Nama: Muhammad
Nim: D1A016 198
Nama: Zaki Akbar
Nim: D1A016322
UNIVERSITAS MATARAM
Kota Mataram
2018
i
KONSEP PENGATURAN PEMBATASAN ISU SUKU,
AGAMA, RAS DAN ANTARGOLONGAN (SARA)
DALAM PENYELENGGARAAN PEMILU UNTUK
MEWUJUDKAN PEMILU YANG DEMOKRATIS
FAKULTAS SYARIAH
ii
iii
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan kesehatan jasmani dan rohani sehingga kita masih tetap bisamenikmati
indahnya alam cipataanNya. Sholawat dan salam tetaplah kita curahkan kepada
baginda Habibillah Muhammad Saw yang telah menunjukkan kepada kita jalan
yang lurus berupa ajaran agama yang sempunya dengan bahasa yang sangat indah.
Penulis disinI akhirnya dapat merasa sangat bersyukur karena telah menyelesaikan
karya tulis ilmiah yang kami buat untuk mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah
Nasional Dalam Gebyar Pekan Hukum Syariah 2018 Yang Diadakan Oleh Dewan
Eksekutif Mahasiswa UIN Malik Ibrahim Malang. .
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu hingga terselesaikannya karya tulis ilmiah ini. Dan penulis memahami
jika karya tulis ilmiah ini tentu jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan
saran sangat kami butuhkan guna memperbaiki karya- karya kami dilain waktu.
Ketua kelompok
Muhammad
D1A016198
v
Daftar Isi
DAFTAR ISI……….......…………………………………………………………………......iii
DAFTAR TABEL……………………………………….....…………………………………………………………………….IV
ABSTRAK…………………………………………………………………………………....V
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................................... 4
1.3 Tujuan dan Manfaat ........................................................................................................ 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................................. 5
BAB III. METODE PENULISAN............................................................................................ 9
BAB IV PEMBAHASAN....................................................................................................... 10
4.1 Problem Pengaturan isu suku,agama,ras dan antargolongan (Sara) dalam UU
Pemilu10
4.2 Konsep pengaturan pembatasan isu, suku, agama, ras dan antargolongan
(SARA) dalam penyelenggaraan Pemilu. ....................................................................... 14
BAB V PENUTUP ................................................................................................................. 23
5.1 KESIMPULAN ............................................................................................................. 23
5.2 SARAN ......................................................................................................................... 25
Daftar Pustaka ......................................................................................................................... 26
vi
Daftar Tabel
Tabel 4.1 Analisis Dampak,Manfaat dan Kelebihan ……………………………………………………..29
vii
ABSTRAK
viii
Tahun 2017 mengenai tugas & wewenang KPU dalam menyelenggarakan upaya
pencegahan politik isu SARA.
ix
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1
Liasta, A. (2018). Nasionalisme Etnis Tionghoa (Studi Tentang Nilai-Nilai Kritis Soe Hok dalam
Demokrasi Indonesia).
2
Bawaslu.go.id. (2018).’’RINGKASAN EKSEKUTIF INDEKS KERAWANAN PEMILU
2019’’.http://bawaslu.go.id/id/publikasi/ringkasan-eksekutif-indeks-kerawanan-pemilu-2019 (diakses
pada 16 Oktober 2018)
1
Pemilu 5,7 persen . Hal ini menunjukkan bahwa maraknya isu SARA dapat menjadi
tantangan penyelenggaraan pemilu yang demokratis. Politik identitas dan segmentasi
dapat mengakibatkan konflik sosial antar anggota masyarakat yang berujung pada
disintegrasi nasional.3
The Economist, pernah merilis Indeks Demokrasi Dunia Tahun 2017 pada 30
Januari 2018. Dari total 167 negara yang tercantum dalam Indeks Demokrasi Dunia
2017 versi The Economist, Indonesia bertengger pada posisi 68 dan tergolong dalam
kategori negara dengan "demokrasi yang cacat" atau flawed democracies.4
Penggunaan isu Sara haruslah segera dibatasi karena dapat menghalangi cita-cita
untuk mewujudkan penyelenggaraan pemilu demokratis dan berintegritas. Direktorat
Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri tengah menangani setidaknya 18 jenis kejahatan
di dunia maya. Dari angka tersebut, Polri menemukan fakta bahwa penyebaran
konten SARA dan ujaran kebencian meningkat pada Pilkada Serentak 2018.5 Artinya
bahwa politik isu sara tidak hanya dapat ditemukan didunia nyata namun juga
dimedia sosial.
