PENDAHULUAN
Pada banyak kasus yang terjadi sekarang ini, virus ini hanya menyebabkan
infeksi pernafasan yaitu dengan kategori ringan seperti flu.Virus ini juga bisa
menyebabkan infeksi pernafasan berat seperti infeksi paru-paru (pneumonia),
(Ridhoi, 2020).
1
Salah satu imbas dari infeksi virus corona SARS-CoV-2 atau Covid-19 dapat
menyebabkan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) atau disebut juga
dengan sindrom pernafasan akut. ARDS adalah gangguan pernafasan akut yang
terjadi ketika cairan menumpuk dikantung-kantung udara (alveoli) di paru-
paru.Penumpukan cairan tersebut membuat paru-paru tidak terisi udara dalam jumlah
cukup, sehingga oksigen yang mengalir dalam aliran darah berkurang dan organ
tubuh tidak dapat berfungsi normal karena kekurangan oksigen. Kekurangan pasokan
oksigen ini akan menyebabkan terhentinya fungsi organ, termasuk otak dan ginjal,
bahkan bisa menyebabkan kematian.
Kasus diatas ditemukan pada pasien yang dirawat inap di Bangsal Interne
RSUD M Natsir, maka kami tertarik untuk mengangkat suatu kasus tentang Covid-19,
ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome), Hipertensi dan Bronkopneumonia
pada seorang pasien wanita berumur 63 tahun untuk melihat gambaran penggunaan
obat yang diberikan sudah secara rasional atau belum.
2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hipertensi
2.1.1 Definisi
Hipertensi atau penyakit tekanan darah tinggi adalah suatu gangguan pada
pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh
darah terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkannya dimana tekanan
darah persisten diatas 140/90 mmHg. Pada pasien hipertensi, tekanan darah akan
meningkat ≥ 140 mmHg/ ≥ 90 mmHg secara persisten (Soenarta dkk, 2015)
Menurut WHO, batas tekanan darah yang masih dianggap normal adalah
kurang dari 130/85 mmHg, sedangkan bila lebih dari 140/90 mmHg dinyatakan
sebagai hipertensi, batasan tersebut diperuntukkan bagi individu dewasa diatas 18
tahun.
2.1.2 Patofisiologi
3
segera.Kestabilan tekanan darah jangka panjang dipertahankan oleh sistem yang
mengatur jumlah cairan tubuh yang melibatkan berbagai organ terutama ginjal.
Berikut hal-hal yang menyebabkan terjadinya hipertensi primer:
1) Perubahan anatomi dan fisiologi pembuluh darah
Aterosklerosis adalah kelainan pada pembuluh darah yang ditandai dengan
penebalan dan hilangnya elastisitas arteri. Aterosklerosis merupakan proses
multifaktorial. Terjadi inflamasi pada dinding pembuluh darah dan terbentuk
deposit.substansi lemak, kolesterol, produk sampah seluler, kalsium dan berbagai
substansi lainnya dalam lapisan pembuluh darah. Pertumbuhan ini disebut plak.
Pertumbuhan plak di bawah lapisan tunika intima akan memperkecil lumen pembuluh
darah, obstruksi luminal, kelainan aliran darah, pengurangan suplai oksigen pada
organ atau bagian tubuh tertentu.
Sel endotel pembuluh darah juga memiliki peran penting dalam pengontrolan
pembuluh darah jantung dengan cara memproduksi sejumlah vasoaktif lokal yaitu
molekul oksida nitrit dan peptida endotelium. Disfungsi endotelium banyak terjadi
pada kasus hipertensi primer.
2) Sistem renin-angiotensin
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari
angiotensin I oleh Angiotensin Converting Enzyme (ACE).Angiotensin II inilah yang
memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama.
a. Meningkatkan sekresi Anti-Diuretic Hormone (ADH) dan rasa haus. Dengan
meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh
(antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk
mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara
menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat,
yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah.
b. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal.
Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi
ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal.
Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara
4
meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan
meningkatkan volume dan tekanan darah.
2.1.3 Etiologi
5
b. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang penyebabnya dapat diketahui, anatara
lain kelainan pembuluh darah ginjal, gangguan kelenjer tiroid (hipertiroid), penyakit
kelenjer adrenal (hiperaldosteronisme).
2.1.4 Tanda dan Gejala
Gejala-gejala hipertensi bervariasi pada masing-masing individu dan hampir sama
dengan gejala penyakit lainnya. Gejala-gejalanya adalah :
1. Sakit kepala
2. Nyeri dada
3. Mudah lelah
4. Palpitasi (jantung berdebar)
5. Hidung berdarah
6. Sering buang air kecil (terutama malam hari)
7. Tinnitus (telinga berdenging)
8. Dunia terasa berputar (vertigo)
2.1.5 Penatalaksanaan
6
Tabel 2.Modifikasi gaya hidup untuk mengendalikan tekanan darah
Menurunkan berat badan Pelihara berat badan 5-20 mmHg untuk setiap
normal (BMI 18,5- penurunan 10 Kg BB
24,9)
b. Terapi Farmakologi
7
Sumber : Dipiro Pharmacotherapy Handbook, Edisi 9 tahun 2015
8
Sumber : Dipiro Pharmacotherapy Handbook, Edisi 9 tahun 2015
9
Obat hipertensi berdasarkan mekanisme kerjanya dapat dibagi menjadi beberapa
jenis, yaitu :
1. Diuretik
Mekanisme kerja diuretik kuat bekerja di ansa henle asenden bagian epitel tebal
dengan cara merintangi transport Cl-, menghambat reabsorpsi Na+, memperbanyak
pengeluaran K+ dan air. Efek samping diuretik kuat adalah menurunkan kalsium
darah.
Contoh : furosemid
b. Golongan Tiazid
10
c. Diuretik hemat kalium
Menghambat reseptor β-1 yang terdapat di jantung, Susunan Saraf Pusat, ginjal.
Blokade reseptor ini mengakibatkan pelemahan daya kontraksi (efek inotrop negatif),
penurunan frekuensi jantung (efek kronotrop negatif, bradikardi), perlambatan
penyaluran impuls di jantung (simpuls AV = atrioventrikuler).
11
3. Penghambat angiotensin converting enzyme (Penghambat ACE)
Contoh ACE-I: enalapril 2,5-40 mg/hari, lisinopril 5-40 mg/hari, irbesartan 150-
300 mg/hari, valsartan 80-32 mg/hari, telmisartan 40-80 mg/hari.
12
Mekanisme kerja antagonis kalsium adalah menghambat pemasukan ion
kalsium ekstrasel ke dalam sel vaskuler otot polos sehingga tegangan vaskuler
menurun dan terjadi vasodilatasi perifer (Goodman dan Gilman, 2008 : 865).
13
Contoh : klonidin hidroklorida, metildopa
8. Vasodilator.
14
endoplasmik.Akhirnya, vesikula yang mengandung partikel virus kemudian
bergabung dengan plasma membran untuk melepaskan virus (Li, X dkk, 2020).
