Anda di halaman 1dari 42

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

EFEK DATARAN TINGGI PADA JANTUNG DAN PARU

Oleh :

Dr. Erna Kusumawardhani

Pembimbing :

Dr. Wursito, SpJP(K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS (PPDS) I


PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RSU. Dr. SAIFUL ANWAR
MALANG
2014
DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN................................................................... 1

BAB 2 EFEK KETINGGIAN PADA JANTUNG DAN PARU.................... 2

2.1 Definisi Ketinggian........................................................ 2

2.2 Aklimatisasi..................................................................... 5

2.3 Pengaruh paparan Ketinggian pada Sistem Kardiovaskuler 5

2.4 Pengaruh Paparan Ketinggian pada Paru........................ 11

2.5 High Altitude Illness......................................................... 26

BAB 3 KESIMPULAN........................................................................... 40
BAB 1

PENDAHULUAN

Setiap tahun jutaan orang berada pada ketinggian karena berbagai keperluan

seperti mendaki gunung, ski, hiking atau berada dalam pesawat udara. Persentase

saturasi hemoglobin dan oksigen menentukan kandungan oksigen dalam darah. Setelah

tubuh mencapai sekitar 2.100 m (7.000 kaki) di atas permukaan laut, saturasi

oksihemoglobin mulai menurun. Penurunan tekanan barometer pada ketinggian

menyebabkan penurunan tekanan partial oksigen (pO2) inspirasi, dapat menjadi masalah

pada sebagian orang. Namun sulit untuk mengetahui pada ketinggian berapa seseorang

dapat mengalami gangguan akibat ketinggian (Goyal et al, 2009).

Tekanan atmosfer dan tekanan oksigen inspirasi akan menurun secara linear,

menjadi 50% dari nilai permukaan laut pada ketinggian 5000 meter dan hanya 30% dari

nilai permukaan laut pada ketinggian 8900 meter (Puncak Everest). Seiring dengan

penurunan PO2, tubuh akan melakukan adaptasi dengan kondisi tersebut, misalkan

meningkatkan frekuensi pernafasan dan denyut jantung, meningkatkan jumlah sel darah

merah dalam tubuh dan lain-lain. Adanya hipoksia juga akan menyebabkan

vasokonstriksi pulmoner yang selanjutnya mengakibatkan hipertensi pulmoner dan high

altitude pulmonary oedema (HAPE). Selain itu ketinggian juga dapat menyebabkan

gejala acute mountain sickness (AMS) dan chronic mountain sickness (CMS) (Luks et

al,2007).

Di Indonesia banyak terdapat wilayah pegunungan atau dataran tinggi. Dengan

kondisi geografis yang demikian, perlu diketahui kondisi fisiologis tubuh manusia dan

perubahan yang terjadi akibat pengaruh ketinggian sehingga dapat melakukan

penatalaksanaan yang sesuai terhadap kondisi-kondisi high altitude illness khususnya

terhadap jantung dan paru.


BAB 2
EFEK KETINGGIAN TERHADAP JANTUNG DAN PARU

2.1. Definisi Ketinggian

Ketinggian didefinisikan sebagai :

- High altitude : 8,000 - 12,000 kaki (2,438 - 3,658 meter)

- Very high altitude :12,000 - 18,000 kaki (3,658 - 5,487 meter)

- Extremely high altitude :18,000+ kaki (5,500+ meter)

Ketinggian (high altitude) merupakan tempat dengan ketinggian sekitar

2.500 meter dari permukaan laut, berkaitan dengan penurunan tekanan

barometrik dan saturasi oksigen hemoglobin kurang dari 90% (Sartori et al,

2002). Menurut Webster's New World Medical Dictionary, ketinggian (high

altitude) didefinisikan mulai ketinggian 2,400 meter (8,000 kaki) di atas

permukaan laut (Willey, 2008). Istilah ketinggian atau dataran tinggi (high

altitude) digunakan untuk ketinggian di atas 3000 m, dimana pada ketinggian

tersebut sebagian besar individu akan menunjukkan perubahan fisiologis.

Ketinggian ekstrim merupakan istilah untuk yang ketinggian di atas 6000 meter,

dimana tinggal secara permanen pada ketinggian tersebut mustahil dan

menimbulkan kerusakan fisik (Mason NP, 2000).

Gambar 2.1 Klasifikasi Ketinggian (Taylor , 2011).


Sedangkan berdasarkan International Society for Mountain Medicine,

ketinggian diklasifikasikan menjadi tiga area yaitu high altitude, very high altitude

dan extremely high altitude. High altitude merupakan ketinggian 1.500-3.500

meter (5.000 – 11.500 kaki) di atas permukaan laut. Very high altitude adalah

ketinggian 3.500-5.500 meter (11.500 – 18.000 kaki) di atas permukaan laut.

Sedangkan extremely high altitude adalah ketinggian lebih dari 5.500 meter

(lebih dari 18.000 kaki) di atas permukaan laut (Taylor AT, 2011, International

Society for Mountain Medicine, 2005).

Tabel 2.1. Tekanan Barometrik dan tekanan O2 inspirasi pada tingkat


ketinggian.

Pada ketinggian 3000 m, yang biasa ditemui di daerah ski, tekanan barometrik

dan PO2 inspirasi hanya 70%. Pada ketinggian 5000m, PO2 terinspirasi hanya

sekitar setengah dari nilai di permukaan air laut.

Gambar 2.2 Grafik hubungan antara ketinggian, tekanan barometer dan tekanan Oksigen
inspirasi (West, 2004).
Pengiriman oksigen ke jaringan tergantung pada suplai oksigen yang

cukup pada setiap langkah rantai transpor oksigen (oxygen transport chain), dari

udara terinspirasi sampai ke mitokondria. Diprediksi terjadi penurunan tekanan

atmosfer dan tekanan parsial oksigen inspirasi dengan peningkatan ketinggian di

atas permukaan air laut. Manusia pada ketinggian, mengalami sejumlah adaptasi

untuk mengoptimalkan ketersediaan oksigen ke jaringan untuk mengatasi efek

yang tidak menguntungkan dari hipoksia ambien (Grissom CK and Schoen RB,

2004).

Oksigen sangat penting untuk fungsi sel normal karena itu merupakan

bagian penting dari rantai transpor elektron untuk produksi energi dalam sel. Efek

fisiologis dari hipoksia pada ketinggian pada tubuh manusia sangat banyak, dan

dapat mempengaruhi kinerja fisik, kinerja mental, dan tidur (West, 2004).

Maksimal oksigen konsumsi akan menurun sejalan dengan penurunan

tekanan oksigen terinspirasi. Pada ketinggian 5000 meter, jumlah oksigen

maksimal hanya 60% dibandingkan daerah di atas permukaan air laut,

sedangkan di daerah puncak Everest sekitar 20%. Penurunan ini kemungkinan

dipengaruhi oleh proses inhibisi sentral di otak.

Perubahan mental dapat terjadi pada daerah ketinggian. Pada sekitar

ketinggian 4000 meter, orang yang bekerja pada ketinggian ini beberapa

mengalami gangguan penurunan rentang perhatian, kesalahan hitung, dan

mental fatigue. Sensitifitas visual terutama malam hari mengalami penurunan

sampai ketinggian 2000 m dan menurun 50% pada 5000 meter (west, 2004).
2.2. Aklimatisasi

Tubuh manusia dapat beradaptasi dengan ketinggian melalui aklimatisasi

jangka pendek dan jangka panjang. Dalam jangka pendek, kekurangan oksigen

dirasakan oleh badan karotis, yang menyebabkan peningkatan laju pernapasan

atau hiperventilasi. Namun, hiperventilasi juga menyebabkan dampak buruk dari

alkalosis pernafasan, menghambat pusat pernafasan dari peningkatan

pernapasan sebanyak yang diperlukan. Ketidakmampuan untuk meningkatkan

laju pernapasan dapat disebabkan oleh karotis respons tubuh tidak memadai

atau adanya penyakit paru atau ginjal (Young and reeves, 2002).

Pada ketinggian, jantung akan berdetak lebih cepat, sehingga stroke

volume sedikit menurun dan fungsi tubuh lain akan ditekan, mengakibatkan

penurunan efisiensi pencernaan makanan. Aklimatisasi penuh membutuhkan

waktu beberapa hari sampai beberapa minggu. Secara bertahap, tubuh

mengkompensasi alkalosis respirasi oleh ekskresi bikarbonat dari ginjal yang

memungkinkan pernapasan yang memadai untuk memberikan oksigen tanpa

risiko alkalosis. Hal ini membutuhkan waktu sekitar empat hari pada setiap

ketinggian tertentu dan dapat ditingkatkan dengan obat-obatan seperti

acetazolamide (Harris, Stuart, Sara, 2008).

