Anda di halaman 1dari 27

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/330967763

MODUL EKONOMI MANAJERIAL: ANALISIS PERMINTAAN

Chapter · February 2019

CITATIONS READS

0 1,534

2 authors:

Wahdi Suardi Fakultas Ekonomi Uninus


Universitas Islam Nusantara Universitas Islam Nusantara
26 PUBLICATIONS   2 CITATIONS    51 PUBLICATIONS   5 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

KAJIAN PADS PADA SEKTOR PAJAK PENERANGAN JALAN UMUM DI KOTA BANDUNG View project

Research Assignment View project

All content following this page was uploaded by Wahdi Suardi on 08 February 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL

ANALISIS PERMINTAAN

1. Konsep Permintaan
Bagi produsen, permintaan mengenai barang/jasa yang dijualnya merupakan
komponen penting dan strategis dalam bisnisnya karena erat kaitannya dengan hasil
penjualan (Total Revenue = TR) yang akan diperolehnya, dan pada gilirannya akan
mempengaruhi terhadap tingkat keuntungan yang diraihnya. Bagaimanapun
efisiensinya suatu proses produksi serta didukung oleh manajer yang handal, tetapi
bila permintaan akan barang & jasa yang dijualnya mengalami penurunan maka
mustahil sebuah perusahaan akan dapat bertahan lama. Kita sering mendengar
banyak perusahaan yang gulung tikar karena hanya tidak mampu mempertahankan
tingkat penjualan yang minimal, atau dengan kata lain permintaan terhadap barang
yang dijualnya menunjukkan trend yang semakin menurun. Dengan kata lain,
kegagalan perusahaan untuk mempertahankan pangsa pasar yang telah diraihnya
merupakan salah satu factor utama mengapa banyak perusahaan tidak mampu
bertahan dalam jangka waktu yang lebih lama.
Bila perusahaan menghadapi permintaan yang sering berfluktuasi, sudah
barang tentu dituntut untuk mampu memperkirakan secara tepat bagaimana
kemungkinan permintaan dimasa yang akan datang. Keberhasilan memperkirakan
permintaan di masa datang merupakan informasi berharga bagi manajemen untuk
secara tepat pula menentukan berapa jumlah produksi yang harus dihasilkan,
kemudian berapa biaya produksi yang dibutuhkan, dan pada akhirnya dapat pula
diperkirakan berapa kira-kira keuntungan yang akan diperolehnya. Dengan demikian
informasi mengenai permintaan yang akan datang merupakan landasan bagi
perencanaan kegiatan perusahaan secara keseluruhan, sehingga kekurangcermatan
dalam perencanaan terhadap seluruh kegiatan perusahaan dapat dihindarkan sekecil
mungkin. Begitu juga bila kita akan mendirikan perusahaan, maka pertama kali yang
harus dipertimbangkan adalah apakah barang/jasa yang akan kita jual itu akan laku
terjual sesuai target atau tidak. Singkatnya, kelangsungan hidup suatu perusahaan
sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mempertahankan dan meningkatkan
permintaan terhadap barang yang dijualnya.
Permintaan (demand) merupakan konsep penting dalam bidang ekonomi dan
bisnis merupakan. Secara umum, permintaan adalah jumlah barang/jasa tertentu
yang konsumen mau beli pada kondisi dan waktu tertentu. Kondisi dalam konteks
permintaan adalah factor-faktor yang mempengruhi permintaan, seperti harga

Wahdi Suardi | 1
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL

barang tersebut, pendapat konsumen dan sebagainya. Sebagai contoh, apabila kita
memperoleh informasi tentang turunnya permintaan beras di Indonesia, maka harus
dijelaskan penurunan permintaan tersebut terjadi pada harga beras berapa, atau pada
tingkat pendapatan konsumen berapa. Sedangkan waktu dalam kontek ini adalah
periode waktu terjadinya penurunan permintaan tersebut, apakah terjadi pada bulan
Januari, atau pada tahun 2018 atau pada tahun sebelumnya. Informasi lain yang
diperlukan untuk menjelaskan permintaan adalah tempat atau wilayah. Jadi kalau
ada informasi mengenai penurunan permintaan beras, perlu dipertegas terjadinya
dimana, apakah di Jawa Barat, Indonesia atau di pasaran internasional.
Dari sudut konsumen, kita dapat membedakan antara permintaan individu dan
permintaan pasar. Permintaan individu si A akan beras pada bulan Januari 2019
sebesar 30 kg, kita artikan sebagai permintaan individu, sedangkan permintaan
masyarakat Jabar akan beras pada bulan Januari 2019 sebesar 3000 ton kita artikan
sebagai permintaan pasar beras di Jabar. Dengan demikian secara umum permintaan
pasar adalah gabungan permintaan-permintaan individu untuk satu jenis barang
tertentu. Bagi perusahaan dan pemerintah, permintaan pasar lebih penting daripada
permintaan individu, karena permintaan pasar merupakan informasi berharga untuk
merencanakan produksi atau penyediaan barang tersebut.
Sumber permintaan terhadap suatu barang/jasa adalah berasal dari kebutuhan
konsumen, dan permintaan ini harus dipenuhi oleh produsen. Sehingga oleh
karenanya dari sudut perusahaan, kita harus membedakan antara permintaan yang
dihadapi oleh sebuah perusahaan (demand faced by a firm) dan permintaan yang
dihadapi oleh industri (industry demand), yaitu bagaimana permintaan pasar itu
dihadapi oleh seluruh perusahaan yang sejenis. Karena objek kajian dalam ekonomi
manajerial adalah perusahaan, maka permintaan individu perusahaan menjadi lebih
penting dan banyak dibahas daripada permintaan industri.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan


Dalam bahasa sehari-hari kita sering memperoleh informasi bahwa pasar
barang tertentu mengalami kelesuan, tetapi dalam waktu tertentu kembali
menghangat. Hal ini menunjukkan bahwa permintaan terhadap suatu barang/jasa
selalu berfluktuasi, kadang-kadang turun dan kadang-kadang juga mengalami
kenaikan. Pertanyaannya tentu saja adalah faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi
permintaan tersebut? Bila sudah terindentifikasi, kira-kira factor mana yang paling
dominan pengaruhnya? Pengaruhnya besar (elastis) atau kecil (inelastic)?? Paling
tidak terdapat enam factor yang patut diperhitungkan, yaitu harga barang tersebut
pada periode sekarang (untuk membedakan dengan harga barang pada periode yang akan

Wahdi Suardi | 2
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL

datang), pendapatan konsumen, harga barang lain yang berhubungan (subtitusi atau
komplementer), selera konsumen, harapan atau perkiraan konsumen mengenai harga
barang dimasa datang, dan jumlah penduduk (populasi).
Sesuai dengan hukum permintaan, maka permintaan terhadap suatu
barang/jasa dipengaruhi oleh harga barangnya itu sendiri (own price), yaitu bila
harga suatu barang mengalami kenaikan maka ceteris paribus permintaan akan turun
dan sebaliknya. Dalam teori ekonomi mikro dijelaskan hal ini dapat terjadi karena
adanya dua pengaruh, yaitu pengaruh subtitusi (subtitution effect) dan pengaruh
pendapatan (income effect). Analisis yang dilakukan oleh Eugene Slutsky (1880-1948)
dan dikembangkan oleh Jhon R. Hicks (1904-1989) seperti dituliskan oleh Silberberg
(1990) menunjukkan bahwa respon konsumen terhadap suatu perubahan harga
secara konseptual dapat dipisahkan menjadi dua yaitu efek atau pengaruh substitusi
dan efek pendapatan. Pengaruh subtitusi dimaksudkan sebagai reaksi konsumen
untuk mengurangi pembelian barang yang harganya naik, dan beralih meningkatkan
pembelian barang lain (subtitusinya) karena sekarang harga barang subtitusinya
tersebut menjadi relatif lebih murah. Sedangkan pengaruh pendapatan dimaksudkan
sebagai reaksi konsumen untuk mengurangi pembelian barang yang harganya naik
tersebut karena berkurangnya daya beli riel dihubungkan dengan pendapatan
nominalnya yang tetap. Kedua efek itu secara simultan akan mendorong konsumen
untuk mengurangi pembelian ketika harganya naik.
Faktor kedua yang biasanya diperhitungkan pengaruhnya terhadap
permintaan adalah pendapatan konsumen. Bila pendapatan konsumen meningkat
(misal karena gaji PNS atau UMK naik), maka ada kecenderungan permintaan
terhadap beberapa jenis barang juga meningkat. Jenis barang/jasa yang mengikuti
pola permintaan demikian digolongkan sebagai barang normal (normal goods), yaitu
ketika pendapatan naik diikuti oleh kenaikan permintaan. Kemungkinan sebaliknya
yaitu kenaikan pendapatan konsumen justeru diikuti oleh penurunan permintaan.
Barang/jasa yang mengikuti pola permintaan seperti ini digolongkan sebagai barang
inferior, yaitu biasanya barang-barang yang tergolong bermutu rendah, imitasi,
barang bekas. Bila kenaikan pendapatan masyarakat diikuti oleh kenaikan
permintaan pembelian software asli sehingga akibatnya permintaan terhadap
software bajakan berkurang, maka software bajakan tersebut dapat dianggap sebagai
barang inferior. Namun perlu hati-hati dalam menafsirkan barang inferior, karena
inferior bagi kelompok konsumen tertentu belum tentu berlaku bagi yang lainnya.
Dalam kehidupan sehari-hari sangat sulit kita menemukan jenis barang yang
dalam penggunaannya dapat berdiri sendiri. Sangat banyak penggunaan satu barang
memerlukan kehadiran barang lain, atau bahkan sebaliknya dapat digantikan oleh
barang lainnya yang sejenis. Oleh karena itu factor ketiga yang dapat mempengaruhi