Pengelompokkan-pengelompokkan dalam masyarakat bukan tidak mungkin
dapat terjadi, yang dapat memunculkan persepsi-persepsi negatife antar anggota
masyarakat. Tentunya akan merusak citra penyelenggaraan pemilu dan memudarkan
nilai-nilai demokrasi. Rasa persatuan yang telah lama ditanamkan berdasarkan
bhineka tunggal ika perlahan-lahan akan terbengkalai. Bahkan dapat menyebabkan
disintegrasi nasional maupun lokal dan berbahaya bagi keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).
3
Cnnindonesia.com.(2018). ‘’Survei Lipi: Isu Sara Berpotensi Hambat Pemilu
2019’’.https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180808090003-32-320434/survei-lipi-isu-sara-
berpotensi-hambat-pemilu-2019 (diakses pada 16 Oktober 2018)
4
Liputan6.com.(2018).‘’Dubes Moazzam: Politikus Indonesia Jangan Main-Main dengan Isu
Sara’’.https://www.liputan6.com/global/read/3647457/dubes-moazzam-politikus-indonesia-jangan-
main-main-dengan-isu-sara (diakses pada 16 Oktober 2018)
5
Liputan6.com. (2018).’’Polri: Penyebaran Isu Sara Meningkat saat Pilkada
2018’’.https://www.liputan6.com/pilkada/read/3411568/polri-penyebaran-isu-sara-di-medsos-
meningkat-saat-pilkada-2018 (diakses pada 16 Oktober 2018)
2
Menurut sosiolog Universitas Indonesia Tamrin Tomagola menilai, dunia
perpolitikan sekarang ini tidak beradab karena banyak isu suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA) yang dimanfaatkan untuk kepentingan politik.6Hal ini sejalan
dengan hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memaparkan hasil
survei mengejutkan soal potensi perkembangan isu suku, agama, ras dan
antargolongan di Pemilihan Umum 2019 mendatang. Hasilnya, isu SARA nanti akan
sengaja dibuat oleh elit politik.7Semakin banyak dan berkembangnya fenomena isu
SARA di Indonesia ini salah satunya disebabkan karena tidak ada upaya pencegahan
dari KPU selaku penyelenggara pemilu. Sering kali calon legislative, partai politik
pengusung dan tim kampanye menjadi pemicu timbulnya isu Sara.
6
Liputan6.com. (2018).’’Isu Sara unutk Politik Merusak Demokrasi Indonesia’’.
https://www.liputan6.com/news/read/3486996/pengamat-isu-sara-untuk-politik-merusak-demokrasi-
indonesia (diakses pada 16 oktober 2018)
7
Suara.com. (2018).’’Isu SARA di Pemilu 2019 Berpotensi Sengaja Dibuat Elite Politik’’
https://www.suara.com/news/2018/08/07/123219/isu-sara-di-pemilu-2019-berpotensi-sengaja-
dibuat-elit-politik (diakses pada 16 oktober 2018)
3
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah pengaturan penyelenggaraan Pemilu telah memadai untuk
membatasi isu SARA dalam penyelenggaraan Pemilu?
2. Bagaimana konsep pengaturan pembatasan isu Sara dalam
penyelenggaraan pemilu?
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Indonesia merupakan negara yang menganut prinsip kedaulatan rakyat.
Kekuasaan tertinggi yang sebenarnya dalam suatu negara adalah rakyat. Menurut JJ
Rousseau, konsep kedaulatan itu bersifat kerakyatan dan didasarkan pada kemauan
umum (volunte generate) rakyat yang menjelma melalui perundang-undangan.8 Teori
kedaulatan rakyat ini antara lain diikuti juga oleh Immanuel kant yang mengatakan
bahwa tujuan negara itu adalah untuk menegakkan hukum dan menjamin kebebasan
dari pada warga negaranya. Dalam pengertian kebebasan ini adalah kebebasan dalam
batas-batas perundang-undangan, sedangkan undang-undang disini yang berhak
adalah rakyat itu sendiri. Dengan demikian undang-undang merupakan penjelmaan
daripada kemauan atau kehendak rakyat. Jadi rakyatlah yang mewakili kekuasaan
tertinggi atau kedaulatan.9
8
JimlyAsshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusialisme Indonesia, Edisi Kedua, Cetakan Pertama,
SinarGrafika, Jakarta Timur, 2011, hlm. 104
9
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 2011hlm. 5-6
10
A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan
Masyarakat Madani, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2006, hlm.131
5
luasnya.11 Gagasan demokrasi ini dapat ditelusuri dari pemikiran JJ Rousseau dengan
teori kontrak sosialnya,mengutip teori Jean Jaques Rousseau, demokrasi adalah
sebuah tahapan atau sebuah proses yang harus dilalui oleh sebuah negara untuk.12
11
Asshiddiqie, Jimly, 2005, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Cetakan kedua. SinarGrafika,
Jakarta. hlm 241
12
Jean Jacques Rousseau,Du Contract Social (Perjanjian Sosial), Cetakan Pertama, Visimedia, Jakarta,
2007, hlm113
13
Rizkiyansyah, F. K. (2007). Mengenal Pemilu Menatap Demokrasi. Bandung: IDEA Publishing. hlm 03
14
Muhammad AsHukam, Pemilihan Umum dan LegitimasiPoiitik, daiamSyamsudin
Haris(ed),Menggugat Pemilu OrdeBaru(Jakarta:Yayasan Buku Obor, 1998), him. 49-50
15
Global Commissionon Elections, Democracy & Security. (2014). Deepening Democracy: AStrategy for
Improving the Integrity of Elections Worl wide. hlm. 15-16.