2.3. Pengaruh Paparan Ketinggian pada Sistem Kardiovaskular


2.3.1 Sirkulasi

Hipoksia secara langsung mempengaruhi tonus vaskular pulmonal dan

resistensi sistemik serta meningkatkan ventilasi dan aktivitas simpatis melalui

stimulasi terhadap kemoreseptor perifer. Interaksi terjadi antara efek langsung

hipoksia terhadap pembuluh darah dan respon yang dimediasi kemoreseptor


(chemoreceptor-mediated responses) pada sirkulasi sistemik dan paru (Bärtsch

et al, 2007).

Mekanisme yang mendasari vasodilatasi hipoksia arteriol sistemik masih

diteliti. Beberapa mekanisme yang muncul untuk mengatur pengiriman oksigen

lokal sesuai dengan kebutuhan jaringan, misalnya, pelepasan ATP dari sel darah

merah dan pembuatan NO dengan berbagai cara untuk mengatur pengiriman

oksigen lokal sesuai dengan kebutuhan jaringan. Mekanisme ini dapat menurun

dengan tinggal lama di ketinggian ketika oksigen dalam darah meningkat karena

ventilasi aklimatisasi, peningkatan hematokrit yang terkait dengan pengurangan

volume plasma dan peningkatan massa sel darah merah untuk eritropoiesis

(Bärtsch et al, 2007).

Aktivitas kemoreseptor perifer aferen meningkat sangat tinggi sesuai

dengan peningkatan hipoksia. Ventilasi dan aktivitas simpatik bertambah, seperti

yang ditunjukkan oleh peningkatan konsentrasi catecholamine pada urine dan

plasma dan aktivitas simpatis otot rangka. Dengan paparan selama beberapa

hari sampai minggu, sensitivitas kemoreseptor perifer terhadap hipoksia

meningkat, yang menyebabkan peningkatan ventilasi lebih lanjut (aklimatisasi

ventilasi). Hal ini dapat menyebabkan peningkatan lebih lanjut aktivitas simpatis

yang didokumentasikan oleh microneurography setelah 3 minggu pada 5200 m

dan peningkatan katekolamin dalam urin serta plasma (Bärtsch et al, 2007).
Gambar 2.3. Efek Hipoksia terhadap Sirkulasi Sistemik dan Paru (Bärtsch et al, 2007)

Seperti yang ditunjukkan dalam gambar 2.3, terdapat antagonisme antara

efek langsung hipoksia pada resistensi pembuluh darah dan dimediasi oleh

kemoreseptor baik sirkulasi sistemik dan paru. Selama beberapa jam pertama

paparan, vasodilatasi hipoksik cenderung mengesampingkan vasokonstriksi

simpatik pada sirkulasi sistemik, yang mengakibatkan tekanan darah sistemik

tidak berubah atau sedikit menurun. Tekanan darah dan resistensi pembuluh

darah sistemik kemudian naik selama setidaknya 3 sampai 4 minggu karena

peningkatan aktivitas simpatik dan berkurangnya hipoksia jaringan yang terkait

dengan aklimatisasi. Kenaikan tekanan darah tidak sepenuhnya diturunkan

dengan pemberian oksigen, β-bloker, atau α-blocker menunjukkan bahwa

terdapat mekanisme tambahan yang mungkin terlibat. Variasi respon tekanan

darah terhadap hipoksia antar individual dapat dijelaskan sebagian oleh temuan

bahwa individu dengan respon ventilasi hipoksia akut yang cepat juga memiliki

respon tekanan darah tinggi terhadap hipoksia. Dalam sirkulasi paru, ventilasi
meningkat dapat memodulasi HPV dengan mengurangi hipoksia alveolar dan

karena alkalosis respiratorik (Bärtsch et al, 2007).

2.3.2. Jantung

Konsekuensi hipoksia akut pada jantung akan meningkatkan denyut

jantung (baik saat istirahat dan pada latihan), kontraktilitas miokard dan cardiac

output pada beberapa hari pertama. Dengan aklimatisasi, cardiac output

menurun pada saat istirahat dan latihan berhubungan dengan penurunan kerja

ventrikel kiri tetapi peningkatan kerja ventrikel kanan (Bärtsch et al, 2007).

2.3.2.1. Denyut Jantung (Heart Rate)


Respon terhadap hipoksia akut, cardiac output meningkat membantu

mempertahankan pengiriman oksigen meskipun kadar oksigen arteri menurun.

Peningkatan cardiac output adalah hasil dari peningkatan denyut jantung dengan

sedikit perubahan stroke volume. Peningkatan cardiac output awal selama

hipoksia dimediasi oleh peningkatan pelepasan dan sensitivitas terhadap

katekolamin yang menyebabkan tonus parasimpatis ditambah. Selama beberapa

hari di dataran tinggi, cardiac output menurun, terutama sebagai akibat

penurunan stroke volume, dianggap sekunder terhadap penurunan preload dari

penyusutan pada volume plasma. Peningkatan simpatik mengesampingkan efek

vasodilator epinefrin dan endothelium-derived adenosine (Schoene et al, 2005,

Bärtsch et al, 2007).

Puncak denyut jantung latihan menurun dari level permukaan laut. Level

norepinefrin meningkat, tetapi down-regulation β-reseptor pada miokardium

memberikan kontribusi terhadap penurunan denyut jantung latihan. Fungsi


otonom, terutama tonus parasimpatis, berperan dalam penurunan denyut

jantung, tetapi denyut jantung yang lebih rendah bukanlah faktor yang

membatasi pengiriman oksigen. Pada penduduk asli dataran tinggi Tibet,

dewasa muda mempertahankan tonus parasimpatis dan variabilitas denyut

jantung bahkan setelah 3 tahun pada dataran rendah. Pada pendatang, kadar

hemoglobin dan volume darah meningkat serta transportasi oksigen ditingkatkan

dengan peningkatan stroke volume dan kadar oksigen arteri sebagai hasil

aklimatisasi lebih lanjut. Steady-state exercise setelah aklimatisasi tidak menurun

seperti aliran darah ke otot yang berkurang dan resistensi pembuluh darah

meningkat. Setelah paparan panjang terhadap dataran tinggi, stroke volume,

cardiac output dan aliran darah otot berkurang pada setiap tingkat latihan yang

diberikan, sedangkan resistensi pembuluh darah sistemik meningkat (Schoene et

al, 2005).

2.3.2.2. Sirkulasi Koroner

Pada hipoksia akut, arteri koroner epicardial mengalami dilatasi.

Peningkatan resting myocardial blood flow mengkompensasi berkurangnya

kandungan oksigen darah dan memberikan kontribusi terhadap pemeliharaan

fungsi jantung, sedangkan exercise-induced coronary flow reserve dipertahankan

sampai 4500 m. Pada simulasi pendakian puncak Gunung Everest (8.840 m)

lebih dari 40 hari oleh laki-laki muda yang sehat tidak ditemukan adanya iskemia

miokard pada saat latihan. Setelah 10 hari pada 3100 m, aliran darah koroner

menurun dibandingkan dengan di permukaan laut dan secara proporsional

dengan penurunan kerja ventrikel kiri akibat peningkatan kandungan oksigen


darah arteri dengan aklimatisasi. Jadi, ekstraksi oksigen miokard per volume

darah meningkat mempertahankan oksigenasi miokard (Schoene et al, 2005).

2.3.2.3. Fungsi Jantung


Pada beberapa hari pertama di dataran tinggi, kontraktilitas jantung

meningkat akut, dan cardiac output submaksimal untuk pengambilan oksigen

yang diberikan, meskipun cardiac output maksimal tidak berubah dan konsumsi

oksigen maksimum (VO2 max) mengalami penurunan sebesar 1% per 100 m di

atas 1500 m. Peningkatan akut dalam cardiac output pada beban kerja

submaksimal, sebagian besar dijelaskan oleh peningkatan denyut jantung, dapat

diimbangi oleh penurunan stroke volume, yang terdeteksi pada hari pertama.

Stroke volume menurun selama minggu pertama di ketinggian dan kemudian

cenderung stabil. Selama pemaparan ketinggian kronis, cardiac output maksimal

menurun dan tingkat konsumsi oksigen maksimum tetap menurun. Sebagai

contoh, setelah 5 hari pada 2380 m, stroke volume dan cardiac output adalah

15% sampai 20% lebih rendah daripada di permukaan laut, setelah 10 hari pada

3100 m adalah 16% lebih rendah, dan setelah 21 hari pada 4300 m adalah 25%

lebih rendah (Bärtsch etal, 2007, Schoene et al, 2005).

