Anda di halaman 1dari 16

ESSAI KULIAH

BLOK KARDIOVASKULAR II
Acute Mountain Sickness

Nama : Putu Shanti Ayudiana Budi

NIM : 019.06.0082

Blok : Blok Kardiovaskular II

Dosen : dr. Dasti Anditiarina, Sp.KP

PENDIDIKAN DAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
2021
Acute Mountain Sickness

I. Pendahuluan

Latar Belakang

Perubahan tekanan merupakan suatu kondisi yang diakibatkan karena


terdapatnya perbedaan dari dataran baik itu dataran tinggi maupun dataran rendah.
Semakin tinggi datarannya maka tekanan semakin rendah begitu pula sebaliknya
semakin rendah dataran maka tekanan akan semakin tinggi. Hal ini dikarenakan
tekanan dan ketinggian berbanding terbalik yang dapat digambarkan dengan
rumus sebagai berikut :

Perbedaan tekanan ini seringkali menyebabkan terganggunya fungsi dari


system tubuh karena system tubuh diharuskan untuk beraklimatisasi atau
beradaptasi. Sehingga didapatkan suatu Altitude Sickness, adapun contoh dari
Altitude Sickness ini yang akan dibahas oleh penulis adalah mengenai AMS atau
Acute Mountain Sickness dimana gangguan ini merupakan. Materi ini sangat
penting dipahami karena keluhan ini sering dijumpai apalagi NTB merupakan
sasaran dari wisatawan, salah satu yang dicari adalah pegunungan sehingga
diperlukan pemahaman lebih terkait dengan materi AMS ini untuk keperluan
lapangan ketika sudah menjadi seorang dokter.

II. ISI

Definisi Altitude Sickness


Sebelum membahas Acute Mountain Sickness, yang pertama harus dipahami
adalah pengertian secara umum dari Altitude Sickness, dimana Altitude Sickness
merupakan suatu kondisi tidak terkompensasinya system tubuh terhadap
ketinggian sehingga menyebabkan timbulnya berbagai keluhan yang terjadi akibat
perubahan tekanan. Hal ini disebabkan karena ketidakmampuan tubuh untuk ber
aklimatisasi secara cepat dan sempurna sehingga ketika seseorang berada dalam
kondisi dataran tinggi yang memiliki tekanan rendah akan menyebabkan
timbulnya berbagai keluhan. High Altitude Illness (HAI) merupakan sekumpulan
gejala paru dan otak yang terjadi pada orang yang baru pertama kali mendaki ke
ketinggian. HAI terdiri dari Acute Mountain Sickness (AMS), High Altitude
Cerebral Edema (HACE) dan High-Altitude Pulmonary Edema (HAPE).

Dikaitkan dengan kardiologi, Altitude Sickness dapat menyerang system


kardiovaskular karena perubahan tekanan erat kaitannya dengan keberadaan O2
dimana zat ini sangat penting dalam tubuh utamanya dalam system
kardiovaskular. Altitude sickness salah satu contohnya adalah Acute Mountain
Sickness atau AMS dimana penyakit ini akan berhubungan dengan kenaikan level
dimana semakin tinggi dataran akan diikuti dengan perubahan tekanan yang
semakin rendah.

Munculnya gangguan di dalam perjalanan udara, secara umum disebabkan


oleh perubahan tekanan, suhu dan kelembaban atmosfir akibat ketinggian. Dimana
tekanan udara yang normal sebesar 760 mmHg pada permukaan laut akan
menurun menjadi 180 mmHg hingga 120 mmHg, dan penurunan tekanan udara
ini akan menurunkan juga tekanan parsial oksigen sekitar 20% dari seluruh
tekanan udara. Selain itu, penurunan tekanan udara juga mengakibatkan
penurunan suhu udara 2° Celcius untuk setiap kenaikan 1000 kaki, hingga
mencapai ketinggian dengan suhu konstan yaitu pada suhu -55° Celcius.
Ketinggian juga mengakibatkan semakin keringnya udara sekitar. Kondisi inilah
yang akhirnya akan memberikan dampak negatif dan gangguan bagi fungsi
fisiologis tubuh.
Di dalam kegiatan mendaki gunung rentan sekali seseorang mengalami
kesulitan dalam beraklimatisasi terutama untuk orang yang baru mendaki pertama
kali maka system tubuh nya sulit dipastikan dapat melawan berbagai keluhan pada
system tubuh yang diakibatkan karena perubahan tekanan.

