Anda di halaman 1dari 44

TINJAUAN HUKUM PERIKATAN TENTANG UNSUR WANPRESTASI DAN

GANTI RUGI PADA PUTUSAN Nomor 224/Pdt.G/2017/PN.Jkt.Sel.

Dosen Pengampu :

Siti Nurul Intan, S.H., M.Kn

Disusun Oleh :

Halida Sabrina A. 1710611024

Nuraini 1710611038

Erlangga Ficahyo P. 1710611057

Kevin Febriansyah 1710611086

HUKUM PERIKATAN
KELAS D

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA

2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas segala hikmat dan rahmat yang telah
dilimpahkan-Nyalah akhirnya makalah TINJAUAN HUKUM PERIKATAN TENTANG
UNSUR WANPRESTASI DAN GANTI RUGI PADA PUTUSAN Nomor
224/Pdt.G/2017/PN.Jkt.Sel. ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perikatan
di Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta. Selain itu penulis mengharapkan
agar makalah ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak memiliki kekurangan. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang positif agar makalah
ini menjadi lebih baik dan berdaya guna dimasa yang akan datang.

Harapan penulis, mudah-mudahan makalah yang sederhana benar-benar membuktikan


bahwa mahasiswa dapat lebih berperan serta dalam pembangunan masyarakat pada kenyataan
sehari-hari dan bermanfaat bagi pembaca umumnya serta rekan mahasiswa khususnya. Amin.

Jakarta, Mei 2019

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang 1
1.2 Rumusan masalah 2

2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Perikatan 3
2.2 Pengertian Perjanjian 3
2.3 Syarat Sahnya Perjanjian 4
2.4 Asas-Asas Perjanjian 6
2.5 Perbuatan Melawan Hukum 7
2.6 Pengertian Wanprestasi 8
2.7 Macam-Macam Bentuk Wanprestasi 9
2.8 Ganti Rugi Terhadap Perbuatan Wanprestasi 9

3. KASUS POSISI
3.1 Penggugat 11
3.2 Tergugat 11
3.3 Dalil Penggugat 11
3.4 Dalil Tergugat 15
3.5 Pertimbangan Hukum Hakim 20

4. PEMBAHASAN
4.1 Keabsahan Suatu Perjanjian Jual Beli Ditinjau Dari Hukum Perikatan 28
4.2 Tinjauan Hukum Perikatan Dalam Terhadap Wanprestasi Dan Perbedaannya
Dengan Perbuatan Melawan Hukum pada Putusan Nomor
224/Pdt.G/2017/PN.Jkt.Sel 30
4.3 Bentuk Ganti Rugi Terhadap Perbuatan Wanprestasi pada Putusan Nomor
224/Pdt.G/2017/PN.Jkt.Sel 33

5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan 38
5.2 Saran 39

DAFTAR PUSTAKA 40

iii
iv
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tanah bagi kehidupan manusia mempunyai kedudukan yang sangat penting. Hal ini
disebabkan hampir seluruh aspek kehidupannya terutama bagi bangsa Indonesia tidak dapat
terlepas dari keberadaan tanah yang sesungguhnya tidak hanya dapat ditinjau dari aspek
ekonomi saja, melainkan meliputi segala kehidupan dan penghidupannya.

Sejarah peradaban manusia telah membuktikan bahwa tanah merupakan salah satu faktor
utama dalam menentukan produksi pada setiap fase peradaban. Tanah memiliki nilai-nilai,
baik ekonomis yang tinggi, filosofis, politik, sosial, kultural, dan ekologis yang menjadikan
tanah sebagai sebuah harta berharga yang sangat dibutuhkan dan ada banyak kepentingan
yang membutuhkannya, sehingga terus-menerus dan bahkan dapat memicu berbagai masalah
sosial yang rumit dikarenakan perkembangan penduduk dan kebutuhan yang menyertainya
tidak sebanding dengan luasan tanah yang tidak pernah bertambah dan oleh karena adanya
ketimpangan dari struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah serta
ketimpangan terhadap sumber-sumber produksi lainnya.

Tanah merupakan sumber daya alam yang sangat dibutuhkan manusia, di mana kebutuhan
manusia akan tanah selalu bertambah, dan ketersediaan akan tanah terbatas. Kebutuhan tanah
tersebut baik dari segi ekonomi, sosial maupun segi teknologi. Tanah juga merupakan tempat
dimana manusia hidup dan berkembang, serta sumber bagi kepentingan hidup manusia pada
umumnya. Oleh karena terbatasnya tanah maka berdampak kepada nilai jual tanah yang
semakin tinggi karena didasarkan pada semakin banyaknya permintaan atas tanah untuk
pembuatan sarana umum, seperti hotel, rumah sakit, dan rumah makan ataupun sarana pribadi
seperti rumah, villa dan lain-lain.1

Sebagai Negara yang berlatar belakang agraris, tanah merupakan sesuatu yang memiliki nilai
yang sangat penting di dalam kehidupan masyarakat di Indonesia, terlebih lagi bagi petani di
pedesaan. Tanah berfungsi sebagai tempat di mana warga masyarakat bertempat tinggal dan
tanah juga memberikan penghidupan baginya. 2

Pertumbuhan penduduk di kota terus meningkat, menuntut kebutuhan ruang yang terus
menerus bertambah. Selain jumlah penduduk dan pendatang yang selalu bertambah, gaya
hidup penduduk kota yang dinamis juga menuntut munculnya kebutuhan-kebutuhan ruang
baru untuk melengkapi proses perkembangan kota. Perkembangan pemukiman ini
memunculkan banyaknya developer hunian yang memberikan penawaran-penawaran yang
menarik konsumen untuk membeli atau menginvestasikan hartanya pada bisnis apartemen.

Dalam lapangan kehidupan sehari-hari seringkali Bisnis perumahan di perkotaan maupun di


pinggiran merupakan sektor yang sangat menjanjikan. Tak pelak apabila perusahaan

1
Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, (Malang: Bayumedia, 2007), hal 1.
2
Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011),
hal 172.

1
pembangunan perumahan (Pengembang) swasta tumbuh menjamur. Permasalahan yang
kerap muncul dalam pemenuhan kebutuhan terhadap perumahan adalah aspek-aspek
mengenai konsumen, di mana konsumen berada pada posisi yang dirugikan. Banyak kasus
terjadi dalam bisnis properti/perumahan antara lain kasus yang menyangkut ketidaksesuaian
berupa jadwal penyerahan rumah yang molor, gambar arsitektur, gambar denah dan
spesifikasi teknik bangunan, kualitas bangunan tidak sesuai perjanjian, serta fasilitas-fasilitas
lain seperti fasilitas pemasangan air, instalasi listrik dan sarana prasarana lingkungan
(fasilitas umum dan sosial), maupun masalah legalitas seperti misalnya Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) dan sertifikat rumah. IMB dan sertifikat yang dijanjikan kepada konsumen
pada saat promosi penjualan rumah tidak dipenuhi.3

Hubungan bisnis dalam pelaksanaannya tentunya didasarkan pada suatu perjanjian atau
kontrak. Perjanjian atau kontrak merupakan serangkaian kesepakatan yang dibuat oleh para
pihak untuk saling mengikatkan diri.

Menurut pasal 1313 buku III KUHPerdata tetang perikatan – perikatan yang lahir dari
kontrak atau perjanjian menyatakan : “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Pasal 1457 Bab V bagian kesatu tentang jual beli, buku III KUHPerdata menyatakan : “Jual
– beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah
dijanjikan”.

Banyaknya kasus yang merugikan konsumen dalam bidang bisnis properti khususnya rumah
susun atau apartemen, terutama dalam hal perjanjian pengikatan jual beli (PPJB), maka
penting untuk mengetahui bentuk wanprestasi dan tanggung jawab developer dalam
perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) rumah susun atau apartemen.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana Keabsahan Suatu Perjanjian Jual Beli Ditinjau Dari Hukum Perikatan?
2. Bagaimana Tinjauan Hukum Perikatan Dalam Terhadap Wanprestasi Dan
Perbedaannya Dengan Perbuatan Melawan Hukum pada Putusan Nomor
224/Pdt.G/2017/PN.Jkt.Sel?
3. Bagaimana Bentuk Ganti Rugi Terhadap Perbuatan Wanprestasi pada Putusan
Nomor 224/Pdt.G/2017/PN.Jkt.Sel.?

3
Erwin Kallo dkk, Kolom Konsultasi Hukum dan Arsitektur, Majalah Idea, Edisi 27/03- April, 2011, hlm 44.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Perikatan

Hukum perikatan merupakan bagian dari hukum harta kekayaan. Dalam sistematika ilmu
pengetahuan hukum, harta kekayaan diatur dalam buku III yang mencakup hubungan antara
orang dan benda, hubungan antara orang dan orang. Sedangkan hukum yang mengatur
hubungan antara orang dan orang diatur dalam buku III tentang perikatan. Perikatan adalah
terjemahan dari istilah dalam bahasa Belanda “verbintenis”. Perikatan artinya hal yang
mengikat antara orang yang satu dan orang yang lain.4

Hal yang mengikat adalah suatu peristiwa hukum yang dapat berupa perbuatan, kejadian, dan
keadaan. Peristiwa hukum tersebut menciptakan hubungan hukum. Perikatan lahir karena
suatu persetujuan atau karena Undang-undang.5

Perikatan yang bersumber dari perjanjian (Pasal 1313 KUHPer), terdiri dari:

1. Perjanjian bernama,yakni perjanjian yang sudah ditentukan dan diatur dalam


Perpu/UU. Misalnya: jual-beli, sewa-menyewa.
2. Perjanjian tidak bernama, yakni perjanjian yang belum ada dalam UU. Misalnya:
leasing, dsb.

Perikatan yang bersumber dari Undang-Undang (Pasal 1352 KUHPer)

1. Undang-undang saja (1352 KUHPer), contohnya: hak numpang pekarangan.


2. Undang-undang karena perbuatan orang (Pasal 1353 KUHPer), contohnya: perbuatan
yang halal (1354 KUHPer) dan perbuatan yang melawan hukum (1365 KUHPer).6

2.2. Pengertian Perjanjian

Pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata menyatakan bahwa: “Suatu perjanjian
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih”. Ketentuan pasal 1313 KUHPerdata tersebut menurut Abdul Kadir
Muhammad sebenarnya banyak mengandung kelemahan yang dapat diuraikan sebagai
berikut:

a. Hanya menyangkut sepihak saja, hal ini dapat dilihat dari kalimat “satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata mengikatkan diri
bersifat sepihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusannya adalah saling
mengikatkan diri sehingga ada konsensus di antara para pihak;

4
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti 2000), hlm.198
5
Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Sinar Grafika, 1999), hlm.313
6
https://www.sumbbu.com/2016/04/hukm-perdata-hukum-perikatan-pengertian-macam-sumber.html

3
b. Kata “perbuatan” juga mencakup tanpa konsensus. Pengertian “perbuatan”
termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwarneming). Tindakan
melawan hukum (onrechtmatige daad) yang tidak mengandung suatu konsensus seharusnya
dipakai kata persetujuan;

c. Pengertian perjanjian terlalu luas, pengertian perjanjian dalam pasal tersebut adalah
terlalu luas karena mencakup juga perlangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam
lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan
kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan
perjanjian yang bersifat personal saja;

Berdasarkan alasan yang dikemukakan di atas maka perlu dirumuskan kembali apa yang
dimaksud dengan perjanjian itu. Beberapa Sarjana Hukum yang memberikan definisi
mengenai perjanjian adalah sebagai berikut:

a. R. Setiawan menyatakan bahwa: “Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, di


mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap
satu orang atau lebih.”7

b. Menurut Subekti definisi dari perjanjian adalah “suatu peristiwa dimana seseorang
berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melakukan
sesuatu.” 8

Berdasarkan pengertian perjanjian yang dikemukakan oleh beberapa sarjana hukum tersebut
di atas, maka dapat disimpulkan menurut pendapat penulis bahwa perjanjian adalah suatu
perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih, dalam lapangan harta kekayaan pihak yang
satu berhak atas sesuatu dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.

2.3. Syarat Sahnya Perjanjian

Syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata, yang terbagi dalam 4
(empat) syarat, di antaranya adalah sebagai berikut:

a. Sepakat Mereka yang Mengikatkan Diri

b. Kecakapan untuk Membuat Suatu Perjanjian

c. Suatu Hal Tertentu

d. Suatu Sebab yang Halal

Berdasarkan uraian syarat sahnya perjanjian yang telah dijelaskan di atas, maka terkait
dengan syarat pertama dan kedua dinamakan dengan syarat subjektif sementara syarat ketiga
dan keempat dinamakan dengan syarat objektif. Terkait denga syarat subjektif tersebut,
apabila tidak dipenuhi, maka akibat hukumnya adalah perjanjian itu menjadi dapat
dibatalkan. Artinya para pihak harus memenuhi unsur ini, dimana kesepakatan maupun unsur

7
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1987, hlm. 4.
8
Subekti, Hukum Perjanjian, PT Intermasa, Jakarta, 2006, hlm. 1.

4
kecakapan harus dipenuhi, dapat dibatalkan membawa konsekuensi, bahwa perjanjian itu
telah membawa akibat terhadap para pihak bahwa terhadap perjanjiannya sejak adanya
gugatan atau putusan pengadilan terhadap suatu perjanjian itu menjadi dapat dibatalkan,
karena adanya gugatan atau putusan pengadilan tersebut, dapat dimintakan pembatalan oleh
salah satu pihak, misalnya untuk yang belum cakap menurut hukum diajukan oleh orang tua
atau walinya, atau ia sendiri apabila sudah cakap.9

Sedangkan bila syarat objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian itu akibatnya batal demi
hukum, yang membawa konsekuensi bahwa dari sejak semula perjanjian itu menjadi tidak
membawa akibat hukum apa-apa, karena perjanjian ini telah bertentangan dengan undang-
undang, ketertiban umum maupun kesusilaan, jadi secara yuridis dari semula tidak ada suatu
perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat
perjanjian dan demikian tidaklah dapat pihak yang satu menuntut pihak yang lain di depan
hakim, karena dasar hukumnya tidak ada.