Wahdi Suardi | 3
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL

permintaan adalah harga barang lain yang berhubungan. Bila kenaikan harga barang lain
tersebut mengakibatkan kenaikan permintaan akan barang tertentu dan sebaliknya,
maka hubungan antara kedua barang dikelompokkan dapat saling menggantikan
(subtitusi). Sebagai contoh kenaikan harga kopi akan mengakibatkan kenaikan
permintaan terhadap teh, artinya bagi konsumen, minum teh adalah pengganti
minum kopi. Semakin kuat daya subtitusi dua buah barang, maka semakin besar pula
tingkat persaingan kedua produsennya. Bila kenaikan harga komputer merek DOLL
diikuti oleh kenaikan permintaan yang drastis terhadap komputer merek
SUNGSANG, berarti tingkat persaingan kedua merek komputer tersebut sangat ketat.
Sebaliknya bila kenaikan harga barang lain tersebut diikuti oleh penurunan
permintaan akan barang tertentu, maka hubungan kedua buah barang tersebut
dikelompokkan dapat saling melengkapi (komplementer). Bila kenaikan harga kopi
di Indonesia diikuti oleh turunnya permintaan terhadap gula putih, maka hubungan
kedua barang tersebut saling melengkapi.
Selera konsumen merupakan faktor keempat, yang dapat mempengaruhi
permintaan. Bila sekarang celana jean merupakan mode yang sedang trendy di
kalangan remaja, maka diduga permintaan akan jenis pakaian tersebut juga akan
meningkat. Bagi pengusaha pakaian kelihatannya faktor selera ini merupakan yang
sangat dipertimbangkan dalam menentukan produksi pakaian jenis apa yang akan
dihasilkan. Kerena sulitnya mengukur dan mengkuantifikasikan faktor selera ini,
maka dalam analisis ekonomi sering diasumsikan tidak berubah. Asumsi ini dapat
diterima untuk analisis jangka pendek, tetapi perlu hati-hati bila diterapkan untuk
jangka panjang. Beberapa teknik dan manipulasi statistik tertentu dapat diterapkan
untuk menganalisis bagaimana pengaruh selera ini terhadap permintaan.
Harapan-harapan atau dugaan konsumen mengenai harga barang dimasa
datang adalah faktor lain yang dapat mempengaruhi permintaan barang tertentu. Bila
konsumen menduga bahwa bulan depan akan terjadi kenaikan harga hand-phone
(HP) karena kurs rupiah terhadap dolar melemah misalnya, maka permintaan
terhadap HP pada bulan sekarang diduga akan meningkat. Terakhir, yang besar
sekali dampaknya terhadap permintaan barang tertentu, khususnya untuk barang
kebutuhan pokok, adalah jumlah penduduk. Usaha pemerintah Indonesia untuk
secara terus menerus melakukan pencetakan sawah baru merupakan pencerminan
antisipasi penanggulangan pemenuhan kebutuhan beras sebagai akibat pertumbuhan
jumlah penduduk yang masih relatif tinggi. Karena faktor utama yang
mempengaruhi permintaan pasar, juga berpengaruh terhadap permintaan yang
dilayani atau dihadapi oleh sebuah perusahaan. Namun demikian seberapa besar
permintaan pasar tersebut dapat dikuasai oleh sebuah perusahaan, juga dipengaruhi
oleh strategi pemasaran yang dilakukan oleh perusahaan itu sendiri, yang tercermin

Wahdi Suardi | 4
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL

dalam kegiatan promosinya. Dalam suasana persaingan usaha yang sangat ketat
maka promosi merupakan faktor lain yang mempengaruhi permintaan barang & jasa
yang dijual oleh sebuah perusahaan.
Dari uraian di atas, jelas bahwa pemahaman perusahaan terhadap factor-faktor
yang mempengaruhi permintaan terhadap barang/jasa yang dijualnya merupakan
informasi penting bagi pengambil keputusan. Sebagai contoh bila perusahaan
mengetahui bahwa barang yang dijualnya termasuk barang inferior, dengan asumsi
penduduk perkotaan adalah berpendapatan tinggi maka akan lebih tepat bila
perusahaan tersebut banyak mempromosikan dan meraih pangsa pasar di pedesaan.
Begitu juga upaya pemerintah Jakarta untuk menghapuskan becak adalah kurang
tepat seandainya penduduk Jakarta menganggap beca masih sebagai barang normal.
Strategi perusahaan meningkatkan biaya promosi untuk meningkatkan volume
penjualan akan kurang mencapai sasaran apabila ternyata perusahaan lain yang
menghasilkan barang pelengkap menaikan harga jualnya. Dari beberapa contoh di
atas sekali lagi bahwa kekeliruan perusahaan dalam menganalisis factor-faktor yang
mempengaruhi permintaan terhadap barang yang dijualnya, akan menghasilkan
keputusan yang keliru pula.

3. Fungsi dan Kurva Permintaan


Bagaimana bentuk hubungan antara jumlah barang yang diminta dengan
factor-faktor yang mempengaruhinya seperti di uraikan di atas, dapat dinyatakan
dalam fungsi permintaan. Secara umum fungsi permintaan pasar atau individu dapat
kita nyatakan dalam bentuk persamaan matematis sebagai berikut :
Qxt = f (Pxt , Y, Pz, T, N, Pxt+1, A, e.) ……………….. (1)

Dengan catatan :
Qxt = jumlah barang X yang diminta pada periode sekarang
Pxt = harga barang X pada periode sekarang
Y = pendapatan konsumen
Pz = harga barang lain
T = selera konsumen
N = jumlah penduduk
Pxt+1 = harga barang x pada periode yang akan datang
A = biaya promosi
e = faktor lain yang mempengaruhi permintaan

Untuk kepentingan pengambilan keputusan, fungsi permintaan dalam bentuk umum


tersebut harus kita nyatakan secara eksplisit. Bila kita asumsikan hubungannya dalam
bentuk linier, fungsi permintaan itu dapat ditulis sebagai berikut:

Wahdi Suardi | 5
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL

b1 sampai dengan b8 disebut parameter/koefisien fungsi permintaan, dimana b1


menunjukkan parameter harga, b2 parameter harga barang lain, dan seterusnya.
Parameter tersebut menunjukkan besaran dampak perubahan Qxt sebagai akibat
perubahan masing-masing factor yang mempengaruhi permintaan tersebut. Agar
lebih jelas, misalkan sebuah dealer mobil mempunyai fungsi permintaan seperti
berikut:
QX = 5000 - 1000 Px + 500 Pz + 1200 I + 0,5 N + 1975 C + 10 A
dengan keterangan: Qx = volume penjualan/jumlah mobil X yang diminta (dalam
unit); Px = harga mobil merek X (dalam juta Rp); Pz = harga mobil merek Z (dalam
juta Rp) I = pendapatan konsumen (juta Rp) ; N = jumlah penduduk (dalam orang); C
= Diskon pembelian tunai (dalam %); dan A = biaya promosi (dalam juta Rp). Fungsi
permintaan mobil tersebut memberikan informasi bahwa (ceteris paribus) :
 b1 = -1000 berarti: setiap dealer menaikan harga mobil merek X Rp 1 juta,
akan menurunkan permintaan/penjualan mobil merek X sejumlah 1000 unit;
 b2 = 500 berarti : Setiap dealer menaikan harga mobil merek Z Rp 1 juta,
akan berdampak meningkatkan penjualan mobil merek X sebesar 500 unit.
Hal ini berarti mobil merek X adalah subtitusinya mobil merek Z.
 b3 = 1200 berarti : Setiap kenaikan pendapatan konsumen Rp 1 juta akan
meningkatkan permintaan/penjualan mobil X sebesar 1200 unit. Hal ini
berati mobil X adalah barang normal.
 b4 = 0,5 berarti: Setiap kenaikan jumlah penduduk 10 juta orang akan
meningkatkan permintaan/penjualan mobil X sebesar 5 unit ;
 b5 = 1975 berarti: Setiap dealer menaikan diskon tunai mobil X 1 % akan
meningkatkan penjualan mobil merek X sebesar 1975 unit ; dan
 b6 = 10 berarti: Setiap kenaikan biaya promosi Rp 1 juta akan meningkatkan
penjualan mobil merek X sebesar 10 unit.