Penurunan stroke volume dikaitkan dengan penurunan dimensi ventrikel

kiri dan filling pressure dan sebagian diakibatkan oleh diuresis dan pengurangan

volume plasma yang menurun selama minggu pertama pada dataran tinggi

sebanyak 20% pada 3800-4500 m. Pengurangan awal volume plasma dalam

tersebut dimediasi oleh kemoreseptor, peningkatan pelepasan atrial natriuretic

peptide dan penurunan sintesis aldosteron sedangkan pengurangan volume

plasma lebih lanjut terjadi tanpa kehilangan air tubuh secara keseluruhan dengan
pergeseran cairan dari kompartemen ekstraselular ke intraselular (Schoene et al,

2005).

Overload tekanan ventrikel kanan kronik memainkan peranan dalam

mengurangi stroke volume ventrikel kiri. Perikardial constraint memodulasi stroke

volume ventrikel. Ketika ventrikel kanan dilatasi sebagai respons terhadap

peningkatan resistensi pembuluh darah paru, volume diastolik ventrikel kiri

berkurang. Hipertensi pulmonal menyebabkan deviasi septal interventricular

menuju ventrikel kiri, yang mengubah geometri dan penundaan pengisian

ventrikel kiri (Gambar 4). Pada bentuk patologis hipertensi pulmonal ini

menyebabkan disfungsi diastolik ventrikel kiri sedangkan pada paparan hipoksia

akut disfungsi diastolik diatasi oleh peningkatan kontraksi atrium. Edema

miokardium juga berkontribusi terhadap disfungsi ventrikel. Meskipun penurunan

pada cardiac output, fungsi ventrikel kiri saat istirahat dipertahankan bahkan

dalam simulasi barochamber dari puncak Gunung Everest tanpa peningkatan

pada left ventricular end-diastolic pressure latihan. Bahkan latihan berat dikaitkan

dengan tes tambahan sampai kelelahan pada 7625 m atau berlari kompetitif

lama antara 2350 sampai 4300 m pada ultramarathon tidak mempengaruhi

fungsi sistolik ventrikel kiri, walaupun hipertensi pulmonal terkait dengan

disfungsi ventrikel kanan sementara diamati dalam studi berikutnya. Sebagai

ringkasan, suplai oksigen miokard dan fungsi ventrikel kiri terpelihara pada orang

yang sehat selama latihan maksimal di ketinggian 7625 m, di mana denyut

jantung maksimal berkurang sebesar 20% dan cardiac output serta kapasitas

latihan berkurang sebesar 40% sampai 50% (Schoene et al, 2005).


2.4. Pengaruh Paparan Ketinggian pada Paru

2.4.1. Ventilasi

Respon ventilasi terhadap dataran tinggi adalah peristiwa fisiologis yang

paling cepat dan nyata terjadi pada pendakian cepat/akut. Konsentrasi oksigen

dan karbon dioksida pada udara alveolar adalah refleksi langsung dari tekanan

udara dan ventilasi alveolar. Pengukuran tekanan parsial gas alveolar oleh Rahn

dan Otis pada tahun 1946 dengan jelas menunjukkan bahwa, seperti tekanan

udara menurun, ventilasi meningkat untuk meminimalkan penurunan PO2

alveolar (Gambar 5). Studi ini berusaha untuk memprediksi tekanan gas alveolar

di puncak Gunung Everest (8848 m, tekanan udara sekitar 253 mm Hg), yang

diukur pada tahun 1981 American Medical Research Expedition to Mt. Everest

(Gambar 5). Pada satu orang, pernapasan meningkat menghasilkan Pco2

alveolar sebesar 7,5 mm Hg dan Po2 alveolar 34 mm Hg (Po2 terinspirasi = 43

mm Hg). Data yang dikumpulkan dalam sebuah pendakian simulasi 40-hari Mt.

Everest dalam ruang hipobarik menunjukkan tingkat Pco2 alveolar sedikit lebih

tinggi (11,2 ± 1,7 mm Hg) dalam enam subyek, yang juga mencerminkan tingkat

luar biasa hiperventilasi untuk mempertahankan tingkat oksigenasi yang layak

(Grissom et al, 2004).

Peningkatan ventilasi sebagai hasil interaksi kompleks peristiwa fisiologi,

dimediasi sebagian besar oleh stimulus hipoksia pada carotid body. Perjalanan

respon ventilasi adalah apa yang merupakan aklimatisasi ventilasi. Dalam respon

ini terdapat variasi individu, tetapi pada dasarnya, pola setiap tingkatan dataran

tinggi adalah satu, peningkatan mendadak ventilasi diikuti oleh peningkatan yang

lebih bertahap selama setidaknya dua minggu atau lebih tergantung pada

ketinggian. Suatu alkalemia arteri muncul karena alkalosis pernafasan, tetapi


penelitian awal menunjukkan bahwa asidosis cerebrospinal fluid (CSF) bertahan

dan mengakibatkan peningkatan bertahap pada ventilasi selama beberapa hari

pada dataran tinggi. Penelitian terakhir telah menunjukkan bahwa pada manusia

dan hewan, baik alkalosis darah dan CSF berkembang secara paralel selama

alkalosis respirasi aklimatisasi (Grissom et al, 2004).

Respon ventilasi terhadap rangsangan hipoksia yang relatif konstan

bervariasi dari waktu ke waktu (Gambar 6): kenaikan awal pada pendakian,

berikutnya selama jam dan minggu, dan deaklimatisasi pada penurunan. Selain

itu, penduduk dataran tinggi menunjukkan respon jangka panjang yang berbeda,

yang menghasilkan ventilasi lebih rendah dibandingkan dengan pendatang pada

ketinggian yang sama (Schoene et al, 2005).

Gambar 2.4 Diagram oksigen-karbon dioksida Rahn dan Otis dengan nilai-nilai komposisi gas
alveolar pada subyek yang diaklimatisasi di dataran tinggi. Pada ketinggian ekstrim,
ditandai hiperventilasi mempertahankan Po2 alveolar di sekitar 35 mm Hg. (From
West JB, Hackett PH, Maret KH, et al: Pulmonary gas exchange on the summit of Mt.
Everest. J Appl Physiol 55:678–687, 1983.) (Schoene et al, 2005).
Gambar 2.5. Aklimatisasi ventilasi selama tinggal 10-11 hari di ketinggian 4300 m. Ventilasi
terus meningkat seperti perubahan cairan asam-basa cerebrospinal (CSF) paralel
dengan perubahan plasma. HCO3-, bikarbonat, PaO2, tekanan oksigen arterial;
Pco2, takanan karbon dioksida, e, volume menit ventilasi. (From Forster HV,
Dempsey JA, Chosy LW: Incomplete compensation of CSF [H+] in man during
acclimation to high altitude [4300 m]. J Appl Physiol 38:1067–1072, 1975.) (Schoene
et al, 2005)

Respon Akut

Ventilasi meningkat segera dengan hipoksia akut, diikuti 10 sampai 15

menit kemudian dengan tingkat hiperventilasi yang lebih rendah meskipun output

chemoreceptor karotis berkelanjutan. Respon ini disebut respon ventilasi hipoksik

(HVR). Bila Po2 arteri berkurang dari yang di permukaan laut sampai sekitar 60

mm Hg, peningkatan ventilasi sedikit, tetapi bila Po2 arteri turun lebih rendah,

baik aktivitas chemoreceptor karotis dan ventilasi meningkat secara substansial,

tetapi dengan variabilitas individu. Variabilitas individu ini memainkan peran

penting dalam adaptasi manusia, maladaptation, dan kinerja pada dataran tinggi,

serta dataran rendah. Penelitian terbaru pada tikus mengidentifikasi suatu lokus

pada kromosom 9 yang mempengaruhi variasi dalam HVR. Temuan ini

mengarahkan pemikiran terhadap variabilitas respon ventilasi manusia, yang

telah lama dikenal memiliki komponen yang diwariskan (Schoene et al, 2005,

Grissom et al, 2004).


Peran carotid body dalam respon ventilasi terhadap hipoksia berdasarkan

pada bukti langsung dan tidak langsung yang luas. Perubahan neural dari

keseluruhan saraf sinus karotid berhubungan dengan penurunan Po2 yang

sangat rendah di darah arteri, seperti respon ventilasi terhadap hipoksia.

Pembedahan ablasi input carotid body pada hewan menghasilkan hilangnya

respon ventilasi terhadap hipoksia akut (Grissom et al, 2004).

