Oleh :
Pembimbing :
BAB 1 PENDAHULUAN................................................................... 1
2.2 Aklimatisasi..................................................................... 5
BAB 3 KESIMPULAN........................................................................... 40
BAB 1
PENDAHULUAN
Setiap tahun jutaan orang berada pada ketinggian karena berbagai keperluan
seperti mendaki gunung, ski, hiking atau berada dalam pesawat udara. Persentase
saturasi hemoglobin dan oksigen menentukan kandungan oksigen dalam darah. Setelah
tubuh mencapai sekitar 2.100 m (7.000 kaki) di atas permukaan laut, saturasi
menyebabkan penurunan tekanan partial oksigen (pO2) inspirasi, dapat menjadi masalah
pada sebagian orang. Namun sulit untuk mengetahui pada ketinggian berapa seseorang
Tekanan atmosfer dan tekanan oksigen inspirasi akan menurun secara linear,
menjadi 50% dari nilai permukaan laut pada ketinggian 5000 meter dan hanya 30% dari
nilai permukaan laut pada ketinggian 8900 meter (Puncak Everest). Seiring dengan
penurunan PO2, tubuh akan melakukan adaptasi dengan kondisi tersebut, misalkan
meningkatkan frekuensi pernafasan dan denyut jantung, meningkatkan jumlah sel darah
merah dalam tubuh dan lain-lain. Adanya hipoksia juga akan menyebabkan
altitude pulmonary oedema (HAPE). Selain itu ketinggian juga dapat menyebabkan
gejala acute mountain sickness (AMS) dan chronic mountain sickness (CMS) (Luks et
al,2007).
kondisi geografis yang demikian, perlu diketahui kondisi fisiologis tubuh manusia dan
barometrik dan saturasi oksigen hemoglobin kurang dari 90% (Sartori et al,
permukaan laut (Willey, 2008). Istilah ketinggian atau dataran tinggi (high
Ketinggian ekstrim merupakan istilah untuk yang ketinggian di atas 6000 meter,
ketinggian diklasifikasikan menjadi tiga area yaitu high altitude, very high altitude
meter (5.000 – 11.500 kaki) di atas permukaan laut. Very high altitude adalah
Sedangkan extremely high altitude adalah ketinggian lebih dari 5.500 meter
(lebih dari 18.000 kaki) di atas permukaan laut (Taylor AT, 2011, International
Pada ketinggian 3000 m, yang biasa ditemui di daerah ski, tekanan barometrik
dan PO2 inspirasi hanya 70%. Pada ketinggian 5000m, PO2 terinspirasi hanya
Gambar 2.2 Grafik hubungan antara ketinggian, tekanan barometer dan tekanan Oksigen
inspirasi (West, 2004).
Pengiriman oksigen ke jaringan tergantung pada suplai oksigen yang
cukup pada setiap langkah rantai transpor oksigen (oxygen transport chain), dari
atas permukaan air laut. Manusia pada ketinggian, mengalami sejumlah adaptasi
yang tidak menguntungkan dari hipoksia ambien (Grissom CK and Schoen RB,
2004).
Oksigen sangat penting untuk fungsi sel normal karena itu merupakan
bagian penting dari rantai transpor elektron untuk produksi energi dalam sel. Efek
fisiologis dari hipoksia pada ketinggian pada tubuh manusia sangat banyak, dan
dapat mempengaruhi kinerja fisik, kinerja mental, dan tidur (West, 2004).
ketinggian 4000 meter, orang yang bekerja pada ketinggian ini beberapa
sampai ketinggian 2000 m dan menurun 50% pada 5000 meter (west, 2004).
2.2. Aklimatisasi
jangka pendek dan jangka panjang. Dalam jangka pendek, kekurangan oksigen
laju pernapasan dapat disebabkan oleh karotis respons tubuh tidak memadai
atau adanya penyakit paru atau ginjal (Young and reeves, 2002).
volume sedikit menurun dan fungsi tubuh lain akan ditekan, mengakibatkan
risiko alkalosis. Hal ini membutuhkan waktu sekitar empat hari pada setiap
et al, 2007).
lokal sesuai dengan kebutuhan jaringan, misalnya, pelepasan ATP dari sel darah
oksigen lokal sesuai dengan kebutuhan jaringan. Mekanisme ini dapat menurun
dengan tinggal lama di ketinggian ketika oksigen dalam darah meningkat karena
volume plasma dan peningkatan massa sel darah merah untuk eritropoiesis
plasma dan aktivitas simpatis otot rangka. Dengan paparan selama beberapa
ventilasi). Hal ini dapat menyebabkan peningkatan lebih lanjut aktivitas simpatis
dan peningkatan katekolamin dalam urin serta plasma (Bärtsch et al, 2007).