Fungsi permintaan tersebut mengisyaratkan kepada dealer, bahwa dengan asumsi


factor lain tidak berubah, meningkatkan persentase diskon pembelian tunai
merupakan strategi yang paling efektif untuk meningkatkan volume penjualan.
Salah satu kegunaan fungsi permintaan adalah untuk menaksir (estimated)
permintaan/penjualan apabila nilai masing-masing faktor yang mempengaruhinya
telah ditentukan/diperkirakan. Sebagai contoh misalkan dealer mobil di atas
memutuskan akan menjual mobil merek X pada Px = Rp 10 juta; menjual mobil merek
Z pada harga Pz = Rp 15 juta, kemudian berdasarkan data GDP diperkirakan

Wahdi Suardi | 6
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL

pendapatan konsumen I = Rp 5 juta ; selanjutnya merujuk data kependudukan


diperkirakan N = 100 juta orang ; rapat manajemen memutuskan untuk memberikan
diskon tunai C = 2% dan akan mengeluarkan biaya promosi A = Rp 200 juta. Dengan
demikian permintaan/penjualan mobil merek X yang diperkirakan dapat dicapai
oleh dealer tersebut adalah :
QX = 5000 - 1000 (10) + 500 (15) + 1200 (5) + 0,5 (100) + 1975 (2) + 10 (250) = 15.000 unit
Kemudian misalkan harga mobil merek X diputuskan naikan menjadi Px = Rp 16 juta
(faktor lainnya tetap), maka permintaan/penjualan mobil merek X sekarang berubah
menjadi:
QX = 5000 - 1000 (16) + 500 (15) + 1200 (5) + 0,5 (100) + 1975 (2) + 10 (250) = 9.000 unit
Berdasarkan kedua perubahan harga tersebut, kita dapat menggambarkan kurva
permintaan untuk mobil merek X seperti berikut ini.

Px
Px

25
25

20
20
16 Kurva
Kurva permintaan
permintaan mobil
mobil merek
merek X:
X:
16 Qx
Qx =2500
=2500 –– 1000Px
1000Px

10
10

5
5

Qx
Qx
5000
5000 9000
9000 15000
15000 20000
20000 25000
25000

4. Elastisitas Permintaan
Dari uraian diatas secara umum kita telah membahas bagaimana permintaan
terhadap suatu barang dipengaruhi oleh berbagai factor. Adalah ekonom Inggris
Alfred Marshall (1842-1924) yang mempelopori bagaimana memprediksi sensitivitas
konsumen terhadap perubahan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan.
Untuk mengetahui sampai seberapa besar factor-faktor tersebut mempengaruhi
permintaan, salah satu ukuran yang dapat digunakan adalah Elastisitas Permintaan,
yaitu persentase perubahan jumlah yang diminta sebagai akibat perubahan suatu persen
factor-faktor yang memengaruhinya. Karena banyaknya factor-faktor yang memengaruhi
permintaan, maka pada prinsipnya kita pun dapat menghitung berbagai macam
elastisitas permintaan seperti elastisitas harga, elastisitas pendapatan, elastisitas harga

Wahdi Suardi | 7
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL

barang lain (elastisitas silang), elastisitas biaya promosi dan sebagainya. Namun
demikian yang banyak digunakan dalam analisis terbatas pada elastisitas harga,
elastisitas pendapatan dan elastisitas silang. Perlu diperhatikan bahwa konsep
elastisitas permintaan ini menggunakan asumsi ceteris paribus. Artinya bila kita
berbicara mengenai elastisitas harga, maka factor-faktor lain diluar harga dianggap
tidak berubah.

4.1 Elastisitas Harga


Sesuai dengan konsep elastisitas permintaan, maka elastisitas harga dapat kita
definisikan sebagai persentase perubahan jumlah barang X yang diminta (Qx) sebagai
akibat perubahan satu persen harga barang itu sendiri (Px), dengan asumsi factor lain
diluar harga tidak berubah. Paling tidak ada dua alasan mengapa konsep elastisitas
harga ini penting, yaitu memungkinkan perusahaan (bahkan pemerintah) dapat
memprediksikan bagaimana dampak kenaikan harga terhadap penjualan, dan
membimbing perusahaan untuk menetapkan harga agar memeroleh laba maksimal.
Bila diketahui elastisitas harga suatu barang adalah -2, berarti dengan asumsi factor
lain di luar harga tidak berubah, setiap kenaikan harga 1% akan mengakibatkan
penurunan jumlah yang diminta sebesar 2%, atau sebaliknya penurunan harga 1%
akan mengakibatkan kenaikan jumlah yang diminta 2%. Karena antara harga (Px) dan
jumlah yang diminta (Qx) mempunyai hubungan yang terbalik (hukum permintaan),
maka koefisien elastisitas harga (EX) bertanda negatif. Elastisitas harga dapat
dirumuskan sebagai berikut :

( ) ……………………………(2)

Kembali ke contoh pertama di atas, maka pada Px = Rp 10 Juta, Pz = Rp 15 juta, I = 5


juta, N = 100 juta orang ; C = 2% dan A = Rp 250 juta, maka diperoleh elastisitas
harga:

( )

Ada beberapa kemungkinan koefisien elastisitas harga yang dapat diperoleh.


Pertama, adalah lebih besar -1 atau elastis, yang berarti kenaikan harga 1% akan
mengakibatan penurunan jumlah yang diminta lebih besar dari 1% atau sebaliknya.
Dengan kata lain permintaan suatu barang dikatakan elastis bila sangat sensitif atau
sangat dipengaruhi oleh perubahan harganya. Permintaan terhadap kelompok
barang-barang mewah umumnya cenderung elastis. Kedua, adalah kurang dari -1
atau inelastis, yang berarti setiap kenaikan harga 10% akan mengakibatkan penurunan
jumlah yang diminta kurang dari 10% atau sebaliknya. Dengan kata lain permintaan

Wahdi Suardi | 8
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL

barang dikatakan inelastic bila kurang sensitif atau kurang dipengaruhi oleh
perubahan harga. Permintaan terhadap kelompok barang kebutuhan pokok
umumnya cenderung inelastic. Ketiga, adalah –1 atau unitary elastic, yang berarti
kenaikan harga 1% mengakibatkan penurunan jumlah yang diminta sebesar 1% juga.
Keempat, adalah nol atau inelastic sempurna, yang berarti jumlah barang yang diminta
sama sekali tidak dipengaruhi oleh perubahan harganya. Kelima, adalah tidak
terhingga atau elastis sempurna, yang berarti pada tingkat harga tertentu perusahaan
dapat menjual barang dalam jumlah tidak terbatas, atau sebaliknya bila ia menjual di
atas harga tersebut barangnya tidak akan laku sama sekali. Kasus terakhir ini akan
dihadapi oleh perusahaan yang beroperasi pada struktur pasar persaingan sempurna.
Dengan demikian koefisien elastisitas harga akan bergerak antara nol (inelastic
sempurna) dan tidak terhingga (elastis sempurna). Contoh EX = - 0,66 (inelastis) di atas
menjelaskan bahwa bila dealer mobil menaikan harga jual 10% akan mengakibatkan
penjualan berkurang sebesar 6,6 % (ceteris paribus).
Elastisitas harga dan konsep elastisitas lainnya dapat dihitung dengan
menggunakan pendekatan elastisitas titik (point elasticity) atau elastisitas busur (arch
elasticity). Dalam elastisitas harga, perhitungan secara elastisitas titik berarti
menghitung elastisitas harga pada satu tingkat harga tertentu, dan dihitung dengan
menggunakan rumus (1). Sedangkan elastisitas busur berarti menghitung elastisitas
harga secara rata-rata antara dua harga tertentu. Elastisitas busur dapat dihitung
dengan rumus (2):

{ } …………………….. (3)

Kembali ke contoh di atas, maka elastisitas harga busur antara Px1 = Rp 10 Juta dan
Px2 = Rp 16 juta adalah :

{ }

EX = - 1,08 menginformasikan bahwa bila dealer menurunkan harga 10% akan


mendorong peningkatan penjualan mobil sebesar 10,8 %, dan sebaliknya bila
menaikan harga 10% akan menurunkan penjualan mobil sebesar 10,8 %.
Dari uraian di muka, jelas bahwa masing-masing barang memiliki elastisitas
harga yang berbeda-beda, artinya ada barang yang permintaannya sangat sensitif
terhadap perubahan harga (sangat elastis) tetapi ada juga yang kurang sensitif
(inelastic). Salah satu factor yang mempengaruhi elastisitas harga adalah ketersediaan
barang subtitusi. Untuk barang tertentu yang banyak subtitusinya cenderung
mempunyai elastisitas harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan barang yang
relatif lebih sedikit subtitusinya. Karena apabila harga barang yang banyak

