Anda di halaman 1dari 40

KONSEP PENGATURAN PEMBATASAN ISU SUKU,

AGAMA, RAS DAN ANTARGOLONGAN (SARA)


DALAM PENYELENGGARAAN PEMILU UNTUK
MEWUJUDKAN PEMILU YANG DEMOKRATIS

Nama: Muhammad
Nim: D1A016 198
Nama: Zaki Akbar
Nim: D1A016322

UNIVERSITAS MATARAM
Kota Mataram
2018

i
KONSEP PENGATURAN PEMBATASAN ISU SUKU,
AGAMA, RAS DAN ANTARGOLONGAN (SARA)
DALAM PENYELENGGARAAN PEMILU UNTUK
MEWUJUDKAN PEMILU YANG DEMOKRATIS

Disusun Dalam Rangka Mengikuti

KOMPETISI KARYA TULIS ILMIAH

GEBYAR PEKAN HUKUM SYARIAH

MALIKI LAW FAIR 2018 PIALA DPR RI

FAKULTAS SYARIAH

UIN MAULANA MALIK IBRAHIM

Nama Tim: Yunus Husein

ii
iii
iv
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan kesehatan jasmani dan rohani sehingga kita masih tetap bisamenikmati
indahnya alam cipataanNya. Sholawat dan salam tetaplah kita curahkan kepada
baginda Habibillah Muhammad Saw yang telah menunjukkan kepada kita jalan
yang lurus berupa ajaran agama yang sempunya dengan bahasa yang sangat indah.
Penulis disinI akhirnya dapat merasa sangat bersyukur karena telah menyelesaikan
karya tulis ilmiah yang kami buat untuk mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah
Nasional Dalam Gebyar Pekan Hukum Syariah 2018 Yang Diadakan Oleh Dewan
Eksekutif Mahasiswa UIN Malik Ibrahim Malang. .

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu hingga terselesaikannya karya tulis ilmiah ini. Dan penulis memahami
jika karya tulis ilmiah ini tentu jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan
saran sangat kami butuhkan guna memperbaiki karya- karya kami dilain waktu.

Mataram,20 Oktober 2018

Ketua kelompok

Muhammad
D1A016198

v
Daftar Isi

HALAMAN JUDUL ……………………………………………………………………….…i


KATA PENGANTAR…….………………………………………………………………………………………………….....ii

DAFTAR ISI……….......…………………………………………………………………......iii
DAFTAR TABEL……………………………………….....…………………………………………………………………….IV

ABSTRAK…………………………………………………………………………………....V
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................................... 4
1.3 Tujuan dan Manfaat ........................................................................................................ 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................................. 5
BAB III. METODE PENULISAN............................................................................................ 9
BAB IV PEMBAHASAN....................................................................................................... 10
4.1 Problem Pengaturan isu suku,agama,ras dan antargolongan (Sara) dalam UU
Pemilu10
4.2 Konsep pengaturan pembatasan isu, suku, agama, ras dan antargolongan
(SARA) dalam penyelenggaraan Pemilu. ....................................................................... 14
BAB V PENUTUP ................................................................................................................. 23
5.1 KESIMPULAN ............................................................................................................. 23
5.2 SARAN ......................................................................................................................... 25
Daftar Pustaka ......................................................................................................................... 26

vi
Daftar Tabel
Tabel 4.1 Analisis Dampak,Manfaat dan Kelebihan ……………………………………………………..29

vii
ABSTRAK

KONSEP PENGATURAN PEMBATASAN ISU SUKU, AGAMA, RAS DAN


ANTARGOLONGAN (SARA) DALAM PENYELENGGARAAN PEMILU
UNTUK MEWUJUDKAN PEMILU YANG DEMOKRATIS

Berdasarkan data dari BAWASLU Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) 2019


Penggunaan politisasi SARA dengan mendasarkan pada subdimensi relasi kuasa di
tingkat lokal, kampanye dan partisipasi pemilih terdapat 90 (17,5 persen)
Kabupaten/Kota yang Rawan Tinggi dan 424 (82,5 persen) Kabupaten/Kota yang
Rawan Sedang. Dan data dari lembaga ilmu pengetahuan Indonesia (LIPI) potensi
yang bisa menghambat penyelenggaraan pemilu yang tertinggi adalah politisasi
SARA mencapai 23,6 persen. Hal ini menunjukkan bahwa maraknya isu sara dapat
menjadi tantangan penyelenggaraan pemilu yang demokratis. Politik identitas dan
segmentasi dapat mengakibatkan konflik sosial antar anggota masyarakat yang
berujung pada disintegrasi nasional. Disisi lain UU NO. 7 Tahun 2017 belum
maksimal mengatur tentang pencegahan politik isu SARA. Untuk itu diperlukan
konsep pembatasan isu SARA dalam penyelenggaraan pemilu. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengkaji dan menganalisis konsep pengaturan pembatasan isu sara
dalam penyelenggaraan pemilu. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis
normatif dengan teknik pengumpulan data melalui studi kepustakaan, pendekatan
konseptual dan perundang-undangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlu
melaksanakan upaya pencegahan melalui konsep pengaturan pembatasan isu SARA
dalam penyelenggaraan pemilu untuk mewujudkan pemilu yang demokratis adalah
dengan mengatur upaya-upaya preventif agar tidak terjadi pelanggaran isu SARA
dalam penyelenggaraan pemilu. Upaya tersebut dilakukan melalui inisiatif KPU
untuk mengadakan pelatihan & pembinaan kepada tim sukses parpol pengusung,
caleg, dan tim kampanye. Untuk itu perlu penambahan pengaturan dalam UU No. 7

viii
Tahun 2017 mengenai tugas & wewenang KPU dalam menyelenggarakan upaya
pencegahan politik isu SARA.

Kata Kunci: Isu SARA, Pemilu, Demokratis

ix
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah Negara demokrasi. Menurut Joseph A. Schemer, Demokrasi


merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan polituk dimana
individu- individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan
kompetitif atas suara rakyat.1 Demokrasi tidak boleh hanya dijadikan hiasan bibir dan
bahan retorika belaka. Demokrasi juga bukan hanya menyangkut pelembagaan
gagasan-gagasan luhur tentang kehidupan bernegara yang ideal melainkan juga
persoalan tradisi dan budaya politik yang egaliter dalam realitas pergaulan hidup yang
plural, dengan saling menghargai perbedaan satu sama lain. Ukuran demokratis atau
tidaknya suatu negara bisa diukur dengan pemilihan umum (Pemilu). Pemilu adalah
salah satu jalan untuk melaksanakan proses demokrasi bagi sebuah Negara. Sebagai
Negara demokrasi Indonesia mempunyai beberapa hambatan dalam melaksanakan
pemilu, Salah satunya penggunaan isu suku,agama,ras dan antargolongan (SARA) .

