Anda di halaman 1dari 79

BAB I.

PENDAHULUAN

Virus Corona atau Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2


(SARS-CoV-2) adalah virus yang menyerang sistem pernafasan.Penyakit karena
infeksi virus ini disebut COVID-19.Virus corona bisa menyebabkan gangguan pada
sistem pernafasan, infeksi paru-paru yang berat, hingga kematian. Severe Acute
Respiratory Syndrome Coronavirus 2(SARS-CoV-2) yang lebih dikenal dengan nama
virus corona adalah jenis baru dari coronavirus yang menular ke manusia.

Pada banyak kasus yang terjadi sekarang ini, virus ini hanya menyebabkan
infeksi pernafasan yaitu dengan kategori ringan seperti flu.Virus ini juga bisa
menyebabkan infeksi pernafasan berat seperti infeksi paru-paru (pneumonia),
(Ridhoi, 2020).

Coronavirus Disease menyebabkan kematian pada penderita pneumonia serius


(14%), gejala parah akibat Covid-19 lebih banyak menimpa korban berusia tua dan
telah mempunyai riwayat penyakit tertentu.Sementara rasio fatal bisa terjadi kepada
seorang penderita penyakit kardiovaskular (misalnya penyakit jantung iskemik,
stroke, penyakit jantung, tekanan darah tinggi).

Adanya angka kematian akibat corona diseluruh dunia, menurut penelitian


Perlman (2020) corona menjadi semakin buruk tergantung pada respons imun
seseorang.Sementara menurut Perlman dan Corn (Professor pediatric dan pengobatan
University of Alabama in Birmingham, 2020), kematian pada pasien Coronavirus
Disease disebabkan oleh badai sitokin.Sitokin merupakan protein infalamasi imun
yang berfungsi menangkal infeksi dan menjinakkan sel kanker dalam tubuh. Namun
ketika sitokin ini diluar control karena mutasi genetic sebagai reaksi terhadap virus
yang masuk kedalam sel maka menyebabkan penyakit. Kondisi ini dikenal sebagai
badai sitokin atau cytokine storm. Penelitian Ruang, Yang dkk, (2020), menemukan
Covi-19 telah menyebabkan fulminant myocarditis yang mengaktifkan sitokin atau
menyebabkan badai sitokin, sehingga mengakibatkan kerusakan multiorgan dan
kematian (Ridhoi, 2020).

1
Salah satu imbas dari infeksi virus corona SARS-CoV-2 atau Covid-19 dapat
menyebabkan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) atau disebut juga
dengan sindrom pernafasan akut. ARDS adalah gangguan pernafasan akut yang
terjadi ketika cairan menumpuk dikantung-kantung udara (alveoli) di paru-
paru.Penumpukan cairan tersebut membuat paru-paru tidak terisi udara dalam jumlah
cukup, sehingga oksigen yang mengalir dalam aliran darah berkurang dan organ
tubuh tidak dapat berfungsi normal karena kekurangan oksigen. Kekurangan pasokan
oksigen ini akan menyebabkan terhentinya fungsi organ, termasuk otak dan ginjal,
bahkan bisa menyebabkan kematian.

Kasus diatas ditemukan pada pasien yang dirawat inap di Bangsal Interne
RSUD M Natsir, maka kami tertarik untuk mengangkat suatu kasus tentang Covid-19,
ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome), Hipertensi dan Bronkopneumonia
pada seorang pasien wanita berumur 63 tahun untuk melihat gambaran penggunaan
obat yang diberikan sudah secara rasional atau belum.

2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hipertensi
2.1.1 Definisi

Hipertensi atau penyakit tekanan darah tinggi adalah suatu gangguan pada
pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh
darah terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkannya dimana tekanan
darah persisten diatas 140/90 mmHg. Pada pasien hipertensi, tekanan darah akan
meningkat ≥ 140 mmHg/ ≥ 90 mmHg secara persisten (Soenarta dkk, 2015)

Menurut WHO, batas tekanan darah yang masih dianggap normal adalah
kurang dari 130/85 mmHg, sedangkan bila lebih dari 140/90 mmHg dinyatakan
sebagai hipertensi, batasan tersebut diperuntukkan bagi individu dewasa diatas 18
tahun.