Wahdi Suardi | 9
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL

subtitusinya tersebut sedikit saja mengalami kenaikan, maka konsumen akan segera
beralih dengan leluasa kepada barang subtitusinya. Berdasarkan alasan di atas kita
dapat menduga bahwa elastisitas harga untuk gula putih akan lebih elastis
dibandingkan dengan garam, karena gula putih relatif lebih banyak subtitusinya
(madu, gula merah dan sacharin).
Kemudian barang yang harganya murah dan pengeluaran untuk barang
tersebut merupakan bagian kecil saja dari seluruh pengeluaran konsumen, maka
barang tersebut cenderung memiliki elastisitas harga yang lebih rendah
dibandingkan dengan barang yang harganya mahal dan mengambil porsi
pengeluaran konsumen yang besar. Seorang perokok yang biasa merokok satu
bungkus setiap harinya tidak akan terpengaruh oleh kenaikan harga rokok yang
hanya Rp. 200 / bungkus, tetapi ia akan berpikir dua kali apabila harga stick golf
yang biaya dibelinya mengalami kenaikan.
Selanjutnya, factor lain adalah reaksi konsumen dalam mengantisipasi
kenaikan harga suatu barang. Dalam jangka pendek (short-run) konsumen cenderung
kurang responsif bila dibandingkan dengan periode jangka panjang (long-run). Dalam
jangka pendek konsumen cederung tidak segera beralih kepada barang substitusi
seandainya barang yang biasanya dibeli mengalami kenaikan harga. Karena
konsumen masih mempertimbangkan dan perlu penyesuaian terutama dalam hal
selera dan pendapatannya apabila ia harus beralih mengkonsumsi barang subtitusi
tersebut. Sebaliknya dalam jangka panjang, tentunya konsumen akan sudah terbiasa
dan dengan pasti memilih barang subtitusi yang akan dikonsumsinya. Oleh karena
itu, bila sebuah perusahaan menaikan harga jualnya, secara tidak langsung tindakan
tersebut merupakan sinyal penting bagi pesaingnya untuk segera mengembangkan
produk alternative/subtitusinya. Dengan demikian elastisitas harga akan cenderung
lebih elastis dalam jangka panjang dibandingkan dengan dalam periode yang lebih
pendek. Sebagai ilustrasi, perhatikan gambar berikut. Dalam jangka pendek,
elastisitas harga adalah:
ΔQx = 1/13 = 7.7%, dan ΔPx = 3/7 = 42,9%, sehingga Ex = - 0.18.
Sementara dalam jangka panjang menjadi:
ΔQx = 8/13 = 61.5%, dan ΔPx = 3/7 = 42,9%, sehingga Ex = - 0.70

Wahdi Suardi | 10
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL

D
D short-run
short-run

Px
Px D
D long-run
long-run

10
10

7
7

5
5 12
12 13
13 Qx
Qx

Dalam praktik bisnis sehari-hari kita sering jumpai bahwa pengusaha


dihadapkan pada masalah apakah harus menaikan atau menurunkan harga jual,
mengingat keputusan itu erat kaitannya dengan hasil penjualan (Total Revenue = TR)
yang akan diperolehnya. Salah satu kegunaan konsep elastisitas harga adalah untuk
membantu manajemen dalam pengambilan keputusan khususnya yang berkaitan
dengan apakah perusahaan harus menaikan atau menurunkan harga jual, apabila ia
merencanakan untuk meningkatkan hasil penjualannya. Dengan kata lain elastisitas
harga merupakan salah satu alat untuk menganalisis bagaimana dampak perubahan
harga terhadap hasil penjualan yang akan diterima perusahaan. Dampak perubahan
harga terhadap hasil penjualan dapat dijelaskan melalui argumentasi bentuk
hubungan antara elastisitas harga (EX) , MR dan TR berikut:

.................... (4)

{ } ............................... (5)

................... (6)

Persamaan di atas menginformasikan bahwa bila perusahaan menghadapi


permintaan yang elastis (Ex > -1), berarti nilai MRx positif (+), dan implikasinya
adalah kenaikan permintaan (Qx) sebagai akibat penurunan harganya (Px) akan
diikuti oleh peningkatan TRx. Sebaliknya bila menghadapi permintaan yang inelastis
( Ex < -1), berarti nilai MRx (-), dan implikasinya adalah kenaikan permintaan (Q)
sebagai akibat penurunan harganya (Px) akan diikuti oleh penurunan TRx. Dari
hubungan ini, jelas bahwa strategi menaikan harga jual oleh perusahaan tidak selalu
akan diikuti oleh peningkatkan hasil penjualan, tetapi tergantung kepada elastisitas

Wahdi Suardi | 11
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL

harga yang dihadapinya. Apabila menghadapi permintaan yang elastis, maka


keputusan untuk menurunkan harga (dengan cara memberikan diskon, misalnya)
adalah tepat bila sasaran akhirnya adalah meningkatkan hasil penjualan (TR).
Sebaliknya bila langkah menaikan harga yang diambil, maka penurunan hasil
penjualan (TR) adalah risiko yang akan dihadapi oleh perusahaan. Sebaliknya bila
perusahaan menghadapi permintaan yang inelastic, maka keputusan untuk menaikan
harga jual adalah tepat bila sasaran akhirnya adalah meningkatkan hasil penjualan
(TR). Namun bila harga diturunkan, maka perusahaan akan menghadapi risiko
turunnya hasil penjualan (TR). Berdasarkan penjelasan ini, maka perusahaan yang
rasional akan selalu berusaha untuk beroperasi pada daerah permintaan yang elastis.
Karena pada kondisi ini bila ia menurunkan harga atau meningkatkan volume
penjualan, maka akan meningkatkan hasil penjualan (TR) yang akan diperolehnya.
Hubungan antara elastisitas harga (EX) , MR dan TR, juga dapat juga dijelaskan
secara grafis. Misalkan diketahui fungsi permintaan:
Qx = a – b.PX, atau P = a/b – 1/b.Qx,  secara grafis adalah kurva permintaan AG.
Kemudian kita akan memperoleh hasil penjualan total (Total Revenue):
TR = PX.QX = a/b.QX - 1/b.QX,  hasil penjualan marjinal (Marginal Revenue):
MR = ΔTR/ ΔQX = a/b – 2/b.QX,  hasil penjualan rata-ratanya (Average Revenue):
AR = a/b – 1/b.QX. ................... (7)

Dari persamaan terakhir jelas bahwa kurva permintaan adalah juga kurva AR, dan
kurva kurva MR terletak di bawah kurva permintaan dengan kemiringan dua kali
lipat lebih curam. Dengan kata lain kurva MR terletak pada titik tengah antara sumbu
PX dan kurva MR, dan kurva permintaan dengan kurva MR berawal dari satu titik
yang sama.
Secara ilmu ukur kita dapat menghitung elastisitas harga (elastisitas titik) pada
kurva permintaan linier AG. Pada titik B elastisitas harganya adalah BG/AB atau
elastis (EX > -1), begitu juga pada titik C adalah CB/AC yang juga elastis. Pada titik D
karena berada ditengah-tengah kurva permintaan AG, maka elastisitas harganya
adalah DG/AD atau unitary elastis (EX = 1). Pada titik E elastisitas harganya adalah
EG/AE atau inelastic (EX < -1), begitu juga pada titik F adalah FG/AF juga inelastic.
Pada titik A adalah GA/0 atau elastis Ex = 0. Dengan demikian kita simpulkan
elastisitas harga antara titik A dan D adalah elastis, antara titik D dan E inelastic, dan
pada titik D adalah unitary elastis.

Wahdi Suardi | 12
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL

TR
TR

TR
TR

Qx
Qx
Px
Px Ex
& > -1
&
MR
MR A
A

BB Ex
Ex == -1
-1
CC
Ex
< -1
D
D
EE

FF

G
G

Qx
Qx
MR
MR

Dari gambar di atas kita melihat bahwa apabila perusahaan beroperasi di


daerah permintaan yang elastis (Ex > -1), maka menaikan harga jual akan
menyebabkan berkurangnya jumlah yang diminta, menurunnya MR dan pada
akhirnya menurunkan TR. Tetapi sebaliknya bila ia menurunkan harga justeru akan
meningkatkan TR. Bila perusahaan beroperasi pada permintaan yang inelastic (E x > -
1), menaikan harga jual walaupun akan menurunkan jumlah yang diminta tetapi
akan menaikan TR. Sebaliknya bila ia menurunkan harga jual, MR menjadi semakin
negatif dan akhirnya TR yang diterima menjadi turun. Pada daerah permintaan yang
unitary elastis, atau MR = nol, maka perubahan harga tidak akan mempengaruhi TR
yang diterima.
Dalam kontek yang lain, argumentasi di atas dapat menjelaskan mengapa
selama ini pemerintah tidak berhasil mengurangi konsumsi rokok dengan cara
meningkatkan tariff cukai rokok. Karena permintaan terhadap minuman keras adalah
inelastic terhadap harga, maka upaya pemerintah menaikan cukainya tidak begitu
besar pengaruhnya terhadap komsumsi rokok itu sendiri. Tetapi sebaliknya upaya
pemerintah tersebut akan berhasil bila tujuannya hanya untuk meningkatkan
penerimaan negara, mengingat berdasarkan argumentasi di atas kenaikan cukai yang
diantisipasi oleh produsen rokok dengan menaikan harga jual akan meningkatkan
hasil penjualan yang diterimanya. Begitu juga halnya dengan kebijakan pemerintah
untuk menurunkan bea masuk barang impor, tidak perlu dikhawatirkan akan
mengurangi penerimaan negara apabila permintaan tehadap barang impor adalah