Definisi AMS (Acute Mountain Sickness)

Acute Mountain Sickness (AMS) adalah kelainan yang sangat umum muncul
di ketinggian. Pada ketinggian lebih dari 3.000 meter, 75% orang akan mengalami
gejala ringan AMS. Terjadinya AMS tergantung pada elevasi, laju pendakian, dan
kerentanan individu. Banyak orang mengalami AMS ringan selama proses
aklimatisasi (penyesuaian fisiologis atau adaptasi terhadap lingkungan baru).
Gejala biasanya mulai 12 sampai 24 jam setelah tiba di ketinggian dan mulai
penurunan keparahan sekitar hari ketiga. Adapun klasifikasi dari AMS yaitu
ringan, sedang, dan berat

Acute Mountain Sickness (AMS) terdiri dari sekumpulan gejala yang


muncul begitu mendaki di ketinggian. Pertama kali AMS dikenali pada abad 16
dan 17 di Amerika Selatan oleh misionaris Spanyol. Thomas Ravenhill, tahun
1913 mencatatkan kasus AMS pada penambang Chili yang bekerja di ketinggian
15.000 kaki. AMS didefinisikan sebagai munculnya kombinasi gejala non-spesifik
yang muncul beberapa jam setelah pendakian, dengan keluhan utama sakit kepala,
malaise, pusing, anoreksia, nausea dan gangguan tidur. Gejala non-spesifik dapat
disebabkan kondisi lain, khususnya pada pendaki yang mengalami kecemasan.
Keluhan- keluhan tersebut meningkat setelah 4-6 jam berada pada ketinggian
2000-2500 m, dan biasanya hilang setelah 1 sampai 3 hari pendakian jika pendaki
berhenti melakukan pendakian dan beristirahat. Dilaporkan prevalensinya berkisar
antara 8-25% dari 2500-3000 m dan dari 40-60% pada 4500 m. Oedem perifer
dapat terjadi, namun tidak ada gejala fisik yang dapat ditemukan pada AMS dan
adanya gejala neurologikal biasanya dipikirkan ke arah HACE atau penyebab lain.
Gejala AMS dapat ditentukan dengan menggunakan Lake Louise Scoring System.

Setiap orang memiliki perbedaan dalam proses aklimatisasinya, dimana hal


ini akan disesuaikan dengan kondisi fisik seseorang. Umumnya seseorang dapat
melakukan aklimatisasi dalam jangka waktu beberapa jam sampai dengan minggu
untuk proses yang optimal dan disesuaikan dengan kebugaran masing- masing.
Namun tetap saja prevalensi aklimatisasi dari seseorang tidak dapat dipastikan
karena setiap individu dapat mengalami keluhan gangguan di ketinggian, ¾ orang
biasanya dapat mengalami AMS apabila berada di ketinggian 10.000 kaki.

Etiologi

Hipoksia adalah penyebab dari AMS, karena ketika terjadi hipoksia maka
tubuh tidak akan dapat beradaptasi.

Patofisiologi

Pada ketinggian tentu membutuhkan banyak O2 secara maksimal sehingga


hal ini akan berhubungan dengan ventilasi pada tubuh, kerja jantung akan
meningkat sehingga dibutuhkan tubuh yang sehat untuk mempertahankan kerja
jantung. Apabila jantung payah akan menyebabkan cardiac arrest karena payah
jantung. Berhubungan dengan peningkatan tekanan darah yang tidak stabil,
Tekanan darah dapat meningkat dimana ketika semua efek ini terjadi maka akan
dirangsang dengan vasodilatasi perifer yangs secara langsung akan menyebabkan
hipoksia atau kekurangan oksigen.

