Anda di halaman 1dari 34

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka berisikan tentang uraian sistematis hasil penelitian yang


didapat oleh penelitian terdahulu, selain itu berisikan mengenai penejelasan
tentang geologi regional dan stratigrafi regional penelitian yang akan dijelaskan
sebagai berikut:
2.1.1 Studi Terdahulu
Pada penelitian ini penulis memaparkan beberapa penelitian terdahulu yang
berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti, yaitu tentang kinerja pompa
pada system penirisan tambang. Penelitian terdahulu dapat digunakan sebagai
acuan dalam melakukan penelitian ini.
1. Berdasarkan Penelitian yang dilakukan oleh Anita Lisminiyati dan Tamrin
Kasim (2018) dalam Jurnal Bina Tambang Jurusan Teknik Pertambangan
Universitas Negeri Padang yang berjudul Rancangan Ulang Sistem
Penyaliran Tambang Bawah Tanah pada Front Penambangan Batubara
Tunnel THC-01 di CV. Tahiti Coal, Kecamatan Talawi, Kota Sawahlunto.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah merancang ulang
instalasi pompa dan kebutuhan pompa. Jumlah debit air tanah yang masuk
ke area penambangan lubang B tunnel THC-01 pada tambang CV. Tahiti
Coal, Kecamatan Talawi, Kota Sawahlunto yaitu sebesar 5,092 m3/menit.
Volume sump dan bentuk rancangan sump untuk penambangan lubang B
tunnel THC-01 pada tambang yang direncanakan yaitu: sump 1 berbentuk
persegi empat dengan dimensi panjang 2 m, lebar 2 m, kedalaman 1 m yang
berada pada elevasi 186 mdpl. Sump 2 berbentuk trapesium, dimensi
panjang 10,12 m, lebar 6,6 m, kedalaman 3 m yang berada pada elevasi 245
mdpl. Pada perhitungan head total nilai yang terdapat pada C.11 pompa
Tsurumi LH637-51 86,7061 m, C.12 pompa Tsurumi LH637-51 75,9885 m,

4
5

Sump 1 LH637-51 59,9686 m, Front maju pompa LH637-51 17,1237 m.


Untuk pompa yang berada pada drum 1- 12 sama dengan pompa pada front
maju yaitu 17,1237 m. Jumlah unit pompa yang dibutuhkan untuk
mengeringkan air berjumlah 15 unit pompa terdiri dari 3 unit pompa
Tsurumi LH637-51 dan 12 unit pompa Tsurumi Hs(Z)3,75S-51 dengan
menggunakan pipa hdpe (high density polyethylene) berdiameter 6 inch
menuju Sump 1, dan 12 unit pompa Tsurumi Hs(Z)3,75S-51 menggunakan
pipa pvc (polyvinyl choride) berdiameter 2,5 inch menuju drum-drum,
sistem pemompaan dilakukan secara estafet. Nilai dimensi settling pond
yang ideal direncanakan memiliki 3 kompartemen dengan kapasitas masing-
masing sebesar 277 m3.
2. Berdasarkan Penelitian yang dilakukan oleh Dwi Hariana Pane (2018)
dalam Skripsi Jurusan Teknik Pertambangan Universitas Negeri Padang
yang berjudul Evaluasi Sistem Dewatering Pada Tambang Emas Bawah
Tanah Ciurug L.450 Bagian Selatan Di UPBE Pongkor PT Aneka Tambang
(Persero) Tbk. Metode yang digunakan adalah dengan cara menambahkan
jumlah unit pompa dikarenakan banyak nya air yang terakumulasi di lokasi
sump serta merancang ulang instalasi pemompaan. Jenis pompa yang
digunakan Tsurumi LH637, Tsurumi LH875 dan Warman 4/3 EHH. Jumlah
pompa yang digunakan saat ini berjumlah 28 unit. Pengukuran debit air
tanah pada tambang Ciurug L.450 bagian selatan dilakukan secara manual
terbagi atas dua daerah yaitu Ramp Down A (RD A) menggunakan wadah
drum dan Ramp Down B (RD B) menggunakan paritan. Berdasarkan
pembahasan dan analisis data dapat disimpulkan debit air tanah pada daerah
RD A XC 452 sebesar 0,317 (m3/m) dan XC 445 sebesar 0,112 (m3/m)
sedangkan pada RD B debit air 9,29 (m3/m) dan jumlah unit pompa yang
dibutuhkan untuk mengeringkan air berjumlah 23 unit terdiri dari 8 unit
Tsurumi LH637, 3 unit Tsurumi LH875 dan 12 unit Warman 4/3 EEH serta
rancangan instalasi pemompaan yang ideal dan efektif.
3. Berdasarkan Penelitian yang dilakukan oleh Marwan dan Nurliah Jafar
(2016) Jurusan Teknik Pertambangan Universitas Muslim Indonesia dan Sri
6

Widodo (2016) Jurusan Teknik Pertambangan Universitas Hasanuddin


dalam Jurnal Geomine Yang Berjudul Kajian Teknis Penirisan Tambang
Nikel Laterit Mengunakan Metode Mine Dewatering. Metode yang
digunakan adalah dengan cara mine dewatering sehingga, dapat mengetahui
jumlah pompa yang dibutuhkan dan waktu kerja pompa pada area
penambangan. Pengamatan di lapangan terlihat adanya catchment area yang
luas dan berada di sekitar pit penambangan dengan luasan 37,6Ha. Curah
hujan rata-rata maksimum pada lokasi penelitian yaitu 23,82 mm/hari.
Curah hujan rencana diambil periode ulang dua tahun sebesar 22,74
mm/hari dan intensitas hujan terbesar 7,88 mm/jam sehingga, diketahui
besarnya air limpasan yang akan masuk ke sump 483,56 m3/bulan atau
17,26 m3/hari dengan ketentuan 1 bulan sama dengan 28 hari. Kemampuan
pompa berdasarkan head total pompa 48,67 m, dan kemampuan hasil
koreksi pompa yaitu 0,15 m3/detik. Dibutuhkan empat pompa dengan jenis
yang sama dengan waktu kerja efektif 8,5 jam/hari. Debit air yang akan
masuk ke dalam parit 0,47 m3/detik dan parit yang akan dibuat harus
mampu mengalirkan air, maka parit dibuat berbentuk trapesium.
Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa dibutuhkan 4 unit pompa
yang bekerja selama 8,5 jam perhari, dan dibuatkan kolam pengendapan
untuk penetralan air.
4. Berdasarkan Penelitian yang dilakukan oleh Stella Puri Pratama dan Tamrin
Kasim (2019) dalam Jurnal Bina Tambang Jurusan Teknik Pertambangan
Universitas Negeri Padang Yang Berjudul Perencanaan Sistem Penyaliran
Tambang Batubara Bawah Tanah Seam C1 Blok Timur Site Sapan Dalam
PT Nusa Alam Lestari Desa Salak, Sapan Dalam, Kota Sawahlunto,
Sumatera Barat. Metode yang digunakan adalah dengan cara cara
melakukan pengukuran debit air tanah untuk melihat kenaikan permukaan
air pada front kerja pada saat pompa sebelum dihidupkan dan pada saat
setelah pompa dinaikan serta menentukan nilai dimensi sump yang idel
unttuk menampung genangan air tanah. Jumlah debit air tanah yang masuk
ke area penambangan sebesar 5,112 m3/menit. Jumlah dan spesifikasi
7