Presentasi antigen
Saat virus memasuki sel, antigennya akan ditampilkan oleh sel Antigen
Presentation Cells (APC), yang akan diberi sinyal Major Histocompatibility Complex
(MHC) atau Human Leukosit Antigen (HLA). Selanjutnya antigen akan dikenali oleh
virus spesifik limfosit T cytotoxic (CTL). Presentasi antigen SARS-CoV tergantung
pada molekul MHC I dan MHC II.Selain itu, polimorfisme gen MBL (mannose-
binding lectin) juga terkait dengan presentasi antigen terkait dengan risiko infeksi
SARSCoV (Xu et al, 2020).
APC merangsang imunitas humoral dan seluler tubuh, yang dimediasi oleh Sel
B dan T (Zhang dkk, 2020).Mirip dengan infeksi virus akut yang lainnya, profil
antibodi SARS-CoV memiliki pola IgM dan IgG yang khas.Antibodi IgM SARS
menghilang pada akhir minggu ke 12, sedangkan antibodi IgG bisa bertahan
lama.Bahkan sel T memori dapat bertahan selama empat tahun pada pasien SARS-
CoV yang sembuh.Jumlah sel CD4 dan CD8 dalam darah perifer pasien yang
terinfeksi SARS-CoV-2 juga berkurang secara signifikan (Li Zu dkk, 2020). Cytokine
Storm Pada COVID-19, ARDS merupakan penyebab utama kematian. Dari 41 pasien
yang terinfeksi SARS-CoV-2 yang dirawat di tahap awal wabah, enam meninggal
karena ARDS (Huang dkk, 2020).ARDS adalah kejadian imunopatologi umum untuk
SARS-CoV-2.Salah satu mekanisme utama untuk ARDS adalah badai sitokin, yang
merupakan respon inflamasi sistemik yang tidak terkontrol yang mematikan akibat
pelepasan sejumlah besar sitokin proinflamasi (IFN-a, IFN-g, IL-1b, IL-6, IL-12, IL-
18, IL-33, TNF-a, TGFb, dll.), kemokin (CCL2, CCL3, CCL5, CXCL8, dll.) dalam
serum (Li Zu dkk, 2020).Hal ini menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular
dan pengaktifan jalur koagulasi, sehingga saat inflamasi terjadi konsentrasi
antikoagulasi berkurang, terjadi perubahan fibrinogen menjadi fibrin. Ketidak
15
keseimbangan antara koagulasi dan antikoagulasi ini memicu terjadinya disseminated
intravascular coagulation (DIC) dan mikrotrombosis (Jose dkk, 2019). Cytokine
Storm hebat akan memicu serangan yang menyebabkan ARDS dan kegagalan banyak
organ dan akhirnya menyebabkan kematian pada kasus yang parah (Ye dkk, 2020).
Immune Evasion
16
perokok aktif juga meningkatkan risiko COVID-19.Pada perokok, hipertensi, dan
diabetes melitus, diduga ada peningkatan ekspresi reseptor ACE2 (Fang dkk, 2020).
Beberapa faktor risiko lain yang ditetapkan oleh Centers for Disease Control
and Prevention (CDC) adalah kontak erat, termasuk tinggal satu rumah dengan pasien
COVID-19 dan riwayat perjalanan ke area terjangkit. Berada dalam satu lingkungan
namun tidak kontak dekat (dalam radius 2 meter) dianggap sebagai risiko
rendah.Kekurangan Vit D mungkin menjadi faktor penyebab COVID19 menjadi
parah. Respon imun yang lemah dari sistem kekebalan bawaan pada orang lanjut usia
dapat meningkatkan viral load. Kekurangan sel B memori menyebabkan aktivasi
berlebihan dari sistem kekebalan adaptif dengan menghasilkan sitokin inflamsi lebih
banyak atau yang dikenal dengan badai sitokin. Proses ini diperparah oleh rendahnya
tingkat Vit D. Vit D berperan dalam meningkatkan sistem kekebalan bawaan
sementara, pada saat yang sama, sebagian menekan imunitas adaptif (PDPI, 2020).
2. Gejala yang lebih jarang: sakit kepala, hidung tersumbat, nyeri tenggorokan, batuk
berdahak, napas pendek, nyeri otot atau sendi, kedinginan, mual atau muntah, diare.
3. Gejala pada kasus parah: sesak napas atau hipoksemia, batuk berdarah, penurunan
sel darah putih [umumnya setelah 1 minggu].
4. Gejala pada kasus terburuk: acute respiratory distress syndrome, syok septik,
asidosis metabolik yang sulit dikoreksi, kelainan koagulasi dan pendarahan, gagal
ginjal dan organ vital lainnya.
2.2.5 Penatalaksanaan
17
1. Vitamin C dengan pilihan:
a. Tablet Vitamin C non acidic 500 mg/6-8 jam oral (untuk 14 hari)
2. Vitamin D
a. Suplemen: 400 IU-1000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet, kapsul, tablet
b. Obat: 1000-5000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet 1000 IU dan tablet
kunyah 5000 IU)
18
Apabila pasien masih memiliki frekuensi nafas cepat ≥ 35x/menit, saturasi
<92%, atau work of breathing masih meningkat (dispnea atau menggunakan
otot bantu nafas aktif), maka titrasi flow secara bertahap 5‒10 L/menit diikuti
dengan peningkatan fraksi oksigen
Pasien pengguna HFNC dapat dikombinasi dengan awake prone
position selama 2 jam 2 kali sehari, untuk memperbaiki oksigenasi dan
mengurangi kemungkinan intubasi[5-7,34]
Apabila indeks ROX ≥4,88 pada jam ke-2, ke-6, dan ke-12, maka pasien
dikategorikan sebagai ventilasi aman dan tidak membutuhkan intubasi maupun
ventilasi invasif. Namun, apabila indeks ROX <3,85, maka pasien dikategorikan
risiko tinggi untuk dilakukan intubasi.
19
Kombinasi awake prone position dengan NIV dapat dilakukan selama 2 jam 2
kali sehari untuk memperbaiki oksigenasi dan mengurangi kemungkinan
intubasi.
Evaluasi penggunaan NIV setelah 1‒2 jam, dengan target sebagai berikut:
20
Pada pasien hipoksia refrakter, dilakukan posisi prone 12‒16 jam/hari
Pemberian pelumpuh otot dapat ditambahkan jika terjadi disinkronisasi antara
pasien dan ventilator persisten, plateau pressure tinggi secara persisten, dan
ventilasi pada posisi prone yang membutuhkan sedasi lebih dalam.