Pada keadaan normal, manusia dapat beradaptasi pada kondisi high-altitude


melalui beberapa perubahan pada sejumlah sistem organ seperti paru, jantung,
ginjal dan sistem hematologi. Perubahan ini ada yang dapat muncul segera,
namun ada yang baru muncul setelah beberapa hari atau minggu. Beberapa
mekanisme perubahan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut ini :

1. Ventilasi
Ketika terjadi penurunan tekanan barometrik dan penurunan PaO2
bertahap, terjadi kompensasi dengan peningkatan ventilasi yang disebut
sebagai hypoxic ventilatory response (HVR). Adanya peningkatan
ventilasi saat istirahat pada pria sehat dari 7,03 ± 0,3 L/menit pada
permukaan laut menjadi 11,8 ± 0,5 L/menit pada hari pertama berada
pada ketinggian 3.110 m. Ventilasi saat istirahat serta konsumsi oksigen
otot saluran nafas terus meningkat seiring dengan bertambahnya
ketinggian, sehingga diperlukan kapasitas cadangan ventilasi dengan
fraksi yang lebih besar atau maximal voluntary ventilation (MVV).
Sebagai contoh, pasien dengan MVV hanya 25 L/menit dan peningkatan
ventilasi sekitar 4-5 L/menit pada ketinggian 3.110 m, pasien harus
bernafas hampir 50% MVV, sementara orang sehat hanya 10% MVV.
Usaha ekstra untuk bernafas juga membutuhkan aliran darah yang lebih
besar untuk kerja otot-otot pernafasan, sehingga “mengambil alih”
cardiac output dari otot-otot lain yang akhirnya membatasi kapasitas
exercise.
2. Pertukaran Gas dan Aliran Oksigen
Terdapat banyak factor yang mempengaruhi pertukaran udara paru dan
oksigenasi arterial di high-altitude. PAO2 yang rendah membatasi
gradient alveolararterial dan bersamaan dengan tekanan vena yang
rendah, juga menunda ekuilibrasi alveolar-kapiler. Penurunan PaO2
menurunkan kandungan oksigen darah, namun efek terhadap aliran
oksigen terjadi karena peningkatan COP, hemokonsentrasi oleh efek
diuretik ringan dari hipoksia, sekresi eritropoetin akibat hipoksia serta
peningkatan produksi sel darah merah. Akhirnya, pada setiap PaO2
berapapun, saturasi arteri akan lebih tinggi pada alkalosis respiratorik
akut akibat hiperventilasi yang menyebabkan pergeseran kurva disosiasi
Hb-O2 ke kiri. Pergeseran ini menyebabkan ambilan oksigen paru
berkurang sepanjang waktu sampai kurva disosiasi bergeser ke kanan
sebagai respon peningkatan 2,3-diphospoglycerate dan kompensasi
ginjal untuk alkalosis respiratoriknya. Perubahan ini terjadi sangat cepat
(1-2 hari) mengikuti pendakian sampai ketinggian < 5.000 m dan
sebagai hasilnya, posisi kurva disosiasi tidak berubah dari posisi awal
pada permukaan laut.
3. Sistem Vaskularisasi Paru
Dalam kondisi high-altitude, hipoksia alveolar menyebabkan Hypoxic
Pulmonary Vasocontriction (HPV) dan peningkatan tekanan arteri paru,
tekanan atrium kiri tetap normal dan peningkatan tekanan parsial paru
(Ppa) menetap selama beberapa waktu.
4. Mekanik Paru
Terdapat banyak perubahan mekanik paru dapat terjadi pada high-
altitude, diduga terjadi beberapa mekanisme yaitu diantaranya pelebaran
vaskular pulmonar, oedem intersisial ringan, peningkatan distensi
abdomen dan penurunan kekuatan otot pernafasan.

Sebaliknya, kapasitas total paru (TLC) meningkat pada ketinggian, yang


berarti volume residual juga meningkat. Data tentang FEV1 pun masih belum
jelas dimana dari studi dapat ditemukan terjadi peningkatan, penurunan maupun
tidak ada perubahan. Selain itu, terjadi juga peningkatan PEFR (Peak Expiratory
Flow Rates) dan penurunan resistensi aliran udara.

Suplai oksigen pada jaringan tubuh membaik setelah beberapa hari karena 2
alasan, yaitu adanya peningkatan ventilasi (“ventilatory acclimatization”) yang
terus meningkat selama 1-2 minggu dan menetap selama berada di ketinggian
tertentu. Setelah 2-3 minggu pada ketinggian 2000-2500 m, peningkatan
eritropoesis selanjutnya meningkatkan konsentrasi Hb. Mekanisme aklimatisasi
ini meningkatkan jumlah oksigen yang dihantarkan per unit volume darah,
selanjutnya meningkatkan kemampuan performance submaksimal sehingga
pendaki mampu untuk melakukan aktivitas yang sama dengan denyut jantung
yang lebih lambat, serta sesak yang berkurang. Aklimatisasi ini tidak dapat
meningkatkan O2 maksimal pada ketinggian > 4000 m. Dengan menetap lebih
lama pada high-altitude, terjadi peningkatan tekanan darah karena adanya
peningkatan aktivitas simpatis, dimana pada ketinggian 4500 m, tekanan darah
meningkat ± 10 mmHg.