Perjanjian pada pokoknya bisa dibuat bebas, tidak terikat bentuk, dan tercapai tidak secara
formil, tetapi cukup melalui konsensus belaka, sebagaimana ditegaskan Pasal 1320
KUHPerdata bahwa kesepakatan oleh para pihak, yang berada dalam perjanjian, mengikat
bagi para pihak. Sepakat oleh merka yang mengikatkan diri adalah hal yang esensial dalam
perjanjian, sehingga dengan kata sepakat tersebut, suatu perjanjian memenuhi keabsahan
sehingga dapat mengikat pihak-pihak yang membuatnya.10

Sepakat juga berlaku karena kedua belah pihak sama-sama setuju hal-hal yang pokok dari
suatu perjanjian yang diadakan. Pihak-pihak tersebut menghendaki suatu hal pokok yang
bersifat timbal balik disepakati oleh para pihak. Oleh karenanya terjadilah persesuaian
kehendak yang dapat dilakukan dengan cara:

a. Bahasa yang sempurna dan tertulis;

b. Bahasa yang sempurna secara lisan;

c. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan;

d. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya;

e. Diam atau membisu asal dipahami atau diterima pihak lawan.

Menurut pasal 1321 KUHPerdata kata sepakat yang mengabsahkan perjanjian dikecualikan
dalam kedaan tertentu yaitu:

a. Kekhilafan (dwaling)

Suatu perjanjian mengandung unsur kekhilafan apabila para pihak, baik secara bersama
ataupu masing-masing telah dipengaruhi oleh pandangan atau kesan yang ternyata tidak
benar. Hal ini dilakukan tanpa sepengetahuan atau disadari oleh masing-masing pihak

9
Subekti, loc.cit
10
Subekti, loc.cit

5
tersebut. Pada sepengetahuan atau disadari oleh masing-masing pihak tersebut. Pada
prinsipnya Pasal 1322 KUHPerdata memiliki dua ketentuan pokok. Pertama kekhilafan
bukanlah alasan untuk membatalkan perjanjian. Kedua terdapat pengecualian terhadap
perjanjian tersebut, sehingga pembatalan perjanjian tetap dapat dilakukan karena kekhilafan
tertentu. Objek kekhilafan yang dikecualikan disini menurut KUHPerdata terdiri dari
beberapa hal:

1) Kekhilafan terhadap objek barang, yaitu kekhilafan yang terjadi atas objek dari perjanjian,
sehingga terjadi kesalahfahaman terhadap objek perjanjian. Bagi para pihak objek perjanjian
yang sesungguhnya tidak sesuai yang diperjanjikan dalam perjanjian.
2) Kekhilafan terhadap subjek perjanjian, yaitu kesalahan menyangkut pihak yang dimaksud
dalam perjanjian. Misalnya terjadi karena kesamaan nama, alamat dan lain-lain, sehingga
pihak yang dimaksud tertukar.

b. Paksaan (geweld)

Paksaan diatur dalam Pasal 1323 KUHPerdata bahwa perjanjian dapat dibatalkan apabila
terjadi paksaan, baik dari pihak tertentu maupun dari pihak ketiga, sedangkan pengertian
paksaan, diatur dalam Pasal 1324 KUHPerdata yaitu apabila sebuah perbuatan dilakukan
sedemikian rupa sehingga mengakibatkan ketakutan pada orang yang melakukan perjanjian
dan rasa terancam terhadap dirinya atau kekayaannya secara terang dan nyata, oleh karena itu
makna paksaan adalah kekerasan jasmani atau ancaman mempengaruhi kejiwaan yang
menimbulkan ketakutan pada orang lain.

c. Penipuan (bedrog)

Penipuan diatur dalam Pasal 1328 KUHPerdata sebagai perbuatan yang juga dapat
membatalkan perjanjian yaitu apabila terjadi tipu muslihat terhadap salah satu pihak, yang
sudah pasti tidak akan sepakat apabila tahu senyatanya isi perjanjian tersebut. Penipuan ini
pada prinsipnya harus dibuktikan dan tidak bisa dipersangkakan. Hal ini sebagaimana
dikemukakan oleh Munir Fuady bahwa konsekuensi hukum jika syarat kesepakatan kehendak
tidak terpenuhi dalam suatu kontrak, sama halnya tidak terpenuhinya syarat kewenangan
membuat perikatan, dan oleh karenanya bila syarat kesepakatan kehendak ini tidak terpenuhi,
maka akibat hukumnya adalah “dapat dibatalkan” (vernietigebaar voidable).

2.4. Asas-asas Perjanjian

a. Asas kebebasan berkontrak, yaitu asas dimana setiap orang dapat secara bebas
membuat perjanjian selama memenuhi syarat sah perjanjian dan tidak melanggar hukum,
kesusilaan, serta ketertiban umum. Sesuai dengan pasal 1338 ayat (1) yang berbunyi :

“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya artinya perjanjian apapun dan dengan siapapun selama perjanjian tersebut tidak
melanggar hukum yang berlaku maka perjanjian tersebut sah.”

b. Asas Kepastian Hukum, yaitu para pihak dalam perjanjian memiliki kepastian
hukum dan oleh karenanya dilindungi oleh hukum, sehingga bila terjadi sengketa dalam

6
pelaksanaan perjanjian, maka hakim dengan keputusannya dapat memaksa agar para pihak
yang melanggar itu melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan isi perjanjian yang
dibuat.

c. Asas Itikad Baik dalam pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
yaitu kedaan batin para pihak dalam membuat dan melaksanakan perjanjian harus jujur,
terbuka dan saling percaya. Kedaan batin para pihak itu tidak boleh dicemari oleh maksud-
maksud untuk melakukan tipu daya atau menutup-nutupi keadaan yang sebenarnya.

d. Asas Konsensualisme dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,


yaitu kesepakatan, pada dsaarnya perjanjian sudah lahir sejak detik tercapainya kata sepakat.
Perjanjian telah mengikat begitu kata sepakat diucapkan atau dinyatakan, sehingga
sebenarnya tidak perlu lagi formalitas tertentu kecuali dalam hal undang-undang memberika
syarat formalitas tertentu terhadap suatu perjanjian.

e. Asas kepribadian dalam pasal 1315 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu
isi perjanjian hanya mengikat para pihak secara personal, tidak mengikat pihak-pihak lain
yang tidak memberika kesepakatannya, seseorang hanya dapat mewakili dirinya sendiri dan
tidak dapat mewakil orang lain dalam membuat perjanjian. Perjanjian yang dibuat oleh para
pihak hanya berlaku bagi yang membuatnya.

f. Asas Pacta Sunt Servanda dalam pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
adalah asas kepastian hukum dalam perjanjian, yaitu para pihak dalam perjanjian memiliki
kepastian hukum dan karenanya dilindungi oleh hukum, sehingga jika terjadi sengketa dalam
pelaksanaan perjanjian maka hakim dengan keputusannya dapat memaksa agar pihak yang
melanggar itu melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan perjanjian.

2.5 Perbuatan Melawan Hukum

Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad) dalam konteks perdata diatur dalam Pasal
1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek (“BW”), dalam Buku
III BW, pada bagian “Tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan demi Undang-Undang”,
yang berbunyi:

“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan
orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

Menurut Rosa Agustina, dalam bukunya Perbuatan Melawan Hukum, terbitan Pasca Sarjana
FH Universitas Indonesia (2003), hal. 117, dalam menentukan suatu perbuatan dapat
dikualifisir sebagai melawan hukum, diperlukan 4 syarat:

1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku

2. Bertentangan dengan hak subjektif orang lain

3. Bertentangan dengan kesusilaan

7
4. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.11

Unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum (PMH) terdiri dari 4 unsur Perbuatan Melawan
Hukum (PMH):

1. Adanya Perbuatan Melawan Hukum

Dikatakan PMH, tidak hanya hal yang bertentangan dengan UU, tetapi juga jika berbuat atau
tidak berbuat sesuatu yang memenuhi salah satu unsur berikut:

• Bertentangan dengan hak orang lain;

• Bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri;

• Bertentangan dengan kesusilaan;

• Bertentangan dengan keharusan (kehati-hatian, kepantasan, kepatutan) yang harus


diindahkan dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau benda.

2. Adanya unsur kesalahan

Unsur kesalahan dalam hal ini dimaksudkan sebagai perbuatan dan akibat-akibat yang dapat
dipertanggungjawabkan kepada si pelaku.

3. Adanya kerugian

Yaitu kerugian yang timbul karena PMH. Tiap PMH tidak hanya dapat mengakibatkan
kerugian uang saja, tetapi juga dapat menyebabkan kerugian moril atau imateril, yakni
ketakutan, terkejut, sakit dan kehilangan kesenangan hidup.

4. Adanya hubungan sebab akibat

Unsur sebab-akibat dimaksudkan untuk meneliti adalah hubungan kausal antara perbuatan
melawan hukum dan kerugian yang ditimbulkan sehingga si pelaku dapat
dipertanggungjawabkan.12

2.6. Pengertian Wanprestasi

Wanprestasi diatur di dalam Pasal 1238 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “Si berutang
adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah
dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang
harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”

Wanprestasi artinya tidak memenuhi sesuatu yang diwajibkan seperti yang telah ditetapkan
dalam perikatan. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur disebabkan oleh dua
kemungkinan alasan, yaitu: karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhi

11
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5142a15699512/perbuatan-melawan-hukum-dalam-
hukum-perdata-dan-hukum-pidana
12
http://lampung.tribunnews.com/2018/02/01/perbuatan-apa-yang-dimaksud-melawan-hukum-perdata?page=2

8
kewajiban maupun karena kelalaian dan karena keadaan memaksa (overmacht atau force
majeure), jadi di luar kemampuan debitur.

Tindakan wanprestasi ini dapat terjadi karena:

1. Kesengajaan;

2. Kesalahan;

3. Tanpa kesalahan (tanpa kesengajaan atau kelalaian).13

2.7. Macam-Macam Bentuk Wanprestasi

Dalam pemenuhan suatu perjanjian sebagaimana diterangkan diatas ada kemungkinan salah
satu pihak yang tidak berprestasi, dalam hal ini adalah pihak yang belum melaksanakan
kewajibannya yang biasa disebut debitur. Bentuk atau wujud wanprestasi dapat dibedakan
menjadi beberapa. Adapun bentuk atau wujud dari wanprestasi yaitu:14

1) Tidak memenuhi prestasi sama sekali;

Sehubungan dengan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur
tidak memenuhi prestasi sama sekali.

2) Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya;

Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap
memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.

3) Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.

Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat
diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.

2.8 Ganti Rugi Terhadap Perbuatan Wanprestasi

Pasal 1243 KUH Perdata menyebutkan bahwa Debitur wajib membayar ganti rugi, jika
setelah dinyatakan lalai ia tetap tidak memenuhi prestasi itu maka dapat menimbulkan
kerugian. Kerugian yang bisa dimintakan penggantikan itu tidak hanya biaya-biaya yang
sungguh- sungguh telah dikeluarkan (kosten), atau kerugian yang sungguh-sungguh menimpa
benda si berpiutang (schaden), tetapi juga berupa kehilangan keuntungan (interessen), yaitu
keuntungan yang didapat seandainya siberhutang tidak lalai (winstderving) dalam menepati
janji15

13
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2007,
hlm. 88
14
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Putra Abadin, Jakarta, 1999, cet. 6, hlm.18.
15
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta 2005, cet. 32, hlm.148.

9
Kerugian yang terjadi harus mendapatkan ganti rugi. Ganti rugi itu sendiri terdiri dari biaya,
rugi, dan bunga. Seperti telah disebutkan dalam Pasal 1244 sampai dengan Pasal 1246 KUH
Perdata.

a. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata- nyata sudah dikeluarkan
oleh suatu pihak.

b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang


diakibatkan oleh kelalaian si debitur.

c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan, yang sudah dibayarkan atau
dihitung oleh kreditur.

Segala sesuatu tentang wanprestasi sudah diatur di dalam KUH Perdata, sebagaimana telah
disebutkan bahwa segala macam kerugian yang terjadi karena wanprestasi dapat dikenai ganti
rugi. Ganti rugi tersebut dapat berupa biaya yang telah dikeluarkan, kerugian yang diderita
dan bunga yang diperjanjikan para pihak. Segala pengaturan wanprestasi dan cara
penyelesaian sudah diatur secara jelas dan rinci, tinggal bagaimana penyelesaiannya oleh
penegak hukum yang berwenang. Misalnya dalam penerapan kasus wanprestasi dalam bidang
fidusia dan pembiayaan konsumen yang segala macam aturannya dapat ditemukan didalam
undang-undang yang mengatur.

10
BAB 3
KASUS POSISI

3.1 Penggugat

KURNIAWANSYAH M., S.T., M.M., bertempat tinggal di Perum Jati Jajar, Blok 22, Nomor
09, RT.06 RW.010, Jati Jajar, Tapos, Depok, dalam hal ini memberi kuasa kepada Ibrahim
Fajri,S.H.,ME.I., Umar Said Leurima,S.H., dan Syahjohan Wahyudin,S.H., para Advokat,
beralamat Kantor di Cilebut Garden, Blok A, Nomor 21, Cilebut Barat, Sukaraja, Bogor,
berdasarkan Surat Kuasa Khusus, tanggal 3 Maret 2017, selanjutnya disebut sebagai
Penggugat.

