Anda di halaman 1dari 10

Nama : Fadhila Wulan Sari

NIM : 04011381823217
Kelas : Alpha 2018

Learning Issues

Acute Mountain Sickness dan Aklimatisasi (Faktor dan Gejala)

Acute Mountain Sickness


Acute mountain sickness (AMS) terdiri dari sekumpulan gejala yang muncul begitu
mendaki di ketinggian. Pertama kali AMS dikenali pada abad 16 dan 17 di Amerika Selatan
oleh misionaris Spanyol. Thomas Ravenhill, tahun 1913 mencatatkan kasus AMS pada
penambang Chili yang bekerja di ketinggian 15.000 kaki. AMS didefinisikan sebagai
munculnya kombinasi gejala non-spesifik yang muncul beberapa jam setelah pendakian,
dengan keluhan utama sakit kepala, malaise, pusing, anoreksia, nausea dan gangguan tidur.
Gejala non-spesifik dapat disebabkan kondisi lain, khususnya pada pendaki yang mengalami
kecemasan. Keluhan-keluhan tersebut meningkat setelah 4-6 jam berada pada ketinggian 2000-
2500 m, dan biasanya hilang setelah 1 sampai 3 hari pendakian jika pendaki berhenti
melakukan pendakian dan beristirahat. Dilaporkan prevalensinya berkisar antara 8-25% dari
2500-3000 m dan dari 40-60% pada 4500 m. Oedem perifer dapat terjadi, namun tidak ada
gejala fisik yang dapat ditemukan pada AMS dan adanya gejala neurologikal biasanya
dipikirkan ke arah HACE atau penyebab lain. Gejala AMS dapat ditentukan dengan
menggunakan Lake Louise Scoring System mendefinisikan AMS dengan adanya sakit kepala
pada individu yang tidak mampu aklimatisasi dan baru saja berada di ketinggian di atas 2500
m disertai dengan satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut; masalah gastrointestinal
(anorexia, nausea, atau muntah), insomnia, oyong, kelelahan. (Elvira, 2015)

Tabel 1. Lake Louise scoring system.

Kondisi Kriteria
AMS Sakit kepala disertai sekurang-kurangnya satu dari
gejala berikut: fatique atau kelemahan; dizziness;
keluhan gastrointestinal (mual, muntah, anoreksia);
gangguan tidur.

Penyakit ketinggian dapat terjadi pada beberapa orang ketika berada di ketinggian
minimal 2.500 meter, tetapi gejala serius bisa saja terjadi hingga berada di ketinggian 3.000
meter. Sulit untuk menentukan siapa yang mungkin akan terpengaruh oleh penyakit ketinggian
karena tidak ada faktor-faktor tertentu seperti usia, jenis kelamin, atau kondisi fisik yang
berkorelasi dengan kerentanan seseorang terhadap sakit karena ketinggian. Acute mountain
sickness lebih sering terjadi pada pria muda yang terlalu bersemangat karena mereka lebih
cenderung untuk mencoba melakukan pendakian cepat dengan berlari menaiki gunung.

Banyak orang akan mengalami AMS ringan selama proses aklimatisasi. Gejala
biasanya mulai 12 sampai 24 jam setelah tiba diketinggian dan mulai penurunan keparahan
sekitar hari ketiga. Adapun klasifikasi dari AMS yaitu ringan, sedang, dan berat. (Ariyanto, et
al., 2017)
Epidemiologi AMS

Tingginya suatu tempat dan kecepatan pendakian merupakan variabel utama dalam
terjadinya AMS. Semakian tinggi suatu tempat dan cepat waktu pendakian, angka insidensi
terjadi AMS juga semakin besar. Sebuah studi yang disebutkan dalam situs web Altitude
Research Center dari Universitas Colorado Anschutz Medical, 22% dari mereka yang mendaki
hingga ketinggian 7000 – 9000 kaki akan mengalami AMS, dan 42% mengalami AMS jika
berada di ketinggian lebih dari 10000 kaki. Dan diduga sekitar 30 juta jiwa memiliki risiko
untuk mengalami AMS setiap tahunnya.