Peningkatan ventilasi akut dihambat oleh alkalosis respirasi yang

dihasilkan dan penurunan Pco2 pada chemosensor meduler dan perifer. Di

samping itu, dimulai beberapa menit setelah terpapar hipoksia dan berlangsung

selama setengah jam, penurunan pernapasan tidak dapat dijelaskan oleh

hipokapnia, mekanisme yang menyebabkan penurunan ini sementara, hipoksia

terkait dalam pernapasan, disebut sebagai penurunan hipoksia ventilasi atau roll

off, adalah subjek dari penyelidikan saat ini tetapi tidak dianggap sekunder untuk

hipokapnia. Selanjutnya, selama beberapa hari, meningkatkan ventilasi.

Meskipun mekanisme ini tidak sepenuhnya dipahami, penjelasan klasik

peningkatan progresif ventilasi setelah beberapa hari adalah kompensasi ginjal

terhadap alkalosis respiratorik yang dihasilkan menyebabkan realisasi penuh

stimulus hipoksia untuk ventilasi (Schoene et al, 2005, Grissom et al, 2004).

Peneliti selanjutnya tidak bisa mengkonfirmasi temuan ini, dan

menemukan bahwa tidak hanya darah tetapi juga CSF lumbal manusia tetap

alkalis selama ketinggian tinggi (3100 m) pada pendatang sampai dengan 3

minggu. Selama deaklimatisasi, ketika Pco2 arteri, ventilasi serta pH darah dan

CSF telah kembali ke normal, hiperventilasi berkelanjutan berlangsung selama

berhari-hari (Schoene et al, 2005)


Pada jam berikutnya sampai dengan beberapa minggu pada ketinggian

tinggi, ventilasi terus meningkat. Data dari ketinggian ekstrim menunjukkan

bahwa perubahan ventilasi dapat berlangsung selama berbulan-bulan. Sejumlah

faktor, seperti pengaturan pH otak, tingkat metabolisme, dan tingkat perputaran

neurotransmiter, mungkin berkontribusi terhadap hiperventilasi ini (Schoene et al,

2005).

Salah satu faktor penting dalam hiperventilasi progresif adalah

peningkatan sensitivitas carotid body terhadap hipoksia dari waktu ke waktu,

yang didukung oleh penelitian bahwa tubuh hewan-denervasi karotis tidak

mengalami aklimatisasi ventilasi. Pengaturan ulang sensitivitas hipoksia tidak

dimengerti tetapi mungkin sekunder oleh perubahan neurotransmiter dalam

carotid body. Terdapat pula peranan sensitivitas karbon dioksida yang dimediasi

di batang otak. Peningkatan respon ventilasi terhadap karbon dioksida terjadi

selama dan setelah terpapar ketinggian, yang menunjukkan bahwa setpoint

untuk kemosensitivitas karbon dioksida berubah (Schoene et al, 2005, Grissom

et al, 2004).

Ventilasi Saat Turun dari Ketinggian

Individu yang sudah beraklimatisasi dengan ketinggian dan kembali ke

ketinggian rendah, akan tetap hiperventilasi dan respon ventilasi meningkat

terhadap hipoksia dan karbon dioksida selama beberapa hari. Karena subyek

tidak lagi hipoksemia, stimulasi ventilasi lanjutan tidak dapat dikaitkan dengan

hipoksemia. Hiperventilasi persisten pada penurunan dari ketinggian merupakan

sekunder terhadap peningkatan karbon dioksida yang dihasilkan oleh hilangnya

stimulus hipoksia untuk ventilasi, tetapi interaksi kompleks pada penurunan dari
ketinggian atau penghentian pajanan terhadap hipoksia belum diketahui

(Schoene et al, 2005).

Adaptasi Ventilasi Kronik

Penduduk yang tinggal di dataran tinggi memiliki ventilasi rendah dan

Pco2 arteri istirahat lebih rendah secara umum dibandingkan dengan di

permukaan laut tetapi lebih tinggi dibandingkan dengan pendatang yang

mengalami aklimatisasi di dataran tinggi. Berkurangnya kemosensitivitas hipoksia

ditemukan di dataran tinggi merupakan sebuah fenomena yang diperoleh

berhubungan dengan menetap yang lama. Mekanisme ini menumpulkan respon

ventilasi hipoksia dengan hipoksia kronis tidak diketahui, tetapi penumpulan

terjadi berhubungan dengan hipertrofi carotid body dan mungkin merupakan

fenomena adaptif dimana kerugian Po2 arteri rendah diimbangi dengan

pengeluaran energi yang lebih rendah dari ventilasi lebih rendah (Schoene et al,

2005).

Penduduk asli Pegunungan Himalaya di Tibet dan Nepal jarang

mengalami chronic mountain sickness, tidak menunjukkan hipoventilasi atau

kemosensitivitas hipoksia yang tumpul pada tingkat yang sama seperti penduduk

dataran tinggi Amerika Selatan. Huang dan kawan-kawan membandingkan

penduduk dataran tinggi Tibet, pendatang dengan aklimatisasi baik dan

pendatang yang mengalami polycythemia. Penduduk dataran tinggi dan

pendatang dengan aklimatisasi baik memiliki ventilasi menit istirahat yang lebih

tinggi, Pco2 arteri lebih rendah, nilai pH lebih tinggi, SO2 arteri yang lebih tinggi,

dan kapasitas difusi karbon monoksida lebih tinggi dari pendatang dengan

polycythemia. Hackett dan kawan-kawan mencatat respon serupa di Sherpa,


penduduk asli dataran tinggi yang tinggal di Pegunungan Himalaya yang

keturunan penduduk dataran tinggi Tibet. Hasil ini kontras dengan banyak

penelitian di Amerika Selatan yang telah menemukan bahwa pribumi dataran

tinggi lebih hipoventilasi dibandingkan dengan yang tinggal di dataran rendah.

Studi yang dilakukan oleh Hackett dan kawan-kawan juga menunjukkan bahwa

kemosensitivitas hipoksia pada penduduk Sherpa, ketika dikoreksi untuk ukuran

tubuh yang lebih kecil mereka, memiliki distribusi normal dengan mean dan

deviasi standar sebanding dengan pendatang. Perbedaan potensial antara

dataran tinggi Himalaya dan Andes menunjukkan sebuah kemungkinan menarik

bahwa kedua populasi mungkin telah beradaptasi berbeda. Adaptasi tampaknya

lebih sukses di Tibet akibat paparan yang lebih lama (~ 60.000 hingga 75.000

tahun) dibandingkan dengan penduduk dataran Andes (~ 14.000 tahun atau

lebih) (Schoene et al, 2005, Grissom et al, 2004).

Fungsi Paru

Mekanika paru terkena sedikitnya dampak sementara pada pendakian ke

dataran tinggi. Peningkatan aliran darah dan volume darah sentral dan

kemungkinan peningkatan cairan interstisial dapat menyebabkan kapasitas vital

menurun, volume residu meningkat dan penurunan compliance paru. Penjelasan

ini masih bersifat spekulatif. Di sisi lain, penduduk dataran tinggi di Amerika

Selatan, memiliki dada besar pada pemeriksaan fisik, disertai dengan kapasitas

vital yang lebih besar, dibandingkan dengan penghuni ketinggian rendah.

Semakin muda usia subyek mulai tinggal di dataran tinggi, karakteristik akan

lebih nyata (Grissom et al, 2004).


Peningkatan ventilasi pada dataran tinggi merupakan hasil kerja keras

pernapasan untuk setiap beban kerja yang diberikan dibandingkan di

permukaan laut meskipun kepadatan gas yang lebih rendah ditemukan pada

ketinggian tinggi. Pada latihan tingkat tinggi, hasil dari peningkatan usaha

pernapasan dapat diatasi dengan pengalihan aliran darah ke otot-otot respirasi,

menghasilkan "steal” aliran darah dari otot-otot yang bekerja lainnya dan

membatasi output kerja (Grissom et al, 2004).

Pertukaran Gas

Peningkatan ventilasi pada pendakian dataran tinggi menghasilkan

peningkatan PAO2 tetapi kandungan oksigen arteri tergantung pada transfer

oksigen dari alveolus ke kapiler dan sel-sel darah merah. Langkah ini

memerlukan matching ventilasi ([V dengan dot di atas] A) untuk perfusi ([Q

dengan dot di atas]) dan difusi oksigen dengan hemoglobin dalam sel darah

merah (Grissom et al, 2004).

Peningkatan ventilasi disesuaikan sebagian oleh peningkatan curah

jantung dan aliran darah pulmoner. Hipoksia alveolar menyebabkan

vasokonstriksi paru, yang pada istirahat memperbaiki [V dengan dot di atas] A /

[Q dengan dot di atas] sesuai secara primer dengan meningkatkan aliran darah

ke bagian paru dengan perfusi rendah, yang biasanya daerah V [tinggi dengan

dot di atas] A / [Q dengan dot di atas]. Ini hasil redistribusi aliran darah dalam

homogenitas yang lebih besar dari [V dengan dot di atas] A / [Q dengan dot di

atas] (Grissom et al, 2004).