Berdasarkan data dari Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU) Indeks


Kerawanan Pemilu (IKP) 2019 Penggunaan politisasi SARA dengan mendasarkan
pada subdimensi relasi kuasa di tingkat lokal, kampanye dan partisipasi pemilih
terdapat 90 (17,5 persen) Kabupaten/Kota yang Rawan Tinggi dan 424 (82,5 persen)
Kabupaten/Kota yang Rawan Sedang.2 Data dari lembaga ilmu pengetahuan
Indonesia (LIPI) potensi yang bisa menghambat penyelenggaraan pemilu yang
tertinggi adalah politisasi SARA mencapai 23,6 persen, di urutan kedua ada konflik
horizontal antara pendukung paslon 12,3 persen, gangguan keamanan 10,4 persen,
kurang siap penyelenggaraan pemilu 6,6 persen, dan ketidaknetralan penyelenggaraan

1
Liasta, A. (2018). Nasionalisme Etnis Tionghoa (Studi Tentang Nilai-Nilai Kritis Soe Hok dalam
Demokrasi Indonesia).
2
Bawaslu.go.id. (2018).’’RINGKASAN EKSEKUTIF INDEKS KERAWANAN PEMILU
2019’’.http://bawaslu.go.id/id/publikasi/ringkasan-eksekutif-indeks-kerawanan-pemilu-2019 (diakses
pada 16 Oktober 2018)

1
Pemilu 5,7 persen . Hal ini menunjukkan bahwa maraknya isu SARA dapat menjadi
tantangan penyelenggaraan pemilu yang demokratis. Politik identitas dan segmentasi
dapat mengakibatkan konflik sosial antar anggota masyarakat yang berujung pada
disintegrasi nasional.3

The Economist, pernah merilis Indeks Demokrasi Dunia Tahun 2017 pada 30
Januari 2018. Dari total 167 negara yang tercantum dalam Indeks Demokrasi Dunia
2017 versi The Economist, Indonesia bertengger pada posisi 68 dan tergolong dalam
kategori negara dengan "demokrasi yang cacat" atau flawed democracies.4
Penggunaan isu Sara haruslah segera dibatasi karena dapat menghalangi cita-cita
untuk mewujudkan penyelenggaraan pemilu demokratis dan berintegritas. Direktorat
Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri tengah menangani setidaknya 18 jenis kejahatan
di dunia maya. Dari angka tersebut, Polri menemukan fakta bahwa penyebaran
konten SARA dan ujaran kebencian meningkat pada Pilkada Serentak 2018.5 Artinya
bahwa politik isu sara tidak hanya dapat ditemukan didunia nyata namun juga
dimedia sosial.
Pengelompokkan-pengelompokkan dalam masyarakat bukan tidak mungkin
dapat terjadi, yang dapat memunculkan persepsi-persepsi negatife antar anggota
masyarakat. Tentunya akan merusak citra penyelenggaraan pemilu dan memudarkan
nilai-nilai demokrasi. Rasa persatuan yang telah lama ditanamkan berdasarkan
bhineka tunggal ika perlahan-lahan akan terbengkalai. Bahkan dapat menyebabkan
disintegrasi nasional maupun lokal dan berbahaya bagi keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).

3
Cnnindonesia.com.(2018). ‘’Survei Lipi: Isu Sara Berpotensi Hambat Pemilu
2019’’.https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180808090003-32-320434/survei-lipi-isu-sara-
berpotensi-hambat-pemilu-2019 (diakses pada 16 Oktober 2018)
4
Liputan6.com.(2018).‘’Dubes Moazzam: Politikus Indonesia Jangan Main-Main dengan Isu
Sara’’.https://www.liputan6.com/global/read/3647457/dubes-moazzam-politikus-indonesia-jangan-
main-main-dengan-isu-sara (diakses pada 16 Oktober 2018)
5
Liputan6.com. (2018).’’Polri: Penyebaran Isu Sara Meningkat saat Pilkada
2018’’.https://www.liputan6.com/pilkada/read/3411568/polri-penyebaran-isu-sara-di-medsos-
meningkat-saat-pilkada-2018 (diakses pada 16 Oktober 2018)

2
Menurut sosiolog Universitas Indonesia Tamrin Tomagola menilai, dunia
perpolitikan sekarang ini tidak beradab karena banyak isu suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA) yang dimanfaatkan untuk kepentingan politik.6Hal ini sejalan
dengan hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memaparkan hasil
survei mengejutkan soal potensi perkembangan isu suku, agama, ras dan
antargolongan di Pemilihan Umum 2019 mendatang. Hasilnya, isu SARA nanti akan
sengaja dibuat oleh elit politik.7Semakin banyak dan berkembangnya fenomena isu
SARA di Indonesia ini salah satunya disebabkan karena tidak ada upaya pencegahan
dari KPU selaku penyelenggara pemilu. Sering kali calon legislative, partai politik
pengusung dan tim kampanye menjadi pemicu timbulnya isu Sara.

Penyebabnya diindikasi karena terlalu lunaknya pengaturan pembatasan isu


SARA dalam UU No 7 Tahun 2018 tentang Pemilu. Upaya preventif yang ada pada
UU Pemilu dirasa kurang memberikan dampak yang signifikan terhadap pembatasan
isu SARA dalam penyelenggaraan Pemilu.upaya preventif terdapat dalam tugas
Bawaslu pasal 94 UU Pemilu. Namun, aturannya kurang tegas dan masih belum
efektif dalam pengimplementasiannya.berkoordinasi dengan instansi pemerintah
terkait belum terlaksana secara baik. Begitu juga dengan upaya represif kurang
optimal dalam penindakannya sehingga tidak menimbulkan efek jera kepada
pengguna isu SARA karena UU Pemilu sendiri adalah delik aduan. Dengan
demikian, hanya bisa diproses apabila ada laporan terlebih dahulu. Untuk itu konsep
pengaturan yang baru sangat dibutuhkan untuk mewujudkan penyelenggaraan Pemilu
yang demokratis.

6
Liputan6.com. (2018).’’Isu Sara unutk Politik Merusak Demokrasi Indonesia’’.
https://www.liputan6.com/news/read/3486996/pengamat-isu-sara-untuk-politik-merusak-demokrasi-
indonesia (diakses pada 16 oktober 2018)
7
Suara.com. (2018).’’Isu SARA di Pemilu 2019 Berpotensi Sengaja Dibuat Elite Politik’’
https://www.suara.com/news/2018/08/07/123219/isu-sara-di-pemilu-2019-berpotensi-sengaja-
dibuat-elit-politik (diakses pada 16 oktober 2018)

3
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah pengaturan penyelenggaraan Pemilu telah memadai untuk
membatasi isu SARA dalam penyelenggaraan Pemilu?
2. Bagaimana konsep pengaturan pembatasan isu Sara dalam
penyelenggaraan pemilu?

1.3 Tujuan dan Manfaat


1. Mengkaji dan menganalisis konsep pengaturan pembatasan isu SARA
dalam penyelenggaraan pemilu.

2. Untuk memberikan masukan sekaligus alternative solusi kepada pemerintah


RI, DPR, penyelenggara Pemilu dan partai politik tentang upaya untuk
membatasi isu suku, agama, ras dan antargolongan dalam penyelenggaraan
pemilu.

4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Indonesia merupakan negara yang menganut prinsip kedaulatan rakyat.
Kekuasaan tertinggi yang sebenarnya dalam suatu negara adalah rakyat. Menurut JJ
Rousseau, konsep kedaulatan itu bersifat kerakyatan dan didasarkan pada kemauan
umum (volunte generate) rakyat yang menjelma melalui perundang-undangan.8 Teori
kedaulatan rakyat ini antara lain diikuti juga oleh Immanuel kant yang mengatakan
bahwa tujuan negara itu adalah untuk menegakkan hukum dan menjamin kebebasan
dari pada warga negaranya. Dalam pengertian kebebasan ini adalah kebebasan dalam
batas-batas perundang-undangan, sedangkan undang-undang disini yang berhak
adalah rakyat itu sendiri. Dengan demikian undang-undang merupakan penjelmaan
daripada kemauan atau kehendak rakyat. Jadi rakyatlah yang mewakili kekuasaan
tertinggi atau kedaulatan.9

Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang digunakan oleh


Indonesia. Menurut Hans Kensel demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dan
untuk rakyat. Yang melaksanakan kekuasaan negara ialah wakil-wakil rakyat yang
terpilih. Dimana rakyat telah yakin, bahwa segala kehendak dan kepentingannya akan
diperhatikan didalam melaksanakan kekuasaan negara10. Demokrasi pertama-tama
merupakan gagasan yang mengandaikan bahwa kekuasaan itu adalah dari, oleh dan
untuk rakyat. Artinya, kekuasaan itu pada pokoknya diakui berasal dari rakyat, dan
karena itu rakyatlah yang sebenarnya menentukan dan memberi arah serta yang
sesungguhnya menyelenggarakan kehidupan kenegaraan. Keseluruhan sistem
penyelenggaraan negara itu pada dasarnya juga diperuntukkan bagi seluruh rakyat
itu sendiri. Bahkan negara yang baik diidealkan pula agar diselenggarakan bersama-
sama dengan rakyat dalam arti dengan melibatkan masyarakat dalam arti yang seluas-

8
JimlyAsshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusialisme Indonesia, Edisi Kedua, Cetakan Pertama,
SinarGrafika, Jakarta Timur, 2011, hlm. 104
9
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 2011hlm. 5-6
10
A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan
Masyarakat Madani, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2006, hlm.131

5
luasnya.11 Gagasan demokrasi ini dapat ditelusuri dari pemikiran JJ Rousseau dengan
teori kontrak sosialnya,mengutip teori Jean Jaques Rousseau, demokrasi adalah
sebuah tahapan atau sebuah proses yang harus dilalui oleh sebuah negara untuk.12

Di dalam suatu negara demokrasi, pemilihan umum (Pemilu) juga dianggap


sebagai tolak ukur dari demokrasi. Sebagai elemen kunci pelaksanaan demokrasi,
tentu saja Pemilu harus diselenggarakan secara demokratis pula. Menurut Hutington,
bahwa sebuah negara bisa disebut demokratis jika didalamnya terdapat mekanisme
pemilihan umum yang dilaksanakan secara berkala atau periodek untuk melakukan
sirklus elite.13 Pemilu harus mencerminkan prinsip dan nilai demokrasi, serta dapat
menjadi jalan pelaksaaan demokrasi itu sendiri. Dan umumnya pemilihan umum
dimaknai sebagai realisasi kedaulatan rakyat dan juga dimaknai sebagai sarana untuk
memberikan dan memperkuat legitimasi rakyat.14

Pentingnya mewujudkan pemilu berintegritas (electoral integrity) didasari


pada pandangan bahwa pemilu diselenggarakan untuk menjunjung tinggi sekaligus
menegakkan hak asasi manusia dan prinsip demokrasi. Apabila pemilu tidak
dilaksanakan dengan basis integritas, maka berpotensi melahirkan penyelenggara
pemilu yang tidak bertanggungjawab yang berimplikasi pada minimnya partisipasi
politik dan hilangnya kepercayaan publik pada proses demokrasi15. Senada dengan
pandangan di atas, Jimly Asshiddiqie mengatakan dalam konteks penyelenggaraan
pemilu, integritas anggota penyelenggara pemilu menjadi modal utama dalam
mewujudkan pemilu yang demokratis. Pemilu merupakan sarana utama dalam
menjalankan kedaulatan rakyat, sehingga tugas dan fungsi penting penyelenggara

11
Asshiddiqie, Jimly, 2005, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Cetakan kedua. SinarGrafika,
Jakarta. hlm 241
12
Jean Jacques Rousseau,Du Contract Social (Perjanjian Sosial), Cetakan Pertama, Visimedia, Jakarta,
2007, hlm113
13
Rizkiyansyah, F. K. (2007). Mengenal Pemilu Menatap Demokrasi. Bandung: IDEA Publishing. hlm 03
14
Muhammad AsHukam, Pemilihan Umum dan LegitimasiPoiitik, daiamSyamsudin
Haris(ed),Menggugat Pemilu OrdeBaru(Jakarta:Yayasan Buku Obor, 1998), him. 49-50
15
Global Commissionon Elections, Democracy & Security. (2014). Deepening Democracy: AStrategy for
Improving the Integrity of Elections Worl wide. hlm. 15-16.

6
pemilu salah satunya memetakan program tahapan-tahapan pemilu agar dapat
berjalan dengan baik. Untuk dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik,
diperlukan benteng yang kokoh dalam diri setiap anggota penyelenggara pemilu yaitu
integritas.16

Untuk memenuhi tuntutan demokrasi tersebut, mengharuskan penyeleggara


pemilu untuk senantiasa mendasarkan diri pada etika (Positive) agar mampu
mewujudkan pemilu yang demokratis dan berintegritas. Kemudian, dalam rangka
menjunjung tinggi kedaulatan rakyat tersebut, penyelenggaraan pemilu harus
didasarkan pada prinsip free and fair election(bebas dan adil). Prinsip free and fair
electiontelah menjadi pedoman negara-negara demokrasi modern dalam
penyelenggaraan pemilu beberapa dekade terakhir.17

Mengingat tugas penyelenggara pemilu adalah mentranformasi suara menjadi


kursi wakil-wakil rakyat maka penyelenggara pemilu harus dijabat orang-orang yang
memiliki kualifikasi memenuhi aspek kejujuran, mampu bertindak adil dan memiliki
komitmen tinggi menghasilkan pemilu yang dipercaya semua pihak. Untuk
mendukung capaian ini, penyelenggarapemilu harus mendasarkan kerjanya pada
beberapa prinsip-prinsip, yaitu independen, imparsialitas, integritas, transparansi,
efisiensi, profesionalisme dan berjiwa melayani (aceproject, 2006).18 Prinsip yang
kurang lebih sama semangatnya juga menjadi patokan penyelenggaraan pemilu di
Indonesia sebagaimana tercantum pada pasal 3 UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang
Penyelenggara Pemilu yakni mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib,
kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas,

16
Asshiddiqie, Jimly.2013. Menegakkan Etika Penyelenggara Pemilu.PT RajaGrafindo kerjasama dengan
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu: Jakarta.hlm. 68.
17
Guy S. Goodwin-Gill, Free and Fair Elections: International Law and Practice,Inter-Parliamentary
Union,Geneva, 1994, hlm. 8.
18
Bawaslu.go.id.2017. ‘’INTEGRITAS PENYELENGGARAAN PEMILU: REFLEKSI PENYELENGGARAAN
PEMILUKADA SERENTAK 2015 DI JATIM’’
http://www.bawaslu.go.id/sites/default/files/publikasi/03%20JURNAL%20BAWASLU.pdf (diakses pada
18 oktober 2018)

