Anda di halaman 1dari 33

MELAWAN

HAPE (High Altitude Pulmonary Edema)


dan
HACE (High Altitude Cerebral Edema )

I. Pengantar.
Kegiatan alam bebas merupakan kegiatan dengan faktor utama melakukan manajemen resiko. Di
Indonesia kegiatan alam bebas ini banyak melakukan metode manajemen resiko berdasarkan
kejadian ( risk base accident) yaitu memasukan sesuatu prosedur ( aturan) berdasarkan kejadian,
bukan resiko berdasarkan penelitian ( risk base research). Keselamantan merupakan hasil ahir dari
upaya setiap penggiat kegiatan alam bebas dalam upaya melakukan manajemen resiko, akan tetapi
tidak ada suatu kondisi yang mempunyai nilai keselamatan 100%. Hal ini menunjukan bahwa tidak
ada satupun kekigatan alam bebas yang tidak mempunyai resiko dan itu berimplikasi semakin besar
resiko yang diambil ( dikelola) semakin besar tingkat kepuasan pelaku kegiatan dialam bebas . Secara
umum resiko itu sendiri terbagi 2 yaitu resiko internal ( pelaku ) dan resiko external (lingkungan) dan
sedapat mungkin setiap pelaku kegiatan alam bebas untuk dapat memindahkan resiko external
menjadi resiko internal agar dapat di kendalikan. Sebagai contoh bagai mana penggiat kegiatan alam
bebas dalam mengelola resiko karena Ketinggian, kedalaman dan kecepatan misalnya dengan
mengunakan tali sebagai sarana utama dalam menambah ketinggian di tebing dan sebagai
pengaman apabila terjatuh dari ketinggian. Tentunya hal tersebut di gunakan untuk menghidari
dampak dari kejadian yang dapat menyebabkan hilangnya nyawa. Selain resiko yang dapat terjadi di
dalam kegiatan alam bebas setiap penggiat kegiatan alam bebas juga harus memperhatikan peluang
(probabilitas) dan dampak (severity ) apabila resiko itu terjadi untuk dapat mengelola resiko didalam
kegiatan dialam bebas.

a. Peluang ( Probability )

Merupakan sebuah entitas yang menunjukan seberapa sering atau intens resiko itu bisa muncul
didalam kegiatan alam bebas.Semakin sering resiko itu muncul semakin menuntut penggiat dialam
bebas untuk memperhatikan lebih dalam untuk dapat mengatisipasinya. Sudah selayaknya setiap
penggiat kegiatan alam bebas mengerahkan setiap usaha dan upayanya untuk mengelola resiko itu
dan dapat digolong kan menjadi “Jarang” ,”Sedang”, “Sering”.

b. Dampak (Severity)

Seberapa besar dampak yang ditimbulkan apabila resiko itu terjadi merupakan sebuah upaya setiap
penggiat alam bebas untuk dapat mengelola resiko dari kegiatan alam bebas tebas tersebut .
Dampak dari resiko itu biasanya terbagi menjadi “ Cidera ringan”,”Cidera Sedang”,”Cidera Berat/
Hilang nyawa”. Setiap dampak resiko tersebut harus di kelola sehingga dapat di tangan dengan cepat
dan tepat.

1
Kegiatan alam bebas merupakan kegiatan yang penuh resiko yang menuntuk setiap penggiatnya
memiliki pemahaman dan kemampuan mengelola resiko tersebut. Hampir semua kegiatan alam
bebas saat ini memiliki resiko dengan peluang terjadinya sering dan dampak apalia terjadi Cidera
Berat/Hilang Nyawa. Hal ini menuntut setiap penggiat alam bebas untuk dapat melakukan update
pengetahuan melalui literatur literatur pelaku kegiatan lainnya atau dengan melakukan research dan
sudah barang tentu berbiaya sangat mahal. Kegiatan alam bebas saat ini sudah banyak yang
dijadikan sebagai wisata dan menjadi sumber pendapatan negara, hal ini juga yang ahirnya memaksa
negara memberikan bantuan untuk melakukan penelitian terutama negara yang pariwisata alamnya
telah maju.

II. Landasan Teori


Mendaki gunung dapat dikatan sebagai ibu dari semua kegiatan dialam bebas karena banyak dari
kegiatan alam bebas lahir diawali oleh kegiatan mendaki gunung. Mendaki gunung juga menuntut
setiap penggiatnya memiliki kemampuan fisik, Navigasi, Klimatologi, Survival yang baik agar dapat
melakukan kegiatan mendaki gunung dengan baik. Bahkan ahir ahir ini banyak juga kemampuan
para pendaki gunung tersebut dimanfaat untuk melakukan kegiatan Search and Rescue, Urban SAR
hingga Disaster Response.

Kemampuan yang harus dimiliki tersebut merupakan upaya dari setiap pendaki dalam mengelola
resiko yang dapat muncul didalam mendaki gunung. Resiko itu dapat berupa tersesat, kelaparan,
kehausan , kedinginan dan terserang penyakit yang muncul di ketinggian. Secara umum resiko yang
dapat muncul karena ketinggian didalam kegiatan mendaki gunung adalah resiko kedinginan karena
suhu terus berkurang dengan bertambahnya ketinggian dan tekanan udara yang terus berkurang
dengan bertambahnya ketinggian. Berkurangnya tekanan udara diketinggian telah Barangsiapa
yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan
dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah
kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang
mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.
melalui Al-quran 14 abad yang lalu didalam surat Al An’am (QS:6 Ayat 125).

‫ۥ‬ ‫ۥ‬ ‫ۥ‬ ‫ۥ‬

yang artinya : Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya

petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa
yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit,
seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang
yang tidak beriman.

2
Kalimat Seolah olah ia sedang mendaki langit merupakan sebuah perumpamaan Allah pada
suatu hukum/norma yang pasti pada kondisi yang menyebabkan dadanya sesak lagi sempit.
Didalam kata lain bahwa mendaki langit dapat memnyebabkan dada sesak lagi sempit dengan
mendaki langit merupakan suatu kegiatan( Berjalan, terbang,dll ) untuk menambah ketinggian.
Sementara dada sesak lagi sempit merupakan rasa yang dapat dirasakan oleh manusia karena
mendaki yang secara langsung dipengaruhi oleh elemen-elemen yaitu Udara dan Paru Paru .

a. Paru paru

Didalam hukum Boyle berlaku bahwa Volume udara berbanding terbalik dengan tekanan udara ,
sehingga ketika tekanan udara berkurang maka paru para mengembang yang menyebabkan
paru paru menegang. Akibat dari menegangnya paru paru tersebut menjadikan dada terasa
sesak lagi sempit.

b. Udara

Udara didalam atmosfis bumi mempunyai komposisi yang sama yaitu 78% nitrogen, 21% oksigen
dan 1 gas lain lain. Sedangkan yang berpengaruh pada paru paru manuasia bila berada di
ketinggian adalah tekanan udara yang berkurang dari kondisi normal pada ketinggian dibawah
1524 mdpl yaaitu 760 mmhg. Berkurangnya tekanan udara di lingkungan sekitar menyebabkan
berkurangnya tekanan parsial oksigen di paru paru. Tekanan parsial oksigen ini yang dibutuh kan
oksigen dalam berdifusi didalam aloevali paru paru untuk dibawa darah ke seluruh tubuh melalui
hemoglobin. Berkuraangnya oksigen yang disalurkan pada pembuluh darah disebut dengan
hypoxia. Secara garis besar ketinggian b erdasarkan tekanan udara dapat dibagi menjadi
beberapa level yaitu : Low Altitude (0-1525 mdpl, Moderat Altitude (1525-2440 mdpl), High
Altitude ( 2440-4270 mdpl), Very High Altitude (4270 – 5490 mdpl ) and Extrime Altitude ( 4270-
8848 mdpl). Pengaruh ketinggian ini yang menyebabkan oksigen yang dibawa oleh darah
menjadi : 96% pada Low Altitude, 92% pada Moderat Altitude, High altitude 80% and 50%
extrime altitude .

c. Aklimitasi

Aklimitasi adalah kemampuan tubuh dalam menyesuaikan karena berkurangnya tekananan


oksigen dari waktu kewaktu. Proses aklimitasi pertama terjadi pada ketinggian 1525 mdpl
dengan kandungan oksigen 92% dengan tingkat lemah dan sementara, akan tetapi bila
kemampuan aklimitasi pendaki buruk dan dalam jangka waktu yang relative lama dapat
berakibat fatal . Kemampuan aklimitasi tubuh setiap pendaki berbeda beda dan apabila tubuh
tersebut tidak mampu beraklimitasi dengan baik maka muncul penyakit ketinggian . Proses
akliminitasi ini secara alamiah mengahasilkan cairan di paru paru dan otak yang seharusnya di
buang melalui urin.