pompa ideal untuk pemompaan air dari front tambang yaitu 1 unit pompa
Airlux dengan kapasitas debit 6 m3/jam yang beroperasi, dengan pompa
Airlux dengan kapasitas debit 6 m3/jam dengan maksimal head 12m; head
total aktual 25,08 m pada front lubang C1. Sehingga dibutuhkan
penambahan unit pompa 1 unit Airlux dengan kapasitas debit 6 m3/jam yang
sama. Ukuran dimensi dan bentuk rancangan sump ideal yang direncanakan
yaitu: sump berbentuk persegi empat dengan dimensi panjang 2 m, lebar 1
m, kedalaman 2 m.
5. Berdasarkan Penelitian yang dilakukan oleh Aris Rinaldi (2016) dalam
Prosiding, Ilmiah Tahunan Ke-1 Perhimpunan Ahli Airtanah Indonesia (PIT-
PAAI) Jurusan Studi Teknik Airtanah Institut Teknologi Bandung Yang
Berjudul Analisis Keputusan Hidrogeologi : Optimasi Sump pada Sistem
Tambang Terbuka. Metode penelitian ini menggunakan metode studi kasus
dan simulasi dengan data penelitian berupa data primer dan sekunder, yang
merupakan parameter input dalam memodelkan interaksi air permukaan dan
airtanah dalam optimasi sump pada sistem tambang terbuka. Hasil dari
penelitian ini adalah Dari penelitian yang dilakukan, maka dengan
mempertimbangkan volume air yang masuk dan terakumulasi serta jumlah
air yang dikeluarkan melalui pemompaan, untuk menjaga kondisi sump
tetap aman dan tidak meluap, dibutuhkan setidaknya dua pompa. Alternatif
tersebut merupakan model keputusan terbaik dengan mengoperasikan satu
atau dua buah pompa yang disesuaikan dengan kecenderungan volume air di
dalam sump.
2.1.2 Struktur Geologi
Struktur geologi adalah struktur perubahan lapisan batuan sedimen akibat
kerja kekuatan tektonik, sehingga tidak lagi memenuhi hukum superposisi
disamping itu struktur geologi juga merupakan struktur kerak bumi produk
deformasi tektonik. Cekungan Ombilin terbentuk sebagai akibat gerak mendatar
menganan sistem sesar Sumatera pada masa Paleosen awal
(Marhaendrasworo,1999). Akibatnya terjadi tarikan yang dibatasi oleh sistem
sesar normal berarah utara - selatan. Daerah tarikan tersebut dijumpai di bagian
8

utara cekungan pada daerah pengundakan mengiri antara sesar Sitangkai dan sesar
Silungkang yaitu terban Talawi. Sedangkan bagian selatan cekungan merupakan
daerah kompresi yang ditandai oleh terbentuknya sesar naik dan lipatan (terban
Sinamar). Ketebalan batuan sedimen di cekungan Ombilin mencapai  4.500 m
terhitung sangat tebal untuk cekungan berukuran panjang  60 km dan lebar  30
km. Dari hasil beberapa penyelidikan yang telah dilakukan, daerah penelitian
diyakini terletak pada sub-cekungan Kiliran yang merupakan bagian dari suatu
sistim cekungan intramontana (cekungan antar pegunungan), yang merupakan
bagian tengah bentangan Pegunungan Bukit Barisan. Cekungan-cekungan tersebut
mulai berkembang pada pertengahan Tersier, sebagai akibat pergerakan ulang dari
patahan-patahan yang menyebabkan terbentuknya cekungan-cekungan tektonik di
daerah tinggi (intra mountain basin). Cekungan-cekungan yang terbentuk di
antara pegunungan tersebut merupakan daerah pengendapan batuan-batuan tersier,
yang merupakan siklus sedimentasi tahap kedua.
2.1.3 Stratigrafi Regional
Stratigrafi merupakan salah satu cabang dari ilmu geologi, yang berasal dari
bahasa Latin, Strata (perlapisan, hamparan) dan Grafia (memerikan,
menggambarkan). Secara regional stratigrafi daerah Sawahlunto dapat dibagi
menjadi dua bagian utama, yaitu komplek batuan Pra – Tersier dan komplek
batuan Tersier. Stratigrafi berdasarkan umurnya dapat dibagi menjadi dua bagian
utama, yaitu :
1. Komplek batuan Pra Tersier terdiri dari:
a. Formasi Silungkang
Nama formasi ini mula-mula diusulkan oleh Klompe, Katili dan Sukendar pada
tahun 1958. Secara petrografi formasi ini masih dapat dibedakan menjadi empat
satuan yaitu :
Satuan lava andesit, satuan lava basalt, satuan tufa andesit, dan satuan tufa basalt.
Umur dari formasi ini di perkirakan Perm sampai Trias.
b. Formasi Tuhur
9

Formasi ini di cirikan oleh lempung abu-abu kehitaman berlapisan baik dengan
sisipan-sisipan batu pasir dan batu gamping hitam. Formasi ini diperkirakan
berumur Trias.
2. Komplek batuan Tersier terdiri dari:
a. Formasi Singkarewang.

Nama formasi ini pertama kali diusulkan oleh Kastowo dan Silitonga pada
tahun 1975. Formasi ini terutama terdiri dari serpih gampingan sampai napal
berwarna coklat kehitaman, berlapis halus dan mengandung fosil ikan serta
tumbuhan. Formasi ini di perkirakan berumur Eosen Tengah – Eosen Atas.
b. Formasi Sawahlunto
Nama formasi ini pertama kali diusulkan oleh Kusumadinata dan Matasak
pada tahun 1979. Formasi paling penting karena mengandung batubara yang
dicirikan oleh adanya batu lanau, batu lempung, dan berselingan dengan batubara.
Diperkirakan umur formasi ini Oligosen.
c. Formasi Brani
Formasi ini terdiri dari konglomerat dan batu pasir kasar yang berwarna
cokelat keunguan, dengan kondisi terpilah baik (well sorted), padat, keras, dan
umumnya memperlihatkan adanya suatu perlapisan. Formasi ini diperkirakan
berumur Paleosen.
d. Formasi Sawahtambang

Nama formasi ini pertama kali diusulkan oleh Kastowo dan Silitonga pada
tahun 1975. Bagian bawah formasi ini dicirikan oleh beberapa siklus endapan
yang terdiri dari batu pasir konglomerat, batu lanau dan batu lempung, sedangkan
bagian atas didominasi oleh batu pasir konglomerat tanpa adanya sisipan lempeng
atau batu lanau. Umur formasi ini diperkirakan lebih tua dari Miosen bawah.
e. Formasi Ombilin

Nama formasi ini pertama kali diusulkan oleh Kastowo dan Silitonga pada
tahun 1975. Formasi ini terdiri dari lempung gampingan, napal dan pasir
gampingan yang berwarna abu-abu kehitaman, berlapis tipis dan mengandung
fosil. Umur dari formasi ini diperkirakan Miosen bawah.
10

f. Formasi Ranau

Nama formasi ini pertama kali diusulkan oleh Marks pada tahun 1961.
Formasi ini terdiri dari tufa batu apung berwarna abu-abu kehitaman. Umur dari
formasi ini diperkirakan Pleistosen.

2.2 Landasan Teori


2.2.1 Siklus Hidrologi
Menurut Chow (1988) siklus hidrologi merupakan proses continue dimana
air bergerak dari bumi ke atmosfer dan kemudian ke bumi lagi

Gambar 2.1 Ilustrasi siklus hidrologi (Chow, 1988)


Gambar 2.3 menunjukkan siklus hidrologi sedangkan gambar 2.4 adalah skema
siklus hidrologi. Dalam gambar 2.3 ditunjukkan pula komponen-komponen dari
siklus hidrologi. Neraca air tahunan diberikan dalam nilai relatif terhadap hujan
yang jatuh di daratan. Air di permukaan tanah, sungai, danau dan laut menguap
ke udara. Uap air tersebut bergerak dan naik ke atmosfer, yang kemudian
mengalami kondensasi dan berubah menjadi titik-titik air yang berbentuk
awan. Selanjutnya titik-titik air tersebut jatuh sebagai hujan ke permukaan laut
dan daratan. Hujan yang jatuh sebagian tertahan oleh tumbuh- tumbuhan
(intersepsi) dan selebihnya sampai ke permukaan tanah. Sebagian air hujan yang
sampai ke permukaan tanah akan meresap ke dalam tanah (infiltrasi) dan
sebagian lainnya mengalir diatas permukaan tanah (aliran permukaan atau
surface run off) mengisi cekungan tanah, danau, dan masuk ke sungai dan
11

akhirnya mengalir ke laut. Air yang meresap ke dalam tanah sebagian mengalir
di dalam tanah (perlokasi) mengisi air tanah yang kemudian keluar sebagai mata
air atau mengalir ke sungai. Akhirnya aliran air di sungai akan sampai ke laut.
Proses tersebut berlangsung terus menerus yang disebut dengan siklus hidrologi.