7
efisien dan efektivitas. Mengacu standar International Institute for Democracy
andElectoral Assistence (Wall, 2006:22), penyelenggara pemilu harus berpedoman
pada prinsip-prinsip : independen (tidak dipengaruhi/dikendalikan pihak lain dan
bebas dari kepentingan dan tekanan politik mana pun), imparsialitas (tidak berpihak
kepada peserta pemilu), integritas (memiliki kepribadian dan komitmen kuat untuk
melaksanakan tugas dan kewenangan sesuai undang-undang pemilu), transparansi
(peserta pemilu dan publik mampu mengakses informasi terkait pemilu), efisiensi
(tepat sasaran, anggaran dibuat sesuai kebutuhan, bijaksana dan mengutamakan aspek
kualitas), profesionalisme (kompeten di bidang kepemiluan), mengutamakan
pelayanan (memberikan pelayanan yang mengutamakan semua pihak) dan
mengedepankan tata kelola kerja yang dapat dipertanggungjawabkan dari aspek
hukum. Prinsip-prinsip di atas, paralel dengan asas-asas penyelenggara pemilu yang
menjadi landasan KPU dan Bawaslu sebagaimana disebut pada pasal 3 UU Nomor 7
Tahun 2017. Asas-asas tersebut adalah: mandiri, jujur, berkepastian hukum, tertib,
terbuka, proporsional, professional, akuntabel, efektif dan efisien. Secara substansial
kombinasi prinsip-prinsip penyelenggara pemilu dan UU Nomor 7 Tahun 2017
menghasilkan konsep integritas penyelenggara pemilu dimana ada jaminan tahapan-
tahapan pemilu dijalankan sesuai asas-asas pemilu demokratik. Prinsip-prinsip
pemilu di atas merupakan tuntunan normatif, moral dan etik yang berfungsi sebagai
rule of conduct dan mengikat penyelenggara pemilu dalam melaksanakan tugasnya.
Jika penyelenggara pemilu mampu mengimplementasikan dengan konsisten ke dalam
tindakan baik menyangkut proses, kebijakan dan sikap maka tidak saja akan
menghadirkan penyelenggara pemilu yang berintegritas namun juga akan
menghasilkan pemilu yang integritas (electoral integrity). 19

19
ibid

8
BAB III. METODE PENULISAN
Dalam proses pengumpulan data penulis menggunakan metode penelitian
yang digunakan adalah yuridis normatif dengan teknik pengumpulan data melalui
studi kepustakaan, menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau masalah
yang menjadi obyek penelitian. Informasi tersebut dapat diperoleh dari buku-buku,
karya ilmiah, tesis, disertasi, dan internet. Dalam penuisan karya tulis ilmiah ini
menggunakan pendekatan konseptual, artinya Pendekatan ini beranjak dari
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.
Dan menggunakan pendekatan perundang-undangan, artinya pendekatan ini
dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan yang bersangkut
paut dengan permasalahan (isu hukum) yang sedang dihadapi. Adapun Undang-
undang yang digunakan adalah UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, UU
No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU No 40 tahun 2008 tentang Penghapusan
Diskriminasi RAS dan Etnis.

Kemudian penulisan karya tulis ilmiah inj dilakukan dengan cara


mengumpulkan data-data yang menyangkut dengan masalah yang ditulis melalui
penelusuran pustaka dan referensi sekunder lainnya. Setelah data-data terkumpul,
data-data tersebut kemudian dipelajari dan direduksi sehingga muncullah konsep
pembatasan pengaturan isu suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) dalam
penyelenggaraan pemilu yang sesuai dengan data dan diagnosis masalah.

9
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Problem Pengaturan isu suku,agama,ras dan antargolongan (Sara)
dalam UU Pemilu

Menurut Hans Kelsen, mengartikan hukum adalah tata aturan (rule) sebagai suatu
suatu sistem aturan-aturan (rules) tentang perilaku manusia. Dengan demikian hukum
tidak menumpuk pada satu aturanm tunggal (rule) tetapi seperangkat aturan (rules)
yang memiliki satu kesatuan sehingga dapat dipahami sebagai suatu sistem,
konsekuensinya adalah tidak mungkin memahami hukum jika hanya memperhatikan
satu aturan saja.20
. Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum merupakan rangkaian proses
penjabaran ide dan cita hukum yang memuat nilai-nilai moral seperti keadilan dan
kebenaran kedalam bentuk-bentuk konkrit, dalam mewujudkannya membutuhkan
suatu organisasi seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga
pemasyarakatan sebagai unsur klasik penegakan hukum yang dibentuk oleh negara,
dengan kata lain bahwa penegakan hukum pada hakikatnya mengandung supremasi
nilai substansial yaitu keadilan.21

A. Lemahnya upaya hukum preventif dalam pencegahan isu Sara dalam Pemilu

Dalam hal upaya menangani gejolak isu sara pada Pemilu, pemerintah
sebenarnya telah mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan untuk
penanggulangan terjadinya isu sara tersebut. Di antaranya undang-undang nomor 7
tahun 2017 tentang pemilihan umum. Dalam UU Pemilu tersebut, mengatur berbagai
larangan penggunaan isu Sara diatur dalam pasal 280 ayat 1 huruf c UU No 7 Tahun
2017 tentang Pemilu. Pasal tersebut merupakan pasal yang kurang tepat untuk
mencegah terjadinya isu Sara dalam Pemilu.

20
Jimly Asshidie Dan Ali Safa’at. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta: Sekjen Dan Kepaniteraan
MK-RI, 2006), hlm 13
21
Satjipto Rahardjo, 2009, Penegakan Hukum : Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing,
Yogyakarta. Hlm 7-9

10
Pada pasal tersebut berbunyi, bahwa pelaksana, peserta, dan tim kampanye
dilarang “menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta
pemilu yang lain”, kemudian huruf d menyatakan bahwa “Mereka dilarang pula
menghasut dan mengadu domba”. Ketentuan sanksi pidana pada tersebut diatur pada
pasal 521 yang menyatakan bahwa “Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim
Kampanye Pemilu yang dengan sengaja melanggar larangan pelaksanaan Kampanye
Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,
huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, atau huruf j dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00
(dua puluh empat juta rupiah)”. Maksud dan tujuan dari pasal 280 ini adalah untuk
mencegah terjadi penggunaan isu sara dalam Pemilu.

Namun, sebenarnya aturan tersebut lebih condong pada hukum yang bersifat
represif atau kuratif. Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk
menyelesaikan sengketa. Penanganan perlindungan hukum oleh Pengadilan Umum
dan Peradilan Administrasi di Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum ini.
Artinya, penindakannya dilakukan ketika pelanggaran sudah terjadi atau dilakukan
dan lebih pada penyelesaian sengketa. Hal inilah yang menjadi kelemahan daripada
UU Pemilu, ketika pelanggaran atau tindak pidana Sara dilakukan baru ada
penindakan.

Seharusnya didalam UU Pemilu tersebut lebih mengedepankan upaya-upaya


preventif atau pencegahan. Artinya, penindakan (pencegahan) dilakukan sebelum
terjadinya pelanggaran sehingga pelanggaran tersebut tidak terjadi. Perlindungan
hukum yang bersifat preventif justru bertujuan mengoptimalkan pencegahan
terjadinya pelanggaran, dimana selama ini UU Pemilu lebih fokus pada upaya
penindakan setelah kejadian atau penyelesaian sengketa. Hal ini yang perlu ditambah
dalam muatan materi UU Pemilu sehingga upaya pencegahan terjadinya pelanggaran
dapat dilakukan.

11
B. Delik aduan menjadi delik biasa

Di dalam UU Pemilu, terkait muatan penindakan terjadinya tindak pidana


Pemilu merupakan delik aduan. Artinya, suatu tindak pidana dalam UU Pemilu hanya
dapat diproses apabila diadukan oleh orang yang merasa dirugikan atau telah menjadi
korban. Hal tersebut bisa ditemui dalam pasal 454 ayat 3 UU tentang Pemilu yang
menyatakan “Laporan pelanggaran Pemilu merupakan laporan langsung Warga
Negara Indonesia yang mempunyai hak pilih, Peserta Pemilu, dan pemantau Pemilu
kepada Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu
Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, Panwaslu LN, dan/atau Pengawas TPS pada
setiap tahapan Penyelenggaraan Pemilu”. Di dalam penindakannya harus menunggu
laporan yang juga harus melewati tahap laporan masyarakat ke Bawaslu kemudian
diteruskan kepada pihak kepolisian. Hal tersebut bisa dilhat didalam pasal 476 yang
menyatakan bahwa “Laporan pelanggaran Pemilu merupakan laporan langsung
Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak pilih, Peserta Pemilu, dan pemantau
Pemilu kepada Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu
Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, Panwaslu LN, dan/atau Pengawas TPS pada
setiap tahapan Penyelenggaraan Pemilu“. Hal inilah yang berimplikasi pada
lemahnya penindakan tindak pidana pemilu oleh penegak hukum yang harus
menunggu laporan atau aduan. Sehingga masih saja terjadi penggunaan isu sara
dalam pemilu baik itu secara lisan maupun secara langsung.