Hipoksia merupakan penyebab utama acute high-altitude illnesses. Insiden


dan keparahan AMS, HAPE dan HACE berhubungan dengan kecepatan
pendakian dan tinggi maksimal yang dicapai. Beberapa penelitian juga
memperlihatkan bahwa inflamasi berkontribusi terhadap terjadinya altitude
illness. Studi memperlihatkan bahwa individu dengan penyakit penyerta (seperti
diare, infeksi saluran nafas atas), memiliki predisposisi lebih besar untuk
mengalami penyakit high-altitude akut. Pola ini konsisten dengan Moore and
Moore’s “two hit model” dari inisiasi penyakit kritis, dimana serangan pertama
lebih berbahaya dari serangan kedua (trauma berat karena hipoksia dan
hipovolemia). Penyebab awal HAPE diperkirakan akibat vasokonstriksi hipoksia
paru nonuniform yang menyebabkan kegagalan kapiler paru dan oedem paru pada
tekanan atrium kiri normal. Pemeriksaan bilasan bronkoalveolar yang diambil dari
penderita HAPE kurang dari 24 jam, ditemukan peningkatan sel dengan
predominan makrofag, bersamaan dengan peningkatan sitokin, IL-6, IL-8 dan
TNF-α.

Gejala Klinis

1. Gangguan tidur
2. Lelah yang sangat
3. Mual, muntah
4. Sakit kepala
5. Pusing

Faktor yang Memperberat

1. Riwayat terjadi Inflamasi


2. Diare
3. Riwayat penyakit penyerta seperti ISPA
4. Edema perifer

Pengukuran
Pengukuran untuk menentukan derajat AMS dapat dilakukan dengan LLS
Melakukan self assessment dengan cara menyebutan tanda- tanda dan
symptoms, kemudian akan diberikan poin sehngga nantinya akan dijumlahkan dan
dapat di interpretasikan, dari sana akan didapatkan terapi yang cocok sesuai
dengan keluhan yang dialami.

Klasifikasi

1. Mild atau Ringan

Aklimatisasi untuk pertama kali 1-3 hari ketika terpapar dengan ktinggian
dimana gejala yang timbul biasanya sekitar 12- 24 jam ketika di ketinggian
tertentu, gejala nya sama dan terdapat tambahan nafas pendek dan nafsu makan
menurun. Gejala tersebut akan semakin memburuk ketika malam tiba bahkan
dapat menyebabkan penruunan pernafasan. Banyak orang akan mengalami AMS
ringan selama proses aklimatisasi. Gejala biasanya mulai 12 sampai 24 jam
setelah tiba diketinggian dan mulai penurunan keparahan sekitar hari ketiga.
2. Moderet
a. Tidak hilang dengan obat
b. Tidak dapat melakukan aktivitas normal
c. Penurunan koordinasi

Kondisi yang paling memungkinkan dengan turun pendakian, dapat dengan


tandu atau medical centre sehingga diperlukan persiapan sebelum melakukan
suatu pendakian.

3. Berat

Keluhan akan semakin berat apabila jalan napasnya yang dapat dilakukan
dengan turun dan segera ke layanan kesehatan.

Sasaran

Semua orang, tidak ada cara memprediksi AMS. Kerentanan tidak


berhubungan degan usia dan kebugaran bahkan tidak ada riwayar di ketinggian
sebelumnya tetapi ketika menjalani pendakian menjadi rentan.