Kodisi Hypoxia dengan kemampuan aklimitasi yang buruk adalah sebuah kondisi yang sangat
berbahaya apalagi apa bila pendaki kurang memahami gejala penyakit yang dapat muncul karena
kondisi ini. Selain gejala dari penyakit tersebut yang harus dipahami pendaki , mereka juga harus
benar benar memahami kondisi tubuh dirinya sendiri. Penyakit ketinggian banyak berakibat fatal
karena penderita tidak menyadari bahwa tubuhnya terserang penyakit yang disebabkan oleh tubuh

3
yang kekurangan oksigen (hypoxia) tersebut. Kondisi tubuh hypoxia akan memicu tubuh terserang
AMS ( Acute Mountaint Sickness), sedangkan AMS merupakan level terendah dari HAPE (high
altitude pulmonary edema dan HACE ( high altitude cerebral edema) yang dapat berdampak pada
hilangnya nyawa. AMS mempunyai gejala sakit kepala, mual, muntah, hilang nafsu makan, lemas,
kesulitan tidur. Gejala AMS tersebut mulai muncul 3-24 jam setelah berada di ketinggian. Penyakit
AMS sudah banyak terjadi di Indonesia tetapi masih banyak yang menganggap penyakit ini tidak
mungkin dan belum pernah terjadi karena AMS hanya bisa terjadi di ketinggian 4000mdpl keatas.

HAPE ( high altitude pulmonary edema) penyakit ini merupakan penyakit yang berakibat fatal hingga
hilangnya nyawa penderita. Penyakit HAPE ini merupakan mata rantai terahir dari AMS atau dalam
katalain AMS adalah HAPE katagori ringan. HAPE didalam catatanya telah menewaskan 15% pasukan
India yang di tempatkan pada ketinggian 3352 mdpl – 5485 mdpl pada konflik India – China ditahun
1962-63. Selain itu juga HAPE pernah menjadi pengamatan team dokter rumah sakit di Shinshu
University di Jepang pada tahu 1973 – 1985 yang menangani 27 kasus HAPE yang terjadi pada
ketinggian 2680 – 3190 mdpl , dan pada swiss medical jurnal tahun 2003 banyak kasus HAPE di
pegunungan Alpen terjadi di ketinggian 1400 – 2400 mdpl. Ketika HAPE sudah muncul biasanya
selalu di ikuti oleh HACE. HAPE mempunyai gejala sama dengan AMS dengan tambahan gejala lebih
spesific yaitu sakit dada, batuk. Setiap gejala tersebut tidak harus muncul semuanya beberapa saja
sudah menunjukan indikasi terserangnya HAPE

HAPE merupakan penyakit yang memiliki masa kritis (coma) cukup singkat yaitu 0-12 jam hingga
kematian datang dengan gejala biasanya mulai muncul 2-5 hari ketika berada di ketinggian. HAPE
membutuhkan penanganan khusus walaupun sudah berada pada ketinggian low altitude. HAPE ini
merupakan kejadian dimana terjadi penumpukan cairan protein di paru paru.

Penderita HAPE biasanya mengalami kesembuhan setelah 2-3 hari perawatan di rumah sakit.

4
HACE merupakan kawan sejalan dengan HAPE yang dapat mengakibatkan hilangnya nyawa apabila
tidak ditangani dengan cepat dan tepat.Gejala HACE dapat biasanya muncul 2-5 hari setalah tiba di
sebuah ketinggian, dimana otak sebagai anggota tubuh yang membutuhkan 20% oksigen dipenuhi
cairan. Serangan kepada otak inilah nyang menyebabkan penderita mengalami gejala psiological
seperti Ataxia, hilang/berkurang keseimbangan tubuh, hilang atau berkurangnya kesadaran
penderita. HACE memiliki masa kritis (koma) 0-12 jam hingga hilangnya nyawa sesuatu yang sulit
ditangani apabila terjadi di ketinggian dengan segala macam keterbatasannya. Pada tahun 1979
Dickinson melaporkan bahwa HACE terjadi pada ketinggian 2100 mdpl. Dickinson juga menyatakan
bahwa 59% HACE diikuti oleh Retinal Hemorhage. Didalam penelitiannya Peter Heckett menyatakan
bahwa masa pemulihan penderita HACE paling lama hingga 21 hari.

AMS, HAPE dan HAPE dapat dipicu oleh kemampuan aklimitasi tubuh yang buruk yang melakukan
tingkah laku atau tindakan. Speed Ascent adalah tindakan dimana pendaki melakukan pendakian
menambah ketinggian terlalu cepat sehing tubuh harus cepat beraklimitasi. Speed ascent ini
dihitung dari tempat/lokasi ketinggian dimana pendaki tersebut tidur. Untuk menghidari hal
tersebut UIAA dalam consensusnya memberi batasan maksimal menambah ketinggian 1000mdpl
apabila berada dibawah 2500 mdpl dan 500 mdpl apabila diatas 2500 mdpl. Selain Speed Ascend ada
prilaku lain yang harus dipehatikan yaitu “ Climb High and Sleep Low”. Tidur diketinggian merupakan
kondisi dimana tubuh rentan terhadap kondisi hypoxia yang dissebabkan oleh siklus nafas disaat
tertidur. Siklus nafas ini mempunyai jeda dimana paru paru tidak menarik nafas selama maksimal 15
detik. Di ketinggian siklus menarik nafas setelah jeda tersebut dapat tidak berfungsi sehingga harus
dibantu dengan kesadaran untuk sekedar menarik nafas dan ahirnya menimbulkan gangguan tidur.

5
III. Pembahasan
Paradigma bahwa AMS sebagai pintu masuk HAPE dan HACE tidak mungkin terjadi diindonesia telah
menjadikan pendaki tidak mawas diri terhadap penyakit ini didalam melakukan kegiatan
diketinggian. Sebagaimana jurnal jurnal tentang AMS, HAPE dan HACE bahwasahnya penyakit ini
dapat terjadi mulai dari ketinggian 1525 mdpl dengan banyaknya kasus yang terjadi di pegunungan
Alpen pada ketinggian 1400 mdpl hingga 2500 mdpl pada tahun 2003. Hal ini secara otomatis dapat
memperbaharui doktrin yang selama ini ada di Indonesia dimana penyakit ini baru dapat terjadi di
ketinggian diatas 4000 mdpl. Ketidak pahaman akan penyakit HAPE dan HACE merupakan faktor
utama yang menyebabkan banyaknya pendaki kehilangan nyawa disaat melakukan kegiatan dialam
bebas.

Proses aklimitasi tubuh terhadap turunnya tekanan udara adalah sesuatu yang harus terjadi apabila
berada di ketinggian dan setiap orang mempunyai tingkat kemampuan yang berbeda beda. Apabila
kita berada disebuah ketinggian didalam kondisi istirahat akan tetapi nafas dan detak jantung masih
terasa cepat seperti melakukan pekerjaan berat, hal itu menunjukan bahwa kemapuan aklimitasi
tubuh kita kurang baik. Selai itu apabila kita tidur diketinggian dan sering terjaga untuk sekedar
menarik nafas maka itu juga merupakan pertanda bahwa kemampuan aklimitasi kita kurang baik.
Secara umum penanganan HAPE dan HACE harus segera dilakukan bila sudah masuk dalam level
ringan(mild) HAPE dan HACE atau terbukti terkena AMS .

Secara umum HAPE dan HACE mempunyai gejala yang sama dengan Mountain Sickness yaitu : Sakit
Kepala, Mual, muntah, kelelahan, nyeri dada, halusinasi, batuk, Ataxia.Bebarapa kasus terjadi
dengan gejala tersebut penderita kehilangan nyawa pada saat ; Pendaki belum sempat di tangani ,
Pendaki sempat di tolong teman , Pendaki dalam penangan tim penolong dan pendaki sudah dalam
penanganan rumah sakit. Berdasarkan perannya penangan HAPE dan HACE adalah :

1. Pendaki
a. Pencegahan
Sebagai pendaki kita harus memperhitungkan penyakit ini sebagai penyakit yang
mengancam nyawa kita didalam pendakian. Bersikap jujur terhadap teman dan diri
sendiri tentang kesehatan (ketidaknyamanan) serta lengkapi setiap perjalanan dengan
Lake Louis Score Sheet. Persiapkan obat obatan seperti : Nifedipin, Acetazolamide,
dextamethasone sebagai obat obat yang wajib dibawan. Dan yang tidak kalah
pentingnya membuat rencana perjalanan yang memasukan kaidah : Clim high Sleep
Low, menambah ketinggian sehari maksimal 1000 mdpl hingga ketinggian dibawah 2500
mdpl dan maksimum 500 mdpl pada ketinggian di atas 2500 mdpl
b. Penilaian,
Penilaian ini bertujuan untuk menentukan penderita terserang HACE atau HAPE.
Mengisi dan menjumlahkan skor pada lake louis score apa bila skor > 3 maka penderita
terserang AMS sebagai pintu masuk serangan HAPE dan HACE. Menghitung detak
jantung apabila lebih dari 90 detak permenit disertai dengan jumlah nafas lebih dari 16
nafas permenit. Lakukan pengecakan kadar oksigen dengan oximeter apabilla nilainya
dibawah dari kondisi rata rata di ketinggian tersebut merupakan salah satu tanda.

