Anda di halaman 1dari 20

PLURATIS ETNIS, PENGUNGSI, DAN MIGRAN DI JERMAN MENJADI SALAH

SATU ISU YANG DIPERDEBATKAN OLEH PUBLIK DAN POLITIK


STUDI KASUS :OPEN-DOOR POLICY JERMAN 2015

Disusun Oleh Kelompok 2 :

Narik Y.T 372016021 Immanuela Kbarek 372016077

Abiezer P. A Boray 372016082 Rambu A.A. Undji 372016095

Revelino Manibor 372016099 Tantri M. A 372018802

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

2019
BAB I

PENDAHULUHAN

1.1 Latar Belakang

Jerman merupakan salah satu negara di kawasan Eropa barat yang cukup maju dan
memiliki perekonomian yang kuat di dunia, bahkan Jerman juga merupakan penggerak utama
kerjasama di kawasan Uni Eropa. Selain berkat kekuatan ekonominya, negara ini juga dikenal
paling terbuka dalam menerima imigran, termasuk dari kalangan pengungsi dan pencari suaka.
Berdasarkan laporan OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) pada
tahun 2013, Jerman kini telah menjadi negara tujuan migrasi kedua di dunia setelah Amerika
Serikat.1

Tidak diragukan lagi, imigrasi dan suaka, serta kehadiran mereka yang disebut dengan
“alien” (Ausländer) telah menjadi topik sentral dalan perdebatan politik dan public di Jerman.
Selama bertahun-tahun suaka dan migrasi telah dijadikan topik utama dalam kampanye politik
partai. Di negara bagian Hessen, Demokrat Kristen atau Chrislich Demokrattische Union (CDU)
di tahun 1989 membawa slogan bahwa setiap suara untuk CDU akan menjadi suara yang
menentang hak suara untuk orang asing. Pada tahun 1992, sekretaris partai mereka, Volker Rühe
memberikan saran kepada cabang-cabang setempat untuk fokus pada suaka dan untuk menyerang
Sosial Demokrat (SPD) yang bertanggung jawab atas setiap pengungsi tambahan. Pada tahun
1992-1993,CDU / CSU terus menerus menyerang kaum Sosial Demokrat yang pada awalnya
menolak untuk menyetujui perubahan pada Undang-Undang Dasar mengenai suaka. Demokrat
Sosial sendiri membalas hal tersrbut dengan mengatakan bahwa CDU/CSU lah yang menghalangi
langkah-langkah untuk membatasi jumlah pengungsi agar tidak diterapkan secara efektif.2

Disisi lain, kewargaanegaraan Jerman telah dibelenggu oleh rasa kebangsaan etnis ekslusif
dan rasa kebangsaan etnis yang ekslusuf ini telah didorong oleh prinsip ius sanguinis. dominasi
dari national ethnic berasal dari sejarah bangsa Jerman sendiri. Akan tetapi disisi lain, dominasi
etnis yang mengekslusifkan dirinya banyak ditantang dan menimbulkan berbagai konflik

1
Nikolaj Nielsen, Germany Second Top Migration Destination of Choice after US, diakses dari
https://euobserver.com/justice/126741, diakses pada 20 Juli 2019, Pukul 09.50.
2
David Cesarani and Mary Fulbrook, Citizenship, Nationality, and Migration in Europe, Routledge, New York, 1996,
hlm 159, Diakses pada 20 Juli 2019, Pukul 10.00.
internal.Perkembangan di Jerman selama 40 tahun terakhir ini, sebagain masalah yang timbul
adalah masalah mengenai imigran, yanag mana memaksa Jerman untuk mempertimbangkan lagi
dasar etnis kewarganegaraan. Identitas nasional Jerman sendiri memilikikarakter etnis dan
eksklusif.3Pada saat penyatuan Jerman, banyak etnis Jerman yang tinggal diluar batas negara
Jerman, sementara banyan orang non Jerman yang sudh lama tingga di Jerman.

Di era pendudukan Nazi, Jerman tampil dengan kekuatan ekonominya yang berasal dari
sektor industri batu bara dan baja. Sekitar satu juta pekerja asal Polandia didatangkan untuk
dipaksa bekerja di sektor pertambangan dan manufaktur berat selama Perang Dunia II. Sejak saat
itu, Jerman telah menjadi salah satu negara tujuan terpenting bagi para imigran, selain negara-
negara industri lainnya seperti Amerika Serikat, Perancis dan Inggris.

Ketika tembok berlin dibangun pada tahun 1961, sekitar 3,8 juta dari penduduk Jerman
melakukan eksodus besar-besaran dari Jerman Timur (Republik Demokratik Jerman) ke Jerman
Barat (Republik Federal Jerman). Adanya Tembok Berlin saat itu bahkan gagal untuk
membendung arus ini. Meski demikian, arus imigrasi ini mendapat sambutan baik dari Jerman
Barat. Kedatangan mereka dianggap akan mampu membantu memulihkan kondisi perekonomian
Jerman Barat. Hasilnya, pemulihan ekonomi Jerman Barat ternyata melampaui perkiraan. Tingkat
pengangguran menyusut secara drastis dalam rentang waktu yang relatif singkat.