Vitamin
Pemberian vitamin yang dapat diberikan pada derajat berat atau kritis adalah
vitamin C, B, dan D. Dosis yang disarankan adalah:
Vitamin C: dosis drip IV 200‒400 mg/8 jam dalam 100 mL NaCl 0,9%, yang
dihabiskan dalam waktu 1 jam
Vitamin B1: dosis 1 ampul IV, setiap 24 jam
Vitamin D suplemen: dosis 400 –1.000 IU/hari (sediaan tablet, kapsul,
tablet effervescent, tablet kunyah, tablet hisap, kapsul lunak, serbuk sirup),
atau obat dosis 1.000–5.000 IU/hari (sediaan tablet 1000 IU dan tablet kunyah
5000 IU)[34,44-46]
Antivirus
21
Pilihan jenis antivirus pada derajat berat atau kritis umumnya sama dengan
derajat sedang, yaitu favipiravir atau remdesivir. Dosis antivirus yang dapat diberikan
adalah:
Favipiravir (sediaan 200 mg): dosis loading 600 mg/12 jam peroral pada hari
ke-1, dan selanjutnya 2 x 600 mg peroral pada hari ke-2 hingga ke-5
Remdesivir: dosis 200 mg IV drip pada hari ke-1, dilanjutkan 1 x 100 mg IV
drip pada hari ke-2 hingga ke-5 atau hari ke-2 hingga ke-10
Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid pada COVID-19 dipercaya dapat menurunkan
mortalitas pada pasien dengan ventilasi mekanik invasif, karena memodulasi
inflamasi yang menyebabkan kerusakan paru dan menurunkan progresifitas gagal
nafas.Oleh karena itu, kortikosteroid hanya diberikan pada pasien gejala berat yang
mendapat terapi oksigen atau kasus berat dengan ventilator.
Anti Interleukin
Deksametason dengan dosis 6 mg/24 jam selama 10 hari diberikan pada kasus
berat yang mendapat terapi oksigen atau kasus berat dengan ventilator. Atau dapat
digunakan kortikosteroid lain yang setara, seperti metilprednisolon 32 mg, atau
hidrokortison 160 mg.
Interleukin-6 (IL-6)
merupakan sitokin yang berperan dalam regulasi respon imun, hematopoiesis,
dan inflamasi. Saat infeksi dan kerusakan jaringan terjadi, IL-6 akan terbentuk dan
berefek protektif melawan stress maupun trauma pada tubuh. Namun, peningkatan
produksi IL-6 yang terlalu tinggi dapat menyebabkan komplikasi fatal
seperti systemic inflammatory response syndrome (SIRS) dam gangguan imun
kronik.
Obat anti IL-6 dapat digunakan sebagai terapi target sitokin untuk mencegah
komplikasi. Terdapat dua jenis obat anti IL-6, yaitu tocilizumab dan sarilumab, tetapi
yang sudah tersedia di Indonesia hanya tocilizumab.FDA sudah mengeluarkan izin
22
penggunaan darurat tocilizumab untuk pasien COVID-19 dewasa dan anak yang
berusia 2 tahun ke atas pada kriteria tertentu, yaitu pasien yang mendapatkan terapi
kortikosteroid sistemik dan membutuhkan suplementasi oksigen, ventilasi mekanik
noninvasif, ECMO. Tocilizumab tidak diizinkan untuk diberikan pada pasien
COVID-19 yang berobat jalan.
Ketentuan pemberian tocilizumab adalah:
Dosis tunggal 8 mg/kgBB, dan dapat diberikan 1 kali lagi dosis tambahan
apabila gejala memburuk atau belum ada perbaikan
Jarak pemberian dosis pertama dan kedua minimal 12 jam, dengan maksimal
pemberian 800 mg per dosis
Antikoagulan
Pemberian tromboprofilaksis diperlukan pada pasien derajat berat atau kritis
untuk mencegah komplikasi tromboemboli. Pada pasien derajat berat atau kritis,
terapi antikoagulan standar yang disarankan adalah:
Terapi Simptomatik
Terapi simptomatik seperti antipiretik, analgetik, mukolitik, antitusif, dan
ekspektoran, diberikan pada pasien sesuai dengan tanda dan gejala pasien.
Terapi Komplikasi dan Komorbid
Pada pasien dengan keadaan syok sepsis, diberikan tata laksana sesuai
pedoman.Demikian pula pada pasien dengan komorbid, seperti hipertensi dan
23
diabetes mellitus, dapat diberikan terapi dan pemantauan sesuai penyakitnya.
Pada pasien dengan kecurigaan sepsis karena koinfeksi bakteri dapat diberikan
antibiotik dengan pilihan sesuai kondisi klinis, fokus infeksi, dan faktor risiko.
Pemeriksaan kultur darah dan sputum diperlukan untuk menentukan pilihan
antibiotik.
Penatalaksanaan Lain
Berdasarkan studi, beberapa agen dinyatakan tidak bermanfaat pada pasien
COVID-19 sehingga penggunaannya dihentikan, di antaranya klorokuin,
hidroksiklorokuin, lopinavir, ritonavir, nitazoxanide, umifenovir, camostat mesylate,
dan interferon.
24
Tabel 3. Faktor Resiko ADRS
25
penurunan komplians paru (stiff lungs) dan hiperinflasi alveoli yang tersisa, serta
gangguan pada proses normal perbaikan paru yang berkembang menjadi fibrosis paru
pada stadium lanjut ((Peter JV dkk, 2018).
Gambar 2. Keadaan alveoli normal dan alveoli yang mengalami kerusakan saat
fase pada ARDS.
26
2.3.5 Klasifikasi ARDS
a. Ringan (mild), yaitu PaO2/FiO2 lebih dari 200mmHg, tetapi kurang dari dan
sama dengan 300mmHg dengan positive-end expiratory pressure(PEEP) atau
continuous positive airway pressure(CPAP) ≥5 cmH2O.
b. Sedang, yaitu PaO2/FiO2 lebih dari 100 mmHg,tetapi kurang dari dan sama
dengan 200 mmHgdengan PEEP ≥5 cmH2O.
c. Berat, yaitu jika PaO2/FiO2 ≤100 mmHg dengan PEEP ≥5 cmH2O.
2.3.6 Terapi ADRS
Banyak uji klinis yang mengevaluasi terapi steroid pada ARDS, dan tidak
menunjukkan manfaat kelangsungan hidup yang konsisten.Bukti manfaat lainnya
yaitu pengurangan penanda peradangan (paru dan sistemik), peningkatan pertukaran
gas, kebutuhan ventilasi mekanik yang lebih pendek, Terapi steroid saat ini
direkomendasikan hanya dalam awal dari kasus ARDS berat dan ARDS yang tidak
terselesaikan. Pada awal ARDS berat (PaO2 /FiO2 brinoproliferasi) yang dimulai 7–14
hari setelah onset penyakit, akan menghasilkan fibrosis pulmonal ireversibel. Terapi
steroid dosis tinggi dapat dimulai pada fase fibrinoproliferasi yang sedang
27
berkembang dan dinilai dapat membantu menghentikan perkembangan ke fibrosis
pulmonal. Pada kasus di mana ARDS tidak mulai membaik setelah 7 hari, terapi
steroid dosis tinggi dianjurkan, tetapi harus dimulai tidak lebih dari 14 hari setelah
timbulnya penyakit. Rekomendasi dosis steroid yang diberikan adalah
metilprednisolon, dimulai dengan loading dose intravena 2 mg/kg (berat badan ideal)
selama 30 menit, kemudian dilanjutkan infus 2 mg/kg/ hari selama 14 hari, dan 1
mg/kg/hari selama 7 hari berikutnya. Dosis dikurangi bertahap dan dihentikan 2
minggu setelah ekstubasi.Lima hari setelah pasien mampu menelan obat oral, dosis
dapat diberikan peroral (sebagai prednison atau prednisolon) dengan dosis tunggal
(harian) (Marino Plea dkk, 2014).