6
pemilu salah satunya memetakan program tahapan-tahapan pemilu agar dapat
berjalan dengan baik. Untuk dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik,
diperlukan benteng yang kokoh dalam diri setiap anggota penyelenggara pemilu yaitu
integritas.16
16
Asshiddiqie, Jimly.2013. Menegakkan Etika Penyelenggara Pemilu.PT RajaGrafindo kerjasama dengan
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu: Jakarta.hlm. 68.
17
Guy S. Goodwin-Gill, Free and Fair Elections: International Law and Practice,Inter-Parliamentary
Union,Geneva, 1994, hlm. 8.
18
Bawaslu.go.id.2017. ‘’INTEGRITAS PENYELENGGARAAN PEMILU: REFLEKSI PENYELENGGARAAN
PEMILUKADA SERENTAK 2015 DI JATIM’’
http://www.bawaslu.go.id/sites/default/files/publikasi/03%20JURNAL%20BAWASLU.pdf (diakses pada
18 oktober 2018)
7
efisien dan efektivitas. Mengacu standar International Institute for Democracy
andElectoral Assistence (Wall, 2006:22), penyelenggara pemilu harus berpedoman
pada prinsip-prinsip : independen (tidak dipengaruhi/dikendalikan pihak lain dan
bebas dari kepentingan dan tekanan politik mana pun), imparsialitas (tidak berpihak
kepada peserta pemilu), integritas (memiliki kepribadian dan komitmen kuat untuk
melaksanakan tugas dan kewenangan sesuai undang-undang pemilu), transparansi
(peserta pemilu dan publik mampu mengakses informasi terkait pemilu), efisiensi
(tepat sasaran, anggaran dibuat sesuai kebutuhan, bijaksana dan mengutamakan aspek
kualitas), profesionalisme (kompeten di bidang kepemiluan), mengutamakan
pelayanan (memberikan pelayanan yang mengutamakan semua pihak) dan
mengedepankan tata kelola kerja yang dapat dipertanggungjawabkan dari aspek
hukum. Prinsip-prinsip di atas, paralel dengan asas-asas penyelenggara pemilu yang
menjadi landasan KPU dan Bawaslu sebagaimana disebut pada pasal 3 UU Nomor 7
Tahun 2017. Asas-asas tersebut adalah: mandiri, jujur, berkepastian hukum, tertib,
terbuka, proporsional, professional, akuntabel, efektif dan efisien. Secara substansial
kombinasi prinsip-prinsip penyelenggara pemilu dan UU Nomor 7 Tahun 2017
menghasilkan konsep integritas penyelenggara pemilu dimana ada jaminan tahapan-
tahapan pemilu dijalankan sesuai asas-asas pemilu demokratik. Prinsip-prinsip
pemilu di atas merupakan tuntunan normatif, moral dan etik yang berfungsi sebagai
rule of conduct dan mengikat penyelenggara pemilu dalam melaksanakan tugasnya.
Jika penyelenggara pemilu mampu mengimplementasikan dengan konsisten ke dalam
tindakan baik menyangkut proses, kebijakan dan sikap maka tidak saja akan
menghadirkan penyelenggara pemilu yang berintegritas namun juga akan
menghasilkan pemilu yang integritas (electoral integrity). 19
19
ibid
8
BAB III. METODE PENULISAN
Dalam proses pengumpulan data penulis menggunakan metode penelitian
yang digunakan adalah yuridis normatif dengan teknik pengumpulan data melalui
studi kepustakaan, menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau masalah
yang menjadi obyek penelitian. Informasi tersebut dapat diperoleh dari buku-buku,
karya ilmiah, tesis, disertasi, dan internet. Dalam penuisan karya tulis ilmiah ini
menggunakan pendekatan konseptual, artinya Pendekatan ini beranjak dari
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.
Dan menggunakan pendekatan perundang-undangan, artinya pendekatan ini
dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan yang bersangkut
paut dengan permasalahan (isu hukum) yang sedang dihadapi. Adapun Undang-
undang yang digunakan adalah UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, UU
No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU No 40 tahun 2008 tentang Penghapusan
Diskriminasi RAS dan Etnis.