2.1.2 Patofisiologi

Tekanan darah adalah produk curah jantung (cardiac output) x tahanan


perifer.Hipertensi dapat terjadi karena penyebab tertentu (hipertensi sekunder) atau
karena penyebab yang tidak diketahui yang disebut juga hipertensi primer. Hipertensi
sekunder <10% kasus biasanya disebabkan oleh penyakit ginjal kronik (CKD) atau
penyakit renovaskular, atau kondisi lain seperti hiperparatiroidisme, obstructive sleep
apnea, hipertiroidisme, beberapa obat juga bisa meningkatkan TD seperti obat
kortikosteroid, estrogen, NSAID, amfetamin, sibutramine, siklosporin, eritropoietin
dan venlaxafine. Hipertensi primer disebabkan oleh sejumlah faktor yang berperan,
yaitu faktor hormonal pada sistem renin-angiostensin-aldosteron (renin aldosterone
angiostensin system RAAS), sistem syaraf otonom, tahanan perifer, asupan garam
(NaCl), dan lain-lain.Tubuh memiliki sistem yang berfungsi mencegah perubahan
tekanan darah secara akut yang disebabkan oleh gangguan sirkulasi, yang berusaha
untuk mempertahankan kestabilan tekanan darah dalam jangka panjang reflek
kardiovaskular melalui sistem saraf termasuk sistem kontrol yang bereaksi

3
segera.Kestabilan tekanan darah jangka panjang dipertahankan oleh sistem yang
mengatur jumlah cairan tubuh yang melibatkan berbagai organ terutama ginjal.
Berikut hal-hal yang menyebabkan terjadinya hipertensi primer:
1) Perubahan anatomi dan fisiologi pembuluh darah
Aterosklerosis adalah kelainan pada pembuluh darah yang ditandai dengan
penebalan dan hilangnya elastisitas arteri. Aterosklerosis merupakan proses
multifaktorial. Terjadi inflamasi pada dinding pembuluh darah dan terbentuk
deposit.substansi lemak, kolesterol, produk sampah seluler, kalsium dan berbagai
substansi lainnya dalam lapisan pembuluh darah. Pertumbuhan ini disebut plak.
Pertumbuhan plak di bawah lapisan tunika intima akan memperkecil lumen pembuluh
darah, obstruksi luminal, kelainan aliran darah, pengurangan suplai oksigen pada
organ atau bagian tubuh tertentu.
Sel endotel pembuluh darah juga memiliki peran penting dalam pengontrolan
pembuluh darah jantung dengan cara memproduksi sejumlah vasoaktif lokal yaitu
molekul oksida nitrit dan peptida endotelium. Disfungsi endotelium banyak terjadi
pada kasus hipertensi primer.
2) Sistem renin-angiotensin
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari
angiotensin I oleh Angiotensin Converting Enzyme (ACE).Angiotensin II inilah yang
memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama.
a. Meningkatkan sekresi Anti-Diuretic Hormone (ADH) dan rasa haus. Dengan
meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh
(antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk
mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara
menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat,
yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah.
b. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal.
Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi
ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal.
Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara

4
meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan
meningkatkan volume dan tekanan darah.

3) Sistem saraf simpatis

Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak di


pusat vasomotor, pada medula di otak.Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf
simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medula
spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen.Rangsangan pusat vasomotor
dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui saraf simpatis ke
ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan
merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan
dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah.

2.1.3 Etiologi

Menurut Smeltzer dan Bare (2015) penyebab hipertensi dibagi menjadi 2,


yaitu:

a. Hipertensi Esensial atau Primer

Sekitar 95% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi esensial


(primer).Penyebab hipertensi esensial ini masih belum diketahui, tetapi factor genetik
dan lingkungan diyakini memegang peranan dalam menyebabkan hipertensi
esensial.Faktor genetik dapat menyebabkan kenaikan aktivitas dari sistem renin-
angiotensin-aldosteron dan sistem saraf simpatik serta sensitivitas garam terhadap
tekanan darah. Selain faktor genetik, faktor lingkungan yang mempengaruhi antara
lain yaitu konsumsi garam, obesitas dan gaya hidup yang tidak sehat serta konsumsi
alkohol dan merokok.