2.4 Bronkopneumonia
2.4.1 Definisi
Pneumonia merupakan peradangan pada paru-paru yang disebabkan oleh
infeksi bakteri, virus, jamur, dan aspirasi benda asing.Pada umumnya, pneumonia
dikelompokkan berdasarkan anatomis dan etiologinya.Klasifikasi pneumonia menurut
anatominya yaitu pneumonia lobaris, pneumonia lobularis (bronkopneumonia),
pneumonia interstitialis (bronkiolitis).Sedangkan pneumonia menurut etiologinya
yaitu pneumonia karena bakteri, jamur, Mycoplasma pneumoniae, aspirasi benda
asing (kerosen amonium), pneumonia hipostatik, dan sindrom Loeffler.Pneumonia
adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus respiratorius,
dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran
gas setempat (Dahlan, 2014).
Bronchopneumonia merupakan jenis infeksi paru yang disebabkan oleh agen
infeksius dan terdapat di daerah bronkus dan sekitar alveoli (Amin, 2013).
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa bronchopneumonia adalah
suatu peradangan pada parenkim paru atau alveoli yang disebabkan oleh virus,bakteri,
jamur dan benda asing lainnya yang mengakibatkan tersumbatnya alveolus dan
bronkeolus oleh eksudat.
28
2.4.2. Etiologi
Penyebab terjadinya Bronkopneumonia disebabkan oleh bakteri seperti
diplococus pneumonia, pneumococcus, streptococcus, hemoliticus aureus,
haemophilus influenza, basilus friendlander (klebsial pneumoni), mycobacterium
tuberculosis, disebabkan oleh virus seperti respiratory syntical virus, virus influenza
dan virus sitomegalik, dan disebabkan oleh jamur seperti citoplasma capsulatum,
criptococcus nepromas, blastomices dermatides, aspergillus Sp, candinda albicans,
mycoplasma pneumonia dan aspirasi benda asing (Wijayaningsih, 2013)
2.4.3 Patofisiologi
29
infeksi berupa deposisi fibrin ke permukaan pleura. Ditemukan pula fibrin dan
leukosit PMN di alveoli dan proses fagositosis yang cepat. Dilanjutkan stadium
resolusi, dengan peningkatan jumlah sel makrofag di alveoli, degenerasi sel dan
menipisnya fibrin serta menghilangnya kuman dan debris (Mansjoer, 2018)
30
2.4.3 Manifestasi Klinik
Bronchopneumonia biasanya didahului oleh infeksi traktus respiratoris bagian
atas selama beberapa hari.Suhu tubuh dapat naik sangat mendadak sampai 39-40°C
dan kadang disertai kejang karena demam yang tinggi dan penurunan nafsu
makan.Bronchopneumonia biasanya didahului oleh suatu infeksi di saluran
pernapasanbagian atas selama beberapa hari.Pada tahap awal, penederita
bronchopneumonia mengalami tanda dan gejala yang khas seperti menggigil, demam,
nyeri dada, pleuritis, batuk produktif, hidung kemerahan, saat bernafas menggunakan
otot aksesoris dan bisa timbul sianosis. Terdengar adanya crackles diatas paru yang
sakit dan terdengar ketika konsolidasi (pengisian rongga udara oleh eksudat.)
(Amin ,2013)
31
2.4.4 Penatalaksanaan
Menurut Mansjoer 2018, penatalaksanaan medis bronkopneumonia adalah:
3. Jika sesak tidak terlalu hebat, dapat dimulai makanan enteral bertahap melalui
selang nasogastrik dengan feading drip.
4. Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan salin normal dan
beta agonis untuk memperbaiki transfor mukosilier. Koreksi gangguan
keseimbangan asam basa dan elektrolit.
32
patogen tertentu setelah hasil kultur diketahui (Dipiro, 2015).
33
Sumber : Dipiro Pharmacotherapy Handbook Edisi 9 tahun 2015
34
Sumber : Dipiro Pharmacotherapy Handbook Edisi 9 tahun 2015
35
36
Sumber : Dipiro Pharmacotherapy Handbook Edisi 10 tahun 2017
37
BAB III. Tinjauan Kasus
Data Umum
No. MR : 218 XXX
Nama Pasien : Ny. H
Agama : Islam
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 62 tahun
Ruangan : Interne wanita
Diagnosa : Covid 19 + Acute Respiratory Distress
(ARDS) + Hipertensi + Bronkopenumonia
Mulai Perawatan : 31 Agustus 2021
Dokter Yang Merawat : dr. Y, Sp. PD
Hipertensi
Tidak ada
38
Tidak ada
Interne
Data Klinik Normal
31/8/21
TD (mmHg) 120/80 130/90
Tanggal
Isolasi
Data 23/8/21 24/8/21 25/8/21 29/8/21 30/8/21
Normal
Klinik 22/8/21
39
(mmHg) 0
Nadi 105
<110/mnt 96 99 - 93 105
(x/menit)
Nafas 12 – 30
29 32 31 32 30
( x/menit) 16/mnt
Tanggal
40
HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM TANGGAL 31-08-2021
42
RDW-CV 14,8 % 11,5-14,5
43
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN RUJUKAN
44
MCV 90,9 fL 84-96
45
Terapi Farmakologi
NO NAMA OBAT DOSIS ATURAN PAKAI RUTE TANGGAL PEMBERIAN OBAT (AGUST-
PEMBERIAN SEPT 2021)
31 01 02 03 04
9 Zinc po √ × × ×
46
11 Candesartan 8 mg 1x1 tablet po √ √ × √
47
4 Dexamethasone Inj 5 mg/mL 5 mg/mL Sesuai
48
No Obat Indikasi Kontra indikasi Precaution Efek samping
1 Ringer laktat (RL) Terapi cairan Hipernatremia, kelainan - Sensasi panas, infeksi
elektrolit ginjal, kerusakan sel pada tempat
hati, laktat asidosis.
penyuntikan, trombosis
vena atau flebitis yang
meluas dari tempat
penyuntikan,
ekstravasasi, urtikaria
dan pruritus.
2 Ranitidine injeksi Tukak lambung, Penderita yang Gangguan ginjal, - Susunan saraf
tukak duodenum, hipersensitif terhadap gangguan hati, pusat : sakit
refluks esofagitis, ranitidine atau H2 kehamilan, menyusui kepala, jarang
hipersekresi reseptor antagonis terjadi :
malainase,
patologi. lainnya
pusing,
mengantuk,
insomnia,
vertigo, agitasi,
epresi, halusinasi
- Kardiovaskular,
jarang dilaporkan
: aritmia seperti
50
takikardia,bradik
ardia,dll
- Gastrointestinal :
konstipasi, diare,
mual, muntah,
nyeri perut.
