI berkonsolidasi, Amir Fatah mengambil kesempatan untuk


menyusun kekuatan kembali. Kekuatan baru itu memilih daerah Bumiayu menjadi basis dan
markas komandonya. Setelah mereka kuat mulai menyerang pos-pos TNI dengan cara
menggunakan massa rakyat. Untuk mencegah DI Amir Fatah agar tidak meluas ke daerah-
daerah lain di Jawa Tengah, maka diperlukan perhatian khusus.

Kemudian Panglima Divisi III Kolonel Gatot Subroto mengeluarkan siasat yang
bertujuan memisahkan DI Amir Fatah dengan DI Kartosuwiryo, menghancurkan sama sekali
kekuatan bersenjata dan membersihkan sel-sel DI dan pimpinannya. Dengan dasar instruksi
siasat itu maka terbentuklah Komando Operasi Gerakan Banteng Nasional (GBN). Daerah
Operasi disebut daerah GBN.

Usaha Pemerintahan dalam menanggulani gerakan ini segera melancarkan operasi


penumpasan dengan nama Operasi Merdeka Timus yang dipimpin oleh Letkol Suharto
Komandan Bridage Pragola. Kekuatan batalyon pemberontakan akhirnya dapat
dihancurkan pada awal tahun 1952, sedangkan sisa-sisanya melarikan diri ke Jawa Barat ke
daerah GBN/Brebes, dalam tahap terakhir di daerah Sala. Operasi Merdeka Timus dibantu
oleh AURI. Kerjasama ini merupakan operasi yang pertama antara Angkatan Darat dan
Angkatan Udara.
Sementara itu di daerah Merapi - Merbabu terjadi beberapa kerusuhan - kerusuhan
yang sedang dilakukan oleh sebuah gerakan yang disebut Merapi Merbabu Complex
(MMC) pimpinan Suradi Bledek. Setelah gerombolan ini dihancurkan bulan April 1952,
sisanya menggabungkan diri dengan DI/TII di daerah GBN/Brebes.

Dengan bergabungnya sisa - sisa AUI, anggota Batalyon 426 dan gerombolan MMC,
maka kekuatan DI/TII di daerah GBN menjadi kuat kembali.

Guna menumpas pemberontakan tersebut maka pemerintah membentuk pasukan baru


yang disebut Banteng Raiders dengan operasinya yang disebut Gerakan Benteng Negara
(GBN). Pada 1954 dilakukan Operasi Guntur guna menghancurkan gerombolan sementara
sisanya tercerai-berai.

 Tujuan DI/TII di Jawa Tengah

Berikut tujuan DI/TII di Jawa Tengah:

1. Memperluas wilayah kekuasaan DI/TII di Indonesia


2. Memperbanyak pasukan pemberontak

 Tokoh-tokoh dalam peristiwa:

1. Amir Fatah (Pemimpin)


2. Kyai Somalungu (Pemimpin Angkata Umat Islam)
3. Banteng Raiders (pasukan operasi militer)

 Akhir dalam peristiwa:

Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah berhasil dihancurkan oleh militer Gerakan Banteng
Negara dengan pasukannya yang bernama Banteng Raiders.

Anda mungkin juga menyukai