6
c. Penanganan
Penangan tepat merupakan kunci keberhasilan menghindar dari dampak fatal HACE dan
HAPE. Apabila hasil penilaian menyatakan bahwa terserang HAPE dan HACE maka segera
lakukan bed rest dan minum 4mg Dexamethasone per 6 jam, apa bila gejala tidak
membaik bahkan lebih parah segera turun.
2. Tim Penolong (SAR)
a. Pencegahan
Pencegahan disini dimaksudkan untuk menghidari Tim Penolong tererang oleh HAPE dan
HACE karena proses Speed Ascent apalagi bila mempunyai riwayat terserang HAPE dan
HACE. Pencegahanya dengan meminum 4mg Dexamethasone per 6 jam.
b. Penilaian.
Penilaian disini dimaksudkan menilai penderita yang akan ditolong terserang HAPE dan
HACE atau tidak dengan kaidah “ Semua penyakit yang terjadi di ketinggian adalah HAPE
dan HACE sampai ditemukan bukti penyakit lain”. Apabila seorang pendaki
membutuhkan pertolongan tim penolong sudah barang tentu terserang pada level yang
lebih berat. Sebagai tim penolong memastikan gejala apa yang muncul, mulai kapan
muncul dan dimana posisi camp malam terahir. Melakukan perhitungan detak jantung
apakah > 90 detak/menit diikuti oleh jumlah nafas diatas 16 nafas/menit serta
mengukur kadar oksigen dalam darah penderita.
c. Penanganan
Pengananan yang dimaksudkan disini adalah melakukan penanganan dari lokasi kejadian
hingga kerumah sakit yang mempunyai perlengkapan yang layak. Hal pertama yang
perlu dilakukan adalah membuat kondisi penderita (korban ) dalam kondisi nyaman dan
bed rest. Untuk HACE Memberikan 4-8 mg Dexamethasone diawal dikuti 4 mg per enam
jam diikuti dengan memberikan oksigen 2-6 L permenit. Untuk HAPE 20 mg Nifedipine
per enam jam diikuti oleh pemberian oksigen 2-6 L permenit. Merancang jalur evakuasi
tercepat dengan meminimalkan tenaga yang harus dikeluarkan oleh penderita dalam
proses evakuasi.Apabila tidak memungkinkan eavakuasi karena cuaca buruk dan atau
lain hal dapat menggunakan Portable Altitude chamber utuk perawatan sementara.
3. Tenaga Medis
High Altitude Pulmonary Edema
a. Penilaian
Penilaian disini dimaksudkan untu menentukan grade atau severity dari HAPE yang
diderita. HAPE terjadi biasanya selalu diikuti dengan HACE .
1. Mild HAPE
Penderita masuk katagori Mild HAPE apabila terjadi Dyspnea jumlah tarikan nafas
<24 tarikan/menit, Jumlah detak jantung <100 detak/menit di ikuti oleh hasil CT
Scant dada ¼ paru paru terdapat bayangan flokulant
2. Moderat HAPE
Penderita masuk katagori Moderat HAPE apabila terjadi Dyspnea jumlah tarikan
nafas >24 tarikan/menit, Jumlah detak jantung >110 detak/menit di ikuti oleh hasil
CT Scant dada >1/2 paru paru terdapat bayangan flokulan
3. Severe HAPE
Penderita masuk katagori Severe HAPE apabila terjadi Dyspnea, penderita tidak
dapat berbaring telentang, keringat dingin jumlah tarikan nafas >30 tarikan/menit,

7
Jumlah detak jantung >120 detak/menit di ikuti oleh hasil CT Scant dada 1/2 paru
paru terdapat bayangan flokulant, jumlah darah putih meningkat
4. Extreme Severe HAPE
Penderita masuk katagori Extrem Sever HAPE ini bia gejala pada tahap sebelumnya
semakin parah, muncul suara grugling dari dada
b. Penanganan.
Penanganan kasus HAPE ini menggunakan beberapa obat obatan akan tetapi belum ada
konsensus ketentuan dari para tenaga medis, berikut bebarapa penangan penderita
HAPE secara umum.
1. Bed Rest
Kegiatan fisik dapat menimbulkan kontraksi pada pembuluh paru paru dan dapat
menimbulkan tingginya tekanan arteri paru paru. Bed rest dapat menjadikan
tekanan arteri paru paru stabil.
2. Oxygen Inhalation
Pemberian 100% dapat menurunkan tekanan arteri paru paru dan dapat
meningkatkan kandungan oksigen yang akan di salurkan pembuluh darah keseluruh
tubuh.
3. Nitric Oxide Inhalation
Didalam penelitian Hypoxia menurunkan kadar niric oxide, dengan menambah
kandungan nitric oxide dapat mengurangi tegangan di par paru. Nitric oxide biasa di
berikan 10ppm melalui nasal catheter atau 3-5 liter/menit di oksigen
4. Obat Obatan
Pemberian obat obat yang biasa ddiberikan adalah
Aminophylline, Anticholinergic,Nifedipine, Acetazolamide, Dexamethasone

High Altitude Cerebral Edema

a. Penilaian
Secara umum gejala fisk yang nampak dari serangan HACE adalah hilang/berkurangnya
kesadaran dan ataxia .
b. Penanganan
Pemberian acetazolamide 4-8 mg diikuti oleh 4 mg setiap 6 jam, pemberian oksigen 2-6
l/menit dan bed rest

IV. Diskusi
HAPE dan HACE merupakan penyakit yang khas dengan ketinggian dengan pemahaman yang masih
sangat rendah di Indonesia dibanding dengan Hypothermia. Melihat kondisi tersebut diperlukan
usaha yang sangat serius bagi para pecinta Alam dan para tenaga kesehatan untuk bahu membahu
dalam menangani penyakit ini. Berawal dari sudah tidak sesuainya lagi pemahaman pecinta alam di
indonesia bahwa penyakit ini hanya bisa terjadi di ketinggian 4000 mdpl keatas sehingga setiap
oraganisasi pecinta alam telupa dengan bahaya penyakit ini. Penemuan Dinickson tentang kasus
HACE yang terjadi di ketinggian 2100 mdpl tahun 1979, Penelitian Shinsu Hospital University yang

8
yang menangani kasus HAPE yang terjadi di ketinggian 2680-3190 mdpl merupakan bukti bantahan
pemahaman tentang penyakit ini hanya dapat terjadi di ketinggian 4000 mdpl keatas.

Sebagai langkah awal yang baik untuk dipelajari adalah apa yang terjadi di Mapala Unisi yang telah
terjadi tragedi pada Januari 2017. Dari hasil pemantauan penanganan medis terdapat peserta yang
terduga terkena penyakit yang dipicu oleh kondisi Hypoxia ( tubuh kekurangan oksigen) setelah
berada di ketinggian 2000 mdpl selama 5 hari. Berikut data nama terduga dan hasil ahir penyakit
yang diderita apabila tidak ditangani dengan baik.

1. HARH ( High Altitude Retinal Hemorrhage ) dan ( High Altitude Cerebral Edema)
Referensi pada kasus No 4. Yang diawali oleh pandangan kabur

No 2
Nama M.sandi malik / Corot
Fakultas/Jurusan FIAI/Hukum Islam
Tanggal Masuk 24 Januari 2017
Keluhan Pandangan kabur, tidak fokus
Penanganan Medis Sudah diberi obat, pagi ini blm ada tindak lanjut
Keterangan Report Mb. Cahya 27/01/17 08:33

Sudah sehat. Keluhan sekarang bahu kanannya memar

Report Jamah 270117 | 17:15 WIB

Sdh boleh balik , infus blm dilepas


Tanggal Keluar Report Jamah 270117 | 20:50 WIB

270115 | Sekitar Maghrib


Tanggal Masuk Report Jamah 280117 | 14:30 WIB

280117 | Siang
Keluhan Ambeyen stadium 4
Penanganan Medis Rencana operasi 28/01/17 - sore/malam
2. HAPE (High Altitude Pulmonary Edema)
Dada Sesak

No 3
Nama M.Hafizal Firdhani / Sowat
Fakultas/Jurusan FIAI/Hukum Islam
Tanggal Masuk 24 Januari 2017
Keluhan Muntah Darah
Penanganan Medis Sudah di ICU (26/01/17) kondisi membaik, tensi normal, urin tdk
merah, HB msh rendah, komunikasi lancar
Keterangan Report Jamah 270117 | 17:15 WIB

Masih di ICU, ibunya udah dteng td jam 12. Keadaanya dia dpt
keterangan yg jaga didalam sdh mulai membaik, tp masih sm dengan
keadaan yg bpknya td pagi

9
Tablo td yg ketemu sm ibunya dr awal , dada sudah tidak sesak, makan
nutrisi dr selang, td bs minum susu

Hasil ct scan normal, ronsen dada normal, USG tidak ada pendarahan
yg serius.