Jarang dilaporkan
: pancreatitis
- Rekasi
hipersensitivitas
3 Dexametason Inflamasi dan alergi, KI relatife : diabetes Pada penggunaan Efek samping yang
injeksi syok, diagnosis mellitus , tukak glukokortikoid timbul karena
sindrom cushing, peptic/duodenum, kadang-kadang terjadi penggunaan terus
hyperplasia adrenal infeksi berat, hipertensi, masking effect, menerus dengan dosis
congenital, edema atau gangguan sistem sehingga dari luar besar dan penghentian
serebral. kardiovaskular lainnya. penyakit tampaknya obat secara mendadak
sembuh namun infeksi dapat menyebabkan
Intranasal : alergi didalam masih terus infusiensi adrenal akut
atau inflamasi nasal berlangsung dengan gejala demam,
dan polip. mialgia, atralgia, an
Inhalasi oral : malaise. Gangguan yang
pengontrol asma mungkin muncul karena
bronchial persisten penggunaan lama yaitu
gangguan cairan dan
Dapat digunakan elektrolit , hiperglikemia,
51
untuk menangani glikosuria, mudah
edema serebral & terinfeksi, miopati,
syok septic psikosis,
hiperkoagulabilitas darah
(memudahkan
thrombosis
intravascular).
4 Omeprazole injeksi Tukak lambung, Penderita yang Pasien dengan Urtikaria, mual dan
tukak duodenum, hipersensitiv terhadap penyakit hati, muntah. Konstipasi,
GERD, hipersekresi omeprazol kehamilan, menyusui. kembung, nyeri
patologis abdomen, lesu,
paraestasia, nyeri otot
dan sendi, panangan
kabur, edema perifer,
perubahan hematologic
dan mulut kering
5 Ceftazidime injeksi Infeksi yang Hipersensitife terhadap -pada penderita yang Efek samping local
disebabkan oleh cephalosporin hipersensitif terhadap (flebitis atau
pathogen yang penisilin kemungkinan tromboflebitis pada
sensitive terhadap terjadi reaksi alergi pemberian IV, nyeri atau
ceftazidime pada silang bila diberikan inflamsi setelah injeksi,
penyakit infeksi ceftazidime reaksi hipersensitifitas,
saluran pernafasan gangguan saluran cerna,
bawah, infeksi kulit - sebelum memulai gangguan saluran kemih,
dan jaringan lunak, pengobatan sebaiknya dan kelamin, kenaikan
52
ISK, infeksi organ dilakukan tes reaksi kadar urea dalam darah,
genitalia, infeksi hipersensitifitas kenaikan kadar kreatinin
saraf pusat termasuk serum, perpanjangan
meningitis -hati-hati pada waktu protrombin, SSJ,
penderita dengan nefropatik toksik,
riwayat colitis gangguan fungsi hati.
- hati-hati pemberian
pada ibu menyusui
- pada penderita
dengan gangguan
fungsi ginjal, dosis
harus dikurangi sesuai
dengan tingkat
keparahannya
6 Parasetamol Nyeri ringan sampai Hipersensitif, Gangguan fungsi hati, Reaksi alergi, ruam kulit
sedang, demam gangguan hati. ginjal, ketergantungan berupa eritema atau
Alkohol. urtikaria, kelainan
darah,hipotensi,
kerusakan hati.
7 Acetil sistein 1. Penggunaan Untuk kegunaan lain Ensefalopati Karena Pada penggunaan
mukolitik: (termasuk pemberian IV Gagal Hati: sistemik menimbulkan
sebagai penangkal), reaksi hipersensitivitas
Pengobatan hipersensitivitas Jika ensefalopati seperti urtikaria dan
terhadap asetilsistein bronkopasme (jarang
53
tambahan untuk atau bahan apa pun akibat gagal hati terjadi), psoriasis, mual,
pasien dengan dalam formulasi. terjadi selama terapi muntah, diare, stomatitis,
pusing, tinitus
sekresi lendir yang asetilsistein oral,
abnormal, kental, hentikan obat untuk
atau kental yang menghindari
terkait dengan pemberian zat
kondisi seperti nitrogen lebih lanjut.
gangguan
bronkopulmonalis
akut dan kronis
(misalnya,
pneumonia,
bronkitis, emfisema,
trakeobronkitis,
bronkitis asma
kronis, tuberkulosis
2. Mengobati
keracunan
paracetamol.
54
diare akut dan zinc melebihi dosis
meningkatkan atau durasi yang
sistem kekebalan disarankan dokter
tubuh
11 Nitrokaf Profilaksis dan Hipersensitivitas Gangguan fungsi hati Sakit kepala berdenyut,
pengobatan angina terhadap nitrat, atau ginjal berat, muka merah, pusing,
hipotensi/hipovolemia, hipotiroidisme, hipotensi postural,
kardiomipati obstruktif malnutrisis, takikardia, pasca injeksi
hipertrofik, stenosis hipotermia, infark (jika diberikan terlalu
aorta, tamponade miokard yang masih cepat) meliputi hipotensi
jantung, perikarditis baru, toleransi berat, mual dan muntah,
konstruktif, anemia keutan otot,palpitasi,
55
berat, trauma kepala, nyeri perut, dll.
perdarahan otak,
glaucoma sudut sempit,
pemberian bersama
sildenafil
56
2.2.7 KAJIAN KESESUAIAN INDIKASI
3 Zink Terapi penunjang/suplemen untuk diare Pemberian obat tepat, karena pasien
akut non spesifik. Zinc juga mengalami penurunan sistem kekebalan
meningkatkan sistem kekebalan tubuh tubuh yang diakibatkan oleh infeksi, dan
sehingga dapat mencegah resiko juga keadaan pasien baru negative covid-
terulangnya infeksi. 19 sehingga diperlukan zink untuk tetap
menjaga imunitas tubuh.
4 Amlodipine Hipertensi, profilaksis angina Pemberian obat tepat, karena pasien
57
No Jenis Obat Indikasi Obat Komentar dan alasan
memiliki riwayat penyakit hipertensi. Obat
hipertensi golongan CCB (dihiropiridin)
sangat cocok untuk pasien usia lanjut.
5 Candesartan Hipertensi, sehingga menyebabkan Pemberian obat tepat, karena jika diberi
vasodilatasi, peningkatan eksresi Na dan obat antihipertensi golongan ACE-I akan
cairan . ARB memiliki efek yang mirip memperparah batuk pada pasiensehingga
dengan ACE-Inhibitor. Perbedaannya pasien akan mengalami sesak nafas,
adalah ARB tidak mempengaruhi karena efek samping dari ACE-I adalah
metabolism bradikinin sehingga ARB batuk kering.
dilaporkan tidak memiliki efek samping
batuk kering dan angiodema seperti yang
sering terjadi dengan ACE-I.
6 Injeksi ranitidin Antagonis reseptor H2 bekerja dengan Pemberian obat injeksi ranitidine belum
memblok reseptor histamine pada sel bisa dipastikan untuk mengatasi indikasi
parietal sehingga sel parietal tidak dapat apa, karena dari hasil anamnesa pasien
dirangsang untuk mengeluarkan asam tidak ada disebutkan pasien ada riwayat
lambung. penyakit lambung. Dan juga diduga pasien
diberikan injeksi ranitidine untuk
mengatasi efek samping dari penggunaan
58
No Jenis Obat Indikasi Obat Komentar dan alasan
injeksi dexametason yaitu yang mana
salah satu efek samping dari dexametason
yaitu menyebabkan iritasi lambung.