Wahdi Suardi | 13
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL

elastis terhadap harganya. Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa elastisitas


harga rokok berkisar antara -0.35 sd – 0.83, dan elastisitas harga kelompok
masyarakat berpenghasilan rendah (-6.7) lebih dari dua kali lipat kelompok
masyarakat berpenghasilan tinggi (-3.1). Kecenderungan ini dapat dipahami karena
kelompok masyarakat berpenghasilan rendah lebih fleksibel untuk beralih ke merek
rokok yang lebih murah, rokok ilegal atau rokok buatan industri rumahan.
Sedangkan elastisitas pendapatannya bergerak mulai dari 0.33 hingga 0.76 (Saad &
Isra Sarntisart, 2006).
Contoh lain adalah industri angkutan udara, terutama yang berjadwal,
umumnya memiliki elastisitas harga yang cukup tinggi (elastis). Akibatnya di
industri ini rawan dengan situasi perang harga bila kondisi ekonomi memburuk.
Ketika krisis ekonomi misalnya, mereka ramai-ramai menurunkan tarif untuk
menarik penumpang. Jika demikian maka satu-satunya cara untuk mensiasati kinerja
perusahaan penerbangan pada saat daya beli masyarakat memburuk dan suku
cadang yang kian mahal adalah dengan cara menurunkan komponen biaya operasi
yang masih bisa diturunkan. Munculnya konsep penerbangan murah (Low Cost Carrier)
yang marak diterapkan oleh perusahaan penerbangan merupakan salah satu strategi untuk
mengatasi persaingan tersebut. LCC adalah maskapai penerbangan yang menetapkan tarif
rendah namun dengan menghapus beberapa layanan penumpang yang biasa (full services).
Konsep ini di perkenalkan di Amerika Serikat Sebelum menyebar ke Eropa pada awal 1990-an
dan seluruh dunia.

4.2 Elastisitas Pendapatan


Prinsip, perhitungan (elastisitas titik dan busur), dan asumsi yang digunakan
(factor lain di luar pendapatan dianggap tetap) dalam elastisitas harga, juga berlaku
dalam konsep elastisitas pendapatan. Perbedaannya terletak pada kemungkinan
tanda koefisien elastisitas pendapatan itu sendiri, yang dapat positif (barang normal)
atau negatif (barang inferior). Barang normal pun dapat digolongkan sebagai barang
kebutuhan pokok (Normal necessities) yaitu bila memiliki elastisitas pendapatan antara
0 – 1, dan barang mewah (Luxury goods & services) bila memiliki elastisitas pendapatan
> 1. Secara umum elestisitas pendapatan dapat didefinisikan sebagai persentase
perubahan permintaan suatu barang (Qx) sebagai akibat perubahan pendapatan
konsumen (I) sebesar satu persen. Elatisitas pendapatan dirumuskan sebagai berikut
(elastisitas titik):

( ) ……………… (8)

Wahdi Suardi | 14
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL

Sebagai contoh kembali kita menggunakan fungsi permintaan perusahaan mobil di


atas, pada tingkat pendapatan konsumen sebesar Rp 5 juta, maka elastisitas
pendapatannya adalah:

Nilai koefisien elastisitas pendapatan tersebut menginformasikan kepada dealer


mobil bahwa dengan asumsi factor lain di luar pendapatan tidak berubah, maka
setiap kenaikan 10 persen pendapatan konsumen akan meningkatkan permintaan
mobil X sebesar 4%. Sebaliknya bila pendapatan masyarakat turun 10 persen akan
mengakibatkan turunnya permintaan mobil sebesar 4%. Karena elatisitas
pendapatannya positif, maka barang tersebut tergolong barang normal, dan karena
inelastis, maka mobil merek X tersebut direspon oleh konsumen sebagai barang
kebutuhan pokok. Seperti halnya elastisitas harga, elastistas pendapatan pun dapat
dihitung dengan pendekatan elatisitas busur, yaitu menghitung elastisitas
pendapatan antara dua tingkat pendapatan.
Salah satu kegunaan elastisitas pendapatan bagi perusahaan adalah untuk
mengestimasi dan meramalkan volume penjualan seandainya terjadi perubahan
kondisi ekonomi di masa datang. Suatu barang yang permintaannya kurang
dipengaruhi oleh perubahan pendapatan masyarakat (inelastic) akan tidak terlalu
dipengaruhi oleh gejolak perekonomian, baik pada saat boom maupun resesi. Artinya
pada saat perekonomian mengalami kelesuan maka penurunan volume penjualan
tidak akan terlalu drastic, begitu juga sebaliknya pada saat perekonomian tumbuh
pesat, kenaikan volume penjualan juga tidak akan meningkat secara besar-besaran.
Produsen komoditas kebutuhan pokok akan relatif lebih stabil aktivitas usahanya
dibandingkan dengan produsen barang sekunder. Dilain pihak permintaan untuk
barang-barang mewah yang cenderung mempunyai elastisitas pendapatan tinggi
(elastis), aktivitas usahanya akan sangat dipengaruhi oleh fluktuasi perekonomian.
Pada saat perekonomian mengalami kelesuan, permintaan akan barang tersebut
turun secara drastic, dan sebaliknya ketika perekonomian membaik kembali maka
permintaan atau volume penjualan perusahaan barang tersebut akan naik dengan
pesat. Dalam kasus Indonesia ketika mengalami resesi pada tahun 1990-an, ternyata
sector informal memiliki daya tahan yang lebih kuat dibandingkan dengan
perusahaan menengah dan besar. Hal ini dapat dipahami karena sector informal
umumnya menjual barang-barang yang memiliki elastisitas pendapatan positif
inelastis dan bahkan inferior.

Wahdi Suardi | 15
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL

4.3 Elastisitas Silang


Elastisitas harga dapat didefinisikan sebagai persentase perubahan permintaan
suatu barang (Qx) sebagai akibat perubahan harga barang lainnya (Pz) sebesar satu
persen. Bila tanda koefisien elastisitas silang positif, berarti hubungan antara kedua
barang tersebut adalah subtitusi, dengan kata lain kenaikan harga barang lain tersebut
mengakibatkan kenaikan permintaan barang yang satunya lagi, dan begitu pula
sebaliknya. Sebaliknya bila tanda koefisien elastisitas silang negatif berarti hubungan
antara kedua jenis barang tersebut adalah saling melengkapi (komplementer), dengan
kata lain kenaikan harga lain tersebut akan meningkatkan permintaan barang yang
satunya lagi. Koefisien elastisitas silang dirumuskan sebagai berikut:

( ) …………… (9)

Kembali ke contoh di atas, maka pada harga barang lain Pz = Rp 12 juta, maka:

Koefisien elastisitas silang di atas menginformasikan kepada dealer bahwa


dengan asumsi factor lain di luar pendapatan tidak berubah, maka setiap kenaikan 10
persen harga mobil merek Z akan meningkatkan permintaan mobil merek X sebesar
5%. Sebaliknya bila harga mobil merek Z turun 10 persen akan mengakibatkan
turunnya permintaan mobil merek X sebesar 5%.

4.4 Elastisitas Lainnya


Pada prinsipnya, semua faktor-faktor yang dianggap dapat mempengaruhi
permintaan, dapat kita hitung elastisitas permintaannya. Karena dalam contoh kasus
di atas kita memasukan variabel jumlah penduduk (N) sebagai salah variabel, maka
kita pun dapat menghitung elastisitasnya, yaitu :

( ) ……………… (10)

Kembali ke contoh pertama di atas, maka pada Px = Rp 10 Juta, Pz = Rp 15 juta, I = 5


juta, N = 100 juta orang ; C = 2% dan A = Rp 250 juta, maka diperoleh elastisitas
jumlah penduduk adalah:

Wahdi Suardi | 16
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL

Elastisitas jumlah penduduk tersebut menginformasikan bahwa setiap kenaikan


jumlah penduduk 1% akan meningkatkan penjualan mobil merek X sebesar 0,03%.
Selanjutnya kita dapat menghitung elastisitas diskon tunai, yaitu :

( ) …………… (11)

atau :

Elastisitas diskon tunai tersebut menginformasikan bahwa setiap kenaikan diskon


tunai sebesar 10% akan meningkatkan penjualan mobil merek X sebesar 2,6%.
Terakhir kita dapat menghitung elastisitas promosi, yaitu:

( ) ……………… (12)

atau :

Elastisitas promosi tersebut menginformasikan bahwa setiap kenaikan biaya promosi


sebesar 10% akan meningkatkan penjualan mobil merek X sebesar 1,6%. Begitulah
seterusnya kita dapat menghitung elastisitas permintaan lainnya, sesuai dengan
faktor-faktor yang kita perhitungkan dalam sebuah fungsi permintaan.