Tgn sbelah kiri jg dr ronsen tidak ada yg patah , kemungkinan ksleo

Dada yg sesak kata dokter kemungkinan adanya hentakan, tp organ


dalam dr ronsen tdk apa2
3. HAPE (High Altitude Pulmonary Edema) dan HAFE ( High Altitude Flaktus Expultion )
Dada Sesak dan Pencernaan Sakit

No 4
Nama Revin Nuzul Aryasta / Bewa
Fakultas/Jurusan FTI/T. Kimia
Tanggal Masuk 24 Januari 2017
Keluhan Dada sesak, pencernaan sakit (sama dgn kmrin)
Penanganan Medis Sudah CT scan, diberi obat, pagi ini menunggu dokter
Keterangan Report Jamah 270117 | 17:15 WIB

Sudah boleh balik , keadaan skrg infus blm dilepas


Tanggal Keluar Report Jamah 270117 | 20:50 WIB

270115 | Sekitar Maghrib


4. HAPE (High Altitude Pulmonary Edema)
Dada Sesak

No 5
Nama Suryadi Sepriawan / Ikan
Fakultas/Jurusan FTSP/T. Lingkungan
Tanggal Masuk 24 Januari 2017
Keluhan Dada sesak sdh berkurang, hasil cek darah keluar hari ini, orang tua tdk
setuju operasi ambeyen
Penanganan Medis Menunggu rontgen dan cek darah
Keterangan Report Jamah 270117 | 17:15 WIB

Hari ini sdh cabut infus, sdh boleh pulang


Tanggal Keluar Report Jamah 270117 | 20:50 WIB

270115 | Sekitar Maghrib


5. HAPE (High Altitude Pulmonary Edema)
Infeksi Paru Parutersebut apakah berkaitan dengan timbunan cairan di paru paru

No 6
Nama Moh.Fahrul / Kroto
Fakultas/Jurusan FE/Manajemen
Tanggal Masuk 24 Januari 2017
Keluhan Infreksi paru-paru

10
Penanganan Medis Menunggu hasil pemeriksaan lab
Keterangan Report Jamah 270117 | 17:15 WIB

Sudah boleh balik, keadaan skrg infus blm dilepas


Tanggal Keluar Report Jamah 270117 | 20:50 WIB

270117 | Sekitar Maghrib

V. Studi Kasus
Kasus 1

Gunung Slamet 5 Febrauri 2001, Gunung Slamet di Jawa Tengah merupakan gunung dengan tingkat
curah hujan tertinggi di indonesia. Setelah bermalam di basecamp Kaliwadas pukul 9:30 7 orang
pendaki memulai pendakiannya menuju puncak Surono gunung Slamet, walaupun diiringi oleh
angin kencang 34 km/Jam dan suhu 13⁰ C ahirnya team dapat menambah ketinggian hingga posisi
diantara pertemuan jalur Batu Raden dan Kaliwadas dengan batas vegetasi Gn. Slamet pada pukul
17:30 dan diputuskan untuk membuat tenda. Pada saat itu Gn Slamet mengalami musim angin
barat, yaitu angin yang mengandung uap air sehingga curah tinggi pada musing angin barat ini. Dari
posisi camp tim tersebut mungkin 3-4 jam lagi sampai pada puncak Surono Gn Slamet, tempat yang
baik yang biasanya digunakan pendaki Gn. Slamet untuk beristirahat sebelum Summit Attact.

6 Februari 2001, Dini hari yang sangat bersahabat dengan angin bertiup 17 km/jam dan suhu 13⁰ C
tetapi itu tak bertahan lama, sekitar pukul 6 pagi kabut tebal dan angin berkekuatan 80 km/jam
menyelimuti kawasan sekitar puncak Gn. Slamet. Angin itu semakin lama terasa semakin kencang
ahirnya tim tersebut memutuskan menghentikan perjalanan pada hari itu dengan posisi di batas
vegetasi atau sekitar ketinggian 3200 mdpl. Berhenti dan membuat camp di titik tersebut adalah
keputusan yang tepat mengingat lokasi setelah itu adalah tempat dimana tidak ada tumbuhan yang
melindungi dari terpaan angin. Apabila dipaksakan tim akan mengalami resiko diterpa angin dengan
kecepatan 80 km/jam dengan suhu 7⁰ C atau setara dengan sensasi dingin -3⁰. Dua hari tim itu sudah
berada di ketinggian 2500 – 3200 Mdpl (high altitude) dimana terkena dingin dan angin serta yang
tidak mereka sadari ter expose udara dengan tekanan rendah . Pada ketinggian ini kekuatan dan
ketahanan tubuh tidak dapat kembali 100% dengan beristirahat, maksimal hanya 90%. Selain
Hypothermia , High Altutude Pulnomary Edema ( HAPE) dan Hight Altitude Cerebral Edema juga
mengancam setiap anggota tim. Banyak kasus gejala HACE dan HAPE ini muncul pada pendaki 2-5
hari setelah berada pada ketinggian.

7 Febrauri 2001, seperti hari kemarin dini hari ini kembali cerah walaupun angin bertiup kencang 28
km/jam dengan suhu 14⁰, belajar dari kondisi hari kemarin tim bersiap melanjutkan perjalanan
sepagi mungkin. Ketika semua sudah siap tiba tiba kabut pekat dan angin lebih kencang 62 km/jam
datang, tim ahirnya kembali masuk kedalam tenda yang dibiarkan terpasang selama mereka menuju
puncak. Pukul 10 angin kembali seperti dini hari tetapi kabut masih ada, ahirnya tim memutuskan
melanjutkan perjalanan menuju puncak. Diantara batas vegetasi dan puncak surono Gn.Slamet
angin kembali kencang 34 KM/Jam dengan suhu 4⁰ C tapi kali ini turut serta hujan yang mulai turun.
Tidak berapa jauh sebelum puncak, sebagai pendamping Survivor 1 memberikan penghargaan
kepada Survivor 3,4,5,6 dan 7 untuk dapat berjalan didepan agar dapat mencapai puncak Surono

11
lebih dahulu. Setelah 5 orang anggota tim tersebut sampai puncak tak lama survivor 2 datang
memberi kabar bahwa survivor 1 sakit dan tidak dapat berjalan lagi karena terserang Hypothermia.
Tidak bisa berjalan (ataxia) merupakan gejala HACE karena otak sudah dipenuhi cairan sehingga
minimbulkan sakit kepala yang hebat , yang berdapak pada kemampuan otak untuk mengontrol
sebagian atau seluruh anggota tubuh berkurang bahkan hilang. Secepat kilat tenda darurat didirikan
untuk perawatan survivor 1, survivor 1 dalam kondisi lemas tanpa respon dan sempat mengigau.
Beberap saaat kemudian survivor 1 berangsur membaik sudah dapat makan,minum bahkan
bercanda . Melihat kondisi survivor 1 membaik tim memutuskan untuk turun, akan tetapi survivor1
harus dibantu mengangkat ranselnya sendiri, berjalan pun sempoyongan dan terjatuh lagi. Ternyata
permasalahan yang menyerang otak survivor 1 tidak pulih. Segera tim memutuskan mendirikan
camp untuk memulihkan kondisi survivor1. Tak lama setelah langit gelap kecepatan angin mulai
meninggi hingga 62 km/jam dengan suhu 3⁰ C yang apabila angin tersebut terkena tubuh sensasinya
setara dengan suhu -7⁰ C.

8 Februari 2001, Dini hari kecepatan angin mulai turun hingga 11 km/jam tetapi kabut masih
menyelimuti, hingga pukul 6 pagi hari kecepatan angin meningkat menjadi 24 km/jam. Tak terasa
sudah 3 hari mereka berada diketinggian terus terpapar udara dingin dan tekanan oksigen yang
rendah , rasa lelah dan rasa malas yang berlebihan merupakan salah satu gejala penyakit ketinggian .
Pergerakan hari ini dimulai lebih siang karena salah satu anggota tim sakit, survivor 2 mengambil alih
posisi survivor 1 sebagai leader yang berjalan di depan. Sementara waktu terus berlalu dan siang pun
telah terlewati, Survivor 1 kembali terserang ataxia ( gejala HACE). Segera Survivor 2 meminta agar
survivor1 dibawa kedepan tempat posisinya berada ada cerukan untuk berlindung dari terpaan
angin selain itu survivor 2 tidak bisa mengerakan kakinya (ataxia) tapi tidak seburuk survivor 1.
Penanganan survivor 1 segera dilakukan dari hanya sekedar untuk mengembalikan respon survivor 1
hingga mencari pertolong. Seorang pendaki ahiirnya datang keposisi karena tenaganya terbatas
ahirnya diputuskan untuk survivor 7 turun bersama pendaki itu ke desa bambangan untuk mencari
bantuan. Pada ketinggian 3400 mdpl itu yang pandangan masih terhalang kabut, angin meniup
dengan kecepatan 39 km/ jam dengan suhu 3⁰ survivor1 kritis dan meninggal dunia. Kedukaan tidak
boleh terus berlarut, survivor2 sebagai pendamping meinta tim untuk melanjutkan perjalanan dan
jenasah di tinggal untuk dievakuasi bila bantuan telah ada. Sebagai pendamping Survivor2 menjadi
sweeper (berjalan paling belakang) untuk memastikan semua anggota tim berjalan dengan selamat
dan tidak ada yang tertinggal. Sementara waktu terus berjalan gejala HACE yang dialami survivor2
yang tidak disadari anggota tim lainya terus menyerang survivor2 ,.Disorientasi mulai terjadi,
kesiimbangan mulai terganggu dan ahirnya tanpa disadari terpisah dari rombongan dan menghilang
,sementara HACE mempunyai masa kritis sebelum kematian 0-12 jam. Jenasah survivor2 di temukan
tim SAR di ketinggian 3140 mdpl pada tanggal 14 Februari 2001. Hari menjelang sore survivor 5
dan survivor 6 tiba dibatas vegetasi dan mendirikan tenda sebagai tempat istirahat hari ini. Satelah
tenda berdiri terlihat survivor 4 berjalan sudah sangat kepayahan hingga ke tenda, sedangkan
dengan jarak tidak terlalu jauh berjaan survivor3 dengan kondisi lebih parah. Survivor3 ahirnya
terjatuh dari tempatnya berdiri (ataxia) dan tidak bisa menggerakan anggota tubuhnya, dengan
sekuat tenaga survivor5 memasukan survivor3 kedalam tenda. Seketika itu survivor 6 memberikan
perawatan paada survivor3, sementara di sudut tenda survivor 4 muntah muntah. Muntah
merupakan gejala HACE, menurunkan survivor adalah langkah penanganan yang terbaik. Beberapa
saat kemudian kesadaran survivor 3 mulai membaik ia sudah dapat makan dan minum, sementara
itu survivor 7 telah tiba didesa Bambangan pada malam itu.