Gambar 2.3. Efek Hipoksia terhadap Sirkulasi Sistemik dan Paru (Bärtsch et al, 2007)
efek langsung hipoksia pada resistensi pembuluh darah dan dimediasi oleh
kemoreseptor baik sirkulasi sistemik dan paru. Selama beberapa jam pertama
tidak berubah atau sedikit menurun. Tekanan darah dan resistensi pembuluh
darah terhadap hipoksia antar individual dapat dijelaskan sebagian oleh temuan
bahwa individu dengan respon ventilasi hipoksia akut yang cepat juga memiliki
respon tekanan darah tinggi terhadap hipoksia. Dalam sirkulasi paru, ventilasi
meningkat dapat memodulasi HPV dengan mengurangi hipoksia alveolar dan
2.3.2. Jantung
jantung (baik saat istirahat dan pada latihan), kontraktilitas miokard dan cardiac
menurun pada saat istirahat dan latihan berhubungan dengan penurunan kerja
ventrikel kiri tetapi peningkatan kerja ventrikel kanan (Bärtsch et al, 2007).
Peningkatan cardiac output adalah hasil dari peningkatan denyut jantung dengan
Puncak denyut jantung latihan menurun dari level permukaan laut. Level
jantung, tetapi denyut jantung yang lebih rendah bukanlah faktor yang
jantung bahkan setelah 3 tahun pada dataran rendah. Pada pendatang, kadar
dengan peningkatan stroke volume dan kadar oksigen arteri sebagai hasil
seperti aliran darah ke otot yang berkurang dan resistensi pembuluh darah
cardiac output dan aliran darah otot berkurang pada setiap tingkat latihan yang
al, 2005).
lebih dari 40 hari oleh laki-laki muda yang sehat tidak ditemukan adanya iskemia
miokard pada saat latihan. Setelah 10 hari pada 3100 m, aliran darah koroner
yang diberikan, meskipun cardiac output maksimal tidak berubah dan konsumsi
atas 1500 m. Peningkatan akut dalam cardiac output pada beban kerja
diimbangi oleh penurunan stroke volume, yang terdeteksi pada hari pertama.
contoh, setelah 5 hari pada 2380 m, stroke volume dan cardiac output adalah
15% sampai 20% lebih rendah daripada di permukaan laut, setelah 10 hari pada
3100 m adalah 16% lebih rendah, dan setelah 21 hari pada 4300 m adalah 25%
kiri dan filling pressure dan sebagian diakibatkan oleh diuresis dan pengurangan
volume plasma yang menurun selama minggu pertama pada dataran tinggi
plasma lebih lanjut terjadi tanpa kehilangan air tubuh secara keseluruhan dengan
pergeseran cairan dari kompartemen ekstraselular ke intraselular (Schoene et al,
2005).
ventrikel kiri (Gambar 4). Pada bentuk patologis hipertensi pulmonal ini
pada cardiac output, fungsi ventrikel kiri saat istirahat dipertahankan bahkan
pada left ventricular end-diastolic pressure latihan. Bahkan latihan berat dikaitkan
dengan tes tambahan sampai kelelahan pada 7625 m atau berlari kompetitif
ringkasan, suplai oksigen miokard dan fungsi ventrikel kiri terpelihara pada orang
jantung maksimal berkurang sebesar 20% dan cardiac output serta kapasitas
2.4.1. Ventilasi
paling cepat dan nyata terjadi pada pendakian cepat/akut. Konsentrasi oksigen
dan karbon dioksida pada udara alveolar adalah refleksi langsung dari tekanan
udara dan ventilasi alveolar. Pengukuran tekanan parsial gas alveolar oleh Rahn
dan Otis pada tahun 1946 dengan jelas menunjukkan bahwa, seperti tekanan
alveolar (Gambar 5). Studi ini berusaha untuk memprediksi tekanan gas alveolar
di puncak Gunung Everest (8848 m, tekanan udara sekitar 253 mm Hg), yang
diukur pada tahun 1981 American Medical Research Expedition to Mt. Everest
mm Hg). Data yang dikumpulkan dalam sebuah pendakian simulasi 40-hari Mt.
