Anda di halaman 1dari 13

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dunia saat ini sedang dihadapkan pada krisis lingkungan. Krisis tersebut

antara lain menyebabkan global warming, banjir, polusi, kekeringan, kebakaran

hutan, dan lain-lain. Di Indonesia misalnya, kerusakan lingkungan hidup di

Indonesia kian hari kian parah. Kondisi tersebut secara langsung telah mengancam

kehidupan manusia. Tingkat kerusakan alam pun meningkatkan risiko bencana

alam. Penyebabnya bisa jadi karena dua faktor yaitu peristiwa alam dan ulah

manusia. Manusia dikenal sebagai makhluk multidimensi, namun berdasarkan

pendekatan ekologis, manusia secara hakiki merupakan makhluk lingkungan (homo

ecologies). Pada posisi seperti itu, manusia adalah makhluk yang memiliki

kecenderungan untuk selalu mencoba mengerti akan lingkungannya (Danusaputro,

1985: 62).

٤١ َ‫ض ٱلَّذِي َع ِملُوا لَعَلَّ ُه ۡم يَ ۡر ِجعُون‬ َ ‫ساد ُ فِي ۡٱلبَ ِر َو ۡٱلبَ ۡح ِر بِ َما َك‬
ِ َّ‫سبَ ۡت أ َ ۡيدِي ٱلن‬
َ ۡ‫اس ِليُذِيقَ ُهم بَع‬ َ َ‫ظ َه َر ۡٱلف‬
َ

Zaharal fasādu fil barri wal bahri bimā kasabat aidin nāsi liyuziqahum badal lazī
amilū la'al lahum yarjiūn.
Artinya:
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan
tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat)
perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum; 41)

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad

ibnu Abdullah ibnu Yazid ibnul Muqri, dari Sufyan, dari Hamid ibnu Qais Al-A'raj,

dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: Telah tampak kerusakan di

1
2

darat dan di laut. (Ar-Rum: 41) Bahwa yang dimaksud dengan rusaknya daratan

ialah terbunuhnya banyak manusia, dan yang dimaksud dengan rusaknya lautan

ialah banyaknya perahu (kapal laut) yang dirampok. Menurut tafsir al mu'tabar

surat Ar-Rum ayat 41 bisa menjadi dalil tentang kewajiban tentang melestarikan

lingkungan hidup, sebab terjadinya berbagai macam bencana juga karena ulah

manusia yang mengeksploitasi alam tanpa di imbangi dengan upaya pelestarian.

Menurut Dinas Lingkugan Hidup (DLH), kerusakan lingkungan yang disebabkan

oleh manusia ini justru lebih besar dibanding kerusakan akibat bencana alam karena

kerusakan yang dilakukan bisa terjadi secara terus menerus dan cenderung

meningkat, kerusakan ini umumnya disebabkan oleh aktivitas manusia yang tidak

ramah lingkungan seperti perusakan hutan dan alih fungsi hutan,

pertambangan, pencemaran udara, air, dan tanah dan lain sebagainya.

Sumber daya insani memegang peranan penting dalam kemajuan ekonomi

Islam di Indonesia dewasa ini. Sudono (2011) menyebutkan bahwa sumber daya

Insani (SDI) adalah orang-orang yang ada dalam organisasi yang memberikan

sumbangan pemikiran dan melakukan berbagai jenis pekerjaan dalam mencapai

tujuan organisasi. SDI sebenarnya sudah dijelaskan di dalam firman Allah Swt QS.