Dalam studi lain, disebutkan bahwa sekitar 22-77% dari petualang, khususnya pendaki
gunung, mengalami AMS di rentang ketinggian 1850-5895 meter di atas permukaan laut
(mdpl) (Luks, 2014). Jika berdasarkan jenis kelamin, antara laki-laki dan perempuan tidak
memeliki perbedaan untuk mengalami AMS (Palmer, 2010). Tetapi, hal tersebut berbeda
dengan Hackett et al. (1976) dikutip dalam Sharma ( 2010) yang menyebutkan bahwa insidensi
kejadian AMS sebesar 53% persen pada laki-laki dan 51% pada perempuan. Kejadian AMS
berdasarkan pengelompokkan gender disebutkan juga berbeda dalam studi lain.

Menurut Hanaoka (2000) dikutip dalam Febriyana, Wiyono, dan Yunus (2003), laki-laki dan
perempuan dapat menderita AMS walaupun perempuan lebih cenderung terkena AMS

Acute High Altitude Illness (AHAI), termasuk di dalamnya AMS, mengenai pada
kelompok orang yang tidak menetap di ketinggain tertentu atau dengan kata lain mereka
melakukan pendakian. Berbeda dengan para penduduk atau orang- orang menetap tinggal di
ketinggian, yang mana mereka lebih mudah mengalami chronic mountain sickness (Monge
disease). Sekitar 50-70% pendaki gunung umumnya mengalami AMS, meskipun insidensi
bergantung pada kecepatan pendakian dan juga skala ketinggian. Insidensi AHAI juga
dikelompokkan berdasarkan ketinggian dengan AMS umumnya terjadi pada ketinggian di atas
2500 mdpl.

Studi lain menyebutkan bahwa AMS mungkin terjadi pada individu yang mendaki ke
ketinggian di atas 2500 mdpl dan dilaporkan bahwa 53% di antaranya terjadi pada ketinggian
di atas 4000 mdpl.

Ketinggian memengaruhi proses terjadinya AMS. Dalam hal ini, sekitar 6- 8 %


disebutkan sebagai persentase terjadinya peningkatan frekuensi nadi dan ventilasi pada
ketinggian 2700 mdpl, meskipun pada ketinggian di atas 3000 mdpl. Saturasi O2 pada orang
yang belum terkena AMS masih dapat mencapai lebih dari 90%.

Menurut Luks, Rodway et al. (2014), AMS dapat terjadi berdasarkan 3 kelompok kategori
risiko, yaitu :

a. Rendah
 Individu tanpa riwayat altitude illness dan tidak pernah mendaki gunung ≤ 2800
mdpl.
 Individu memakan waktu ≥2 hari untuk mendaki gunung 2500- 3000 m.
b. Sedang
 Individu tanpa riwayat AMS dan tidak pernah mendaki gunung 2500-2800
mdpl dalam 1 hari.
 Individu tanpa riwayat AMS dan mendaki gunung > 2800 mdpl dalam 1 hari.
 Semua individu yang mendaki gunung dengan ketinggian sekitar 3000-3500
mdpl dan dengan kecepatan > 500 m per hari.
c. Tinggi
 Individu dengan riwayat AMS dan mendaki gunung > 2800 mdpl dalam 1 hari.
 Semua individu dengan riwayat HAPE atau HACE.
 Semua individu yang mendaki gunung dengan ketinggian > 3500 mdpl.
 Semua individu yang mendaki gunung dengan ketinggian > 3500 mdpl dan
dengan kecapatan > 500 m per hari
 Pendakian gunung yang sangat cepat.

Patofisiologi AMS

Menurut Sharma (2010), Acute Mountain Sickness tidak terjadi dengan onset cepat dan
begitu saja. AMS terjadi dalam beberapa jam di ketinggian, tetapi mekanismenya sehubungan
dengan hipoksia akibat tekanan parsial O2 lebih rendah belum dapat dijelaskan secara pasti.
Pada respon tubuh normal terhadap ketinggian, tubuh akan mengalami diuresis. Sementara
pada kejadian AMS, terjadi hal sebaliknya dimana terjadi antidiuresis.