Pengaturan larangan penggunaan isu sara yang menggunakan delik aduan


tidak hanya diatur dalam UU Pemilu. Awalnya kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) juga mengatur soal penyebaran kebencian dalam dimensi SARA yakni
terdapat dalam pasal 156, pasal 156a dan pasal 157. Jauh sebelum UU Pemilu
dibentuk, telah dibentuk pula Undang-undang No 40 tahun 2008 tentang
Penghapusan Diskriminasi RAS dan Etnis atau dikenal dengan UU Anti
Diskriminasin dalam menindak penyebaran kebencian SARA.

12
Namun, dua Undang-undang tersebut dinilai belum efektif dan dalam
prakteknya masih menemui batasan dalam pengeimplementasianya, khususnya
menyangkut penegakan hukum bagi mereka yang melakukan pelanggaran dengan
menjadikan SARA sebagai kontennya. Dalam hal ini kemudian lahirlah Undang –
Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal 28
ayat (2) merupakan ketentuan yang mulai digunakan dalam kasus kasus penyebaran
kebencian berbasis SARA Bunyi Pasal 28 ayat (2) UU ITE adalah sebagai berikut: “
b Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan
untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok
masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras,dan antar golongan
(SARA).”22

Konsep pengaturan penggunaan isu sara dalam KUHP, UU Diskriminiasi dan


UU ITE sama dengan konsep pengaturan dalam UU Pemilu. Artinya, sama-sama
menggunakan konsep perlindungan hukum yang bersifat represif dan menggunakan
delik aduan dalam penindakannya. Hal inilah yang lemahnya penindakan pengunaan
isu sara dalam pemilu yang berakibat pada disentegritas bangsa dan pemilu yang
tidak demokrasi. Sehingga diperlukan konsep pengaturan yang mampu mencegah
penggunaan isu SARA untuk mewujudkan pemilu demokratis yang integritas.

Oleh karena itu, perlu dimuat delik biasa dalam penanganan tindak pidana
pemilu dalam UU Pemilu. Artinya, penegak hukum tidak perlu menunggu laporan
atau aduan dari korban untuk memproses tindak pidana pemilu tersebut. Sehingga
dalam penindakannya penegak hukum dapat secara optimal dalam prosesnya
khususnya penggunaan isu SARA yang sering terjadi baik secara lisan maupun
tulisan.

22
Siregar. Bonanda Japatani. Problem Dan Pengaturan Cybercrime Melalui Aktifitas Internet Dalam
Kasus Sara Di Pilkada Serentak 2018. Jurnal Penelitian Pendidikan Sosial Humaniora. 3 (1). 4-5

13
C. Pengaturan kode etik tidak berlaku bagi peserta Pemilu
Dalam hal upaya menjaga etika dalam Pemilu, sebenarnya UU Pemilu telah
mengatur kode etik umtuk memberikan batasan-batasan dalam bertindak dan menjadi
pedoman bagi seseorang atau kelompok untuk bersikap dan bertindak dalam
penyelenggaraan Pemilu. Di dalam UU Pemilu mengenai kode etik diatur dalam
pasal 456 UU No 7 tahun 2017 tentan pemilu. Namun, permasalahannya dalam pasal
tersebut hanya mengatur kode etik yang berlaku bagi penyelenggara pemilu saja.
Pada pasal tersebut berbunyi, bahwa “Pelanggaran kode etik Penyelenggara
Pemilu merupakan pelanggaran terhadap etika Penyelenggara Pemilu yang
berdasarkan sumpah dan/atau janji sebelum menjalankan tugas sebagai
Penyelenggara Pemilu”. Artinya, dalam UU Pemilu tidak ada pengaturan mengenai
kode etik yang berlaku bagi peserta pemilu. Hal ini dapat berimplikasi terhadap tidak
adanya batasan-batasan dalam bertindak dan tidak adanya pedoman bagi seseorang
atau kelompok untuk bersikap dan bertindak dalam penyelenggaraan Pemilu.
Sehingga masih saja terjadi tindakan dari peserta pemilu, tim kampanye dan tim
sukses yang dapat mencederai Pemilu yang demokratis dikarenakan tidak adanya
pedoman etika dalam bertindak. Oleh karena itu, perlu dimuat pengaturan kode etik
yang berlaku bagi peserta Pemilu bukan hanya berlaku bagi penyelenggara Pemilu.
4.2 Konsep pengaturan pembatasan isu, suku, agama, ras dan
antargolongan (SARA) dalam penyelenggaraan Pemilu.
4.2.1 Konsep pengaturan preventif terhadap penggunaan isu SARA
dalam Pemilu

Dalam rangka mengatasi gejolak isu SARA dalam pemilihan umum guna
menciptakan stabilitas bangsa dan kebhinekaan, maka diperlukan sebuah konsep
pengaturan yang menekankan pada upaya-upaya pencegahan baik pecegahan bersifat
umum maupun khusus. Komisi pemilihan umum (KPU) selaku penyelenggara
pemilihan umum harus menerapkan upaya preventif dalam membatasi penggunaan
isu SARA. Dalam hal ini, perlu dorongan terhadap legislatif dan eksekutif untuk
membuat peraturan perundang-undangan yang menempatkan KPU sebagai
penyelenggara pemilihan umum untuk melakukan upaya-upaya pencegahan.

14
Sebagai perbandingan dalam hal menanggulangi money politik diperlukan
pelaporan dana kampanye pada KPU sebagai upaya pencegahan dari money politik
tersebut. Dimana laporan dana kampanye Pasangan calon dan tim kampanye yang
meliputi penerimaan dan pengeluaran wajib disampaikan kepada kantor akuntan
publik yang ditunjuk oleh KPU. begitu juga untuk membatasi gejolak isu Sara dalam
Pemilu maka upaya preventif perlu ditonjolkan. Untuk melakukan hal tersebut, maka
perlu penambahan tugas dan wewenang KPU didalam undang-undang nomor 7 tahun
2017 tentang pemilihan umum berupa penugasan terhadapan KPU untuk melakukan
pembinaan dan pelatihan kepada tim sukses parpol pengusung, caleg, dan tim
kampanye, karena dalam konstetasi Pemilu parpol pengusung, caleg, dan tim
kampanye memiliki peran penting dan berpengaruh dalam menentukan pemilu yang
demokratis.

Pembinaan yang akan diberikan terhadap tim sukses parpol pengusung, caleg, dan
tim kampanye berupa pelatihan yang mempunyai esensi pokok adalah bersama-sama
mewujudkan pemilihan umum yang demokratis. Dengan pembinaan ini diharapkan
tim sukses, parpol pengusung, caleg, dan tim kampanye mampu memahami
hambatan-hambatan dan kesadaran dalam mewujudkan pemilu berintegritas. Dalam
pelatihan ini akan dibagi menjadi beberapa tahap yang akan diadakan indoor dan
outdoor. Adapun tahapan-tahapannya sebagai berikut:

1. Tahap Awareness Of Democracy And Law

Tujuan dari tahap ini adalah agar tim sukses, parpol pengusung, caleg, dan tim
kampanye mampu mengetahui, memahami dan sharing akan kesadaran berdemokrasi
dan hukum. Tahapan ini akan dilakukan didalam satu ruangan atau indoor.