Langkah berikutnya dalam pertukaran gas bergantung pada difusi

oksigen ke dalam darah. Transfer ini tergantung pada gradien tekanan untuk

oksigen dari alveolus ke kapiler, kapasitas difusi kapiler alveolar permukaan


(DM), volume darah kapiler (VC) dan daerah permukaan untuk pertukaran gas.

Keterbatasan difusi sejati untuk mentransfer oksigen ada di ketinggian.

Fenomena ini terjadi karena beberapa alasan. Dengan bertambahnya ketinggian,

PAO2 rendah menghasilkan gradien tekanan oksigen kapiler alveolar rendah.

Keseimbangan penuh oksigen ke dalam darah juga tergantung pada waktu

transit sel darah merah di bagian kapiler paru, dimana pada ketinggian tidak

terjadi keseimbangan penuh, terutama selama latihan, ketika curah jantung

meningkat mempersingkat waktu transit. (Grissom et al, 2004).

Salah satu faktor penting dalam proses ini di ketinggian ekstrem afinitas

oksigen-hemoglobin relatif tinggi sekunder terhadap alkalosis respiratorik

ditemukan pada beberapa hewan dataran tinggi dan pendaki di ketinggian

ekstrem. Pada penduduk dataran tinggi, kapasitas difusi paru (DL) mungkin lebih

optimal secara sekunder terhadap peningkatan daerah permukaan kapiler (DM)

atau volume darah paru (VC) (Grissom et al, 2004).

Sirkulasi Pulmonal

Berbeda dengan sirkulasi sistemik, sirkulasi pulmonal adalah sistem

aliran tinggi, tekanan rendah. Berdasarkan pada keseimbangan gradien tekanan

hidrostatik dan onkotik di microvessel kapiler paru, seperti ditunjukkan dalam

persamaan Starling, dimana interstitium paru dan ruang alveolar dipertahankan

"kering." Namun, gangguan dalam hemodinamik, sebagaimana terlihat pada

vasokonstriksi hipoksia paru (HPV), mungkin menghasilkan formasi cairan paru

berlebihan dan berlimpah yang disebut edema safety factor. Pada dataran tinggi,

mekanika pernapasan tidak mengalami perubahan yang bermakna, perubahan

hemodinamik akibat hipertensi pulmonal dramatis (Lahiri et al, 2008).


Pembuluh darah paru diinervasi sebagian besar oleh serabut simpatik

(vasokonstriktor) dan sebagian kecil oleh serabut parasimpatis (vasodilator).

Selain inervasi ini, pengaturan tonus vasomotor sebagian besar ditentukan oleh

efek lokal PO2 dan PCO2. Hipoksia alveolar menyebabkan kontraksi otot polos

pembuluh darah, penyempitan pembuluh, dan shunting aliran darah paru

menjauhi daerah hipoksia. Selanjutnya, akumulasi CO2 lokal menyebabkan

penurunan pH dan menghasilkan vasokonstriksi (tidak seperti CO2 menginduksi

vasodilatasi pada jaringan lain) (Lahiri et al, 2008).

Adanya hipertensi pulmonal (baik sistolik dan diastolik) pada dataran

tinggi didokumentasikan dengan baik. Hal ini terjadi lebih banyak pada individu

yang muda dibandingkan individu lebih tua dan berhubungan dengan keadaan

vasokonstriksi paru. Latihan memperberat hipertensi pulmonal. Hipoksia akut

menyebabkan peningkatan tekanan arteri pulmonalis yang akan menurun ketika

hipoksia mengalami perbaikan jika hipoksia timbul hanya beberapa jam. Tekanan

arteri pulmonalis tidak dapat menurun segera jika hipoksia telah berlangsung

selama beberapa hari. Setelah resolusi hipoksia, regresi terjadi pada hipertensi

pulmonalis dan muskularisasi arteri pulmonalis. Hipertrofi ventrikel kanan yang

berhubungan dengan hipertensi pulmonal juga akan regresi setelah kembali ke

level permukaan laut (Lahiri et al, 2008).

Seluruh cardiac output melewati paru. Di permukaan laut, tekanan

sirkulasi paru rendah mudah mengakomodasi peningkatan aliran darah yang

disebabkan oleh latihan dengan sedikit peningkatan tekanan arteri pulmonalis

dan resistensi vaskuler pulmoner. Selama hipoksemia akut, hubungan antara

aliran darah pulmoner dan tekanan pulmoner berubah. Selama hipoksia kronis,
remodeling struktural arteriol paru menyebabkan peningkatan tekanan arteri

pulmonalis istirahat dan resistensi pembuluh darah paru (Lahiri et al, 2008).

Penduduk dataran tinggi menunjukkan suatu pelebaran gradien tekanan

dari arteri pulmonalis ke atrium kiri selama latihan (seperti tergambar dalam

oklusi arteri pulmonalis atau pulmonary capillary“ wedge” pressure diukur

dengan menggunakan kateter Swan-Ganz). Temuan ini menunjukkan bahwa

pada dataran tinggi, kontrol vasomotor sirkulasi paru berada pada arteriol paru,

sedangkan di permukaan laut itu berada di jantung kiri. Ketinggian mengatur

kembali mekanisme pengaturan dan olahraga membuat perbedaan jelas (Lahiri

et al, 2008).

Hypoxic pulmonary vasoconstriction (HPV) diangkat menjadi perhatian

luas oleh von Euler dan Liljestrand tahun 1946. Peran fisiologis HPV di

ketinggian rendah telah jelas pada hipoksia lokal di paru, seperti pneumonia atau

atelektasis. Ketika seluruh paru terkena hipoksia, HPV dapat merugikan karena

menghasilkan peningkatan yang substansial dalam resistensi vaskular paru dan

tekanan arteri pulmonal (PAP). Kateterisasi jantung pada suatu chamber

penelitian menunjukkan peningkatan rata-rata PAP saat istirahat berhubungan

dengan peningkatan resistensi vaskuler paru. Peningkatan resistensi vaskuler

paru terbesar di dataran tertinggi dan berbeda dengan sirkulasi sistemik (Gambar

7). Hipertensi paru tidak dapat diatasi dengan pemberian oksigen, menunjukkan

bahwa secara struktural telah terjadi remodeling vaskuler (Lahiri et al, 2008).
Gambar 2.6 Hubungan rata-rata gradien tekanan sistemik dan vascular pulmonal
terhadap cardiac output termodilusi di berbagai tekanan barometrik.
Pengukuran ditampilkan untuk tekanan barometrik (PB) 760 (permukaan
laut), 347 (6100 m), 282 Torr (7.620 m; lingkaran hitam), dan 240 Torr
(8840 m, puncak Gunung Everest). SAM menunjukkan tekanan rata-rata
arteri sistemik; RAM, tekanan rata-rata atrium kanan; PAM, tekanan
rata-rata arteri paru; dan PAWM, tekanan baji arteri paru (Bärtsch et
al, 2007).

Di Tibet pada 3658 m, rata-rata PAP saat istirahat dan selama latihan

menghasilkan peningkatan cardiac output 3 kali lipat tidak berbeda dari respon

yang diamati pada kulit putih di dataran rendah. Data ini berdasarkan pada

pengukuran hanya pada 5 individu. PAP sistolik diperkirakan dengan

ekokardiografi Doppler pada 4200 m pada 57 Tibet (usia rata-rata, 30 tahun)

adalah 31±7 mm Hg. Nilai yang diperoleh berada di antara 21 kulit putih yang

sehat (usi rata-rata 33 tahun; kisaran 24 sampai 60 tahun) pada 450 m (22 mm

Hg) dan setelah pendakian cepat untuk 4.559 m (388 mm Hg). Apakah ini

perbedaan PAP ini mencerminkan adaptasi genetik penduduk Tibet terhadap

ketinggian masih dipertanyakan (Lahiri et al, 2008).

PAP penduduk Andes hidup antara 3700 dan 4540 m sama dengan kulit

putih sehat setelah pemaparan akut terhadap ketinggian yang sebanding.

Autopsi dari penduduk Andes menunjukkan muskularisasi yang lebih besar pada

cabang distal arteri pulmonalis dan hipertrofi ventrikel kanan. Penelitian ini

menunjukkan bahwa peningkatan PAP tidak hanya pada pendatang tetapi juga
pada banyak generasi penduduk asli dataran tinggi dan bahwa jantung kanan

bertahan seperti peningkatan beban tekanan selama seumur hidup di 4500 m.