Pencegahan

1. Preaklimatisasi
2. Konsumsi cukup air
3. Diet tinggi karbohidrat

Tatalaksana

1. Aklimatisasi
2. Mengkonsumsu Acetazolamide dengan dosis 125 mg 2x1. Penelitian
tersamar ganda, random, plasebo-kontrol terbaru memperlihatkan
pemberian acetazolamid sebanyak 125 mg dua kali sehari, sama
efektifnya dalam pencegahan, dengan pemberian 375 mg dua kali sehari.
Berdasarkan penelitian tersebut, pemberian acetazolamide 125 mg dua
kali sehari, 1 hari sebelum pendakian dilanjutkan 2 hari setelah
mencapai ketinggian maksimal diindikasikan sebagai pencegahan AMS.
3. Dexamethasone dengan dosis awal 4- 10 mg diikuti 4 mg setiap 6 jam.
Dexamethasone kemungkinan kurang efektif dibandingkan dengan
acetazolamide, namun efektif sebagi pengobatan emergensi AMS
dengan dosis awal 4-10 mg, diikuti 4 mg setiap 6 jam.
4. Pemberian 800 mg ibuprofen dan 85 mg acetazolamide serta placebo 3
kali sehari pada ketinggian 4280 m dan 4358 m. Acetaminofen dan
NSAID seperti ibuprofen dan aspirin seringkali efektif dalam
mengurangi sakit kepala akibat AMS. Pemberikan 800 mg ibuprofen
dan 85 mg acetazolamide serta placebo 3 kali sehari pada ketinggian
4280 m dan 4358 m memperlihatkan perbaikan keluhan sakit kepala
sama baiknya antara ibuprofen dengan acetazolamid dan lebih baik dari
placebo. Sehingga dari penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa
ibuprofen dan acetazolamid efektif dalam pencegahan AMS.
Rekomendasi

1. Pendakian lebih dari 300 meter dianjurkan untuk istirahat setiap


ketinggian 300- 600 meter per hari.
2. Climb high and sleep low yaitu pendaki dapat mendaki lebih dari 1000
kaki dalam satu hari asalkan tetap beristirahat di ketinggian yang lebih
rendah.
3. Hidrasi adekuat sekitar 3- 4 liter per hari untuk mencegah dehidrasi
4. Diet tinggi karbohidrat, hindari rokok, alcohol dan obat- obatan anti
depresan
5. Apabila muncul keluhan selama berada di ketinggian sebaiknya jangan
mendaki lebih tinggi dan istirahat
6. Apabila keluhan semakin meningkat maka dianjurkan untuk turun ke
ketinggian yang lebih rendah
7. Setiap orang kemungkinan akan mendapatkan AMS ketika mendaki
diatas 2500 meter, kejadian ini tidak dapat di prediksi.

Golden Rules

1. Jika seseorang mengalami gejala tanda MAS jangan mendaki lebih


tinggi
2. Jika gejala tanda memberat mengalami ATAXIA segera turun
3. Seseorang yang mengalmi AMS harus di damping oleh orang yang
berpengalaman dan dapat diberikan tanggung jawab untuk membawa
turun jika harus dilakukan

III. Penutup

Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa High
Altitude Illness (HAI) merupakan sekumpulan gejala otak dan paru yang terjadi
pada orang yang mendaki ke ketinggian tanpa menjalani aklimatisasi. Salah satu
contoh dari HAI yaitu Acute Mountain Sickness (AMS), Hipoksia paru dan proses
inflamasi serta adanya faktor genetik diduga berperan dalam patofisiologi
terjadinya high-altitude illness pada manusia. Diagnosis ditegakkan dengan
menggunakan kuisioner Lake Louise Scoring System (LLSS).
Penatalaksanaannya adalah dengan pemberian obat- obatan seperti acetazolamide,
dexamethasone, phospodiesterase inhibitor, analgesik dan melakukan aklimatisasi
sebelum pendakian.

DAFTAR PUSTAKA

Andrew, et al. 2017. Acute high-altitude sickness. Series Sports-Related Lung


Disease. Eur Respir Rev 2017; 26: 160096.
https://err.ersjournals.com/content/errev/26/143/160096.full.pdf (Dikutip
pada tanggal 13 Januari 2021)

Ariyanto, Yuri., dkk. 2017. Diagnosa AMS: Sistem Pakar Untuk Pendaki Gunung.
Jurnal Simantec. Vol. 6, No. 2. ISSN 2088-2130;e-ISSN 2502-4884.
https://journal.trunojoyo.ac.id/simantec/article/download/3706/2710
(Dikutip pada tanggal 13 Januari 2021)

Elvira, Dwitya. 2015. High-Altitude Illness. Jurnal Kesehatan Andalas.


http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/view/304/286 (Dikutip
pada tanggal 13 Januari 2021)

Timothy, et al. 2020. Acute Mountain Sickness.


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430716/. (Dikutip pada tanggal
13 Januari 2021)

Anda mungkin juga menyukai