9
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Problem Pengaturan isu suku,agama,ras dan antargolongan (Sara)
dalam UU Pemilu
Menurut Hans Kelsen, mengartikan hukum adalah tata aturan (rule) sebagai suatu
suatu sistem aturan-aturan (rules) tentang perilaku manusia. Dengan demikian hukum
tidak menumpuk pada satu aturanm tunggal (rule) tetapi seperangkat aturan (rules)
yang memiliki satu kesatuan sehingga dapat dipahami sebagai suatu sistem,
konsekuensinya adalah tidak mungkin memahami hukum jika hanya memperhatikan
satu aturan saja.20
. Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum merupakan rangkaian proses
penjabaran ide dan cita hukum yang memuat nilai-nilai moral seperti keadilan dan
kebenaran kedalam bentuk-bentuk konkrit, dalam mewujudkannya membutuhkan
suatu organisasi seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga
pemasyarakatan sebagai unsur klasik penegakan hukum yang dibentuk oleh negara,
dengan kata lain bahwa penegakan hukum pada hakikatnya mengandung supremasi
nilai substansial yaitu keadilan.21
A. Lemahnya upaya hukum preventif dalam pencegahan isu Sara dalam Pemilu
Dalam hal upaya menangani gejolak isu sara pada Pemilu, pemerintah
sebenarnya telah mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan untuk
penanggulangan terjadinya isu sara tersebut. Di antaranya undang-undang nomor 7
tahun 2017 tentang pemilihan umum. Dalam UU Pemilu tersebut, mengatur berbagai
larangan penggunaan isu Sara diatur dalam pasal 280 ayat 1 huruf c UU No 7 Tahun
2017 tentang Pemilu. Pasal tersebut merupakan pasal yang kurang tepat untuk
mencegah terjadinya isu Sara dalam Pemilu.
20
Jimly Asshidie Dan Ali Safa’at. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta: Sekjen Dan Kepaniteraan
MK-RI, 2006), hlm 13
21
Satjipto Rahardjo, 2009, Penegakan Hukum : Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing,
Yogyakarta. Hlm 7-9
10
Pada pasal tersebut berbunyi, bahwa pelaksana, peserta, dan tim kampanye
dilarang “menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta
pemilu yang lain”, kemudian huruf d menyatakan bahwa “Mereka dilarang pula
menghasut dan mengadu domba”. Ketentuan sanksi pidana pada tersebut diatur pada
pasal 521 yang menyatakan bahwa “Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim
Kampanye Pemilu yang dengan sengaja melanggar larangan pelaksanaan Kampanye
Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,
huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, atau huruf j dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00
(dua puluh empat juta rupiah)”. Maksud dan tujuan dari pasal 280 ini adalah untuk
mencegah terjadi penggunaan isu sara dalam Pemilu.
Namun, sebenarnya aturan tersebut lebih condong pada hukum yang bersifat
represif atau kuratif. Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk
menyelesaikan sengketa. Penanganan perlindungan hukum oleh Pengadilan Umum
dan Peradilan Administrasi di Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum ini.
Artinya, penindakannya dilakukan ketika pelanggaran sudah terjadi atau dilakukan
dan lebih pada penyelesaian sengketa. Hal inilah yang menjadi kelemahan daripada
UU Pemilu, ketika pelanggaran atau tindak pidana Sara dilakukan baru ada
penindakan.
11
B. Delik aduan menjadi delik biasa
12
Namun, dua Undang-undang tersebut dinilai belum efektif dan dalam
prakteknya masih menemui batasan dalam pengeimplementasianya, khususnya
menyangkut penegakan hukum bagi mereka yang melakukan pelanggaran dengan
menjadikan SARA sebagai kontennya. Dalam hal ini kemudian lahirlah Undang –
Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal 28
ayat (2) merupakan ketentuan yang mulai digunakan dalam kasus kasus penyebaran
kebencian berbasis SARA Bunyi Pasal 28 ayat (2) UU ITE adalah sebagai berikut: “
b Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan
untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok
masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras,dan antar golongan
(SARA).”22
Oleh karena itu, perlu dimuat delik biasa dalam penanganan tindak pidana
pemilu dalam UU Pemilu. Artinya, penegak hukum tidak perlu menunggu laporan
atau aduan dari korban untuk memproses tindak pidana pemilu tersebut. Sehingga
dalam penindakannya penegak hukum dapat secara optimal dalam prosesnya
khususnya penggunaan isu SARA yang sering terjadi baik secara lisan maupun
tulisan.