5. Menaksir Permintaan/Penjualan dengan Elastisitas Permintaan


Setelah perusahaan dapat menemukan masing-masing elastisitas permintaan
barang yang dijualnya, maka salah satu manfaat langsungnya adalah karena
elastisitas permintaan dapat digunakan untuk menaksir atau memperkirakan
permintaan/penjualan di masa mendatang apabila terjadi perubahan-perubahan atas
faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan tersebut. Tentu saja perubahan faktor-
faktor tersebut ada yang sepenuhnya berada di bawah kendali atau keputusan
perusahaan sendiri (dalam contoh di atas adalah harga jual mobil, pemberian diskon
tunai, dan biaya promosi), dan ada juga yang berada di luar kendali perusahaan
(seperti pendapatan konsumen, jumlah penduduk, strategi pesaing, dan faktor-faktor
eksternal lainnya).
Kembali ke contoh dealer mobil di atas, pada tingkat permintaan/penjualan
QX = 15.000 unit, kita menemukan elastisitas harga mobil X adalah EX = - 0,66 ;
elastisitas pendapatan EI = 0,40 ; elastisitas silang dengan mobil merek Z EXZ = 0,50 ;
elastisitas jumlah penduduk EN = 0,003 ; elastisitas diskon tunai EC = 0,16 dan

Wahdi Suardi | 17
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL

elastisitas promosi EA = 0,16. Selanjutnya misalkan untuk tahun depan dealer mobil itu
telah menyusun rencana dan perkiraan-perkiraan bisnisnya sebagai berikut :
 harga jual mobil merel X (PX) ditingkatkan 10% ;
 harga jual mobil merek Z (PZ) ditingkatkan 5% ;
 diperkirakan pendapatan masyarakat (I) naik 5%;
 diperkirakan jumlah penduduk (N) meningkat 2% ;
 diputuskan diskon tunai ( C ) ditingkatkan 5% ; dan
 diputuskan biaya promosi (A) ditingkatkan 5%.

Maka semua kebijakan tersebut akan berdampak terhadap permintaan/penjualan mobil


merek X dengan perhitungan sebagai berikut :
 Penurunan QX karena kenaikan PX = 5% adalah : 5% x (-0,66) = - 3,3%
 Kenaikan QX karena kenaikan I = 5% adalah : 5 % x (0,4) = + 2%
 Kenaikan QX karena kenaikan PZ = 5% adalah : 5 % x (0,5) = + 2,5%
 Kenaikan QX karena kenaikan N = 2% adalah : 2 % x (0,003) = + 0,006%
 Kenaikan QX karena kenaikan C = 5% adalah : 5 % x (0,26) = + 1,3%
 Kenaikan QX karena kenaikan C = 5% adalah : 5 % x (0,16) = + 0,8%
Total perubahan QX = + 3,3%

Dengan demikian semua strategi dan perkiraan dealer tersebut diharapkan dapat
meningkatkan permintaan/penjualan mobil merek X sebesar 3,3% x 15.000 = 496 unit
(hasil pembulatan), atau menjadi 15.000 + 496 = 15.496 unit pada tahun depan.
Informasi tentang elastisitas permintaan tidak saja penting bagi perusahaan,
tetapi juga banyak dimanfaatkan oleh pemerintah dalam menentukan sebuah
kebijakan. Sebagai contoh, dalam memproyeksikan permintaan/konsumsi beras di
Indonesia, pemerintah biasanya menggunakan beberapa parameter, diantaranya
adalah: pendapatan masyarakat, jumlah penduduk, dan harga beras itu sendiri.
Misalkan untuk tahun 2019, pemerintah mengajukan asumsi-asumsi sebagai berikut :
 Laju pertumbuhan penduduk 2,25 %/tahun
 Laju pertumbuhan pendapatan penduduk per kapita pada tahun sebesar
2,5 %, dan elastisitas pendapatan konsumsi beras = 0,5;
 Elastisitas harga konsumsi beras = – 0,3.
 Pemerintah “menjaga” agar persentasi kenaikan harga riil beras rata-rata
sekitar 5 % per tahun
Bila pada tahun 2018 konsumsi/permintaan beras mencapai angka 40 juta ton, maka
pada tahun 2019 dapat diproyeksikan sebagai berikut.

Wahdi Suardi | 18
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL

Kenaikan konsumsi karena 2.25% x 40 juta ton = 0.9 juta ton


kenaikan jumlah penduduk 2.5%

Kenaikan konsumsi karena


kenaikan pendapatan 4%, dan EI =
= 0.8 juta ton
0.5  %ΔQ = 2%

Penurunan konsumsi karena


kenaikan harga 5%, dan Ex = -0.3
 %ΔQx = -1.5% = -0.6 juta ton

Kenaikan konsumsi tahun 2019 = + 1.1 juta ton


Konsumsi tahun 2018 = 40 juta ton
Proyeksi konsumsi tahun 2019 = 41.1 juta ton

6. Elastisitas Permintaan beberapa komoditas penting di Indonesia


Sebagai ilustrasi dan bahan diskusi, paparan berikut menjelaskan beberapa
hasil penelitian tentang elastisitas permintaan untuk beberapa komoditas di
Indonesia. Menggunakan data tahun 1990-2014, Dewanta et al. (2016)
mengungkapkan bahwa dalam jangka pendek, elatisitas harga minyak sawit
Indonesia di pasar India tergolong inelastis (-0.86). Dengan demikian bagi India,
minyak sawit merupakan barang kebutuhan pokok yang mau tidak mau harus
diimpor dari negara lain. Bila harga minyak sawit Indonesia naik 1% maka akan
mengakibatkan penurunan volume permintaan ekspor ke India dengan proporsi
yang lebih kecil yaitu sebesar 0.86%. Namun dalam jangka panjang respon pasar
India berubah menyesuaikan menjadi elastis (- 1,14) karena mulai mengalihkan
sebagian impor minyak sawitnya dari negara lain seperti Malaysia, Thailand,
Philipina dan Iran. Artinya keempat negara tersebut merupakan pesaing utama
Indonesia dalam hal ekspor minyak sawit di pasar India. Sementara elastisitas
pendapatan ekspor minyak sawit Indonesia ke India masing-masing adalah 2.76
(short-run) dan 2.27 (long-run). Dalam jangka pendek setiap kenaikan pendapatan
masyarakat India naik 1%, akan dikuti oleh permintaan minyak sawit ekspor
Indonesia sebesar 2,76%. Karena dalam penelitian ini faktor pendapatan diwakili oleh
variabel petumbuhan ekonomi (GDP), maka pengaruh positif GDP India terhadap
permintaan minyak sawit ekspor Indonesia sangat tinggi.
Berikutnya adalah mengenai pengaruh harga BBM terhadap jasa penggunaan
jalan tol (toll-road travel) di Indonesia (Burke, Batsuuri, & Yudhistira, 2017). Penelitian
ini mengungkapkan bahwa dalam jangka pendek elastisitas harganya tergolong
inelastis (-0.1), yaitu bila harga BBM naik 10% (misalnya sebagai akibat pengurangan
subsidi oleh pemerintah), maka akan diikuti oleh penurunan jumlah kendaraan yang

Wahdi Suardi | 19
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL

melintas di jalan tol (berdampak terhadap pengurang kemacetan dan polusi udara)
tetapi dengan proporsi yang lebih kecil yaitu hanya sebesar 1%. Karena inelastis,
berarti penggunaan jalan tol di Indonesia sudah menjadi kebutuhan pokok, sehingga
oleh karenanya dalam jangka panjang pun elastisitas harganya hanya berubah sedikit
menjadi -0.2. Dari hasil penelitian ini tampaknya kita sepakat bahwa pembangunan
jalan tol bukan satu-satunya alternatif untuk mengurangi kemacetan di jalan raya.
Hal ini mengisyaratkan bahwa pembangunan moda transportasi lainnya seperti
udara, kereta api dan laut mutlak diprioritaskan.
Dengan menggunakan data SUSENAS Maret 2013, Fahruddin et al. (2016)
berhasil mengestimasi besaran elastisitas harga dan elastisitas pengeluaran (mewakili
pendapatan) untuk beberapa kelompok bahan makanan di Indonesia. Elastisitas
harga untuk beras adalah inelastis (-0,51), daging elastis (-.1.20), telur inelastis -0,93),
susu inelastis (-0,73) dan sayuran tergolong elastis (-1.13). Susu memiliki elastisitas
pengeluaran (pendapatan) yang paling tinggi dan tergolong elastis (1.74) diikuti
kemudian oleh daging, sayuran dan yang terendah adalah beras. Peningkatan
pendapatan masyarakat sebesar 1% akan diikuti oleh peningkatan pengeluaran untuk
daging sebesar 1.74%. Daging dan susu tergolong sebagai barang mewah, sementara
telur, sayuran dan beras masuk dalam kelompok barang kebutuhan pokok.
Mengenai kelompok elastisitas harga sayuran di atas, sedikit berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Chandra & Moeis (2007) tentang pola permintaan
komoditas sayuran di Propinsi Bangka Belitung. Peneliti menggunakan model
analisis Almost Ideal Demand Systems (AIDS) dalam bentuk aproksimasi linier (AL)
dari AIDS atau LA/AIDS (Deaton dan Muelbaur, 1980) yang merupakan analisis
sistem permintaan secara lengkap. Model LA/AIDS tersebut diformulasikan sebagai
berikut:
Wi = αi +γij Log Pij + βi Log (X/p) i + ui
Dengan catatan :
W = budget share untuk setiap komoditas pangan.
P = harga setiap komoditas pangan
X = total pengeluaran untuk setiap komoditas pangan.
p = adalah indeks Stone (Log p = Σ Wi Pi)
α, γ, β = parameter yang diduga.
u = variabel stokastik ke-i yang memenuhi syarat yaitu berdistribusi normal dan
expected value-nya nol.
i = komoditas pangan ke-i (komoditas pangan itu sendiri)
j = komoditas pangan ke-j (komoditas pangan lainnya)