Al-Baqarah: 30 yang menjelaskan manusia sebagai khalifah di muka bumi

kemudian dikuatkan dalam firman Allah SWT di QS. Shaad ayat 26, yaitu:

ُ‫ض فِي َخ ِليفَةُ َج َع ۡل َٰنَكَُ ِإنَّا َٰيَدَاوُۥد‬


ُ ِ ‫اس بَ ۡينَُ فَُٱ ۡحكم ٱ ۡۡل َ ۡر‬ ُِ ‫ل ُِبٱ ۡل َح‬
ُ ِ َّ‫ق ٱلن‬ َُٰ ‫ضلَّكَُ ٱ ۡل َه َو‬
ُ َ ‫ى تَتَّبِ ُعِ َو‬ ِ ‫عن فَي‬
َ ‫ل‬
ُِ ‫سبِي‬
َ

َُّ ‫ضلُّونَُ ٱلَّذِينَُ ِإ‬


ُ‫ن ٱ َّه‬
ِ‫لل‬ ِ َ ‫عن ي‬
َ ‫ل‬
ُِ ‫سبِي‬ َُّ ‫عذَابُ لَه ُۡم ٱ‬
َ ِ‫لل‬ َ ُ‫شدِيد‬
َ ‫ب َي ۡو َُم نَسواُ ِب َما‬ َ ‫ٱ ۡل ِح‬
ُِ ‫سا‬
3

Yā dāwū du innā ja'alnā ka kalifatan fil arḍi fahkum bainan nā si bil haq qi wa lā
tat tabi il haw ā fayudil laka an sabilillāh innal lazina yadil lūna an sabilillā hi
lahum azābun sadidun bimā na sū yaumal hisāb

Artinya:
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di
muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari
jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan
mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (QS.
Shaad: 26)

Pertumbuhan ekonomi Islam yang dari tahun ke tahun semakin meningkat,

baik dari segi kualitas maupun kuantitas, menandakan bahwa peran serta sumber

daya insani yang berkecimpung dalam perekonomian rabbani ini sudah

memainkan perannya dengan cukup baik, namun kita akui bersama bahwa kualitas

sumber daya insani ekonomi Islam saat ini masih jauh dari kata ideal, dikarenakan

sumber daya insani saat ini menjalankan perannya hanya pada tataran fungsi dasar

sistem operasional, namun belum menyentuh aspek yang paling penting, yakni

filosofi dan ideologi dari ekonomi Islam sehingga meskipun tingkat pertumbuhan

terus meningkat dari tahun ke tahun, kualitas sumber daya insani ekonomi Islam

tetap stagnan tanpa ada perkembangan yang signifikan.

Idealnya perekonomian Islam diisi oleh manusia-manusia berkemampuan

khusus dan spesial tanpa meninggalkan prinsip ‘alamiyah atau universalismenya.

Selain berkemampuan spesial dan khusus, sumber daya insani ekonomi Islam juga

harus mengerti betul prinsip thayib yaitu pencapaian target-target kebermanfaatan

duniawi dan ukhrawi secara simultan sebagai manusia yang pada dasarnya

merupakan pemimpin seperti yang difirmankan Allah SWT dalam surat Al-Baqarah

ayat 30.
4

ٗۖ َٰٓ
ِ ‫ل فِي ۡٱۡل َ ۡر‬ٞ ‫َو ِإ ۡذ قَا َل َربُّكَ ِل ۡل َملَئِ َك ِة ِإنِي َجا ِع‬
ِ ُ‫ض َخ ِليفَة قَالُ َٰٓوا أَت َۡج َع ُل فِي َها َمن ي ُۡف ِسدُ فِي َها َويَ ۡس ِفك‬
‫ٱلد َما َٰٓ َء‬

٣٠ َ‫ِس َل ۖٗكَ قَا َل ِإنِ َٰٓي أ َ ۡعلَ ُم َما ََل ت َعۡ لَ ُمون‬
ُ ‫سبِ ُح ِب َحمۡ دِكَ َونُقَد‬
َ ُ‫َون َۡح ُن ن‬