Studi hemodinamik pada populasi Andes secara umum tidak memberikan

informasi yang memadai tentang keturunan populasi yang diteliti. Percampuran

genetik dengan kulit putih mungkin terjadi. Data awal pada anak-anak suku

Aymara dilaporkan memiliki PAP sistolik lebih rendah pada 3600 m dibandingkan

dengan anak-anak kulit putih, mendukung hipotesis bahwa adaptasi dengan

dataran tinggi menurunkan HPV (Lahiri et al, 2008).

Mekanisme HPV (Hypoxic Pulmonary Vasoconstriction)

Hypoxic pulmonary vasoconstriction (HPV) merupakan intrinsik terhadap

sel otot pembuluh darah paru dan tidak tergantung endothelium, seperti yang

ditunjukkan dalam percobaan dengan pengelupasan endothelium cincin vaskuler

paru dan sel otot polos yang diisolasi dari arteri pulmonalis. Kontraksi hipoksik

sel otot polos disebabkan oleh peningkatan Ca2+ dalam sel. Mayoritas Ca2

melintasi membran sel dari kompartemen ekstraseluler melalui kanal Ca2+ tipe-L.

Sebagian kecil dilepaskan dari penyimpanan intraseluler dalam retikulum

sitoplasmik. Kalsium masuk ke sel otot polos ditingkatkan oleh mekanisme yang

sensitif terhadap perubahan konsentrasi spesies oksigen radikal (radical oxygen

species) (Bärtsch, 2007).

Meskipun HPV intrinsik untuk sel-sel otot polos pembuluh darah

pulmonal, mekanisme tambahan memodulasi respons ini meliputi mekanisme

tergantung dan tidak tergantung endotelium. Hipoksia juga dapat meningkatkan

PAP melalui endotelin dan aktivasi simpatik, sedangkan HPV mungkin


dilemahkan oleh peningkatan sintesis NO, hiperventilasi meningkatkan PO2

alveolar, dan alkalosis respiratorik (Bärtsch et al, 2007).

Beberapa penelitian melaporkan 2 fase HPV pada cincin arteri

pulmonalis, yang pertama adalah endotelium independent dan puncak dalam 2

menit. Tahap kedua hanya terjadi dalam preparasi termasuk endotelium dan

puncak setelah 40 menit. Studi hipoksia isokapnik pada manusia menunjukkan

kenaikan cepat PAP, mencapai maksimum setelah 20 menit, diikuti oleh naik

lebih bertahap kedua dimulai 40 menit setelah terpapar untuk hipoksia,

sedangkan tekanan tetap konstan antara 2 dan 8 jam terhadap hipoksia

isokapnik. Lag time 40 menit antara onset hipoksia dan respon lambat

kompatibel dengan penundaan pelepasan atau produksi de novo zat vasoaktif

(Bärtsch et al, 2007).

Penelitian yang menganalisis perfusi paru dengan fluorescent microspher

menunjukkan bahwa HPV tidak homogen. Magnetic resonance imaging pada

manusia yang memiliki respon PAP normal terhadap hipoksia telah menunjukkan

perfusi paru tidak homogen selama hipoksia, menegaskan bahwa HPV biasanya

tidak homogen. Temuan terhadap individu yang rentan HAPE dan babi

menunjukkan bahwa inhomogenitas ini meningkat dengan terjadinya HPV.

Mekanisme yang dapat menjelaskan inhomogenitas HPV adalah inhomogenitas

rasio ventilasi-perfusi (V / Q) dasar dengan HPV yang lebih besar pada daerah-

daerah dengan ventilasi rendah dalam hubungan dengan perfusi, perbedaan

regional dalam pelepasan NO endotel dan distribusi yang tidak merata sel otot

polos dalam arteriol paru (Bärtsch et al, 2007).

Inhomogenitas HPV dapat menjelaskan daerah overperfusion regional

dengan vasokonstriksi lemah dimana tekanan kapiler meningkat karena aliran


lebih tinggi, seperti yang telah ditunjukkan model paru eksperimental. Mekanisme

ini diduga dapat berkontribusi terhadap edema interstisial yang terjadi terutama

pada latihan di ketinggian yang ekstrim selama Operasi Everest II. Sayangnya,

tidak ada pengukuran indikator cairan paru yang dibuat (Bärtsch, 2007).

Gambar 2.7 Jalur Respon Hipoksia HIF-1 (Lahiri et al, 2008).

2.5. High Altitude Illness (HAI)

Pendakian akut di atas 8.000 m dapat mengakibatkan kematian. Pendaki

dapat naik secara bertahap ke ketinggian ini dan hidup serta bekerja untuk

jangka waktu yang singkat dan cukup efektif. Pada individu tanpa aklimatisasi

mendaki ke ketinggian yang tinggi, tubuh gagal untuk beradaptasi dengan stres

hipoksia hipobarik dapat menyebabkan sindrom otak dan paru penyakit

ketinggian tinggi (the cerebral and pulmonary syndromes of high-altitude illness).

Acute mountain syndrome (AMS) dan high-altitude cerebral edema (HACE)

mengacu pada gangguan otak sedangkan high-altitude pulmonary edema

(HAPE) merupakan kelainan paru. Meskipun ada banyak variabilitas individu dan

tumpang tindih dalam gangguan tersebut. (Grissom et al, 2004) Tinjauan ini akan

membahas gangguan yang terkait dengan paru dan jantung.


Tabel 2 Ringkasan High Altitude Illness

(Sumber: Luks et al, 2007)

Gambar 2.9 Patofisiologi High Altitude Illness (Hackett et al, 2001)


2.6.1. High-Altitude Pulmonary Edema

2.6.1.1. Definisi

High-altitude pulmonary edema (HAPE) adalah edema paru non

kardiogenik yang biasanya terjadi pada ketinggian di atas 3.000 m pada individu

mendaki dengan cepat tanpa aklimatisasi dalam 2-5 hari pertama setelah tiba di

tempat tersebut (Baartch et al, 2005). Definisi lain dari HAPE adalah edema paru

non kardiogenik yang dialami orang-orang rentan yang naik ke ketinggian di atas

2.500 m dan menetap di sana selama 24 sampai 48 jam atau lebih (Grissom et

al, 2004). HAPE juga didefifisikan sebagai edema paru non kardiogenik

berhubungan dengan hipertensi pulmonal dan peningkatan tekanan kapiler yang

diderita 0.2-15% pendaki dataran tinggi, tergantung pada ketinggian yang dicapai

dan kecepatan pendakian. (Hackett et al, 2001, Luks 2007).

2.6.1.2. Epidemiologi

Dalam satu studi pada pemain ski Colorado, insiden acute mountain

sickness sebanyak 15-40%. Insiden High-altitude pulmonary edema (HAPE)

jauh lebih rendah, sekitar 0,1-1%. Pada suatu studi mengenai pendaki Gunung

Everest, kejadian HAPE adalah sekitar 1,6%. Insiden mountain sickness tinggi

pada pendaki Gunung Rainier, namun kejadian edema paru sama dengan di

tempat lain. (Goyal et al, 2009). Insiden HAPE meningkat dengan tingkat

pendakian cepat dan ketinggian yang lebih tinggi telah dilaporkan sebesar 15%

pada pasukan India yang diterbangkan dari permukaan laut ke ketinggian antara

3.500 m dan 5.500 m). Insiden lebih rendah 2% dilaporkan pada pendaki yang

melakukan pendakian lebih bertahap untuk ketinggian 6.150 m di Gunung

McKinley, Alaska dan insiden 0,01% dilaporkan pada pengunjung ski resort di
Pegunungan Rocky dengan ketinggian 2.500 sampai 3.000 m. (Grissom et al,

2004)

HAPE dapat berakibat fatal dalam waktu beberapa jam jika tidak

ditangani. Pasien yang sembuh dari HAPE memiliki clearing cepat cairan edema

dan tidak berkembang menjadi komplikasi jangka panjang. Suatu studi

menunjukkan bahwa perkiraan mortalitas penyakit ini adalah 7,7 per 100.000

pendaki. Mortalitas meningkat selama dekade terakhir. (Goyal et al, 2009).

Pria dan wanita kerentanan yang sama terhadap acute mountain

sickness, tetapi wanita lebih sedikit mengalami HAPE. Selain perbedaan individu

dalam kerentanan, faktor lain, seperti alkohol, depresi pernapasan dan infeksi

pernapasan, dapat meningkatkan kerentanan terhadap penyakit akibat

ketinggian. Tipikal pasien HAPE adalah dewasa muda yang dinyatakan sehat

secara fisik. HAPE jarang terjadi pada bayi dan anak kecil. (Goyal et al, 2009)

2.6.1.3. Patofisiologi

Hipertensi Pulmonal

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penurunan bioavailabilitas NO

merupakan respon vaskular paru abnormal pada individu yang rentan.