Berdasarkan model tersebut maka maka elastisitas harga sendiri, elastisitas silang dan
elastisitas pengeluaran dapat dijelaskan dengan formulasi berikut: :

Wahdi Suardi | 20
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL

1. Elastisitas pengeluaran : ηi = 1 + βi / Wi
2. Elastisitas harga sendiri : εi = Pi / Wi – 1
3. Elastisitas harga silang : εj = Pj / Wi (untuk i ≠ j)
Data yang digunakan dalam studi ini bersumber dari SUSENAS (Survei Sosial
Ekonomi Nasional) tahun 2005 dan PODES (Potensi Desa) tahun 2006 untuk Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung. Hasil estimasi menunjukkan bahwa elastisitas harga
sendiri dari komoditas sayuran cukup signifikan besarnya, yaitu -0,8
(inelastis/kebutuhan pokok). Sedangkan elastisitas silang dari harga sayur-sayuran
adalah 0.02 untuk padi-padian dan umbi-umbian, -0.07 untuk ikan dan daging, 0.12
untuk buah-buahan, dan -0,02 untuk makanan lainnya. Angka elastisitas harga
sayuran yang lebih rendah (lebih inelastic) di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
dibandingkan dengan yang berlaku di tingkat nasional diduga karena di provinsi
tersebut suplai sayuran sangat tergantung kepada provinsi lain sehingga relative
lebih sulit untuk menemukan penggantinya.
Indonesia merupakan negara penghasil karet alam kedua terbesar di dunia
setelah Malaysia. Sementara Amerika Serikat merupakan pasar terbesar karet alam
Indonesia sekaligus importir terbesar dunia. Kosal & Doroodian (1988) mencoba
mengestimasi fungsi permintaan impor karet alam Indonesia oleh Amerika Serikat
dengan menggunakan model double log linear. Sebagai variabel bebasnya adalah
harga relatif karet alam Indonesia terhadap harga karet sintetis di USA (PI), harga
relatif karet alam Malaysia (PM) terhadap harga karet sintetis di USA, dan jumlah
permintaan ban di USA (T). Periode pengamatan meliputi jangka waktu tahun 1963 –
1983. Hasil estimasi fungsi permintaan tersebut adalah sebagai berikut:
Ln Q = -26.77 – 0,25 ln PI + 0,53 ln PM + 2,91 ln T + 0,59 D
Fungsi permintaan di atas menginformasikan kepada kita bahwa bahwa elastisitas
harga karet alam Indonesia adalah - 0,25 (inelastis), yang berarti hal ini sesuai dengan
teori bahwa permintaan terhadap barang-barang primer umumnya inelastis. Elastisitas
harga tersebut menjelaskan bahwa jika harga karet alam Indonesia relatif terhadap
harga karet sintetis USA sebesar naik 10 persen, maka ceteris paribus akan
menurunkan permintaan USA terhadap impor karet alam Indonesia sebesar 2,5
persen. Elastisitas pendapatan masyarakat USA yang diwakili oleh variable
permintaan ban di USA (T) sebesar +2.91 dapat ditafsirkan bahwa setiap permintaan
ban di USA naik 10 persen, maka ceteris paribus akan berdampak terhadap kenaikan
impor karet alam dari Indonesia sebesar 29,1 persen. Kecenderungan ini
mengindikasikan bahwa permintaan terhadap karet alam Indonesia sangat
tergantung pada pendapatan/kondisi perekonomian USA, khususnya perkembangan

Wahdi Suardi | 21
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL

industri mobilnya. Sedangkan koefisien elastisitas silang sebesar 0,53, yang berarti
setiap peningkatan harga relative karet Malaysia sebesar 10 persen, akan
meningkatkan permintaan impor karet Indonesia sebesar 5,3 persen. Karena tanda
elastisitas silang dengan karet alam Malaysia adalah positif, berarti karet alam
Malaysia merupakan pengganti (pesaing) bagi karet Indonesia.
Kemudian Lains (1989) telah melakukan penelitian tentang fungsi permintaan
BBM di Indonesia pada masa Orde Baru (1974-1984), yaitu dengan menggunakan
“Model Roterdam”. Jenis BBM dikelompokkan menjadi empat, yakni: premium,
minyak solar, minyak tanah dan BBM lainnya. Dari hasil estimasi fungsi permintaan
BBM tersebut diperoleh informasi bahwa hanya elastisitas harga untuk solar yang
signifikan secara statistik, yaitu sebesar - 0,083. Hal ini berarti setiap kenaikan harga
solar 10 persen, akan dikuti oleh penurunan konsumsi solar sebesar 8,3 persen (ceteris
paribus). Tidak signifikannya hasil estimasi elastisitas harga jenis BBM lainnya,
diperkirakan karena pada periode tersebut harga BBM selain solar masih dianggap
rendah oleh konsumen. Perkiraan ini dapat dipertimbangkan karena saat itu subsidi
harga BBM selain solar yang diberikan oleh pemerintah relatif tinggi. Netralnya
pengaruh perubahan harga sendiri dari semua jenis BBM kecuali solar, juga
mempunyai implikasi bahwa penghapusan subsidi BBM tidak akan mempunyai
pengaruh besar terhadap jumlah konsumsi BBM. Dengan perkataan lain, kebijakan
harga BBM yang diterapkan pemerintah tidak dapat berperan dalam menghalangi
kenaikan konsumsi BBM di Indonesia.
Sementara elastisitas pendapatannya adalah 1,085 untuk premium, 0,683
untuk minyak tanah, 1,137 untuk solar dan 1,048 untuk jenis BBM lainnya. Koefisien
elastisitas pendapatan tersebut menunjukkan bahwa semua jenis BBM merupakan
barang normal. Dengan perkataan lain, tidak terdapat jenis BBM manapun yang
boleh dikategorikan sebagai inferior goods di Indonesia selama pemerintahan Orde
Baru. Karena memiliki elastisisitas pendapatan < 1, hanya minyak tanah yang
merupakan kebutuhan pokok (necessity goods), sedangkan yang lainnya tergolong
barang mewah (luxurious goods). Sifat mewah dari BBM selain minyak tanah
tampaknya harus ditafsirkan bahwa permintaan akan BBM dimaksud adalah
permintaan tidak langsung. Kenaikan pendapatan konsumen akan meningkatkan
permintaan mereka terhadap BBM selain minyak tanah, antara lain melalui kenaikan
permintaan terhadap perjalanan yang selanjutnya akan meningkatkan permintaan
terhadap jasa transportasi seperti kendaraan bermotor, kapal laut dan transportasi
udara. Jasa angkutan bagi consumen Indonesia, terutama bagi masyarakat pedesaan,
masih dikatagorikan barang mewah. Tingginya elatisitas pendapatan BBM tersebut,
mempunyai implikasi bahwa konsumsi BBM di Indonesia akan terus meningkat
seiring dengan naiknya pendapatan masyarakat yang dihasilkan oleh pembangunan