3.2 Tergugat

PT. SPEKTA PROPERTY INDONESIA, beralamat di Jalan Raya Lenteng Agung Timur
Nomor 39, Jagakarsa, Jakarta Selatan, dalam hal ini memberi kuasa kepada
R.Supramono,S.H., dan Arief Taufani,S.H., para Advokat, yang berkantor di Jalan Tirtayasa
X Nomor 3, Lantai 3, Kebayoran Baru, Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 13
April 2017, selanjutnya disebut sebagai Tergugat;

3.3 Dalil Penggugat

1. Bahwa Penggugat adalah konsumen atau pembeli Satu Unit Apartemen LA City Nomor :
A/16/5/2 BR, luas 30 M2 dan Tergugat adalah Pengembang sekaligus penjual apartemen La
City, yang berlokasi di Jalan Raya Lenteng Agung Timur Nomor 39, Jagakarsa, Jakarta
Selatan ;

2. Bahwa pada tanggal 06 Juli 2013, Penggugat dan Tergugat sepakat dan menandatangani
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Nomor 400/PPJB/LACITY/VII/2013 dengan Objek
Perjanjian berupa Satu Unit Apartemen LA City Nomor : A/16/5/2 BR, luas 30 M2 dengan
harga jual Rp.269.511.482 (Dua Ratus Enam Puluh Sembilan Juta Lima Ratus Sebelas Ribu
Empat Ratus Delapan Puluh Dua Rupiah) di hadapan Notaris Dr. Ir. Franz Astani., SH.,
M.Kn., SE., MBA., MM., MSI. Di wilayah hukum Jakarta Selatan;

3. Bahwa selaku pembeli Penggugat telah melaksanakan kewajiban berupa pembayarannya,


dan untuk pelunasannya apabila terjadi serah terima unit sebagaimana yang disepakati
Tergugat dengan Penggugat;

4. Bahwa sebagimana pasal 15 ayat (1) Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) nomor
400/ppjb/lacity/vii/2013 tanggal 6 Juli 2013, Tergugat akan melaksanakan penyerahan serah
terima unit Apartemen LA City Nomor: A/16/5/2 BR, luas 30 M2 pada tanggal 30 Desember
2013;

11
5. Sebagaimana Pasal 11 ayat (2), (3), dan (4) Perjanjian Pengikatan Jual Beli ( PPJB ) nomor
400/ppjb/lacity/vii/2013 tanggal 6 Juli 2013, bahwa perpanjangan waktu penyelesaian
pembangunan oleh Tergugat dibagi dalam 3 tahap;
Yaitu :
Dengan waktu 120 hari kalender setelah jatuh tempo;
Dengan waktu 90 hari kalender setelah perpanjangan waktu pertama,dan
Dengan waktu 60 hari kalender setelah perpanjangan kedua;
Maka secara keseluruhan perpanjangan waktu penyelesaian pembangunan oleh Tergugat
adalah 270 hari kalender; sehingga secara jelas Tergugat telah menciderai janji (Wanprestasi)
sehingga hal tersebut sangat merugikan Penggugat;

6. Sebagaimana pasal 11 ayat (5) perjanjian pengikatan jual beli nomor


400/ppjb/lacity/vii/2013 tanggal 6 juli 2013, bahwa keterlambatan Tergugat menyelesaikan
pembangunan sesuai perjanjian maka dikenakan denda 0,1% dari jumlah uang yang telah
diterima dari pihak kedua untuk setiap hari dengan maksimal 5% dari nilai jual Rp.
269.511.482 yaitu sebesar Rp.13.475.574,1,- (tiga belas juta empat ratus tujuh puluh lima
ribu lima ratus tujuh puluh empat koma satu rupiah);

7. Bahwa hingga Penggugat mengajukan Gugatan ini unit apartemen LA City Nomor :
A/16/5/2 BR, luas 30 M2 yang dimaksud, belum juga diterima Penggugat;

8. Sebagaimana Pasal 11 ayat (6), (7), dan (8) perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) Nomor
400/PPJB/LACITY/VII/2013 Tanggal 6 Juli 2013, bahwa dalam 90 Hari kalender
perpanjangan waktu yang kedua, Penggugat dapat mengakhiri secara sepihak perjanjian ini,
dan Tergugat wajib mengembalikan seluruh uang yang diterima oleh Pihak Kedua dengan
ditambah denda maksimal 5%;

9. Bahwa perbuatan Tergugat yang telah ingkar dari janjinya (berupa penyelesaian pekerjaan
unit apartemen LA City Nomor : A/16/5/2 BR, luas 30 M2 dan diserahkan kepada Penggugat
selaku Konsumen/ pembeli adalah merupakan perbuatan wanprestasi sebagaimana yang
dijelaskan dalam pasal 1234 KUH Perdata tiap tiap perikatan yaitu untuk memberikan
sesuatu, untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu;

10. Bahwa Perbuatan wanprestasi yang dilakukan oleh Tergugat sebagaimana diuraikan
diatas, melahirkan hak bagi Penggugat untuk menuntut segala ganti kerugian, bunga dan
biaya denda yang diakibatkan oleh perbuatan wanprestasi tersebut (vide: Pasal 1243
KUHPerdata), sehingga karenanya cukup alasan bagi gugatan ini;

11. Bahwa sesuai dengan Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan
semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya: sehinga perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) Nomor
400/PPJB/LACITY/VII/2013 Tanggal 6 Juli 2013 sah dan menjadi Undang undang bagi
Penggugat dan Tergugat;

12
12. Bahwa dalam pasal 1244 dan 1245 mengatur pembebasan apabilah terjadi force majeur
atau overmacht, atau karena keadaan yang tidak disengaja/keadaan memaksa. sehingga tidak
ada alasan bagi Tergugat untuk menyatakan bahwa tergugat mengalami kondisi Force
Majeur, maka sudah sepatutnya Tergugat mengganti seluruh kerugian yang di derita
Penggugat;

13. Bahwa adapun kerugian-kerugian akibat perbuatan yang dilakukan Tergugat, sebagai
berikut :
KERUGIAN MATERIL :
o Bahwa Nilai Investasi objek gugatan di Tanggal 14 Febuari 2015 adalah
Rp.565.909.092,- (Lima Ratus Enam Puluh Lima Juta Sembilan Ratus Sembilan Ribu
Sembilan Puluh Dua Rupiah);
o Denda Keterlambatan 5% dari Nilai Jual Rp. 269.511.482 yaitu Sebesar
Rp.13.475.574,- (Tiga Belas Juta Empat Ratus Tujuh Puluh Lima Ribu Lima Ratus
Tujuh Puluh Empat Rupiah);
o Bahwa akibat perbuatan ingkar janji (wanprestasi) yang telah dilakukan oleh Tergugat
tersebut, mengakibatkan keuntungan Investasi Penggugat hilang dan juga
menyebabkan kepercayaan Penggugat untuk berinvestasi di bidang Property
Khususnya Apartemen menghilang, hal mana apabila dinilai dengan uang adalah
setara dan patut ditetapkan sebesar Rp. 100.000.000,- (Seratus Juta Rupiah);
o Bahwa Total Kerugian Penggugat sebesar Rp.679.384.666,- (Enam Ratus Tujuh
Puluh Sembilan Juta Tiga Ratus Delapan Puluh Empat Ribu Enam Ratus Enam Puluh
Enam Rupiah);
o Bahwa apabila Tergugat lalai melaksanakan putusan a quo sangatlah beralasan
kiranya agar Tergugat dihukum untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp.
1.000.000,- (Satu Juta Rupiah) setiap harinya sejak putusan ini berkuatan hukum
tetap;
o Bahwa Tergugat agar dihukum membayar segala biaya yang timbul dalam perkara
ini;
o Bahwa disamping itu timbul kekuatiran pada Penggugat, pada saat perkara ini diputus
oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan putusan nantinya akan menjadi
sia-sia, mengingat tergugat akan berupaya untuk mengalihkan dan/atau
menghilangkan dan/atau menjadikannya tidak utuh lagi baik untuk seluruhnya
maupun untuk sebagian atas objek gugatan yang berlokasi di Jalan Raya Lenteng
Agung Timur Nomor 39, Jagakarsa, Jakarta Selatan, dengan spesifikasi sebagai
berikut :
 Tower : A
 Lantai : 16
 Nomor Unit : 5
 Tipe : 2 Br
 Luas : 30 M2;
sehingga dengan mengacu kepada pasal 720 reglement op de rechtsvordering (rv) dan pasal
227 het herziene indonesisch reglement (hir), maka beralasan apabila Penggugat mohon

13
kepada majelis hakim pengadilan negeri jakarta selatan yang memeriksa perkara ini untuk
meletakkan sita jaminan (revindicatoir beslag) atas objek gugatan dimaksud;
Bahwa untuk tidak menunggu lama di karenakan Penggugat telah banyak, mengalami
keruigian, dimohon kepada Majelis Hakim Pemeriksa agar putusan ini dapat dijalankan lebih
dahulu meskipun ada bantahan (verzet), banding atau kasasi (uit voerbaar bijvoorad);

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, Penggugat memohon kepada Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan untuk memanggil para pihak yang bersengketa pada suatu persidangan yang
ditentukan untuk itu guna memeriksa dan mengadili gugatan ini dan selanjutnya berkenan
untuk memberikan putusan sebagai berikut ;

1. Menerima dan mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;


2. Menyatakan sah dan mengikat Perjanjian Pengikatan Jual Beli Nomor
400/PPJB/LACITY/VII/2013 Tanggal 6 Juli 2013 antara Penggugat dan Tergugat;
3. Menyatakan Tergugat telah melalaikan kewajibannya dengan tidakmelakukan
penyerahan Serah Terima Unit/Pinjam Pakai Unit dari pada OBJEK GUGATAN
kepada Penggugat karena alasan pembangunan belum selesai adalah perbuatan cidera
janji (wanprestasi);
4. Menyatakan Penggugat telah melunasi seluruh kewajibannya;
5. Menyatakan sah dan mengikat pembayaran yang dilakukan oleh Penggugat dengan
sistem Kontan bertahap melalui Tunai dan Giro;
6. Menyatakan sah dan mengikat Nilai Investasi OBJEK GUGATAN di Tanggal 14
Febuari 2015 yang di tawarkan oleh Tergugat melalui Pameran JCC yang Penggugat
kutip dari Media Online yaitu Merdeka.com dengan link internet
https://m.merdeka.com/uang/pamerandi-jcc-tawarkan apartemen -rp-400-juta-di-
jaksel-dan-jaktim.html;
7. Menghukum Tergugat untuk membayar uang ganti kerugian kepada Penggugat secara
tunai dan seketika dengan rincian sebagai berikut:

KERUGIAN MATERIL :
1. Nilai Investasi OBJEK GUGATAN di Tanggal 14 Febuari 2015 adalah
2. Rp.565.909.092,- (Lima Ratus Enam Puluh Lima Juta Sembilan Ratus Sembilan Ribu
Sembilan Puluh Dua Rupiah);
3. Denda Keterlambatan 5% dari Nilai Jual Rp. 269.511.482 yaitu Sebesar
Rp.13.475.574,- (Tiga Belas Juta Empat Ratus Tujuh Puluh Lima Ribu Lima
RatusTujuh Puluh Empat Rupiah);

KERUGIAN IMMATERIL :
Bahwa akibat perbuatan ingkar janji (wanprestasi) yang telah dilakukan oleh Tergugat
tersebut, mengakibatkan keuntungan Investasi Penggugat Hilang dan juga menyebabkan
kepercayaan Penggugat untuk berinvestasi di bidang Property Khususnya Apartemen
menghilang, hal mana apabila dinilai dengan uang adalah setara dan patut ditetapkan sebesar
Rp. 100.000.000,- (Seratus Juta Rupiah);

14
TOTAL KERUGIAN:
Adalah sebesar Rp.679.384.666,- ( Enam Ratus Tujuh Puluh Sembilan Juta Tiga Ratus
Delapan Puluh Empat Ribu Enam Ratus Enam Puluh Enam Rupiah);
Menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp. 1.000.000,-
(Satu Juta Rupiah) setiap harinya sejak putusan ini berkuatan hukum tetap;
Menghukum Tergugat agar membayar segala biaya yang timbul dalam perkara ini;
Menyatakan sah dan berharga sita jaminan (Conservatoir Beslag) yang telah diletakkan
dalam perkara ini terhadap OBJEK GUGATAN yang berlokasi di Jalan Raya Lenteng
Agung Timur Nomor 39, Jagakarsa, Jakarta Selatan, dengan Spesifikasi sebagai berikut :
- Tower : A
- Lantai :16
- Nomor Unit : 5
- Tipe : 2 BR
- Luas : 30 M2;
Menyatakan putusan ini dapat dijalankan lebih dahulu meskipun ada bantahan (verzet),
banding atau kasasi (uit voerbaar bijvoorad); Namun apabila Yang Terhormat Bapak Ketua
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Cq. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
yang memeriksa dan mengadili perkara ini berpendapat lain, dengan mengacu pula pada hak-
hak proporsionalitas pihak-pihak terkait pada permasalahan ini, serta dengan tetap memegang
teguh prinsip-prinsip hukum yang berlaku di Negara ini, Kami mohonkan keadilan yang
seadil-adilnya (ex aequo et bono);

3.4 Dalil Tergugat

DALAM EKSEPSI

GUGATAN PENGGUGAT KABUR DAN TIDAK JELAS (OBSCUUR LIBEL) KARENA


PENGGUGAT TELAH MENGGABUNGKAN ANTARA GUGATAN PERBUATAN
MELAWAN HUKUM DENGAN GUGATAN WANPRESTASI.

1. Bahwa M. Yahya Harahap dalam Hukum Acara Perdata, cetakan ke 13, penerbit Sinar
Grafika, halaman 455 menjelaskan bahwa gugatan wanprestasi memiliki perbedaan dengan
gugatan Perbuatan Melawan Hukum. Salah satu perbedaan tersebut dapat dilihat dari segi
tuntutan ganti rugi. Bahwa berdasarkan Pasal 1236 dan 1243 KUH Perdata mengatur jenis
ganti rugi yang dapat dituntut dalam gugatan wanprestasi yaitu terdiri dari:

 Kerugian yang dialami;


 Keuntungan yang akan diperoleh;
 Bunga.

Sebaliknya, Pasal 1365 KUH Perdata sebagai dasar hukum gugatan Perbuatan Melawan
Hukum :

 Tidak menyebut bagaimana bentuk ganti rugi;


 Tidak menyebutkan rincian ganti rugi;

15
 Dengan demikian yang dapat dituntut:

- Kerugian materil;

- Kerugian imateril.

2. Bahwa dalam Gugatan PENGGUGAT dapat diketahui dalam posita angka 5, 9 s/d 10
PENGGUGAT mendalilkan bahwa TERGUGAT telah melakukan perbuatan wanprestasi. N
A M U N, apa yang dituntut PENGGUGAT dalam petitum 7 adalah kerugian materil dan
immateriil yang mana merupakan hak menuntut yang timbul akibat dari Perbuatan Melawan
Hukum. Maka dalam hal ini, PENGGUGAT telah mencampuradukkan antara gugatan
wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum dalam Gugatannya;

3. Bahwa M. Yahya Harahap dalam Hukum Acara Perdata, cetakan ke 13, penerbit Sinar
Grafika, halaman 455, menjelaskan bahwa tidak dibenarkan mencampuradukan wanprestasi
dengan PMH di dalam gugatan. Maka sesuai dengan Yurisprudensi Tetap Putusan
Mahkamah Agung RI No.1875 K/Pdt/1984 tanggal 29 April 1986 menyatakan, bahwa
“penggabungan gugatan perbuatan melawan hukum dengan perbuatan ingkar janji tidak
dibenarkan dalam tertib beracara dan harus diselesaikan tersendiri pula”. Akibat dari
pencampuradukan antara gugatan wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum, maka
gugatan menjadi kabur (obscuurliebel). Oleh karenanya, gugatan harus dinyatakan tidak
dapat diterima (niet ontvankeijke veerklaard);

GUGATAN PENGGUGAT PREMATUR KARENA TIDAK DIDAHULUI DENGAN


SOMASI YANG MENYATAKAN BAHWA TERGUGAT TELAH MELAKUKAN
WANPRESTASI.