Gambar 2.2 Skema Siklus Hidrologi (Ponce, 1989)

Menurut Sosrodarsono dan Takeda (1980), air secara keseluruhan di


3
Bumi ini berjumlah 1,3-1,4 miliar km yang 97,5% diantaranya adalah air laut,
1,75% berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau,
air tanah dan sebagainya. Hujan yang akan dapat mempengaruhi secara langsung
sistem pengendalian air pada area tambang adalah air hujan yang mengalir pada
permukaan tanah (run off) ditambah sejumlah air yang keluar dari proses
infiltrasi air tanah, berikut penjelasan mengenai siklus hidrologi:
1. Presipitasi
Presipitasi adalah kedalaman cairan yang terakumulasi di atas permukaan
bumi bila seandainya tidak terdapat kehilangan. Menurut Sosrodarsono dan
Takeda (1980), presipitasi nama umum dari uap yang mengkondensasi dan jatuh
ke tanah dalam rangkaian proses siklus hidrologi Presipitasi dapat terdiri dari
beberapa bentuk yaitu hujan yang merupakan bentuk presipitasi yang paling
penting, embun yang merupakan hasil kondensasi di permukaan tanah atau
tumbuhan, salju, dan es. Untuk wilayah Indonesia yang beriklim tropis, bentuk
12

presipitasi yang paling penting adalah hujan. Faktor yang mempengaruhi


terjadinya presipitasi adalah adanya uap air di atmosfer, factor - faktor
meteorologis seperti suhu air, suhu udara, kelembaban, kecepatan angin, tekanan,
dan sinar matahari. Lokasi daerah berhubungan dengan sistem sirkulasi secara
umum, rintangan yang disebabkan oleh gunung dan lain-lain.
Salah satu bentuk presipitasi yang terpenting di Indonesia adalah hujan. Jika
membicarakan data hujan, ada 5 buah unsur yang harus ditinjau, yaitu:
a. Intensitas (i), adalah laju curah hujan = tinggi air persatuan waktu, misalnya
mm/menit, mm/jam, mm/hari
b. Lama waktu atau durasi (t), adalah lamanya curah hujan terjadi dalam menit
atau jam
c. Tinggi hujan (d) adalah banyaknya hujan yang dinyatakan dalam ketebalan air
diatas permukaan datar, dalam mm.
d. Frekuensi, adalah frekuensi kejadian terjadinya hujan, biasanya dinyatakan
dengan waktu ulang (retrun periode) T, misalnya sekali dalam T tahun
e. Luas, adalah luas geografis curah huna A, dalam km2

2.Infiltrasi
Menurut Sosrodarsono dan Takeda (1980), infiltrasi merupakan proses
masuknya air hujan kedalam lapisan permukaan tanah dan turun ke permukaan
tanah. Proses infiltrasi terjadi karena hujan yang jatuh di atas permukaan tanah
sebagian atau seluruhnya akan mengisi pori-pori tanah. Curah hujan yang
mencapai permukaan tanah yang tidak terinfiltrasi akan menjadi air limpasan
(run off). Faktor-faktor yang mempengaruhi infiltrasi adalah :
a. Faktor tanah terutama yang berkaitan dengan sifat-sifat fisik tanah
b. Faktor-faktor lain seperti kemiringan tanah, kelembaban tanah dan suhu
air.
3.Evaporasi
Menurut Sosrodarsono dan Takeda (1980), peristiwa berubahnya air
menjadi uap dan bergerak dari permukaan tanah dan permukaan air ke udara
disebut evaporasi (penguapan). Faktor – faktor yang mempengaruhi evaporasi
adalah:
a. Radiasi sinar matahari, karena proses perubahan air dari wujud cair
13

menjadi gas memerlukan panas (penyinaran matahari secara langsung)


b. Angin yang berfungsi membawa uap air dari satu tempat ke tempat
lain
c. Kelembaban relatif, suhu dan tekanan udara
d. Kondensasi
Kondensasi atau pengembunan adalah perubahan wujud benda ke wujud yang
lebih padat, seperti gas (atau uap) menjadi cairan. Kondensasi terjadi ketika uap
didinginkan menjadi cairan, tetapi dapat juga terjadi bila sebuah uap dikompresi
(yaitu, tekanan ditingkatkan) menjadi cairan, atau mengalami kombinasi dari
pendinginan dan kompresi. Cairan yang telah terkondensasi dari uap
disebut kondensat. Sebuah alat yang digunakan untuk mengkondensasi uap
menjadi cairan disebut kondenser. Kondenser umumnya adalah sebuah pendingin
atau penukar panas yang digunakan untuk berbagai tujuan, memiliki rancangan
yang bervariasi, dan banyak ukurannya dari yang dapat digenggam sampai yang
sangat besar. Kondensasi uap menjadi cairan adalah lawan
dari penguapan (evaporasi) dan merupakan proses eksothermik (melepas panas).
Air yang terlihat di luar gelas air yang dingin pada hari yang panas adalah
kondensasi.

5. Presipitasi

Presipitasi dalam siklus hidrologi adalah turunnya air dari atmesfer bumi
menuju permukaan laut dan permukaan bumi dalam bentuk yang berbeda-beda.
Hal ini terjadi karena atmosfer yang mengandung berbagai macam gas salah
satunya uap air menjadi jenuh, uap air yang jenuh berkondensasi atau berubah
menjadi lebih padat (dalam hal ini menjadi cair) dan selanjutnya turun atau jatuh
ke permukaan bumi.
2.2.2 Analisa Hidrologi
Penerapan ilmu hidrologi dapat dijumpai dalam beberapa kegiatan seperti
perencanaan dan operasi pembangunan air, serta penyediaan air untuk berbagai
keperluan. Analisa hidrologi penting dilakukan untuk memperkirakan debit
rancangan. Adapun analisis yang dilakukan pada analisa hidrologi adalah sebagai
berikut:
1. Pengukuran Curah Hujan
Menurut Suwandhi (2004) hujan merupakan air yang jatuh dari atas
menuju ke permukaan bumi dan merupakan uap air di atmosfir yang
terkondensasi lalu