Wa iz q āla rabbuka lil mala ā'ikati innī j ā'ilun fil ardi khalīfah(tan), qālū ataj'alu
fīhā may yufsidu fīhā wa yasfikud dimā'(a), wa nahnu nusabbihu bihamdika wa
nuqaddisulak(a), qāla innī a'lamu mālā ta'lamūn(a).
Artinya :
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya
aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata:
"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS. Al Baqarah;
30)

Menurut Ibnu Katsir, Imam Al-Qurthubi dan ulama yang lain telah

menjadikan ayat ini sebagai dalil wajibnya menegakkan khilafah untuk

menyelesaikan dan memutuskan pertentangan antara manusia, menolong orang

yang teraniaya, menegakkan hukum Islam, mencegah merajalelanya kejahatan dan

masalah-masalah lain yang tidak dapat terselesaikan kecuali dengan adanya imam

(pimpinan). Manusia diberi tugas dan tanggung jawab untuk menggali potensi-

potensi yang terdapat di bumi ini, mengolahnya, dan menggunakannya dengan baik

sebagai sarana untuk beribadah kepada Allah SWT, dengan karakteristik yang telah

disebutkan di atas tadi, tampaknya masih banyak pekerjaan rumah yang harus

dilakukan oleh kita semua guna memperbaiki perekonomian Islam khususnya

ditinjau dari sisi sumber daya insaninya.

Upaya berbagai pihak, baik pemerintah, swasta, maupun komunitas-

komunitas yang peduli terhadap kelestarian alam memang diakui telah memberikan

kontribusi besar terhadap pelestarian alam ini. Keberadaan pemerintah dan

komunitas tersebut telah membuat banyak masyarakat sadar terhadap kelestarian


5

lingkungan, walaupun tentu belum cukup terutama untuk menyadarkan masyarakat

Indonesia yang memiliki wilayah luas dan penduduk relatif besar dengan segala

persoalan lingkungan yang dihadapi. Selain itu, pelestarian alam ini tidak cukup

hanya berbentuk fisik saja, seperti mengadakan penanaman atau penghijauan alam

kembali, karena tidak dapat dipungkiri bahwa di belahan bumi Indonesia lainnya

terjadi penebangan hutan liar yang tidak terkendali dan tidak bertanggung jawab.

Oleh karena itu, perlu adanya reinterpretasi pemahaman keagamaan tentang

lingkungan hidup dengan memasukkan dan menghidupkan nilai-nilai spiritual.

Fiqh merupakan disiplin ilmu yang menjadi primadona di pesantren. Kata

fiqh (‫ )فقه‬secara bahasa terdapat dua makna. Makna pertama adalah al fahmu al

mujarrad (‫)المجرد الفهم‬, yang artinya adalah mengerti secara langsung atau sekedar

mengerti saja. Menurut Muhammad bin Mandhur, Lisanul Arab, madah: fiqih Al

Mishbah Al Munir, Kata fiqh yang berarti sekedar mengerti atau memahami,

Menurut bahasa (etimologi) fiqh memiliki akar kata f-q-h yang bermakna

memahami atau menafsirkan. Secara implisit, dapat diketahui bahwa fiqh

merupakan hasil pemahaman dan interpretasi atas teks Al-Qur’anُdanُHadits. Fiqh

inilah yang menjadi pedoman utama umat Islam pada umumnya, khususnya orang-

orang pesantren, dalam beribadah.

Shiddieqy (1974) menjelaskan bahwa fiqh mengalami perkembangan makna

dimulai dari periode Rasulullah. Periode ini dimulai sejak kerasulan Muhammad

SAW sampai wafatnya Nabi SAW (11 H./632 M.). Pada periode ini kekuasaan

penentuan hukum sepenuhnya berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum

ketika itu adalah Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW. Pengertian fiqh pada masa itu
6

identik dengan syarat, karena penentuan hukum terhadap suatu masalah seluruhnya

terpulang kepada Rasulullah SAW. Kedua, periode al-Khulafaur Rasyidin. Periode

ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW sampai Mu'awiyah bin Abu

Sufyan memegang tampuk pemerintahan Islam pada tahun 41 H./661 M. Sumber

fiqh pada periode ini, disamping Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW, juga ditandai