Everest dalam ruang hipobarik menunjukkan tingkat Pco2 alveolar sedikit lebih
tinggi (11,2 ± 1,7 mm Hg) dalam enam subyek, yang juga mencerminkan tingkat
dimediasi sebagian besar oleh stimulus hipoksia pada carotid body. Perjalanan
respon ventilasi adalah apa yang merupakan aklimatisasi ventilasi. Dalam respon
ini terdapat variasi individu, tetapi pada dasarnya, pola setiap tingkatan dataran
tinggi adalah satu, peningkatan mendadak ventilasi diikuti oleh peningkatan yang
lebih bertahap selama setidaknya dua minggu atau lebih tergantung pada
pada dataran tinggi. Penelitian terakhir telah menunjukkan bahwa pada manusia
dan hewan, baik alkalosis darah dan CSF berkembang secara paralel selama
bervariasi dari waktu ke waktu (Gambar 6): kenaikan awal pada pendakian,
berikutnya selama jam dan minggu, dan deaklimatisasi pada penurunan. Selain
itu, penduduk dataran tinggi menunjukkan respon jangka panjang yang berbeda,
Gambar 2.4 Diagram oksigen-karbon dioksida Rahn dan Otis dengan nilai-nilai komposisi gas
alveolar pada subyek yang diaklimatisasi di dataran tinggi. Pada ketinggian ekstrim,
ditandai hiperventilasi mempertahankan Po2 alveolar di sekitar 35 mm Hg. (From
West JB, Hackett PH, Maret KH, et al: Pulmonary gas exchange on the summit of Mt.
Everest. J Appl Physiol 55:678–687, 1983.) (Schoene et al, 2005).
Gambar 2.5. Aklimatisasi ventilasi selama tinggal 10-11 hari di ketinggian 4300 m. Ventilasi
terus meningkat seperti perubahan cairan asam-basa cerebrospinal (CSF) paralel
dengan perubahan plasma. HCO3-, bikarbonat, PaO2, tekanan oksigen arterial;
Pco2, takanan karbon dioksida, e, volume menit ventilasi. (From Forster HV,
Dempsey JA, Chosy LW: Incomplete compensation of CSF [H+] in man during
acclimation to high altitude [4300 m]. J Appl Physiol 38:1067–1072, 1975.) (Schoene
et al, 2005)
Respon Akut
menit kemudian dengan tingkat hiperventilasi yang lebih rendah meskipun output
(HVR). Bila Po2 arteri berkurang dari yang di permukaan laut sampai sekitar 60
mm Hg, peningkatan ventilasi sedikit, tetapi bila Po2 arteri turun lebih rendah,
penting dalam adaptasi manusia, maladaptation, dan kinerja pada dataran tinggi,
serta dataran rendah. Penelitian terbaru pada tikus mengidentifikasi suatu lokus
telah lama dikenal memiliki komponen yang diwariskan (Schoene et al, 2005,
pada bukti langsung dan tidak langsung yang luas. Perubahan neural dari
samping itu, dimulai beberapa menit setelah terpapar hipoksia dan berlangsung
terkait dalam pernapasan, disebut sebagai penurunan hipoksia ventilasi atau roll
off, adalah subjek dari penyelidikan saat ini tetapi tidak dianggap sekunder untuk
stimulus hipoksia untuk ventilasi (Schoene et al, 2005, Grissom et al, 2004).
menemukan bahwa tidak hanya darah tetapi juga CSF lumbal manusia tetap
minggu. Selama deaklimatisasi, ketika Pco2 arteri, ventilasi serta pH darah dan
2005).
carotid body. Terdapat pula peranan sensitivitas karbon dioksida yang dimediasi
et al, 2004).
terhadap hipoksia dan karbon dioksida selama beberapa hari. Karena subyek
tidak lagi hipoksemia, stimulasi ventilasi lanjutan tidak dapat dikaitkan dengan
stimulus hipoksia untuk ventilasi, tetapi interaksi kompleks pada penurunan dari
ketinggian atau penghentian pajanan terhadap hipoksia belum diketahui
pengeluaran energi yang lebih rendah dari ventilasi lebih rendah (Schoene et al,
2005).
