Anda di halaman 1dari 6

Makalah di/tii jawa barat

Disusun

Pada tahun 1949-an pemberontakan ini terjadi karena adanya motif kekhalifahan.
Pembrontakan ini terjadi di Jawa Barat dengan pemimpinnya Sekarmadji Maridjan
Kartosuwiyo. Kartosuwiryo merupakan tokoh partai Serekat Islam Indonesia (PSII), pada
tanggal 7 Agustus 1949, Ia memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) yang
kemudian lebih dikenal dnegan nama Darul Islam (DI), di Desa Cisampang, Kecamatan
Cisayong, Tasikmalaya. Akan tetapi, gerakannya sudah dimulai jauh sebelumnya, bahkan
gagasan untuk mendirikan negara islam sudah muncul dalam pemikiran Kartosuwiryo pada
masa pendudukan Jepang.

Langkah awal yang dilakukan olehnya adalah mendirikan pesantren Suffah di


Malangbong, dekat dengan Garut. Pengikut pesantren Suffah ditanamkan fanatisme yang
dalam dan loyalitas yang tinggi kepada pemimpin. Pesantren ini juga berfungsi sebagai
tempat pelatihan militer dengan memberikan penekanan pada militansi Islam. 1 Setelah
proklamasi kemerdekaan, Kartosuwiryo menjadi anggota partai Masyumi. Bahkan, ia terpilih
sebagai Komisaris Masyumi. Ia pernah juga dicalonkan sebagai menteri Muda Pertahanan,
akan tetapi, karena sudah mempunyai tujuan sendiri, jabatan itu tidak pernah dipangkunya.2

Kartosuwiryo pada tanggal 14 Agustus 1947, atau pada saat Aksi Militer I Belanda
menyatakan perang suci melawan Belanda. Ia membagi wilayahnya dalam ebebrapa daerah
yang terdiri dari daerah I (daerah ibu kota), Daerah II, dan Daerah III. Daerah II adalah
daerah yang sebagian besar penduduknya beragama Islam, sedangkan daeah yang sebagaian
penduduknya tidak beragama islan dikategorikan sebagai daerah III.3 Penolakannya terhadap

1
Deliar Noor, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, 1980, hlm. 168
2
J. Boland, The Struggle for Islam in Modern Indonesia, 1975, hlm. 87
3
Tim Nasional Penulisan Sejarah, Sejarah Nasional Indonesia (Zaman Jepang dan Zaman Republik, 2008, hlm
360
perjanjian Renville diwujudkan dengan sikap penolakannya terhadap hijrah. Bersama dengan
pasukannya Hizbullah dan Sabilillah, Kartosuwiryo tetap tinggal di Jawa Barat.

Pada bulan Februari 1948, dalam konferensi Cisayong Kartosuwiro memutuskan


bahwa gerakan yang akan dijalani tidak lagi dalam bentuk kepartaian melainkan kenegaraan
serta emmbekukan Masyumi Jawa Barat. Melalui Majelis Umat Islam yang kemudian
dibentuk, Kartosuwiryo diangkat sebgai imam dari Negara Islam Indonesia (NII), atau yang
“kemudian dikenal dengan Darul Islam (DI). Selanjutnya Karosuwiryo membentuk
“angkatan perang” yang diberi nama Tentara Islam Indonesia (TII) yang ditempatkan di
daerah pegunungan di sekitar Jawa Barat

Pada tanggal 19 Desember 1948, jatuhnya ibu kota RI Yogyakarta dan tertawannya
pemimpin negara atau pada hari pertama Belanda melancarkan Agresi Militer II,
Kartosuwiyo menganggap bahwa riwayat RI sudah berakhir. Bersampingan dengan itu,
Kartosuwiro menganggap bahwa Jawa Barat secara de facto merupakan daerah NII. Setiap
pasukan yang memauski wilayah Jawa Barat diharuskan mengakui NII atau dihancukan.
Pasukan Siliwangi yang melakukan long march ke Jawa Bart dianggap sebgaia tentara liar.
Kontak senjata pertama dengan TNI terjadi pada tanggal 25 Januari 1949 ketika pasukan
Siliwangi di bawah kepemimpinan Mayor Utarja memasuki daerah Priangan Timur. 4 Mayor
Utarja kemudian dibunuh oelh anggota DI. Nasib yang sama dialami oleh Mayor Tobing di
daerah Singaparna, Jawa Barat.

Pemerintah RIS berusaha menyelesaikan pemberontakan Kartosuwiryo ini dengan


jalan damai. Sebuah panitia beranggotakan Zainul Arifin (Kementerian Agama), Makmun
Sumadipraja (Kementerian Dalam Negeri), dan Kolonel Sadikin (Kementerian Pertahanan)
ditugasi mengadakan kontak dengan Kartosuwiryo, namun usaha ini gagal. Begitu pula usaha
Wali Alfatah pada masa Kabinet Natsir5. Kartosuwiryo hanya bersedia berunding apabila
pemerintah mengakui eksistensi NII atau yang kemudian dikenal dengan DI.