Mengenai patofisiologi terjadinya AMS, proses pasti terjadinya AMS tidak diketahui.
Hipoksia yang menginduksi vasodilatasi serebral dan efeknya seperti Nitrit Oksida (NO)
dianggap menjadi penyebab timbulnya nyeri kepala melalui aktivasi sistem trigeminovaskular.
AMS mungkin berhubungan dengan kemampuan individu untuk mengkompensasi edema otak.
Individu yang mempunyai rasio cairan serebrospinal cranial lebih besar, akan lebih baik dalam
mengkompensasi edema melalui pemindahan cairan serebrospinal sehingga lebih jarang
menderita AMS. Faktor lain yang dianggap memengaruhi kejadian AMS adalah perubahan
pernafasan saat sampai di ketinggian. Individu dengan PCO2 tinggi saat sampai di ketinggian
lebih mudah terkena AMS.

Menurut Clarke (2006), ada beberapa faktor yang terlibat dalam patogenesis AMS. Faktor-
faktor tersebut yaitu : 

1. Faktor genetik

Orang-orang tertentu memiliki kecenderungan untuk terkena AMS dan altitude


oedema. Meskipun belum secara pasti dapat dijelaskan, namun hal itu diduga berkaitan
dengan angiotensin-converting enzyme genes dan polimorfisme pulmonary surfactant
protein A.

2. Respon seluler terhadap kondisi hipoksia.

Misalnya, mitochondrial acclimatization dan penjalaran impuls di jalur axon


yang melambat.

3. Perubahan yang terjadi di mikrovaskular.

Berdasarkan hipotesis tersebut, perubahan mikrovaskular yang terjadi bersifat


unik dimana kondisi hipoksia menyebabkan perfusi berlebihan pada pembuluh darah
kecil (mikrovaskular), khususnya di otak dan paru-paru. Hal ini dikarenakan oleh
aktivasi vascular endothelial growth factor yang dipicu oleh mediator- mediator seperti
hypoxia-inducible factor dan nitric oxide.

Gejala Klinis dan Diagnosis AMS

Menurut Heo et al. (2014), gejala utama AMS berupa sakit kepala. Selain

itu, manifestasi klinis AMS yaitu :

1. Masalah gastro-intestinal (Misalnya : anorexia, nausea, dan muntah)


2. Kelelahan (fatigue)
3. Oyong (dizziness)
4. Gangguan tidur
5. Retensi cairan
6. Oligouria

Manifestasi klinis AMS jarang timbul pada ketinggian di bawah 2000 mdpl dan
biasanya terjadi 6-10 jam setelah pendakian,namun terkadang dapat timbul 1 jam setelah
pendakian.

Menurut Richard (2014) menyebutkan, diagnosis AMS dapat ditegakkan bila baru saja
melakukan pendakian hingga ketinggian di atas 2500 mdpl dan diikuti sakit kepala diikuti satu
atau lebih manifestasi klinis lainnya.

Selain itu, retensi cairan merupakan tanda klasik AMS, dimana normalnya aklimatisasi
tubuh akan mengalami dieresis. Retensi cairan ditandai dengan oliguria diserta edema, baik di
wajah maupun perifer. Jika terjadi perburukkan, maka sakit kepala akan semakin parah dan
gejala lain yang menyertai dapat semakin buruk. Bahkan, jika terus berlanjut, dapat terjadi
penurunan atau gangguan status menta dan koordinasi pergerakkan. Hal itu dapat dipicu oleh
karena edema serebral yang mana menyebabkan kompresi struktur otak diikuti peningkatan
tekanan intrakranial sehingga dapat terjadi ataxia, stupor, dan kelemahan saraf kranial III dan
IV. Koma dapat terjadi bila hal ini terus dibiarkan atau tidak ditangani segera.

Tatalaksana dan Pencegahan AMS

Menurut Richard (2014), prinsip penatalaksanaan AMS terdiri dari tiga hal,

yakni :

1. Hindari atau jangan melakukan pendakian ke ketinggian lebih lanjut.


2. Jika pasien telah diberi tatalaksana awal, tidak menunjukkan

perbaikan atau respon, segera evakuasi ke tempat yang lebih rendah.


3. Jika pasien menunjukkan gejala AMS berat dan bahkan sudah masuk ke tahap edema
serebri (High Altitude Cerebral Edema), maka segera evakuasi ke tempat yang lebih
rendah.