kemosensitivitas hipoksia yang tumpul pada tingkat yang sama seperti penduduk
pendatang dengan aklimatisasi baik memiliki ventilasi menit istirahat yang lebih
tinggi, Pco2 arteri lebih rendah, nilai pH lebih tinggi, SO2 arteri yang lebih tinggi,
dan kapasitas difusi karbon monoksida lebih tinggi dari pendatang dengan
keturunan penduduk dataran tinggi Tibet. Hasil ini kontras dengan banyak
Studi yang dilakukan oleh Hackett dan kawan-kawan juga menunjukkan bahwa
tubuh yang lebih kecil mereka, memiliki distribusi normal dengan mean dan
lebih sukses di Tibet akibat paparan yang lebih lama (~ 60.000 hingga 75.000
Fungsi Paru
dataran tinggi. Peningkatan aliran darah dan volume darah sentral dan
ini masih bersifat spekulatif. Di sisi lain, penduduk dataran tinggi di Amerika
Selatan, memiliki dada besar pada pemeriksaan fisik, disertai dengan kapasitas
Semakin muda usia subyek mulai tinggal di dataran tinggi, karakteristik akan
permukaan laut meskipun kepadatan gas yang lebih rendah ditemukan pada
ketinggian tinggi. Pada latihan tingkat tinggi, hasil dari peningkatan usaha
menghasilkan "steal” aliran darah dari otot-otot yang bekerja lainnya dan
Pertukaran Gas
oksigen dari alveolus ke kapiler dan sel-sel darah merah. Langkah ini
memerlukan matching ventilasi ([V dengan dot di atas] A) untuk perfusi ([Q
dengan dot di atas]) dan difusi oksigen dengan hemoglobin dalam sel darah
[Q dengan dot di atas] sesuai secara primer dengan meningkatkan aliran darah
ke bagian paru dengan perfusi rendah, yang biasanya daerah V [tinggi dengan
dot di atas] A / [Q dengan dot di atas]. Ini hasil redistribusi aliran darah dalam
homogenitas yang lebih besar dari [V dengan dot di atas] A / [Q dengan dot di
oksigen ke dalam darah. Transfer ini tergantung pada gradien tekanan untuk
transit sel darah merah di bagian kapiler paru, dimana pada ketinggian tidak
Salah satu faktor penting dalam proses ini di ketinggian ekstrem afinitas
ekstrem. Pada penduduk dataran tinggi, kapasitas difusi paru (DL) mungkin lebih
Sirkulasi Pulmonal
berlebihan dan berlimpah yang disebut edema safety factor. Pada dataran tinggi,
Selain inervasi ini, pengaturan tonus vasomotor sebagian besar ditentukan oleh
efek lokal PO2 dan PCO2. Hipoksia alveolar menyebabkan kontraksi otot polos
tinggi didokumentasikan dengan baik. Hal ini terjadi lebih banyak pada individu
yang muda dibandingkan individu lebih tua dan berhubungan dengan keadaan
hipoksia mengalami perbaikan jika hipoksia timbul hanya beberapa jam. Tekanan
arteri pulmonalis tidak dapat menurun segera jika hipoksia telah berlangsung
selama beberapa hari. Setelah resolusi hipoksia, regresi terjadi pada hipertensi
aliran darah pulmoner dan tekanan pulmoner berubah. Selama hipoksia kronis,
remodeling struktural arteriol paru menyebabkan peningkatan tekanan arteri
pulmonalis istirahat dan resistensi pembuluh darah paru (Lahiri et al, 2008).
dari arteri pulmonalis ke atrium kiri selama latihan (seperti tergambar dalam
pada dataran tinggi, kontrol vasomotor sirkulasi paru berada pada arteriol paru,
et al, 2008).
luas oleh von Euler dan Liljestrand tahun 1946. Peran fisiologis HPV di
ketinggian rendah telah jelas pada hipoksia lokal di paru, seperti pneumonia atau
atelektasis. Ketika seluruh paru terkena hipoksia, HPV dapat merugikan karena
paru terbesar di dataran tertinggi dan berbeda dengan sirkulasi sistemik (Gambar
7). Hipertensi paru tidak dapat diatasi dengan pemberian oksigen, menunjukkan
bahwa secara struktural telah terjadi remodeling vaskuler (Lahiri et al, 2008).
Gambar 2.6 Hubungan rata-rata gradien tekanan sistemik dan vascular pulmonal
terhadap cardiac output termodilusi di berbagai tekanan barometrik.