5
b. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang penyebabnya dapat diketahui, anatara
lain kelainan pembuluh darah ginjal, gangguan kelenjer tiroid (hipertiroid), penyakit
kelenjer adrenal (hiperaldosteronisme).
2.1.4 Tanda dan Gejala
Gejala-gejala hipertensi bervariasi pada masing-masing individu dan hampir sama
dengan gejala penyakit lainnya. Gejala-gejalanya adalah :

1. Sakit kepala
2. Nyeri dada
3. Mudah lelah
4. Palpitasi (jantung berdebar)
5. Hidung berdarah
6. Sering buang air kecil (terutama malam hari)
7. Tinnitus (telinga berdenging)
8. Dunia terasa berputar (vertigo)

Gejala-gejala tersebut berbahaya jika diabaikan, tetapi bukan merupakan tolak


ukur keparahan dari penyakit hipertensi (WHO, 2013).

2.1.5 Penatalaksanaan

a. Terapi Non Farmakologi

Terapi Non Farmakologi bagi penderita hipertensi dianjurkan untuk mengatur


pola hidup dengan memantau hal-hal yang terdapat pada tabel 2 berikut ini :

6
Tabel 2.Modifikasi gaya hidup untuk mengendalikan tekanan darah

Modifikasi Rekomendasi Penurunan tekanan darah


sistolik kurang lebih

Menurunkan berat badan Pelihara berat badan 5-20 mmHg untuk setiap
normal (BMI 18,5- penurunan 10 Kg BB
24,9)

Menjalankan menu DASH ( Konsumsi makanan 8-14 mmHg


dietary approaches to stop kaya buah, sayur, susu
hypertention) rendah lemak dan
rendah lemak jenuh

Mengurangi asupan Kurangi natrium 2-8 mmHg


garam/sodium sampai tidak lebih dari
2,4 d/hari atau NaCl 6
g/hari

Meningkatkan aktifitas fisik Berolahraga aerobik 4-9 mmHg


teratur seperti misalnya
berjalan kaki (30
menit/hari 4-5 hari
seminggu)

Kurangi konsumsi alkohol Batasi kondsumsi 2-4 mmHg


alkohol, jangan lebih
dari 2x/hari untuk pria
dan 1x/hari untuk
perempuan

Sumber : Campbell, N.dkk, 2012 Canadian Hypertension Education Program


Recomendations. Annual Updat.

b. Terapi Farmakologi

7
Sumber : Dipiro Pharmacotherapy Handbook, Edisi 9 tahun 2015

8
Sumber : Dipiro Pharmacotherapy Handbook, Edisi 9 tahun 2015

9
Obat hipertensi berdasarkan mekanisme kerjanya dapat dibagi menjadi beberapa
jenis, yaitu :

1. Diuretik

Diuretik tiazide biasanya merupakan obat pertama yang diberikan untuk


mengobati hipertensi.Mekanisme kerja obat golongan diuretik meningkatkan ekskresi
natrium, air, dan klorida sehingga menurunkan volume darah dan cairan
ekstraseluler.Akibat dari efek diuretik tersebut adalah penurunan curah jantung dan
tekanan darah.Golongan diuretik efektif sebagai obat lini pertama dan bisa
dikombinasikan dengan CCB, ACE-I dan ARB.

Contoh : Hidroklorotiazid 12,5-25 mg/hari, klorrtalidon 12,5-50 mg/hari.

Pada umumnya diuretik dibagi menjadi beberapa kelompok:

a. Diuretik kuat (Loop diuretic)

Mekanisme kerja diuretik kuat bekerja di ansa henle asenden bagian epitel tebal
dengan cara merintangi transport Cl-, menghambat reabsorpsi Na+, memperbanyak
pengeluaran K+ dan air. Efek samping diuretik kuat adalah menurunkan kalsium
darah.

Contoh : furosemid

b. Golongan Tiazid

Mekanisme kerja diuretik tiazid adalah mengeluarkan natrium dari ginjal.Tiazid


dapat digunakan sebagai obat tunggal pada hipertensi ringan sampai sedang, atau
dalam kombinasi dengan antihipertensi lain bila tekanan darah tidak berhasil
diturunkan dengan diuretik saja.

Contoh : hidroklorotiazid, indapamide.

10
c. Diuretik hemat kalium

Mekanisme kerja diuretik hemat kalium adalah menahan kalium yang


diperlukan oleh tubuh.