Umumnya sebelum melakukan berbagai intervensi, membawa pasien AMS ke tempat


dengan ketinggian yang lebih rendah, merupakan opsi utama, khususnya pada kejadian AMS
berat. Sebuah studi menjelaskan bahwa mengevakuasi pasien AMS ke tempat dengan
ketinggian 500—1000 meter yang lebih rendah memberikan dampak positif atau pasien
menunjukkan perbaikan yang bermakna. Selain itu, perlu juga diberikan terapi oksigen dan ada
baiknya kedua hal tersebut dikombinasikan supaya penanganan dapat optimal (Luks, 2014).

Namun, jika tidak memungkinkan untuk mengevakuasi pasien atau memberikan terapi
oksigen, tatalaksana secara farmakologi bersifat krusial. Secara farmakologi, Acetazolamide
dan Dexamethasone merupakan obat yang sering diberikan pada pasien AMS. Bahkan, tak
jarang kedua obat ini juga digunakan untuk pencegahan AMS.

Sebuah studi menunjukkan bahwa jika Acetazolamide dibandingkan placebo,


Acetazolamide memberikan respon perbaikan dengan persentase sekitar 74% dalam waktu 24
jam. Berbagai studi lain mengungkapkan bahwa Dexamethasone memberikan respon yang
lebih baik dan efektif dibandingkan dengan pemberian Acetazolamide dan hanya dalam waktu
12 jam. Namun,, kombinasi Dexamethasone dan Acetazolamide belum diketahui lebih efektif
dikarenakan kerja obat tersebut berbeda

Antioksidan alpha lipoic, vitamin C dan vitamin E bekerja secara sinergi untuk proteksi
tubuh dari kerusakan radikal bebas dan kerusakan vaskular yang diinduksi hipoksia. (Anon.,
2000)

Pereventif lebih baik daripada kuratif. Maka, pencegahan AMS merupakan hal utama
yang sebaiknya dilakukan para pendaki gunung. Pencegahan tersebut mudah diterapkan oleh
para pendaki gunung, sekalipun bukan paramedis ataupun mereka yang tidak paham bidang
medis. Chawla dan Saxena (2014) menyebutkan bahwa anjuran bagi para pendaki adalah
sebagai berikut :
Dizziness
Hipotensi ortostatik terjadi akibat aktivitas simpatis yang sesaat kurang memadai.

Hipotensi, atau tekanan darah rendah, terjadi ketika terdapat ketidakseimbangan antara
kapasitas vaskular dan volume darah (pada hakikatnya, darah terlalu sedikit untuk mengisi
pembuluh) atau ketika jantung terlalu lemah untuk mendorong darah. Situasi tersering ketika
hipotensi terjadi sesaat adalah hipotensi ortostatik. Hipotensi ortostatik (postural) terjadi karena
insufisiensi respons kompensatorik terhadap perubahan darah akibat gravitasi saat seseorang
berpindah dari posisi horizontal ke posisi vertikal. Ketika seseorang berubah dari berbaring
menjadi berdiri, penumpukan darah di vena-vena tungkai akibat gravitasi menurunkan aliran
balik vena, mengurangi isi sekuncup dan karenanya menurunkan curah jantung dan tekanan
darah. Penurunan tekanan darah ini normalnya dideteksi oleh baroreseptor, yang memicu
respons kompensatorik segera untuk memulihkan tekanan darah ke tingkat yang sesuai. Pada
beberapa orang refleks adaptasi untuk berdiri ini mengalami gangguan, seperti pada individu
yang meminum obat antihipertensi yang memengaruhi refleks atau pada pasien yang telah lama
berbaring bangkit sehingga refleksnya berkurang karena tidak digunakan. Ketika individu
dengan gangguan adaptasi refleks berdiri pertama kali, kontrol simpatis atas vena-vena tungkai
kurang memadai sehingga darah mengumpul di ekstremitas bawah tanpa adanya respons
kompensatorik yang mencukupi untuk melawan penurunan tekanan darah yang diinduksi oleh
gravitasi. Hipotensi ortostatik yang terjadi dan berkurangnya aliran darah ke otak menyebabkan
pasien pusing atau bahkan pingsan.