dengan munculnya berbagai ijtihad para sahabat. Ijtihad ini dilakukan ketika

persoalan yang akan ditentukan hukumnya tidak dijumpai secara jelas dalam

nash. Ketiga, periode fiqh pada masa tabi’in. Pada masa ini fikih Islam mengalami

kemajuan yang sangat pesat sekali. Para ulama berijtihad mencari ketetapan

hukumnya sesuai dengan permasalahannya.Penulisan dan pembukuan hukum Islam

dilakukan dengan intensif, baik berupa penulisan hadits-hadits nabi, fatwa-fatwa

paraُ sahabatُ danُ tabi’in,ُ tafsirُ al-Qur’an,ُ kumpulanُ pendapatُ imam-imam fiqih,

dan penyususnan ushul fiqih. Juga terdapat periode kemunduran dan kemajuan fikih

yang akan dijelaskan lebih rinci di bab 2.

Mahfudz (1999) mengungkapkan dalam beberapa pesantren fiqh ditempatkan

sebagai bagian yang signifikan dari kurikulum yang diajarkan, bahkan di pesantren

biasanya fiqh dijadikan sebagai mata pelajaran primadona. Tradisi fiqh yang

menjadi rujukan masyarakat pesantren merupakan akumulasi dari tradisi ilmiah;

konsisten terhadap rujukan wahyu, penggunaan logika secara ketat, dan selalu

mengakomodir realitas empiris yang mengiringi ruang dan waktu kapan dan di

mana seorang yurist (faqih) hidup dan berkarya dalam kerangka mencapai

kemaslahatan umat sebagai maksud diturunkannya syariah. Oleh karena itu, fiqh

bukan untuk fiqh, melainkan fiqh untuk kemaslahatan umat, yang dimaksudkan
7

untuk menjawab permasalahan umat sepanjang sejarah dan di segala ruang di mana

manusia hidup dan beraktivitas.

Namun demikian, hingga saat ini pembelajaran fiqh al-bi’ah (fikih

lingkungan) di pesantren-pesantren di Indonesia khususnya pesantren tradisional

kurang begitu dimanfaatkan secara optimal dalam menciptakan habitus yang

strategis dalam menjawab persoalan-persoalan kontemporer, seperti persoalan

lingkungan hidup dan sosial budaya di sekitarnya. Artinya, dari segi materi,

pembelajaran fiqh masih berkutat pada masalah ibadah mahdah saja, seperti seputar

masalah bersesuci, salat, puasa, ibadah haji, atau lebih luas sedikit, yakni masalah

muamalah seperti jual beli, sewa menyewa, dan lain sebagainya. Materi fiqh yang

membahas mengenai lingkungan hidup untuk menjawab permasalahan masyarakat

sekitar sebagaimana yang diuraikan di atas masih belum terlihat secara artikulatif

dalam kurikulum di pesantren-pesantren di Indonesia.

Pesantren pada dasarnya didirikan sebagai ujung tombak pendidikan umat

Islam dan merupakan bagian dari pendidikan warga (civic education) dari swadaya

masyarakat yang ingin dapat memberikan andil dalam pembangunan masyarakat

baik secara mental maupun spiritual. Permasalahan yang dihadapi pesantren adalah

penyediaan kebutuhan para santri selama menuntut ilmu di pesantren, antara lain,

tempat tinggal (pondok), penyediaan kebutuhan air bersih untuk kebutuhan sehari-

hari (minum, makan, mandi, cuci), kakus dan pembuangan limbah baik padat

maupun cair. Permasalahan tersebut memberi pengaruh pada kehidupan pesantren

secara keseluruhan. Pesantren sebagai lembaga pendidikan merupakan institusi

yang cenderung dibangun tanpa perencanaan yang matang. Artinya, secara umum,
8

kecenderungan tata bangunan pesantren diadakan menurut kebutuhan. Penyediaan

kebutuhan yang tinggal di asrama merupakan permasalahan yang dihadapi

pesantren. Masalah ini akan berpengaruh pada keadaan lingkungan hidup terutama

kesehatan para santri.