Guna mengantisipasi kekurangan tenaga kerja, pemerintah Jerman Barat beralih kepada
model produksi tradisional dan memperkerjakan sementara para pekerja asing. Kesepakatan
mengenai perekrutan dan penempatan pekerja (Anwerbeabkommen) untuk pertama kalinya
dinegosiasiasikan dengan Italia pada tahun 1955. Inti dari kesepakatan ini ialah perekrutan pekerja
tamu (Gastarbeiter) di sektor industri yang hanya membutuhkan sedikit kualifikasi. Pada tahun
1954 sendiri, ketika gagasan perekrutan pekerja dari Italia diluncurkan oleh Ludwig Erhard,
Menteri Urusan Ekonomi, telah menimbulkan beberapa kontroversi. Bukankah Jerman sendiri
memiliki cukup pengangguran di negaranya? Apakah seluruh pengungsi dan pengusiran Jerman
dari wilayah Eropa Timur dan Jerman Timur sudah terintegrasi? Di mana para serikat pekerja

3
David Cesarini and Mary Fulbrook, Citizenship, Nationality, and Migration in Europe, New York: Routledge, 1996,
hal 88-103, diakses pada 20 Juli 2019, pukul 11.00.
merasa keberatan dan hanya menyetujui dengan syarat bahwa pekerja asing akan diberikan upah
serta hak sosial yang sama.4

Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1966 telah memperburuk suasana perekrutan
pekerja asing di Jerman. Resesi pasca perang untuk pertama kalinya ini telah menjadi pukulan
keras bagi Jerman Barat. Hal tersebut telah memicu banyak perdebatan dalam kalangan pemerintah
mengenai keberlanjungan perekrutan pekerja asing. Yang pada awalnya selama bertahun-tahun
pekerja asing dianggap bermanfaat bagi ekonomi dan negara Jerman, namun sekitar tahun 1970an
mereka dianggap sebagai beban pada infrastruktur sosial dan kehadiran mereka secara konsekuen
dipertanyakan.5

Pada 23 November 1973 telah ditetapkan larangan perekrutan, hak tersebut menandakan
berakhirnya era perekrutan pekerja asing ke Jerman Barat. Larangan yang ditetapkan tersebut
cukup mampu membatasi masuknya pekerja asing dari negara-negara yang tidak masuk dalam
anggota Komunitas Ekonomi Eropa (European Economic Community). Di mana mereka yang
ingin melegitimasi keputusan ini menunjuk pada gejolak harga atas krisis minyak pada tahun 1973.
Hingga kemudian, krisis minyak tersebut dijadikan momentum agar dapat meminimalkan jumlah
populasi asing di Jerman.6

Antara tahun 1979 dan 1982 sikap terhadap para migran mengalami perubahan yang cukup
signifikan. Dua pertiga dari populasi Jerman Barat tahun 1982 berpikir bahwa pekerja tamu harus
kembalikan negara asal mereka, angka ini mengalami kenaikan dari 39 persen pada tahun 1978.
Hanya 11 persen mendukung langkah-langkah intensif untuk terjadinya integrasi. Hanya tiga tahun
sebelumnya, dukungan sudah 42 persen. Partai-partai sayap kanan ekstrem sendiri telah
melakukan kampanye untuk menghentikan masuknya orang asing. Heidelberger Manifest di tahun
1981 juga menunjukkan dukungan pada konsep rasis. Di mana dalam tahun 1980an telah menandai
titik balik dalam mengekspresikan secara terbuka sikap xenophobia dan rasis.7

4
David Cesarini and Mary Fulbrook, Citizenship, Nationality, and Migration in Europe, New York: Routledge, 1996,
hlm 162, diakses pada 20 Juli 2019, Pukul 11.20.
5
Rita Sussmuth, The Future of Migration and Integration Policy in Germany, Italy: Migration Policy Institute, 2009,
Diakses pada 20 Juli 2019, Pukul 12.15.
6
Ibid.
7
David Cesarini and Mary Fulbrook, Citizenship, Nationality, and Migration in Europe, New York: Routledge, 1996,
hlm 166, diakses pada 20 Juli 2019, Pukul 12.25.
Sementara sebelum tahun 1973 suaka belum menjadi suatu tema dalam perdebatan public,
dari sekitar 1970-1980 perdebatan imigrasi mulai membicarakan mengenai suaka. Padasaat itu,
menurut ahli bahasa, yaitu Werner Link, media telah menciptakan ‘Asylantenspringflut’ (gagasan
mengenai perkembangan dari pencari suaka).8 Sementara dalam sepanjang 1980-an tidak hanya
tidak ada perubahan secara keseluruhan ke arah permusuhan, tetapi dukungan vokal juga
dinyatakan untuk mendukung persahabatan dan toleransi. Di saat yang sama, di bawah tema
mengenai “masyarakat multikultural”, sebuah perdebatan baru, di mana orang-orang yang
mendukung gagasan ko-eksistensi yang toleran dan pluralitas dari pada integrasi asimilasi
berusaha melawan meningkatnya permusuhan dan rasisme.9

Jerman yang membuka akses peluang bagi migrant dan pencari suaka politik telah
menimbulkan berbagai aksi negatif. Sehingga pada bulan Mei 1993 Jerman memutuskan untuk
membatasi hak suaka politik secara konstitusional. Keputusan yang diambil oleh negara Jerman
ini, karena adanya perdebatan dan protes public yang besar, serta peningkatan kekerasan rasis
yang sangat miris dan belum pernah tejadi sebelumnya. Jerman juga memperketan kebijakan-
kebijakan mereka tentang migrant dan pencari suaka.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

 Bagaimana dampak Open-door Policy terhadap kehidupan bermasyarakat di Jerman


dan pengungsi?
 Bagaimana respon UE dan negara-negara UE terhadap masalah krisis pengungsi dan
Open-door Policy di Jerman?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :

8
David Cesarini and Mary Fulbrook, Citizenship, Nationality, and Migration in Europe, New York: Routledge, 1996,
hlm 167, diakses pada 20 Juli 2019, Pukul 12.34.
9
Ibid, hlm 169.
 Untuk menjabarkan bagaimana keterkaitan migran dengan pluralitas etnis dan
identitas masyarakat lokal Jerman, serta bagaimana kebijakan Jerman dalam
menangani permasalahan migran.

1.4 Manfaat Penelitian

 Manfaat Praktis. Bagi penulis, Manfaat praktis yang diharapkan adalah supaya tahapan
penulisan serta hasilnya yang di peroleh dapat memperluas wawasan dan memperoleh
pengetahuan empirik mengenai tindakan dan pemahaman tentang identitas nasional
pluralitas etnis masyarakat Jerman, migran dan pencari suaka yang masuk ke negara
tersebut.
 Manfaat Akademis. Manfaat Akademis yang di harapkan adalah bahwa hasil penulisan
dapat di jadikan rujukan bagi upaya pengembangan ilmu yang berkaitan, dan juga
berguna untuk menjadi referensi bagi mahasiswa yang melakukan kajian terhadap
masalah identitas nasional, pluralitas etnis di Jerman, migran dan pencari suaka.

BAB II

LANDASAN KONSEP& TEORI


Dalam penulisan ini, adapun konsep dan teori yang digunakan untuk mendukung analisa
penulisan adalah :

2.1 KonsepHuman Security

Konsep Human Security merupakan suatu konsep baru yang muncul di abad ini.Konsep ini
lebih melihat secara kompleks tentang keamanan setiap individu. Berbeda dari konsep keamanan
yang lebih tradisional yaitu keamanan negara. Human Security ini lebih melihat kepada hal-hal
yang lebih spesifik dan mendalam tentang keamanan setiap individu. Konsep ini juga melihat taraf
hidup manusia yang seharusnya atau selayaknya, dimana setiap individu bisa mendapatkan haknya
sebagai manusia, yaitu dimana tidak lagi berfokus kepada negara tetapi lebih kepada setiap
individunya.

Negara yang dianggap aman, belum tentu bisa menjangkau keamanan individu di dalam
negara tersebut. Human Security juga ini jika dilihat sedikit bertentangan dengan nilai-nilai
tradisional negara tentang non-intervensi, artinya banyak masalah-masalah keamanan kelompok
atau individu dalam suatu negara yang biasa di intervensi memakai nilai-nilai kemanusiaan. UNDP
(United Nations Development Programme) mengidentifikasi setidak-tidaknya ada 7 kategori
ancaman Human Security yang harus dilihat secara serius yaitu Keamanan ekonomi, Keamanan
pangan, Keamanan kesehatan, Keamanan lingkungan hidup, Keamanan pribadi, Keamanan
komunitas, Keamanan politik.10

Majelis Umum PBB mengesahkan pengertian umum tentang Human Security yaitu hak
orang untuk hidup dan bebas dari kemiskinan dan keputusasaan, dan lebih melihat ke hak-hak
sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya, tidak adanya penggunaan kekerasan atau tindakan
pemaksaan.11 Hak-hak politik warga negara sering dibatasi negara untuk mendapatkan kepentigan
dalam suatu rezim. Pembatasan yang dilakukan ini menyebabkan keamanan suatu individu atau
kelompok terganggu dan tidak bisa mendapatkan hak nya yang semestinya. Hal ini terkadang
menyebabkan kesenjangan sosial maupun ekonomi terhadap masyarakat dalam kehidupan

10
Diakses melalui
:https://repository.unikom.ac.id/50971/1/I%2C%20Security%20_definisi%20dan%20Perkembangan%20Konsep.pd
fdiakses pada 20 juli 2019, Pukul 10:00
11
Dikutip dari Human Security Hand Book, An integrated approach for the realization of the Sustainable
Development Goals and the priority areas of the international community and the United Nations system hal.6
https://www.un.org/humansecurity/wp-content/uploads/2017/10/h2.pdf , Diakses pada 20 Juli 2019, Pukul 10:20
bernegara. Ancaman keamanan dalam human security bersifat umum atau universal, yaitu tidak di
batasi oleh batas negara dan pandanganHuman Security itu adalah pandangan yang lebih
memusatkan pada manusia (people-centered), dan bukan negara (state-centered).12

2.2 Kosmopolitan

Kosmopolitan berasal dari Bahasa Yunani yaitu Kosmos dan Polities, Kosmos sendiri
mempunyai makna “alam semesta” yang mempunyai tatanan alamiah, atau dengan kata lain
tatanan dunia yang dimaksud adalah saat alam semesta atau dunia dikelola oleh hukum alam . oleh
karena itu Kosmos juga terkadang dipandang sebagai sebuah kebaikan dan harmonisasi antara
elemen-elemen yang berbeda, sebagai sebuah pergerakan konflik yang seimbang dan persatuan
didalam perbedaan. Sedangkan Polities adalah “warga negara”. Yang mana dalam Bahasa Yunani
kata politis sendiri berkaitan erat dengan politik. Oleh karena itu kata politik disini warga negara
juga berhak untuk memimpin diri mereka sendiri. Setiap warga negara memiliki hubungan yang
saling mendukung satu sama lain.13Kosmopolitan mulai berkembang dan dituangkan dalam
catatan kehidupan seorang filsuf Yunani kuno, Diagones De Sinope, yang ketika ditanya “dari
mana asalmu?”, beliau kemudian menjawab “I’m a citizen of the world”, yang mana awal mula
adanya cosmopolitan (Diogenes, 1925: 71).

Teori ini mulai dikembangkan dan dikenalkan ke khalayak umum oleh seorang bapak
bernama Immanuel Kant. Yang kemudia Kant menjelaskan bahwa kosmopolitan adalah sebuah
teori yang dapat dipahami sebagai pengetahuan akan manusia sebagai penduduk dunia atau pelaku
dalam entitas politik dunia. Kant juga memiliki tujuan untuk menciptakan serta mengembangkan
eksistensi kosmopolitan universal, dimana manusia merupakan pelaku politik yang memiliki
kehidupan berkelompok yang baik dan sempurna.14Selain itu cosmopolitan juga terdiri atas tiga
nilai dan prinsip utama yaitu:

12
Dikutip dari Heru Susetyo, Menuju Paradigma Keamanan Komprehensif Berperspektif Keamanan Manusia Dalam
Kebijakan Keamanan Nasional Indonesia https://media.neliti.com/media/publications/18066-ID-menuju-
paradigma-keamanan-komprehensif-berperspekt if-keamanan-manusia-dalam-kebi.pdf , Diakses pada 20 Juli
2019, Pukul 12:00
13
Adam Gannaway, What Is Cosmopolitanisme (2009), MPSA Conference Paper, hal 5-8
14
https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/026327640602300290,Diakses pada 20 Juli, Pukul 16:20
1. Individualis, berfokus pada nilai dan norma HAM dan juga
menolak seluruh perbedaan termasuk batas-batas
Individualism kekeluargaan, etnis, kultur, kesukuan, komunitas,
keagamaan, dan kebangsaan.
Universality 2. Universality, prinsip ini berfokus pada kesetaraan
kehidupan manusia, menolak kelas-kelas, dan level-level
dalam masyarakat.
Generality 3. Generality, prinsip ini mengartikan bahwa setiap manusia
menjadi unit yang utama dan memegang status sebagai
global forces.

Sehingga dari prinsip-prinsip diatas, kosmopolitan terdiri dari 2 macam, karakteryaitu,


legal kosmopolitan dan moral kosmopolitan. Legal kosmopolitan mempunyai komitmen dalam
fokus dan konsentrasinya pada politik ideal pada tatanan dunia yang menganggap bahwa setiap
manusia mempunyai equal status dalam hak legal dan setiap manusia merupakan bagian dari
universal republik. Dan karakter berikutnya yaitu moral kosmopolitan, merupakan sebuah moral
yang menyatakan setiap manusia atau orang itu memegang hubungan moral dan saling menghargai
didalam kehidupannya bersayarakat.

Pada hakikatnya, Kosmopolitanisme lebih dari sekedar masyarakat dengan budaya yang
berbeda, melainkan bagaimana setiap individu dengan identitas yang berbeda dapat
menghargaibudaya yang lain. Menjadi masyarakat kosmopolitan berarti menjadi individu yang
mengakui dan bertanggungjawan atas individu lainnya. Kosmopolitanisme menjadi jembatan yang
dapat menjelaskan dan memahami perbedaan. Oleh karen itu menurut Immanuel Kant
cosmopolitan itu merupakan sebuah paham yang memandang pentingnya setiap individu untu
menyadari bahwa dirinya merupakan dari warga dunia. Setiap individu yang hanya menjadi
penonton tetapi mengetahui perannya untuk berpartisipasi dalam dunia.15Warga dunia bertindak
sebagai aktor yang menentang keegoisan individual. Terdapat tiga hal yang menjadi bagian dari
kosmopolitanisme. Pertama, dasar dari kosmopolitanisme adalah federasi dunia dan institusi
politik yang mengakui hak manusia. Kedua, dasar sejarah kosmopolitanisme adalah perdagangan
dunia. Ketiga, sebuah gagasan publik secara global. Keempat, hal yang terpenting dari
kosmopolitanisme adalah adanya rasa kemanusiaan.16Sehingga sosmopolitan disini adalah

15
https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/026327640602300290diakses Pada tanggal 20 Juli, Pukul 20:24
16
https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/026327640602300290Diakses pada tanggal 20 Juli, Pukul 20:24
merupakan sebuah ideologi dan teori yang punya pandangan bahwa setiap manusia didunia ini
mempunyai kedudukan sama sama dan setara tanpa memanda bulu, fisik, ekonomi, dan
kebudayaan serta tidak menjadi penghalang untuk masyarakat saling berhubungan antar satu
dengan lainnya.

BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Open-door Policy

Jerman salah satu negara dikawasan Eropa yang menjadi tempat bagi para para pekerja
immigrant untuk berlabuh sejak tahun 1970AN. Sejak meletusnya perang Suriah tahun 2010 yang
memakan ribuan korban jiwa, bnyak warga negara Suriah terpaksa pergi meninggalkan negara
mereka dan mencari perlindungan. Kebanyakan dari mereka masuk masuk ke kawasan negara-
negara Uni Eropa untuk mencari suaka. Dan pada dasarnya para pencari suaka dari negara tersebut
memang sudah ada dikawasan Eropa sebelum terjadinya konflik, akan tetapi jumlahnya tidak
banyak. Akan tetapi setelah konflit tersebut jumlah pencari suaka dan mengungsi meningkat secara
drastis. Terhitung pencari suaka pada awal terjadi konflik Suriah di Jerman ada sekitar 8.435 orang
saja.17

Jerman yang merupakan salah satu negara kaya di kawasan Eropa menjadi salah satu tujuan
migran dan pencari suaka untuk mencari perlindungan serta mencari kehidupan yang lebih layak.
Apalagi disatu sisi Jerman merupakan salah satu anggota Uni Eropa yang menandatangani
perjanjian Konvensi Internasional yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia, masalah pengungsi
dan suaka, serta telah menerima imigran dan pengungsi dari puluhan tahun yang lalu.18 Disisi lain,
ternyata setelah meletusnya perang di Suriah ini terjadi krisisi pengungsi yang terjadi dikawasan
Eropa, sehingga seluruh anggota Uni Eropa kelawahan dalam mengatur arus pengungsi yang
semakin membludak. Oleh karena itu tahun 2014-2015 terjadi krisis pengungsi dan pencari suaka
(Irak, Afganistan, Suriah, Libya) yang masuk ke Eropa yang mencapa angka 1 juta.

Sebagai respon dari jumlah pengungsi yang memlonjak ini, pertengan bulan September
tahun 2015 dibawah pemerintahan Angela Merkel sebagai Kanselin Jerman mengeluarkan sebuah
kebijakan “Open Door”, yang mana kebijakan ini melambangkan ketersediaan dan keterbukaan
Jerman dalam menerima para pengungsi dari negara-negara yang dilanda konflik, salah satunya
seperti Suriah. Disisi lain Jerman juga merupakan sebuah negara yang dibangun atas dasar hukum
dan kemanusiaan, sehingga Jerman lebih membuka diri terhadap isu-isu pengungsi dari pada
negara-negara Eropa lainnya.19 Selain itu, alasan lain mengapa Jerman mengimplementasi

17
http://www.frontex.europa.eu/assets/Publications/Risk_Analysis/FRAN_Q2 2012_.pdf
18
David Cesarani and Mary Fulbrook, Citizenship, Nationality, and Migration in Europe, Routledge, New York, 1996,
hlm 5-6, Diakses pada 21 Juli 2019, Pukul 14.00.
19
https://www.dw.com/id/tajuk-krisis-pengungsi-mengubah-jerman/a-19522847 , Diakses Pada 21 Juli 2019, Pukul
19:00
kebijakan tersebut karena adanya perasaan bersalah secara kolektif. Kita tau benar, sejakPerang
Dunia 2 kejahatan perang yang dilakukan oleh Jerman (Holocaust), membuat masyarakat Jerman
mempunyai beban tanggung jawab untuk menebus kesalahan mereka dimasa lampau dengan
penemiraan miran, pencari suaka, dan lain sebagainya. Sehingga dengan kebijakan dan diterapkan
oleh Merkel ini memberi keuntungan yang positif bagi perlindungan para pengungsi, dan dengan
kerja sama Lembaga-lembaga lainnya terkait masalah pengungsi yang sedang melanda dunia
terkhususnya Uni Eropa dapat diatasi dengan lebih baik lagi.20 Dan saat terjadi krisis pengungsi
tahun 2015-15, ada sekitar 450.000 ribulebih orang yang mengajukan suaka di Jerman.

Walaupun ada dampak positif untuk para pengungsi dari penerapat kebijakan pintu terbuka
ini, tetapi disisi lain ada dampak negatif juga untuk negara dan konflik gesekan sosial diantara
masyarakat etnis mayoritas Jerman dan pengungsi dengan berbagai latar belakang, budaya,
Bahasa, dan agama yang masuk ke Jerman dalam skala yang besar akan sangat rentan terjadi.
Apalagi sentiment-sentimen negatif mengenai Islam marak terjadi setelah serangan penembakan
Chalie Hebdo di Paris dan serangan yang terjadi di Brussel, yang membuka celah dan potensi
bahaya baik bagi masyarakat asli Jerman maupun pengungsi/imigran.

3.2 Analisa : Pluratis Etnis, Pengungsi, Dan Migran Di Jerman terkait Open-door Policy

Kebijakan pemerintah Jerman dengan membuka lebar arus imigran untuk masuk ke Jerman
mendapat penolakan-penolakan dari warga asli Jerman. Kita semua tahu bahwa Jerman merupakan
negara yang menggunakan sistem ius sanguinis, dimana mereka lebih melihat dari keturunan
darah. Sistem ini juga jika dilihat merupakan hasil dari pada paham yang dibentuk dari zaman
Nazi. Paham yang dibuat oleh Nazi, yang menganggap bahwa mereka adalah ras unggulan dari
semua ras yang ada di dunia. Paham ini membuat warga asli Jerman sulit untuk menerima para
imigran yang berbeda ras dengan mereka.

Ide-ide yang tertanam pada masyarakat asli Jerman membuat mereka sangat diskriminatif
terhadap para imigran. Batasan-batasan dalam ide merujuk pada “tembok penghalang” yang
dibentuk dalam pikiran mereka, sehingga penerimaan nilai universal dimana imigran juga

20
http://www.bamf.de/EN/Fluechtlingsschutz/HumAufnahmeResettlement/ResettlementHumanitaereAufnahme/r
esettlement-node.html, Diakses pada 21 Juli 2019, Pukul 19:37
merupakan manusia yang sama seperti mereka, yang juga memiliki hak untuk tetap bertahan hidup.
Batasan perbedaan yang lebih mendominasi mengisyaratkan masyarakat asli Jerman menaruh
posisi mereka lebih tinggi dari pada posisi para imigran. Secara tidak langsung ide-ide yang
muncul dari hasil paham ius sanguinis membentuk strata sosial yang membedeakan antara mereka
dan imigran.