4. Bahwa merujuk ke Pasal 1238 KUH Perdata yang berbunyi: “Si berutang adalah lalai,
apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai,
atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap
lalai dengan lewatnya waktu yg ditentukan”;

Dan Pasal 1243 KUH Perdata yang berbunyi:

“Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai
diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi
perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan
atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan”;

5. Berdasarkan kedua pasal tersebut, gugatan terhadap perkara wanprestasi hanya dapat
dilakukan jika telah dilakukan peringatan kepada TERGUGAT bahwa TERGUGAT telah
melakukan tindakan wanprestasi. Namun, hingga gugatan ini diajukan, TERGUGAT sama
sekali belum menerima surat peringatan (somasi) dari PENGGUGAT yang menyatakan
bahwaTERGUGAT telah melakukan tindakan wanprestasi. Maka sudah sepatutnya Majelis
Hakim menyatakan gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke veerklaard);

16
6. Bahwa hal-hal yang telah TERGUGAT kemukakan didalam eksepsi, mohon dianggap
termasuk dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam pokok perkara ini;

7. Bahwa TERGUGAT menolak dengan tegas dalil-dalil dari PENGGUGAT dalam


gugatannya kecuali yang secara tegas diakui secara benar oleh TERGUGAT;

8. Bahwa atas dalil angka 1 s/d 8 Gugatan PENGGUGAT maka terdapat fakta bahwa telah
ditandatanganinya Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Nomor :
400/PPJB/LACITY/VII/2013 tertanggal 6 Juli 2013 antara PENGGUGAT dan TERGUGAT,
dimana syarat subyektif yaitu adanya kata sepakat dari PENGGUGAT dan TERGUGAT
yang dituangkan dalam Perjanjian tersebut dan adanya kecakapan antara PENGGUGAT dan
TERGUGAT untuk mengadakan perjanjian serta syarat obyektif yaitu adanya objek yang
diperjanjikan dan objek tersebut adalah suatu yang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, kesusilaan dan ketertiban umum hal ini sebagaimana
yang dinyatakan dalam ketentuan pasal 1320 KUHPerdata telah dipenuhi oleh
PENGGUGAT dan TERGUGAT oleh sebab itu, Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)
Nomor : 400/PPJB/LACITY/VII/2013 tertanggal 6 Juli 2013 keberadaannya berlaku sah
sebagai undang-undang bagi PENGGUGAT dan TERGUGAT berdasarkan pasal 1338
paragraf (1) KUHPerdata Perjanjian tersebut yang harus ditaati baik oleh PENGGUGAT
maupun TERGUGAT dengan berlandasan itikad baik sebagaimana yang dinyatakan dalam
pasal 1338 paragraf 3 KUH Perdata;

9. Bahwa TERGUGAT menolak dengan tegas dalil PENGGUGAT pada angka 12


gugatannya yang pada pokoknya menyatakan bahwa tidak ada alasan bagi TERGUGAT
untuk menyatakan bahwa TERGUGAT mengalami force majeur. Hal ini haruslah dilakukan
pembuktian apakah TERGUGAT mengalami force majeur atau tidak selama melaksanakan
pembangunan Apartemen Lenteng Agung City. Bahwa tidak dapat diselesaikannya
Apartemen Lenteng Agung City tepat waktu, TERGUGAT punya alasan sebagai berikut:

a. Bahwa dalam ketentuan pasal 20 Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Nomor :
400/PPJB/LACITY/VII/2013 tertanggal 6 Juli 2013 tentang FORCE MAJEURE
(KEADAAN MEMAKSA) terdapat ketentuan yang pada intinya apabila keterlambatan atau
kegagalan pembangunan tersebut diakibatkan oleh kejadian atau peristiwa yang secara layak
dan patut tidak dapat dihindari atau berada diluar kemampuan PIHAK PERTAMA, maka
para pihak secara tegas MENYETUJUI bahwa PIHAK PERTAMA termasuk seluruh
afiliasinya perusahaan PIHAK PERTAMA dan karywan-karyawannya tidak akan
bertanggung jawab dan/atau dituntut baik secara perdata maupun pidana dan/atau tuntutan
ganti kerugian dalam bentuk apapun dan jumlah berapapun untuk bertanggung jawab atas
setiap keterlambatan atau kegagalan atau kesalahan untuk memenuhi sesuatu atau beberapa
kewajibannya, khususnya untuk meyelesaikan pembangunan sarusun Apartemen LA City.
Maka dalil PENGGUGAT yang menyatakan tidak ada alasan bagi TERGUGAT untuk
menyatakan bahwa TERGUGAT mengalami kondisi force majeure merupakan dalil yang
tidak berdasar;

17
b. Bahwa alasan TERGUGAT tidak menyelesaikan secara tepat waktu bukannya tanpa ada
alasan hukum, melainkan terdapat alasan hukum yang sangat jelas karena pada saat itu terjadi
perubahan regulasi atau peraturan dari Pemerintah Daerah DKI Jakarta, seperti: Perubahan
Ijin Lantai yang semula 24 lantai berubah menjadi 17 lantai;

- Bahwa Retribusi Persetujuan Prinsip Penyelesaian Koefisien Lantai Bangunan (KLB) yang
terdapat pada pasal 2 ayat (1) huruf c angka 26 Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibu
Kota Jakarta Nomor : 1 tahun 2006 tentang Retribusi Daerah, dimana diakhir masa jabatan
Gubernur Fauzi Bowo, yaitu pada tanggal 1 Oktober 2012, Peraturan Daerah Nomor : 1 tahun
2006 tersebut sudah tidak berlaku lagi;

- Bahwa Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, nomer: 3 tahun 2012
tentang Retribusi Daerah. Bab XXVI, Pasal 147, tentang Ketentuan Penutup. Pada saat
Peraturan Daerah ini berlaku, Peratuan Daerah nomer 1 tahun2006, tentang Retribusi Daerah
(lembaran Daerah-daerah Khusus Ibu kota Jakarta tahun 2006, nomer 1) dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku. Dengan tidak diberlakukan kembali Perda tentang Retribusi Daerah
tersebut diatas, maka permohonan Pelampauan Koefisien Lantai Bangunan (KLB) untuk 24
lantai tidak terealisasi;

- Sedangkan permohonan penggunaan perhitungan KLB berdasarkan Daerah Kepemilikan


Lahan (DKL), nomer: 716/-1.711 53, tanggal 15 Juli 2014, oleh Kepala Dinas Tata Ruang
Provinsi DKI Jakarta: Ir. Gamal Sinurat, MT. Penjelasan atas permohonan tindak lanjut
penggunaan perhitungan KLB berdasarkan Daerah Kepemilikan Lahan (DKL), nomer:
1322/-1.711.53 tanggal 6 Nopember 2014, oleh Kepala Dinas Tata Ruang Provinsi DKI
Jakarta: Ir. Gamal Sinurat, MT.; Perubahan Peraturan Ketahanan Gempa dari SNI 2002
menjadi SNI 2012;

- Persetujuan Prinsip Penggunaan Perhitungan Intensitas Pemanfaatan Ruang Berdasarkan


Daerah Kepemilikan Lahan (DKL), nomer: 135/-1.711.5 tanggal 9 Februari 2015 oleh
Gubernur Provinsi DKI Jakarta: Basuki T. Purnama.

- Bahwa sudah adanya persetujuan Design Arsitektur 24 lantai oleh Team Ahli Independen
Pemprov DKI Jakarta, yaitu Team Ahli Bangunan Gedung Bidang Arsitektur dan Perkotaan
(TABG-AP), nomer: 35/TABG-AP/S/5/2015 tanggal 29 April 2015, Ketua Team: Prof. Ir.
Gunawan Tjahjono, M. Arch, Ph.D

- Bahwa namun Design Struktur 24 lantai tidak disetujui oleh Team Ahli Bangunan Gedung
Struktur dan Geodesi (TABG-SG) yang tertuang dalam Lembar Penilaian Dokumen Teknis
ke 2, sidang TABG- SG tanggal 9 September 2015 oleh anggota TABG-SG DKI: Syahril A.
Rahim.

- Dengan diberlakukan Peraturan Gempa 2012 (SNI) di wilayah Prov. DKI Jakarta, melalui
Surat Edaran Kepala Dinas Tata Ruang Prov. DKI Jakarta yang ditujukan kepada Konsultan
Struktur tanggal 1 Juni 2014 maka design struktur yang dilaksanakan, tidak memenuhi syarat,
yaitu masih ada kekurangan pembesian/detailing karena perhitungan/design struktur awal,
masih mengikuti persyaratan Peraturan Gempa tahun 2002 (SNI 2002) . Adanya gugatan

18
pada Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor : 218/G/2013/PTUN-JKT - Bahwa terhadap
gugatan pada Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor : 218/G/2013/PTUN-JKT tersebut yang
menjadi objek sengketa adalah Surat Keputusan Kepala Dinas Pengawasan dan Penertiban
Bangunan Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor : 9605/IMB/2013 tanggal 23
Agustus 2013 tentang Izin Mendirikan Bangunan kepada PT. Spekta Properti Indonesia
sehingga telah menarik TERGUGAT sebagai Tergugat II Intervensi dalam perkara tersebut;

- Bahwa pada diterbitkannya Surat Keputusan Kepala Dinas Pengawasan dan Penertiban
Bangunan Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor : 9605/IMB/2013 tanggal 23
Agustus 2013 tentang Izin Mendirikan Bangunan kepada PT. Spekta Properti Indonesia yang
menjadi objek sengketa, Penggugat dalam gugatannya mendalilkan bahwa telah bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang
baik sebagaimana dimaksudkan Pasal 53 ayat (2) huruf a dan b Undang-Undang Nomor : 9
Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;

- Bahwa terhadap gugatan Pengguat tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara
Jakarta telah mempertimbangkan bahwa objek sengketa telah diterbitkan dengan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta sesuai dengan Asas-Asas Umum
Pemerintahan Yang Baik setelah diuji dari segi kewenangan, prosedural dan substansi
penerbitan objek sengketa

- Bahwa dengan adanya gugatan pada Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut telah berakibat
terhambatnya pembangunan dari apartemen Lenteng Agung City;

c. Bahwa atas tunduhan PENGGUGAT yang menyatakan bahwa TERGUGAT telah


melakukan wanprestasi atas keterlambatan pembangunan apartemen telah TERGUGAT
jelaskan yang pada pokoknya menyatakan keterlambatan pembangunan apartemen
dikarenakan adanya faktor Force Majeur, dengan demikian TERGUGAT tidak dapat
dikategorikan telah melakukan perbuatan wanprestasi;

Bahwa TERGUGAT menolak dengan tegas dalil PENGGUGAT pada angka 13 gugatannya
yang pada pokoknya menyatakan bahwa PENGGUGAT telah mengalami kerugian materill
sebesar Rp. 679.384.666,- (enam ratus tujuh puluh sembilan juta tiga ratus delapan puluh
empat ribu enam ratus enam puluh enam rupiah);

10. Bahwa TERGUGAT menolak dengan tegas dalil PENGGUGAT pada angka 13
gugatannya yang pada pokoknya menyatakan bahwa akibat wanprestasi (ingkar janji) yang
dilakukan TERGUGAT maka PENGGUGAT menderita kerugian materil dan immateriil
sebesar Rp 679.384.666,- (enam ratus tujuh puluh sembilan juta tiga ratus delapan puluh
empat ribu enam ratus enam puluh enam rupiah) akibat hilangnya keuntungan investasi dari
PENGGUGAT. Dengan alasan dalil PENGGUGAT yang menyatakan menderita kerugian
materiil dan immateriil sangat tidak berdasar, lagipula tuntutan kerugian materil dan kerugian
immateriil merupakan hak menuntut yang timbul atas gugatan perbuatan melawan hukum,
bukan atas gugatan wanprestasi yang notabene yang hanya dapat menuntut biaya, rugi, dan
bunga;

19
11. Bahwa TERGUGAT menolak secara tegas dalil PENGGUGAT pada angka 13 Gugatan
yang pada pokoknya menyatakan agar Mejelis Hakim meletakkan sita jaminan terhadap
objek gugatan berupa unit Apartemen Lenteng Agung City milik PENGGUGAT. Dengan
alasan terhadap barang yang diajukan permohonan sita jaminan, terdapat kepentingan dari
pihak ketiga, tindakan penyitaan tersebut dapat menimbulkan kepanikan dari Pihak Ketiga
dengan demikian penyitaan tersebut tidak hanya merugikan TERGUGAT, akan tetapi juga
Pihak Ketiga, dan akan sulit untuk mengembalikan dalam ke keadaan semula. Oleh karena
itu, demi mencegah kerugian baik material maupun sosial yang lebih besar, maka sudah
sepatutnya permohonan sita jaminan tersebut ditolak;

12. Bahwa TERGUGAT menolak dengan tegas dalil PENGGUGAT pada angka 23 Gugatan
yang meminta putusan dalam perkara a quo dinyatakan dapat dilaksanakan terlebih dahulu
secara serta merta meski ada upaya kasasi (Uit Voerbar Bij Voorrad) karena PENGGUGAT
tidak dapat menunjukkan bukti-bukti yang sah dan otentik serta tidak terpenuhinya syarat-
syarat yang ditetapkan dalam Pasal 180 HIR dan SEMA No. 03 Tahun 1971;

Bahwa berdasarkan apa yang telah TERGUGAT uraikan di atas, dengan ini TERGUGAT
memohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili serta memutus perkara ini,
agar kiranya menjatuhkan putusan sebagai berikut:

DALAM EKSEPSI

1. Menerima dan mengabulkan Eksepsi TERGUGAT untuk seluruhnya;

2. Menolak gugatan PENGGUGAT atau setidak-tidaknya menyatakan gugatan tidak dapat


diterima (niet ontvankelijke verklaard);

DALAM POKOK PERKARA

1. Menolak Gugatan PENGGUGAT untuk seluruhnya;

2. Menghukum PENGGUGAT untuk membayar seluruh biaya yang timbul dalam perkara
ini; ATAU, apabila Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadiladilnya (ex
aquo et bono);

3.5 Pertimbangan Hukum Hakim

TENTANG PERTIMBANGAN HUKUM

Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat pada pokoknya sebagaimana
tersebut di atas;

Dalam Eksepsi:

Menimbang, bahwa atas gugatan Penggugat tersebut, Tergugat mengajukan eksepsi pada
pokoknya:

13. Gugatan Penggugat kabur dan tidak jelas (obscuur libel) karena Penggugat telah
menggabungkan antara gugatan perbuatan melawan hukum dengan gugatan wanprestasi;

20
14. Gugatan Penggugat prematur karena tidak didahului dengan somasi yang menyatakan
bahwa Tergugat telah melakukan wanprestasi; Menimbang, terhadap eksepsi-eksepsi
Tergugat tersebut, Majelis

Hakim berpendapat:

1. Bahwa terhadap eksepsi poin 1, setelah Majelis Hakim membaca dan meneliti gugatan
Penggugat, tidak terdapat hal yang kabur dan tidak jelas (obscuur libel), karena gugatan
Penggugat mengenai perihal gugatan wanprestasi dan sesuai pula dalam posita serta dalam
petitum yang memohon agar menyatakan Tergugat telah melakukan cidera janji
(wanprestasi);

Adapun hal mengenai tuntutan kerugian materiil dan immateril yang menurut Tergugat
merupakan hak menuntut yang timbul dari akibat perbuatan melawan hukum, menurut
Majelis Hakim adalah suatu pemikiran yang berpandangan sempit, karena kerugian itu bukan
hanya dalam bentuk kerugian materiil, dapat juga merupakan kerugian materiil dan
immateril, tinggal bagaimana pihak yang dirugikan dapat membuktikan kerugiannya di
persidangan;

Menimbang, bahwa untuk menentukan ada tidaknya kerugian baik materiil dan immateril,
menurut Majelis Hakim hal ini telah masuk ke dalam pokok perkara, karenanya untuk
menilainya haruslah memeriksa pokok perkara, sehingga eksepsi poin 1 ini harus dinyatakan
ditolak;

2. Bahwa terhadap eksepsi poin 2, Majelis Hakim berpendapat bahwa untuk menilai perlu
atau tidaknya somasi dilakukan, haruslah melihat bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak,
karena harus dilihat dan diteliti apakah di dalam bukti perjanjian dimaksud ada disebutkan
mengenai tenggang waktu untuk dinyatakan wanprestasi, karena harus meneliti bukti-bukti,
maka terhadap eksepsi ini dianggap telah masuk dalam pokok perkara, oleh karenanya
eksepsi poin 2 ini harus pula dinyatakan ditolak;

Dalam Pokok Perkara:

Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat adalah sebagaimana yang terdapat
dalam gugatan Penggugat;

Menimbang, bahwa pada pokoknya Penggugat dalam gugatannya memohon agar Tergugat
dinyatakan telah melalaikan kewajibannya dengan tidak melakukan penyerahan serah terima
unit/pinjam pakai unit dari pada objek gugatan kepada Penggugat sesuai waktu yang telah
diperjanjikan, karena alasan pembangunan belum selesai adalah perbuatan cidera janji
(wanprestasi);

Menimbang, bahwa terhadap gugatan Penggugat tersebut Tergugat memberikan jawaban


pada pokoknya sebagai berikut:

1. Bahwa Tergugat menolak dengan tegas dalil Penggugat pada angka 12 gugatan Penggugat
yang pada pokoknya menyatakan bahwa tidak ada alasan bagi Tergugat untuk menyatakan

21
Tergugat mengalami force majeur; Bahwa tidak dapat diselesaikannya Apartemen Lenteng
Agung City tepat waktu, Tergugat punya alasan hukum sebagai berikut:

c. Bahwa dalam ketentuan Pasal 20 Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Nomor
400/PPJB/LACITY/VII/2013 tertanggal 6 Juli 2013 tentang force majeure (keadaan
memaksa) terdapat ketentuan yang pada intinya apabila keterlambatan atau kegagalan
pembangunan tersebut diakibatkan oleh kejadian atau peristiwa yang secara layak dan patut
tidak dapat dihindari atau berada diluar kemampuan Pihak Pertama, maka para pihak secara
tegas menyetujui bahwa Pihak Pertama termasuk seluruh afiliasinya perusahaan Pihak
Pertama dan karyawankaryawannya tidak akan bertanggung jawab dan/atau dituntut baik
secara perdata maupun pidana dan/atau tuntutan ganti kerugian dalam bentuk apapun dan
jumlah berapapun untuk bertanggung jawab atas setiap keterlambatan atau kegagalan atau
kesalahan untuk memenuhi sesuatu atau beberapa kewajibannya, khususnya untuk
meyelesaikan pembangunan sarusun Apartemen LA City. Maka dalil Penggugat yang
menyatakan tidak ada alasan bagi Tergugat untuk menyatakan bahwa Tergugat mengalami
kondisi force majeure merupakan dalil yang tidak berdasar;

d. Bahwa alasan hukum Tergugat tidak dapat menyelesaikan secara tepat waktu, karena pada
saat itu terjadi perubahan regulasi dari Pemda DKI, seperti:

- Perubahan ijin lantai yang semula 24 lantai berubah menjadi 17 lantai; Perubahan peraturan
ketahanan gempa dari SNI 2002 menjadi SNI 2012;

- Adanya gugatan pada Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor 218/G/ 2013/PTUN-JKT.;

2. Bahwa Tergugat menolak dalil Penggugat menyatakan akibat wanprestasi yang dilakukan
Tergugat, maka Penggugat menderita kerugian materiil sebesar Rp679.384.666,00 (enam
ratus tujuh puluh sembilan juta tiga ratus delapan puluh empat ribu enam ratus enam puluh
enam rupiah) dan immateril sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) akibat hilangnya
keuntungan investasi dari Penggugat. Dengan alasan dalil Penggugat yang menyatakan
menderita kerugian materiil dan immateril sangat tidak berdasar, lagipula tuntutan kerugian
materiil dan kerugian immateril merupakan hak menuntut yang timbul atas gugatan perbuatan
melawan hukum, bukan atas gugatan wanprestasi yang notabene yang hanya dapat menuntut
biaya, rugi dan bunga;

Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 163 HIR/283 RBg., Penggugat berkewajiban untuk
membuktikan dalilnya tersebut di atas; Menimbang, bahwa untuk membuktikan dalil
gugatannya Penggugat telah mengajukan 18 (delapan belas) bukti surat, bukti-bukti surat
Penggugat yang diberi tanda P-1 sampai dengan P-18 adalah berupa fotokopi yang telah
disesuaikan dengan aslinya dan telah diberi meterai secukupnya, kecuali bukti surat P-12
adalah berupa bukti fotokopi dari fotokopi, sedang bukti surat P-14, P-15, P-16, P-17 dan P-
18 adalah hasil print out dan 2 (dua) orang saksi;

Menimbang, bahwa untuk membuktikan dalil sangkalannya Tergugat telah mengajukan 18


(delapan belas) bukti surat, bukti-bukti surat Tergugat yang diberi tanda T-1 sampai dengan
T-18 adalah berupa fotokopi yang telah disesuaikan dengan aslinya dan telah diberi meterai

22
secukupnya, kecuali bukti surat T-1, T-2, T-6, T-7 dan T-9 sampai dengan T-18 adalah
berupa bukti fotokopi dari fotokopi, dan 3 (tiga) orang saksi;

Menimbang, bahwa berdasarkan surat surat bukti yang diajukan oleh pihak Penggugat dan
Tergugat serta keterangan saksi-saksi sebagaimana tersebut di atas dalam kaitannya satu
sama lain, terdapat hal-hal yang diakui atau setidak tidaknya tidak disangkal oleh kedua belah
pihak, yaitu:

- Antara Penggugat dan Tergugat ada Perjanjian Pengikatan Jual Beli Nomor
400/PPJB/LACITY/VII/2013 tanggal 6 Juli 2013 (Bukti P-1 = Bukti T-3);

- Bahwa hingga saat ini Tergugat belum melakukan serah terima unit/pinjam

pakai unit objek gugatan kepada Penggugat; Penggugat telah melunasi kewajibannya total
sebesar Rp253.902.296,00 (dua ratus lima puluh tiga juta sembilan ratus dua ribu dua ratus
sembilan puluh enam rupiah) dari harga Rp269.511.483,00 (dua ratus enam puluh sembilan
juta lima ratus sebelas ribu empat ratus delapan puluh tiga rupiah);

- Penggugat masih harus membayar sisanya sebesar Rp15.609.187,00 (lima belas juta enam
ratus sembilan ribu seratus delapan puluh tujuh rupiah);

- Bahwa menurut keterangan saksi-saksi pembangunan proyek apartemen tersebut sudah 90%
progress (selesai), dari lantai 1 sampai dengan 17, namun belum ada lift, jadi masih pakai
tangga;

Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan petitum demi


petitum dari gugatan Penggugat:

Menimbang, bahwa yang menjadi petitum pokok dari gugatan Penggugat adalah petitum poin
2, yaitu memohon agar Majelis Hakim menyatakan sah dan mengikat Perjanjian Pengikatan
Jual Beli Nomor 400/PPJB/LACITY/VII/2013 tanggal 6 Juli 2013 antara Penggugat dan
Tergugat;

Menimbang, bahwa Perjanjian Pengikatan Jual Beli Nomor 400/PPJB/ LACITY/VII/2013


tanggal 6 Juli 2013 sebagaimana pada Bukti P-1 yang sama dengan Bukti T-3 adalah hal
yang dibenarkan oleh kedua belah pihak, karenanya petitum poin 2 ini dapat dikabulkan;

Menimbang, bahwa petitum poin 3 adalah petitum yang memohon agar Majelis Hakim
menyatakan Tergugat telah melalaikan kewajibannya dengan tidak melakukan penyerahan
Serah Terima Unit/Pinjam Pakai Unit dari pada objek gugatan kepada Penggugat karena
alasan pembangunan belum selesai adalah perbuatan cidera janji (wanprestasi);

Menimbang, bahwa sebagaimana di dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Nomor


400/PPJB/LACITY/VII/2013 tanggal 6 Juli 2013 (Bukti P-1 yang sama dengan Bukti T-3)
pada Pasal 15 Perjanjian tersebut disebutkan bahwa Pihak Pertama (Tergugat) akan
melaksanakan penyerahan serah terima unit/pinjam pakai unit pada tanggal 30 Desember
2013 kepada Pihak Kedua (Penggugat);

23
Menimbang, bahwa ternyata hingga saat ini serah terima apartemen dimaksud belum juga
dilaksanakan oleh Pihak Pertama, dengan alasan adanya force majeure (keadaan memaksa),
karena pada saat itu terjadi perubahan regulasi dari Pemda DKI, seperti:

- Perubahan ijin lantai yang semula 24 lantai berubah menjadi 17 lantai; - Perubahan
peraturan ketahanan gempa dari SNI 2002 menjadi SNI 2012;

- Adanya gugatan pada Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor 218/G/ 2013/PTUN-JKT.;

Menimbang, bahwa terhadap alasan Tergugat tersebut di atas, Majelis Hakim berpendapat
alasan tersebut tidak tepat untuk dikata force majeure (keadaan memaksa), karena force
majeure (keadaan memaksa) adalah suatu keadaan atau kejadian yang tidak dapat dihindari,
tidak dapat diatasi dalam jangka waktu yang singkat, dan tidak dapat diperkirakan akan
terjadi, karena sifat kejadiannya tiba-tiba dan tidak terelakkan, sedangkan alasan-alasan
seperti perubahan ijin lantai yang semula 24 lantai berubah menjadi 17 lantai, dihubungkan
dengan alasan perubahan peraturan ketahanan gempa dari SNI 2002 menjadi SNI 2012,
setelah Majelis Hakim meneliti Bukti T-6, ternyata awalnya bangunan apartemen tersebut
akan dibangun untuk 17 lantai, dan Tergugat juga membangun stuktur kekuatan gempa yang
dibangun oleh Tergugat adalah untuk 17 lantai, sehingga jika Tergugat akan merubah design
struktur yang semula untuk 17 lantai, akan diubah menjadi 24 lantai, kemudian oleh Kepala
Badan Standarisasi Nasional tidak disetujui dengan alasan stuktur kekuatan gempa yang telah
dibangun oleh Tergugat tidak memenuhi syarat untuk bangunan setinggi 24 lantai, sedangkan
apartemen yang menjadi objek perjanjian terletak di lantai 16, menurut keterangan saksisaksi
dan bukti-bukti yang diajukan Tergugat maupun Penggugat, bangunan apartemen tersebut
telah selesai sampai lantai 17, dan menurut keterangan saksi-saksi, sebenarnya bangunan
apartemen tersebut sudah dapat ditempati, tetapi belum dipasangi lift, yang menurut saksi
Ir.Wahyu Hiendarto yang diajukan oleh Tergugat, menerangkan bahwa lift sudah ada dan
rencananya akan dipasang bulan September 2017, berdasarkan pertimbanganpertimbangan
tersebut di atas, Majelis Hakim berkesimpulan bahwa alasan perubahan ijin lantai yang
semula 24 lantai berubah menjadi 17 lantai dan perubahan peraturan ketahanan gempa dari
SNI 2002 menjadi SNI 2012 bukanlah merupakan force majeure (keadaan memaksa);

Menimbang, bahwa mengenai adanya gugatan pada Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor
218/G/2013/PTUN-JKT., yang telah diputus pada tanggal 16 April 2014 dan telah
mempunyai kekuatan yang mengikat (Bukti T- 7), Majelis Hakim berpendapat bahwa
gugatan tersebut bukan pula keadaan yang disebut sebagai force majeure (keadaan memaksa),
sehingga dapat dijadikan sebagai alasan oleh Tergugat untuk menyatakan belum selesai
apartemen yang menjadi objek perjanjian, mengingat putusan tersebut telah mempunyai
kekuatan yang mengikat sejak tahun 2014, sedangkan apartemen tersebut menurut perjanjian
harus diserahkan pada tanggal 30 Desember 2013 kepada Pihak Kedua (Penggugat);

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, Majelis Hakim


berpendapat bahwa Petitum Poin 3 ini dapat dikabulkan;

Menimbang, bahwa petitum poin 4 adalah petitum yang memohon agar Majelis Hakim
menyatakan Penggugat telah melunasi seluruh kewajibannya;