Penurunan konsentrasi NO pada udara dihembuskan ditemukan pada individu

rentan HAPE selama paparan hipoksia 4 jam di ketinggian rendah dan selama

berkembangnya HAPE di ketinggian tinggi. Selanjutnya, konsentrasi nitrat dan

nitrit pada cairan lavage bronchoalveolar (BAL) lebih rendah pada pendaki

gunung yang mengalami HAPE dibandingkan dengan kontrol dan orang yang

rentan HAPE memiliki gangguan endothelium-dependent vasodilator response

terhadap asetilkolin dalam sirkulasi sistemik. Peningkatan abnormal PAP dalam


respon terhadap latihan pada normoksia dapat dijelaskan oleh gangguan

pelepasan NO endotel dalam merespon peningkatan aliran darah paru. Sesuai

dengan hipotesis tersebut, inhalasi 15 sampai 40 ppm NO menurunkan PAP dan

maningkatkan pertukaran gas sampai tingkat kontrol pada subyek dengan HAPE.

Inhibitor fosfodiesterase-5 tadalafil, yang meningkatkan GMP siklik pada jaringan

paru-paru dengan menghambat degradasinya, menurunkan PAP dan mencegah

HAPE. (Bärtsch et al, 2007).

Pada populasi Jepang dan India, HAPE berhubungan dengan 2

polimorfisme gen endothelial NO synthase yang berkaitan dengan penyakit

pembuluh darah, seperti hipertensi dan penyakit jantung koroner. Temuan-

temuan ini sesuai dengan konsep endotelium yang cenderung untuk

vasokonstriksi lebih besar tetapi tidak bisa dikonfirmasi pada kulit putih.

Perbedaan etnis atau ketidakseimbangan perbandinagn pada populasi kulit putih

dan Jepang atau India bisa dapat menyebabkan hasil yang tidak akurat. Ada

kemungkinan bahwa faktor-faktor tambahan seperti peningkatan aktivitas

simpatik atau vasokonstriktor lainnya seperti angiotensin II, endothelin, atau

metabolit asam arakidonat berkontribusi untuk meningkatkan PAP pada subyek

rentan HAPE. Peningkatan aktivitas simpatik otot rangka dan peningkatan kadar

norepinephrine plasma dan atau urin dibandingkan dengan kontrol ditemukan

selama hipoksia pada ketinggian rendah serta sebelum dan selama HAPE

(Bärtsch et al, 2007).

Edema Hidrostatik

Peningkatan tekanan kapiler dan cairan lavage bronchoalveolar

mengandung molekul protein tinggi dan sel darah merah tetapi tidak ditemukan

marker inflamasi pada HAPE awal menunjukkan bahwa peningkatan tekanan


intravaskular dapat mengakibatkan edema tipe permeabilitas dengan konsentrasi

protein tinggi tanpa adanya inflamasi. Konsep ini pertama kali digunakan gagal

jantung kongestif sisi kiri dan oleh West et al dikembangkan untuk HAPE, yang

menggunakan istilah stress failure. Apakah ruptur membran basement, seperti

yang disarankan oleh West et al, atau nontraumatic, pressure-sensitive stretching

pori-pori, non traumatik, dinamis atau pembukaan fenestrae menyebabkan

kebocoran masih diperdebatkan (Bärtsch et al, 2007).

HPV tidak homogen diajukan untuk menjelaskan seberapa tinggi PAP

dapat menyebabkan tekanan kapiler tinggi pada HAPE. Hipotesis ini diterima

luas dan menerima dukungan eksperimental hewan coba menggunakan

fluorescent microbeads dan analisis perfusi paru manusia dengan MRI. Selain

itu, venokonstriksi hipoksia dapat menyebabkan peningkatan tekanan kapiler

pada HAPE, tetapi mekanisme ini tidak dapat menjelaskan seringnya gambaran

patchy radiographic appearance pada HAPE awal pada pencitraan paru kecuali

ada heterogenitas regional venokonstriksi hipoksia. Percabangan kapiler

langsung yang berasal dari arteriole yang lebih besar atau kebocoran

transarteriolar leakage diajukan sebagai suatu alternatif atau tambahan

mekanisme dan mungkin memberikan penjelasan untuk jarangnya kasus HAPE

dengan manifestasi perihilar awal. Kurangnya kemiripan penampilan radiografi

antara 2 episode terpisah HAPE dalam individu yang sama menunjukkan bahwa

kelainan struktural tidak memperhitungkan lokasi edema (Bärtsch et al, 2007).

Peningkatan Tekanan Arteri dan Kapiler Paru

Peningkatan curah jantung selama olahraga menyebabkan peningkatan

lebih lanjut PAP dan mungkin tekanan kapiler. Tekanan yang sangat tinggi
mungkin juga berkontribusi terhadap HAPE dengan interaksi ventrikel dan

menjelaskan peningkatan tekanan baji (wedge pressure) selama latihan intensif

pada hipoksia pada subyek rentan dan tidak rentan HAPE. Dalam banyak kasus,

khususnya pada ketinggian yang lebih rendah, latihan menjadi faktor yang

penentu yang menyebabkan edema paru (Bärtsch et al, 2007).

Baik sebuah drive ventilasi rendah hipoksia yang mengarah kepada

peningkatan HPV dan paru yang lebih kecil dalam kaitannya dengan ukuran

tubuh (penurunan luas penampang pembuluh darah paru) yang diketahui

meningkatkan PAP dan selanjutnya kerentanan terhadap HAPE. Setiap

pembatasan atau hilangnya pembuluh darah paru, seperti hipoplasia, ketiadaan

atau oklusi arteri paru, atau pneumonectomy, meningkatkan risiko HAPE.

Anomali kongenital arteri pulmonalis besar terkait dengan peningkatan risiko

HAPE berkembang pada ketinggian lebih rendah dari 2000 m. Foramen ovale

paten ditemukan pada 60% subyek rentan HAPE pada ketinggian tinggi dan

rendah. Karena PAP juga abnormal tinggi pada individu-individu tersebut selama

latihan normoksik, sebuah foramen ovale paten mungkin akibat kerentanan

terhadap HAPE bukan penyebab (Bärtsch et al, 2007).

Gambar 2.10 Patofisiologi HAPE (Bärtsch et al, 2007)


Peningkatan Permeabilitas

Setiap proses yang meningkatkan permeabilitas barier kapiler alveolar

kemungkinan untuk menurunkan tekanan yang dibutuhkan untuk menghasilkan

edema. Peningkatan akumulasi cairan saat terpapar hipoksia setelah priming

oleh endotoksin atau virus pada hewan dan hubungan infeksi virus sebelumnya

(terutama pada saluran pernafasan atas) dengan HAPE pada anak-anak yang

mengunjungi Colorado mendukung gagasan ini. Dalam kondisi permeabilitas

meningkat, HAPE juga bisa terjadi pada individu dengan respon HPV normal

(Bärtsch et al, 2007).

Mengurangi Fluid Clearance dari Rongga Alveolar

Hipoksia mengganggu alveoli dengan menghambat aktivitas dan ekspresi

dari berbagai transporter natrium. Hal tersebut mengemukakan bahwa

penurunan kapasitas reabsorpsi natrium epitel mungkin mempengaruhi untuk

HAPE. Hipotesis ini kompatibel dengan temuan bahwa menghirup highdose

salmeterol, β2-agonis yang meningkatkan transportasi natrium transepithelial,

dapat mencegah HAPE dalam beberapa individu rentan. Salmeterol memiliki

aktivitas lainnya yang dapat memodifikasi HAPE; ini termasuk menurunkan PAP,

meningkatkan respon ventilasi terhadap hipoksia, dan memperkuat kontak sel ke

sel. Molekul yang secara khusus menargetkan reabsorpsi natrium epitel alveolar

diperlukan untuk mengevaluasi peran alveolar fluid clearance dari alveoli pada

patofisiologi HAPE (Bärtsch et al, 2007).

2.6.1.4. Manifestasi Klinik

HAPE umumnya terjadi 1-4 hari setelah pendakian cepat untuk ketinggian

lebih dari 2500 m (8000 ft). Orang-orang muda dan orang-orang yang

sebelumnya diaklimatisasi mendaki kembali ke dataran tinggi setelah kunjungan


singkat di ketinggian rendah tampaknya lebih cenderung untuk HAPE. Cuaca

dingin dan aktivitas fisik pada dataran tinggi merupakan faktor predisposisi lain.