Setelah usaha secara damai itu gagal, TNI melancarkan operasi militer, yakni Operasi
Merdeka. Operasi ini bersifat insidentil, lokal, dan rutin tanpa rencana yang tegas dan
sistematis. Serangan-serangan DI/TII yang bersifat geriliya itu belum dihadapi denganaktik
antigeriliya. Oleh karena itu, inisiatif lebih banyak dilakukan oleh DII/TII dalam melakukan

4
Ibid, 361
5
Pusat Sejarah TNI, Sejarah TNI, jilid II, 2000, hlm. 82
penyerangan . dDi samping itu, kekuatan TNI juga terpecah sebab sebagian pasukan terpaksa
dikirim ke luar Jawa untuk menghadapi DI/TII di Sulawesi dan Aceh.6

Barulah pada tahun 1957 TNI menyusun rencana operasi yang dikenal sebagai
“Rencana Pokok 21”, inti dari operasi ini adalah untuk emnahan DI/TII di daerah-daerah
tertentu untuk selanjutnya dihancurkan. Operasi penghancuran dimulai did aerah Banten dan
selanjutnya bergerak ke arah timur. Dalam melaksanakan operasi ini rakyat diikutsertakan,
antara lain untuk mencegah masuknya anggota DI/TII ke desa-desa. Opeasi ini kemudian
pada tahun 1960, berkembang menjadi Operasi Pagar Betis yang berhasil memukul mundur
pasukan pemberontakan DI/TII Jawa Barat dan akhirnya Kartosuwiryo tertangkap dan
dijatuhi hukuman mati. Tidak sediit penderitaan yang ditanggung rakyat Jawa Barat karena
gerombolah DI/TII, sebab pemberontakan yang mereka lakukan meneror rakyat. Dan untuk
menyempurnakan kehidupannya, DI.TII sering merampok terutama masyarakat yang berada
di pelosokan.

DI/TII di Jawa Tengah

Sama seperti pemerontakan DI di Jawa Barat. Pemberontakan yang dilaukan di Jawa


Tengah pun terjadi pada masa Perang Kemerdekaan. Pemimpin DI di Jawa Tengah ialah
Amir Fatah, seorang tokoh yang menjaid komandan tempur di Jawa Tengah. Ia diangkat oleh
Kartosuwiyo untuk memimpin pemberontakan tersebut. Tujuan dari pemberontakan DI/TII
di Jawa Tengah adalah untuk memperluas wilayah kekuasaan DI/TII di Indonesia dan
memperbanyak pasukan pemberontak agar tujuan asli mendirikan negara islam benar
terselenggara. Pada bulan Agustus 1948, Amir Fatah membawa tiga kompi pasukan
Hizbullah yang tidak mau di-TNI-kan ke daerah Pekalongan yang sudah ditinggalkan oleh
TNI akibat perjanjian renville.

Amir Fatah berhasil berhasil mempengaruhi penduduk setempat dengan mengatakan


bahwa ia dikirim oleh Panglima Besar Soedirman untuk mencegah Belanda mendirikan
negara boneka di Pekalongan. Untuk menghimpu kekuatan, ia mendirikan Majelis Islam dan
Paukan bersenjata Mujahidin.7 Pada waktu Belanda melancarkan Agresi Militer Kedua,
pasukan TNI di bawah pimpinan Mayor Wongsoatmodjo melakukan wingate ke daerah
Pekalongan. Selain itu, terdapat pula kesatuan Mobile Brigade (Mobbrig) terdapat kerja sama
antara TNI/Polri dan Amir Fatah untuk bersama-sama menghadapi Belanda. kerja sama ini

6
Tim Nasional Penulisan Sejarah, op.cit 2008. hlm 361
7
Ibid, hlm. 362
kemudian dilanggar oleh Amir Fatah setelah ia diangkat oleh Kartosuwiryo sebagai
pemimpin DI/TII di Jawa Tengah.

Amir Fatah salah satu penggerak DI/TII juga memproklamasikan bahwa ia ingin
mendirikan negara kekhalifahan di Jawa Tengah. Ia juga mengumandangkan bahwa Jawa
Tengah secara defacto merupakan bagian dari daerah DI/TII. Bumiayu dijadikan sebagai
basis pertahanan oasukannya. Serangan terhadap pos-pos TNI mulai dilancarkannya,
termasuk pos-pos TNI di Pekalongan. Pasukan Mobbrig yangs edang mengadakan patroli
juga mereka serang dan komisaris Bambang Suprapto mereka bunuh.

Untuk mengahdapi pemberontakan ini, TNI melancarkan operasi terhadao konsentrasi


pasukan DI di Tembangrejo dan Pengasaran. Akibatnya, kekuatan DI mulai melemah.
Operasi dilanjutkan setelah ebrakhirnya perang kemerdekaan. Pada tahun 1950 TNI
membentuk komando temour yang disbeut Gerakan Bneteng Negara (GBN) di bawah
pimpinan Letnal Kolonel Sarbini (kemudian digantikan oelh Letnal Kolonel Bachrun).
Tujuan utama didirikan GBN adalah untuk memisahkan DI di Jawa Tengah dengan DI di
Jawa Barat, sehingga lebih mudah untuk menumpasnya. Dalam operasi-operasi yang
dilancarkan GBN, banyak tokoh DI yang eterbunuh dan tertangkap. Pada tanggal 22
Desember 1950 Amir Fatah tertangkap oleh GBN dalam perjalanannya ke Jawa Barat untuk
bergabung dengan Kartosuwiryo. Ditangkapnya Amir Fatah menandakan pemberontakan
DI.TII di Jawa Tengah sirna.