Isi daripada tahapan ini berupa :

 Materi discussion tentang kebhinekaan

 Analisa permasalah & kebutuhan bangsa dalam pemilu

15
 Pemahaman pemilu yang demokratis & berintegritas

 UU Pemilu dan PKPU

2. Tahap Cooperation And Unity

pada tahap ini bertujuan agar tim sukses, parpol pengusung, caleg, dan tim
kampanye membangun relasi dan kerja sama ditengah perbedaan yang ada sehingga
menjunjung tinggi persatuan atau kebhinekaan. Pada tahap ini akan dibagi menjadi
beberapa tim dan metode berupa pemberian masalah seperti bahaya politik sara dalam
integritas bangsa, money politic yang mencrocoti demokrasi, dan lain sebagainya.
Kemudian masing-masing tim diberi waktu untuk bagaimana menyelesaikan
permasalahan tersebut yang menuntut adanya sebuah kerja sama dan persatuan
dengan mengedepankan toleransi dan nilai-nilai pancasila dalam menyelesaikan
masalah tersebut sehingga menumbuhkan rasa tanggung jawab bersama akan suatu
permasalahan bangsa.

Manfaat daripada tahapan ini berupa :

 Rasa toleransi terhadapan perbedaan

 Rasa tanggung jawab bersama akan permasalahan bangsa

 Menjunjung tinggi persatuan atau kebhinekaan

 Mampu Kerja sama bersama penyelenggara & stakeholders dalam Pemilu

 Berkompetisi sehat

3. Tahap declaration of demokratic elections

Tahap akhir ini adalah evaluasi dari tahap-tahap sebelumnya yang kemudian
para peserta membuat memorandum of understanding and declaration of demokratic
elections yang bertujuan bahwa adanya komitmen bersama agar mewujudkan

16
pemilihan umum yang demokratis dan berintegritas. Adapun isi MoU yang dibuat
dan ditanda tangani oleh perwakilan tim sukses, tim kampanye dan parpol pengusung
serta masing-masing caleg berupa :

 Menjunjung tinggi pemilihan umum yang demokratis dan berintegritas

 Tidak menyebar informasi hoax dalam kampanye baik itu disosial media atau
secara langsung

 Tidak menggunakan politik isu sara dalam kampanye pemilihan umum

 Menolak adanya money politic

 Dan hal-hal yang dilarang secara hukum

 Apabila hal-hal tersebut dilanggar maka akan dikenai sanksi berupa :

1. Pembubaran tim kampanye & tim sukses

2. Pencoretan terhadap peserta pemilihan umum

3. Dan hal-hal yang dilarang secara hukum

Setelah menyepakati Mou maka dilanjutkan dengan deklarasi semua peserta


pelatihan baik itu KPU sebagai penyelenggara pemilihan umu ataupun tim sukses,
parpol pengusung, caleg, dan tim kampanye untuk mewujudkan pemilihan umu yang
demokratis dan berintegritas.

5 Forum Koordinasi Pencegahan Penggunaan Isu SARA dalam Pemilu (FKPPIP)

Upaya pencegahan haruslah dilaksanakan melalui kerja sama yang baik antara
KPU selaku penyelenggara pemilu, Bawaslu dan instansi-instansi terkait seperti
Kejaksaan, Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat
(Bakesbanglinmas), Kepolisian, Kementerian Komunikasi dan Informatika

17
(Kominfo) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) demi terwujudnya
penyelenggaraan pemilu yang demokratis. Agar kerjasama yang dibangun dapat
berjalan secara optimal. Maka diperlukan adanya lembaga baru yang fokus mencegah
penggunaan isu SARA yang kerap digunakan sekarang ini.

Forum Koordinasi Pencegahan Penggunaan Isu SARA dalam Pemilu


(FKPPIP) adalah Forum yang dibentuk untuk melaksanakan upaya pencegahan isu
SARA melalui koordinasi yang intensif antara Bawaslu, Bakesbanglinmas,
Kepolisian, Kominfo, Kejaksaan, dan Kemendagri untuk melaksanakan program
pencegahan yang efektif yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada dimasyarakat dan
nilai-nilai demokrasi.

FKPPIP selaku forum pencegahan tentunya akan sangat gencar melakukan


langkah-langkah preventif kepada seluruh lapisan masyarakat baik itu kepada parpol
pengusung, caleg, tim kampanye dan peserta pemilu. FKPPIP juga akan selalu
memantau perkembangan zaman dan dinamika kehidupan dalam masyarakat agar
dapat menerapkan program pencegahan dengan efektif dan efisien untuk menjadikan
penyelenggaraan pemilu yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi dan jauh dari
penggunaan isu SARA sehingga terciptanya Negara demokrasi yang berintegritas.

4.2.2. Konsep pengaturan represif terhadap penggunaan isu sara dalam


penyelenggaraan pemilu

Hukum berfungsi sebagai pelindungan kepentingan manusia, agar kepentingan


manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan secara profesional. Pelaksanaan
hukum dapat berlangsung normal, damai, dan tertib. Hukum yang telah dilanggar
harus ditegakkan melalui penegakkan hukum. Penegakkan hukum menghendaki
kepastian hukum, kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiable terhadap
tindakan sewenang-wenang. Sehingga diperlukan subtansi hukum yang konkrit agar
penegakakan hukum oleh penegak hukum terlaksana dengan semestinya.

18
a. Pengaturan mengenai delik biasa dalam UU Pemilu

Di dalam penyelenggaraan pemilu sering kali terjadi tindak pidana pemilu seperti
penggunaan isu sara yang sering kali lemah dalam penindakannya. Hal ini
dikarenakan lunaknya pengaturan tindak pidana pemilu didalam UU Pemilu hanya
menggunakan delik aduan. Pengaturan mengenai delik aduan dalam UU Pemilu bisa
dilihat dalam Pasal 476 ayat 1 yang menyatakan bahwa “Laporan dugaan tindak
pidana Pemilu diteruskan oleh Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu
Kabupaten/Kota, dan/atau Panwaslu Kecamatan kepada Kepolisian Negara Republik
Indonesia paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam sejak Bawaslu,
Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, dan/atau Panwaslu Kecamatan
menyatakan bahwa perbuatan atau tindakan yang diduga merupakan tindak pidana
Pemilu”.

Di dalam pasal tersebut penegak hukum dalam hal ini kepolisian harus menunggu
laporan terlebih dahulu baru bisa menindak tindak pidana pemilu tersebut. Kemudian
didalam pasal tersebut juga, ada tahapan melalui Bawaslu terlebih dahulu yang
kemudian diteruskan kepada kepolisian. Hal inilah yang membuat lamban dan lemah
dalam penindakan terhadap pengguna isu sara dalam penyelengaraan pemilu. Oleh
karena itu, perlu dimuat delik biasa didalam UU Pemilu agar penindakan terhadap
pengguna isu sara dalam penyelenggaraan pemilu atau tindak pidana pemilu dapat
lebih optimal lagi.

b. Pengaturan kode etik bagi peserta pemilu

Etika sebagai sistem nilai atau norma-norma moral yang menjadi pedoman bagi
seseorang atau kelompok untuk bersikap dan bertindak. Di dalam penyelenggaraan
pemilu diperlukan kode etik yang akan memberikan batasan-batasan dalam bertindak
bagi penyelenggara pemilu dan peserta pemilu. Namun didalam UU Pemilu
pengaturan mengenai kode etik hanya diperuntukkan bagi penyelenggara pemilu saja.
Hal tersebut bisa dilihat dalam pasal 456 UU Pemilu yang menyatakan bahwa

19
“Pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu merupakan pelanggaran terhadap
etika Penyelenggara Pemilu yang berdasarkan sumpah dan/atau janji sebelum
menjalankan tugas sebagai Penyelenggara Pemilu”.