4
jatuh dalam bentuk tetesan air. Curah hujan adalah jumlah atau volume air hujan
yang jatuh pada satu satuan luas, dinyatakan dalam satuan mm. 1 mm berarti
2
pada luasan 1 m jumlah air hujan yang jatuh sebanyak 1 liter. Berdasarkan
pergerakan udara penyebab turunnya hujan dapat dibedakan 3 tipe hujan:
a. Hujan konvektif, yaitu hujan yang disebabkan oleh naiknya udara panas ke
daerah udara dingin. Udara panas tersebut mendingin dan terjadi kondensasi.
Hujan tipe ini umumnya berjangka waktu pendek, daerah hujannya terbatas
dan intensitasnya bervariasi dari hujan sangat ringan sampai sangat lebat. Tipe
hujan ini sering terjadi di daerah khatulistiwa.
b. Hujan orografis, yaitu hujan yang terjadi di daerah pegunungan
dan disebabkan oleh naiknya massa udara lembab karena punggung pegunungan.
Hujan siklon, yaitu hujan yang berhubungan dengan front udara (front udara
panas dan front udara dingin) (Budiarto, 1997). Berikut analisa curah hujan yang
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Curah hujan rencana
Curah hujan merupakan data yang paling utama dalam perencanaan
kegiatan pengendalian air pada tambang terbuka. Pengolahan data curah hujan
dimaksudkan untuk mendapatkan data curah hujan yang siap pakai untuk suatu
perencanaan sistem penyaliran. Pengolahan data ini dapat dilakukan dengan
beberapa metode, salah satunya adalah metode Gumbel, yaitu suatu metode yang
didasarkan atas distribusi normal (distribusi harga ekstrim). Distribusi ini
digunakan untuk model nilai – nilai ekstrim yang terkait dengan banjir dan curah
hujan. Gumbel beranggapan bahwa distribusi variabel-variabel hidrologis tidak
terbatas, sehingga harus digunakan distribusi dari harga-harga yang terbesar
(harga maksimal).
Pengolahan data curah hujan yang dilakukan dengan menggunakan metode
Gumbel, dimana curah hujan rencana dihitung dengan menggunakan rumus
sebagai berikut
S
X= x + (Y-Yn) ...................................................................................(2.1)
Sn
Keterangan:
X = Perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan periode ulang T tahun
x = Harga rata – rata sampel data curah hujan (dalam hal ini curah hujan
bulanan maksimum)
S = Simpangan baku (standar deviasi) data sampel curah hujan
Y = Reduce variate, mempunyai nilai yang berbeda pada setiap periode ulang
Yn = Reduced mean, yang tergantung pada jumlah sample
Sn = Reduced standard deviation yang juga tergantung pada jumlah sample
Nilai curah hujan maksimum rata-rata ( x ) dapat dihitung dengan rumus
∑X
x = ..................................................................................................(2.2)
n
Keterangan:
X = Curah hujan maksimum pada tahun x
n = Lama tahun pengamatan
Pada persamaan distribusi Gumbell di atas, hanya harga curah hujan rata-rata dan
standar deviasi nilai curah hujan yang diperoleh dari hasil pengolahan data. Untuk
harga-harga selain itu diperoleh dari tabel tetapan, dalam hubungannya

dengan jumlah data dan periode ulang hujan. Langkah-langkah yang


dilakukan untuk mendapatkan nilai curah hujan rencana adalah sebagai berikut:
a. Simpangan Baku
Besarnya simpangan baku (S) dapat dihitung menggunakan rumus Soewarno
(1995) yakni sebagai berikut:

S=
√ ∑ (Xi-X) 2
n-1
...........................................................................................(2.3)

b. Reduce Variate (Y)


Menghitung nilai reduce variate menggunakan rumus Soemarto (1987)
T-1
Y = - Ln {-Ln }.....................................................................................(2.4)
T
Keterangan:
Y = Reduce Variate
T = Periode ulang hujan (Tahun)
Tabel 2.6 Hubungan Periode Ulang Hujan (T) dengan Reduksi Variansi (Y)
Periode Ulang (T) Reduksi Variansi (Y)
2 0,3665
5 1,4999
10 2,2504
20 2,9702
(Sumber: Soewarno, 1995)
c. Reduce Mean atau Koreksi Rata-Rata (Yn)
Menentukan nilai koreksi rata-rata, nilai Reduce mean tergantung atas
banyaknya data curah hujan yang digunakan, data curah hujan minimal digunakan
dalam 10 tahun sebelumnya. Koreksi rata-rata dapat ditentukan dengan rumus
berikut :
(n+1-m)
Yn = - Ln {-Ln }...........................................................................(2.5)
n+1
Keterangan :
n = Jumlah data yang digunakan (tahun)
m = Urutan data
d. Reduced Standard Deviation atau Koreksi Simpangan (Sn)
Menentukan nilai reduced standar deviation dilihat dari banyaknya data
curah hujan yang digunakan, Soemarto (1987). Jumlah data curah hujan yang
dibutuhkan untuk mengolah data pada persamaan Gumbell minimal 10 tahun dan
dapat dicari menggunakan rumus berikut :

Sn =
√ ∑ (Yn-Yn')2
n-1
.....................................................................................(2.6)

Keterangan :
Yn = Reduce mean
Yn’ = Rata-rata Reduce mean
2.2.3 Air Limpasan
Bila curah hujan melampaui kapasitas penyerapan Infiltrasi, maka
besarnya limpasan permukaan akan segera meningkat sesuai dengan peningkatan
intensitas curah hujan, akan tetapi besarnya air limpasan ini tidak sebanding
dengan peningkatan curah hujan karena disebabkan oleh efek penggenangan di
permukaan tanah. Air limpasan disebut juga dengan air permukaan tanah.
Besarnya air limpasan adalah besarnya curah hujan dikurangi besarnya
penyerapan dan penguapan. Besarnya air limpasan tergantung pada banyak faktor,
sehingga tidak semuanya air yang berasal dari curah hujan akan menjadi sumber
bagi suatu sistem penyaliran (drainase).
Sumber utama air limpasan permukaan pada suatu tambang terbuka adalah
air hujan. Jika curah hujan yang relatif tinggi pada daerah tambang maka perlu
penanganan air hujan yang baik sistem penyaliran, agar produktifitas tambang
tidak menurun.
Air limpasan adalah bagian dari curah hujan yang mengalir diatas
permukaan tanah menuju sungai, danau atau laut (Asdak, 1995). Air hujan yang
jatuh kepermukaan tanah yang langsung masuk ke dalam tanah disebut infiltrasi.
Aliran itu terjadi karena curah hujan yang mencapai permukaan bumi tidak dapat
terinfiltrasi, baik yang disebabkan karena intensitas curah hujan atau faktor lain
misalnya kelerengan, bentuk dan kekompakan permukaan tanah serta vegetasi.
Dari sekian banyak faktor yang paling banyak atau besar pengaruhnya
adalah kondisi penggunaan lahan dan perbedaan ketinggian daerah, faktor-faktor
ini digabungkan dan dinyatakan oleh suatu angka yang disebut koefisien limpasan
tabel 2.7. Penentuan besar debit air limpasan maksimum ditentukan dengan
metode “Rasional”. Metode ini hanya berlaku untuk menghitung debit limpasan
curah hujan yang dinyatakan dengan rumus :
Q = 0,002778 .C .I . A……………………………………………………..…..(2.7)
Keterangan :
Q = Debit aliran limpasan m3/detik
C = Koefisien limpasan
I = Intensitas curah hujan mm/jam
A = Luas daerah tangkapan Hujan Ha
1. Daerah Tangkapan Hujan Catchment Area
Air hujan yang mempengaruhi secara langsung suatu sistem penyaliran
tambang adalah air hujan yang mengalir di atas permukaan tanah air
permukaan
ditambah sejumlah pengaruh air tanah.
Air hujan air permukaan yang mengalir ke areal penambangan tergantung
pada kondisi daerah tangkapan hujan yang dipengaruhi oleh daerah sekitarnya.
Luas daerah tangkapan hujan dapat ditentukan berdasarkan analisa peta topografi,
berdasarkan kondisi daerahnya seperti adanya daerah hutan, lokasi penimbunan,
kepadatan alur drainase, serta kondisi kemiringan.
2. Intensitas Curah Hujan