Pengukuran ditampilkan untuk tekanan barometrik (PB) 760 (permukaan
laut), 347 (6100 m), 282 Torr (7.620 m; lingkaran hitam), dan 240 Torr
(8840 m, puncak Gunung Everest). SAM menunjukkan tekanan rata-rata
arteri sistemik; RAM, tekanan rata-rata atrium kanan; PAM, tekanan
rata-rata arteri paru; dan PAWM, tekanan baji arteri paru (Bärtsch et
al, 2007).
Di Tibet pada 3658 m, rata-rata PAP saat istirahat dan selama latihan
menghasilkan peningkatan cardiac output 3 kali lipat tidak berbeda dari respon
yang diamati pada kulit putih di dataran rendah. Data ini berdasarkan pada
adalah 31±7 mm Hg. Nilai yang diperoleh berada di antara 21 kulit putih yang
sehat (usi rata-rata 33 tahun; kisaran 24 sampai 60 tahun) pada 450 m (22 mm
Hg) dan setelah pendakian cepat untuk 4.559 m (388 mm Hg). Apakah ini
PAP penduduk Andes hidup antara 3700 dan 4540 m sama dengan kulit
Autopsi dari penduduk Andes menunjukkan muskularisasi yang lebih besar pada
cabang distal arteri pulmonalis dan hipertrofi ventrikel kanan. Penelitian ini
menunjukkan bahwa peningkatan PAP tidak hanya pada pendatang tetapi juga
pada banyak generasi penduduk asli dataran tinggi dan bahwa jantung kanan
genetik dengan kulit putih mungkin terjadi. Data awal pada anak-anak suku
Aymara dilaporkan memiliki PAP sistolik lebih rendah pada 3600 m dibandingkan
sel otot pembuluh darah paru dan tidak tergantung endothelium, seperti yang
paru dan sel otot polos yang diisolasi dari arteri pulmonalis. Kontraksi hipoksik
sel otot polos disebabkan oleh peningkatan Ca2+ dalam sel. Mayoritas Ca2
melintasi membran sel dari kompartemen ekstraseluler melalui kanal Ca2+ tipe-L.
sitoplasmik. Kalsium masuk ke sel otot polos ditingkatkan oleh mekanisme yang
menit. Tahap kedua hanya terjadi dalam preparasi termasuk endotelium dan
kenaikan cepat PAP, mencapai maksimum setelah 20 menit, diikuti oleh naik
isokapnik. Lag time 40 menit antara onset hipoksia dan respon lambat
manusia yang memiliki respon PAP normal terhadap hipoksia telah menunjukkan
perfusi paru tidak homogen selama hipoksia, menegaskan bahwa HPV biasanya
tidak homogen. Temuan terhadap individu yang rentan HAPE dan babi
rasio ventilasi-perfusi (V / Q) dasar dengan HPV yang lebih besar pada daerah-
regional dalam pelepasan NO endotel dan distribusi yang tidak merata sel otot
ini diduga dapat berkontribusi terhadap edema interstisial yang terjadi terutama
pada latihan di ketinggian yang ekstrim selama Operasi Everest II. Sayangnya,
tidak ada pengukuran indikator cairan paru yang dibuat (Bärtsch, 2007).
