Anda di halaman 1dari 7

Nama : Elsa Elisiana Elli

NIM : E022212008
Tugas Final : Media Massa dan Masyarakat Kontemporer

Sejarah Singkat Lahirnya Komunikasi Massa Global


(Tinjauan Media Massa dan Masyarakat Kontemporer)

Kecepatan pergerakan internasionalisasi telah semakin meningkat karena peningkatan


dalam teknologi distribusi dan kebutuhan ekonomi yang baru. Media massa dipengaruhi,
seperti hal lainnya oleh fenomena umum globalisasi. Keduanya berada dalam posisi khusus,
baik sebagai objek maupun agen dari proses globalisasi itu sendiri.Teknologi tentunya
memberikan dorongan yang kuat bagi globalisasi. Contohnya, ekspansi televisi sejak tahun
1980-an dimungkinkan oleh teknologi penyiaran yang baru, efisien, dan juga murah, telah
digerakkan oleh motif komersial dan mendorong tuntutan akan impor. Hal ini sejalan, dengan
masifnya ekspor konten media hiburan khususnya yang bersumber dari Amerika Serikat yaitu
hiburan Hollywood yang mendominasi pemikiran khalayak pada saat itu. Selain itu komponen
penting dari komunikasi massa internasional adalah iklan yang berhubungan dengan
globalisasi dari banyak produk pasar mencerminkan karakter internasional dari banyak agen
periklanan dan tujuan terakhir dari kekuatan yang mempromosikan globalisasi adalah ekspansi
yang besar dan privatisasi infrastruktur serta bisnis telekomunikasi (Hills, 2002)
Beberapa jenis konten media menawarkan diri mereka kepada keemilikan global dan
kontrol produksi serta distribusi, seperti berita, film, rekaman music popular, serial televisi dan
buku. Konten-konten tersebut banyak didistribusikan atau diekspor ke negara-negara lain
sebagai konten nasional negara lain. Hal ini menyiratkan bahwa negara ‘pengekspor’ memliki
kapasitas yang cukup untuk memengaruhi pengalaman media ‘nasional’ dari penerima. Maka
dari itu diperlukan untuk memiliki kecukupan-diri (self-sufficiency) agar mampu membentengi
diri dari terpaan informasi yang bersebrangan dengan latar belakang budaya dan nilai-nilai
yang dianut. Bagaimanapun dengan sumber berita maupun konten media lainnya yang masif
berasal dari negara dominan yang mana dalam hal ini AS akan ketidakseimbangan dalam arus
konten media massa merendahkan otonomi budaya atau menghambat pertumbuhannya.
Contoh paling utama dari internasionalisasi kepemilikan produksi dan distribusi media adalah
industri music popular (perkembangan dalam lima puluh tahun terakhir) dengan proporsi yang
besar dari beberapa pasar yang utama berada di tangan perusahaan ‘lima besar’. Setelah merjer
Bertelsmann dan Sony pada tahun 2004, terdapat empat perusahaan dominan lainnya, yaitu
Sony, Warner, Universal, dan EMI. Sekitar sepertiga penjualan rekaman seluruh dunia berada
di tangan Amerika (Turow, 2009). Globalisasi dan konsentrasi perusahaan media besar juga
cenderung mengarah pada pembentukan kartel, dan perusahaan-perusahaan yang sangat besar
saling bekerja sama sekaligus berkompetisi dalam berbagai cara. Perusahaan-perusahaan juga
bekerja sama dengan berbagi pendapatan, produksi Bersama, pembelian film secara bersama-
sama, dan membagi-bagi pasar lokal.
Sebagian besar isu seputar komunikasi massa global memiliki hubungan langsung atu
tidak langsung dengan tesis ‘imperialisme budaya’ (cultural imperialism) atau gagasan yang
lebih terbatas, yaitu imperialisme media. Kedua konsep tersebut menyatakan upaya yang
disengaja untuk mendominasi, menyerang atau menumbangkan ‘ranah budaya’.
Bagaimanapun, hal tersebut juga memiliki konten politis sekaligus budaya yang secara esensial
merupakan kasus pertama yang diajukan untuk proyek global kapitalisme Amerika (Schiller,
1969). Tesis imperialism budaya telah cukup banyak diabaikan oleh kecenderungan saat ini
untuk membangun banyak isu yang serupa di dalam istilah ‘globalisasi’ (Sreberny-Mohamafi,
1996; Golding dan Harris, 1998). Terdapat konsesnsus umum bahwa model ‘transportasi’
bagaimana media bekerja ini tidak terlalu cocok diterapkan di luar kasus-kasus tertentu dari
komunikasi yang terencana. Jika tidak ada yang lain, kita perlu lebih memperhatikan partisipasi
aktif khalayak dalam membentuk ‘makna’ apa pun yang diambil dari media massa (Liebes dan
Katz, 1990). Lull dan Walls (1992) menggunakan istilah ‘transkulturasi’ untuk
menggambarkan proses interarksi budaya yang termediasi’ di mana musik Vietnam
disilangkan dengan gaya Amerika Utara untuk menghasilkan hibrida budaya yang baru. Ada
banyak contoh proses yang serupa. Ahli teori cenderung melihat globalisasi diiringi oleh proses
‘glokalisasi’ menurut saluran internasional, seperti CNN dan MTV, menyesuaikan dengan
keadaan wilayah yang dilayaninya (Krady, 2001).
Globalisasi berita berawal secara kuat dengan munculnya agen berita internasional pada
abad ke-19 (Boyd-Barrett dan Rantanen, 1998), dan berita adalah produk media pertama yang
secara efektif dikomodifikasi untuk perdagangan internasional. Berita dapat bernilai sebagai
informasi yang berharga atau dapat memuaskan keingintahuan serta human interest, di
manapun berita itu didengar. Pemuatan berita di televisi telah meningkatkan daya Tarik lintas
budaya dari berita dengan mengisahkan berita melalui gambar yang dapat diberi tulisan dalam
bahasa apa pun atau dengan sudut pandang bagaimana pun. Meskipun berita ‘asing’
internasional pada awalnya berkonsentrasi pada politik, perang, diplomasi, dan rujukan tertentu
pada olahraga, bisnis pertunjukan dunia, keuangan, pariwisata, gossip (gossip) selebriti, mode
dan lain sebagainya. Berita akan cenderung tidak mengurusi negara-negara yang jauh dan
secara politik tidak penting (kecuali dalam beberapa krisis sementara) dengan non-elit atau
dengan gagasan, struktur dan Lembaga. Perhatian kurang diberikan diberikan kepada wilayah
yang barangkali secara kuantitatif dan dalam hal lain lebih penting, khususnya mengenai
olahraga, musik hiburan, gossip selebriti dan peristiwa humaniora lainnya yang dapat dengan
mudah menjadi ‘berita’. Di antara pengharapan terhadap internet terdapat harapan akan
memperluas akses dan memperkaya aliran berita internasional hanya dengan karakter kapasitas
yang sepertinya tidak terbatas dan ketersediaannya yang terbuka dari sumber-sumber seluruh
dunia. Studi oleh Chang dan kawan-kawan (2009) mencapai pada kesimpulan yang konsisten,
kali ini berdasarkan pada berita online di lima belas negara. Fokus utamanya adalah pada
hubungan antara negara pusat dengan negara periferi.
Perpaduan motif dam argument budaya serta ekonomi mengacaukan isu yang
sesungguhnya, tetapi Uni Eropa menerima prinsip pasar terbuka. Uni Eropa menjaga beberapa
kebijakan yang memberikan perlindungan kepada industri film dan Televisi Eropa (terutama
yang bernama Directive on Television Without Frontiers yang memberikan hak istimewa bagi
produksi Eropa) tetapi deficit perdagangan dalam produk semacam itu terus berlanjut
(Dupagne dan Waterman, 1998). Impor Amerika yang paling laris biasanya muncul di urutan
kedua dalam pilihannya, tetapi juga terdapat sejumlah besar konten impor yang digunakan
untuk mengisi jadwal siang hari atau malam hari dengan sedikit penonton atau untuk stok
saluran televisi kabel baru yang berbiaya rendah. Praktik paket kumpulan konten yang dijual
secara bersama-sama yang sebenarnya tidak terlalu diinginkan juga mengarah kepada
pemasokan berlebihan. Harga ekspor AS selalu disesuaikan depada situasi pasar tertentu, dan
ada dua faktor ‘diskon budaya’ yang bekerja berhubungan dengan harga bagi derajat kesamaan
budaya antara eksportir dengan importir (semakin rendah kesamaan, semakin rendah harganya)
(Hoskins dan Mirus, 1988).
Konten impor dari AS sebagian besar jatuh ke dalam kategori drama dan fiksi dan
mencerminkan biaya tinggi dari produksi sendiri di negara-negara lain daripada daya tarik atau
kualitas hebat produk yang bersangkutan. Saluran satelit transnasional (multilateral) yang
paling terkenal, misalnya CNN dan MTV juga memiliki kesuksesan yang terbatas dalam
menjangkau khalayak massa di Eropa dan telah dipaksa untuk melokalkan konten dan
penyiaran, dan menyesuaikan konten dan format untuk mengikuti persyaratan lokal.
Munculnya televisi digital telah memberikan momentum bagi transnasionalisasi, tetapi
halangan utamanya bukan bersifat teknologis (Papathanossopolous, 2002). Kisah MTV Eropa,
sebagaimana yang diceritakan Roe dan Meyer (2000) adalah penanda apa yang terjadi secara
umum seiring waktu terhadap saluran televisi satelit transnasional yang mengungguli 'invasi
Eropa pada tahun 1980-an dan tahun 1990-an. MTV pada awalnya sangat sukses dalam
mendapatkan khalayak anak muda yang baru bagi musik pop Anglo-Amerika. Bagaimanapun,
saluran kompetisi di Jerman, Belanda, dan tempat lain memaksa MTV untuk merespons
dengan kebijakan regionalisasi, mempekerjakan bahasa lokal, tetapi tidak mengubah musik
secara signifikan. Proses ini berlanjut, dan pelajarannya adalah meskipun bahasa Inggris
merupakan aset karena merupakan bahasa musik pop, hal ini bukan secara umum menjadi
keuntungan bagi penyajian saluran.
Karena buku ini mengenai media massa, maka secara umum mengabaikan bentuk
bentuk lain dari globalisasi budaya, walaupun sering kali berhubungan dengan media dan
sebaliknya. Negara-negara kaya selalu meminjam elemen budaya dari negara negara jajahan,
dependen, dan rekan dagang dalam bentuk gagasan, rancangan, mode, flora, dan banyak lagi.
Kelompok imigran juga mengambil budaya asli mereka ketika mereka bergabung dengan
negara-negara kaya. Saat ini, penyebaran budaya simbolik terjadi melalui media, periklanan,
dan pemasaran, sering kali melalui pencarian produk baru untuk memenuhi tuntutan gaya
hidup konsumen. Hal ini bekerja dalam dua arah (pusat dan periferi). Moorti (2003)
menggambarkan kasus impor motif India kepada budaya mode Amerika, terutama bindi (tanda
merah) dan cincin hidung. Simbol simbol semacam itu diadopsi oleh wanita Amerika sebagai
pernyataan mode dan juga penanda dari gaya hidup kosmopolitan dan eksotisme, tanpa ada
yang berubah dalam hubungan hierarki antara wanita kulit putih dengan wanita Asia. Moorti
menyebut hal ini sebagai 'kanibalisme simbolik' (symbolic cannibalism) dan contoh umum bagi
komodifikasi alih-alih multikulturalisme yang sesungguhnya. Hal ini juga merupakan contoh
bagi peniruan postmodern. Banyak contoh serupa yang dapat ditemukan.
Berbagai tema yang sama selalu muncul dalam debat dan penelitian mengenai
globalisasi media terkait identitas budaya. Budaya media yang diimpor dianggap menghambat
perkembangan budaya asli dari negara penerima, atau bahkan banyak budaya lokal dan
regional di dalam sebuah negara. Sering kali masalah yang dihadapi dihubungkan dengan
negara lebih kecil yang terletak dalam bayang-bayang negara yang dominan, sebagaimana
kasus Kanada dengan AS, atau Irlandia dengan Inggris.
Hal yang mendasari isu di atas adalah sistem kepercayaan' kuat yang menyatakan
bahwa budaya adalah perlengkapan kolektif yang berharga dari bangsa dan tempat, dan juga
sangat rapuh terhadap pengaruh asing. Nilai yang dilekatkan pada budaya nasional berakar
pada ide yang berkembang selama abad ke-19 dan abad ke-20, di mana pergerakan
kemerdekaan nasional sering kali dihubungkan dengan erat oleh penemuan kembali tradisi
budaya nasional yang penting (misalnya di Yunani, Irlandia, dan Finlandia). Jarangnya korelasi
antara batasan negara yang baru terbentuk (sering kali diciptakan) dengan pembagian budaya
alamiah' dari orang-orang, tidak berbuat banyak untuk mengubab retorika mengenai nilai
intrinsik dari budaya nasional.
Satu konsekuensi budaya dari globalisasi media barangkali terlewat karens sangat jelas:
munculnya budaya media global semacam ini (Tomlinson, 1999) Internasionalisasi media
barangkali mengarah pada homogenisasi atau sinkronisas budaya. Menurut Hamelink (1983:
22), proses ini menyatakan bahwa keputusan terka perkembangan budaya di suatu negara
dibuat berdasarkan kepentingan dan kebutuhan aegara pusat yang berkuasa. Mereka kemudian
dipaksa secara samar, tetapi sangat efektif tanpa menghiraukan kebutuhan adaptif dari negara
dependen' Sebagai hasi budaya menjadi kurang penting dan kohesif dan juga kurang eksklusif
Tema budaya, gaya, gambar, dan penampilan yang diedarkan dan dikonsumsi secara
global melalui komunikasi massa (dan media baru) tidak kekurangan contoh Budaya media
global dicirikan oleh penekanannya pada kebaruan, mode, pesolior di segala bidang, anak
muda, dan seks. Sering kali bintang dari budaya pesohor tertentu sangat global; sering kali
mereka lokal, tetapi fenomenanya tetap sama. Bukan kebetulan, media internasional diberikan
penghargaan (atau disalahkan) untuk mempromosikan budaya semacam ini. Tren ini
ditemukan sama banyaknya, baik di berita maupun hiburan. Menurut Thussu (2009),
globalisasi televisi yang terjadi karena model dorongan-pasar Amerika mengarah pada
sirkulasi dunia dari infotainmen dengan standar nilai berita yang sama dan sering kali berita
yang saina dengan sumber yang sama, di mana pun. Model berita 24 jam misalnya, telah
menyebar di seantero dunia. Meskipun budaya media global semacam itu terlihat bebas-nilai,
kenyataannya mengandung cukup banyak nilai-nilai kapitalisme barat, termasuk
individualisme dan konsumerisme, hedonisme, dan komersialisme. Ini mungkin akan
menambah pilihan budaya dan akrawala yang terbuka bagi beberapa orang, tetapi juga
menantang dan menjajah ranah budaya lokal yang sebelumnya ada, asli, tradisional, dan
minoritas. Hipotesis efek utama dari globalisasi dirangkum dalam Kotak 10.6.
Asal mula pengelolaan global ditemukan dalam persetujuan yang dirancang untuk
memfasilitasi layanan pos internasional, melalui Universal Post Union pada pertengahan abad
ke-19. Pada waktu yang kurang lebih sama (1865). International Telegraph Union dibentuk
untuk membantu mengoordinasikan interkoneksi dan membangun persetujuan mengenai tarif
dengan tambahan kemudian atas tanggung jawab terhadap spektrum radio. Pada kedua kasus
tersebut pada saat itu, pemerintah dan monopoli negara memainkan peranan penting. Setelah
Perang Dunia II, PBB menyediakan arena untuk berdebat mengenai media massa dengan
rujukan tertentu kepada kebebasan berekspresi (dijamin oleh piagam tersebut), aliran bebas
komunikasi antarnegara dan masalah kemandirian. Pada tahun 1078, sebuah percobaan dibuat
di Unesco atas permintaan dari negara-negara Dunia Ketiga untuk memperkenalkan deklarasi
media yang menyatakan sejumlah prinsip bagi perilaku media internasional, terutama yang
berhubungan dengan propaganda perang dan pemberitaan yang buruk. Tentangan dari negara
barat dan media pasar bebas menyebabkan kegagalan usaha tersebut, tetapi usaha ini kemudian
membawa sejumlah isu yang baru dan kontroversial bagi agenda perdebatan dan berkontribusi
terhadap pengakuan sejumlah hak dan kewajiban komunikasi. Masih ada traktat internasional,
termasuk Deklarasi PBB dan Konvensi AS dan Eropa mengenai HAM yang menawarkan untuk
membahas kembali kesalahan yang disebabkan penyalahgunaan komunikasi.

Kesimpulan
Komunikasi massa global adalah kenyataan, dan sejak paruh kedua dari abad ke
20.selalu ada penguatan yang stabil terhadap kondisi globalisasi. Kondisi tersebut adalah
keberadaan pasar bebas produk media; keberadaan dan penghargaan untuk 'hak atas informasi
yang efektif, dan selanjutnya pada kebebasan politik dan kebebasan berpendapat; dan
teknologi yang dapat menawarkan saluran transmisi yang cepat, berkapasitas tinggi, dan
murah, lintas batas, dan jarak jauh. Meskipun demikian, kemungkinan yang nyata untuk
melakukan pengiriman atau penerimaan global dan kemungkinan hal itu mengambil alih
tergantung pada masalah yang lebih umum, terutama yang berkaitan dengan sistem media
nasional dan derajat keterhubungan dengan sistem lain.
Secara berlawanan, negara yang memiliki ketiga kondisi yang disebutkan, ya!tu AS
adalah yang paling tidak diuntungkan oleh media massa yang datang dari luar negaranya
sendiri. Hal ini tidak berlaku pada sektor di mana AS mengimpor 'budaya' dari seluruh dunia
bersamaan dengan produk lain. Alatnya tersedia, tetapi keinginan dan motivasinya tidak ada.
Negara yang paling diuntungkan dengan pengalaman nyata media internasional adalah yang
kecil dan cukup kaya, baik untuk menjaga pertumbuhan budaya nasional maupun menikmati
buah campuran dari masyarakat informasi global. Harus ada penghargaan atas hasil ini, atau
kebutuhan yang menekan bagi komunikasi massa global untuk menyejahterakan dan harapan
utama bagi hal ini sekarang terletak pada Internet dan World Wide Web serta pengembangan
lebih lanjut dari digitalisasi.
Kondisi komunikasi global untuk menjadi komponen yang lebih signifikan dari
komunikasi publik (berlawanan dengan elemen penting dari pasar media) akan menjadi
pergerakan menuju tatanan politik global dan beberapa bentuk pemerintahan internasional.
Daftar Pustaka
Boyd-Barret, O. dan Rantanen, T. (ed.) (1998) The Globalization of News.
London: Sage
Chadha, K. dan Kavoori, A. (2005) 'Globalization and national media system: mapping
interactions in policies markets and formats', in J. Curran and M. Gurevitch (ed.), Mass
Media and Society, ed. 4, him. 84-103. London: Arnold.
Ó Siochrú, S. dan Girand, B., dengan Mahan, A. (2002) Global Media Govemance. Lanham,
MD: Rowman and Littlefield.
Thussu, D. (2009) News as Entertainment, London: Sage.
Tunstall, J. (2007) The Media Were American. Oxford: Oxford University Press.
Arcetti, C. (2008) 'News coverage of 9/11 and the demise of the media flows, globalization and
localization hypotheses', The International Communication Gazette, 70 (6): 463-485.
Biltereyst, D. (1991) 'Resisting American hegemony: a comparative analysis of the reception
of domestic and US fiction', European Journal of Communication, 6(4): 469-497.
Chang, T.-K., Himelboim, L. dan Dong, D. (2009) Open global networks, closed international
flows', The International Communication Gazette, 71 (3): 137-159.
Ferguson, M. (1992) 'The mythology about globalization', European Journal of
Communication, 7 (1): 69-93.
Sinclair, J. (2004) 'Globalization, supranational institutions, and media', dalam J.D.H.
Downing, D. McQuail, P. Schlesinger, dan E. Wartella (ed.), The Sage Handbook of
Media Studies, hlm. 65-82. Thousand Oaks, CA: Sage.

Anda mungkin juga menyukai