Gangguan neurologik seperti sakit kepala, pusing, telinga berdengung, rasa ketulian, dan
stupor, karena kelambatan aliran darah dan sumbatan. (Robbins)

Dispnea

Orang yang mengalami dispnea merasakan gejala subjektif bahwa mereka kurang
mendapat udara; yaitu, mereka merasa "sesak napas". Dispenia adalah keadaan mental yang
berkaitan dengan keinginan tak-terpuaskan untuk mendapat ventilasi yang adekuat. Hal ini
sering menyertai kesulitan bernapas yang khas dijumpai pada penyakit paru obstruktif atau
edema paru yang berkaitan dengan gagal jantung kongestif. Sebaliknya, selama olahraga
seseorang dapat bernapas keras tanpa merasakan dispnea karena olahraga tersebut tidak disertai
oleh rasa cemas terhadap cukup-tidaknya ventilasi. Hal yang mengejutkan adalah bahwa
dispnea tidak berkaitan langsung dengan peningkatan kronik P co2 atau penurunan P o2 arteri.
Perasaan subjektif kekurangan udara dapat terjadi bahkan ketika ventilasi alveolus dan gas
darah normal. Sebagian orang merasa sesak napas ketika mereka beranggapan bahwa mereka
kekurangan udara meskipun hal tersebut tidak benar, misalnya dalam lift yang sesak.

Muntah merupakan suatu cara traktus gastrointestinal membersihkan isi dirinya sendiri
ketika hampir semua bagian atas traktus gastrointestinal teriritasi secara luas, sangat teregang,
atau bahkan terlalu terangsang. Distensi atau iritasi yang berlebihan pada duodenum
menimbulkan suatu rangsangan khusus yang kuat untuk muntah. Sinyal sensoris yang
mencetuskan muntah terutama berasal dari faring, esofagus, lambung, dan bagian atas usus
halus. Impuls saraf kemudian ditransmisikan, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 66-2, baik
oleh serabut saraf aferen vagus maupun oleh saraf simpatis ke berbagai nukleus yang tersebar
di batang otak yang semuanya bersamasama disebut "pusat muntah." Dari sini, impuls-impuls
motorik yang menyebabkan muntah sesungguhnya ditransmisikan dari pusat muntah melalui
jalur saraf kranial kelima, ketujuh, kesembilan kesepuluh dan kedua belas ke traktus
gastrointestinal bagian atas, melalui saraf vagus dan simpatis ke traktus bagian bawah, dan
melalui saraf spinal ke diafragma dan otot-otot abdomen. Antiperistaltik, Pendahuluan
terhadap Muntah. Pada tahap awal iritasi atau distensi berlebihan gastrointestinal,
antiperistaltik mulai terjadi, sering beberapa menit sebelum muntah terjadi. Antiperistaltik
berarti gerakan peristaltik ke arah atas traktus pencernaan, bukannya ke arah bawah. Hal ini
dapat dimulai sampai sejauh ileum di traktus intestinal, dan gelombang antiperistaltik bergerak
mundur naik ke usus halus dengan kecepatan 2 sampai 3 cm/detik; proses ini benar-benar dapat
mendorong sebagian besar isi usus halus bagian bawah kembali ke duodenum dan lambung
dalam waktu 3 sampai 5 menit. Kemudian, pada saat bagian atas traktus gastrointestinal,
terutama duodenum, menjadi sangat teregang, peregangan ini menjadi faktor pencetus yang
menimbulkan tindakan muntah yang sebenarnya. Pada saat terjadinya muntah, kontraksi
intrinsik kuat terjadi baik pada duodenum maupun pada lambung, bersama dengan relaksasi
sebagian dari sfingter esofagus lambung, sehingga membuat muntahan mulai bergerak dari
lambung ke dalam esofagus. Dari sini, kerja muntah spesifik yang melibatkan otototot
abdomen mengambil alih dan mendorong muntahan keluar, seperti yang dijelaskan pada
paragraf berikut ini. Aksi Muntah. Sekali pusat muntah telah cukup dirangsang dan timbul
perilaku muntah, efek yang pertama adalah (1) pernapasan dalam, (2) naiknya tulang hioid dan
laring untuk menarik sfingter esofagus bagian atas sehingga terbuka, (3) penutupan glotis untuk
mencegah aliran muntah memasuki paru, dan (4) pengangkatan palatum mole untuk menutupi
nares posterior. Kemudian datang kontraksi diafragma yang kuat ke bawah bersama dengan
kontraksi semua otot dinding abdomen. Keadaan ini memeras perut di antara diafragma dan
otot-otot abdomen, membentuk suatu tekanan intragastrik sampai ke batas yang tinggi.
Akhirnya, sfingter esofagus bagian bawah berelaksasi secara lengkap, membuat pengeluaran
isi lambung ke atas melalui esofagus. Jadi, aksi muntah berasal dari suatu kerja memeras otot-
otot abdomen berkaitan dengan kontraksi dinding lambung dan pembukaan sfingter esofagus
sehingga isi lambung dapat dikeluarkan. "Zona Pencetus Kemoreseptor" di dalam Medula Otak
untuk Memulai Muntah oleh Obat-Obatan atau oleh Motion Sickness. Selain dari muntah yang
dicetuskan oleh rangsangan iritasi dalam traktus gastrointestinal, muntah juga dapat
disebabkan oleh impuls saraf yang timbul pada daerah otak. Hal ini terutama berlaku pada
daerah kecil yang terletak bilateral pada dasar ventrikel keempat yang disebut zona pencetus
kemoreseptor untuk muntah. Perangsangan listrik pada daerah ini dapat mencetuskan muntah;
namun yang lebih penting, pemakaian obat-obat tertentu, termasuk apomorfin, morfin, dan
beberapa derivat digitalis, dapat secara langsung merangsang zona pencetus kemoreseptor ini
dan mencetuskan muntah. Destruksi daerah tersebut menghambat muntah jenis ini tetapi tidak
menghambat muntah yang ditimbulkan oleh rangsangan iritasi pada traktus gastrointestinal itu
sendiri. Juga, telah diketahui dengan baik bahwa perubahan arah atau irama gerakan tubuh
yang cepat dapat menyebabkan orang tertentu muntah. Mekanisme peristiwa ini adalah sebagai
berikut: Gerakan merangsang reseptor-reseptor di dalam labirin vestibular pada telinga dalam,
dan dari sini impuls ditransmisikan terutama lewat jalur nuklei vestibular batang otak ke dalam
serebelum, kemudian ke zona pencetus kemoreseptor, dan akhirnya ke pusat muntah untuk
menyebabkan muntah.
Mual