Salah satu bentuk nyata kontribusi terhadap lingkungan adalah Pondok

Pesantren Hidayatullah Surabaya sebagai juara I eco-pesantren di tingkat Surabaya

yang diadakan oleh Tunas Hijau. Tunas Hijau ialah organisasi lingkungan hidup

non-profit, kids and young people do actions for a better earth yang bermarkas di

Surabaya. Eco-pesantren secara definitif terdiri dari dua kata, yakni ecology atau

ekosistem dan pesantren, yang secara sederhana diartikan sebagai pesantren yang

memiliki kepedulian tinggi terhadap lingkungan.

Panorama yang ada di Pondok Pesantren Hidayatullah Surabaya terlihat

bersih dan hijau. Tempat sampah juga tersedia dalam dua jenis, yaitu untuk sampah

organik dan anorganik. Sebagaimana hasil pra-research yang dilakukan oleh

penulis, menurut Ustadz Nur Huda selaku ketua Sekolah Tinggi Luqman Al-

Hakim, ada beberapa aspek menonjol yang dimilik Pondok Pesantren Hidayatullah

sehingga memenangkan program eco-pesantren ini, yang pertama, aspek

kebersihan, kebersihan ini berkaitan dengan bagaimana keterlibatan santri dengan

kebijakan dari yayasan terkait dengan menjaga kebersihan lingkungan baik itu di

dalam kamar santri maupun di luar kamar santri seperti kebersihan MCK,

kebersihan halaman pesantren dan lain-lain, kemudian adanya pegawai yang

dikhususkan untuk menjaga kebersihan, adanya tata tertib tertulis mengenai

kebersihan dan adanya anggaran khusus untuk proyek-proyek kebersihan . Aspek


9

kedua yaitu kehijauan, seperti menjaga lingkungan agar tetap hijau, keterlibatan

santri dalam merawat tanaman dari mulai menanam, menyiram, memupuk dan

bertanggung jawab apabila tanaman tersebut ada yang mati. Menurut beliau,

meskipun ada petugas taman yang bertugas pada hal tersebut namun tanggung

jawab utama tetap pada santri, petugas taman hanya membantu mengawasi dan

memelihara tanaman saat pesantren sedang libur. Adanya kegiatan mendaur ulang

sampah dari daun-daun kering menjadi humus atau kompos juga membuat

pesantren ini mendapat nilai lebih dari BLH. Pesantren ini juga menganjurkan

terkait dengan efisiensi, baik itu efisiensi air maupun efisiensi listrik, bahkan di

pesantren ini juga menampung air limbah bekas cuci tangan, wudhu dan tetesan air

AC untuk menyiram tanaman. Adanya program eco-pesantren di setiap tahun

diharapkan dapat memotivasi pesantren lain untuk berlomba menjadikan

pesantrennya bersih dan sehat. Lingkungan pesantren yang bersih dan sehat akan

mempengaruhi belajar para santri, sehingga lebih bersemangat dan merasa nyaman

dalam menjalankan aktivitas di pesantren.