22
Siregar. Bonanda Japatani. Problem Dan Pengaturan Cybercrime Melalui Aktifitas Internet Dalam
Kasus Sara Di Pilkada Serentak 2018. Jurnal Penelitian Pendidikan Sosial Humaniora. 3 (1). 4-5
13
C. Pengaturan kode etik tidak berlaku bagi peserta Pemilu
Dalam hal upaya menjaga etika dalam Pemilu, sebenarnya UU Pemilu telah
mengatur kode etik umtuk memberikan batasan-batasan dalam bertindak dan menjadi
pedoman bagi seseorang atau kelompok untuk bersikap dan bertindak dalam
penyelenggaraan Pemilu. Di dalam UU Pemilu mengenai kode etik diatur dalam
pasal 456 UU No 7 tahun 2017 tentan pemilu. Namun, permasalahannya dalam pasal
tersebut hanya mengatur kode etik yang berlaku bagi penyelenggara pemilu saja.
Pada pasal tersebut berbunyi, bahwa “Pelanggaran kode etik Penyelenggara
Pemilu merupakan pelanggaran terhadap etika Penyelenggara Pemilu yang
berdasarkan sumpah dan/atau janji sebelum menjalankan tugas sebagai
Penyelenggara Pemilu”. Artinya, dalam UU Pemilu tidak ada pengaturan mengenai
kode etik yang berlaku bagi peserta pemilu. Hal ini dapat berimplikasi terhadap tidak
adanya batasan-batasan dalam bertindak dan tidak adanya pedoman bagi seseorang
atau kelompok untuk bersikap dan bertindak dalam penyelenggaraan Pemilu.
Sehingga masih saja terjadi tindakan dari peserta pemilu, tim kampanye dan tim
sukses yang dapat mencederai Pemilu yang demokratis dikarenakan tidak adanya
pedoman etika dalam bertindak. Oleh karena itu, perlu dimuat pengaturan kode etik
yang berlaku bagi peserta Pemilu bukan hanya berlaku bagi penyelenggara Pemilu.
4.2 Konsep pengaturan pembatasan isu, suku, agama, ras dan
antargolongan (SARA) dalam penyelenggaraan Pemilu.
4.2.1 Konsep pengaturan preventif terhadap penggunaan isu SARA
dalam Pemilu
Dalam rangka mengatasi gejolak isu SARA dalam pemilihan umum guna
menciptakan stabilitas bangsa dan kebhinekaan, maka diperlukan sebuah konsep
pengaturan yang menekankan pada upaya-upaya pencegahan baik pecegahan bersifat
umum maupun khusus. Komisi pemilihan umum (KPU) selaku penyelenggara
pemilihan umum harus menerapkan upaya preventif dalam membatasi penggunaan
isu SARA. Dalam hal ini, perlu dorongan terhadap legislatif dan eksekutif untuk
membuat peraturan perundang-undangan yang menempatkan KPU sebagai
penyelenggara pemilihan umum untuk melakukan upaya-upaya pencegahan.
14
Sebagai perbandingan dalam hal menanggulangi money politik diperlukan
pelaporan dana kampanye pada KPU sebagai upaya pencegahan dari money politik
tersebut. Dimana laporan dana kampanye Pasangan calon dan tim kampanye yang
meliputi penerimaan dan pengeluaran wajib disampaikan kepada kantor akuntan
publik yang ditunjuk oleh KPU. begitu juga untuk membatasi gejolak isu Sara dalam
Pemilu maka upaya preventif perlu ditonjolkan. Untuk melakukan hal tersebut, maka
perlu penambahan tugas dan wewenang KPU didalam undang-undang nomor 7 tahun
2017 tentang pemilihan umum berupa penugasan terhadapan KPU untuk melakukan
pembinaan dan pelatihan kepada tim sukses parpol pengusung, caleg, dan tim
kampanye, karena dalam konstetasi Pemilu parpol pengusung, caleg, dan tim
kampanye memiliki peran penting dan berpengaruh dalam menentukan pemilu yang
demokratis.
Pembinaan yang akan diberikan terhadap tim sukses parpol pengusung, caleg, dan
tim kampanye berupa pelatihan yang mempunyai esensi pokok adalah bersama-sama
mewujudkan pemilihan umum yang demokratis. Dengan pembinaan ini diharapkan
tim sukses, parpol pengusung, caleg, dan tim kampanye mampu memahami
hambatan-hambatan dan kesadaran dalam mewujudkan pemilu berintegritas. Dalam
pelatihan ini akan dibagi menjadi beberapa tahap yang akan diadakan indoor dan
outdoor. Adapun tahapan-tahapannya sebagai berikut:
Tujuan dari tahap ini adalah agar tim sukses, parpol pengusung, caleg, dan tim
kampanye mampu mengetahui, memahami dan sharing akan kesadaran berdemokrasi
dan hukum. Tahapan ini akan dilakukan didalam satu ruangan atau indoor.