Di dalam pasal tersebut menunjukkan bahwa kode etik hanya berlaku bagi
penyelenggara pemilu. Padahal, proses pemilu tidak hanya dilaksanakan oleh
penyelenggara pemilu. Di sisi lain, ada banyak komponen seperti peserta pemilu, tim
kampanye, dan tim sukses yang ikut serta dalam proses pemilu. Dalam hal
penyelenggaraan pemilu, komponen tersebut juga bisa mempengaruhi suksesnya
proses pemilu. Oleh karena itu, perlu dibuatkan pengaturan mengenai kode etik bagi
peserta pemilu, tim kampanye, dan tim sukses. Sehingga ketika ada pelanggaran kode
etik dan pelanggaran pemilu seperti penggunaan isu sara dalam pemilu bisa dikenai
sanksi administratif selain sanksi pidana.

c. Pengaturan sanksi administrasi pelanggaran kode etik peserta Pemilu

Setelah dimuat aturan kode etik terhadap peserta pemilu tersebut, maka perlu
adanya pengaturan mengenai sanksi terhadap pelanggran kode etik bagi peserta
Pemilu didalam UU Pemilu. Konsep pengaturan sanksi yang bisa diberikan terhadap
pelanggaran kode etik bagi peserta Pemilu adalah sanksi administratif. Penekanan
sanksi administratif bagi peserta pemilu yang melanggara kode etik bagi peserta
Pemilu ini diperlukan untuk memperkuat upaya represif atau penindakan didalam UU
Pemilu. Sanksi administratif bisa berupa larangan terhadap pemberitaan, penyiaran,
dan iklan kampanye pemilu yang dapat dilakukan melalui media massa cetak, media
daring (online), media sosial, dan lembaga penyiaran. Dan/atau sanksi administratif
lainnya yang mampu memberikan effect jera bagi peserta pemilu yang melanggar
kode etik bagi peserta Pemilu tersebut. Oleh karena itu, perlu dimuat mengenai sanksi
administratif pada pelanggaran kode etik bagi peserta pemilu agar terwujudnya
penyelenggaran Pemilu yang baik dan demokratis.

20
d. Analisis dampak, masalah dan kelebihan Konsep Pengaturan Pembatasan Isu
SARA dalam Penyelenggaraan Pemilu untuk Mewujudkan Pemilu yang Demokratis

Dampak 1. Menciptakan Penyelenggaraan Pemilu yang


demokratis dan bermartabat

2. Menciptakan penyelenggaraan Pemilu yang


sesuai dengan asas penyelenggaraan Pemilu
(mandiri, jujur, berkepastian hukum, tertib,
terbuka, proporsional, professional, akuntabel,
efektif dan efisien)

Manfaat 1. Memberikan masukan sekaligus alternative


solusi kepada pemerintah RI, DPR,
penyelenggara Pemilu dan partai politik
tentang upaya untuk membatasi isu suku,
agama, ras dan antargolongan dalam
penyelenggaraan pemilu.
2. Memberikan kontribusi pada keilmuan dan
sebagai sumber dan bahan masukan bagi
penulis lain untuk menggali dan melakukan
penelitian.

Kelebihan 1. KPU selaku penyelenggara Pemilu dan juga


badan-badan terkait turut serta aktif dalam
mencegah penggunaan isu SARA dengan
koordinasi yang baik.
2. Tindakan represif yang efektif dapat tercipta
karena menggunakan delik biasa sehingga
tidak harus menunggu laporan untuk

21
penindakan dalam penggunaan isu SARA
dalam pemilu

Table 1 Analisis Dampak,Manfaat dan Kelebihan

22
BAB V PENUTUP

5.1 KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa UU Pemilu memiliki problem
dalam pembatasan isu SARA dalam Pemilu, diantaranya:

1. Lemahnya upaya hukum preventif dalam pencegahan isu Sara dalam Pemilu.
Dalam UU Pemilu hanya menfokuskan pada upaya hukum yang lebih bersifat
represif dari pada preventif. Padahal, upaya hukum preventif atau pencegahan lebih
optimal dalam pencegahan penggunaan isu SARA dalam Pemilu.

2. Di dalam UU Pemilu, terkait muatan penindakan terjadinya tindak pidana Pemilu


merupakan delik aduan. Artinya, harus ada pengaduan terlebih dahulu baru ada
penindakan oleh penegak hukum. Hal ini berimplikasi pada lemahnya penindakan
pengunaan isu Sara sehingga dapat mencederai Pemilu yang demokratis. Oleh karena
itu, diperlukan muatan delik aduan dalam UU pemilu agar penindakkan oleh penegak
hukum bisa lebih cepat tanpa menunggu pengaduan.

3. Pengaturan kode etik tidak berlaku bagi peserta Pemilu. Di dalam UU Pemilu
hanya mengatur kode etik yang berlaku bagi penyelenggara Pemilu. Padahal, sangat
perlu dimuat aturan kode etik bagi peserta Pemilu dalam UU Pemilu karena peserta
Pemilu memiliki pengaruh besar dalam mewujudkan Pemilu demokratis yang
berintegritas. Sehingga, peserta Pemilu diberi batasan dan pedoman dalam bertindak
dalam penyelenggaraan Pemilu.

Konsep pengaturan pembatasan penggunaan isu SARA dalam UU Pemilu melalui


upaya hukum preventif dan represif:

1. Upaya preventif berupa Pembinaan yang akan diberikan terhadap tim sukses parpol
pengusung, caleg, dan tim kampanye berupa pelatihan yang mempunyai esensi pokok
adalah bersama-sama mewujudkan pemilihan umum yang demokratis. Dengan
pembinaan ini diharapkan tim sukses, parpol pengusung, caleg, dan tim kampanye

23
mampu memahami hambatan-hambatan dan kesadaran dalam mewujudkan pemilu
berintegritas.

2. Kemudian upaya preventif lainnya yaitu pembentukan Forum koordinasi


pencegahan penggunaan isu sara dalam Pemilu (FKPPIP), Upaya pencegahan
haruslah dilaksanakan melalui kerja sama yang baik antara KPU selaku
penyelenggara pemilu, Bawaslu dan instansi-instansi terkait seperti Kejaksaan, Badan
Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Bakesbanglinmas), Kepolisian,
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan Kementerian Dalam
Negeri (Kemendagri) demi terwujudnya penyelenggaraan pemilu yang demokratis.
Agar kerjasama yang dibangun dapat berjalan secara optimal. Maka diperlukan
adanya lembaga baru yang fokus mencegah penggunaan isu SARA dalam Pemilu
yaitu Forum koordinasi pencegahan penggunaan isu sara dalam Pemilu (FKPPIP).
Lembaga yang fokus terhadap pencegahan penggunaan isu SARA dalam Pemilu.

3. Upaya represif, dengan memuat delik biasa dalam UU Pemilu agar penegak hukum
tidak perlu menunggu laporan atau pengaduan dari korban. Karena delik aduan dalam
UU Pemilu inilah yang membuat lamban dan lemah dalam penindakan terhadap
pengguna isu sara dalam penyelengaraan pemilu. Oleh karena itu, perlu dimuat delik
biasa didalam UU Pemilu agar penindakan terhadap pengguna isu sara dalam
penyelenggaraan pemilu atau tindak pidana pemilu dapat lebih optimal lagi.