Selanjutnya, Pondok Pesantren Mambaul Ihsan Desa Banyuurip Kecamatan

Ujung Pangkah Kabupaten Gresik masih terlihat sangat tradisional terbukti dengan

masih banyaknya bangunan-bangunan tua yang masih dipertahankan hingga saat

ini serta halaman yang masih berupa tanah merah. Namun kebersihan masih tetap

terjaga serta lingkungan yang asri khas pedesaan masih sangat terasa saat peneliti

pertama kali menginjakkan kaki di sana. Hal ini dibenarkan oleh Ustadz Nafisuh

Atok atau yang akrab disapa Gus Atok, Wakil Ketua Yayasan Pondok Pesantren

Mambaul Ihsan bahwa bangunan pesantren di sini sengaja mempertahankan


10

bangunan lama dan tanah merah sengaja dibiarkan secara alami tanpa dipaving,

pohon-pohon yang ada juga dibiarkan sejak ratusan tahun yang lalu kecuali jika

ingin memperlebar bangunan maka pohon akan ditebang seperlunya saja.

Bangunan di sini tidak ada yang ditingkat, karena menurut beliau peningkatan

bangunan hanya akan menambah global warming. Luas pesantren ini sekitar 7

hektar, dimana 1 hektar digunakan sebagai lahan untuk berkebun. Isi perkebunan

pun bermacam-macam, dari mulai sayuran hingga buah-buahan. Bahkan ada satu

produk hasil berkebun yang cukup terkenal di masyarakat sekitar pesantren yaitu

minuman Sari Rosela. Minuman ini diproduksi sendiri oleh para santri dari mulai

menanam bibit bunga rosela, memanen, mengemas produk, hingga

mendistribusikannya.

Gus Atok mlenjutkan bahwa pada tahun 2012 Pondok Pesantren Mambaul

Ihsan pernah ikut serta dalam budidaya singkong bekerja sama dengan PT Wira

Jatim Group, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Pemerintah Provisi Jawa Timur

yang akan membangun pabrik Tepung Tapioka di Desa Margosuko, Kecamatan

Bancar, Kabupaten Tuban. Perusahaan tersebut memiliki lahan seluas 2.000 hektar

yang tersebar di Kabupaten Gresik, Tuban, Bojonegoro dan Cepu, Kabupaten

Blora, Jawa Tengah. Lahan yang berada di Gresik luasnya sekitar 300 hektar dan

tersebar di empat kecamatan, yaitu kecamatan Ujung Ppangkah, Sidayu, Dukun dan

Panceng, di lahan tersebut melibatkan pondok pesantren ini untuk ikut serta dalam

penanaman singkong. Pada saat itu pesantren ini menyerap 400 tenaga kerja dan

dalam satu minggu bisa menggaji sampai 80 juta rupiah selama tiga tahun, hal

tersebut menurut Gus Atok merupakan bentuk pendampingan kepada masyarakat


11

tentang arti sebuah kepedulian lingkungan. Pondok Pesantren Mambaul Ihsan juga

pernah mengadakan kerjasama kemitraaan di bidang penanaman pohon sengon

bekerjasama dengan petani di sekitar pesantren dan para santri dengan tujuan

melatih ketrampilan santri dan masyarakat dalam bidang kehutanan dan pertanian.

Sistem kerjasama ini dibuat sedemikian rupa untuk saling menguntungkan. Pihak

PT. Kutai Timber Indonesia (KTI), Tbk. sebagai rekanan kerja menyediakan bibit

dan latihan penanaman dan membeli hasil penanaman, sedangkan penyediaan lahan

dan tenaga kerja dari pihak pesantren. Pada tahap awal yaitu tahun 2004 kerjasama

ini melibatkan petani sekitar pesantren sebanyak 20 petani dengan luas lahan 50

hektar, dan kurang lebih 50 santri juga diikutsertakan. Masih dalam hal kepedulian

lingkungan, Gus Atok melanjutkan bahwa Pondok Pesantren Mambaul Ihsan juga

berperan dalam mendampingi nelayan dalam kasus jual beli pantai di kawasan

hutan mangrove di desa Banyuurip. Pada saat itu, tahun 2012, sekitar 40 sampai 50

nelayan mengadu ke pimpinan pondok pesantren bahwa pohon mangrove banyak

yang ditebangi karena kasus jual beli tersebut. Fakta yang terungkap membuktikan,

sejak 2005, sedikitnya 83 hektar laut di Desa Banyuurip Kecamatan Ujungpangkah

yang dikavling dan dijual, sebagaimana dilansir koran Radar Gresik (2012). Oleh

karena itu, pihak pesantren disamping mendampingi nelayan untuk memproses

kasus tersebut ke jalur hukum, juga ikut serta dalam penanaman kembali pohon

mangrove yang sudah ditebang secara liar oleh oknum yang tidak bertanggung

jawab.