Intensitas curah hujan adalah jumlah air hujan yang jatuh dalam areal
tertentu dalam jangka waktu yang relatif sangat singkat dinyatakan dalam mm/dtk,
mm/mnt atau mm/jam. Intensitas curah hujan biasanya disimbolkan dengan huruf
I dengan satuan mm/jam, yang artinya tinggi/kedalaman yang terjadi adalah
sekian mm dalam periode waktu satu jam.
Hubungan antara intensitas hujan, lama hujan,dan frekuensi hujan biasanya
dinyatakan dengan lengkung Intensitas-Durasi-Frekuensi (IDF = Intensity
Duration Frequency Curve), diperlukan data hujan jangka pendek, misalnya 5
menit, 10 menit, 30 menit, 60 menit dan jam-jaman untuk membentuk lengkung
IDF.
Seandainya curah hujan harian didaerah penelitian diketahui tidak
terdistribusi merata setiap tahun, maka menurut Mononobe (1992), Intensitas
curah hujan dapat dihitung dengan rumus perkiraan intensitas curah hujan untuk
waktu lama waktu hujan sembarang yang dihitung dari data curah hujan harian
yaitu :
R 24 24 2
I= ( )
24 t
3
………………………………………………..……….……..(2.8)

Keterangan :
I = Intensitas curah hujan (mm/jam)
t = Lama waktu hujan (jam)
R24 = Curah hujan harian maksimum (mm)
3. Koefisien Limpasan
Menurut Budiarto (1997) Angka koefisien limpasan dipengaruhi oleh
kondisi topografi dan rapat tidaknya vegetasi. Koefisien tersebut merupakan
parameter yang nantinya akan menggambarkan hubungan antara curah hujan
dengan limpasan, yaitu akan memperkirakan jumlah air hujan yang mengalir
menjadi limpasan langsung di permukaan. Koefisien limpasan dipengaruhi oleh
faktor-faktor tutupan tanah, kemiringan dan lamanya hujan. Beberapa perkiraan
koefisien limpasan terlihat pada Tabel 2.7 berikut ini :
Tabel 2.7 Harga koefisien limpasan
Kemiringan Tutupan/Jenis Lahan Koefisien limpasan (C)
< 3% Sawah, Rawa, 0,2
Hutan, Perkebunan, 0,3
(Datar) Perumahan 0,4
Hutan, Perkebunan, 0,4
Perumahan, 0,5
3%-15% (Sedang) Semak-semak agak jarang, 0,6
lahan terbuka 0,7
Hutan, 0,6
Perumahan, 0,7
Semak-semak agak jarang 0,8
>15% (Curam) Lahan Terbuka daerah Tambang 0,9
(Sumber: Suwandhi, 2004)
2.2.4 Air Tanah
Menurut Tood, (1960) air tanah dapat ditampung pada beberapa bagian
wilayah (zona), yaitu:

1. Zona air tanah : bermula dari permukaan tanah dan berkembang ke dalam
tanah melalui akar tanaman. Kedalaman yg dicapai tergantung tipe tanah dan
vegetasi. Zona ini dapat diklasifikasikan menjadi zona air higroskopis, yaitu air yg
langsung diserap dari udara di atas permukaan tanah; air kapiler dan air gravitasi,
yaitu air yg 2. Zona pertengahan (intermediate zona) : zona ini terletak antara
permukaan tanah dan permukaan air tanah dan merupakan daerah infiltrasi.

3. Zona kapiler (capillary zona) : zona ini terbéntang dari permukaan air tanah ke
atas sampai ketinggian yg dapat dicapai oleh gerakan air kapiler.

4. Zona jenuh (saturated zona). Zona yg terletak di atas lap kedap air dan semua
pori-pori tanahnya terisi oleh air.
5. Air gravitasi : air yang bergerak ke lap lebih dalam karena gaya gravitasi atau
bergerak pada zona jenuh. Air ini dibedakan:

a. Capillary gravitation water : yaitu air yang bergerak karena pengaruh gaya
berat dan kapiler

b. Downward gravitation water : yaitu air yang bergerak melalui pori-pori non
kapiler dan menuju ke air bawah tanah

6. Uap air (water vapour) : air dalam keadaan sebagai uap dalam pori-pori tanah

Air tanah dapat diklasifikasikan dalam beberapa definisi, yaitu:

1. Air osmotic : air yg terpengaruh gaya osmotik dan banyak terdapat dalam sel-
sel jasad hidup.

2. Air higroskopik : air yg terdapat pada permukaan partikel tanah dan diikat kuat
karena gaya permukaan.

3. Air tersier : air yg terikat karena gaya kapiler pada pori-pori tanah dan
berhubungan dengan air bawah tanah.

4. Held water : atau (half wasser) yaitu air yg berada pada partikel tanah dgn tega
ngan permukaan tanah pd tekanan normal dan dpt bergerak tdk bersatu dgn air
tanah Iainnya atau air bawah tanah.

Menurut Seyhan (1990), lebih dari 98% dari semua air di atas bumi
tersembunyi di bawah permukaan dalam pori-pori batuan dan bahan-bahan
butiran. 2% sisanya adalah apa yang kita lihat di danau, sungai dan reservoir.
Jumlah air tanah yang besar memerankan peranan penting dalam sirkulasi air
alami.
Perhitungan debit air tanah biasanya dilakukan pada kondisoi pengontrolan
air tanah yang sulit diatasi. Persamaan yang sering digunakan untuk menghitung
debit air tanah yaitu persamaan Thiem (Thiem, 1906) yang dasar perhitungannya
adalah pengurangan air dalam kapiler adalah sebagai berikut:
K 2 π m(s 1−s 2)
Q=
R ....................................................……………………(2.9)
C μ log 10 ( )
r

Keterangan
Q : Laju aliran
K : Permeabilitas
m : Ketebalan kejenuhan rata-rata dari dua titik yang pengamatan
R : Jari-jari titik pengamatan jauh
r : Jari-jari pengamatan titik terdekat
C : Konstanta
μ : Viskositas
S1 : Pengukuran air tanah pada titik terdekat
S2 : Penurunan air tanah pada titik terdekat
Kenaikan tinggi permukaan air pada sump diukur saat tidak hujan dan tidak
dilakukan pemompaan, karena jika terjadi hujan, maka air yang masuk ke
dalam sump akan dipengaruhi oleh air limpasan akibat adanya curah hujan.
menurut Puradimaja (1993), dilihat dari tipologinya di Indonesia, sistem
akuifer memiliki lima tipologi sistem akuifer, antara lain sebagai berikut:
1. Sistem Akuifer Endapan Gunungapi. Sistem ini terjadi pada area gunung
berapi dimana lapisan pembawa air mulai dari permukaan gunung yang terdiri
dari batuan piroklastik yang turun ke bagian dalam gunung berapi menuju
aliran lava dan selanjutnya masuk kedalam batuan dasar gunung berapi;

2. Sistem Akuifer Endapan Aluvial. Sistem ini terdapat pada jenis tanah
endapan aluvial yang terdapat di sepanjang aliran sungai yang jenis tanahnya
masih muda dan belum terkonsolidasi dengan sempurna sehingga lapisan tanah
ini dapat mengalirkan air atau meresapkan air menuju permukaan dalam
lapisan tanah;

3. Sistem Akuifer Batuan Sedimen. Sistem ini mengalami prosesnya pada


lapisan batuan sedimen yang memiliki ronga atau pori atau rekahan dan
meneruskan air di atas permukaan menuju ke bagian dalam atau bawah
permukaan tanah;

4. Sistem Akuifer Batuan Kristalin dan Metamorf; dan

5. Sistem Akuifer Endapan Glasial

Berdasarkan pengertian, sistem, dan klasifikasi akuifer yang telah dijelaskan


di bagian sebelumnya, maka akuifer dapat dibedakan kedalam beberapa jenis-
jenis

akuifer. Menurut Kodoatie (2012), jenis akuifer terdiri dari tiga jenis, yaitu:

1. Akuifer bebas, atau unconfined aquifer. Akuifer yang lapisan pembatasnya


hanya pada bagian bawah saja dan tidak ada lagi sekat dengan lapisan atasnya,
yaitu pada muka air tanah.

2. Akuifer tertekan, atau confined aquifer. Akuifer yang pembatas pada


lapisan atas dan bawahnya merupakan pembatas yang tidak tembus air
sehingga menyebabkan air muncul di atas formasi tertekan pad abagian
bawahnya sehingga akuifer ini terisi penuh oleh air tanah.