15
Pemahaman pemilu yang demokratis & berintegritas
pada tahap ini bertujuan agar tim sukses, parpol pengusung, caleg, dan tim
kampanye membangun relasi dan kerja sama ditengah perbedaan yang ada sehingga
menjunjung tinggi persatuan atau kebhinekaan. Pada tahap ini akan dibagi menjadi
beberapa tim dan metode berupa pemberian masalah seperti bahaya politik sara dalam
integritas bangsa, money politic yang mencrocoti demokrasi, dan lain sebagainya.
Kemudian masing-masing tim diberi waktu untuk bagaimana menyelesaikan
permasalahan tersebut yang menuntut adanya sebuah kerja sama dan persatuan
dengan mengedepankan toleransi dan nilai-nilai pancasila dalam menyelesaikan
masalah tersebut sehingga menumbuhkan rasa tanggung jawab bersama akan suatu
permasalahan bangsa.
Berkompetisi sehat
Tahap akhir ini adalah evaluasi dari tahap-tahap sebelumnya yang kemudian
para peserta membuat memorandum of understanding and declaration of demokratic
elections yang bertujuan bahwa adanya komitmen bersama agar mewujudkan
16
pemilihan umum yang demokratis dan berintegritas. Adapun isi MoU yang dibuat
dan ditanda tangani oleh perwakilan tim sukses, tim kampanye dan parpol pengusung
serta masing-masing caleg berupa :
Tidak menyebar informasi hoax dalam kampanye baik itu disosial media atau
secara langsung
Upaya pencegahan haruslah dilaksanakan melalui kerja sama yang baik antara
KPU selaku penyelenggara pemilu, Bawaslu dan instansi-instansi terkait seperti
Kejaksaan, Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat
(Bakesbanglinmas), Kepolisian, Kementerian Komunikasi dan Informatika
17
(Kominfo) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) demi terwujudnya
penyelenggaraan pemilu yang demokratis. Agar kerjasama yang dibangun dapat
berjalan secara optimal. Maka diperlukan adanya lembaga baru yang fokus mencegah
penggunaan isu SARA yang kerap digunakan sekarang ini.
18
a. Pengaturan mengenai delik biasa dalam UU Pemilu
Di dalam penyelenggaraan pemilu sering kali terjadi tindak pidana pemilu seperti
penggunaan isu sara yang sering kali lemah dalam penindakannya. Hal ini
dikarenakan lunaknya pengaturan tindak pidana pemilu didalam UU Pemilu hanya
menggunakan delik aduan. Pengaturan mengenai delik aduan dalam UU Pemilu bisa
dilihat dalam Pasal 476 ayat 1 yang menyatakan bahwa “Laporan dugaan tindak
pidana Pemilu diteruskan oleh Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu
Kabupaten/Kota, dan/atau Panwaslu Kecamatan kepada Kepolisian Negara Republik
Indonesia paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam sejak Bawaslu,
Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, dan/atau Panwaslu Kecamatan
menyatakan bahwa perbuatan atau tindakan yang diduga merupakan tindak pidana
Pemilu”.
Di dalam pasal tersebut penegak hukum dalam hal ini kepolisian harus menunggu
laporan terlebih dahulu baru bisa menindak tindak pidana pemilu tersebut. Kemudian
didalam pasal tersebut juga, ada tahapan melalui Bawaslu terlebih dahulu yang
kemudian diteruskan kepada kepolisian. Hal inilah yang membuat lamban dan lemah
dalam penindakan terhadap pengguna isu sara dalam penyelengaraan pemilu. Oleh
karena itu, perlu dimuat delik biasa didalam UU Pemilu agar penindakan terhadap
pengguna isu sara dalam penyelenggaraan pemilu atau tindak pidana pemilu dapat
lebih optimal lagi.
Etika sebagai sistem nilai atau norma-norma moral yang menjadi pedoman bagi
seseorang atau kelompok untuk bersikap dan bertindak. Di dalam penyelenggaraan
pemilu diperlukan kode etik yang akan memberikan batasan-batasan dalam bertindak
bagi penyelenggara pemilu dan peserta pemilu. Namun didalam UU Pemilu
pengaturan mengenai kode etik hanya diperuntukkan bagi penyelenggara pemilu saja.
Hal tersebut bisa dilihat dalam pasal 456 UU Pemilu yang menyatakan bahwa
19
“Pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu merupakan pelanggaran terhadap
etika Penyelenggara Pemilu yang berdasarkan sumpah dan/atau janji sebelum
menjalankan tugas sebagai Penyelenggara Pemilu”.
Di dalam pasal tersebut menunjukkan bahwa kode etik hanya berlaku bagi
penyelenggara pemilu. Padahal, proses pemilu tidak hanya dilaksanakan oleh
penyelenggara pemilu. Di sisi lain, ada banyak komponen seperti peserta pemilu, tim
kampanye, dan tim sukses yang ikut serta dalam proses pemilu. Dalam hal
penyelenggaraan pemilu, komponen tersebut juga bisa mempengaruhi suksesnya
proses pemilu. Oleh karena itu, perlu dibuatkan pengaturan mengenai kode etik bagi
peserta pemilu, tim kampanye, dan tim sukses. Sehingga ketika ada pelanggaran kode
etik dan pelanggaran pemilu seperti penggunaan isu sara dalam pemilu bisa dikenai
sanksi administratif selain sanksi pidana.