Indikasi awal mengalami penurunan toleransi olahraga dan pemulihan lambat

dari olahraga. Keluhan-keluhan berupa kelelahan, kelemahan dan dispneu pada

aktivitas. Kondisi ini biasanya memburuk pada malam hari dan takikardi serta

takipnea terjadi saat istirahat. Pernapasan periodik selama tidur hampir universal

dalam pendatang di ketinggian tinggi. Batuk, dahak berbusa, sianosis, ronkhi dan

sesak napas yang progresif menjadi distres pernapasan berat juga dapat

menjadi gejala penyakit. Sebuah demam ringan, alkalosis respiratorik dan

leukositosis merupakan gambaran umum lainnya. Pada kasus yang berat terjadi

perubahan status mental, hipotensi dan kematian. (Goyal et al, 2009)

Gambar 2.11 A.:Foto toraks pendaki gunung, laki-laki 37 tahun dengan HAPE yang
menunjukkan distribusi edema merata sampai konfluen edema, terutama di sisi
kanan. B: CT scan pendaki gunung, 27 tahun dengan HAPE berulang
menunjukkan distribusi edema merata (Schoene RB, 2008).

Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap berkembangnya HAPE

termasuk aktivitas, suhu lingkungan dingin, infeksi pernafasan atas atau riwayat

HAPE sebelumnya. Pemeriksaan fisik sering mengungkapkan takikardia istirahat,

sianosis,demam tingkat rendah, dan crackles pada auskultasi. Foto toraks

menunjukkan patchy bilateral atau unilateral pada HAPE awal, opasitas linier dan
bertemu dengan bayangan jantung normal. Tingkat hipoksemia tergantung pada

ketinggian (Grissom et al, 2004, Luks et al, 2007)

2.6.1.5. Pengobatan

Turun dari ketinggian sangat penting untuk kelangsungan hidup.

Pengobatan awal sementara menanti subyek diturunkan dari ketinggian yaitu

istirahat ketat, oksigen dan jika tersedia, penggunaan ruang hiperbarik portabel.

Kantong Gamow (Gamow bag) adalah ruang hiperbarik portabel yang

memungkinkan tekanan lingkungan di sekitar subyek ditingkatkan setara dengan

penurunan hingga 600 m. Alat ini dapat memperbaiki gejala, tetapi akan

memperburuk bila subyek diambil dari kantong untuk difasilitasi turun dari

ketinggian. Meskipun belum diteliti dalam uji coba terkontrol dengan baik,

nifedipin (10 mg sublingual) dapat digunakan. Jika hipotensi klinis signifikan tidak

terjadi dengan dosis pertama nifedipin, pemberiannya dapat diulang setiap 15

sampai 30 menit. Penelitian lebih lanjut uantuk mengetahui peran penggunaan

sildenafil dan senyawa terkait sebagai pengobatan profilaksis pada individu

berisiko HAPE. (Lahiri et al, 2008, Peacock et al, 1998).

Gambar 2.12 Gamow bag (Peacock et al, 1998)


2.6.1.6. Pencegahan

Penggunaan nifedipin sebagai profilaktik (formulasi slow-release, 20 mg

dua kali sehari sebelum pendakian, kemudian tiga kali sehari) dapat menurunkan

insiden HAPE secara signifikan. Rata-rata tekanan arteri pulmonalis sistolik

diturunkan dengan profilaksis. Obat ini tidak efektif dalam mencegah AMS.

Profilaksis dengan menggunakan suatu agonis beta inhalasi juga mengurangi

risiko HAPE (Lahiri et al, 2008).

Suatu studi ini menunjukkan manfaat klinis inhalasi beta-adrenergik

agonis (salmeterol) untuk mengurangi edema paru pada manusia. Selain itu,

hasil menunjukkan bahwa predisposisi HAPE mungkin terkait dengan defek

sodium-dependent clearance cairan alveolar. Kami berspekulasi bahwa stadium

penyakit lain yang terkait dengan flooding alveolar dan hipoksia, seperti gagal

jantung dan sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS), defek yang sudah ada

sebelumnya pada transport natrium pernapasan dapat memfasilitasi

berkembangnya edema paru atau dengan penundaan resolusinya, meningkatkan

insiden HAPE dan kematian. Beta-adrenergik menstimulasi pembersihan cairan

alveolar merupakan strategi terapi baru untuk mencegah outcome fatal (Sartori

et al,2002).

Gambar 2.13 Sel Alveolar tipe II, Kanal Natrium Apikal dan Basal serta Tempat Bekerjanya
Salmeterol (Sartori et al, 2002)
BAB 3

KESIMPULAN

Ketinggian (high altitude) merupakan tempat dengan ketinggian lebih dari

atau sama dengan 2.500 meter dari permukaan laut, berkaitan dengan

penurunan tekanan barometrik dan saturasi oksigen hemoglobin kurang dari

90%. Berdasarkan International Society for Mountain Medicine, ketinggian

diklasifikasikan menjadi tiga area yaitu high altitude, very high altitude dan

extremely high altitude. Aklimatisasi adalah kumpulan proses menguntungkan

dimana manusia dataran rendah berespon terhadap penurunan tekanan oksigen

parsial inspirasi.

Pengaruh paparan ketinggian pada sistem kardiovaskular yaitu dengan

adanya hipoksia akut menyebabkan vasodilatasi pada sirkulasi sistemik, dilatasi

arteri koronaria epikardial, meningkatkan denyut jantung, kontraktilitas

miokardium dan cardiac output. Pengaruh paparan ketinggian pada paru antara

lain peningkatan ventilasi, kapasitas vital paru menurun, volume residu paru

meningkat dan penurunan compliance paru serta vasokonstriksi pulmoner

hipoksia. Pengaruh paparan ketinggian pada sistem Lainnya meliputi

peningkatan kadar erythropoietin karena hipoksia kronis yang mengakibatkan

peningkatan jumlah eritrosit, peningkatan diuresis, peningkatan aliran darah

serebral (CBF) serta gangguan kualitas tidur baik REM dan non-REM.

Pada individu tanpa aklimatisasi yang mendaki ke ketinggian, tubuh gagal

untuk beradaptasi dengan stres hipoksia hipobarik sehingga terjadi High Altitude
Illness (HAI). Salah satu dari bentuk HAI adalah high-altitude pulmonary edema

(HAPE) yang merupakan edema paru non kardiogenik yang biasanya terjadi

pada ketinggian di atas 3.000 m pada individu yang mendaki dengan cepat tanpa

aklimatisasi dalam 2-5 hari pertama setelah tiba di tempat tersebut. Pada

pasien-pasien dengan penyakit jantung dan paru yang akan melakukan

perjalanan di ketinggian harus berkonsultasi kepada dokter terlebih dahulu.


DAFTAR PUSTAKA

Bartsch P and Gibbs SR. 2007. Effect of Altitude on The Heart and The Lungs.

Circulation. 116: 2191 – 2202.

Fiore DC, Hall S, Panetea S. 2010. Altitude Illness : Risk Factor, Prevention,

Presentation and Treatment. American Family Physician 82 : (9).

Freeman K, Shalit M, Stroh G. 2004. Use of the Gamow Bag by EMT-basic park

ranges for treatment of high altitude pulmonary edema and high

altitude cerebral edema. Wilderness and Environmental Medicine 15 :

198-201.

Goyal R, Mittal A, Shi L, Wedhas N, and Longo LD. 2009. High altitude

acclimatization response in cerebral artery PKC-dependent signaling

pathway proteins : Changes with development. Journal of the

Federation of America Societies for Experimental Biology.616.14

Hackett PH and Roach RC. 2001. High Altitude Illness. Review Articles. N Engl J

Med. Noe 345 No. 2. 107-115

Luks AM, McIntosh SE, Grissom CK, Auerbach PS, Rodway GW, Schoene RB,

et al. 2010. Wilderness medical society consensus guidelines for the

prevention & treatment of Acute Altitude Illness. Wilderness &

Environmental Medicine 21 : 146-155

Sartori C, Allemann Y, Duplain H, Lepori M, Egli M, Lipp E, et al. 2002.

Salmeterol for the prevention of High Altitude Pulmonary Edema. N

Engl J Med vol 346 No. 21. 1631-36.


Swenson ER. 2011. High Altitude Pulmonary Edema and Critical Care Medicine.

Textbook of Pulmonary Vascular Disease. 1660. South Columbian

Way, Seattle, WA 98108. USA. 871-888.

Taylor AT. 2011. High Altitude Illness : Physiology, Risc Factors, Prevention and

Treatment. Ramban Maimonides Medical Journal vol 2 Issue 1

e.0022.

West JB. 2004. The Physiologic Basis of High Altitude Disease. Ann Intern Med

141 (10) : 789-800.

Anda mungkin juga menyukai