7 Injeksi deksametason Udema Pemberian obat tepat, karena pasien
mengalami infeksi/radang karena
bronkopneumonia. Tetapi dexametason
kontra indikasi terhadap obat hipertensi.
8 Injeksi omeprazole Untuk tukak lambung, tukak duodenum, Pemberian obat injeksi omeprazol belum
GERD dan untuk mengurangi aspirasi bisa dipastikan untuk mengatasi indikasi
cairan lambung apa, karena dari hasil anamnesa pasien
tidak ada disebutkan pasien ada riwayat
penyakit lambung. Dan juga diduga pasien
diberikan injeksi omeprazol untuk
mengatasi efek samping dari penggunaan
injeksi dexametason yaitu yang mana
salah satu efek samping dari dexametason
yaitu menyebabkan iritasi lambung.
9 Injeksi ceftazidime Infeksi yang disebabkan oleh pathogen Terapi tepat, karena pasien merasakan
yang sensitive terhadap ceftazidime pada nyeri ketika batuk hingga perlu diberikan
59
No Jenis Obat Indikasi Obat Komentar dan alasan
penyakit infeksi saluran pernafasan codein untuk menekan batuk.
bawah, infeksi kulit dan jaringan lunak,
infeksi saluran kemih dengan komplikasi
maupun tanpa komplikasi.
(Basic Pharmacology & Drug Notes,
2019)
10 RL Sumber asupan cairan untuk tubuh pasien Terapi tepat, karena pasein membutuhkan
yang kekurangan cairan cairan tambahan.
60
2.2.8 DRUG THERAPY PROBLEM (DRP)
61
terjadinya stress ulcer
- Ceftazidime : antibiotik untuk mengobati
Bronkopneumonia.
- Paracetamol : untuk mengobati demam
pada pasien.
- N-Acetyl Systein : sebagai mukolitik
- Zinc : untuk meningkatkan system
kekebalan tubuh pasien.
- Amlodipin : untuk megontrol tekanan
darah pasien
- Candesartan : untuk mengontrol tekanan
darah pasien
- Nitrokaf : untuk pencegahan dan terapi
jangka panjang.
Pasien Obat yang didapatkan pasien telah sesuai
mendapatkan dengan kondisi pasien, sehingga pasien tidak
mendapatkan terapi tambahan yang tidak
terapi Tidak
diperlukan
tambahan yang
tidak di perlukan
Pasien masih Tidak Pasien hanya memerlukan terapi famakologi
memungkinkan
62
menjalani terapi
non farmakologi
Sebaiknya pasien
hanya mendapatkan
salah satu obat
untuk mencegah
Terdapat duplikasi Pasien mendapatkan obat ranitidine (injeksi)
Ya terjadinya stress
terapi dan omeprazole (injeksi)
ulcer dikarenakan
mekanisme
ranitidine dan
omeprazole sama.
Obat yang diberikan dapat menimbulkan
efek samping pada pasien, namun masih
penanganan
Kombinasi obat anti hipertensi dapat
terhadap efek
Ya menyebabkan hipotensi pada pasien.
samping yang
seharusnya dapat Pemberian steroid dapat menyebabkan
dicegah peningkatan tekanan darah dan juga
dapat menurunkan system kekebalan
tubuh pasien.
2 Kesalahan obat
63
Bentuk sediaan sudah tepat dengan kondisi
pasien, pasien dalam keadaan sadar dan masih
Bentuk sediaan
Tidak bisa menelan.
tidak tepat
Lakukan monitoring
Terdapat kontra Terdapat kontraindikasi antara obat anti untuk mengontrol
Iya
indikasi hipertensi dengan dexamethasone tekanan darah
pasien.
Kondisi pasien
tidak dapat Kondisi pasien dapat diatasi oleh obat untuk
Tidak
disembuhkan oleh mengurangi keluhan pasien.
obat
Obat tidak
diindikasikan semua obat yang diberikan diindikasikan
Tidak
untuk kondisi untuk keadaan pasien.
pasien
Terdapat obat lain Ya 1. Pasien mendapatkan antibiotic 1)Sebaiknya
yang lebih efektif ceftazidime ceftazidime di ganti
2. Pasien sebaiknya mendapatkan dengan ceftriaxone .
antikoagulan. Hal ini dikarenakan
Ceftriaxone
merupakan
64
antibiotik golongan
sefalosporin
generasi ketiga yang
digunakan sebagai
lini pertama untuk
mengobati sejumlah
besar infeksi parah
yang diakibatkan
oleh organisme-
organisme yang
resisten terhadap
obat lain.
Sedangkan menurut
Jayesh, 2010,
antibiotik ini
memiliki aktivitas
luas. (Novita,
2012).
2) Pasien sebaiknya
mendapatkan
65
antikoagulan
dikarenakan pada
hasil laboratorium
pasien didapatkan
nilai APTT
memendek dan nilai
D-Dimer tinggi,
dimana ini
menandakan bahwa
pasien mengalami
hiperkoagulasi dan
perlu mendapatkan
terapi tambahan
seperti heparin.
3 Dosis tidak tepat
Dosis sudah sesuai dengan keadaan pasien
Dosis terlalu
Tidak
rendah
66
Frekuensi
penggunaan tidak Tidak Frekuensi penggunaan sudah tepat
tepat
Durasi
penggunaan tidak Tidak Durasi penggunaan sudah tepat
tepat
4 Reaksi yang tidak diinginkan
Obat tidak aman Obat aman untuk pasien dan memberikan efek
Tidak
untuk pasien yang sesuai dengan yang diharapkan
terdapat masalah, pasien tidak mempunyai
Terjadi reaksi
Tidak riwayat alergi obat sehingga obat aman
alergi
digunakan
Terjadi interaksi Iya Interaksi antara obat antihipertensi dengan
obat dexamethasone, namun interaksi ini dapat
ditolerir karena penggunaan dexamethasone
pada pasien penyakit BP dan ARDS lebih
besar manfaatnya ketimbang
ketidakmanfaatannya.Karena pada kasus ini
infeksi sudah termasuk infeksi berat. Maka
membutuhkan dexamethasone untuk
67
mengobati radang.
Dosis obat
dinaikkan atau Dosis yang digunakan telah sesuai dengan
Tidak
diturunkan terlalu pasien sejak dilakukannya diagnose
cepat
68
mengerti intruksi
penggunaan obat
Pasein tidak patuh
atau memilih
untuk tidak Tidak Pasien patuh dalam penggunaan obat
menggunakan
obat
6 Pasien membutuhkan terapi tambahan
Hasil laboratorium pasien didapatkan nilai
Terdapat kondisi APTT memendek dan nilai D-Dimer tinggi,
Iya
yang tidak diterapi dimana ini menandakan bahwa pasien
mengalami hiperkoagulasi.