24
Menimbang, bahwa sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa telah diakui atau setidaknya
tidak disangkal oleh kedua pihak bahwa Penggugat telah melunasi kewajibannya total sebesar
Rp253.902.296,00 (dua ratus lima puluh tiga juta sembilan ratus dua ribu dua ratus sembilan
puluh enam rupiah) dari harga Rp269.511.483,00 (dua ratus enam puluh sembilan juta lima
ratus sebelas ribu empat ratus delapan puluh tiga rupiah), sehingga Penggugat masih harus
membayar sisanya sebesar Rp15.609.187,00 (lima belas juta enam ratus sembilan ribu seratus
delapan puluh tujuh rupiah), berdasarkan fakta-fakta hukum ini, Majelis Hakim berpendapat
bahwa petitum poin ini harus diluruskan dengan menyatakan Penggugat telah membayar
kepada Tergugat sebesar Rp253.902.296,00 (dua ratus lima puluh tiga juta sembilan ratus dua
ribu dua ratus sembilan puluh enam rupiah);

Menimbang, bahwa petitum poin 5 adalah petitum yang memohon agar Majelis Hakim
menyatakan sah dan mengikat pembayaran yang dilakukan oleh Penggugat dengan sitem
Kontan bertahap melalui Tunai dan Giro; Menimbang, bahwa terhadap petitum poin ini,
sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, yaitu telah diakui oleh Tergugat bahwa
Penggugat telah membayar kewajibannya total sebesar Rp253.902.296,00 (dua ratus lima
puluh tiga juta sembilan ratus dua ribu dua ratus sembilan puluh enam rupiah) dari harga
Rp269.511.483,00 (dua ratus enam puluh sembilan juta lima ratus sebelas ribu empat ratus
delapan puluh tiga rupiah), maka petitum poin 5 ini dapat dikabulkan;

Menimbang, bahwa petitum poin 6 adalah petitum yang memohon agar Majelis Hakim
menyatakan sah dan mengikat Nilai Investasi Objek Gugatan di tanggal 14 Febuari 2015
yang ditawarkan oleh Tergugat melalui Pameran JCC yang Penggugat kutip dari Media
Online yaitu Merdeka.com dengan link internet https://m.merdeka.com/uang/pameran-di-jcc-
tawarkan-apartemen-rp-400-juta-di jaksel-dan-jaktim.html; Menimbang, bahwa oleh karena
Tergugat melakukan penawaran melalui Pameran JCC yang Penggugat kutip dari Media
Online yaitu Merdeka.com dengan link internet https://m.merdeka.com/uang/pameran-dijcc-
tawarkan-apartemen-rp-400-juta-di-jaksel-dan-jaktim.html, (Bukti P-17) adalah media yang
resmi, sepanjang tidak bertentangan dengan undangundang, maka Majelis Hakim
berpendapat bahwa Petitum Poin 6 ini dapat dikabulkan;

Menimbang, bahwa petitum poin 7 adalah petitum yang memohon agar Majelis Hakim
menghukum Tergugat untuk membayar uang ganti kerugian kepada Penggugat secara tunai
dan seketika dengan rincian sebagai berikut: Kerugian Materil:

3. Nilai investasi objek gugatan di tanggal 14 Febuari 2015 adalah Rp565.909.092,00 (lima
ratus enam puluh lima juta sembilan ratus sembilan ribu sembilan puluh dua rupiah);

4. Denda keterlambatan 5% dari nilai jual Rp269.511.482,00 yaitu sebesar Rp13.475.574,00


(tiga belas juta empat ratus tujuh puluh lima ribu lima ratustujuh puluh empat rupiah);

Kerugian Immateriil:

Bahwa akibat perbuatan ingkar janji (wanprestasi) yang telah dilakukan oleh Tergugat
tersebut, mengakibatkan keuntungan investasi Penggugat hilang dan juga menyebabkan
kepercayaan Penggugat untuk berinvestasi di bidang property khususnya apartemen

25
menghilang, hal mana apabila dinilai dengan uang adalah setara dan patut ditetapkan sebesar
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);

Total Kerugian:

Adalah sebesar Rp679.384.666,00 (enam ratus tujuh puluh sembilan juta tiga ratus delapan
puluh empat ribu enam ratus enam puluh enam rupiah);

Menimbang, bahwa terhadap permohonan mengenai kerugian materiil sebagaimana yang


terdapat pada Pasal 11 ayat 5, jumlah denda maximal adalah 5% (lima persen) dari jumlah
uang yang diterima oleh Pihak Pertama (Tergugat) dari Pihak Kedua (Penggugat). Di
persidangan terbukti bahwa uang yang telah diterima oleh Tergugat dari Penggugat adalah
sebesar Rp253.902.296,00 (dua ratus lima puluh tiga juta sembilan ratus dua ribu dua ratus
sembilan puluh enam rupiah), sehingga denda tersebut yaitu sebesar Rp12.695.115,00 (dua
belas juta enam ratus sembilan puluh lima ribu seratus lima belas rupiah);

Mengenai nilai investasi yang dimaksud oleh Penggugat, tidak disebutkan dalam perjanjian
sebagaimana pada (Bukti P-1 yang sama dengan Bukti T-3), meskipun demikian demi rasa
keadilan Majelis Hakim dengan memperhatikan Bukti P-17, yang menyatakan harga
termurah apartemen dimaksud sebesar Rp400 jutaan dengan luas 22 meter persegi, sedang
harga termahal adalah Rp830 jutaan dengan luas 44 meter persegi, sedang tipe yang diambil
oleh Penggugat adalah yang seluas 30 meter persegi, maka harga investasi yang dimaksud
oleh Penggugat Rp565.909.092,00 sebesar (lima ratus enam puluh lima juta sembilan ratus
sembilan ribu sembilan puluh dua rupiah) adalah pantas dan wajar, mengingat uang
Penggugat yang telah diserahkan kepada Tergugat cukup lama mengendap di tempat
Tergugat yaitu selama kurang lebih 3 tahun (sejak Tergugat harus menyerahkan apartemen
dimaksud yaitutanggal 30 Desember 2013); Sehingga seluruh jumlah kerugian materiil yang
harus dibayar Tergugat kepada Penggugat yaitu Rp565.909.092,00 + Rp12.695.115,00 =
Rp578.604.207,00 (lima ratus tujuh puluh delapan juta enam ratus empat ribu dua ratus tujuh
rupiah);

Menimbang, bahwa mengenai kerugian immateril, karena tidak diperinci dengan jelas, maka
harus dinyatakan ditolak;

Menimbang, bahwa terhadap petitum yang memohon agar Majelis Hakim menghukum
Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah)
setiap harinya sejak putusan ini berkuatan hukum tetap;

Menimbang, bahwa dengan berpedoman pada Putusan Mahkamah Agung RI tertanggal 26


Februari 1973 Nomor 791 K/Sip/1972, yang menyatakan uang paksa (dwangsom) tidak
berlaku terhadap tindakan untuk membayar uang, maka terhadap petitum mengenai uang
paksa (dwangsom) ini harus dinyatakan ditolak;

Menimbang, bahwa terhadap petitum yang memohon agar Majelis Hakim menyatakan sah
dan berharga sita jaminan (conservatoir beslag) yang telah diletakkan dalam perkara ini
terhadap objek gugatan yang berlokasi di Jalan Raya Lenteng Agung Timur Nomor 39,
Jagakarsa, Jakarta Selatan, dengan Spesifikasi sebagai berikut :

26
 Tower : A
 Lantai :16
 Nomor Unit : 5
 Tipe : 2 BR
 Luas : 30 M2;

Menimbang, bahwa oleh karena Penggugat tidak pernah mengajukan permohonan sita
jaminan (conservatoir beslag) secara resmi di persidangan, maka petitum poin ini harus
dinyatakan ditolak; Menimbang, bahwa terhadap petitum yang memohon agar Majelis

Hakim menyatakan putusan ini dapat dijalankan lebih dahulu meskipun ada bantahan
(verzet), banding atau kasasi (uit voerbaar bijvoorad);

Menimbang, bahwa terhadap petitum tersebut di atas, Majelis Hakim berpendapat bahwa
untuk menyatakan putusan ini dapat dijalankan lebih dahulu meskipun ada upaya hukum,
harus dipenuhi syarat-syarat untuk penjatuhan putusan serta merta sebagaimana diatur dalam
Pasal 180 HIR dan hanya dalam hal-hal yang tidak dapat dihindarkan, dan untuk keputusan
yang sangat eksepsional sifatnya, karenanya petitum poin ini harus dinyatakan ditolak;
Dengan demikian Majelis Hakim berpendapat bahwa petitum poin 7 tersebut di atas hanya
dapat dikabulkan sebagian;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, Majelis Hakim


menyatakan bahwa gugatan Penggugat harus dinyatakan dikabulkan sebagian;

Menimbang, bahwa meskipun gugatan Penggugat dikabulkan sebagian, namun karena


gugatan pokok dari Penggugat dinyatakan dikabulkan, maka biaya perkara dalam perkara ini
haruslah dibebankan kepada Tergugat;

27
BAB 4
PEMBAHASAN

4.1 Keabsahan Suatu Perjanjian Jual Beli Ditinjau Dari Hukum Perikatan

Keabsahan Perjanjian Pasal 1320 BW merupakan instrument pokok untuk menguji keabsahan
perjanjian yang dibuat para pihak. Dalam Pasal 1320 BW tersebut terdapat empat syarat yang
harus di penuhi untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu:

1)Adanya kesepakatan kedua belah pihak.

Maksud dari kata sepakat adalah kedua belah pihak setuju mengenai hal-hal yang
pokok dalam perjanjian. Menurut ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, secara a contrario, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya kesepakatan bebas
dianggap terjadi pada saat perjanjian dibuat oleh para pihak, kecuali dapat dibuktikan bahwa
kesepakatan tersebut terjadi karena adanya kekhilafan, paksaan maupun penipuan,
seabagaimana ditentukan dalam Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
yaitu:“Tiada suatu perjanjian pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau
diperoleh dengan paksaan atau penipuan”Kesepakatan dalam perjanjian merupakan
perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka
kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan,
dan siapa yang harus melaksanakan. Pada dasarnyasebelum para pihak sampai pada
kesepakatan mengenai hal-hal tersebut, maka salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian
tersebut akan menyampaikan terlebih dahulu suatu bentuk pernyataan mengenai apa yang
dikehendaki oleh pihak tersebut dengan segala macam persyaratan yang mungkin dan
diperkenankan oleh hukum untuk disepakati oleh para pihak.16

2)Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.

Menurut 1329 KUHPerdata kedua belah pihak harus cakap menurut hukum. Cakap
melakukan perbuatan hukum adalah setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya.
Ketentuan sudah dewasa menurut KUHPerdata yakni, dewasa adalah 21 tahun bagi laki-laki
dan 19 tahun bagi wanita.

3)Adanya suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian).
Artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban kedua belah pihak. Prestasi
ini terdiri dari perbuatan positif dan negatif, yang terdiri dari :

a. Memberikan sesuatu

b. Berbuat sesuatu, dan

16
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian.h.91

28
c. Tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUHPerdata).

4)Adanya sebab yang halal

Sebab yang dimaksud adalah isi dari perjanjian tersebut atau tujuan dari para pihak
mengadakan sebuah perjanjian, yaitu memiliki dasar yang sah dan patut atau pantas. Halal
adalah tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.
Terpenuhinya atau tidaknya syarat sebab yang halal, ditentukan oleh isi atau objek
perjanjian.17

Dua syarat yang pertama dan kedua dinamakan syarat-syarat subjektif dari suatu
perjanjian, karena kedua syarat tersebut mengenai orang-orangnya atau subjek yang
mengadakan perjanjian. Sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat
objektif, karena mengenai objek dari perjanjian. Apabila kedua syarat ini tidak terpenuhi
maka suatu perjanjian akan batal demi hukum, artinya suatu perjanjian yang dibuat dianggap
tidak pernah ada.18

Suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat sah sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 1320 BW, baik syarat subjektif maupun syarat objektif akan mempunyai akibat-akibat,
sebagai berikut:

a.“Noneksistensi”, apabila tidak ada kesepakatan maka tidak timbul perjanjian;

b.Vernietigbaaratau dapat dibatalkan, apabila perjanjian tersebut lahir karena adanya


cacat kehendak (wilsgebreke) atau karena ketidakcakapan (onbekwaamheid).19

Pada tanggal 06 Juli 2013, Penggugat dan Tergugat sepakat dan menandatangani Perjanjian
Pengikatan Jual Beli (PPJB) Nomor 400/PPJB/LACITY/VII/2013 dengan Objek Perjanjian
berupa Satu Unit Apartemen LA City Nomor : A/16/5/2 BR, luas 30 M2 dengan harga jual
Rp.269.511.482 (Dua Ratus Enam Puluh Sembilan Juta Lima Ratus Sebelas Ribu Empat
Ratus Delapan Puluh Dua Rupiah) di hadapan Notaris Dr. Ir. Franz Astani., SH., M.Kn., SE.,
MBA., MM., MSI. Di wilayah hukum Jakarta Selatan.

Oleh karena kedua belah pihak sepakat serta ada suatu hal yang diperjanjikan dan bukan
merupakan suatu kausa yang tidak halal serta profil kedua belah pihak merupakan orang-
orang yang dewasa dan cakap untuk mengadakan perjanjian maka dengan ini, sesuai
ketentuan pasal 1320 BW yang mana mensyaratkan hal agar sahnya suatu perjanjian sudah
terpenuhi. Didukung pula dengan pertimbangan hukum majelis hakim yang mengabulkan
agar Perjanjian Pengikatan Jual Beli Nomor 400/PPJB/LACITY/VII/2013 dinyatakan sah dan
mengikat kedua belah pihak.

17
Arus Akbar Silondae dan Wirawan B. Ilyas,Pokok-Pokok Hukum Bisnis,(Jakarta: Salemba Empat, 2014), h.
26
18
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: Alumni, 1994), h. 23-24
19
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, (Jakarta: Kencana,
2010), h.160

29
Menimbang, bahwa yang menjadi petitum pokok dari gugatan Penggugat adalah petitum
poin 2, yaitu memohon agar Majelis Hakim menyatakan sah dan mengikat Perjanjian
Pengikatan Jual Beli Nomor 400/PPJB/LACITY/VII/2013 tanggal 6 Juli 2013 antara
Penggugat dan Tergugat;

Menimbang, bahwa Perjanjian Pengikatan Jual Beli Nomor 400/PPJB/ LACITY/VII/2013


tanggal 6 Juli 2013 sebagaimana pada Bukti P-1 yang sama dengan Bukti T-3 adalah hal
yang dibenarkan oleh kedua belah pihak, karenanya petitum poin 2 ini dapat dikabulkan;

4.2 Tinjauan Hukum Perikatan Dalam Terhadap Wanprestasi Dan Perbedaannya


Dengan Perbuatan Melawan Hukum pada Putusan Nomor 224/Pdt.G/2017/PN.Jkt.Sel

Akhirnya melalui putusan Hoge Raad (Mahkamah Agung-nya Belanda) tanggal 31 Januari
1919, Lindenbaum lah yang dinyatakan sebagai pemenang. Hoge Raad menyatakan bahwa
pengertian perbuatan melawan hukum di pasal 1401 BW, termasuk pula suatu perbuatan
yang melanggar hak-hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau
bertentangan dengan kesusilaan.