dapat naik secara bertahap ke ketinggian ini dan hidup serta bekerja untuk
jangka waktu yang singkat dan cukup efektif. Pada individu tanpa aklimatisasi
mendaki ke ketinggian yang tinggi, tubuh gagal untuk beradaptasi dengan stres
(HAPE) merupakan kelainan paru. Meskipun ada banyak variabilitas individu dan
tumpang tindih dalam gangguan tersebut. (Grissom et al, 2004) Tinjauan ini akan
2.6.1.1. Definisi
kardiogenik yang biasanya terjadi pada ketinggian di atas 3.000 m pada individu
mendaki dengan cepat tanpa aklimatisasi dalam 2-5 hari pertama setelah tiba di
tempat tersebut (Baartch et al, 2005). Definisi lain dari HAPE adalah edema paru
non kardiogenik yang dialami orang-orang rentan yang naik ke ketinggian di atas
2.500 m dan menetap di sana selama 24 sampai 48 jam atau lebih (Grissom et
al, 2004). HAPE juga didefifisikan sebagai edema paru non kardiogenik
diderita 0.2-15% pendaki dataran tinggi, tergantung pada ketinggian yang dicapai
2.6.1.2. Epidemiologi
Dalam satu studi pada pemain ski Colorado, insiden acute mountain
jauh lebih rendah, sekitar 0,1-1%. Pada suatu studi mengenai pendaki Gunung
Everest, kejadian HAPE adalah sekitar 1,6%. Insiden mountain sickness tinggi
pada pendaki Gunung Rainier, namun kejadian edema paru sama dengan di
tempat lain. (Goyal et al, 2009). Insiden HAPE meningkat dengan tingkat
pendakian cepat dan ketinggian yang lebih tinggi telah dilaporkan sebesar 15%
pada pasukan India yang diterbangkan dari permukaan laut ke ketinggian antara
3.500 m dan 5.500 m). Insiden lebih rendah 2% dilaporkan pada pendaki yang
McKinley, Alaska dan insiden 0,01% dilaporkan pada pengunjung ski resort di
Pegunungan Rocky dengan ketinggian 2.500 sampai 3.000 m. (Grissom et al,
2004)
HAPE dapat berakibat fatal dalam waktu beberapa jam jika tidak
ditangani. Pasien yang sembuh dari HAPE memiliki clearing cepat cairan edema
menunjukkan bahwa perkiraan mortalitas penyakit ini adalah 7,7 per 100.000
sickness, tetapi wanita lebih sedikit mengalami HAPE. Selain perbedaan individu
dalam kerentanan, faktor lain, seperti alkohol, depresi pernapasan dan infeksi
ketinggian. Tipikal pasien HAPE adalah dewasa muda yang dinyatakan sehat
secara fisik. HAPE jarang terjadi pada bayi dan anak kecil. (Goyal et al, 2009)
2.6.1.3. Patofisiologi
Hipertensi Pulmonal
rentan HAPE selama paparan hipoksia 4 jam di ketinggian rendah dan selama
nitrit pada cairan lavage bronchoalveolar (BAL) lebih rendah pada pendaki
gunung yang mengalami HAPE dibandingkan dengan kontrol dan orang yang
maningkatkan pertukaran gas sampai tingkat kontrol pada subyek dengan HAPE.
vasokonstriksi lebih besar tetapi tidak bisa dikonfirmasi pada kulit putih.
dan Jepang atau India bisa dapat menyebabkan hasil yang tidak akurat. Ada
rentan HAPE. Peningkatan aktivitas simpatik otot rangka dan peningkatan kadar
selama hipoksia pada ketinggian rendah serta sebelum dan selama HAPE
Edema Hidrostatik
mengandung molekul protein tinggi dan sel darah merah tetapi tidak ditemukan
protein tinggi tanpa adanya inflamasi. Konsep ini pertama kali digunakan gagal
jantung kongestif sisi kiri dan oleh West et al dikembangkan untuk HAPE, yang
dapat menyebabkan tekanan kapiler tinggi pada HAPE. Hipotesis ini diterima
fluorescent microbeads dan analisis perfusi paru manusia dengan MRI. Selain
pada HAPE, tetapi mekanisme ini tidak dapat menjelaskan seringnya gambaran
patchy radiographic appearance pada HAPE awal pada pencitraan paru kecuali
langsung yang berasal dari arteriole yang lebih besar atau kebocoran
antara 2 episode terpisah HAPE dalam individu yang sama menunjukkan bahwa
lebih lanjut PAP dan mungkin tekanan kapiler. Tekanan yang sangat tinggi
mungkin juga berkontribusi terhadap HAPE dengan interaksi ventrikel dan
pada hipoksia pada subyek rentan dan tidak rentan HAPE. Dalam banyak kasus,
khususnya pada ketinggian yang lebih rendah, latihan menjadi faktor yang
peningkatan HPV dan paru yang lebih kecil dalam kaitannya dengan ukuran
HAPE berkembang pada ketinggian lebih rendah dari 2000 m. Foramen ovale
paten ditemukan pada 60% subyek rentan HAPE pada ketinggian tinggi dan
rendah. Karena PAP juga abnormal tinggi pada individu-individu tersebut selama
oleh endotoksin atau virus pada hewan dan hubungan infeksi virus sebelumnya
(terutama pada saluran pernafasan atas) dengan HAPE pada anak-anak yang
meningkat, HAPE juga bisa terjadi pada individu dengan respon HPV normal
aktivitas lainnya yang dapat memodifikasi HAPE; ini termasuk menurunkan PAP,
sel. Molekul yang secara khusus menargetkan reabsorpsi natrium epitel alveolar
diperlukan untuk mengevaluasi peran alveolar fluid clearance dari alveoli pada
HAPE umumnya terjadi 1-4 hari setelah pendakian cepat untuk ketinggian
lebih dari 2500 m (8000 ft). Orang-orang muda dan orang-orang yang
dingin dan aktivitas fisik pada dataran tinggi merupakan faktor predisposisi lain.