12
9 Februari 2001, Dini hari itu langit lebih cerah tetapi angin bertiup lebih kencang 62 km/jam dengan
suhu 5⁰ C. Seiring waktu berjalan angin mulai beranjak melemah sedangkan kondisi kesadaran
survivor3 sempat menurun dan ahirnya membaik kembali. Pagi itu juga beberapa penduduk
Bambangan berangkat dari desa untuk evakuasi anggota tim ketempat lokasi survivor1 sakit sebagai
mana informasi dari survivor7. Ditempat tenda berdiri ,melihat kondisi survivor 3 yang sakit dan
survivor4 yang mulai sakit ahirnya di putuskan survivor6 untuk turun mencari bantuan pada jam
setengah sepuluh pagi. Penyakit HACE terus menyerang survivor3 penanganan yang terbaik adalah
segera dibawa turun untuk dapat menghirup oksigen yang bertekanan lebih tinggi.

10 Februari 2001, Dini hari ini cuaca masih bersahabat angin berhembus 17 km/jam dengan suhu 4⁰
C akan tetapi kabut kembali turun dan angin kencang datang selepas tengah hari, hal ini yang
menyebabkan tim penolong dari desa Bambangan belum dapat menjangkau lokasi survivor1 sakit
(info dari survivor7). Sementara di tenda survivor5 masih terus melakukan perawatan pada
survivor3. HACE sangat gencar menyerang korban dimalam hari, terlebih disaat tidur dimana tubuh
tidak dapat mengendalikan kedalama tarikan nafas untuk memenuhi kebutuhan oksigen tubuh.
Survivor3 dapat memasuki masa kritis kapan saja terutama dimalam hari. Sementara di lain tempat
pukul 11 malam SRU Advance dari jogja di berangkatkan untuk membantu proses pencarian.

11 Februari 2001, Dini hari cuaca cukup bersahabat angin berhembus 28 km/jam dengan suhu 8⁰ C
tetapi kabut berangsur menghilang. Setelah di pastikan survivor3 tidak mampu melewati masa
kritis, survivor4 dan survivor5 mulai berhitung untuk melanjutkan perjalanan atau menunggu
bantuan datang. Sedangkan kondisi survivor4 sudah mulai memburuk, karena penyakit HACE yang
tidak mereka sadari dan bahan makanan sudah sangat tipis. Ahirnya mereka putuskan untuk
melanjutkan perjalan. Melihat kondisi cuaca dan kabut yang sudah bersahabat itu pertanda
kesempatan untuk melanjutkan perjalanan. Diawali di titik ketinggian tenda yang berada pada
ketinggian 3220 mdpl mereka memulai perjalan, HACE yang diderita survivor4 sudah membuat
keseimbangannya tergangu dan lemas. Survivor5 dengan sekuat tenaga memapah survivor 4 untuk
melanjutkan perjalanan. Sementara di lain tempat survivor6 berhasil keluar dari belantara dan SRU
Andvance mulai melakukan pencarian dari tempat dimana survivor 6 keluar dari belantara Gunung
Slamet.

12 Februari 2001, dini hari cuaca cukup cerah tetapi angin berhembus makin kencang 56 km/jam
dengan suhu 13⁰ C. HACE bertambah parah apabila penderita melakukan kegiatan fisik sementara
hal itu tidak dapat dihindari oleh survivor4. Setelah dipastikan survivor4 tidak dapat melewati masa
kritis pada ketinggian 3020 mdpl ahirnya survivor5 melanjutkan perjalan seorang diri. Sementara itu
dilain tempat tim SAR yang melakukan pencarian di puncak gunung Slamet menemukan tenda
dimana jenasah survivor3 berada diketinggian 3220 mdpl, sedangkan SRU Advance terus melakukan
pencarian dari bawah kearah puncak.

13 Februari 2001, Dini hari kecepatan angin 7 km/jam dengan suhu 11⁰ dan angin terus bertambah
kencang hinga tengah hari. Survivor 5 terus berjalan turun dengan tenaga yang terus menerus
terkuras sedangkan makanan yang dimakan sedikit membuat dia lelah dan kepayahan. Menjelang
sore hari rasa haus dan laparnya semakin membayangi, ahirnya dia melihat ada genangan air
dibawar air terjun yang kering, berada 7m dibawah tempat dia berdiri. Dia harus menuruni air
terjun yang kering itu untuk mendapat kan air, kondisi kontur yang vertikal dan licin membuatnya
harus melepaskan sepatu, tas kecil dan jilbab yang ditaruh rapi ditempat yang sama. Setelah berhasil

13
turun survivor5 makan dan minum, akan tetapi tenaganya tak juga pulih sedangkan kembali
ketempat dia menaruh barang diatas air terjun yang kering membutuhkan tenaga lebih. Tak berapa
lama gelap malam mulai bergelayut, dengan terpasa survivor5 bermalam di tempat tersebut.
Sementara di punggungan yang tidak terlalu jauh dari lokasi survivor5 tiba SRU Advance. Setelah
beroperasi seharian mengecek setiap lembah, bahkan terkadang berjalan di atas belukar yang rapat
hingga memanjat pohon untuk dapat menentukan posisi berada . Ahirnya SRU Advance
memutuskan untuk membuat tenda dan bermalam dilokasi itu karena hari mulai gelap. Terhalang
hutan tropis Gn Slamet yang lebat dimana pohon tinggi menjulang dengan belukar diatas kepala, di
dasar lembah tak jauh dari tenda SRU Advance dimana survivor5 mulai berjuang melawan dinginnya
malam. Hypothermia mulai masuk melalui kaki yang tidak beralas dan kepala yang merupakan
bagian tubuh yang paling banyak melepaskan panas bila tidak tertutup.Ditambah lagi glycogen yang
berkurang untuk diolah menjadi panas tubuh, membuat semakin malam semakin turun kondisi
survivor5. Sementara SRU Advance setelah evaluasi harus segera istirahat agar dapat pulih untuk
melanjutkan pencarian pada esok hari.

14 Febrauri 2001, Dini hari suhu lebih hangat dari malam sebelumnya 17⁰ C , dengan tubuh yang
terus terpapar oleh dingin kondisi survivor5 makin menurun. Sedangkan tak jauh dari lokasi itu pada
pukul 9 pagi SRU Advance siap berangkat, semua barang telah di packing akan tetapi persedian air
sudah menipis. Pada saat itu juga salah seorang anggota SRU turun kelembah untuk mengambil air,
setelah air terisi anggota SRU Advance berusaha mencari jalan naik karena medan yang sulit. Ketika
mencari jalan naik itu Anggota SRU tersebut melihat sepatu , tas dan jilbab milik survivor5. Jam 10
pagi SRU Advance melaporkan menemukan survivor5 dengan kondisi mengunakan raincoat dalam
keadaan basah sedang duduk dengan posisi kaki terendam didalam genangan dan mulut bergumam,
selain itu juga ditemukan bungkus bumbu makaanan kemasan di dekat survivor. False Sensation
mulai terjadi pada survivor5 dimana air sudah tidak dirasakan dingin olehnya, menandakan survivor
dalam kondisi hypothermia level2. SRU advance yang berjumlah 3 orang segera memberikan
pertolongan dengan mengantikan pakaian, memasukanya kedalam sleeping bag dengan air hangat
didalam nya sambil terus mengajak survivor5 berkomunikasi.Karena response survivor5 saat itu
sudah sangat lemah. Menaikan sorvivor5 keatas lembah bertiga dengan kondisi medan seperti itu
dapat menimbulkan cidera baru untuk survivor5, ahirnya diputuskan melakukan perawatan kepada
survivor5 sambil menunggu bantuan datang. Lebatnya hutan Gn Slamet jadi hambatan terberat
untuk mencapai titik survivor5, mata golok terus membabat belukar Gn Slamet bahkan banyak yang
lepas dari gagangnya. Malam telah tiba sedangkan tim bantuan tidak bisa mencapai titik Survivor5,
Sedangkan SRU Advance terus berjuang mempertahankan panas tubuh survivor5. Salah satu
usahanya adalah terus berkomunikasi dengan korban untuk mengembalikan kesadaran survivor5
dan jangan membiarkan survivor5 tertidur,karena tidur menyebabkan suhu tubuh turun 0,5⁰ C.
Pemberian panas tubuh dengan cara skin to skin merupakan cara yang berbahaya bagi penolong,
karena terjadi proses perpindahan panas dari tubuh penolong pada survivor yang dapat
menyebabkan penolong terkena hypothermia juga. Menaikan suhu tubuh suvivor harus dilakukan
perlahan idealnya 0,5⁰ C perjam dengan mengutamakan organ inti tubuh yang dipanaskan terlebih
dahulu. Apa bila selain organ inti seperti tangan dan kaki di panaskan lebih cepat, maka darah yang
sudah mengental pada organ itu mengandung CO2 dan beracun, apabila terbawa ke jantung dapat
juga menyebabkan kematian atau sering disebut fenomena “warm and death”. Jam 11 malam
sempat ada sedikit response dari survivor5 menandakan sedikit harapan, tetapi masih tetap tidak
bisa diberikan makan dan minum.