Setelah dimuat aturan kode etik terhadap peserta pemilu tersebut, maka perlu
adanya pengaturan mengenai sanksi terhadap pelanggran kode etik bagi peserta
Pemilu didalam UU Pemilu. Konsep pengaturan sanksi yang bisa diberikan terhadap
pelanggaran kode etik bagi peserta Pemilu adalah sanksi administratif. Penekanan
sanksi administratif bagi peserta pemilu yang melanggara kode etik bagi peserta
Pemilu ini diperlukan untuk memperkuat upaya represif atau penindakan didalam UU
Pemilu. Sanksi administratif bisa berupa larangan terhadap pemberitaan, penyiaran,
dan iklan kampanye pemilu yang dapat dilakukan melalui media massa cetak, media
daring (online), media sosial, dan lembaga penyiaran. Dan/atau sanksi administratif
lainnya yang mampu memberikan effect jera bagi peserta pemilu yang melanggar
kode etik bagi peserta Pemilu tersebut. Oleh karena itu, perlu dimuat mengenai sanksi
administratif pada pelanggaran kode etik bagi peserta pemilu agar terwujudnya
penyelenggaran Pemilu yang baik dan demokratis.
20
d. Analisis dampak, masalah dan kelebihan Konsep Pengaturan Pembatasan Isu
SARA dalam Penyelenggaraan Pemilu untuk Mewujudkan Pemilu yang Demokratis
21
penindakan dalam penggunaan isu SARA
dalam pemilu
22
BAB V PENUTUP
5.1 KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa UU Pemilu memiliki problem
dalam pembatasan isu SARA dalam Pemilu, diantaranya:
1. Lemahnya upaya hukum preventif dalam pencegahan isu Sara dalam Pemilu.
Dalam UU Pemilu hanya menfokuskan pada upaya hukum yang lebih bersifat
represif dari pada preventif. Padahal, upaya hukum preventif atau pencegahan lebih
optimal dalam pencegahan penggunaan isu SARA dalam Pemilu.
3. Pengaturan kode etik tidak berlaku bagi peserta Pemilu. Di dalam UU Pemilu
hanya mengatur kode etik yang berlaku bagi penyelenggara Pemilu. Padahal, sangat
perlu dimuat aturan kode etik bagi peserta Pemilu dalam UU Pemilu karena peserta
Pemilu memiliki pengaruh besar dalam mewujudkan Pemilu demokratis yang
berintegritas. Sehingga, peserta Pemilu diberi batasan dan pedoman dalam bertindak
dalam penyelenggaraan Pemilu.
1. Upaya preventif berupa Pembinaan yang akan diberikan terhadap tim sukses parpol
pengusung, caleg, dan tim kampanye berupa pelatihan yang mempunyai esensi pokok
adalah bersama-sama mewujudkan pemilihan umum yang demokratis. Dengan
pembinaan ini diharapkan tim sukses, parpol pengusung, caleg, dan tim kampanye
23
mampu memahami hambatan-hambatan dan kesadaran dalam mewujudkan pemilu
berintegritas.
3. Upaya represif, dengan memuat delik biasa dalam UU Pemilu agar penegak hukum
tidak perlu menunggu laporan atau pengaduan dari korban. Karena delik aduan dalam
UU Pemilu inilah yang membuat lamban dan lemah dalam penindakan terhadap
pengguna isu sara dalam penyelengaraan pemilu. Oleh karena itu, perlu dimuat delik
biasa didalam UU Pemilu agar penindakan terhadap pengguna isu sara dalam
penyelenggaraan pemilu atau tindak pidana pemilu dapat lebih optimal lagi.
4. Kemudian upaya represif lainnya adalah dengan memuat pengaturan kode etik
yang berlaku bagi peserta pemilu. Karena dalam hal penyelenggaraan pemilu, peserta
Pemilu juga bisa mempengaruhi suksesnya proses pemilu. Oleh karena itu, perlu
dibuatkan pengaturan mengenai kode etik bagi peserta pemilu, tim kampanye, dan
tim sukses. Sehingga ketika ada pelanggaran kode etik dan pelanggaran pemilu
seperti penggunaan isu sara dalam pemilu bisa dikenai sanksi administratif selain
sanksi pidana.