Setiap orang pernah merasakan sensasi mual dan mengetahui bahwa mual sering
merupakan gejala awal dari muntah. Mual adalah pengenalan secara sadar terhadap eksitasi
bawah sadar pada daerah medula yang secara erat berhubungan dengan atau merupakan bagian
dari pusat muntah, dan mual dapat disebabkan oleh (1) impuls iritatif yang datang dari traktus
gastrointestinal, (2) impuls yang berasal dari otak bawah yang berhubungan dengan motion
sickness, atau (3) impuls dari korteks serebri untuk mencetuskan muntah. Muntah
kadangkadang terjadi tanpa didahului perangsangan prodromal mual, yang menunjukkan
bahwa hanya bagian-bagian tertentu dari pusat muntah yang berhubungan dengan
perangsangan mual.

Efek Akut Hipoksia

Beberapa efek akut penting hipoksia pada orang yang belum teraklimatisasi saat
menghirup udara biasa, mulai dari ketinggian 12.000 kaki ialah mengantuk, malas, kelelahan
mental dan otot, kadang sakit kepala, mual, dan euforia. Semua efek ini berkembang progresif
inenjadi tahap kedutan (twitching) atau kejang di atas ketinggian 18.000 kaki dan akhirnya, di
atas 23.000 kaki berakhir dengan koma pada orang yang belwn teraklimatisasi, yang segera
diikuti oleh kematian. Salah satu efek utama dari hipoksia ialah menurunnya kecakapan mental,
yang akan menurunkan kemampuan dalam mengambil keputusan, mengingat, dan melakukan
gerakan motorik terampil. Sebagai contoh, jika seorang penerbang yang belum teraklimatisasi
berada pada ketinggian 15.000 kaki selama 1 jam, kemampuan mental biasanya turun menjadi
50 persen dari normal, dan setelah 18 jam turun menjadi 20 persen dari normal.