Sebelum adanya Arrest tersebut, pengertian perbuatan melawan hukum, yang diatur pada
Pasal 1365 KUHPerdata (pasal 1401 BW Belanda) hanya ditafsirkan secara sempit. Yang
dikatakan perbuatan melawan hukum adalah tiap perbuatan yang bertentangan dengan hak
orang lain yang timbul karena Undang-Undang (onwetmatig).

Orang tidak bisa mengajukan perbuatan melawan hukum dan meminta ganti kerugian apabila
tidak disebutkan secara jelas pasal berapa dan undang-undang mana yang telah dilanggar.

Sebagai contoh, di kota Zutphen, Belanda, seorang pemilik rumah yang tinggal di bagian
bawah rumah bertingkat pernah mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap
pemilik rumah yang tinggal di bagian atas. Penyebabnya, barang-barang yang berada ruangan
di bagian bawah menjadi rusak karena pemilik rumah di bagian atas menolak untuk menutup
kerannya.

Akibat musim dingin, pipa saluran air di bagian bawah pecah, sehingga ketika pemilik rumah
yang di atas menyalakan keran, justru yang dibagian bawah menjadi kebanjiran. Ketika itu,
gugatan perbuatan melawan hukum tersebut ditolak karena tiada pasal dari suatu Undang-
Undang yang mengharuskan pemilik rumah bagian atas untuk mematikan kerannya.

Yang pasti, KUHPerdata memang tidak mendefinisikan dan merumuskan perbuatan melawan
hukum. Perumusannya, diserahkan kepada doktrin dan yurisprudensi. Pasal 1365
KUHPerdata hanya mengatur barang siapa melakukan perbuatan melawan hukum harus
mengganti kerugian yang ditimbulkannya.

Belanda yang telah memasukkan Arrest Hoge Raad 31 Januari 1919 menjadi salah satu pasal
dalam BW-nya. Perumusan dan batasan perbuatan melawan hukum sudah sedemikian luas di
'negeri kincir angin' ini.

30
Wanprestasi

Istilah wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk. Wanprestasi
dapat berupa tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, melaksanakan yang diperjanjikan
tapi tidak sebagaimana mestinya, melaksanakan apa yang diperjanjikan tapi terlambat,
melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Pkar hukum pidana Yahya Harahap mengartikan wanprestasi dengan pelaksanaan kewajiban
yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Pihak yang merasa
dirugikan akibat adanya wanprestasi bisa menuntut pemenuhan perjanjian, pembatalan
perjanjian, atau meminta ganti kerugian pada debitur.

Ganti kerugiannya bisa meliputi biaya yang nyata-nyata telah dikeluarkan, kerugian yang
timbul akibat wanprestasi tersebut, serta bunga. Pengertian bunga di sini adalah hilangnya
keuntungan yang sudah diperkirakan atau dibayangkan oleh kreditur seandainya tidak terjadi
wanprestasi.

Kewajiban debitur untuk membayar ganti rugi tidak serta merta timbul pada saat dirinya lalai.
Karena itu, harus ada pernyataan lalai terlebih dahulu yang disampaikan oleh kreditur ke
debitur (pasal 1238 jo Pasal 1243 KUHPerdata).

Untuk menghindari celah yang mungkin bisa dimanfaatkan debitur, ada baiknya kreditur
membuat secara tertulis pernyataan lalai tersebut atau bila perlu melalui suatu peringatan
resmi yang dibuat oleh juru sita pengadilan.

Perbedaan perbuatan melawan hukum dan wanprestasi

Orang sering mencampuradukkan antara gugatan wanprestasi dan gugatan perbuatan


melawan hukum. Adakalanya, orang mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum.
Namun dari dalil-dalil yang dikemukakan, sebenarnya lebih tepat kalau diajukan gugatan
wanprestasi. Ini akan menjadi celah yang akan dimanfaatkan tergugat dalam tangkisannya.

Membedakan antara perbuatan melawan hukum dan wanprestasi sebenarnya gampang-


gampang susah. Sepintas lalu, kita bisa melihat persamaan dan perbedaanya dengan gampang.
Baik perbuatan melawan hukum dan wanprestasi, sama-sama dapat diajukan tuntutan ganti
rugi.

Sementara perbedaannya, seseorang dikatakan wanprestasi apabila ia melanggar suatu


perjanjian yang telah disepakati dengan pihak lain. Tiada wanprestasi apabila tidak ada
perjanjian sebelumnya.

Sedangkan seseorang dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum apabila perbuatannya


bertentangan dengan hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri,
atau bertentangan dengan kesusilaan.

Beberapa sarjana hukum bahkan berani menyamakan perbuatan melawan hukum dengan
wanprestasi dengan batasan-batasan tertentu. Asser Ruten, sarjana hukum Belanda,
berpendapat bahwa tidak ada perbedaan yang hakiki antara perbuatan melawan hukum dan
wanprestasi. Menurutnya, wanprestasi bukan hanya pelanggaran atas hak orang lain,
melainkan juga merupakan gangguan terhadap hak kebendaan.

31
Senada dengan Rutten, Yahya Harahap berpandapat bahwa dengan tindakan debitur dalam
melaksanakan kewajibannya yang tidak tepat waktu atau tak layak, jelas itu merupakan
pelanggaran hak kreditur. Setiap pelanggaran hak orang lain berarti merupakan perbuatan
melawan hukum. Dikatakan pula, wanprestasi adalah species, sedangkan genusnya adalah
perbuatan melawan hukum.

Selain itu, bisa saja perbuatan seseorang dikatakan wanprestasi sekaligus perbuatan melawan
hukum. Misalnya A yang sedang mengontrak rumah B, tidak membayar uang sewa yang
telah disepakati. Selain belum membayar uang sewa, ternyata A juga merusak pintu rumah B

Namun apabila kita cermati lagi, ada suatu perbedaan hakiki antara sifat perbuatan melawan
hukum dan wanprestasi. Bahkan, Pitlo menegaskan bahwa baik dilihat dari sejarahnya
maupun dari sistematik undang-undang, wanprestasi tidak dapat digolongkan pada pengertian
perbuatan melawan hukum.

M.A. Moegni Djojodirdjo dalam bukunya yang berjudul "Perbuatan Melawan Hukum",
berpendapat bahwa amat penting untuk mempertimbangkan apakah seseorang akan
mengajukan tuntutan ganti rugi karena wanprestasi atau karena perbuatan melawan hukum.

Menurut Moegni, akan ada perbedaan dalam pembebanan pembuktian, perhitungan kerugian,
dan bentuk ganti ruginya antara tuntutan wanprestasi dan perbuatan melawan hukum.

Dalam suatu gugatan perbuatan melawan hukum, penggugat harus membuktikan semua
unsur-unsur perbuatan melawan hukum selain harus mampu membuktikan adanya kesalahan
yang diperbuat debitur. Sedangkan dalam gugatan wanprestasi, penggugat cukup
menunjukkan adanya wanprestasi atau adanya perjanjian yang dilanggar.

Kemudian dalam suatu gugatan perbuatan melawan hukum, penggugat dapat menuntut
pengembalian pada keadaan semula (restitutio in integrum). Namun, tuntutan tersebut tidak
diajukan apabila gugatan yang diajukan dasarnya adalah wanprestasi.20

Dalam perjanjian pengikatan jual beli nomor 400/PPJB/LACITY/VII/2013 tergugat telah


melakukan perbuatan melawan hukum yang dimana telah diatur dalam pasal 1401 BW yakni
karena tergugat melanggar hak yang semestinya didapat oleh penggugat, bertentangan
dengan kewajiban yang semestinya dipenuhi tergugat, dengan menyerahkan objek jual beli
apartemen LA City, dengan tidak melakukan penyerahan serah terima unit/pinjam pakai unit
dari pada objek gugatan kepada penggugat karena alasan pembangunan belum selesai adalah
perbuatan cidera janji atau wanprestasi sehingga penggugat berhak menuntut ganti rugi yang
dimana penggugat mendapatkan kerugian materil dan immateril, sehingga tergugat wajib
memenuhi ganti rugi tersebut.

Kerugian Materil

Nilai Investasi OBJEK GUGATAN di Tanggal 14 Febuari 2015 adalah Rp.565.909.092,-


(Lima Ratus Enam Puluh Lima Juta Sembilan Ratus Sembilan Ribu Sembilan Puluh Dua
Rupiah);

20
https://m.hukumonline.com/berita/baca/hol3616/perbuatan-melawan-hukum-dan-wanprestasi-sebagai-dasar-
gugatan/

32
Denda Keterlambatan 5% dari Nilai Jual Rp. 269.511.482 yaitu Sebesar Rp.13.475.574,-
(Tiga Belas Juta Empat Ratus Tujuh Puluh Lima Ribu Lima RatusTujuh Puluh Empat
Rupiah);

Kerugian Immateril :

Bahwa akibat perbuatan ingkar janji (wanprestasi) yang telah dilakukan oleh Tergugat
tersebut, mengakibatkan keuntungan Investasi Penggugat Hilang dan juga menyebabkan
kepercayaan Penggugatuntuk berinvestasi di bidang Property Khususnya Apartemen
menghilang, hal mana apabila dinilai dengan uang adalah setara dan patut ditetapkan sebesar
Rp. 100.000.000,- (Seratus Juta Rupiah);

Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim berpendapat bahwa:

Bahwa terhadap eksepsi poin 1, setelah Majelis Hakim membaca dan meneliti gugatan
Penggugat, tidak terdapat hal yang kabur dan tidak jelas (obscuur libel), karena gugatan
Penggugat mengenai perihal gugatan wanprestasi dan sesuai pula dalam posita serta dalam
petitum yang memohon agar menyatakan Tergugat telah melakukan cidera janji
(wanprestasi); Yang mana janji yang dimaksud ialah suatu perjanjian pengikatan jual beli
yang tertuang dalam perjanjian pengikatan jual beli nomor 400/PPJB/LACITY/VII/2013,
yang merupakan dasar penggugat berdalil bahwa perbuatan tergugat merupakan perbuatan
wanprestasi.

4.3 Bentuk Ganti Rugi Terhadap Perbuatan Wanprestasi pada Putusan Nomor
224/Pdt.G/2017/PN.Jkt.Sel

Ganti kerugian merupakan bagian pembahasan dari hukum perdata oleh karenanya patut
terlebih dahulu didefinisikan apakah itu hukum perdata. Hukum Perdata merupakan peraturan
hukum yang mengatur hubungan hukum antar orang yang satu dengan orang yang lainya.
Dalam pengertian di atas terdapat beberapa unsur antara lain unsur peraturan hukum, yang
dimaksud dengan peraturan hukum adalah rangkaian ketentuan mengenai ketertiban dan
berbentuk tertulis dan tidak tertulis dan mempunyai sanksi yang tegas. Unsur selanjutnya
adalah unsur hubungan hukum, yang dimaksud dengan hubungan hukum adalah hubungan
yang diatur oleh hukum hubungan yang diatur oleh hukum itu adalah hak dan kewajiban
orang perorang, sedangkan unsur yang terakhir adalah unsur orang, yang dimaksud dengan
orang adalah subyek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban, pendukung hak dan
kewajiban itu dapat berupa manusia pribadi ataupun badan hukum.

Menurut Prof. R. Subekti S.H., hukum perdata adalah segala hukum pokok yang mengatur
kepentingan-kepentingan perseorangan. Sedangkan menurut Dr. Munir Fuadi,S.H., yang
dimaksud dengan Hukum Perdata adalah seperangkat/kaidah hukum yang mengatur
perbuatan atau hubungan antar manusia/badan hukum perdata untuk kepentingan para pihak
sendiri dan pihakpihak lain yang bersangkutan denganya, tanpa melibatkan kepentingan
publik. Sedangkan istilah Perdata berasal dari bahasa sansekerta yang berarti warga (burger)
Pribadi (privat) sipil(civiel).hukum perdata berarti peraturan mengenai warga, pribadi, sipil,
berkenaan dengan hak dan kewajiban.

33
Ganti rugi dalam hukum perdata dapat timbul dikarenakan wanprestasi akibat dari suatu
perjanjian atau dapat timbul dikarenakan oleh Perbuatan Melawan Hukum. Ganti rugi yang
muncul dari wanprestasi adalah jika ada pihak-pihak dalam perjanjian yang tidak
melaksanakan komitmentnya yang sudah dituangkan dalam perjanjian, maka menurut hukum
dia dapat dimintakan tanggung jawabnya, jika pihak lain dalam perjanjian tersebut menderita
kerugian karenanya.21

KUHPerdata memperincikan kerugian (yang harus diganti) dalam tiga komponen sebagai
berikut :

1. Biaya

2. Rugi.

3. Bunga

( Vide Pasal 1239, 1243 ).

Biaya adalah setiap uang (termasuk ongkos) yang harus dikeluarkan secara nyata oleh
pihak yang dirugikan, dalam hal ini sebagai akibat dari adanya tindakan wanprestasi.
Sedangkan yang dimaksud dengan “rugi” adalah keadaan merosotnya (berkurangnya) nilai
kekayaan kreditor sebagai akibat dari adanya wanprestasi dari pihak debitur.sedangkan yang
dimaksud dengan “bunga” adalah keuntungan yang seharusnya diperoleh tetapi tidak jadi
diperoleh oleh pihak kreditur karena adanya tindakan wanprestasi dari pihak debitur.

Pemberian suatu ganti rugi sebagai akibat dari tindakan wanprestasi dari suatu perjanjian,
dapat diberikan dengan berbagai kombinasi antara lain pemberian ganti rugi (berupa rugi,
biaya dan bunga), pelaksanaan perjanjian tanpa ganti rugi, pelaksanaan perjanjian plus ganti
rugi, pembatalan perjanjian timbal balik tanpa ganti rugi, pembatalan perjanjian timbal balik
plus ganti rugi. Selanjutnya dalam literature dan yurisprudensi dikenal pula beberapa model
ganti rugi atas terjadinya wanprestasi, yaitu sebagai berikut:

1. Ganti rugi yang ditentukan dalam perjanjian.

Yang dimaksudkan dengan ganti rugi yang ditentukan dalam perjanjian adalah suatu model
ganti rugi karena wanprestasi dimana bentuk dan besarnya ganti rugi tersebut sudah ditulis
dan ditetapkan dengan pasti dalam perjanjian ketika perjanjian ditanda tangani, walaupun
pada saat itu belum ada wanprestasi.