14
15 Februari 2001, Dini hari Cuaca masih cerah sementara respon survivor5 tidak muncul kembali
menandakan kondisinya kembali menurun. Rasa lelah yang terus bertambah karena secara fisiologis
tubuh survivor5 terus berproses mempertahankan panas tubuh, sedangkan tanpa masuknya
makanan dan minuman semakin memperparah hypothermia yang di alami. Setelah siklus suhu
terdingin harian alam ini yang terjadi pada jam 3 dinihari dengan suhu 14⁰ C , level Hypothermia
yang diderita survivor 5 meningkat. Ahirnya pada pukul 4:30 sudah tidak ada lagi denyut nadi suvivor
5. Seketika itu juga anggota SRU Advance memberikan nafas buatan dan RJP. Usaha tersebut terus
diberikan hingga ahirnya dikirim kabar ke meja SAR kordinator bahwa survivor5 meninggal dunia
pada jam 10 pagi.

20 Februari 2001, SAR dinyatakan di tutup dengan hasil 5 Survivor meninggal dunia dan 2 Survivor
selamat.

Kasus 2

Satu bulan sudah musibah yang terjadi pada anggota mapala unisi telah berlalu, dan hingga kini
belum ada titik terang apa yang terjadi. Paling tidak dengan sekuat tenaga mereka telah melakukan
tindakan pencegahan ada nya kemungkinan bertambahnya korban jiwa. Baik itu secara medis
maupun doa yang terus mereka upayakan. Duka semakin dalam tak kala berbagai kepentingan ikut
serta meramaikan suasana dengan berbagai komentar tanpa solusi.

Tiada kematian yang tidak mendadak karena memang itu adalah hak yang khalik, tetiba teringat kata
kata bijak dari seorang guru bahwasanya kematian itu pasti, dan amal apa yang telah kita persiapkan
untuk menghadapinya. Hal ini merupakan pertanyaan besar dan harus dijawab setiap waktu.

Sejenak kita berbalik untuk mengingat bagaimana gunung lawu, siapa yang tidak kenal gunung lawu?
Gunung yang terletak di perbatasan jawa tengah dan jawa timur sudah sangat akrab di telinga para
pendaki. Gunung yang menurut penelusuran jurnalis repulika pada tanggal 31 Januari 2017
dikawasan tlogo delinggo mempunyai suhu berkisar 17 derajat celcius pada siang hari dan pada
malam hari berkisar 10 derajat celcius. Sesuatu yang sangat berat di lokasi pendidikan The Great
Camping 37 apalagi dengan hujan yang terus turun setiap hari selepas siang, menurut pelaku
kegiatan pendidikan dasar tersebut.

Kecelakaan di gunung atau ketinggian mungkin sudah tidak asing lagi ditelinga kita, baik kecelakaan
karena terjatuh atau pun tertimpa benda dari atas. Selain itu juga banyak terjadi kecelakaan karena
resiko berada di ketinggian atau penyakit karena ketinggian. Setiap tahunnya puluhan hingga
ratusan kecelakaan di gunung atau ketinggian menyebabkan nyawa melayang dan banyak pula dari
kejadian tersebut tidak dilaporkan sehingga tidak menjadi bahan pelajaran untuk kita sebagai
penggiat pendaki gunung.

Berikut beberapa kasus yang muncul yang menjadi pemberitaan di beberapa media online dalam
beberapa tahun.

15
Banyak diantara penyebab kematian didalam data tersebut sangat tidak bisa diterima oleh logika
kita sebagai penggiat pendaki gunung seperti, kelelahan,serangan jantung, pingsan dll. Sebuah logika
yang telah terbangun untuk kita selama ini bahwa, bila kita ketahui penyebabnya maka kita akan
menemukan obat nya dengan penuh perjuangan tentunya.

Mari kita buka sejenak buku pendidikan dasar kita sebagai pecinta alam, apa saja yang masuk
katagori penyakit pada ketinggian ? serta sejauh mana materi tersebut dibahas?. Hypothermia
merupakan penyakit ketinggian yang banyak diketahui karena menjadi salah satu penyebab
kematian ditempat ketinggian, lalu bagaimana dengan hypoxia? Penyakit yang di picu oleh
kekurangan oxygen ini masih banyak misteri di indonesia.

Kegiatan The Great Camping 37 di tlogo delingo gunung lawu, munggunakan lokasi di ketinggian
1800 mdpl – 2000 mdpl merupakan kegiatan yang berada diatas ketinggian dengan katagori
moderate altitude, satu tingkat diatas low altidtude yang berada pada kisaran 0 – 1.524 mpdl.
Secara langsung para panitia dan peserta kegiatan tersebut merupakan objek yang terpapar kondisi
oksigen yang semakin menipis karena pengaruh ketinggian.Hypoxia Ini merupakan penyakit yang
tergantung tingkat penyesuaian tubuh setiap pelaku kegiatan diatas ketinggian, dan itu sangat
beragam sekali. Kita sebagai pelaku hanya bisa melihat gejala apa yang terjadi apabila penyakit itu
terjadi. Hypoxia merupakan merupakan penyakit yang sangat mematikan apabila terjadi dan tidak di
tangani dengan baik.

Wafatnya adik kita Asyam merupakan duka yang sangat mendalam bagi kita . Asyam pada tanggal 21
Januari 2017 tiba di jogja dengan ketinggian sekitar 100 mdpl setelah melakukan kegiatan The Great
Camping 37 di tlogo Delingo dengan ketinggian 1800 mdpl – 2000 mdpl. Asyam sampai kejogja
dalam keadaan sakit dan kemudian diantar ke RS Bethestha pada sekitar jam 6 pagi, dengan keluhan
pada saat tiba dirumah sakit adalah sesak nafas, diare, leher sakit. Sesak nafas ini merupakan tanda
bahwa High Altitude Pulmonary Edema ( penyakit ketinggian Akut) yang di sebabkan oleh hypoxia
sedang terjadi. Pada sekitar jam 11 Asyam kondisinya membaik dan di pindahkan ke ruang rawat
inap. Sekitar jam 2 siang kondisinya kritis hingga tidak tertolong, High Altitude Pulmonary Edema ini
memiliki masa kritis sebelum meninggal max 12 jam. Berdasarkan info dari panitia the great camping

16
pada saat kritis Almarhum mengalami masalah di paru paru. Duka makin mendalam menyelimuti
jogja atas kepergian Asyam, Jenasah di persiapkan dan diantar kerumah duka di Sleman Jogjakarta.
Berdasarkan keterangan verbal keluarga di malam setalah Asyam wafat, kepada panitia bahwa hasil
visum Asyam adalah : Telinga Berdarah seperti dipukul sebelah kanan dan kiri secara bersamaan,
tulang leher retak, Kuku jepol kaki mau lepas seperti habis terkena beban berat dan dada memar.
High Altitude Pulmonary Edema terjadi karena paru paru di penuhi cairan yang diakibatkan karena
kurangnya kandungan oksigen. Memar di dada Asyam merupakan petunjuk tentang ada nya
penyakit ini.

Setelah Kepergian Asyam seluruh siswa di kumpul kan untuk mekakukan Medical Ceck Up di rumah
sakit JIH , sebagai langkah antisipasi adanya kejadian duka lainnya. Adik kita Ilham Nurpadmy check
up di RS JIH Jogjakarta dan dilakukan pemeriksaan berdasarkan keluhan kuku kakinya mau lepas.
Almarhum Ilham di perbolehkan pulang dan diberikan rujukan rawat jalan ke dokter spesialis bedah
kuku. Pagi tanggal 23 Januari 2017 almarhum Ilham ditemukan oleh ibu kosnya dalam keadaan
pingsan di kamar mandi, dan segera di antar ke RS Bethesda Jogjakarta. Berdasarkan info di
http://www.suarantb.com. Bahwa almarhum Ilham telah siuman pagi itu dan sempat menghubungi
Ermy kakak ilham dan menyatakan bahwa dia pingsan saat buang air kecil dan diantar ibu kostnya
kerumah sakit. Pada senin malam dari tubuh almarhum Ilham bagian anus terus mengeluarkan
darah, Almarhum oleh dokter dimasukan ke ruang ICU. Sebelum pukul 12 malam adik kita Ilham
pergi meninggalkan kita semua dan kejadian itu membuat kita semakin berduka.