Contoh : sprinolakton, triamterene

2. Penyekat β adrenoreseptor (Beta blocker)

Beta blocker bekerja dengan menghambat secara kompetitif pengikatan


katekolamin ke reseptor adrenergik.Khasiat utamanya adalah anti-adrenergik dengan
jalan menempati secara bersaing reseptor β adrenergik.Blokade reseptor ini
mengakibatkan peniadaan atau penurunan kuat aktivitas adrenalin dan noradrenalin
(NA). Reseptor-β terdapat dalam dua jenis, yaitu (Tjay dan Rahardja, 2007 : 546) :

a. Penghambat beta selektif

Menghambat reseptor β-1 yang terdapat di jantung, Susunan Saraf Pusat, ginjal.
Blokade reseptor ini mengakibatkan pelemahan daya kontraksi (efek inotrop negatif),
penurunan frekuensi jantung (efek kronotrop negatif, bradikardi), perlambatan
penyaluran impuls di jantung (simpuls AV = atrioventrikuler).

Contoh : atenolol, betaxolol, bisoprolol

b. Penghambat beta nonselektif

Menghambat reseptor reseptor β-1 dan b-2 terdapat di bronchia, dinding


pembuluh darah, usus. Blokade reseptor ini menimbulkan penciutan bronchia dan
vasokonstriksi perifer agak ringan yang bersifat sementara (beberapa minggu),
mengganggu mekanisme homeostatis untuk memelihara kadar glukosa dalam darah
(efek hipoglikemia).

Contoh : carvedilol, timolol, propranolol

11
3. Penghambat angiotensin converting enzyme (Penghambat ACE)

Mekanisme kerja penghambat ACE menghambat perubahan angiotensin I


menjadi angiotensin II sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron.
Berkurangnya produksi angiotensin II oleh ACE inhibitor akan mengurangi sekresi
aldosteron di korteks adrenal yang mengakibatkan terjadi ekskresi air dan natrium,
sedangkan kalium mengalami retensi sehingga ada tendensi terjadinya hiperkalemia
terutama pada gangguan fungsi ginjal. Obat-obat golongan ini dapat digunakan
sebagai obat lini pertama atau dikombinasikan dengan diuretik atau CCB.

Contoh ACE-I: enalapril 2,5-40 mg/hari, lisinopril 5-40 mg/hari, irbesartan 150-
300 mg/hari, valsartan 80-32 mg/hari, telmisartan 40-80 mg/hari.

4. Penghambat adrenoseptor alfa (Alfa blocker)

Mekanisme kerja zat-zat ini memblok reseptor penghambat adrenoseptor alfa


yang terdapat di otot polos pembuluh, khususnya di pembuluh kulit dan mukosa.

Penghambat adrenoseptor alfa dibagi dalam 3 kelompok, yaitu (Tjay dan


Rahardja, 2007 : 545):

a. Penghambat adrenoseptor alfa tidak selektif: fentolamin yang hanya digunakan


intravena pada krisis hipertensi.

b. Penghambat adrenoseptor alfa-1 selektif: derivate quinazolin (prazosin,


terazosin, dan tamsulosin) serta uradipil yang digunakan sebagai obat hipertensi
dan pada hiperplasia prostat.

c. Penghambat adrenoseptor alfa-2 selektif: yohimbin yang digunakan sebagai


obat perangsang syahwat (aphrodisiacum).

5. Antagonis kalsium (CCB)

12
Mekanisme kerja antagonis kalsium adalah menghambat pemasukan ion
kalsium ekstrasel ke dalam sel vaskuler otot polos sehingga tegangan vaskuler
menurun dan terjadi vasodilatasi perifer (Goodman dan Gilman, 2008 : 865).

Contoh : nifedipine, amlodipine, nicardipine, verapamil, diltiazem.

6. Penghambat reseptor angiotensin II (Angiotensin II reseptor bloker, ARB)

Penghambat reseptor angiotensin II menduduki reseptor angiotensin II yang


terdapat di dalam tubuh, antara lain: miokard, dinding pembuluh, susunan saraf pusat,
ginjal, anak ginjal, dan hati. Efek-efek angiotensin II diblokir seperti peningkatan
tekanan darah dan ekskresi kalium, retensi natrium, dan air. Efek lain dari penekanan
aktivitas sistem renin angiotensin aldosteron adalah penurunan produksi aldosteron,
yang mengakibatkan bertambahnya ekskresi natrium dan air serta berkurangnya
ekskresi kalium. Kombinasi dari kedua jenis obat kini mulai digunakan untuk lebih
efektif menurunkan tekanan darah (efek aditif ringan).