2. Ganti rugi ekspektasi.

Ganti rugi dalam bentuk ekspektasi adalah suatu bentuk ganti rugi tentang hilangnya
keuntungan yang diharapkan (di masa yang akan datang), seandainya perjanjian tersebut
tidak wanprestasi. jadi, dalam hal ini, pihak yang dirugikan karena wanprestasi ditempatkan
seolah olah tidak terjadi wanprestasi dengan berbagai keuntungan yang akan didapatkannya.

21
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Cetakan Pertama ( Bandung: PT.Citra Aditya Bakti,
1990), hlm. 1-2.

34
3. Pergantian biaya.

Yang dimaksud dengan ganti rugi berupa pergantian biaya adalah ganti rugi dalam bentuk
pergantian seluruh biaya yang telah dikeluarkan oleh salah satu pihak yang harus dibayar
oleh pihak lain, yang telah melakukan wanprestasi terhadap perjanjian tersebut. Karena
perhitungan biaya yang telah dikeluarkan tersebut umumnya dilakukan dengan melihat
kepada bukti-bukti pengeluaran berupa kwitansi-kwitansi.

4. Restitusi.

Ganti rugi berupa restitusi adalah suatu model ganti rugi yang juga menempatkan perjanjian
pada posisi seolah-olah sama sekali tidak terjadi perjanjian. Akan tetapi dalam hal ini, yang
harus dilakukan adalah mengembalikan seluruh nilai tambah dalam wujudnya semula yang
telah diterima oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak dari pihak yang satu ke pihak
yang lainya. Nilai tambah yang dimaksud disini suatu nilai lebih yang telah diterima oleh
para pihak seabgai akibat dari pelaksanaan perjanjian, nilai tambah tersebut harus
dikembalikan dalam bentuk semula sebagai salah satu wujud dari ganti rugi.

5. Quantum meruit.

Quantum Meruit merupakan model ganti rugi yang hampir mirip dengan model restitusi yang
membedakan adalah nilai tambah yang harus dikembalikan dalam model ini bukan nilai
tambah dalam wujud aslinya melainkan harga dari nilai tambah yang telah diterima, karena
bendanya dalam bentuk asli sudah tidak dalam posisi untuk dikembalikan lagi. Misalnya
semen yang telah diguanakan untuk bangunan maka tidak mungkin dikembalikan dalam
bentuk bangunan, yang dapat dilakukan adalah nilai taksiran harga semen itu yang harus
dikembalikan.

6. Pelaksanaan perjanjian.

Pemberian ganti rugi berupa pelaksanaan perjanjian adlah kewajiban melaksanakan


perjanjian meskipun sudah terlambat, dengan atau tanpa ganti rugi.

Selain kerugian yang timbul dari wanprestasi, kerugian juga dapat ditimbulkan oleh
Perbuatan melawan hukum, Perbuatan Melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 dan Pasal
1366 KUHPerdata, Pasal 1365 KUHPerdata memberikan ketentuan tentang Perbuatan
Melawan Hukum dengan “ tiap perbuatan melawan hukum, yang mendatangkan kerugian
pada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut”. ketentuan lainya tertuang dalam Pasal 1366 KUHPerdata
adalah “ setiap orang bertanggung jawab, tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena
perbuatanya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaianya atau kurang hati
hatianya”. 22

Dalam kasus ini, tergugat berpendapat bahwa penggugat telah mencampuradukkan antara
gugatan wanprestasi dengan gugatan perbuatan melawan hukum karena permintaan ganti rugi

22
M.A. Moegni Djojodirjo, Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan Pertama, ( Jakarta: Pradnya Paramita, 1979).
hlm. 11.

35
materil dan immateril yang dituntut oleh penggugat. Adapun hal mengenai tuntutan kerugian
materiil dan immateril yang menurut Tergugat merupakan hak menuntut yang timbul dari
akibat perbuatan melawan hukum, menurut Majelis Hakim adalah suatu pemikiran yang
berpandangan sempit, karena kerugian itu bukan hanya dalam bentuk kerugian materiil, dapat
juga merupakan kerugian materiil dan immateril, tinggal bagaimana pihak yang dirugikan
dapat membuktikan kerugiannya di persidangan;

Berdasarkan Pasal 163 HIR/283 RBg. Menyatakan bahwa “Barang siapa menyatakan
mempunyai suatu hak atau mengemukakan suatu perbuatan untuk meneguhkan haknya itu,
atau untuk membantah hak orang lain haruslah membuktikan adanya hak itu atau adanya
perbuatan itu” dari bunyi pasal tersebut diketahui bahwa pihak baik penggugat maupun
tergugat yang menyatakan bahwa ia yang mempunyai harus membuktikan adanya hak
tersebut. Walaupun, pada putusan ini Penggugat gagal untuk membuktikan keseluruhan
rincian kerugian immateril yang didalilkannya, tetapi mengacu pada Pasal 163 HIR/283
RBg.mengenai pembuktian, maka hal ini diperbolehkan.

Wanprestasi sebagaimana diuraikan di atas terbatas pada tuntutan ganti rugi, biaya dan bunga
namun demikian melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 2822 K/Pdt/2014 antara Dirut
PT.Lion Air sebagai pemohon kasasi (Tergugat) melawan Budi Santoso sebagai termohon
kasasi (Penggugat) didapat kaidah baru tentang perluasan makna kerugian immaterial.
Sengketa ini diajukan karena kegagalan keberangkatan penggugat menggunakan maspakai
Lion Air dengan alasan operasional (melebihi kapasitas daya angkut) padahal penggugat
mestinya menghadiri acara keluarga yang cukup penting. Tuntutan kerugian materiil yang
diajukan oleh Penggugat sebesar Rp7.170.000,- sedangkan kerugian immaterial sebesar
Rp100.000.000.

Putusan tersebut menolak permohonan kasasi dan memperbaiki amar Putusan PT Jakarta
Nomor 319/Pdt/2013/PT.DKI yang membatalkan Putusan PN Pusat Nomor
506/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Pst. Sebagian amar perbaikannya ialah menyatakan Tergugat telah
bersalah melakukan wanprestasi, menyatakan kerugian yang dialami Penggugat merupakan
akibat tindakan dari Tergugat, Menghukum Tergugat untuk membayar kerugian materiil
sebesar Rp7.170.000,- dan menghukum Tergugat untuk membayar kerugian immaterial yang
dialami Penggugat sebesar Rp50.000.000.

Adapun alasan majelis hakim dalam pertimbangan hukumnya ”meski di dalam posita dan
petitum gugatan penggugat mengkonstatir dan menyebutkan hal tersebut sebagai perbuatan
melawan hukum, namun demi untuk pelaksanaan asas sederhana, cepat dan biaya ringan hal
tersebut bisa dikualifisir/dipandang sebagai perbuatan wanprestasi sehingga permohonan
kasasi ditolak dengan perbaikan”.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 2822 K/Pdt/2014, memiliki 2 (dua) kaidah hukum baru
yakni 1). Gugatan yang dikualifisir sebagai perbuatan melawan hukum dapat diubah menjadi
wanprestasi atas dasar asas sederhana, cepat dan biaya ringan. 2). Perbuatan hukum
wanprestasi dapat pula dikabulkan tuntutan immaterial. Implementasi asas sederhana, cepat
dan biaya ringan sebagaimana maksud dalam Pasal 2 ayat (4) jo Pasal 4 ayat (2) Undang-

36
undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman terlihat jelas di dalam putusan
ini karena merubah bentuk sengketa dari tuntutan PMH menjadi wanprestasi.

Relevansinya adalah bentuk perikatan yang terjadi antara para pihak berdasarkan perjanjian
pengangkutan orang bukan atas dasar PMH sehingga apabila mengikuti praktik pradilan yang
umum maka gugatan tersebut dipandang cacat formil namun hal tersebut tidak menyelesaian
persoalan diantara para pihak. Perihal dikabulkannya tuntutan immaterial, pada prinsipnya
majelis kasasi tidak mempertimbangkan secara khusus karena pokok perubahan hanya
terhadap kualifisir perbuatan.23

23
https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/index.php/peraturan/6-artikel/artikel-hakim-agung/1458-
perluasan-ruang-lingkup-kerugian-immaterial-oleh-dr-riki-perdana-raya-waruwu-s-h-m-h

37
BAB 5
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

 Keabsahan Perjanjian Pasal 1320 BW merupakan instrument pokok untuk menguji


keabsahan perjanjian yang dibuat para pihak. Dalam Pasal 1320 BW tersebut terdapat
empat syarat yang harus di penuhi untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu:
o Adanya kesepakatan kedua belah pihak.
o Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.
o Adanya suatu hal tertentu
o Adanya sebab yang halal
Dua syarat yang pertama dan kedua dinamakan syarat-syarat subjektif dari suatu
perjanjian, karena kedua syarat tersebut mengenai orang-orangnya atau subjek yang
mengadakan perjanjian. Sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat
objektif, karena mengenai objek dari perjanjian. Apabila kedua syarat ini tidak
terpenuhi maka suatu perjanjian akan batal demi hukum, artinya suatu perjanjian yang
dibuat dianggap tidak pernah ada.

 Orang sering mencampuradukkan antara gugatan wanprestasi dan gugatan perbuatan


melawan hukum. Adakalanya, orang mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum.
Namun dari dalil-dalil yang dikemukakan, sebenarnya lebih tepat kalau diajukan
gugatan wanprestasi. Ini akan menjadi celah yang akan dimanfaatkan tergugat dalam
tangkisannya. Yang membedakan antara perbuatan melawan hukum dan wanprestasi
apabila seseorang dikatakan wanprestasi apabila ia melanggar suatu perjanjian yang
telah disepakati dengan pihak lain. Tiada wanprestasi apabila tidak ada perjanjian
sebelumnya. Sedangkan seseorang dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum
apabila perbuatannya bertentangan dengan hak orang lain, atau bertentangan dengan
kewajiban hukumnya sendiri, atau bertentangan dengan kesusilaan.
 Ganti rugi dalam hukum perdata dapat timbul dikarenakan wanprestasi akibat dari
suatu perjanjian atau dapat timbul dikarenakan oleh Perbuatan Melawan Hukum.
Ganti rugi yang muncul dari wanprestasi adalah jika ada pihak-pihak dalam perjanjian
yang tidak melaksanakan komitmentnya yang sudah dituangkan dalam perjanjian,
maka menurut hukum dia dapat dimintakan tanggung jawabnya, jika pihak lain dalam
perjanjian tersebut menderita kerugian karenanya.
 KUHPerdata memperincikan kerugian (yang harus diganti) dalam tiga komponen
sebagai berikut :
o Biaya
o Rugi.
o Bunga
o ( Vide Pasal 1239, 1243 ).
Biaya adalah setiap uang (termasuk ongkos) yang harus dikeluarkan secara nyata oleh
pihak yang dirugikan, dalam hal ini sebagai akibat dari adanya tindakan wanprestasi.
Sedangkan yang dimaksud dengan “rugi” adalah keadaan merosotnya (berkurangnya)
nilai kekayaan kreditor sebagai akibat dari adanya wanprestasi dari pihak
debitur.sedangkan yang dimaksud dengan “bunga” adalah keuntungan yang
38
seharusnya diperoleh tetapi tidak jadi diperoleh oleh pihak kreditur karena adanya
tindakan wanprestasi dari pihak debitur.

5.2 Saran

1. Dasarnya setiap perjanjian/kontrak harus didasari dengan itikad baik dan


kepercayaan para pihak. Namun kepercayaan yang diberikan oleh pihak pembeli
sering disalahgunakan pihak developer, seharusnya developer melaksanakan isi
perjanjian sesuai dengan kesepakatan awal tidak diulur-ulur sampai waktu yang
tidak dapat ditentukan sehingga pihak pembeli merasa kecewa dan mengalami
kerugian materiil, maupun immateril karena kehilangan kepercayaan terhadap
pelayanan buruk yang dilakukan oleh Developer. Di dalam pembuatan perjanjian
seharusnya dimuat mengenai klausul tanggungjawab pihak developer ketika tidak
dapat melaksanakan kewajibannya yang berupa ganti rugi atas keterlambatan
prestasi.
2. Kepada calon pembeli yang hendak membeli apartemen atau berinvestasi
apartemen seharusnya dapat melakukan penelitian/ mencari informasi terlebih
dahulu mengenai kredibilitas, kualitas dan sepak terjang developer tersebut
dibidang pembangunan apartemen. Selain itu calon pembeli juga harus lebih aktif
mencari tahu dan bertanya secara detail dan rinci kepada pihak developer terhadap
produk dan fasilitas-fasilitas apartemen yang ditawarkannya. Sebelum melakukan
penandatanganan PPJB, ada baiknya pembeli meminta waktu kepada developer
untuk mempelajari PPJB tersebut, terlebih lagi calon pembeli wajib meminta
penjelasan kepada pihak developer dalam hal ditemukan adanya klausula-klausula
dalam PPJB yang kurang dimengerti atau membingungkan.

39
DAFTAR PUSTAKA

Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Malang: Bayumedia,
2007

Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2011

Erwin Kallo dkk, Kolom Konsultasi Hukum dan Arsitektur, Majalah Idea, Edisi 27/03- April,
2011,

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung : PT Citra Aditya Bakti 2000

Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Sinar Grafika, 1999

R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1987

Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2007

Subekti, Hukum Perjanjian, PT Intermasa, Jakarta, 2006

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta 2005

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5142a15699512/perbuatan-melawan-
hukum-dalam-hukum-perdata-dan-hukum-pidana

https://m.hukumonline.com/berita/baca/hol3616/perbuatan-melawan-hukum-dan-
wanprestasi-sebagai-dasar-gugatan/

https://www.sumbbu.com/2016/04/hukm-perdata-hukum-perikatan-pengertian-macam-
sumber.html

http://lampung.tribunnews.com/2018/02/01/perbuatan-apa-yang-dimaksud-melawan-hukum-
perdata?page=2

https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/index.php/peraturan/6-artikel/artikel-hakim-
agung/1458-perluasan-ruang-lingkup-kerugian-immaterial-oleh-dr-riki-perdana-raya-
waruwu-s-h-m-h

40

Anda mungkin juga menyukai