DI/TII di Kalimantan Selatan

Pada akhir tahun 1950, Kesatuan Raktat Jang Tertindas (KRJT) melakukan
penyerangan ke pos-pos TNI di Kalimantan Selatan. KRJT dipimpin oleh seorang mantan
Letnan dua TNI yang bernama Ibnu Hadjar . dalam hal ini timbulnya penherangan atau
pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan adalah karena kekecewaan terhadap
pemerintah, sebab banyak saat penataan ketentaraan di lakukan di Kalimantan Selatan oleh
pemerintah pusat di Jawa, tidak sedikit naggota ALRI divisi IV yang harus didemobilisasi
atau mendapatkan posisi yang sesuai dengan keinginan mereka.

Salah satu dari pasukan yang kecewa itu adalah Ibnu Hajar, akhirnya pada 10 Oktober
1950 Ibnu Hajar membentuk KRJT. Dengan cepat ia mendapatkan pengikut terutama di
kalangan anggota ARI Divisi IV yang juga kecewa terhadap pemerintah. Ibnu Hajar yang
sedari kecil dikenal dengan sosok yang pemberani oleh teman sebayanya. Oleh orang tuanya
ia didik dengan keras, disiplin, dan banyak dijaarkan ilmu keagamaan.
Pada saat dewasa timbulah jiwa ansionalisme dalam dirinya, ia ingin membela tanah
air dengan sepenuhnya.ia dikenal memili taktik yang handal dalam melakukan strategi dan
selalu berada pada barisan paling depan dalam peperangan. Karena hal tersbut bagi Belanda,
Ibnu Hadjar meruakan sosok yang juga ditakuti. Karena hal tersbut juga Ibnu Hadjar
diamanahkan menajdi tokoh dan komandan pejaung bersama Hasan Basry sampai masa
kemerdekaan.

Pemberontakan yang kemudian ia lakukan semula karena kekecewaan terhadap


pemerintah pusat yang semena-mena terhadap setiap keputusan yang di ambil. Bersama
KRJT iya sering merampok hudang senjata milik TNI. Setelah merampok berbagai senajata
dan amjunisi, KRJT pindah ke pedalaman gunung meratus untuk menyusun startegi dan
kekuatan. Akhirnya pada tahun 1954, Ibnu Hadjar memilih untuk bergabung dengan
pemrintahan DI/TII Kartosuwiyo, yang menawarkan jabatan dalam pemerintah DI/TII
sekaligus panglima TII Kalimantan. Dalam hal ini Klaimantan Selatan secara defacto juga
termasuk ke dalam derah DI/TII.

Markas atau tempat perlindungan KRJT pimpinan Ibnu hadjar berada di daerah
Paramasan. Paramasan dianggap menjaid lokasi yang startegis karena berada di jantung
pegunungan meratus yang dieklilingi gunung yang tinggi dan terjal, sehingga menyulitkan
pemerintah dalam menemukan jejak mereka. KRJT yang dipimpin Ibnu Hadjar ini
sesungguhnya bertolak belakang dengan karakter Ibnu Hadjar yang alim, berwibawa, dan
mempunyai rasa sosial yang tinggi.

Pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok ini sangat kejam. Mereka tidaks egan
untuk membunuh dan membantai warga. Mereka juga suka menculik orang, dan meramoas
harta masyarakat. dalam menghadapi pemberontakan ini, pemerintah pusat menggunakan
tokoh-tokoh speerti Hasan Bassery (mantan komandan Ibnu Hadjar), Idham Khalid seorang
politikus dari Nadhlatul Ulama (NU), dan beberpa kerabat Ibnu Hadjar lainnya untuk
membujuk Ibnu Hadjar dan KRJT agar menghentikan pemberontakan ini dengan jalan damai.
Namun cara ini gagal untuk dulakukan. Akhirnya, menggunakan operasi militer untuk
menghentikan pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan.

Pada bulan Juli 1963, karena kondisi logistik KRJT yang juga semakin menipis, Ibnu
Hadjar akhirnya menyerah dengan syarat ia akan diberi kenaikan pangkat dalam ALRI dan di
sekolahkan kemiliteran ke Jawa. setelah Ibnu Hadjar mendaatkan apa yang ia inginkan,
ternyata hal tersbut hanyalah ilusi untuk mengelabuhi pemerintah, agar KRJT kembali
mendapatkan logistik dan kembali bergerak melaukan pemberontakan. Namun Ibnu Hadjar
berhasil ditangkap pada 22 Maret 1965, dan dijatuhkan hukuman mati oleh pengadilan
militer.

Anda mungkin juga menyukai