3. Akuifer semi tertekan, atau leaky aquifer. Akuifer yang memiliki air yang
jenuh dan dibatasi oleh lapisan atas berupa akuitard dan lapisan bawah yang
merupakan akuiklud. Jenis akuifer ini merupakan jenis akuifer yang sempurna
karena pada lapisan atas dibatasi oleh lapisan semi-lolos air dan lapisan bagian
bawah adalah lapisan lolos air atau semi-lolos air.

2.2.5 Evapotranspirasi

Menurut Sosrodarsono dan Takeda (1980), evapotranspirasi adalah


peristiwa naiknya air tanah ke udara melalui tumbuh-tumbuhan. Banyaknya air
tanah yang naik ke udara tergantung dari kadar kelembaban tanah dan jenis
tumbuh-tumbuhan itu sendiri. Umumnya banyaknya transpirasi yang diperlukan
untuk menghasilkan 1 gr dahan kering disebut laju transpirasi dan dinyatakan
dalam gr. Di daerah yang lembab, banyaknya kira-kira 200-600 gr dan untuk
daerah kering kira-kira dua kali sebanyak itu.
Evapotranspirasi yang banyak ketersediaannya dalam tanah disebut
dengan evapotranspirasi potensial, mengingat dari hal tersebut terdapat faktor-
faktor yang mempengaruhi evapotranspirasi lebih banyak dan lebih sulit dari
faktor yang mempengaruhi dari evaporasi, maka dari itu banyaknya
evapotranspirasi tidak dapat diperkirakan dengan teliti. Evapotranspirasi adalah
faktor dasar untuk menentukan kebutuhan air dalam rencana irigasi dan
merupakan proses yang penting dalam siklus hidrologi, oleh sebab itu banyak
cara menentukannya, salah satu Persamaan yang digunakan untuk menentukan
evapotransipirasi adalah menggunakan Persamaan Turc Langbein Wundt pada
Persamaan 2.10 dan 2.11
P
0,9+( )
L (T )
E = [¿¿ 2]0,5 ..............................................................................................
P
¿
(2.10)

L (T) = 300 + 25(T) +0.05 (T)2 ........................................................................(2.11)


Keterangan:
E = Evapotranspirasi (mm/jam)
P = Curah hujan tahunan rata-rata (mm/tahun)
L(T) = fungsi suhu
T = suhu rata-rata (°C)

2.2.6 Debit Total

Menurut Suwandi (2004), debit air yang masuk ke lokasi tambang secara
keseluruhan merupakan penjumlahan debit limpasan yang ditambah dengan
debit air tanah yang kemudian akan mengalami pengurangan, karena terjadi
proses evapotranspirasi, untuk menentukan debit total air yang masuk dapat
digunakan persamaan berikut:
Q total = R + S – ET.........................................................................................(2.12)
Q total = Q limpasan permukaan + Q air tanah - Qevapotrasnpirasi..............(2.13)
Keterangan:
3
R = volume limpasan (m )
3
S = volume air tanah (m )
3
ET = volume evapotranspirasi (m )
2.2.7 Pompa
Menurut Sularso (1983), pompa merupakan alat yang digunakan untuk
memindahkan suatu cairan dari suatu tempat ke tempat lain dengan cara
menaikkan tekanan cairan tersebut. Kenaikan tekanan cairan tersebut digunakan
untuk mengatasi hambatan-hambatan penyaliran. Hambatan-hambatan
penyaliran itu dapat berupa perbedaan tekanan, perbedaan ketinggian, atau
hambatan gesek. Pada sistem penyaliran tambang pompa sangatlah berperan
penting untuk pengisapan air. Dalam perencanaan sistem pemompaan, maka
perlu diketahui penjelasan berikut ini:

1. Klasifikasi Pompa

Menurut Sularso (1983), klasifikasi pompa secara umum dapat


diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu pompa kerja positif
(positive displacement pump) dan pompa kerja dinamis (non positive
displacement pump). Untuk perbedaan dua jenis pompa dapat diuraikan sebagai
berikut :
a. Pompa pemindah positif (positive displacement pump)

Pompa jenis ini merupakan pompa dengan ruangan kerja yang secara
periodik berubah dari besar ke kecil atau sebaliknya, selama pompa
bekerja. Energi yang diberikan kepada cairan ialah energi potensial, sehingga
cairan berpindah volume per volume, yang termasuk dalam kelompok pompa
pemindah positif antara lain pompa reciprocating, pompa diahfragma, pompa
rotary.
b. Pompa kerja dinamis (non positive displacement pump)
Pompa jenis ini adalah suatu pompa dengan volume ruang yang tidak
berubah pada saat pompa bekerja. Energi yang diberikan pada cairan
adalah energi kecepatan, sehingga cairan berpindah karena adanya perubahan
energi kecepatan yang kemudian dirubah menjadi energi dinamis di
dalam rumah pompa itu sendiri, yang termasuk dalam kelompok pompa kerja
dinamis antara lain: Pompa kerja khusus dan pompa sentrifugal (Centrifugal
Pumps). Pompa sentrifugal (Gambar 2.2) memiliki prinsip kerja dengan
mengubah energi kinetik (kecepatan) cairan menjadi energi potensial melalui
suatu impeller yang berputar dalam casing. Gaya sentrifugal yang timbul karena
adanya gerakan sebuah benda atau partikel melalui lintasan lengkung.

Gambar 2.3 Bagian-bagian pompa sentrifugal (Sularso, 1983)


Pompa ini paling banyak digunakan, karena bentuk yang sederhana dan
harga, serta perawatan yang relatif murah. Keuntungan pompa sentrifugal
dibandingkan jenis pompa perpindahan positif adalah gerakan impeller yang
kontinu menyebabkan aliran tunak dan tidak berpulsa, keandalan operasi tinggi
disebabkan gerakan elemen yang sederhana dan tidak adanya katup-katup,
kemampuan untuk beroperasi pada putaran tinggi yang dapat dikopel
dengan motor listrik, motor bakar atau turbin uap, biaya instalasi ringan.
2. Operasi seri dan paralel dengan karakteristik pompa sama

Menurut Tahara (1983), jika head atau kapasitas yang diperlukan


tidak dapat dicapai dengan satu pompa saja, maka dapat digunakan dua
pompa atau lebih yang disusun secara seri atau paralel.
a. Susunan seri
Bila head yang diperlukan besar dan tidak dapat dilayani oleh satu pompa,
maka dapat digunakan lebih dari satu pompa yang disusun secara seri
(Gambar 2.3). Sistem ini memiliki nilai head yang bertambah sebesar
jumlah head masing-masing, sedangkan debit pemompaan tetap.