Menariknya di sini adalah kedua pesantren tersebut belum benar-benar resmi

memasukkan materi fiqh al-bi’ah dalam kegiatan pembelajaran formal di kelas,


12

pembelajaran fiqh al-bi’ah masih masuk dalam materi fiqh muamalah dan kajian-

kajian keIslaman ataupun ceramah-ceramah, namun dalam prakteknya kedua

pesantren tersebut sangat luar biasa dalam implementasi fiqh al-bi’ah di kehidupan

sehari-hari. Pesantren-pesantren memiliki hak dan kewajiban strategis untuk bisa

menjawab persoalan-persoalan di lingkungannya. Artinya, pengembangan

kurikulum pembelajaran fiqh al-bi’ah yang responsif terhadap masalah-masalah di

sekitar pesantren sangat urgen dilakukan. Dalam penelitian ini, fiqh al-bi’ah yang

diteliti oleh penulis adalah mengenai kebijakan pondok pesantren yang ramah

lingkungan, praktik annaḍofatu minal ῑman, kegiatan ekstra kurikulum berbasis

tadabbur alam dan mengenai pengembangan atau pengelolaan sarana dan

prasarana di pondok pesantren. Dari sinilah diharapkan sumber daya insani yang

berkualitas dapat tercipta, karena permasalahan utama baik dalam ekonomi, politik,

sosial maupun budaya terletak pada perilaku insani. Oleh karena itu, peneliti tertarik

untuk mengetahui implementasi fiqh al-biah pesantren yang belum ikut serta dalam

program eco-pesantren dengan pesantren yang sudah menjalankan program eco-

pesantren sehingga dapat mengetahui dan saling melengkapi penyebab kurangnya

kepedulian terhadap lingkungan di pondok pesantren sebagai upaya meningkatkan

kualitas sumber daya insani.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana implementasi fiqh al-bi’ah sebagai upaya meningkatan sumber

daya insani di Pondok Pesantren Hidayatullah Surabaya dan Pondok Pesantren

Mambaul Ihsan Desa Banyuurip Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik?


13

1.3 Tujuan dan Manfaat

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui implementasi fiqh al-

bi’ah sebagai upaya meningkatkan sumber daya insani di Pondok Pesantren

Hidayatullah Surabaya dan Pondok Pesantren Mambaul Ihsan Desa Banyuurip

Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik.

Selain tujuan-tujuan di atas, peneliti berharap penelitian ini juga memiliki

manfaat, manfaat penelitian ini secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu:

1) Secara praktis penelitian ini diharapkan bisa memotivasi masyarakat pada

umumnya dan peneliti khususnya untuk menggugah kesadaran terhadap

kepedulian lingkungan dengan menggali nilai-nilai Islam tentang relasi antara

Tuhan, alam dan manusia serta konsep-konsep pelestarian lingkungan, untuk

selanjutnya dipraktikkan sebagai pegangan moral dan worldview dalam semua

aspek kehidupan.

2) Secara teoritis setidaknya mampu memberikan gambaran terhadap konsep-

konsep ajaran moral tentang lingkungan yang bersumber dari Islam dan

diharapkan penelitian ini juga bisa memberi sumbangan informasi serta rujukan

untuk penelitian lebih lanjut terkait konservasi lingkungan berbasis pada ajaran

agama Islam.

Anda mungkin juga menyukai