Almarhum Ilham wafat setelah mengikuti pendidikan dasar The Great Camping 37 di Tlogo Delingo
yang berahir tanggal 21 Januari 2017 dini hari. Almarhum Ilham kemungkinan besar terserang
penyakit ketinggian di karenakan Hypoxia yaitu High Altitude Cerebral Edema (Penyakit
Pembengkakan otak) . HACE (High Altitude Cerebral Edema ) merupakan penyakit yang sangat

17
misterius dan sangat awam bagi pencinta alam di indonesia. Kasus seperti Ilham juga pernah
terekam pada tahun 2015 yang menimpa saudari kita Putri Handayani pada
http://www.alamislam.com/2015/05/innalillahi-salah-seorang-akhwat.html, dan saya rasa masih
banyak lagi kejadian seperti ini yang tidak terpublikasikan. HACE penyakit ketinggian akut yang
memiliki masa kritis 0-12 jam, dengan kebanyak masa kritis itu terjadi 1-3 hari setelah melakukan
kegiatan di ketinggian. Tanda tanda yang dapat di kenali seperti pusing,mual,muntah, tidak dapat
mengontrol gerak tubuh dll.

18
Berpuluh puluh tahun Mapala Unisi melakukan kegiatan dasar The Great Camping dan tidak pernah
mengalami kejadian seperti ini di Merapi, selain hal cuaca yang memang ada yang mengaturnya
yaitu “Tuhan pencipta alam semesta”. Ada fakta bahwa kegiatan The Great Camping Mapala Unisi di
merapi berada pada ketinggian dibawah 1,524 mdpl dan dalam katagori “Low Altitude “. Hal ini
berdampak pada mudahnya tingkat penyesuaian tubuh para pelaku kegiatan di The Great Camping
tersebut. Sedangkan untuk daerah pendidikan di Tlogo Delingo Gn. Lawu lokasi pendidikan berada
pada ketinggian 1800 mdpl – 2000 mdpl. Apalagi bila kita mengunjungi lokasi di Tlogo delingo maka
kita dapat menemukan beberapa Immemoriam dilokasi tersebut, yang menandakan pernah adanya
sebuah kondisi yang menyebabkan hilangnya nyawa.

Gn.Merapi Lereng Selatan

Tlogo Delingo, Gn Lawu

19
Tiga Adik tersayang telah pergi dan menyisakan duka yang luar biasa dalam, tentunya itu tidak dapat
dibayar dengan berapapun nilai uang. Kejadian tersebut paling tidak menjadi hikmah untuk dunia
kepecinta alaman di Indonesia. Dengan tragedi ini mulai ada titik terang apa itu penyakit karena
ketinggian dan apa yang menjadi misteri kematian para pendaki gunung di indonesia. Sebagian besar
penyebab kematian dengan keterangan karena keletihan,serangan jatung ,sakit , pingsan dan dll.
Kita harus meneladani semangat dari adik adik kita para almarhum, bagaimana mereka dengan
sekuat tenaga menyelesaikan pendidikan dasar The Great Camping 37 , semoga dengan itu kita
dapat membangkitan semangat para pendaki gunung untuk lebih mengenal penyakit gunung.
Sehingga secara tidak langsung kita dapat mengurangi resiko para pendaki untuk terserang penyakit
gunung yang menyebabkan kematian.

Alam semesta memiliki segala hal untuk dapat dimanfaatkan oleh para penghuninya, dan tidak ada
yang di ciptakan di alam ini yang tidak bermanfaat bagi kehidupan. Membicaran ketinggaan tidak
bisa lepas dari hujan, dimana air mengalir dari tempat yang tinggi ketempat yang rendah. Sehingga
sudah sangat wajar apabila didaerah pegunungan mempunyai curah hujan yang lebih tinggi dari
dataran rendah. Berikut data curah hujan di Bogor, Bandung, Cirebon, Semarang , Solo dan Malang
berdasarkan data historikal dari BMKG.

20
21
Hujan dan basah sangat lekat dengan Hypothermia, dengan kondisi pakaian basah menyebabkan
hialangnya panas 5 x lebih kuat bila dalam keadaan pakaian kering. Sedangkan untuk sepatu basah
menghilangkan panas tubuh 25 X lebih kuat dari kaki kering. Hypothermia merupakan penyakit
gunung yang sangat akrab dengan para pendaki gunung, sedangkan hypothermia sendiri dapat
terjadi bersamaaan dengan HAPE dan atau HACE.

22
11 Februari 2008

Gondosuli, Tawangmangu Karang Anyar.Setelah mengikuti beberapa hari kegiatan Pendidikan Dasar
dilokasi pendidikan dengan ketinggian 1800 mdpl- 2000 mdpl, Yeni dan seorang temannya
diputuskan oleh panitia untuk diistirahatkan karena mengalami penurun fisik. Yeni dirawat di base
camp yang merupakan rumah penduduk dengan di ganti pakaian dan diberi makan minum yang
hangat. Kondisi yeni sudah makin baik dan bisa bercanda dengan orang lain. Sekitar jam 11 malam
yeni pergi ke kamar mandi untuk buang air kecil dan dia terjatuh, ahirnya Yeni dibantu oleh panitia
kekamar mandi. Setelah buang air kecil yeni pingsan dan terjatuh dikamar mandi. Kondisi Yeni
setelah itu semakin memburuk walaupun sudah dicoba untuk dihangatkan badannya hingga sahabat
tercinta kita dipanggil yang mahakuasa. Yeni wafat karena mengalami kelelahan dan Hypothermia
pada waktu itu, akan tetapi besar kemungkinan Yeni juga terserang HACE.

Tlogo Delingo, Tawangmangu

23
19 Januari 2014,

Cijeruk, Gunung Salak. Hari itu adalah hari ke 5 Helmi mengikuti Pendidikan Dasar di Gn.Salak, hujan
yang terus menerus turun membuat kondisi fisik Helmi menurun. Kesokan harinya Helmi terlihat
lemas dan batuk, tetapi dia dengan semangat membaja mampu mengikuti materinya. Lokasi
pendidikan tersebut berada pada ketinggian 933 mdpl – 2210 mdpl. Helmi merupakan siswa dengan
fisik dan kemampuan terbaik diantara peserta pendidikan dasar lainnya. Sahabat kita helmi
meninggal pada tanggal 21 Januari 2014 yang merupakan hari ke 7 pendidikan dasar, pada saat
turun dari lokasi pendidikan dasar ke basecamp. Sahabat kita Helmi sebelum wafat telah
mendapatkan pertolongan yang maksimal dari panitia. Besar kemungkinan selain Hypothermia
sebagai penyebab wafatnya Helmi adalah juga HAPE.

Cijeruk, Gn. Salak

24
25 Januari 2014,

Argalingga, Majalengka. Rombongan longmarch pendidakan dasar pecinta alam telah memasuki
kawasan palutungan, Kuningan Jawa Barat. AQJ salah satu perserta pendidikan dasar tersebut harus
di bawa kerumah sakit karena tidak sadarkan diri. Sebelumnya AQJ telah mengikuti pendidikan dasar
selama 5 hari dikawasan Argalingga Majalengka dengan ketinggian antara 1600 mpdl – 2000 mdpl.
Sebelum pingsan AQJ mengalami keluhan Lemas, Pusing dan Muntah- muntah, sedangkan panitia
telah memberikan obat kepada sahabat kita AQJ. Selama berada di rumah sakit kuningan sahabat
kita AQJ sempat siuman, karena peralatan yang terbatas ahirnya AQJ di rujuk kerumah sakit yang
lebih besar di Cirebon karena rumah sakit di kuningan tidak mampu menangani sakitnya. AQJ
dirawat di rumah sakit di Cirebon lebih dari satu minggu, dengan salah satu perlakuan medisnya
hingga memasukan kamera kedalam perut AQJ dengan biaya di tanggung universitas. Setelah lebih
dari seminggu dirawat AQJ sempat di berikan info bahwa dirinya di perbolehkan pulang pada esok
hari. Akan tetapi tuhan berkehendak lain, AQJ dipanggil Maha Kuasa pagi dinihari tanggal 2 Februari
2014. Penyebab wafatnya AQJ karena adanya permasalahan di lambung, tetapi boleh jadi sahabat
kita juga terserang penyakit HACE.