Aklimatisasi

Aklimatisasi merupakan suatu proses penyesuaian tubuh terhadap kondisi hipoksia


hipobarik, yang bertujuan untuk meningkatkan aliran oksigen. Aklimatisasi paling baik
diperoleh dengan pendakian yang pelan sehingga memberi kesempatantubuh untuk beradaptasi
terhadap ketinggian dan meminimalisir risiko high-altitude illness.
Rekomendasi aklimatisasi yang dianjurkan sebelum pendakian adalah sebagai berikut :

1. Pendakian lebih dari 3000 meter, dianjurkan untuk istirahat setiap ketinggian 300-600
meter per hari.
2. “Climb high and sleep low”, artinya pendaki dapat mendaki lebih dari 1000 kaki dalam
satu hari, asalkan tetap beristirahat di ketinggian yang lebih rendah.
3. Hidrasi adekuat (± 3-4 liter per hari) untuk mencegah dehidrasi.
4. Diet tinggi karbohidrat, hindari rokok, alcohol dan obat-obat anti depresan.
5. Bila muncul keluhan selama berada di ketinggian, sebaiknya jangan mendaki lebih
tinggi dan istirahat. Bila keluhan semakin meningkat, dianjurkan untuk turun ke
ketinggian lebih rendah.
Aklimatisasi pada Ketinggian

Aklimatisasi terhadap ketinggian bertujuan untuk mengantarkan oksigen ke jaringan dapat


berjalan dengan baik. Dalam hal ini, Palmer (2010) menyebutkan bahwa perubahan fisiologis
yang terjadi sehubungan aklimatisasi di ketinggian adalah sebagai berikut :

b. Peningkatan ventilasi secara involunter.


c. Peningkatan konsentrasi hemoglobin.
 Memengaruhi hemokonsentrasi sehubungan dengan volume plasma (dalam
beberapa hari). 
 Meningkatkan jumlah sel darah merah atau eritrosit (2-3 minggu). 
d. Peningkatan afinitas hemoglobin dengan oksigen

Pergeseran kurva disasosiasi oksigen ke kiri dari penurunan PCO2 dan peningkatan pH.

e. Penurunan cardiac output

 Peningkatan waktu difusi O2 dari alveolus ke kapiler akibat aliran 


 darah melambat. 
 Peningkatan tekanan arteri pulmoner dan tekanan kapiler 

Bernapas Kronis dengan Oksigen Rendah Merangsang Pernapasan yang Lebih Dalam
Lagi Fenomena Aklimatisasi

Pendaki gunung telah menemukan bahwa bila mereka mendaki gunung secara
perlahan-lahan selama beberapa hari, dibandingkan dengan selama beberapa jam, mereka akan
bernapas lebih dalam dan karena itu dapat bertahan pada konsentrasi oksigen atmosfer yang
jauh lebih rendah daripada bila mereka mendaki dengan cepat. Keadaan ini disebut
aklimatisasi.

Alasan terjadinya aklimatisasi adalah bahwa, dalam waktu 2 sampai 3 hari, pusat
pernapasan di batang otak kehilangan sekitar empat perlima sensitivitasnya terhadap perubahan
Pco2 dan ion hidrogen. Oleh karena itu, ventilasi penghembusan (blow-off) karbon dioksida
berlebihan yang normalnya akan menghambat peningkatan pernapasan gagal terjadi, dan
oksigen yang rendah dapat merangsang sistem pernapasan untuk mencapai nilai ventilasi
alveolus yang jauh lebih tinggi daripada dalam kondisi akut. Berbeda dengan 70 persen
peningkatan ventilasi yang mungkin terjadi setelah kontak terhadap oksigen rendah yang akut,
ventilasi alveolus sering kali meningkat 400 sampai 500 persen setelah 2 sampai 3 hari dalam
keadaan oksigen rendah; hal ini sangat membantu dalam menyuplai oksigen tambahan bagi
pendaki gunung. Pada seseorang yang teraklimatisasi, yang ventilasinya meningkat sampai
lima kali lipat, terjadi penurunan Pco2 , sekitar 7 mm Hg akibat peningkatan pernapasan.
Daftar Pustaka

Anon., 2000. Acute Mountain Sickness. Jurnal Universitas Sumatera Utara.

Ariyanto, Y., Pradibta, H. & Permatasari, C., 2017. Diagnosa AMS: Sistem Pakar untuk

Pendaki Gunung. Jurnal SimanteC, 6(2), p. 49.

Elvira, D., 2015. High-Altitude Illness. Jurnal Kesehatan Andalas, 4(2), pp. 585-587.

Guyton, A. C., Hall, J. E., 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Jakarta : EGC,

1022

Sherwood, LZ., 2014. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC, 595-677.

Anda mungkin juga menyukai