Wahdi Suardi | 22
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL

nasional dan pembangunan daerah. Sedangkan elastisitas silangnya menunjukkan


bahwa penurunan jumlah konsumsi solar sebagai akibat kenaikan harganya akan
disubstitusi dengan bensin premium, dan begitu pula sebaliknya, tetapi dengan efek
yang berbeda. Maksudnya jika harga bensin premium naik 10%, maka permintaan
terhadap solar akan naik sebesar 1% (ceteris paribus). Tetapi kenaikan harga solar
dalam persentase yang sama hanya akan menaikan jumlah bensin premium sebesar
1.96%.
Sama dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya, elastisitas harga listrik pada
kelompok konsumen rumah tangga di Medan juga tergolong inelastis (Nababan,
2008). Ini berarti kenaikan tarif listrik (ceteris paribus) dapat menurunkan jumlah
kWh yang dikonsumsi, tetapi dengan besar penurunan lebih kecil dibanding
persentase kenaikan tarifnya. Kecenderungan ini menunjukkan bahwa energi listrik
tidak banyak mempunyai barang pengganti (substitusi). Walaupun ada barang
pengganti seperti petromaks, generator dan lampu teplok, namun kualitasnya rendah
karena fungsinya hanya digunakan untuk pengganti penerangan saja atau untuk alat-
alat listrik yang daya atau wattnya rendah. Sedangkan untuk alat-alat listrik lainnya
seperti kulkas, AC, televisi, dan lain-lain tetap harus menggunakan listrik. Nilai
elastisitas harga untuk setiap strata menunjukkan perbedaan, yaitu strata 450 VA (-
0.232) , 900 VA (-0.324), dan 1300 VA (-0.667). Kesimpulan lainnya adalah ternyata
bagi kelompok rumah tangga berpendapatan rendah (strata 450 VA), permintaan
terhadap listrik lebih tidak elastis lagi. Ketidaksensitifan kelompok ini diduga karena
tidak ada lagi ruang gerak bagi kelompok masyarakat ini untuk melakukan
penghematan ataupun penurunan konsumsi.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Oka and Rachman (1991) mencoba menaksir
elastisitas permintaan untuk beberapa komoditas penting di Indonesia. Penelitian ini
menggunakan cross sectional data tahun 1987 yang dikumpulkan berdasarkan survey
pengeluaran nasional (SUSENAS). Model fungsi permintaan yang digunakan adalah
double log specification, dengan harga dan pendapatan sebagai variabel bebasnya.
Terungkap bahwa minyak goreng, buah-buahan, daging, telur dan susu, tergolong
barang kebutuhan pokok (elastisitas harganya < - 1), baik itu di perkotaan maupun di
pedesaan. Dari kelima komoditas tersebut, ternyata masyarakat lebih sensitif
terhadap perubahan harga daging dan telur dibandingkan dengan komoditas lainnya
lainnya.
Kemudian dari sisi elastisitas pendapatannya, terungkap semua komoditas
adalah barang normal (elastisitas pendapatannya positif), dan merupakan kebutuhan
pokok (elastisitas pendapatannya < 1), baik itu di perkotaan maupun di pedesaan.
Diantara komoditas tersebut, tercatat daging memiliki elastisitas pendapatan yang
paling tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa daging masih tergolong menu mewah

Wahdi Suardi | 23
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL

bagi masyarakat Indonesia. Oleh karena itu dalam upaya perbaikan gizi masyarakat
melalui penyediaan sumber protein hewani, maka factor peningkatan pendapatan
masyarakat perlu dijadikan sebagai sasaran antara.
Kemudian penelitian yang relative tergolong baru adalah seperti yang
dilaporkan oleh Arifin et.al (2018) yang pelaksanaannya di bawah koordinasi
Bappenas, World Food Programme (WFP) dan Food & Agricultural Organization of
the United Nations (FAO), dengan topic: Modeling the Future of Indonesian Food
Consumption. Secara umum hasil penelitian itu menyoroti hal-hal penting sebagai
berikut. Pertama, dari sisi harganya, komoditas beras tergolong inelastis, jagung
elastis dan di daerah pedesaan lebih elastis daripada di perkotaan. Dengan demikian
ketergantungan masyarakat perkotaan terhadap beras dan jagung lebih tinggi
daripada di pedesaan. Kemudian makan sumber protein seperti daging sapi, unggas,
ikan dan kedelai semuanya bersifat elastis. Sedangkan untuk kelompok buah-buahan
hanya Salak yang elastis.
Kedua dihubungkan dengan tingkat pendapatan, barang kebutuhan pokok
seperti beras dan jagung tergolong inelastic, dan bahkan jagung tergolong barang
inferior karena elastisitas pendapatannya -0.36. Menariknya terungkap bahwa
elastisitas pendapatan untuk jagung di perkotaan ternyata positif (barang normal),
sedangkan di pedesaan negative (barang inferior). Jadi ketika pendapatan masyarakat
pedesaan meningkat, maka mereka akan mengurangi mengkonsumsi jagung. Jagung
yang dikonsumsi masyarakat perkotaan diduga merupakan jagung manis (sweet
corn), berbeda dengan yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat pedesaan (jagung
biasa?). Diantara makanan sumber protein hanya daging sapi dan unggas yang
elastis, sementara ikan dan kedelai tergolong inelastic. Artinya ketika pendapatan
masyarakat naik, konsumsi daging dan unggas akan meningkat lebih cepat daripada
konsumsi ikan dan kedelai.
Ketiga, dihubungkan dengan harga barang lain, diperoleh elastisitas silang
jagung-beras yaitu -1.04. Artinya setiap kenaikan harga beras 1% akan diikuti oleh
penurunan permintaan terhadap jagung sebesar 1.04%. Tanda negative elastisitas
silang mengindikasikan hubungan antara beras dan jagung saling melengkapi
(complementary). Berikutnya elastisitas silang ikan-daging sapi diperoleh angka 0.23,
artinya setiap kenaikan harga daging sapi 1% akan meningkatkan permintaan
terhadap ikan sebesar 0.23%, atau ikan merupakan subtitusinya daging sapi. Ikan
juga merupakan subtitusinya unggas dengan nilai elastisitas silangnya sebesar 0.10.
Sebaliknya unggas juga merupakan subtitusinya ikan tetapi dengan nilai elastisitas
silang yang lebih besar yaitu 0.68.

--------------------------

Wahdi Suardi | 24
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL

DAFTAR PUSTAKA
Bibliography
Arifin, B., Achsani, N. A., Martianto, D., Sari, L. K., & Firdaus, A. H. (2018, June).
Modeling the Future of Indonesian Food Consumption. Final Report. National
Development Planning Agency (Bappenas); World Food Programme(WFP);
Food & Agricultural Organization of the United Nations (FAO).
Baye, M. R. (2010). Managerial Economics and Business Strategy (7th ed.). New York:
McGraw-Hill/Irwin.
Baye, M. R., & Prince, J. T. (2014). Managerial Economics and Business Strategy (8nd ed.).
New York: McGraw-Hill/Irwin.
Burke, P. J., Batsuuri, T., & Yudhistira, M. H. (2017, July). Easing the traffic: The effects
of Indonesia’s fuel subsidy reforms. Working Papers in Trade & Development,
2017/10. Arndt-Corden Department of Economics, Crawford School of Public
Policy, ANU College of Asia and the Pacific.
Chandra, A. D., & P.Moeis, J. (2007). Analisis Permintaan Sayur-sayuran Dalam
Pemenuhan Sendiri di Propinsi Kepulauan Bangka Belitung . Makalah. Jakarta:
FE-UI.
Dewanta, A. S., Arfani, R. N., & Erfita. (2016, October). Elasticity and Competitiveness
of Indonesia's palm oil export in India market. Economic Journal of Emerging
Market, 8(2), 148.
Faharuddin, F., Mulyana, A., Yamin, M., & Yunita, Y. (2016). Nutrient elasticities of
food consumption: the case of Indonesia. Journal of Agribusiness in Developing
and Emerging Economies, 1-21.
Froeb, L. M., Shor, M., & Ward, M. R. (2014). Managerial Economics: A Problem solving
approach (3 ed.). South-Western: Cengage Learning.
Gitman, L. J. (2003). Principle of managerial finance. Addison Wesley.
Hirschey, M., & Bentzen, E. (2016). Managerial Economics (14 ed.). Cengage Learning
EMEA.
Jones, T. (2004). Business Economics and Managerial Decision Making. England: Jhon
Wiley & Sons Ltd.
Koshal, R. K., & Doroodian, K. (1988). The Structure and Behaviour of Demand for
Rubber: The Indonesian Case. Economic & Finance in Indonesia, 36(3), 309-315.
Lains, A. (1989). Fungsi Permintaan BBM Versi Model Rotterdam di Indonesia Selama
Pemerintahan Orde Baru. Economic & Finance in Indonesia, 37(1), 49-71.
Maurice, S. C., Smith, C. W., & Thomas, C. (1998). Managerial economics: Applied
Microeconomics for decision making. Illinois: Rihard D. Irwin, Inc.

Wahdi Suardi | 25
FAKULTAS EKONOMI UNINUS-2019
MODUL EKONOMI MANAJERIAL

Nababan, T. S. (2008). Permintaan Energi Listrik Rumah Tangga (Studi Kasus pada
Pengguna Kelompok Rumah Tangga Listrik PT PLN di Kota Medan). Disertasi.
Semarang: Program Studi Doktor-UNDIP.
Saad, I., & Isra Sarntisart. (2006). Likely Impacts of AFTA on Cigarette Consumption:
Indonesian Case. Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA) .
Samuelson, W. F., & Marks, S. G. (2012). Managerial Economics (7th ed.). USA: Jhon
Wiley & Sons, Inc.
Webster, T. J. (2003). Managerial Economics: Theory and Practice. Elsevier.
Weston, J. F., & Copeland, T. E. (1992). Managerial finance. The Dryden Press.

Wahdi Suardi | 26

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai