Anda di halaman 1dari 28

PTK matematika SMK / SMP

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan semakin kelihatan nyata. Dengan
kesadaran ini, pemerintah dan masyarakat, terutama pendidik, mencurahkan sebagian
besar tenaga, dana dan pikirannya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Misalnya
melakukan perubahan kurikulum, perubahan teknik pengajaran dan penyelenggaraan
kerja sama antara lembaga pendidikan dengan lembaga lain (Kadir dan Ma’sum, 1982,
1991-1992). Untuk meningkatkan mutu pendidikan, pemerintah telah melakukan
berbagai upaya antara lain, (1) meningkatkan kualitas guru SLTP/MTs dari lulusan D1
dan D2 menjadi lulusan S1 penyetaraan, (2) menerbitkan suplemen kurikulum
SLTP/MTs 1994 yang berisi tentang materi pelajaran mana yang masih tetap diajarkan
pada kelas-kelas tertentu dan materi mana yang tidak perlu lagi diajarkan serta materi
yang wajib diajarkan (Depdikbud, 1999:5), (3) mendirikan sekolah-sekolah baru, dan (4)
meningkatkan perbaikan proses belajar mengajar dan hasil belajar melalui pelatihan-
pelatihan guru SD, SLTP, dan SMU.
Matematika merupakan salah satu pelajaran yang diberikan sejak dari tingkat Sekolah
Dasar (SD) sampai Perguruan Tinggi (PT). Pada umumnya matematika dirasakan lebih
sulit untuk dipahami daripada ilmu-ilmu lainnya. Salah satu penyebabnya adalah tidak
adanya kesesuaian antara kemampuan siswa dengan cara penyajian materi sehingga
matematika dirasakan sebagai pelajaran yang sulit untuk diterima. Menurut garis-garis
Besar program Pengajaran (GBPP) Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Madrasah
Tsanawiyah (MTs) kurikulum 1994 dengan suplemen 1999, pada pokok bahasan
Teorema Pythagoras yang berbunyi: “Kuadrat ukuran hipotenusa dari segitiga siku-siku
sama dengan jumlah kuadrat ukuran sisi-siku-sikunya”, merupakan pokok bahasan yang
diberikanpada siswa SMP/MTs kelas II. Seorang guru harus dapat menentukan strategi
pengajaran yang sesuai dengan kemampuan siswanya sehingga mudah dipahami. Secara
khusus ada sebagian masyarakat sekolah yang memprihatinkan pengajaran matematika
tidak hanya diperlukan oleh orang yang terjun dalam dunia pendidikan, tetapi juga
diperlukan oleh orang yang terjun di bidang lain, menurut Mardiati Busono (1988:5).
Melalui proses belajar matematika, mempelajari dan menerapkan ke dalam situasi baru,
misalnya dengan menyelesaikan masalah baik dalam matematika sendiri, dalam ilmu lain
maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Mengajarkan matematika merupakan suatu kegiatan pengajaran sedemikian sehingga
siswa belajar untuk mendapatkan kemampuan dan ketrampilan tentang matematika.
Kemampuan dan ketrampilan tersebut ditandai dengan adanya interaksi yang positif
antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, yang sesuai dengan tujuan pengajaran
yang telah ditetapkan (Hudya, 1988:122). Namun dalam melaksanakan kegiatan
pembelajaran khususnya yang berhubungan dengan matematika, ternyata masih banyak
mengalami hambatan-hambatan baik yang dialami siswa maupun guru. Salah satu
hambatan yang terjadi adalah kesulitan dalam memahami konsep-konsep matematika.
Seperti yang terjadi di SMP 3 ......, didapatkan latar belakang siswa sangat bervariasi
dalam motivasi belajarnya. Mereka rata-rata dalam belajar tanpa dibekali keinginan untuk
memahami konsep-konsep yang diajarkan oleh guru. Mereka kurang dalam mengkaitkan
materi satu dengan yang lain. Sehingga yang terjadi mereka kebingungan dan selanjutnya
menyelesiakan soal seenaknya sendiri.
Berdasarkan pengalaman peneliti, dari beberapa materi / pokok bahasan yang disajikan di
kelas II SMP/MTs adalah pokok bahasan Teorema Pythagoras, bentuk-bentuk kesalahan
konsep yang sering terjadi seperti:
1. Diketahui sebuah segitiga siku-siku di B panjang AB = 3 cm, BC = 4. Hitung
panjang AC.
Jawaban yang sering dilakukan oleh siswa:
AC = AB + AC = 3 + 4 = 9 + 16 = 25
2 2 2 2

2. Perhatikan gambar berikut:


Pergunakan Teorema Pythagoras untuk menentukan nilai p pada setiap segitiga siku-siku.
Jawaban siswa:
a. p2 = 132 + 52 = 169 + 25 = 194 b. p2 = 172 + 152 = 189 + 225 = 414
3. Sebuah tongkat yang panjangnya 26 dm disandarkan pada tembok. Jika jarak
ujung tongkat pada tanah ke tembok adalah 10 dm, tentukan jarak ujung tongkat
pada tembok ke tanah.
Jawaban siswa:
Panjang tongkat = r, jarak tongkat ke tanah = a, dan jarak ujung tongkat ke tembok = b maka:
b = r + a = 26 + 10 = 656 + 100 = 756.
2 2 2 2

Dari contoh di atas banyak siswa sulit untuk menyelesaikan soal penerapan Teorema
Pythagoras, sehingga yang terjadi langkah awalnya tidak mengerti dan selanjutnya tidak
mampu mengerjakan. Selain itu kesulitan yang sering terjadi, siswa sulit untuk membedakan
pangkat dua dan mancari akar kuadrat suatu bilangan. Penyebab kesalahan ini adalah siswa
kurang memahami prinsip, konsep, apa yang ditanyakan dan siswa sering kurang teliti.
Setiap pokok bahasan yang disajikan dalam matematika itu selalu berkesinambungan,
maka peneliti ingin memperbaiki pembelajaran dengan mengadakan penelitian yang
berjudul: “Mengajarkan Matematika dengan Pendekatan Kontekstual (kubus dan balok)
pada Pokok Bahasan Teorema Pythagoras Siswa Kelas II B Di SMP Negeri ...... Tahun
Pelajaran 2004/2005.”

B. Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka masalah yang akan
diteliti adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana mengajarkan Teorema Pythagoras dengan pendekatan kontektual
(kubus dan balok) siswa Kelas II B Di SMP Negeri ......?
2. Prestasi belajar siswa pada pokok bahasan Teorema Pythagoras
dengan pendekatan kontektual (kubus dan balok)?

C. Tujuan Penelitian
Mengacu pada rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini agar dapat:
1. metode / pendekatan dalam pembelajaran matematika pada pokok bahasan
Teorema Pythagoras secara kontekstual (kubus dan balok) siswa Kelas II B Di
SMP Negeri .......
2. prestasi siswa dalam belajar Teorema Pythagoras, khusus siswa kelas II B SMP
Negeri .......

D. Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk:
1. Bahan informasi bagi guru matematika guna peningkatan prestasi siswa setelah
guru mengetahui letak kesalahan pemahaman konsep yang dialami siswa,
khususnya pada pokok Teorema Pythagoras.
2. bahan pertimbangan untuk memilih metode pengajaran yang sesuai dalam
menyelesaikan soal matematika khususnya pada pokok bahasan Teorema
Pythagoras.
3. Bahan pertimbangan penelitian lebih lanjut guna peningkatan prestasi belajar
mengajar siswa.

E. Asumsi Penelitian
Asumsi dalam penelitian ini adalah:
1. Hasil tes sesuai dengan kemampuan yang dimiliki siswa.
2. Kesalahan-kesalahan siswa dalam menjawab setiap soal merupakan indikator
kesulitan dalam memahami konsep.
3. Siswa mendapatkan fasilitas yang sama dari sekolah.

BAB II
KERANGKA TEORI

A. Hakekat Matematika
Sampai saat ini belum ada kesepakatan yang bulat untuk mendefinisikan apa itu
matematika. Walaupun belum ada definisi tunggal menganai matematika, bukan berarti
matematika tidak dapat dikenali. Seperti apa yang telah diutarakan oleh Soedjadi
(1985:5) sebagai pengetahuan matematika mempunyai beberapa karakteristik, yaitu
bahwa obyek matematika tidaklah konkrit tetapi abstrak. Dengan mengetahui obyek
penelaahan matematika, kita dapat mengetahui hakekat matematika yang sekaligus dapat
diketahui juga cara berfikir matematika oleh E.T. Ruseffendi (1980:148)
mengungkapkan: Matematika itu timbul karena pikiran-pikiran manusia yang
berhubungan dengan ide, proses dan penalaran. Matematika terdiri dari empat wawasan
yang luas yaitu: Aritmatika, Aljabar, Geometri dan Analisa. Selain itu matematika adalah
ratunya ilmu, maksudnya bahwa matematika itu tidak tergantung pada bidang studi lain.
Bahasa matematika yang digunakan agar dapat dipahami orang, dengan menggunakan
simbol dan istilah yang telah disepakati bersama. Sementara itu Hudoyo (1983:3) secara
singkat mengatakan bahwa “Matematika berkenaan dengan ide-ide atau konsep-konsep
abstrak yang tersusun secara hirarkis dan panalaran deduktif.”
Mengenai obyek matematika, Ruseffendi (1980:139) membedakan bahwa obyek
matematika terdiri dari dua tipe, yaitu obyek langsung dan obyek tak langsung. Obyek
tak langsung adalah hal-hal yang mempengaruhi hasil belajar, misalnya kemampuan
memecahkan masalah dan kemampuan mentransfer pengetahuan. Sedangkan obyek
langsung dikelompokkan menjadi empat kategori yaitu: fakta, ketrampilan, konsep dan
prinsip (aturan).
Hudojo (1988:97) mengungkapkan bahwa apabila matematika dipandang sebagai suatu
struktur dari hubungan-hubungan maka simbol-simbol formal diperlukan untuk
menyertai himpunan benda-benda atau obyek-obyek. Simbol-simbol ini sangat penting
dalam membentuk memanipulasi aturan yang beroperasi di dalam struktur-struktur.
Pemahaman terhadap struktur-struktur dan proses simbolisasi memberikan fasilitas
komunikasi dan dari komunikasi ini kita mendapatkan informasi. Dari informasi-
informasi ini dapat membentuk konsep baru. Dengan demikian simbol-simbol
bermanfaat untuk kehematan intelektual, sebab simbol-simbol dapat digunakan dalam
mengkomunikasikan ide secara efektif dan efisien. Karena itu belajar matematika
sebenarnya untuk mendapatkan pengertian hubungan-hubungan dan simbol-simbol serta
kemudian mengaplikasikan dalam kehidupan yang nyata. Dengan demikian hakekat
matematika adalah hal-hal yang berhubungan dengan ide-ide, struktur-struktur dan
hubungannya diatur menurut aturan yang logis.

B. Belajar Matematika
Belajar merupakan kegiatan setiap orang. Seseorang dikatakan belajar, bila dapat
diasumsikan dalam diri orang itu terjadi suatu proses kegiatan yang mengakibatkan
perubahan tingkah laku. Kegiatan atau usaha untuk mencapai perubahan tingkah laku
sendiri merupakan hasil belajar. Karena itu seseorang dikatakan belajar, bila dapat
diasumsikan dalam diri orang itu terjadi suatu proses kegiatan yang mengakibatkan suatu
perubahan tingkah laku. Perubahan tingkah laku itu memang tidak dapat diamati dan
berlaku dalam waktu relatif lama. Kegiatan dan usaha untuk mencapai perubahan tingkah
laku merupakan proses belajar sedang perubahan tingkah laku sendiri merupakan hasil
belajar.
Ausebel mengemukakan bahwa belajar dikatakan bermakna bila informasi yang akan
dipelajari siswa sesuai dengan struktur kognitif yang dimilikinya, sehingga siswa dapat
mengaitkan informasi baru dengan struktur kognitif yang dimiliki (Hudoyo, 1990:138).
Dalam teori belajar Robert M. Gagne yang diungkapkan Ruseffendi (1980:138) dikatakan
bahwa dalam belajar ada dua obyek yang dapat diperoleh siswa, obyek langsung dan
obyek tak langsung. Obyek tak langsung antara lain: kemampuan menyelidiki dan
memecahkan masalah, mandiri (belajar, bekerja dan lain-lain), bersikap positif
termahadap matematika dan mengerti bagaimana seharusnya belajar. Obyek langsung
adalah sebagai berikut:
1. Fakta
Contoh fakta ialah angka/lambang bilangan, sudut, ruas garis, simbol dan notasi.
2. Ketrampilan
Ketrampilan adalah kemampuan memberikan jawaban yang benar dan cepat.
Misalnya melakuka pembagian cara cepat, membagi bilangan dengan pecahan,
menjumlahkan pecahan dan sebagainya.

3. Konsep
Konsep merupakan ide abstrak yang memungkinkan kita mengelompokkan benda-
benda (obyek) ke dalam contoh.
4. Aturan
Aturan ialah obyek yang paling abstrak, yang dapat berupa sifat, dalil dan teori.
Seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari pada apa yang
telah diketahui orang. Karena matematika merupakan ide-ide yang abstrak yang diberi
simbol-simbol maka konsep-konsep matematika harus dipahami lebih dahulu sebelum
memanipulasi simbol-simbol itu. Karena itu untuk mempelajari suatu materi yang baru,
pengalaman belajar yang lalu akan mempengaruhi proses belajar materi selanjutnya.
Sebagai contoh, untuk dapat memahami arti perkalian siswa harus memahami terlabih
dahulu apa itu penjumlahan, karena itu penjumlahan harus dipelajari lebih dahulu dari
perkalian. Dengan demikian apabila belajar matematika yang terputus-putus akan
menganggu terjadinya proses belajar, karena itu proses belajar matematika akan lancar
jika dilakukan secara kontinyu.
Dalam proses belajar matematika terjadi proses berfikir. Seseorang dikatakan berfikir bila
melakukan kegiatan mental dan orang yang belajar matematika selalu melakukan
kegiatan mental. Sehingga dalam berfikir, seseorang dapat menyusun hubungan-
hubungan antar bagian-bagian informasi sebagai pengertian, kemudian dapat disusun
kesimpulan. Dalam proses itu juga melibatkan bagaimana bentuk kegiatan mengajarnya.
Mengajar adalah suatu kegiatan dimana pengajar menyampaikan pengetahuan atau
pengalaman yang dimiliki kepada peserta didik. Tujuan mengajar adalah agar
pengetahuan yang disampaikan itu dapat dipahami peserta didik, sehingga mengajar bisa
dikatakan baik, apabila hasil belajar, peserta didik juga baik. Apabila terjadi proses
belajar mengajar itu baik, maka dapat diharapkan bahwa hasil belajar peserta didik akan
baik pula. Dengan demikian siswa sebagai subyek akan dapat memahami matematika,
selanjutnya mampu mengaplikasikan pada situasi yang baru, seperti masalah yang ada
dalam kehidupan sehari-hari.

C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Proses Mengajar dan Belajar


Matematika
Menurut Herman Hudoyo (1988:6) kegiatan belajar yang kita kehendaki akan bisa
tercapai bila faktor-faktor berikut ini dapat dikelola sebaik-baiknya:
1. Peserta didik
Kegagalan atau keberhasilan belajar sangat tergantung kepada peserta didik. Misalnya
saja, bagaimana kemampuan dan kesiapannya untuk belajar matematika, bagaimana
kondisi si anak, dan kondisi fisiologisnya. Orang yang dalam keadaan sehat jasmani
akan lebih baik belajar daripada orang yang dalam keadaan lelah, seperti perhatian,
pengamatan, ingatan juga berpengaruh terhadap kegiatan belajar seseorang.
2. Pengajar
Kemampuan pengajar dalam menyampaikan materi dan sekaligus menguasai materi
yang diajarkan sangat mempengaruhi terjadinya proses belajar. Seorang pengajar
yang tidak menguasai materi matematika dengan baik dan kurang menguasai cara
menyampaikan dengan tepat dapat mengakibatkan rendahnya mutu pengajaran dan
yang kedua dapat menimbulkan kesulitan peserta didik dalam memahami matematika.
Akibatnya proses belajar matematika tidak berlangsung efektif.
3. Sarana dan prasarana
Sarana yang lengkap seperti adanya buku teks dan alat bantu belajar merupakan
fasilitas yang penting. Demikian pula prasarana yang cocok seperti ruangan dan
tempat duduk yang bersih dan sejuk bisa memperlancar terjadinya proses belajar.
Tidak menutup kemungkinan penyediaan sumber lain, seperti majalah tentang
pengajaran matematika, laboratorium matematika dan lain-lain akan dapat
meningkatkan kualitas belajar.
4. Penilaian
Penilaian dipergunakan untuk melihat bagaimana berlangsungnya interaksi antara
pengajar dan peserta didik. Disamping itu penilaian juga berfungsi untuk
meningkatkan kegiatan belajar sehingga dapat diharapkan dapat memperbaiki hasil
belajar apabila kurang berhasil. Penilaian juga mengacu pada proses belajar, yang
dinilai adalah bagaimana langkah-langkah berfikir siswa dalam menyelesaikan
masalah matematika. Dengan demikian, apabila langkah-langkah penyelesaian
masalah benar sedangkan langkah terakhir salah, telah menunjukkan proses belajar
siswa baik.

D. Kesulitan Belajar Matematika


Pada kenyataanya, dalam proses belajar mengajar masih dijumpai bahwa siswa
mengalami kesulitan belajar. Kenyataan inilah yang harus segera ditangani dan
dipecahkan. Seperti yang telah diuraikan pada Bab I, bahwa kesulitan belajar merupakan
suatu kondisi dalam proses belajar mengajar yang ditandai dengan hambatan-hambatan
tertentu dalam mencapai hasil belajar yang diharapkan.
Menurut Soejono (1984:4) kesulitan belajar siswa dapat disebabkan oleh beberapa faktor,
baik faktor internal maupun faktor eksternal seperti: fisiologi, faktor sosial, faktor
pedagogik. Selain itu, terdapat pula kesulitan khusus dalam belajar matematika seperti:
1. Kesulitan dalam menggunakan konsep
Dalam hal ini dipandang bahwa siswa telah memperoleh pengajaran sautu konsep,
tetapi belum menguasainya mungkin karena lupa sebagian atau seluruhnya. Mungkin
pula konsep yang dikuasai kurang cermat. Hal ini disebabkan antara lain:
a. Siswa lupa nama singkatan suatu obyek
Misalnya siswa lupa memangkatkan suatu bilangan dengan pangkat dua.
b. Siswa kurang mampu menyatakan arti istilah dalam konsep.
Misalkan siswa yang mampu menyatakan istilah kuadrat dan kali dua dan mereka
menganggap sama.
2. Kesulitan dalam belajar dan menggunakan prinsip
Jika kesulitan siswa dalam menggunakan prinsip kita analisa, tampaklah bahwa pada
umumnya sebab kesulitan tersebut antara lain:
a. Siswa tidak mempunyai konsep yang dapat digunakan untuk
mengembangkan prinsip sebagai butir pengetahuan yang perlu.
b. Miskin dari konsep dasar secara potensial merupakan sebab kesulitan
belajar prinsip yang diajarkan dengan metode kontekstual (contoh nyata).
c. Siswa kurang jelas dengan prinsip yang telah diajarkan.
3. Kesulitan memecahkan soal berbentuk verbal.
Memecahkan soal berbentuk verbal berarti menerapkan pengetahuan yang dimiliki
secara teoritis untuk memecahkan persoalan nyata atau keadaan sehari-hari.
Keberhasilan dalam memecahkan persoalan berbentuk verbal tergantung kemampuan
pemahaman verbal, yaitu kemampuan memahami soal berbentuk cerita dan
kemampuan mengubah soal verbal menjadi model matematika, biasanya dalam
bentuk persamaan serta kesesuaian penga,ana siswa dengan situasi yang diceritakan
dalam soal. Beberapa sebab siswa sulit memecahkan soal berbentuk verbal.
a. Tidak mengerti apa yang dibaca, akibat kurang pengetahuan siswa
tentang konsep atau beberapa istilah yang tidak diketahui. Untuk mengecek
kebenaran dugaan ini, setelah membaca soal, guru dapat meminta siswa untuk
menyatakan pendapatnya dengan menggunakan bahasanya sendiri. Guru dapat
mengecek apakah ada istilah-istilah yang mungkin belum diketahui atau
dilupakan. Selain itu juga perlu dipahami, apa yang diketahui dan apa yang
dinyatakan serta rumus-rumus apa yang diperlukan.
b. Siswa tidak mengubah soal berbentuk verbal menjadi model
matematika dan hubungannya.
Kesulitan belajar dapat ditunjukkan dengan beberapa gejala yaitu:
- menunjukkan prestasi yang rendah
- hasil yang dicapai tidak sesuai dengan usaha yang dilakukan
- keterlambatan dalam melaksanakan tugas yang diberikan
Obyek yang dapat kita periksa untuk mengetahui penyebab kesukaran siswa belajar
contohnya seperti:
• Materi yang diajarkan dianggap terlalu sulit,
• Pengajarannya yang kurang baik dan dapat disebabkan oleh kesalahan pengajaran
dalam menyajikan metode ataupun tidak adanya alat peraga, dan
• Dari siswa sendiri disebabkan karena kelemahan jasmani, kurang cerdas, tidak ada
minat, tidak ada bakat, emosi tidak stabil, suasana yang tidak mendukung (Ruseffendi,
1980:333).

E. Belajar Tuntas
Belajar tuntas adalah suatu sistem yang mengharapkan sebagian besar siswa dapat
menyelesaikan tujuan instruksional umum dari satuan atau unit-unit pelajaran secara
tuntas. Mengenai ketuntasan, siswa yang memperoleh
nilai ulangan harian kurang dari 7,5 perlu diberikan remidi dengan
menitikberatkan pada materi yang belum dikuasai (Ahmad, 1995:20). Ngadiono (1980:1)
menjelaskan bahwa maksud utama belajar tuntas adalah memungkinkan pencapaian
minimal 60% untuk ketrampilan dan 75% untuk konsep. Pada belajar tuntas, siswa
diharapkan mencapai tingkat penguasaan tertentu terhadap tujuan instruksional dari
satuan pelajaran tertentu sebelum melanjutkan ke satuan pelajaran berikutnya.
F. Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL)
1. Pengertian
Kontekstual berasal dari kata dasar konteks yang berarti berbagai bidang kehidupan
atau hal-hal yang diperlukan agar orang dapat melaksanakan sesuatu. Definisi
pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) adalah konsep
belajar yang membantu guru mengkaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi
dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan
masyarakat.
Dengan konsep ini, hasil materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata dan
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh
komponen utama pembelajaran efektif, yakni: kontruktivisme (Constructivism),
bertanya (Questioning), menemukan (Inquiry), masyarakat belajar (Learning
Community), pemodelan (Modeling), dan penilaian sebenarnya (Authentic
Assesment). Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) adalah
konsep belajar yang membantu guru mengkaitkan pembelajaran diharapkan lebih
bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah, bukan tranfer
pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada
hasil.
Dalam konteks itu, siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam
status apa mereka, dan bagaimana mencapainya. Mereka sadar bahwa yang mereka
pelajari berguna bagi hidupnya nanti. Dengan begitu mereka memposisikan sebagai
diri sendiri yang memerlukan suatu bekal untuk hidupnya nanti. Mereka mempelajari
apa yang bermanfaat bagi dirinya dan berupaya menganggapinya. Dalam upaya itu,
mereka memerlukan guru sebagai pengarah dan pembimbing.
Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya.
Maksudnya, guru lebih bayak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi.
Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk
menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru datang
dari ‘menemukan sendiri’, bukan dari ‘apa kata guru’. Begitulah peran guru di kelas
yang dikelola dengan pendekatan kontekstual.
Kontekstual hanya sebuah strategi pembelajaran. Seperti halnya strategi pembelajaran
yang lain, kontekstual dikembangkan dengan tujuan agar pembelajaran berjalan
konduktif dan bermakna. Pendekatan kontekstual dapat dijalankan tanpa harus
mengubah kurikulum, dalam bidang studi apa saja, dan tidak diperlukan biaya yang
mahal. Secara garis besar penerapan pendekatan kontekstual, langkahnya adalah
sebagai berikut ini:
1. Kembangkan pemikiran bahwa siswa akan belajar lebih bermakna dengan cara
bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkontruksi sendiri pengetahuan dan
ketrampilan barunya.
2. Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik.
3. Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya.
4. Ciptakan ‘masyaraat belajar’ (belajar dalam kelompok-kelompok).
5. Hadirkan ‘model’ sebagai contoh pembelajaran.
6. Lakukan refleksi diakhir pertemuan.
7. Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.
Tujuh komponen pendekatan kontekstual (CTL):
Tujuh komponen pendekatan yaitu:
1. Kontruksi (Constructivism), kontruksivisme merupakan landasan berfikir
pendekatan kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit
demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak
sekonyong-konyong. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah,
menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide,
2. Menemukan (Inquiri), penemuan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran
kontekstual, yaitu pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa diharapkan
bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan
sendiri. Guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan
menemukan,
3. Bertanya (Questioning), pengetahuan yang dimiliki seseorang, selalu bermula dari
‘bertanya’. Bertanya merupakan strategi utama pembelajaran ini. Bertanya dalam
pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing,
dan menilai kemampuan berfikir siswa,
4. Masyarakat belajar (Learning Community), konsep masyarakat belajar
menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjsama dengan orang lain.
Hasil belajar diperoleh dari ‘sharing’ antara teman, antar kelompok, dan
antara yang tahu ke yang belum tahu. Di kelas ini, di sekitar sini, juga orang yang
di luar sana, semua adalah anggota masyarakat belajar,
5. Pemodelan (Modeling), maksudnya dalam sebuah pembelajaran ketrampilan atau
pengetahuan tertentu, ada model yang bisa ditiru. Pemodelan pada dasarnya
membahas akan gagasan yang dipikirkan, mendemontrasikan bagaimana guru
menginginkan pada siswanya untuk belajar, dan melakukan apa yang diinginkan
guru bagi siswa-siswanya. Pemodelan dapat berbentuk demontrasi, pemberian
contoh tentang konsep atau aktifitas belajar,
6. Refleksi (Reflection), adalam cara berfikir tentang apa yang baru dipelajari atau
berfikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah dilaksanakan di masa yang lalu.
Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktifitas, atau pengetahuan yang
baru diterima. Misalnya ketika pelajaran berakhir siswa merenungkan apa yang
baru diterimanya,
7. Penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment), adala prosedur penilaian pada
pembelajaran kontekstual dengan prinsip dan ciri-ciri penilaian autentik.
Assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan
gambaran perkembangan belajar siswa. Hal ini untuk memastikan apakah siswa
telah mengalami proses pembelajaran yang benar atau tidak.

2. Strategi Pembelajaran Kontekstual


Pendekatan atau strategi yang berasosiasi dengan pembelajaran kontekstual memiliki
kesamaan ciri dalam hal:
Pengajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)
Pembelajaran berbasis masalah adalah suatu pendekatan pembelajaran yang
menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar
tentang cara berfikir kritis dan ketrampilan pemecahan masalah, serta untuk
memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran. Hal ini
dimaksudkan untuk merangsang berfikir tingkat tinggi dalam situasi berorientasi
masalah, termasuk di dalam belajar dan bagaimana belajar. Tugas guru adalah
menyajikan masalah, mengajukan pertanyaan, dan memfasilitasi penyelidikan dan
dialog.

3. Pengajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang secara sadar dan sengaja
mengembangkan interaksi yang silih asuh (saling tenggang rasa). Menurut
Abdurrahman dan Bintoro (2000:78) mengatakan bahwa “pembelajaran kooperatif
adalah pembelajaran yang secara sadar dan sistematis mengembangkan interaksi yang
silih asah, silih asuh, dan silih asuh antar sesama siswa sebagai latihan hidup di dalam
masyarakat nyata.
Hasil penelitian yang dilakukan Johnson (1984) keunggulan pembelajaran kooperatif
yaitu:
1. Memudahkan siswa melakukan penyesuaian sosial,
2. Mengembangkan kegembiraan belajar yang sejati,
3. Menghilangkan sifat mementingkan diri sendiri/egois,
4. Meningkatkan kepekaan dan kesetiakawanan sosial,
5. Meningkatkan kemampuan memandang masalah dan situasi dari berbagai
perpektif,
6. Meningkatkan hubungan positif antara siswa terhadap guru dan personil sekolah.

4. Pengajaran Berbasis Inkuiri


Pembelajaran dengan penemuan (inquiri) merupakan suatu komponen penting.
Bruner (1966), menganjurkan pembelajaran dengan basis inkuiri sebagai berikut:
“Kita mengajarkan suatu bahan kajian tidak untuk menghasilkan perpustakaan hidup,
tetapi lebih ditujukan untuk membuat siswa berfikir”. Belajar dengan penemuan
mempunyai keuntungan: memacu siswa untuk mengetahui, memotivasi siswa untuk
menemukan jawaban, dan siswa belajar memecahkan masalah secara mandiri serta
memiliki ketrampilan berfikir kritis. Inkuiri adalah seni dan ilmu bertanya dan
menjawab, juga menuntut eksperimentasi, refleksi, dan pengenalan akan keunggulan
metode sendiri.

5. Pengajaran Autentik
Pengajaran autentik yaitu pendekatan pengajaran yang memperkenalkan siswa untuk
mempelajari konteks bermakna, siswa dituntut mengembangkan ketrampilan befikir
dan pemecahan maslaah yang penting dalam konteks kehidupan nyata. Untuk
memecahkan masalah, siswa harus mengidentifikasi masalah, mengidentifikasi
kemungkinan pemecahannya, memilih dan melaksanakan pemecahan atas masalah
tersebut.
6. Pengajaran Berbasis Proyek / Tugas
Hal ini membutuhkan suatu pendekatan pengajaran komprehensif dimana lingkungan
belajar siswa didesain agar siswa dapat melakukan penyelidikan terhadap masalah-
masalah autentik termasuk pendalaman materi dan melaksanakan tugas bermakna.
Siswa diberi tugas / proyek yang kompleks, sulit, lengkap, tetapi autentik dan
kemudian diberikan bantuan secukupnya. Tidak memandang apakah tugas harus
dikerjakan sebagai pekerjaan kelas atau sebagai pekerjaan rumah.

7. Pengajaran Berbasis Kerja


Pengajaran berbasis kerja memerlukan suatu pendekatan pengajaran yang
memungkinkan siswa menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari materi
pelajaran berbasis sekolah dan sebagaimana materi tersebut dipergunakan di tempat
kerja. Pengajaran berbasis kerja menganjurkan pentransferan model pengajaran dan
pembelajaran yang efektif kepada aktifitas sehari-hari di kelas, baik dengan cara
melibatkan siswa dalam tugas dan melibatkan siswa dalam kelompok pembelajaran.

8. Pengajaran Berbasis Jasa Layanan


Pengajaran berbasis jasa layanan memerlukan penggunaan metodologi pengajaran
yang mengkombinasikan jasa layanan masyarakat dengan suatu struktur berbasis
sekolah untuk merefleksikan jasa layanan. Strategi pembelajaran ini berpijak pada
pemikiran bahwa semua kegiatan kehidupan dijiwai oleh kemampuan melayani.
Untuk itu siswa sejak dini dibiasakan untuk melayani orang lain.

Pada dasarnya siswa lebih mudah belajar pada sesuatu yang kongkrit karena memahami
konsep abstrak sulit untuk diterima. Oleh karena itu diperlukan benda-benda konkrit (riil)
sebagai perantara atau visualisasinya. Konsep abstrak itu dicapai melalui tingkat belajar
yang berbeda-beda. Konsep abstrak yang dipahami siswa akan mengendap, melekat, dan
tahan lama bila siswa belajar melalui perbuatan dan pengertian, bukan hanya melalui
teori belaka.
Dalam belajar matematika diperlukan alat peraga yang berfungsi sebagai:
1. Proses belajar mengajar termotivasi. Baik siswa maupun guru, terutama siswa
minatnya akan timbul. Mereka akan senang, terangsang, tertarik dan akan bersikap
positif terhadap pengajaran matematika.
2. Konsep abstrak matematika tersajikan dalam bentuk konkrit maka lebih dapat
dipahami dan dimengerti, serta dapat dikembangkan.
3. Hubungan antara konsep abstrak matematika dengan benda-benda di alam sekitar
akan lebih dapat dimengerti.
4. Konsep-konsep abstrak yang disajikan dalam bentuk konkrit yaitu dalam bentuk
model matematika yang dapat dipakai sebagai obyek penelitian maupun sebagai
alat untuk meneliti ide-ide baru dan relasi baru menjadi bertambah banyak.
Selain itu penggunaan alat peraga dapat dikaitkan dengan salah satu:
1. Pembentukan konsep.
2. Pemahaman konsep.
3. Latihan dan penguatan.
4. Pelayanan terhadap perbedaan individual, termasuk pelayanan terhadap siswa yang
lemah dan siswa berbakat.
5. Pengukuran, alat peraga dipakai sebagai alat ukur.
6. Pengamatan dan penemuan sendiri ide-ide dan relasi baru serta
penyimpulan secara umum, alat peraga sebagai obyek peneliti maupun sebagai alat
untuk meneliti.
Alat peraga dapat berupa benda riil, gambar atau diagram. Keuntungan alat peraga benda
riil adalah benda-benda itu dapat dipindah-pindahkan (dimanipulasi), sedangkan
kelemahannya tidak dapat disajikan dalam buku (tulisan). Oleh karena itu untuk bentuk
tulisan dibuat gambar atau diagram, tetapi kelemahannya ialah tidak dapat dimanipulasi.

G. Materi Teorema Pythagoras


1. Kuadrat dan akar kuadrat suatu bilangan
Kuadrat suatu bilangan ialah bilangan yang diperoleh dengan mengalikan bilangan itu
dengan dirinya sendiri.
Contoh:
9,52 = 9,5 x 9,5 = 90,25
152 = 15 x 15 = 225
Akar kuadrat suatu bilangan n ialah suatu bilangan positif yang jika dikuadratkan (dikalikan
dengan dirinya sendiri) akan menghasilkan bilangan ke-n.

Contoh:
1. 64 = 8 x 8 = 8 x 8 tulis akar
2. 0,25 = 0,5 x 0,5 = 0,5 x 0,5 = 0,5
3. Luas daerah persegi dan luas daerah segitiga siku-siku

Gambar (i)

S
Perhatikan gambar!
Luas daerah persegi ABCD adalah:
L=sxs=s 2

Luas daerah segitiga ABC adalah:


L=½xs 2

Perhatikan kalimat-kalimat berikut:


1. Diketahui sebuah segitiga PQR siku-siku di titik Q. Jika PQ = 8 cm dan QR = 24
cm, tentukan luas daerah segitiga PQR!
2. Hitunglah luas segitiga berikut dalam satuan cm2!
3. Pembuktian Theorema Pythagoras
Pada setiap segitiga siku-siku, sisi-sisinya terdiri dari sisi siku-siku dan sisi miring
(hipotenusa). Perhatikan gambar segitiga ABC! Segitiga ABC siku-siku di A, sisi
yang membentuk sudut siku-siku disebut sisi siku-siku, yaitu AB dan AC.
Sisi dihadapan sudut siku-siku disebut sisi miring atau hipotenusa yaitu BC.
Selanjutnya untuk mendapatkan Teorema Pythagoras.

Perhatikan gambar berikut :


Gambar (ii)

Berdasarkan gambar tersebut, hitunglah luas persegi-persegi pada setiap sisi


segitiga, dan lengkapilah tabel berikut ini.
Pada hipotenusa Luas persegi pada salah satu siku-siku Luas persegi pada salah
satu siku-siku Jumlah luas persegi pada kedua sisi siku-siku

Luas Persegi pd siku Luas persegi pd siku


NoHipotenusa L1 + L2
1 2
A 25 9 16 25
B 8 4 4 8
Gambar
(iii)
Dari tabel di atas, ternyata luas persegi pada hipotenusa sama dengan jumlah luas
persegi pada sisi siku-sikunya (kedua sisi lainnya).

Cara lain untuk mendapatkan Teorema Pythagoras, perhatikan gambar berikut!


Dari gambar di atas (i) dan (ii) merupakan persegi yang mempunyai panjang sisi
yang sama, yaitu (b + c). Karena panjang sisinya sama, maka luasnya juga sama.
Berikutnya, perhatikan luas daerah yang diarsir pada gambar (i) dan (ii). Ternyata
luasnya sama. Hal ini berarti luas yang tidak diarsir dari kedua persegi tersebut
juga sama. Jadi a2 = b2 + c2.
Pada gambar (iii), a2 adalah luas persegi pada hipotenusa dan b2 + c2 adalah
jumlah luas persegi pada sisi siku-siku.
Dari kedua cara di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
Untuk setiap segitiga siku-siku selalu berlaku:
Luas persegi pada hipotenusa sama dengan jumlah luas persegi pada sisi yang
lain (sisi siku-siku). Teorema ini disebut Teorema Pythagoras, karena teori ini
pertama kali ditemukan oleh Pythagoras, yaitu seorang ahli matematika bangsa
Yunani yang hidup pada abad VI Masehi.

4. Rumus Teorema Pythagoras


Teorema Pythagoras yang pembuktiannya telah dilakukan di atas dapat digunakan
untuk menghitung panjang suatu sisi segitiga siku-siku apabila salah satu sisinya
tidak diketahui.
Dari Teorema Pythagoras dapat diturunkan rumus-rumus berikut.
Jika segitiga ABC siku-siku di titik A, maka berlaku:
BC2 = AC2 + AB2, atau
a2 = b2 + c2, atau
b2 = a2 – c2, atau
c2 = a2 – b2

5. Kebalikan Teorema Pythagoras dan Tigaan Pythagoras (Tripel


Pythagoras)
(a) Kebalikan Teorema Pythagoras
Dari Teorema Pythagoras dapat dibuat pernyataan yang merupakan
kebalikannya. Teorema Pythagoras menyatakan: dalam segitiga ABC jika
siku-siku di A, maka:
a2 = b2 + c2. Kebalikan dari teorema ini adalah: dalam segitiga ABC, jika a2
= b2 + c2, maka sudut A siku-siku. Untuk selanjutnya akan diselidiki
kebenaran pernyataan kebalikan Teorema Pythagoras.
Pada gambar (i) diketahui bahwa a2 = b2 + c2, apakah sudut C siku-siku?
Pada gambar (ii) PQ = c, PR = b, QR = x, dan sudut PQR siku-siku, maka x2
= b2 + c2.
Dari gambar (i) a2 = b2 + c2 (diketahui).
Dari gambar (ii) x2 = b2 + c2 (berdasarkan Teorema Pythagoras).
Karena ruas kanannya sama, maka a2 = x2, berarti a = x. Jadi ketiga sisi
segitiga ABC berturut-turut tepat sama dengan sisi segitiga PQR. Maka
segitiga ABC dan segitiga PQR kongruen, sehingga suudt CAB = sudut RPQ.
Hal ini menunjukkan bahwa kebalikan Teorema Pythagoras benar. Maka
dapat diketahui apakah suatu segitiga merupakan segitiga siku-siku atau
bukan, jika diketahui ketiga sisinya.
Contoh:
1. Tunjukkan bahwa segitiga yang berukuran 4 cm, 3 cm, dan 5
cm adalah segitiga siku-siku.
Jawab: Misalnay sisi terpanjang adalaha, maka:
a = 5, b = 4, dan
c = 3 a2 = 52 a2 = 25 b2 + c2 = 42 + 32 = 16 + 9 = 25
Karena a2 = b2 + c2, maka segitiga tersebut siku-siku.
2. Suatu segitiga berukuran 4 cm, 6 cm, dan 5 cm. Apakah
segitiga itu siku-siku.
Jawab: Misal sisi terpanjang adalah a, maka:
a = b, b = 4, dan
c = 5 a2 = 62 a2 = 36 b2 + c2 = 42 + 52 = 16 + 25 = 41
Karena a2 # b2 + c2, maka segitiga tersebut bukan segitiga
siku-siku.
Dari contoh di atas didapat bahwa: a2 < b2 + c2, maka segitiga tersebut
merupakan segitiga lancip.
(b) Tigaan Pythagoras (Tripel Pythagoras)
Ukuran sisi segitiga siku-siku sering dinyatakan dalam tiga bilangan asli yang
tepat. Tiga bilangan seperti itu disebut tigaan Pythagoras (Tripel Pythagoras).
Contoh:
Suatu segitiga siku-siku panjang sisinya 5, 12, dan 13 satuan. Bilangan 5, 12,
dan 13 disebut tigaan Pythagoras, sebab 132 = 52 + 122.
Selanjutnya dapat disimpulkan:
Tripel (tigaan) Pythagoras adalah tiga bilangan asli yang tepat untuk
menyatakan panjang sisi-sisi suatu segitiga siku-siku.

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian
Pada penelitian ini, peneliti ingin mengungkapkan permasalahan tentang pembelajaran
matematika pada pokok bahasan Teorema Pythagoras dengan pendekatan kontekstual
pada siswa Kelas II B Di SMP Negeri .......
Kemudian peneliti melakukan tindakan dengan pembelajaran kontekstual agar siswa
belajar dengan penuh makna. Dengan memperhatikan prinsip kontekstual, yaitu proses
pembelajaran yang diharapkan dapat mendorong siswa untuk menyadari dan
menggunakan pemahamannya, mengembangkan diri dan menyelesaikan berbagai
persoalan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Kriteria penelitian ini adalah
penelitian kualitatif karena:
1. Menggunakan latar belakang alami sebagai sumber data langsung dan penelitian
merupakan alat pengumpul data utama,
2. Analisis data secara induktif,
3. Bersifat diskriptif, karena data yang dikumpulkan berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati sehingga yang dikumpulkan
berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti,
4. Adanya kriteria untuk keabsahan data (Moeleong, 1995:4-7).

Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas (PTK).
Pemilihan jenis PTK karena peneliti terlibat langsung dan sudah merupakan tugas
peneliti sebagai pendidik yang harus selalu berusaha meningkatkan mutu pendidikan.
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) merupakan kajian tentang situasi sosial dan pandangan
untuk meningkatkan mutu tindakan yang ada di dalamnya. Dengan demikian penelitian
ini bertujuan untuk memberikan pertimbangan praktis dalam situasi nyata (Elliot dalam
Wahyudi, 1997:46).
Dalam penelitian ini prosedur penelitian dimulai dengan siklus I setelah dilaksanakan tes
awal. Hasil tes awal diteliti dan diketahui kesulitasn siswa dalam memahami konsep
Teorema Pythagoras. Penelitian ini akan mengungkap persoalan yang terjadi dalam
pembelajaran matematika dengan pendekatan kontekstual pada pokok bahasan Teorema
Pythagoras. Peneliti berada di sekolah dari awal sampai akhir penelitian guna mengetahui
keadaan siswa, merumuskan tindakan selanjutnya, memantau dan melaporkan hasil
penelitian.

B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 6 Kota Blitar. Lokasi ini dipilih berdasarkan
tempat tugas peneliti. Selain itu ternyata pada pembelajaran Teorema Pythagoras
menunjukkan hasil belajar siswa kurang optimal, yaitu 85% dari siswa kelas II masih
memperoleh nilai kurang dari 50 pada saat diberikan tes awal Teorema Pythagoras.
Berdasarkan pertimbangan tersebut peneliti berusaha untuk menelusuri kesulitan siswa
dalam pembelajaran Teorema Pythagoras sehingga dapat diupayakan pembelajaran yang
sesuai keadaan siswa.

C. Prosedur Penelitian
Untuk kelancaran penelitian, diperlukan prosedur dalam penelitian yang berhubungan
dengan masalah yang akan diteliti yaitu dalam bentuk persiapan penelitian.
Prosedur penelitian adalah langkah-langkah yang digunakan untuk memperoleh data dari
sumber yang diteliti mulai dari awal sampai akhir untuk disajikan dalam bentuk
penelitian. Jalannya penelitian yang dilakukan sampai dengan penyusunan penelitian ini
adalah melalui dua tahap yaitu:
1. Tahap Persiapan
Tahap ini merupakan usaha untuk mempersiapkan penelitian, dalam hal ini yang
dipersiapkan antara lain:
1. Mengikuti bimbingan dan pelatihan dari nara sumber dan Widyaiswara.
2. Mengadakan koordinasi dengan guru Matematika SMP Negeri 6 Kota Blitar
kususnya guru bidang studi matematika kelas II yang lain untuk memperoleh
penjelasan materi yang diberikan kepada siswa.
3. Menetapkan obyek penelitian yaitu seluruh siswa Kelas II B SMP Negeri ......
Tahun Pelajaran
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian
Setelah persiapan dianggap cukup baru penelitian dimulai, peneliti membagi
penelitian ini menjadi 3 siklus. Sedangkan waktunya mulai tanggal 10 September
sampai dengan 12 Oktober 2004. Langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian
ini adalah:
a. Siklus I
1. Melakukan observasi tentang permasalahan-permasalahan yang sedang terjadi dan
mengkaji penyelesaiannya.
2. Merancang Rencana Pengajaran (RP) pada pokok bahasan Teorema Pythagoras
dengan pendekatan kontekstual bangun kubus dan balok.
3. Melaksanakan kegiatan pembelajaran selama dua kali pertemuan dengan
pendekatan konteks bangun kubus dan balok.
4. Mengadakan evaluasi pertama sebagai pengumpulan data.
5. Mengadakan refleksi terhadap kegiatan pembelajaran yang telah diberikan.
b. Siklus II
1. Merancang Rencana Pengajaran (RP) pada sub bahasan menentukan Sisi Segitiga
Siku-siku.
2. Melaksanakan kegiatan pembelajaran selama dua kali pertemuan dengan
menggunakan konteks bangun kubus dan balok.
3. Mengadakan evaluasi kedua sebagai penjaring data.
4. Melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kegiatan pembelajaran yang telah
diberikan.
c. Siklus III
1. Merancang Rencana Pembelajaran (RP) pada sub bahasan Tripel/Tigaan
Pythagoras.
2. Melaksanakan kegiatan pembelajaran selama dua kali pertemuan.
3. Melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kegiatan yang telah dilaksanakan.
D. Jenis dan Sumber Data
Data adalah hasil pencatatan penelitian, baik berupa fakta atau angka (Arikunto,
1996:81). Data ada dua macam yaitu:
• Data yang berupa bilangan atau angka-angka disebut data kuantitatif.
• Data yang berbentuk bukan bilangan atau angka-angka disebut kualitatif.
(Pasaribu, 1984:91)
Dalam penelitian ini digunakan pengambilan data kuantitatif, sedangkan sumber data
penelitian adalah nilai ulangan harian atau hasil evaluasi dari masing-masing siklus pada
pokok bahasan Teorema Pythagoras yang diperoleh siswa selama penelitian berlangsung.

E. Setting Penelitian
1. Gambaran Populasi
Populasi adalah obyek penelitian, yaitu kumpulan subyek sumber informasi atau
kelompok yang menjadi sasaran penelitian. Untuk pengambilan sampel dalam suatu
penelitian, terlebih dahulu harus mengetahui populasi yang dijadikan penelitian.
“Totalitas semua nilai yang mungkin, hasil menghitung maupun pengukuran,
kuantitatif maupun kwalitatif dari karakteristik tertentu mengenai sekumpulan obyek
yang lengkap dan jelas yang ingin dipelajari sifat-sifatnya, dinamakan populasi.”
(Sudjana, 1986:157)
Dari sejumlah obyek yang dijadikan populasi maka keseluruhan harus mempunyai
ciri-ciri yang sama. Ciri-ciri suatu populasi akan lebih tepat diketahui dengan menilai
tiap-tiap unsur yang dilakukan tanpa kecuali. Penentuan populasi dan sampel dalam
suatu penelitian sangat penting, guna menentukan obyek yang akan diteliti serta batas-
batasnya, sehingga akan mudah diukur variabel-variabelnya. Sesuai dengan tujuan
yang telah ditetapkan maka yang diambil sebagai populasi dalam penelitian ini adalah
siswa kelas II B SMP Negeri ......, Tahun Pelajaran 2008/2009.
2. Subyek Penelitian
Satu masalah penting yang harus dilakukan oleh seorang peneliti, jika hendak
mengadakan Penelitian Tindakan Kelas yaitu penentuan subyek penelitian. Dari 8
kelas yang ada siswa Kelas II B Di SMP Negeri ...... diambil satu kelas sebagai
subyek penelitian yaitu Kelas II B yang berjumlah 37 siswa. Pengambilan subyek
penelitian dimaksudkan untuk menafsirkan sejumlah siswa yang ada dalam populasi
tanpa menganalisa secara keseluruhan permasalahan yang ada pada populasi.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian ini diupayakan semaksimal mungkin agar bisa
mendapatkan data yang benar-benar valid, maka peneliti melakukan langkah-langkah
sebagai berikut:
• Membuat alat penelitian untuk mengevaluasi hasil belajar siswa kelas II.
• Membuat alat peraga dengan konteks bangun kubus dan balok.
• Melaksanakan evaluasi atau ulangan harian sebanyak tiga kali pada pokok
bahasan Teorema Pythagoras.
• Mengumpulkan data, mengoreksi hasil evaluasi siswa dan menyimpulkan
untuk mengadakan data kuantitatif daya serap siswa.
Pada penelitian ini data yang didapatkan itu belum berarti apa-apa sebab data tersebut
masih merupakan data mentah. Untuk itu diperlukan teknik menganalisa data agar
bisa ditafsirkan hasilnya sesuai dengan rumusan masalah. Dalam penelitian ini
digunakan penafsiran skor acuan kriteria (Criterion Referensi Test).
Penafsiran skor acuan kriteria adalah pemberian skor berdasarkan kemampuan siswa
menyelesaikan evaluasi atau ulangan harian. Jawaban yang benar dari siswa yang
bersangkutan dapat dinyatakan dalam bentuk prosentase sebagai berikut:
Skor =
Dimana:
B = skor jawaban yang benar dari siswa yang bersangkutan
N = skor maksimal dari perangkat soal tes
Dari skor bisa ditafsirkan tentang ketuntasan belajar siswa sesuai dengan standar
kompetensi kurkulum sebagai berikut:
a. Ketuntasan Perorangan
Seorang siswa dikatakan berhasil (mencapai ketuntasan), jika telah mencapai taraf
penguasaan minimal 75%. Siswa yang taraf penguasaannya kurang dari 75%
diberikan remidi pokok bahasan yang belum dikuasai, sedang siswa yang telah
mencapai penguasaan 75% atau lebih dapat melanjutkan ke pokok bahasan
berikutnya.
b. Ketuntasan Klasikal
Klasikal atau suatu kelas dikatakan telah berhasil (mencapai ketuntasan belajar),
jika paling sedikit 85% dari jumlah dalam kelompok atau kelas tersebut telah
mencapai ketuntsan perorangan. Apabila sudah terdapat 85% dari banyaknya
siswa yang mencapai tingkat ketuntasan belajar maka kelas yang bersangkutan
dapat melanjutkan pada satuan pembelajaran berikutnya.
Apabila banyaknya siswa dalam kelas yang mencapai tingkat ketuntasan belajar
kurang dari 85% maka:
• Siswa yang taraf penguasaannya kurang dari 65% harus diberikan
program perbaikan mengenai bagian-bagian bahan pelajaran yang belum
dikuasai.
• Siswa yang telah mencapai taraf penguasaan 65% atau lebih dapat
diberikan program pengayaan.
Bila ketuntasan siswa lebih dari 85% maka pembelajaran yang dilaksanakan
peneliti dapat dikatakan berhasil. Tetapi bila ketuntasan belajar siswa kurang dari
85% maka pengajaran yang dilaksnakana peneliti belum berhasil.

F. Perencanaan Tindakan
1. Perencanaan Tindakan I
Tindakan pertama digunakan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam hal
mengingat pengertian bentuk kuadrat dan menentukan akar kuadrat suatu bilangan
melalui pendekatan kontekstual bangun kubus dan balok. Hal ini mengacu pada
pendapat Dr. Nurhadi dan Drs. Agus Gerrad bahwa “dalam pendekatan kontekstual
dimana guru menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya
dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.”
Dalam perencanaan atau tindakan tetap mengacu pada hasil temuan kesulitan setiap
siswa. Sebagai contoh langkah-langkah tindakan sebagai berikut:
Siswa dengan bimbingan peneliti menunjukkan perbedaan bentuk kuadrat dengan
bilangan yang dikalikan dua melalui contoh.
5 = 5 x 5 = 25 berbeda dengan 5 x 2 = 10
2

1,3 = 1,3 x 1,3 = 1,69 berbeda dengan 1,3 x 2 = 2.6


2

0,25 = 0,25 x 0,25 = 0,0625 berbeda dengan 0,25 x 2 = 0.50


2

3
Siswa disuruh membuktikan rumus Pythagoras dan menentukan sisi-sisi segitiga siku-
siku.

Berdasarkan gambar di atas ternyata bahwa 32 + 42 = 52


Untuk selanjutnya siswa diberi pemantapan dengan banyak latihan yaitu dengan
melangkapi tabel seperti tampak pada gambar di bawah ini.
NoLuas persegi pd Hipotenusa L1 L2 L1 + L2
1 8 4 4 8
2 …...... 9 16 25
3 41 16 25 …......
4 74 ….... 49 74

Penelitian bersama-sama siswa merumuskan bahwa dari hasil perhitungan di atas


dapat disimpulkan bahwa luas lingkaran dengan cara menghitung pendekatan
kontekstual bangun kubus dan balok.

2. Perencanaan Tindakan II
Tindakan kedua ini bertujuan untuk menemukan sisi-sisi suatu segitiga siku-siku.
Langkah-langkah untuk melakukan percobaan di kelas adalah sebagai berikut:
• Pertama siswa dalam kelas dibagi menjadi 6 kelompok masing-masing kelompok terdiri
dari 6 siswa.
• Kedua guru memeriksa pengarahan dan menyelesaikan kepada seluruh kelompok dalam
kelas guna persiapan untuk melakukan percobaan.
• Ketiga peneliti membimbing dalam masing-masing kelompok untuk melakukan
kegiatan percobaan untuk menemukan rumus Pythagoras.
• Langkah selanjutnya secara terperinci telah diterangkan dengan jelas, pada bab II
halaman 27 sampai dengan 30 sehingga diperoleh rumus teorema.

3. Perencanaan Tindakan III


Tindakan ketiga ini bertujuan untuk menentukan Tigaan Pythagoras (Tripel Pythagoras).
Langkah-langkah yang dilakukan di kelas adalah sebagai berikut:
• Pertama siswa dianjurkan bergabung ke dalam kelompok yang telah dibentuk dalam
pertemuan sebelumnya.
• Kedua peneliti memberi pengarahan kegiatan yang akan dilaksanakan dan apa yang
harus dikerjakan oleh masing-masing kelompok dengan konteks bangun kubus dan balok.
• Ketiga peneliti membimbing kelompok-kelompok yang masih mengalami kesulitan
dalam menemukan segitiga yang memiliki ukuran tripel Pythagoras atau yang bukan tripel
Pythagoras melalui percobaan kubus dan balok.
• Langkah selanjutnya secara terperinci telah diterangkan pada bab II halaman 30 sampai
dengan halaman 32. Untuk melihat sejauh mana pemahaman siswa, peneliti memberikan
soal-soal latihan.

BAB IV
HASIL PENELITIAN

Supaya dalam penelitian ini, peneliti mendapatkan hasil yang sesuai dengan harapan maka
peneliti menggunakan model siklus. Adapun pelaksanaan dari siklus-siklus tersebut adalah
sebagai berikut:

A. SIKLUS I
1. Perencanaan
Pada siklus ini peneliti merencanakan bahwa dalam pembahasan pokok bahasan
Teorema Pythagoras dengan menggunakan pendekatan kontekstual bangun kubus dan
balok. Menurut peneliti bahwa siswa Kelas II B Di SMP Negeri ...... sebagian besar
belum mengetahui dan memahami pembelajaran Teorema Pythagoras dari
pembelajaran sebelumnya. Disamping itu peneliti ingin mengetahui dan
meningkatkan hasil pembelajaran siswa khususnya pada Teorema Pythagoras siswa
Kelas II B Di SMP Negeri ...... Tahun Pelajaran 2004/2005.

2. Pelaksanaan
Kegiatan pembelajaran pada siklus ini dilaksanakan pada tanggal 10 s/d 15
September 2008 dengan uraian sebagai berikut:
• Setelah tanda pelajaran dimulai peneliti masuk dan memberikan salam.
Peneliti membuka pelajaran dengan pembukaan bahwa pada kesempatan ini akan
dibahas tentang Segitiga Siku-siku, peneliti memberikan pernyataan-pertanyaan
tentang segitiga dengan tujuan mengetahui sejauh mana pengetahuan siswa
tentang segitiga siku-siku. Selain itu diharapkan dapat membangkitkan kreatifitas
siswa dalam mengungkapkan pendapat dan apa yang siswa ketahui tentang
segitiga siku-siku. Kemudian siswa disuruh menyebutkan contoh-contoh dalam
kehidupan sehari-hari penggunaan segitiga.
• Dari contoh penggunaan segitiga dalam kehidupan sehari-hari tersebut,
diharapkan siswa lebih mudah memahami konsep pembelajaran dengan suatu
konteks benda nyata yang ada di lingkungan sekitarnya. Sehingga pendekatan ini
lebih mudah dipahami oleh siswa dan konsep pembelajaran yang sebenarnya
dapat tercapai dengan semaksimal mungkin.
• Kemudian peneliti memberikan kesmepatan kepada siswa untuk bertanya.
Jika ada pertanyaan peneliti mengulang kembali bagian yang ditanyakan siswa
sehingga siswa jelas dan memahaminya. Dan apabila siswa telah paham maka
peneliti memberikan soal-soal untuk dikerjakan. Peneliti mengamati dan
berkeliling untuk memberi bimbingan kepada siswa yang masih mengalami
kesulitan. Selanjutnya peneliti menunjuk siswa untuk mengerjakan ke muka hasil
pekerjaan yang telah dikerjakan.
• Sebelum kegiatan pembelajaran pertama berakhir, peneliti memberikan soal-
soal latihan (evaluasi 1) yang harus dikerjakan siswa dan selanjutnya
dikumpulkan. Dari hasil latihan ini dijadikan sebagai sumber data pertama. Pada
kegiatan ini soal yang peneliti berikan berjumlah 5 butir soal dengan alokasi
waktu 30 menit. Apabila waktu masih memungkinkan siswa diberikan tugas
rumah yang diambilkan dari buku paket.

3. Pengamatan
Dari pemberian soal pada evaluasi pertama didapatkan data nilai sebagai
berikut:
Mata Pelajaran : Matematika
Pokok Bahasan : Teorema Pythagoras
Sub Pokok Bahasan : Kuadrat dan Akar Kuadrat Suatu Bilangan
Kelas/Sekolah : II B / SMP Negeri ......, ......
HASIL NILAI EVALUASI SIKLUS I
NO NO INDUK NAMA SISWA NILAIKET
1 00723 AHMAD ANDRIANTO 7 T
2 00763 ANTOK SETIAWAN 8 T
3 00726 ARIS YULI RIANTO 5 TT
4 00728 AYUK 4 TT
5 00764 BINTI KOMSIATUN 7 T
6 00799 DARIRUS SETYANI 6 TT
7 00802 DESI IRAWATI 7 T
8 00804 DHONY IMAM NACHROWI 4 TT
9 00732 DIANA LESTARI 8 T
10 00769 DWI KHUSNUL KHOTIMAH 8 T
11 00807 EKA FEBRIANTI 7 T
12 00736 ELLA WITYANINGSIH 6 TT
13 00773 ERNAWATI 7 T
14 00810 IBNU MAS’UD 7 T
15 00737 JAYUS PRIYONO 7 T
16 00713 JUMAIKA TRIASTUTIK 4 TT
17 00814 KARISAH 5 TT
18 00778 KUNCORO 7 T
19 00780 LIANA DEWI PUSPITA 9 T
20 00741 LINDA IRAWATI 7 T
21 00816 M. ANDRIYANU MUSTOFA 7 T
22 00783 MIA DWIYANTI 6 TT
23 00745 MUDO ADI SAPUTRO 7 T
24 00819 MUHAMAD UDIN SETIAWAN 8 T
25 00822 NINA AMELIA 7 T
26 00748 NINGSIH 7 T
27 00787 PRIYO SAPUTRO 7 T
28 00825 RENDIK KURNIAWAN 5 TT
29 00790 RIRIN ANGGRAINI 5 TT
30 00828 SRI WAHAYU 8 T
31 00751 SRIATUN WULANDARI 9 T
32 00752 SUROSO 5 TT
33 00831 TITIN WIBAYANTI 4 TT
34 00755 TRI ASTUTIK 7 T
35 00794 UTAMI NINGTYAS 5 TT
36 00759 YOYOK WIBOWO 7 T
37 00833 YUSUF ADIMIANTO 8 T
JUMLAH SKOR 251
Jumlah = 251 rata-rata = 6,8
Hasil Analisa
Banyaknya siswa seluruhnya = 37 siswa
Banyaknya siswa yang tuntas belajar = 24 siswa
Prosentase banyaknya siswa yang tuntas = 65%
a. Klasikal: Ya/Tidak
Kesimpulan:
Perlu perbaikan secara individual siswa-siswa yang bernama:
1. ARIS YULI RIANTO
2. AYUK
3. DARIRUS SETYANI
4. DHONY IMAM NACHROWI
5. ELLA WITYANINGSIH
6. JUMAIKA TRIASTUTIK
7. KARISAH
8. MIA DWIYANTI
9. RENDIK KURNIAWAN
10. RIRIN ANGGRAINI
11. UTAMI NINGTYAS
12. TITIN WIBAYANTI
13. SUROSO
Dari analisa di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kegiatan pembelajaran yang
dilakukan belum berhasil sebab prosentase siswa yang tuntas belajar baru mencapai
65% dari siswa Kelas II B. Suatu kelas dikatakan berhasil jika mencapai ketuntasan
belajar paling sedikit 85% dari jumlah siswa dalam kelas tersebut. Hal ini
menunjukkan bahwa kegiatan pembelajaran belum berhasil dan perlu ditinjau kembali
untuk tahap pembelajaran berikutnya.

4. Refleksi
Kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan belum berhasil. Apakah penyebabnya?
Sedangkan Rencana Pengajaran telah disusun sesuai dengan kerangka pembelajaran
yang sesungguhnya yaitu menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual.
Peneliti berusaha mencari penyebabnya dengan memperhatikan kejadian-kejadian di
kelas, antara lain:
• Suasana kelas agak terganggu, dimana sebagian siswa kurang memperhatikan materi
pembelajaran yang diberikan oleh peneliti. Hal ini disebabkan karena siswa sibuk sendiri
menggambar segitiga pada buku berpetak, ada sebagian siswa tidak memiliki buku berpetak
dan penggaris. Masalah inilah yang mengganggu dan menghambat jalannya pembelajaran
untuk berhasil.
• Pada pertemuan ini siswa kurang memperhatikan hal-hal penting yang harus dipahami
dan dimengerti, sehingga mengakibatkan penurunan prestasi belajar siswa baik dalam
pengerjaan soal latihan maupun pengerjaan soal evaluasi.

B. SIKLUS II
1. Perencanaan
Pada siklus ke dua peneliti lebih meningkatkan kegiatan pembelajaran dari apa yang
telah dilakukan pada siklus I yaitu peneliti ingin membawa siswa Kelas II B di SMP
Negeri ...... pada suasana pembelajaran yang lebih menyenangkan. Dari pembelajaran
ini peneliti mengharapkan suasana kerjasama yang baik dalam memecahkan sautu
maslaah siswa dan tanggung jawab setiap siswa terhadap diri sendiri serta
kelompoknya. Setiap siswa diharapkan mempraktekkan konsep Teorema Pythagoras
dengan cara menyusun bangun kubus dan balok seperti yang telah dijelaskan serta
menyelesaikan setiap soal dengan kelompoknya. Dengan demikian rasa tanggung
jawab dan ketuntasan belajar siswa dapat tercapai.

2. Pelaksanaan
Kegiatan pembelajaran pada siklus II dilaksanakan pada tanggal 17 s/d 22 September
2008 yang membahas tentang membuktikan rumus Teorema Pythagoras melalui
pendekatan konteks bangun kubus dan balok. Kemudian selanjutnya dengan
menyusun bangun kubus dan balok sesuai penjelasan dalam bab III, siswa dapat
menentukan rumus dan dapat mencari panjang sisi-sisi segitiga siku-siku jika dua sisi
lain diketahui. Siswa diharapkan juga dapat mengerjakan latihan soal dan
mengerjakan soal evaluasi 2 sebagai penjaring data.
Pelaksanaan kegiatan percobaan dalam kelas adalah sebagai berikut:
1. Siswa dibagi dalam 6 kelompok dimana tiap kelompok beranggotakan 5 orang dan
ada 1 kelompok beranggotakan 4 orang sebab jumlah siswa hanya 34 orang.
2. Pada masing-masing kelompok, peneliti membagi dalam tiga kelompok yaitu:
kelompok atas, kelompok sedang dan kelompok bawah. Hal ini dilakukan dengan
maksud agar dalam kelompok tersebut semua siswa mempunyai potensi yang sama
dalam pembelajaran.
3. Masing-masing kelompok mempersiapkan bahan serta alat yang diperlukan berupa:
kertas manila, gunting, penggaris, lem dan alas tulis.
4. Peneliti kemudian menyuruh kepada masing-masing kelompok untuk menyiapkan
seluruh peralatan dan peneliti memberi contoh membuat bangun kubus dan balok
dari kertas manila dan selanjutnya siswa mengikutinya. Bila bangun kubus dan
balok telah siap selanjutnya disusun berjajar membentuk persegi, semua kelompok
mempraktekkan sendiri-sendiri.
5. Peneliti keliling melihat hasil kerja masing-masing kelompok dan memberikan
bantuan seperlunya.
6. Peneliti memberikan penjelasan pada seluruh kelompok bahwa luas persegi pada
sisi miring (hipotenusa) sama dengan jumlah luas persegi pada sisi siku-siku
bangun kubus yang dijajarkan. Selanjutnya siswa menuliskan rumus Teorema
Pythagoras sesuai dengan apa yang telah dilaksanakan.
7. Dari penjelasan yang diberikan oleh peneliti, masing-masing kelompok dapat
menentukan rumus Teorema Pythagoras dan menentukan panjang sisi-sisi segitiga
yang lain dengan menggunakan rumus yaitu: a2 = b2 + c2.
8. Kemudian peneliti memberikan beberapa soal yang berkaitan segitiga dan siswa
disuruh mementukan panjang sisi-sisinya jiak dua sisi-sisi yang lain diketahui.
9. Selanjutnya peneliti menunjuk beberapa siswa untuk mengerjakan soal latihan di
papan tulis. Dan sebelum pembelajaran berakhir peneliti memberikan tugas di
rumah (PR) dari buku paket.
10. Kemudian pembelajaran berikutnya adakah pelaksanaan evaluasi 2 yang terdiri dari
5 butir soal yang harus dikerjakan oleh setiap siswa dan bila selesai segera
dikumpulkan.

3. Pengamatan
Dari pelaksanaan evaluasi 2 didapatkan data nilai sebagai berikut:
Mata Pelajaran : Matematika
Pokok Bahasan : Teorema Pythagoras
Sub Pokok Bahasan : Pembuktian Teorema Pythagoras
Kelas/Sekolah : II B / SMP Negeri ......, ......

HASIL NILAI EVALUASI SIKLUS II


NO NO INDUK NAMA SISWA NILAIKET
1 00723 AHMAD ANDRIANTO 8 T
2 00763 ANTOK SETIAWAN 9 T
3 00726 ARIS YULI RIANTO 7 T
4 00728 AYUK 7 T
5 00764 BINTI KOMSIATUN 8 T
6 00799 DARIRUS SETYANI 6 TT
7 00802 DESI IRAWATI 8 T
8 00804 DHONY IMAM NACHROWI 7 T
9 00732 DIANA LESTARI 8 T
10 00769 DWI KHUSNUL KHOTIMAH 8 T
11 00807 EKA FEBRIANTI 8 T
12 00736 ELLA WITYANINGSIH 7 T
13 00773 ERNAWATI 8 T
14 00810 IBNU MAS’UD 8 T
15 00737 JAYUS PRIYONO 7 T
16 00713 JUMAIKA TRIASTUTIK 6 TT
17 00814 KARISAH 7 T
18 00778 KUNCORO 8 T
19 00780 LIANA DEWI PUSPITA 9 T
20 00741 LINDA IRAWATI 8 T
21 00816 M. ANDRIYANU MUSTOFA 8 T
22 00783 MIA DWIYANTI 6 TT
23 00745 MUDO ADI SAPUTRO 8 T
24 00819 MUHAMAD UDIN SETIAWAN 8 T
25 00822 NINA AMELIA 7 T
26 00748 NINGSIH 7 T
27 00787 PRIYO SAPUTRO 7 T
28 00825 RENDIK KURNIAWAN 7 T
29 00790 RIRIN ANGGRAINI 6 TT
30 00828 SRI WAHAYU 8 T
31 00751 SRIATUN WULANDARI 9 T
32 00752 SUROSO 7 T
33 00831 TITIN WIBAYANTI 6 TT
34 00755 TRI ASTUTIK 7 T
35 00794 UTAMI NINGTYAS 6 TT
36 00759 YOYOK WIBOWO 7 T
37 00833 YUSUF ADIMIANTO 8 T
JUMLAH SKOR 282
Jumlah = 282 rata-rata = 7,6
Hasil Analisa
Ketuntasan Belajar
a. Perorangan
Banyaknya siswa seluruhnya = 37 siswa
Banyaknya siswa yang tuntas belajar = 31 siswa
Prosentase banyaknya siswa yang tuntas = 84%
b. Klasikal: Ya/Tidak
Kesimpulan:
Perlu perbaikan secara individual siswa yang bernama:
1. DARIRUS SETYANI
2. JUMAIKA TRIASTUTIK
3. MIA DWIYANTI
4. RIRIN ANGGRAINI
5. UTAMI NINGTYAS
6. TITIN WIBAYANTI

Dari analisa di atas jelas bahwa kegiatan pembelajaran yang dilakukan telah
mengalami peningkatan yaitu siswa yang tuntas adalah 84%. Dalam hal ini berarti
pembelajaran yang dilakukan belum berhasil dan perlu ada perbaikan kembali.