Pasien Tidak Pasien telah mendapatkan obat yang bekerja
membutuhkan sinergis.
obat lain yang
sinergis
Pasien Tidak Pasien tidak membutuhkan terapi profilaksis,
membutuhkan
terapi profilaksis
69
Tangga Dokter Apoteker
S O
l A P A P
31/8/21 - Pasien TD : 95/57 Covid 19 + Acute Terapi : Terdapat terapi obat sebaiknya obat
mengatakan mmHg Respiratory - RL 12 jam/kolf anti hipertensi yang anti hipertensi
mengalami Nadi : 109 Distress (ARD) + - Ranitidin 2x1 ampul diberikan kepada tidak
batuk kering x/menit Hipertensi + (injeksi) pasien kombinasi. dikombinasi
- Sesak nafas. Pernafasan: Bronkopenumoni - Dexamethasone 2x1 karena tekanan
22 x/menit a ampul (injeksi). darah pasien
Suhu : 36oC - Omeprazole 1x1 95/57 mmHg.
70
dikombinasi
(injeksi)
maka akan
- Paracetamol 3x500 mg
menyebabkan
- N-Acetyl Systein 3x200 Hipotensi.
mg
- Zinc 2x1
- Amlodipine 1x1 (10 mg)
- Candesartan 1x1 (8 mg)
01/9/21 - Batuk Kering TD : 98/49 Covid 19 + Acute Terapi : Terapi obat anti
- Sesak nafas mmHg Respiratory - RL 12 jam/kolf hipertensi yang
Nadi :120 Distress (ARD) + - Ranitidin 2x1 ampul diberikan kepada
x/menit Hipertensi + (injeksi) pasien kombinasi.
Pernafasan: Bronkopenumoni - Dexamethasone 2x1
20 x/menit a ampul (injeksi).
Suhu : 36,5 - Omeprazole 1x1
o
C (injeksi)
- Ceftazidin 2x1 gram
(injeksi)
- Paracetamol 3x500 mg
- N-Acetyl Systein 3x200
71
mg
- Amlodipine 1x1 (10 mg)
- Candesartan 1x1 (8 mg)
(injeksi) hipertensi
(injeksi) tidak
72
- Nitrokaf 2x1
03/9/21 -
73
BAB IV. PEMBAHASAN
Pasien yang berinisial H adalah seorang pasien perempuan berusia 62 tahun.
Pasien datang ke IGD RSUD M. Natsir, Solok pada tanggal 22 Agustus 2021 dengan
keluhan sesak nafas 2 hari sebelum ke rumah sakit, akan tetapi pasien tidak
mengalami muntah. Pasien dilakukan swab PCR dan dinyatakan positive covid 19
sehingga pasien di haruskan menjalani isolasi di RSUD M. Natsir, Solok. Setelah
menjalani isolasi selama 8 hari, hasil swab PCR pasien dinyatakan negative dan
pasien di pindahkan ke bangsal interne karena pasien mengalami keluhan sesak dan
batuk yang memburuk.
Di bangsal interne, pasien menjalani pemeriksaan fisik laboratorium dan
rongent thorax. Hasil pemeriksaan rongent thorax menyatakan bahwa pasien
mengalami Typical Pneumonia dan pasien juga di nyatakan ARDS akibat dari
bronkopneumonia. Hal ini menyebabkan terjadinya inflamasi pada parenkim paru
yaitu alveoli sehingga neutrofil menumpuk di alveoli sehingga alveoli akan berisi
cairan yang akan menyebabkan pasien sesak nafas. Dan juga hasil pemeriksaan
laboratorium menunjukkan nilai APTT pada pasien memendek. APTT (Activated
Partial Tromboplastin Time) merupakan uji laboratorium untuk menilai aktifitas
factor koagulasi jalur intrinsic. Nilai APTT yang didapatkan memendek menandakan
bahwa darah dalam tubuh pasien lebih cepat mengalami penggumpalan
(hiperkoagulasi).
Selain dari hasil APTT yang memendek didapatkan juga hasil pemeriksaan D-
Dimer yang tinggi dari nilai rujukan. Uji D-Dimer merupakan suatu jenis uji sampel
darah yang bertujuan untuk membantu melakukan diagnosis penyakit dan kondisi
yang menyebabkan hiperkoagulabilitas. Dari hasil pemeriksaan labor tersebut, pasien
memerlukan terapi tambahan berupa antikoagulasi seperti heparin. Selain itu, pasien
juga memiliki riwayat penyakit hipertensi yang akan memperburuk keadaan pasien.
Terapi yang diberikan kepada pasien pada saat dirawat dibangsal interne
yakni pada hari pertama masuk bangsal interne pada tanggal 31 Agustus 2021 adalah
Pemberian RL dengan tujuan untuk mengganti cairan tubuh pasien yang hilang
74
karena pasien mengalami infeksi pernafasan, jika pasien dengan infeksi pernafasan
mengalami kekurangan cairan maka sputum akan semakin kental dan akan semakin
sulit untuk dikeluarkan sehingga pasien membutuhkan penggantian cairan tubuh dari
luar.
Pada tanggal 31 Agustus pasien juga diberikan terapi ranitidine 2x1 ampul
(injeksi), dexamethasone 5 mg (2x1 ampul, iv), omeprazole 1x1 (injeksi), ceftazidime
2x1 gram (injeksi) paracetamol 3x500 mg (per-oral), N-acetyl Systein 3x200 mg
(per-oral) , zinc 2x1 (per-oral), amlodipine 10 mg1x1 (per-oral), candesartan 8 mg
1x1 (per-oral).
Lalu, pada tanggal 02 September 2021 pasien mendapatkan perubahan terapi
seperti diberikan terapi tambahan berupa nitrogliserin (nitrokaf) 2,5 mg 2x1 (per-oral)
dan pemberian zink dihentikan sehari sebelumnya.
Pasien mendapatkan terapi obat anti hipertensi seperti amlodipine 10 mg dan
candesartan 8 mg. Alasan diberikan terapi kombinasi karena pasien memiliki riwayat
hipertensi dan pada saat pasien mendapatkan terapi obat anti hipertensi kombinasi,
menyebabkan pasien mengalami hipotensi. Maka dari itu, disarankan sebaiknya untuk
dosis obat anti hipertensi (amlodipine) dapat diturunkan menjadi 5 mg.