aktivitas. Kondisi ini biasanya memburuk pada malam hari dan takikardi serta
takipnea terjadi saat istirahat. Pernapasan periodik selama tidur hampir universal
dalam pendatang di ketinggian tinggi. Batuk, dahak berbusa, sianosis, ronkhi dan
sesak napas yang progresif menjadi distres pernapasan berat juga dapat
leukositosis merupakan gambaran umum lainnya. Pada kasus yang berat terjadi
Gambar 2.11 A.:Foto toraks pendaki gunung, laki-laki 37 tahun dengan HAPE yang
menunjukkan distribusi edema merata sampai konfluen edema, terutama di sisi
kanan. B: CT scan pendaki gunung, 27 tahun dengan HAPE berulang
menunjukkan distribusi edema merata (Schoene RB, 2008).
termasuk aktivitas, suhu lingkungan dingin, infeksi pernafasan atas atau riwayat
menunjukkan patchy bilateral atau unilateral pada HAPE awal, opasitas linier dan
bertemu dengan bayangan jantung normal. Tingkat hipoksemia tergantung pada
2.6.1.5. Pengobatan
istirahat ketat, oksigen dan jika tersedia, penggunaan ruang hiperbarik portabel.
penurunan hingga 600 m. Alat ini dapat memperbaiki gejala, tetapi akan
memperburuk bila subyek diambil dari kantong untuk difasilitasi turun dari
ketinggian. Meskipun belum diteliti dalam uji coba terkontrol dengan baik,
nifedipin (10 mg sublingual) dapat digunakan. Jika hipotensi klinis signifikan tidak
dua kali sehari sebelum pendakian, kemudian tiga kali sehari) dapat menurunkan
diturunkan dengan profilaksis. Obat ini tidak efektif dalam mencegah AMS.
agonis (salmeterol) untuk mengurangi edema paru pada manusia. Selain itu,
penyakit lain yang terkait dengan flooding alveolar dan hipoksia, seperti gagal
jantung dan sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS), defek yang sudah ada
alveolar merupakan strategi terapi baru untuk mencegah outcome fatal (Sartori
et al,2002).
Gambar 2.13 Sel Alveolar tipe II, Kanal Natrium Apikal dan Basal serta Tempat Bekerjanya
Salmeterol (Sartori et al, 2002)
BAB 3
KESIMPULAN
atau sama dengan 2.500 meter dari permukaan laut, berkaitan dengan
diklasifikasikan menjadi tiga area yaitu high altitude, very high altitude dan
parsial inspirasi.
miokardium dan cardiac output. Pengaruh paparan ketinggian pada paru antara
lain peningkatan ventilasi, kapasitas vital paru menurun, volume residu paru
serebral (CBF) serta gangguan kualitas tidur baik REM dan non-REM.
untuk beradaptasi dengan stres hipoksia hipobarik sehingga terjadi High Altitude
Illness (HAI). Salah satu dari bentuk HAI adalah high-altitude pulmonary edema
(HAPE) yang merupakan edema paru non kardiogenik yang biasanya terjadi
pada ketinggian di atas 3.000 m pada individu yang mendaki dengan cepat tanpa
aklimatisasi dalam 2-5 hari pertama setelah tiba di tempat tersebut. Pada
Bartsch P and Gibbs SR. 2007. Effect of Altitude on The Heart and The Lungs.
Fiore DC, Hall S, Panetea S. 2010. Altitude Illness : Risk Factor, Prevention,
Freeman K, Shalit M, Stroh G. 2004. Use of the Gamow Bag by EMT-basic park
198-201.
Goyal R, Mittal A, Shi L, Wedhas N, and Longo LD. 2009. High altitude
Hackett PH and Roach RC. 2001. High Altitude Illness. Review Articles. N Engl J
Luks AM, McIntosh SE, Grissom CK, Auerbach PS, Rodway GW, Schoene RB,
Taylor AT. 2011. High Altitude Illness : Physiology, Risc Factors, Prevention and
e.0022.
West JB. 2004. The Physiologic Basis of High Altitude Disease. Ann Intern Med