Gambar 2.3 Pompa susunan seri


b. Susunan paralel

Susunan paralel dapat digunakan bila diperlukan kapasitas yang besar yang
tidak dapat diatasi oleh satu pompa saja, atau bila diperlukan pompa
cadangan yang akan dipergunakan bila pompa utama rusak/diperbaiki. Pada
rangkaian ini, kapasitas pemompaan bertambah sesuai dengan kemampuan debit
masing-masing pompa namun head tetap. Penyusunan pompa secara paralel
dapat digambarkan pada Gambar 2.4

Gambar 2.4 Pompa susunan pararel


3. Head pompa

Dalam pemompaan di kenal istilah julang (head), yaitu energi yang


diperlukan untuk mengalirkan sejumlah air pada kondisi tertentu. Semakin besar
debit air yang dipompa, maka head juga akan semakin besar. Head total pompa
untuk mengalirkan sejumlah air seperti yang di rencanakan dapat di tentukan dari
kondisi instilasi yang akan di layani oleh pompa tersebut.
Menurut Sularso (1983), dalam memilih suatu pompa untuk maksud
tertentu, terlebih dahulu harus diketahui aliran serta head yang diperlukan untuk
mengalirkan zat cair yang akan dipompa. Head pompa adalah energi per-satuan
berat yang sangat harus disediakan untuk mengalirkan sejumlah zat cair yang
direncanakan sesuai kondisi instalasi pompa atau tekanan untuk mengalirkan
sejumlah zat cair, yang umumnya dinyatakan dalam satuan panjang. Head dapat
bervariasi pada penampang yang berbeda, tetapi pada kenyataannya selalu
ada rugi energi. Head total pompa yang harus disediakan untuk mengalirkan
jumlah air seperti direncanakan, dapat ditentukan dari kondisi instalasi yang akan
dilayani oleh pompa.
Menurut Lubis (2010), penentuan total head (Ht) sangat dipengaruhi oleh
desain pemasangan pompa dan sistem pemipaan. Untuk menghitung total head
(Ht), maka beberapa langkah yang harus dilakukan adalah :
a. Menentukan nilai Hs

Penentuan nilai Hs (head statis) didapatkan karena adanya pengaruh beda


tinggi antara pipa isap (inlet) dan pipa buang (outlet). Untuk menentukan nilai
Hs:
Head statis = h2 - h1 .....................................................................(2.14)
Keterangan:
h2 = elevasi pipa tekan (mdpl)
h1 = elevasi pipa isap (mdpl)
b. Head Tekanan (hp)

Head tekanan adalah perbedaan head tekanan yang bekerja pada permukaan
zat cair pada sisi tekan dengan head tekanan yang bekerja pada permukaan zat
cair pada sisi isap. Head tekanan dapat dinyatakan dengan rumus:
hp = h pa - h pb ...............................................................................................(2.15)
Keterangan :
hp = Head tekanan pada permukaan air (m)
hpa = tekanan pada permukaan air yang akan dipindahkan
hpb = tekanan pada permukaan air buangan
c. Kerugian Head (Head Loss)

Kerugian energi per satuan berat fluida dalam pengaliran cairan dalam
sistem perpipaan disebut sebagai kerugian head (head loss). Head loss meliputi
head loss akibat gesekan pada pipa lurus (head loss mayor) dan head loss
diakibatkan oleh sambungan, katup, belokan dan sebagainya (head loss minor).
Untuk menghitung besarnya head loss mayor dan minor tersebut diperlukan
persamaan Hazen-William yaitu sbagai berikut: (Sularso dan Tahara, 2000).
a. Mayor head loss (mayor losses)

Merupakan kerugian energi sepanjang saluran pipa yang dinyatakan dengan


rumus :

L V2
hlp = f . .
D 2. g
..................................................................................................(2.16)
Keterangan :
Hlp = Mayor head loss
f = Faktor gesekan
L = Panjang pipa
V = Kecepatan rata-rata cairan dalam pipa
D = Diameter pipa
b. Minor head loss (minor losses)

Merupakan kerugian head pada fitting dan valve yang terdapat sepanjang
sistem perpipaan. Dapat dicari dengan menggunakan rumus:
V2
hlf = n . k . ..................................................................................................
2. g
(2.17)
Keterangan:
hlf = Minor head loss
n = Jumlah fitting/valve untuk diameter yang sama
k = Koefisien gesekan
V = Kecepatan rata-rata cairan dalam pipa
g = Kecepatan gravitasi
c. Total Kerugian Head

Total losses merupakan kerugian total sistem perpipaan, yaitu :


HL = hlp + hls...................................................................................................(2.18)
Keterangan:
HL = Total losses
HLp = mayor head loss
HLf = minor head loss
Untuk perhitungan head pompa digunakan prinsip Bernoulli. Prinsip ini
sebenarnya merupakan penyederhanaan dari Persamaan Bernoulli yang
menyatakan bahwa jumlah energi pada suatu titik di dalam suatu aliran tertutup
sama besarnya dengan jumlah energi di titik lain pada jalur aliran yang sama.
Bentuk Persamaan Bernoulli untuk aliran tak-termampatkan (Goerge
Tchobanoglous, 1981) ditunjukan dalam persamaan dibawah ini:
P1 v 12 P v2
+ + z1 −H L + H p= 2 + 2 + z 2 ...................................................……(2.19)
γ 2g γ 2g
Keterangan:
P = Tekanan (bar)
γ = berat spesifik (kN/m3)
V = kecepatan aliran fluida (m/s2)
Z1 = elevasi hisap (m)
Z2 = elevasi buangan (m)
HL = Head loss (m)
Hp = Head pompa
Gambar 2.5. Prinsip bernoulli (Sularso dan Tahara, 2000)
Dalam persamaan tersebut, diasumsikan bahwa ktinggian awal berada pada
permukaan danau z1 = 0 dan v1 = 0. Head akibat perbedaan tekanan udara
diabaikan karena perbedaan nilai P1 = P2 terlalu kecil, sehingga ET = 0 atau tidak
ada energy yang terpakai. Head yang ditambahkan (HA) pada persamaan di atas
sama dengan nilai head total yang bekerja pada pompa (H). Dari uraian di atas,
persamaan Bernoulli dapat diubah menjadi (Sularso dan Tahara) sebagai berikut:
H = z + HL………………………………………………………………...….(2.20)
Keterangan:
H = Head total pompa (m)
z = Head statis total (m)
HL = Head loss (m)
Untuk penentuan besar daya pompa digunakan rumus berikut ini :
Hpx Qx γ
P= ...........................................................................................(2.21)
ηp x ηm
Dimana :
P = Daya pompa (kW)
Hp = Head pompa (m)
Q = debit (m3/detik)
γ = berat jenis (kN/m3)
η = effisiensi pompa
ηm = effisiensi motor
4. Effisiensi Pompa
Setiawan (2016), mengatakan bahwa pompa tidak dapat mengubah seluruh
energy kinetic menjadi energy tekanan karena ada sebagian energy kinetic yang
hilang dalam bentuk losis. Efisiensi pompa adalah suatu factor yang digunakan
untuk menghitung losis tersebut.
Setiap pompa dirancang dengan kapasitas dan head tertentu, meskipun juga
dapat dioperasikan dengan kapasitas dan head yang lain. Efisiensi pompa akan
mencapai maksimum pada designed point tersebut, yang dinamakan dengan titik
BEP. Untuk kapasitas yang lebih kecil atau lebih besar, efisiensinya akan lebih
rendah. Efisiensi pompa adalah perbandingan antara daya hidrolis pompa dengan
daya poros pompa (Anis dan Karnowo, 2008)
η = PH : PS……………………………………………………………...……..(2.22)
Keterangan :
η = Efisiensi pompa
PH = Daya Hidrolis
PS = Daya Shaft
5. Daya Hidrolis dan Daya Shaft Pompa
Daya hidrolis adalah daya yang diperlukan oleh pompa untuk mengangkat
sejumlah zat cair pada ketinggian tertentu. Daya hidrolis dapat dicari dengan
persamaan berikut: (Mackay, 2004)
PH = γ . Q . H ………………………………………………………………...(2.23)
Keterangan:
PH = Daya Hidrolis (kW)
γ = Berat per satuan volume (kN/m3)
Q = Kapasitas (m3/s)
H = Head Total (m)
Sementara untuk mencari nilai daya poros adalah sebagai berikut: (Mackay,
2004)
Ps = PH : η ……………………………………………………………………(2.24)
Keterangan
Ps = Daya poros (kW)
PH = Daya hidrolis (kW)
η = Efisiensi pompa
5. Kurva Karakteristik Pompa
Gulich (2010), mengatakan bahwa untuk setiap pompa biasanya pabrik
pembuatnya memberikan kurva karakteristik yang menunjukkan kinerja pompa
pada setiap kondisi pemakaian. Karakteristik sebuah pompa digambarkan dalam
kurva karakteristik yang menyatakan besarnya head pompa, daya pompa, dan
efisiensi pompa terhadap kapasitas.
Ketika debit hasil pemompaan berubah, maka head, power comsumption dan
efisiensi nya juga akan berubah. Pada titik tertentu, pompa akan mencapai titik
efisiensi terbaik atau titik BEP (Best Efficiency Point). Pada titik ini, pompa akan
beroperasi dengan debit optimal, konsumsi daya optimal dan kecepatan operasi
yang optimal. Kurva karakteristik pompa berbeda-beda untuk setiap jenis pompa
karena memiliki daya penggerak dengan tipe juga ukuran impeller yang berbeda
(Gulich, 2010). Berikut ini adalah contoh kurva karakteristik suatu pompa:

Gambar 2.6. Kurva karakteristik pompa (Jensens, 2004)


2.2. 8 Pipa

Pipa untuk keperluan pemompaan biasanya terbuat dari baja. tetapi untuk
tambang yang tidak terlalu dalam dapat mengunakan pipa HDPE (High Density
Polyethylene). Pada dasarnya bahan apapun yang digunakan harus memperhatikan
kemampuan pipa untuk menekan cairan didalamnya. Sistem perpipaan akan
sangat berhubungan erat dengan daya serta head pompa yang dibutuhkan. Hal ini
terjadi karena sistem perpipaan tidak akan terlepas dari adanya gaya gesekan pada
pipa. belokan. pencabangan. bentuk katup. serta perlengkapan pipa lainnya. Hal
ini akan menyebabkan terjadinya kehilangan energi sehingga turunnya tekanan di
dalam pipa.
Tabel 2.8 Konstanta Hazen-Williams Berbagai Jenis Pipa
No Jenis Pipa Nilai C
1 Pipa besi cor baru 130
2 Pipa besi cor lama 100
3 Pipa besi cor lama / permukaan dalam kasar 70
4 Pipa baja baru 130
5 Pipa baja sedang / setengah pakai 100
6 Pipa baja lama 80
7 Pipa Plastik "Polyethylene" 140
(Sumber : Mays, 1988.)
Panjang pipa ekivalen merupakan nilai pipa beserta aksesorisnya dianggap
sama dengan pipa lurus, panjang pipa ekivalen dapat dilihat pada Tabel 2.9
Tabel 2.9. Panjang Pipa Ekuivalen
Nama Alat Panjang Pipa Lurus Ekivalen
o
Ellbow Belokan 10 10.67 D
o
Ellbow Belokan 20 13.3 D
Ellbow Belokan 30 o 16.5 D
o
Ellbow Belokan 45 20 D
Ellbow Belokan 90 o 32 D
Pipa U 75 D
Pipa T 60 D
Pipa Y 500 D
Flowmeter 10D
Gate valve 7D
Katup bola (DN
60 D
150)
Katup bola (DN
67
200)
(Sumber : Mays, 1988.)
2.3.9 Kolam Pengendap Lumpur (KPL)
Kolam pengendapan lumpur menurut Anonim (1983) (State of Alaska
Depertement Of Enivirontental Conservastion) merupakan sarana untuk
menghindari pencemaran perairan umum oleh air limpasan dari tambang yang
mengandung material padat akibat erosi. Penentuan lokasi dan kapasitas KPL
harus direncanakan dengan memperhatikan rencana tambang agar biaya
pembuatannya dan penanganan lumpur tidak memerlukan biaya besar.
1. Bentuk Kolam Pengendapan
Walaupun bentuknya dapat bermacam-macam. namun pada setiap kolam
pengendap akan selalu ada 4 zona penting yang terbentuk karena proses
pengendapan material padatan (Anonim, 1983) (State of Alaska Depertement Of
Enivirontental Conservastion). Keempat zona zona adalah sebagai berikut :
a. Zona masukan adalah tempat masuknya aliran air berlumpur kedalam
kolam pengendapan dengan anggapan campuran antara padatan dan cairan
terdistribusi secara merata.
b. Zona pengendapan adalah tempat dimana partikel akan mengendap.
material padatan disini tempat dimana partikel akan mengendap. material
padatan disini akan mengalami proses pengendapan disepanjang saluran
masing-masing ceck dam.
c. Zona endapan lumpur adalah tempat dimana partikel padatan dalam
cairan mengalami sedimentasi dan terkumpul pada bagian bawah saluran
pengendap.
d. Zona keluaran adalah tempat keluarnya buangan cairan yangt relative
bersih zone ini terletak pada akhir saluran.
2. Perhitungan Prosentase Pengendapan

Perhitungan Prosentase pengendapan ini bertujuan untuk mengetahui apakah


kolam pengendapan yang akan dibuat dapat berfungsi untuk mengendapkan
partikel padatan yang terkandung dalam air tambang. Waktu yang dibutuhkan
oleh partikel untuk mengendap dengan kecepatan (v m/s) sejauh (h).
Gambar 2.5 Aliran Air Di Kolam Pengendapan (Suwandi, 2004)
2.3 Sistem Penyaliran
Sistem penyaliran tambang adalah suatu usaha yang ditetapkan pada daerah
penambangan untuk mencegah, mengeringkan, atau mengeluarkan air yang masuk
ke daerah penambangan. Upaya ini dimaksudkan untuk mencegah terganggunya
aktivitas penambangan akibat adanya air dalam jumlah yang berlebihan, terutama
pada musim hujan. Selain itu sistem penyaliran tambang ini juga dimaksudkan
untuk memperlambat kerusakan alat serta mempertahankan kondisi kerja yang
aman, sehingga alat-alat mekanis yang digunakan pada daerah tersebut
mempunyai umur yang lama.
2.3.1 Metode Penyaliran Pada Tambang Bawah Tanah
Penanganan masalah air pada tambang bawah tanah umumnya dilakukan
dengan cara-cara sebagai berikut :
1. Dengan “Tunnel” (Terowongan). Penyaliran dengan cara ini adalah dengan
membuat “tunnel” atau “adit” bila topografi daerahnya memungkinkan, dimana
terowongan atau “adit” ini dibuat sebagai level pengeringan tersendiri untuk
mengeluarkan air tambang bawah tanah. Cara ini relatif murah dan ekonomis bila
dibandingkan dengan sistem penyaliran menggunakan cara pemompaan air ke
luar tambang.
2. Dengan Pemompaan. Penyaliran tambang bawah tanah dengan sistem
pemompaan adalah untuk mengeluarkan air yang terkumpul pada dasar “shaf”
atau sumuran bawah tanah yang sengaja dibuat untuk menampung air dari
permukaan maupun air rembesan air bawah tanah.
2.3.2 Hal Yang Mempengaruhi Sistem Penyaliran Tambang
1. Permeabilitas
Disamping parameter-parameter lain, permeabilitas merupakan salah satu
yang perlu diperhitungkan. Secara umum permeabilitas dapat diartikan sebagai
kemapuan suatu fluida bergerak melalui rongga pori massa batuan.
2. Rencana Kemajuan Tambang
Rencana kemajuan tambang nantinya akan mempengaruhi pola alir saluran
yang akan dibuat, sehingga saluran tersebut menjadi efektif dan tidak
menghambat sistem kerja yang ada.
3. Curah Hujan
Sumber utama air yang masuk ke lokasi penambangan adalah air hujan,
sehingga besar kecilnya curah hujan yang terjadi di sekitar lokasi penambangan
akan mempengaruhi banyak sedikitnya air tambang yang harus dikendalikan. Data
curah hujan biasanya disajikan dalam data curah hujan harian, bulanan, dan
tahunan yang dapat berupa grafik atau tabel. Analisa curah hujan dilakukan
dengan menggunakan Metode Gumbel yang dilakukan dengan mengambil data
curah hujan bulanan yang ada, kemudian ambil curah hujan maksimum setiap
bulannya dari data tersebut, untuk sampel dapat dibatasi jumlahnya sebanyak data.

Anda mungkin juga menyukai