4. Refleksi
Dari hasil analisa evaluasi 2 diketahui bahwa kegiatan pembelajaran yang telah
dilakukan belum berhasil. Karena masih ada lima siswa yang belum tuntas belajarnya.
Tentunya hal ini perlu adanya perbaikan dan tugas tersendiri bagi peneliti untuk
meningkatkan proses pembelajaran berikutnya.
C. SIKLUS III
1. Perencanaan
Pada siklus ke tiga peneliti ingin lebih mengutamakan kegiatan pembelajaran pada
proses dan pemahaman konsep materi yang disampaikan. Peneliti juga ingin selalu
membimbing siswa-siswa yang belum tuntas dengan cara memberikan pengarahan
dan mencari cara yang tepat dalam menyampaikan konsep materi pada siswa. Pada
kesempatan ini siswa diharapkan lebih memahami, menguasai konsep dengan sebaik
mungkin serta tetap menjalin kekompakan kerja sama antara anggota kelompoknya.
Dengan demikian soal yang diberikan peneliti dapat diselesaikan secara baik dan
pembelajaran berhasil dengan tuntas.
2. Pelaksanaan
Kegiatan pembelajaran pada siklus ke tiga dilaksanakan pada tanggal 7 s/d 12
Oktober 2008 yang membahas pokok bahasan Kebalikan Teorema Pythagoras dan
Tripel Pythagoras melalui konteks bangun kubus dan balok yang disusun berjajar
membentuk persegi. Selanjutnya dari kegiatan tersebut siswa diberi soal latihan serta
diakhiri kegiatan siswa mengerjakan soal evaluasi 3 sebagai penjaringan data
sekaligus sebagai ulangan harian.
Pelaksanaan kegiatan pembelajaran berlangsung sebagai berikut:
1. Siswa tetap dikelompokkan sesuai dengan kelompoknya masing-masing.
2. Peneliti memberikan pengarahan kepada seluruh siswa apa yang akan dilaksanakan,
semua siswa harus memperhatikan apa tugas kelompoknya.
3. Masing-masing kelompok mempersiapkan peralatan dan bahan yang sebelumnya
dipakai.
4. Peneliti menyuruh kepada masing-masing kelompok untuk menyiapkan
peralatannya, kemudian peneliti memberikan contoh cara menyusun bangun kubus
dan balok membentuk bangun persegi seperti yang telah dijelaskan pada bab II.
Selanjutnya kebalikan Teorema Pythagoras dapat diketahui jika suatu segitiga
merupakan segitiga siku-siku atau bukan bila diketahui ketiga sisinya. Rumus
kebalikan Teorema Pythagoras adalah:
Jika a2 = b2 + c2, maka segitiga ABC siku-siku di A
Jika b2 = a2 + c2, maka segitiga ABC siku-siku di B
Jika c2 = a2 + b2, maka segitiga ABC siku-siku di C
5. Dengan pemberian contoh tadi, diikuti oleh masing-masing kelompok yang mana tiap
kelompok membuat satu percobaan saja dan anggotanya memperhatikan.
6. Peneliti berkeliling dalam kelas sambil memberikan bimbingan dan membetulkan
pekerjaan yang kurang benar.
7. Peneliti memberikan penjelasan kepada masing-masing kelompok bahwa Tripel /
tigaan Pythagoras adalah tiga bilangan asli yang tepat untuk menyatakan panjang sisi-sisi
suatu segitiga siku-siku.
8. Dari penjelasan peneliti masing-masing siswa dapat membedakan bilangan yang
merupakan Tripel/Tigaan Pythagoras atau bukan Tripel/Tigaan Pythagoras.
9. Selanjutnya peneliti memberikan beberapa contoh soal yang berkaitan
Tripel/Tigaan Pythagoras dalam bentuk soal cerita sehingga siswa paham dan
mengerti.
10. Peneliti menunjuk beberapa siswa untuk mengerjakan soal latihan yang telah
dikerjakan di papan tulis dan memberikan soal latihan di rumah.
11. Kegiatan pembelajaran berikutnya adalah pelaksanaan ulangan harian yang sekaligus
pelaksanaan evaluasi 3 sebagai sumber data penelitian. Soal yang peneliti ujikan ada 10 soal
yang berbentuk subyektif dan dikerjakan siswa dalam waktu 60 menit.

3. Pengamatan
Dari pemberian soal evaluasi 3 didapatkan data nilai sebagai berikut:
Mata Pelajaran : Matematika
Pokok Bahasan : Teorema Pythagoras
Sub Pokok Bahasan : Kebalikan Teorema
Pythagoras dan Tripel/Tigaan Pythagoras
Kelas/Sekolah : II B / SMP Negeri ......, ......

HASIL NILAI EVALUASI SIKLUS III


NO NO INDUK NAMA SISWA NILAIKET
1 00723 AHMAD ANDRIANTO 9 T
2 00763 ANTOK SETIAWAN 9 T
3 00726 ARIS YULI RIANTO 8 T
4 00728 AYUK 8 T
5 00764 BINTI KOMSIATUN 8 T
6 00799 DARIRUS SETYANI 7 T
7 00802 DESI IRAWATI 8 T
8 00804 DHONY IMAM NACHROWI 7 T
9 00732 DIANA LESTARI 9 T
10 00769 DWI KHUSNUL KHOTIMAH 9 T
11 00807 EKA FEBRIANTI 9 T
12 00736 ELLA WITYANINGSIH 8 T
13 00773 ERNAWATI 9 T
14 00810 IBNU MAS’UD 8 T
15 00737 JAYUS PRIYONO 8 T
16 00713 JUMAIKA TRIASTUTIK 7 T
17 00814 KARISAH 8 T
18 00778 KUNCORO 9 T
19 00780 LIANA DEWI PUSPITA 9 T
20 00741 LINDA IRAWATI 8 T
21 00816 M. ANDRIYANU MUSTOFA 9 T
22 00783 MIA DWIYANTI 7 T
23 00745 MUDO ADI SAPUTRO 9 T
24 00819 MUHAMAD UDIN SETIAWAN 9 T
25 00822 NINA AMELIA 8 T
26 00748 NINGSIH 8 T
27 00787 PRIYO SAPUTRO 8 T
28 00825 RENDIK KURNIAWAN 8 T
29 00790 RIRIN ANGGRAINI 7 T
30 00828 SRI WAHAYU 9 T
31 00751 SRIATUN WULANDARI 9 T
32 00752 SUROSO 8 T
33 00831 TITIN WIBAYANTI 6 TT
34 00755 TRI ASTUTIK 8 T
35 00794 UTAMI NINGTYAS 6 TT
36 00759 YOYOK WIBOWO 9 T
37 00833 YUSUF ADIMIANTO 9 T
JUMLAH SKOR 302
Jumlah 302 8,2
Hasil Analisa
a. Ketuntasan Belajar
Banyaknya siswa seluruhnya = 37 siswa
Banyaknya siswa yang tuntas = 35 siswa
Prosentase banyaknya siswa yang tuntas = 94%
b. Klasikal: Ya/Tidak
Kesimpulan:
Perlu perbaikan secara individual siswa yang bernama:
1. TITIN WIBAYANTI
2. UTAMI NINGTYAS
Dari analisa di atas sudah jelas bahwa kegiatan pembelajaran yang
dilaksanakan peneliti berhasil dengan tuntas sebab prosentase siswa yang tuntas
adalah 94% dari jumlah siswa secara keseluruhan. Dalam hal ini menunjukkan
kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan telah berhasil.

4. Refleksi
Dari hasil analisa evaluasi 3 diketahui bahwa kegiatan pembelajaran yang
dilaksanakan berhasil. Tetapi masih ada dua orang siswa yang belum tuntas. Tentunya
akan menjadi tugas dan tantangan tersendiri bagi peneliti untuk mengoptimalkan
pembelajaran secara tuntas. Sebab menurut pandangan peneliti siswa yang belum
tuntas tersebut mempunyai potensi yang sama untuk menuntaskan pembelajaran.

BAB V
PENUTUP

A. Simpulan
Setelah peneliti cermati selama dalam kegiatan penelitian dari hal proses sampai pada
hasil maka peneliti menyimpulkan sebagai berikut:
1. Dalam menggunakan metode pembelajaran dengan pendekatan kontekstual
hendaknya guru juga memperhatikan pentingnya pengelolaan kelas. Hal ini demi
kelancaran proses pembelajaran. Sebab walaupun dalam pembelajaran sudah
menggunakan metode pembelajaran yang baik namun jika dalam mengelola kelas
kurang baik, maka proses pembelajaran akan terganggu dan hasilnya kurang
memuaskan.
2. Pembelajaran kontekstual pada pokok bahasan Teorema Pythagoras dengan
menggunakan bangun kubus dan balok, telah memberikan nuansa baru dalam
pembelajaran Matematika sehingga pembelajaran lebih efektif. Hal ini terbukti
dengan adanya perubahan yang signifikan terhadap ketuntasan belajar siswa.
Terlihat pada nilai ulangan siswa yang dilakukan setelah siklus III mencapai nilai
rata-rata 8,5 dengan ketuntasan belajar 94%.

B. Saran-saran
Setelah mengetahui hasil dan kesimpulan selama penelitian berlangsung di SMP
Negeri ......, peneliti memberikan saran antara lain:
1. Seorang guru hendaknya trampil dan dapat menguasai berbagai metode
pembelajaran agar siswa lebih mudah memahami materi pembelajaran.
2. Seorang guru harus selalu aktif melibatkan siswa selama kegiatan pembelajaran
berlangsung.
3. Seorang guru harus dapat memilih metode dan kreatif dalam mencoba ide baru agar
proses pembelajaran berhasil dengan baik dan tidak membosankan.
4. Hendaknya guru selalu memotivasi siswa untuk selalu belajar di rumah materi yang
akan dibahas pada pertemuan berikutnya supaya dalam pembelajaran siswa
mempunyai gambaran materi.
5. Perlunya kolaborasi dengan guru yang lain di dalam meningkatkan kualitas
pembelajaran melalui Penelitian Tindakan Kelas.
6. Kepala Sekolah hendaknya memfasilitasi kegiatan Penelitian Tindakan Kelas yang
dituangkan dalam Program Kerja Sekolah.

DAFTAR RUJUKAN
Adiawan, M, Cholik dan Sugiono. 2003. Matematika Untuk SLTP
Kelas 2. Jakarta: Erlangga.
Djumanta, Wahyudi. 1994. Matematika Untuk SLTP Kelas II. Jakarta:
Multi Trust.
Hudoyo, Herman. 1980. Strategi Mengajar Belajar Matematika.
Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti Proyek Pengembangan Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan.
Moeleong, L. J. 1991. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Nurhadi dan Sentuk, Agus, Gerrad. 2003. Pembelajaran Kontekstual
dan Penerapannya Dalam KBK. Malang: UM Press.
Ruseffendi, E.T. 1980. Pengajaran Matematika Modern Untuk Orang
Tua Murid, Guru dan SPG. Bandung: Tarsito.
Soejono. 1984. Diagnosis Kesulitan Belajar dan Pengajaran Remedial
Matematika. Jakarta: Depdikbud.
Universitas Negeri Malang. 2000. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah.
Malang: UM Press.

5612

Anda mungkin juga menyukai