Pasien juga mendapatkan terapi antibiotik yaitu ceftazidime. Saran, sebaiknya
ceftazidime dapat di ganti dengan ceftriaxone. Menurut hasil penelitian yang
dilakukan Yeni pada tahun 2016, antibiotik tunggal yang sering digunakan pada
terapi empiris pneumonia adalah Ceftriaxone. Begitupula dengan penelitian dengan
yang dilakukan oleh Stevany pada tahun 2016, bahwa penggunaan antibiotik tunggal
yang sering digunakan pada pasien pneumonia adalah Ceftriaxone. Menurut jurnal
Pharmaceutical Science and Clinical Research tahun 2017 yang mengutip penelitian
Katzung pada tahun 2004, antibiotik tunggal yang banyak digunakan adalah
Ceftriaxone. Hal ini dikarenakan Ceftriaxone merupakan antibiotik golongan
sefalosporin generasi ketiga yang digunakan sebagai lini pertama untuk mengobati
sejumlah besar infeksi parah yang diakibatkan oleh organisme-organisme yang
resisten terhadap obat lain. Sedangkan menurut Jayesh, 2010, antibiotik ini memiliki
aktivitas yang sangat kuat untuk melawan bakteri gram negatif dan gram positif dan
75
beberapa bakteri anaerob lain termasuk Streptococcus pneumonia, Haemophilus
influenza, dan Pseudomonas. Pemberian terapi antibiotik spektrum luas harus
ditambahkan terapi kombinasi yang bisa melawan kuman penyebab MDR (Multi
Drug Resistance).Gabungan terapi kombinasi harus merupakan antibiotik dari
golongan yang berbeda untuk mencegah mekanisme terapeutik antagonis.Terapi
kombinasi kuman gram negatif biasanya dari golongan β-laktam, kuinolon atau
aminoglikosida. Meskipun kombinasi golongan kuinolon lebih bagus penetrasinya
dibandingkan aminoglikosida dan efek toksik ke ginjalnya lebih rendah akan tetapi
angka kesembuhan dengan kombinasi obat dengan aminoglikosida lebih banyak
terjadi (Novita, 2012).
Pasien juga mendapatkan terapi Dexamethasone bersamaan dengan obat
antihipertensi yang akan menyebabkan terjadinya interaksi obat dimana
dexamethasone dapat mengurangi efek dari amlodipin dan candesartan dalam
menurunkan tekanan darah. Tetapi, interaksi mungkin terjadi ketika dexamethasone
digunakan lebih dari 1 minggu, karena penggunaan jangka panjang dapat
menyebabkan retensi natrium. Tapi pada kasus ini, pemberian dexamethasone sangat
dibutuhkan karena pasien mengalami inflamasi berat pada paru, sehingga
kontraindikasi antara dexamethasone dan obat antihipertensi dapat ditolerir dan juga
perlu dilakukan penyesuaian dosis dan pemantauan lebih sering, sehingga kedua obat
ini dapat digunakan dengan aman.
Terapi selanjutnya yang didapatkan oleh pasien yaitu kombinasi ranitidine
injeksi dan omeprazol injeksi, dimana kedua obat tersebut memiliki mekanisme kerja
obat yang hampir sama. Ranitidine merupakan golongan obat antagonis reseptor H2
dengan mekanisme kerja memblok reseptor histamine pada sel parietal sehingga sel
parietal tidak dapat dirangsang untuk mengeluarkan asam lambung. Omeprazol
merupakan obat golongan proton pump inhibitor (PPI) dengan mekanisme
menghambat asam lambung dengan menghambat kerja enzim (K+H+ATPase) yang
akan memecah K+H+ATP menghasilkan energy yang digunakan untuk mengeluarkan
asam HCl dari kanalikuli sel parietal kedalam lumen lambung. Maka sebaiknya
pemberian obat untuk mencegah stress ulcer pada pasien tidak perlu dikombinasi,
76
cukup gunakan salah satu obat saja.
BAB V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Terdapat obat lain yang lebih efektif yaitu terapi antibiotic ceftazidime di
ganti dengan ceftriaxone karena ceftriaxone merupakan antibiotik golongan
sefalosporin generasi ketiga yang digunakan sebagai lini pertama untuk
mengobati sejumlah besar infeksi parah yang diakibatkan oleh organisme-
organisme yang resisten terhadap obat lain.
2. pasien menjalani pemeriksaan fisik laboratorium dan rongent thorax. Hasil
pemeriksaan rongent thorax menyatakan bahwa pasien mengalami Typical
Pneumonia. Dan juga hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan nilai
APTT pada pasien memendek. APTT yang didapatkan memendek
menandakan bahwa darah dalam tubuh pasien lebih cepat mengalami
penggumpalan (hiperkoagulasi). Selain dari hasil APTT yang memendek
didapatkan juga hasil pemeriksaan D-Dimer yang tinggi dari nilai rujukan.
Dari hasil pemeriksaan labor tersebut, pasien memerlukan terapi tambahan
berupa antikoagulasi seperti heparin.
3. Terdapat duplikasi terapi yaitu omeprazole (injeksi) dan ranitidine (injeksi),
sebaiknya pasien hanya mendapatkan salah satu obat untuk mencegah
terjadinya stess ulser.
77
antihipertensi dapat ditolerir dan juga perlu dilakukan penyesuaian dosis dan
pemantauan lebih sering, sehingga kedua obat ini dapat digunakan dengan
aman.
5.2 Saran
1. Monitoring pasien agar tepat waktu mengkonsumsi obat.
2. Monitoring tekanan darah pasien karena pasien mendapatkan kombinasi obat
anti hipertensi.
78
DAFTAR PUSTAKA
79
Jose, R. J., & Manuel, A. (2019). COVID-19 cytokine storm: the interplay between
inflammation and coagulation. The Lancet Respiratory, 2019, 2019– 2020.
Li, X., Geng, M., Peng, Y., Meng, L., & Lu, S. (2020). Molecular immune
pathogenesis and diagnosis of COVID-19. Journal of Pharmaceutical
Analysis
Li Z, Wu M, Guo J, et al. Caution on Kidney Dysfunctions of COVID-19 Patients.
2020.
Mansjoer, A. 2018.Kapita Selekta Kedokteran, edisi 4. Jakarta : Media Aesculapius
Marino PLea, editor Marino’s. 2014. The ICU Book, 4th ed Chapter 23: Acute
Respiratory Distress Syndrome. Philadelphia: Wolters Kluwer Health /
PDPI. (2020). Panduan Praktik Klinik Pneumonia COVID-19 Ringan.
19,5–5.
Novita tunggal dewi . 2012. Kajian penggunaan antibiotic pasa pasien pneumonia
dengan metode gyssens di balai kesehatan X Surakarta tahun 2012-
2013.Naskah Publikasi.
Peter JV, John P, Graham PL, Moran JL, George IA, Bersten A. 2018.
Corticosteroids in the prevention and treatment of acute respiratory distress
syndrome (ARDS) in adults: metaanalysis
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2020). Paduan Praktik Klinis Pneumonia
COVID-19 berat tanpa komplikasi Prevalence of Pulmonary Embolism in
COVID-19: a Pooled AnalysisRupak Desai,corresponding author1 Zainab
Gandhi,2 Sandeep Singh,3 Sonali Sachdeva,4 Pritika Manaktala,5 Sejal
Savani,6 Virmitra Desai,7 Rajesh Sachdeva,1,8,9 and Gautam Kumar1,10
SN Compr Clin Med. 2020 Oct 28 : 1–4
80
8(4), 420–422.
Zhang, L., Yan, X., Fan, Q., Liu, H., Liu, X., Liu, Z., & Zhang, Z. (2020). D-dimer
levels on admission to predict inhospital mortality in patients with Covid-
19. Journal of Thrombosis and Haemostasis, 0–3.
81