Kebijakan negara Jerman melalui Open Door Policy tidak berjalan mulus, dimana terjadi
krisis pengungsi di negara Jerman pada tahun 2015. Melihat situasi seperti ini, ternyata setiap
masyarakat ataupun setiap identitas sangatlah egois terhadap identitas mereka sendiri. Nilai-nilai
kosmopolitan memang sudah diterapkan melalui kebijakan pemerintah Jerman tersebut, tetapi
nilai-nilai yang bersifat universal hanya dilihat dengan sebelah mata bagi setiap etnisitas yang ada,
yaitu mereka hanya selalu berfokus pada hak-hak setiap dari mereka, tetapi melupakan hal yang
paqling penting yaitu tanggung jawab dan kewajiban sebagai “warga dunia”. Tanggung jawab dan
kewajiban yang dimaksud adalah supaya seperti yang dimaksud oleh Immanuel Kant yaitu
penerimaan terhadap orang asing.

Penerimaan terhadap orang asing itu memiliki proses yang sangat sulit, apalagi ditambah
masyarakat asli Jerman memakai sistem ius sanguinis. Masyarakat imigran juga harus mampu
beradaptasi dengan sistem dalam negara tersebut, sehingga bisa tercipta suatu kehidupan yang
lebih baik, artinya keegoisan terhadap identitas masing-masing tidak mendominasi dalam
bersosialisasi. Nilai universal tidak menghapus nilai lama, tetapi nilai-nilai universal ini
merupakan nilai-nilai yang bisa merangkul seluruh masyarakat dan tidak terbatas pada
kewarganegaraan atau identitas lain.

Identitas yang egois akan selalu berkontradiksi dengan identitas lain yang berbeda, dimana
mereka semua masih terpaku dalam komunitas masing-masing. Kontradiksi antara satu identitas
dan yang lainnya membuat keamanan setiap individu ataupun keamanan komunitas terganggu.
Nilai universal muncul dengan suatu identitas yang menyatukan satu komunitas dunia, dengan
nilai-nilai yang bisa diterima oleh seluruh masyarakat, tak terbatas pada negara. Pertanyaannya
adalah bagaimana nilai yang telah menghapus batasan-batasan identitas lokal bisa diterima dan
terealisasikan dalam kehidupan nyata, sedangkan setiap orang masih sangat terpaku pada identitas
mereka?
Orang Jerman asli dan juga para imigran merupakan komunitas dunia yang sama, tetapi
dalam identitas yang tertanam dalam diri masing-masing menimbulkan pemahaman antara
“protagonis” dan “antagonis”. Menghilangkan dua pandangan yang berbeda ini harus melalui satu
pandangan yang sama, artinya setiap orang bisa berada dalam suatu pandangan dalam menilai
“protagonis” ataupun “antagonis”. Kenyataannya hal ini sulit terjadi karena adanya kesenjangan
daripada setiap identitas yang ada. Identitas-identitas yang dibuat seperti hal strata sosial
(masyarakat asli-imigran) membuat ada yang lebih dominan daripada yang lain.

Human Security antara Imigran dan Etnis Nasional

Kebijakan Open Door yang dibuat oleh Jerman pada tahun 2015, telah menerima kurang
lebih satu juta pengungsi dan suaka. Penerimaan para imigran ini tidak berjalan mulus, berhubung
dengan penerimaan masyarakat etnis nasional terhadap imigran. Imigran yang mayoritas berasal
dari Suriah itu sulit diterima dengan baik karena beragama muslim. Prasangka-prasangka buruk
yang tertanam dalam ide-ide tentang muslim membuat meningkatnya tingkat diskriminasi
terhadap para imigran tersebut. Perbedaan akan identitas yang kontradiktif “membutakan” mereka
tentang moralitas mereka sebagai manusia. identitas etnis ataupun agama menjadi satu tolak ukur
untuk menyatakan suatu kesamaan sudut pandang.

PEGIDA adalah salah satu contoh gerakan garis keras sayap kanan yang menyatakan diri
sebagai patriotis Eropa yang menentang islamisasi, karena sebagian besar pengungsi yang masuk
di Jerman beragama islam. Gerakan-gerakan seperti ini membuat kita akan melihat imigran
sebagai korban. Namun, jika melihat daripada tindakan kriminal yang sering dilakukan oleh para
imigran atau pencari suaka, contohnya adalah tindakan pengeboman di Paris & kejadian di mana
seorang pencari suaka yang berasal dari Afghanistan melakukan pemerkosaan dan pembunuhan
terhadap seorang gadis Jerman21, hal tersebut tentunya akan mengubah pandangan dari masyarakat
terhadap para pengungsi dan pencari suaka. Batasan-batasan ide yang menentukan pola pikir yang
berada pada taraf identitas akan membuat pandangan tentang keamanan manusia menjadi paradoks
“keamanan individu mengancam keamanan individu lain”. Kalimat ini sering muncul dalam
perdebatan mengenai keamanan manusia. Pada kenyataannya, kalimat ini muncul karena tolak

21
Ervan Hardoko, Pencari Suaka yang Perkosa dan Bunuh Gadis Jerman, Dibui Seumur Hidup, KOMPAS.COM,
Diakses dari https://internasional.kompas.com/read/2018/03/22/20303201/pencari-suaka-yang-perkosa-dan-
bunuh-gadis-jerman-dibui-seumur-hidup?page=2, Diakses pada 20 Juli 2019
ukur berpikir masih cenderung kepada identitas individu ataupun kelompok. Mereka melakukan
pembenaran diri dengan menggunakan nilai universal yaitu Human Security, sehingga yang
muncul adalah pembelaan akan hak-hak mereka, bukan tanggung jawab atau rasa kewajiban untuk
saling menerima perbedaan.

Hak-hak tiap manusia dapat tercapai jika setiap manusia juga memiliki rasa tanggung
jawab kepada manusia lainnya, artinya adalah patokan tindakan bersosialisasi bukan ada pada
identitas masing-masing, tetapi pada rasa kemanusiaan. Imigran ataupun etnis lokal sama-sama
adalah manusia, di mana rasa kemanusiaan itu merupakan suatu nilai yang universal, tanpa ada
batasan-batasan ataupun kategori tertentu yang bisa mengesampingkan yang lain.

3.3 Respon Uni Eropa dan Negara-Negara anggota Uni Eropa terhadap Open-door Policy
Jerman Tahun 2015

Permasalahan terkait gelombang imigran dan pencari suaka yang meningkat ditahun 2014
hingga 2015 pada beberapa negara anggota Uni Eropa menjadi tantangan utama organisasi
supranasional tersebut bersama negara-negara anggotanya. Apabila beberapa negara
mempertimbangkan untuk terlebih dahulu membicarakan dan mencari jalan keluar melalui
prosedur pada lembaga Uni Eropa(European Commission), pemerintah Jerman dengan cepat
mengambil tindakan untuk memutuskan dan memberlakukan open-door policy. Seperti diketahui
bahwaopen-door policy memungkinkan imigran dan pencari suaka untuk melewati batas negara
serta masuk ke wilayah administratif Negara Jerman yang sebelumnya dijaga dan dibatasi.

Tentu Jerman memiliki alasan dalam memberlakukan open-door policy, namun sayangnya
langkah Jerman ini dipandang sangat berisiko, hal ini dinilai oleh negara-negara anggota Uni
Eropa sebagai tindakan yang kurang tepat, sebab prasangka dan stairotipe yang telah berkembang
bahwa adanya kecurigaan terhadap para imigran yang datang dari wilayah konflik di timur-tengah
dengan memiliki identitas sebagai kaum muslim cenderung merupakan kelompok radikal yang
membahayakan kedaulatan Jerman khususnya dan kawasan Eropa pada umumnya.

Dapat dikatakan bahwa respon negara-negara anggota Uni Eropa awalnya kurang baik atau
negatif, pada sejumlah surat kabar dan pemberitaan distasiun tv, kepala pemerintahan dan kepala
negara seperti Hungaria, Ceko, Rumania dan Slovakia menentang kebijakan Jerman untuk
menerima migran asal Suriah. Perlu ditekankan bahwa tidak hanya terkait krisis pengungsian yang
merujuk pada masalah kemanusian, tetapi adanya beban tanggungjawab pada negara yang
dijadikan negara transit oleh imigran dan pencari suaka yakni Hungaria, Yunani, Italy yang
kemudian terus diperjuangkan Kanselir Jerman Angela Merkel melalui usulan kebijakan, yakni
kebijakan bahwa adanya distribusi imigran dan pencari suaka pada negara anggota Uni Eropa atau
kebijakan Skema Kuota Penerimaan Pengungsi.

Meski terdapat negara anggota Uni Eropa yang menentang rancangan kebijakan, namun
dengan tanggap Europen Commission akan permasalahan tekait krisis pengungsi tersebut, Uni
Eropa kemudian menetapkan kebijakan yang diajukan oleh Angela Merkel. Usaha keras yang
dilakukan Kanselir Jerman dan Uni Eropa tidak membuahkan hasil manis dengan proses yang
singkat, kebijakan yang telah ditetapkan dan diberlakukan tidak diindahkan oleh negara-negara
yang pada kawasan Eropa Timur. Perdana Menteri Hungaria memutuskan untuk membangun
pembatas pada daerah perbatasannya agar menghindari para pengungsi Timur Tengah untuk
masuk ke Hungaria secara ilegal. Pembatas tersebut terbuat dari gulungan kawat berduri dengan
tinggi sepuluh kaki. Sedangkan, Perdana Menteri Republik Ceko pada beberapa kesempatan
melontarkan kritik "Germany sent a signal that could be seen and heard in large parts of the
Middle East and North Africa," he added. "That stimulated illegal migration to Europe.
Unfortunately that cannot be denied." Serupa dengan PM Ceko, PM Slovakia Robert Fico
menyerukan bahwa “The only way to eliminate risks like Paris and Germany is to prevent the
creation of a compact Muslim community in Slovakia”. Walau terdapat penolakan dan
pertentangan diantar negara anggota Uni Eropa, belum lagi dengan adanya serangan dari imigran,
serta aksi penolakan langsung oleh warga di beberapa negara anggota Uni Eropa. Adapun
serangkaian masa sulit yang dihadapi oleh Jerman untuk memperjuangkan rancangan hingga
penerapan kebijakan pembagian kuota pengungsi pada negara anggota Uni Eropa perlahan
menyadarkan negara anggota Uni Eropa bahwa ada cara lain yang lebih efektif dalam menekan
laju gelombang pencari suaka dan imigran dengan bekerjasama antara negara-negara transit serta
negara-negara yang cenderung menjadi pintu masuk para imigran seperti turkey, negara kawasan
afrika Utara. Kerjasama yang dimaksud yakni dengan mendirikan camp-camp dan menyediakan
layanan embarkasi dengan tujuan menyaring atau memilah calon pengungsi yang layak dan sesuai
standar yang dbutuhkan oleh negara-negara Uni Eropa.
BAB V
PENUTUP