4. Kemudian upaya represif lainnya adalah dengan memuat pengaturan kode etik
yang berlaku bagi peserta pemilu. Karena dalam hal penyelenggaraan pemilu, peserta
Pemilu juga bisa mempengaruhi suksesnya proses pemilu. Oleh karena itu, perlu
dibuatkan pengaturan mengenai kode etik bagi peserta pemilu, tim kampanye, dan
tim sukses. Sehingga ketika ada pelanggaran kode etik dan pelanggaran pemilu
seperti penggunaan isu sara dalam pemilu bisa dikenai sanksi administratif selain
sanksi pidana.

24
5. Setelah memuat pengaturan kode etik bagi peserta Pemilu, diperlukan pula sanksi
untuk memperkuat kode etik tersebut. Adapun sanksi pelanggaran kode etik bagi
peserta Pemilu yaitu sanksi administratif. Penekanan sanksi administratif bagi peserta
pemilu yang melanggara kode etik bagi peserta Pemilu ini diperlukan untuk
memperkuat upaya represif atau penindakan didalam UU Pemilu. Oleh karena itu,
perlu dimuat mengenai sanksi administratif pada pelanggaran kode etik bagi peserta
pemilu agar terwujudnya penyelenggaran Pemilu yang baik dan demokratis.

5.2 SARAN
Untuk menerapkan gagasan yang telah diuraikan, maka rekomendasi yang
dapat diberikan adalah Presiden dan DPR RI mengubah UU No. 07 Tahun 2017
Tentang Pemilu dengan memuat konsep pengaturan preventif dan represif dalam
pencegahan penggunaan isu SARA dalam penyelenggaraan Pemilu. Sehingga, dapat
terwujudnya Pemilu yang demokratis dan berintegritas.

25
Daftar Pustaka
Liasta, A. (2018). Nasionalisme Etnis Tionghoa (Studi Tentang Nilai-Nilai Kritis Soe
Hok dalam Demokrasi Indonesia).
Soerjono Soekanto. 2004. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegeakan Hukum
Cetakan Kelima.Jakarta: Raja Grafindo Persada
Siregar. Bonanda Japatani. Problem dan Pengaturan Cybercrime Melalui Aktifitas
Internet Dalam Kasus Sara dI Pilkada Serentak 2018. Jurnal Penelitian Pendidikan
Sosial Humaniora. 3 (1). 4-5

JimlyAsshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusialisme Indonesia, Edisi Kedua, Cetakan


Pertama, SinarGrafika, Jakarta Timur, 2011

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 2011

A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, Hak


Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta,
2006

Asshiddiqie, Jimly, 2005, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Cetakan
kedua. SinarGrafika, Jakarta.

Jean Jacques Rousseau,Du Contract Social (Perjanjian Sosial), Cetakan Pertama,


Visimedia, Jakarta, 2007

Rizkiyansyah, F. K. (2007). Mengenal Pemilu Menatap Demokrasi. Bandung: IDEA


Publishing.

Muhammad AsHukam, Pemilihan Umum dan Legitimasi Poiitik, daiam Syamsudin


Haris(ed), Menggugat Pemilu Orde Baru (Jakarta:Yayasan Buku Obor, 1998),

Global Commissionon Elections, Democracy & Security. (2014). Deepening


Democracy: A Strategy for Improving the Integrity of Elections World wide

Asshiddiqie, Jimly. 2013 .Menegakkan Etika Penyelenggara Pemilu. PT Raja


Grafindo kerjasama dengan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu :Jakarta.

Guy S. Goodwin-Gill, Free and Fair Elections: International Law and Practice,Inter-
Parliamentary Union,Geneva, 1994

26
Siregar. Bonanda Japatani. Problem Dan Pengaturan Cybercrime Melalui Aktifitas
Internet Dalam Kasus Sara Di Pilkada Serentak 2018. Jurnal Penelitian Pendidikan
Sosial Humaniora.

Jimly Asshidie Dan Ali Safa’at. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta: Sekjen
Dan Kepaniteraan MK-RI, 2006),

Satjipto Rahardjo, 2009, Penegakan Hukum : Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta


Publishing, Yogyakarta.

Bawaslu.go.id. (2018).’’RINGKASAN EKSEKUTIF INDEKS KERAWANAN


PEMILU 2019’’.http://bawaslu.go.id/id/publikasi/ringkasan-eksekutif-indeks-
kerawanan-pemilu-2019 (diakses pada 16 Oktober 2018)

Cnnindonesia.com. (2018). ‘’Survei Lipi: Isu Sara Berpotensi Hambat Pemilu 2019’’.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180808090003-32-320434/survei-lipi-isu-
sara-berpotensi-hambat-pemilu-2019 (diakses pada 16 Oktober 2018)
Liputan6.com. (2018). ‘’Dubes Moazzam: Politikus Indonesia Jangan Main-Main
dengan Isu Sara’’. https://www.liputan6.com/global/read/3647457/dubes-moazzam-
politikus-indonesia-jangan-main-main-dengan-isu-sara (diakses pada 16 Oktober
2018)
Liputan6.com. (2018).’’Polri: Penyebaran Isu Sara Meningkat saat Pilkada 2018’’.
https://www.liputan6.com/pilkada/read/3411568/polri-penyebaran-isu-sara-di-
medsos-meningkat-saat-pilkada-2018 (diakses pada 16 Oktober 2018)
Liputan6.com. (2018).’’Isu Sara unutk Politik Merusak Demokrasi Indonesia’’.
https://www.liputan6.com/news/read/3486996/pengamat-isu-sara-untuk-politik-
merusak-demokrasi-indonesia (diakses pada 16 oktober 2018)
Suara.com. (2018).’’Isu SARA di Pemilu 2019 Berpotensi Sengaja Dibuat Elite
Politik’’ https://www.suara.com/news/2018/08/07/123219/isu-sara-di-pemilu-2019-
berpotensi-sengaja-dibuat-elit-politik (diakses pada 16 oktober 2018)
Bawaslu.go.id.2017. ‘’INTEGRITAS PENYELENGGARAAN PEMILU:
REFLEKSI PENYELENGGARAAN PEMILUKADA SERENTAK 2015 DI
JATIM’’
http://www.bawaslu.go.id/sites/default/files/publikasi/03%20JURNAL%20BAWASL
U.pdf (diakses pada 18 oktober 2018)

27
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Curriculum Vitae

I. Data Pribadi

1. Nama : Muhammad
2. Tempat dan Tanggal Lahir : Pancor, 04 April 1998
3. Jenis Kelamin : Laki-Laki
4. Agama : Islam
5. Status Pernikahan : belum menikah
6. Warga Negara : Indonesia
7. Alamat : Pancor, Selong Lombok Timur NTB
9. Nomor Telepon / HP : 087799041224
10. e-mail : muhammadbahasyuwen44@gmail.com

Demikian CV ini saya buat dengan sebenarnya.


Mataram, 20 Oktober 2018

(MUHAMMAD)

28
29
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Curriculum Vitae

I. Data Pribadi

1. Nama : Zaki Akbar


2. Tempat dan Tanggal Lahir : Sambas, 13 Juli 1997
3. Jenis Kelamin : Laki-Laki
4. Agama : Islam
5. Status Pernikahan : belum menikah
6. Warga Negara : Indonesia
7. Alamat : Dasan Borok, Suralaga Lombok timur
NTB
9. Nomor Telepon / HP : 085337550503
10. e-mail : akbarzaki301@gmail.com

Demikian CV ini saya buat dengan sebenarnya.


Mataram, 20 Oktober 2018

(ZAKI AKBAR)

30
31

Anda mungkin juga menyukai