Argalingga, Gn. Ceremai

25
5 Desember 2016

Gunung Mas, Bogor.Edward sahabat kita yang berbadan besar dan gagah sedang mengikuti kegiatan
pendidikan dasar dengan titik awal kawasan kebun teh gunung mas, puncak, Bogor pada jam 6 pagi.
Gunung mas yang mempunyai ketinggian sekitar 1100 mdpl adalah tempat yang ideal untuk
memperdalam ilmu navigasi darat. Selepas jam 12 siang Edward beserta peserta pendidikan lain
melakukan perjalanan dengan tujuan puncak joglog 1844 mdpl. Hujan dan cauca buruk menemani
peserta diklat di sepanjang perjalanan. Sekitar Jam 6 sore Edward sudah tidak kuat berdiri lagi dan
kedinginan, selain Edward juga ada 2 peserta lain yang mempunyai keluhan kedinginan. Segera
panitia pendidikan dasar memutuskan untuk mendirikan selter dan tempat penangan perserta yang
sakit. Edward pada sekitar jam 7 malam mulai mendapatkan perawatan dengan standar penanganan
hypothermia dengan diganti pakaian kering, diberi makan dan minum hangat dan 2 oxycan. Didalam
masa perawatan Edward juga sempat mengalami halusinasi sebelum ahirnya sahabat kita wafat
pada pukul 9 malam. Sedangkan untuk 2 perserta pendidikan dasar lainnya dapat dipulihkan
kondisinya. Hasil visum dinyatakan bahwa Edward terserang Hypothermia, akan tetapi besar
kemungkinan sahabat kita Edwar juga terserang HACE.

Gunung Mas, Gn Gede Pangrango

26
9 Februari 2014,

Kebun Teh Medini, Gn. Ungaran.Sahabat kita Humam mengikuti pendidikan dasar di Gn. Ungaran
Jawa Tengah bersama 9 orang peserta lainya. Hari tersebut merupakan hari terahir didalam
pendidikan dasar tersebut dengan materi longmarch. Setelah berjalan sekitar 30 menit sahabat kita
humam badannya lemas dan tidak bisa berjalan lagi, humam langsung di evakuasi oleh panitia
kerumah warga di sekitar kebun teh Medini untuk di berikan perawatan. Tak lama berselang panitia
memutuskan untuk membawa humam ke puskesmas. Hingga saat di dalam kendaraan menuju
puskesmas pun humam masih bisa berkomunikasi. Setelah sampai di puskesmas dokter menyatakan
humam sudah wafat, Humam meninggal dengan sebab kelelahan dan Hyphotermia. Melihat gejala
humam sebelum wafat besar kemungkinan Humam juga terserang HACE selain hypothermia.

Kebun Teh Medini, Gn Ungaran

27
9 Februari 2014,

Selo, Gn Merbabu.Sahabat kita Khusna merupakan salah satu peserta pendidikan dasar yang telah
menghabiskan 6 hari waktu pendidikan dari 7 hari yang ditentukan.Pada hari ke 7 tersebut pukul
sekitar 00:30 WIB sahabat kita khusna kondisi fisiknya menurun dan pingsan, setelah sebelumnya
mengalami keluhan tidak mau makan,lemas dan kedinginan. Penangan medis dilakukan panitia dan
ahirnya di putuskan untuk membawa turun sahabat kita khusna ke basecamp (rumah Penduduk).
Lokasi pendidikan berada pada ketinggian 2137 mdpl dan base camp sekitar 1900 mdpl dalam
kondisi pingsan. Tak lama setelah tiba di base camp sahabat kita khusna siuman dan sudah mampu
berkomunikasi, akan tetapi sekitar pukul 06:00 kondisi khusna semakin menurun dan di putuskan
untuk membawa ke puskesmas. Sekitar pukul 06:45 tiba di puskesmas akan tetapi sahabat kita
khusna sudah wafat dengan penyebab kematiannya adalah hypothermia . Melihat gejala yang timbul
dari sahabat kita khusna, besar kemungkinan dia juga terserang penyakit HACE.

28
Kasus 3

Cirebon 17 Mei 2015,

Putri tiba distasiun malang dengan ketinggian 444 mdpl pada senin pagi 11 mei 2015 dan
melanjutkan keranu pane kemudian bermalam di Ranu kumbolo dengan ketinggian 2390 mdpl .
Selanjutnya pada tanggal 12 mei 2015 putri melanjutkan perjalanan dan tiba dikalimati pada
ketinggian 2700 mdpl di sore hari. Pada tanggal 13 Mei 2015 dalam perjalanan menuju puncak putri
sudah tidak kuat dan diantar kembali ke tenda. Tanggal 16 mei 2015 putri kembali kejakarta setelah
sebelumnya menyempatkan diri mengunjungi bromo. Sekitar pukul 5 pagi tanggal 17 Mei 2015
sebelum tiba distasiun cirebon putri terjatuh ketika hendak buang air kecil, tak lama kemudian kritis
dan sahabat kita putri wafat. Hingga saat ini belum ada analisa dan kesimpulan mengenai penyebab
kejadian fatal ini. Melihat dari kejadian tersebut putri melakukan speed ascent kurang dalam 1 hari
dari ketinggian 444 mdpl di stasiun malang ke 2390 mdpl danau ranu kumbolo, speed ascent ini
mengurangi kemampuan tubuh dalam melakukan penyesuain dengan tekanan udara lingkungan
sekitar. Pada keesokan harinya saat menuju puncak dari kalimati putri sudah tidak kuat dan kembali
turun ketenda, saat tidak kuat ini kemungkinan besar putri sudah terkena gejala HACE yaitu ataxia.
Beberapa hari kemudian putri memasuki masa kritis pada pukul 5 pagi . Mari kita sama sama
mendoakan semoga sahabat kita putri termasuk golongan yang khusnul khatimah karena wafat
dalam usahanya mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Kasus 4

Welirang Jum’at malam 17 Januari 2014,

Budi ,Aril dan Dian berangkat dari surabaya menuju Gunung welirang untuk bertemu dengan tim
pengembaraan di lembah Lengkean (2500 mdpl). Pada tangga 18 Januari meraka bermalam di camp
lengkean. 19 Januari Alif dan Dian mendaki ke Gunung Kembar2 yang berjarak 300 m dari Camp
Lengkean untuk mengambil foto. Pada pukul 13.30 hujan angin dan Sedangkan Alif dan Dian tidak
pernah kembali ke Camp lengkean hingga di temukan wafat pada 27 Januari di ketinggia 2700 mdpl.
Saat di temukan kondisi Alif dengan mata sobek dan bola mata terlepas dengan pakaian lengkap
sedangkan dian ditemukan 80 m dari Alif dengan posisi terlentang dan pakaian lengkap. Cidera
dibola mata merupakan bukti bahwa korban terserang HARH ( High Altitude Retinal Hemorrhage )
akibat saraf retina yang sensitif dengan oksigen. Selain itu korban terserang HACE yang
menyebabkan papiledema karena HACE ( High altitude Cerebral Edema ) yang menghasilkan cairan
diotak terus mendorong bola mata.

Kasus 5

Lawu 16 Agustus 2017,

Sularno pendaki pria berusia 54 tahun mendaki gunung Lawu untuk perayaan hari kemerdekaan 17
Agustus 2017. Puncak Gunung Lawu pada ketinggian 3265 mdpl dilakukan Sularno dengan Speed

29
Ascent. https://www.jawapos.com/radarmadiun/read/2017/08/23/9153/seorang-pendaki-tewas-
usai-rayakan-hari-kemerdekaan-di-gunung-lawu

https://www.jawapos.com/radarmadiun/read/2017/08/24/9490/pendaki-tewas-di-gunung-lawu-
diduga-karena-sianosis.

Speed Ascent menyebabkan tubuh tidak dapat beraklimitasi dengan baik karena berkurangnya
tekanan udara, sehingga tubuh kekurangan oksigen. Sularno ditemukan wafat di Hargo Dumilah
pada ketinggian 3171 mdpl pada jam 7 pagi tanggal 22 Agustus 2017. Walaupun memiliki
keterbatasan fisik Sularno merupakan pendaki berpengalaman. Hasil pemeriksaan Tim dokter DVI
menyebutkan terdapat cyanosis di tubuh Sularno, Cyanosis ini merupakan bukti bahwa bahwa
korban telah terserang HAPE (High Altitude Pulmonary Edema). HAPE dipicu oleh Speed Ascent dan
biasanya gejalanya muncul 2-5 hari setelah berada di ketinggian dan apabila memasuki masa kritis 0-
12 jam hingga kematian.

30
VI. Lampiran

31
32
VII. Referensi :
1. Medical Problem In Hight Mountain Environments, A Handbook for Medical Officer,
Cymerman, Allen and Paul B. Rock, February 1994.
2. Acute Mountain Sickness, High Altitude Cerebral Edema and High Altitude Pulnomary
Edema, Vaheed Sevvom, Pacific University , 2008
3. HIGH ALTITUDE MEDICINE & BIOLOGY, Volume 5, Number 2, 2004, PETER H. HACKETT1
and ROBERT C. ROACH2, 2004
4. Outdoor Action Guide to Hypoothermian and ColdWeather Injuries, Rick Curtis, Outdoor
Action Program, Princeton, 1995
5. High altitude pulmonary oedema, Peter Bärtscha, Heimo Mairbäurla, Erik R. Swensonb,
Marco Maggiorinic, 2003
6. Concenssus Statement Off UIAA Medical Commission Vol:2 , Th.Kupper, U. Gieseler,
C.Angelini, D.Hillebrandt, J.Milledge 2012

33

Anda mungkin juga menyukai