Kesimpulan

Jerman salah satu negara dikawasan Eropa yang menjadi tempat bagi para para pekerja
immigrant untuk berlabuh sejak tahun 1970an. Sejak meletusnya perang Suriah tahun 2010 yang
memakan ribuan korban jiwa, bnyak warga negara Suriah terpaksa pergi meninggalkan negara
mereka dan mencari perlindungan. kebijakan “Open Door”, yang mana kebijakan ini
melambangkan ketersediaan dan keterbukaan Jerman dalam menerima para pengungsi dari
negara-negara yang dilanda konflik, salah satunya seperti Suriah. Disisi lain Jerman juga
merupakan sebuah negara yang dibangun atas dasar hukum dan kemanusiaan, sehingga Jerman
lebih membuka diri terhadap isu-isu pengungsi dari pada negara-negara Eropa lainnya. Kebijakan
pemerintah Jerman dengan membuka lebar arus imigran untuk masuk ke Jerman mendapat
penolakan-penolakan dari warga asli Jerman. Ide-ide yang tertanam pada masyarakat asli Jerman
membuat mereka sangat diskriminatif terhadap para imigran. Batasan-batasan dalam ide merujuk
pada “tembok penghalang” yang dibentuk dalam pikiran mereka, sehingga penerimaan nilai
universal dimana imigran juga merupakan manusia yang sama seperti mereka, yang juga memiliki
hak untuk tetap bertahan hidup. Batasan perbedaan yang lebih mendominasi mengisyaratkan
masyarakat asli Jerman menaruh posisi mereka lebih tinggi dari pada posisi para imigran. Secara
tidak langsung ide-ide yang muncul dari hasil paham ius sanguinis membentuk strata sosial yang
membedeakan antara mereka dan imigran. Kebijakan Open Door yang dibuat oleh Jerman pada
tahun 2015, telah menerima kurang lebih satu juta pengungsi dan suaka. Penerimaan para imigran
ini tidak berjalan mulus, berhubung dengan penerimaan masyarakat etnis nasional terhadap
imigran. Imigran yang mayoritas berasal dari Suriah itu sulit diterima dengan baik karena
beragama muslim. Pegida adalah salah satu contoh gerakan garis keras sayap kanan yang
menyatakan diri sebagai patriotis Eropa yang menentang islamisasi, karena sebagian besar
pengungsi yang masuk di Jerman beragama islam

DAFTAR PUSTAKA
Buku :
David Cesarani and Mary Fulbrook, Citizenship, Nationality, and Migration in Europe, Routledge,
New York.
Rita Sussmuth, The Future of Migration and Integration Policy in Germany, Italy: Migration
Policy Institute, 2009
Adam Gannaway, What Is Cosmopolitanisme (2009), MPSA Conference Paper, hal 5-8.

Internet :
Bonasir, Rohmatin. 2015. Dibalik penolakan imigran oleh Eropa Timur. BBC.Com. diakses
melalui:https://www.bbc.com/indonesia/dunia/2015/09/150923_dunia_imigran_eropatimur
pada 21 Juli 2019

https://repository.unikom.ac.id/50971/1/I%2C%20Security%20_definisi%20dan%20Perkemban
gan%20Konsep.pdf

Heru Susetyo, Menuju Paradigma Keamanan Komprehensif Berperspektif Keamanan Manusia


Dalam Kebijakan Keamanan Nasional Indonesia
https://media.neliti.com/media/publications/18066-ID-menuju-paradigma-keamanan-
komprehensif-berperspekt if-keamanan-manusia-dalam-kebi.pdf
Human Security Hand Book, An integrated approach for the realization of the Sustainable
Development Goals and the priority areas of the international community and the United
Nations system hal.6 https://www.un.org/humansecurity/wp-
content/uploads/2017/10/h2.pdf
https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/026327640602300290

http://www.frontex.europa.eu/assets/Publications/Risk_Analysis/FRAN_Q2 2012_.pdf

https://www.dw.com/id/tajuk-krisis-pengungsi-mengubah-jerman/a-19522847

http://www.bamf.de/EN/Fluechtlingsschutz/HumAufnahmeResettlement/ResettlementHumanit
ereAufnahme/resettlement-node.html

Hardoko, Ervan. 2018. Pencari Suaka yang Perkosa dan Bunuh Gadis Jerman, Dibui Seumur
Hidup. KOMPAS.COM. Diakses melalui :
https://internasional.kompas.com/read/2018/03/22/20303201/pencari-suaka-yang-perkosa-
dan-bunuh-gadis-jerman-dibui-seumur-hidup?page=2
Nikolaj Nielsen, Germany Second Top Migration Destination of Choice after US, diakses dari
https://euobserver.com/justice/126741
Penelitian Kemitraan Dosen Dengan Mahasiswa. 2017. PENOLAKAN NEGARA-NEGARA UNI
EROPA TERHADAP KEBIJAKAN KUOTA PENGUNGSI. Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta. Diakses melalui : http://hi.umy.ac.id/wp-content/uploads/2019/01/Penolakan-
negara-negara-Uni-Eropa-terhadap-kebijakan-kuota-pengungsi-.pdf pada 21 Juli 2019

Sharma, Ghouri. 2018. Angela Merkel's mixed legacy: Open-door policy, rise of far right.
Aljazaeera.Com. Diakses melalui : https://www.aljazeera.com/news/2018/12/angela-
merkel-mixed-legacy-open-door-policy-rise-181208085144548.html

Wesley Dockery. 2017. Two years since Germany opened its borders to refugees: A chronology.
Deutsche Welle.Com. Diakses melalui : https://www.dw.com/en/two-years-since-germany-
opened-its-borders-to-refugees-a-chronology/a-40327634-0 pada 21 Juli 2019

Anda mungkin juga menyukai