24
5. Setelah memuat pengaturan kode etik bagi peserta Pemilu, diperlukan pula sanksi
untuk memperkuat kode etik tersebut. Adapun sanksi pelanggaran kode etik bagi
peserta Pemilu yaitu sanksi administratif. Penekanan sanksi administratif bagi peserta
pemilu yang melanggara kode etik bagi peserta Pemilu ini diperlukan untuk
memperkuat upaya represif atau penindakan didalam UU Pemilu. Oleh karena itu,
perlu dimuat mengenai sanksi administratif pada pelanggaran kode etik bagi peserta
pemilu agar terwujudnya penyelenggaran Pemilu yang baik dan demokratis.
5.2 SARAN
Untuk menerapkan gagasan yang telah diuraikan, maka rekomendasi yang
dapat diberikan adalah Presiden dan DPR RI mengubah UU No. 07 Tahun 2017
Tentang Pemilu dengan memuat konsep pengaturan preventif dan represif dalam
pencegahan penggunaan isu SARA dalam penyelenggaraan Pemilu. Sehingga, dapat
terwujudnya Pemilu yang demokratis dan berintegritas.
25
Daftar Pustaka
Liasta, A. (2018). Nasionalisme Etnis Tionghoa (Studi Tentang Nilai-Nilai Kritis Soe
Hok dalam Demokrasi Indonesia).
Soerjono Soekanto. 2004. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegeakan Hukum
Cetakan Kelima.Jakarta: Raja Grafindo Persada
Siregar. Bonanda Japatani. Problem dan Pengaturan Cybercrime Melalui Aktifitas
Internet Dalam Kasus Sara dI Pilkada Serentak 2018. Jurnal Penelitian Pendidikan
Sosial Humaniora. 3 (1). 4-5
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 2011
Asshiddiqie, Jimly, 2005, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Cetakan
kedua. SinarGrafika, Jakarta.
Guy S. Goodwin-Gill, Free and Fair Elections: International Law and Practice,Inter-
Parliamentary Union,Geneva, 1994
26
Siregar. Bonanda Japatani. Problem Dan Pengaturan Cybercrime Melalui Aktifitas
Internet Dalam Kasus Sara Di Pilkada Serentak 2018. Jurnal Penelitian Pendidikan
Sosial Humaniora.
Jimly Asshidie Dan Ali Safa’at. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta: Sekjen
Dan Kepaniteraan MK-RI, 2006),
Cnnindonesia.com. (2018). ‘’Survei Lipi: Isu Sara Berpotensi Hambat Pemilu 2019’’.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180808090003-32-320434/survei-lipi-isu-
sara-berpotensi-hambat-pemilu-2019 (diakses pada 16 Oktober 2018)
Liputan6.com. (2018). ‘’Dubes Moazzam: Politikus Indonesia Jangan Main-Main
dengan Isu Sara’’. https://www.liputan6.com/global/read/3647457/dubes-moazzam-
politikus-indonesia-jangan-main-main-dengan-isu-sara (diakses pada 16 Oktober
2018)
Liputan6.com. (2018).’’Polri: Penyebaran Isu Sara Meningkat saat Pilkada 2018’’.
https://www.liputan6.com/pilkada/read/3411568/polri-penyebaran-isu-sara-di-
medsos-meningkat-saat-pilkada-2018 (diakses pada 16 Oktober 2018)
Liputan6.com. (2018).’’Isu Sara unutk Politik Merusak Demokrasi Indonesia’’.
https://www.liputan6.com/news/read/3486996/pengamat-isu-sara-untuk-politik-
merusak-demokrasi-indonesia (diakses pada 16 oktober 2018)
Suara.com. (2018).’’Isu SARA di Pemilu 2019 Berpotensi Sengaja Dibuat Elite
Politik’’ https://www.suara.com/news/2018/08/07/123219/isu-sara-di-pemilu-2019-
berpotensi-sengaja-dibuat-elit-politik (diakses pada 16 oktober 2018)
Bawaslu.go.id.2017. ‘’INTEGRITAS PENYELENGGARAAN PEMILU:
REFLEKSI PENYELENGGARAAN PEMILUKADA SERENTAK 2015 DI
JATIM’’
http://www.bawaslu.go.id/sites/default/files/publikasi/03%20JURNAL%20BAWASL
U.pdf (diakses pada 18 oktober 2018)
27
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Curriculum Vitae
I. Data Pribadi
1. Nama : Muhammad
2. Tempat dan Tanggal Lahir : Pancor, 04 April 1998
3. Jenis Kelamin : Laki-Laki
4. Agama : Islam
5. Status Pernikahan : belum menikah
6. Warga Negara : Indonesia
7. Alamat : Pancor, Selong Lombok Timur NTB
9. Nomor Telepon / HP : 087799041224
10. e-mail : muhammadbahasyuwen44@gmail.com
(MUHAMMAD)
28
29
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Curriculum Vitae
I. Data Pribadi
(ZAKI AKBAR)
30
31