Pemberian penghambat reseptor angiotensin II menurunkan tekanan darah tanpa


mempengaruhi frekuensi denyut jantung. Penghentian mendadak tidak menimbulkan
hipertensi rebound. Pemberian jangka panjang tidak mempengaruhi lipid dan glukosa
darah.

Contoh obat ini terdiri dari: losartan, valsartan, irbesartan, candesartan,


eprosartan, telmisartan dan olmesartan (Tjay dan Rahardja, 2007 : 560).

7. Obat yang bekerja pada sistem saraf pusat.

Mekanisme kerja agonis alfa-2 adrenergik menstimulasi reseptor alfa-2


adrenergik yang banyak sekali terdapat di susunan saraf pusat (otak dan
medulla).Akibat perangsangan ini terjadi penurunan aktivitas saraf adrenergik
perifer.Pelepasan noradrenalin menurun dengan efek menurunnya resistensi perifer
dan tekanan darah

13
Contoh : klonidin hidroklorida, metildopa

8. Vasodilator.

Mekanisme kerja vasodilator adalah dengan terjadinya vasodilatasi terhadap


arteri dan dengan demikian menurunkan tekanan darah tinggi.Vasodilator digunakan
sebagai obat hipertensi pilihan ketiga bersama dengan penyekat β adrenoreseptor dan
diuretik.

Contoh: hydralazine, minoxidil, sodium nitroprusside.

2.2 Corona Virus Disease 19 (Covid19)


2.2.1 Definisi
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit menular yang
disebabkan oleh Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARSCoV-
2).Virus dan penyakit ini belum diketahui sebelum adanya wabah yang muncul
pertama kali di Wuhan, Cina pada Desember 2019. Penyakit ini awalnya bernama
novel coronavirus (2019-nCov) kemudian WHO pada 11 Februari 2020
mengumumkan nama baru penyakit ini menjadi Coronavirus Desease (COVID-19)
(WHO, 2020).
2.2.2 Patogenesis

Coronavirus hanya bisa memperbanyak diri melalui sel host-nya.Virus tidak


bisa hidup lagi tanpa sel host. Selanjutnya menurut X. (Chen Li dkk, 2020) terjadi 5
tahapan pada patogenesis Coronavirus yaitu: Entri dan Replikasi Setelah Coronavirus
menemukan sel host yang sesuai, virus akan melakukan penempelan dipermukaan
virus, protein S penentu utama dalam menginfeksi spesies host-nya..Setelah virus
memasuki sel, genom RNA virus dilepaskan ke sitoplasma dan diterjemahkan
menjadi dua poliprotein dan struktural protein, setelah itu genom virus mulai
bereplikasi (Unhale dkk, 2020).

Bentuk baru dari glikoprotein lalu masuk kedalam membrane retikulum

14
endoplasmik.Akhirnya, vesikula yang mengandung partikel virus kemudian
bergabung dengan plasma membran untuk melepaskan virus (Li, X dkk, 2020).

Presentasi antigen

Saat virus memasuki sel, antigennya akan ditampilkan oleh sel Antigen
Presentation Cells (APC), yang akan diberi sinyal Major Histocompatibility Complex
(MHC) atau Human Leukosit Antigen (HLA). Selanjutnya antigen akan dikenali oleh
virus spesifik limfosit T cytotoxic (CTL). Presentasi antigen SARS-CoV tergantung
pada molekul MHC I dan MHC II.Selain itu, polimorfisme gen MBL (mannose-
binding lectin) juga terkait dengan presentasi antigen terkait dengan risiko infeksi
SARSCoV (Xu et al, 2020).

Imunitas Selular dan Humoral

APC merangsang imunitas humoral dan seluler tubuh, yang dimediasi oleh Sel
B dan T (Zhang dkk, 2020).Mirip dengan infeksi virus akut yang lainnya, profil
antibodi SARS-CoV memiliki pola IgM dan IgG yang khas.Antibodi IgM SARS
menghilang pada akhir minggu ke 12, sedangkan antibodi IgG bisa bertahan
lama.Bahkan sel T memori dapat bertahan selama empat tahun pada pasien SARS-
CoV yang sembuh.Jumlah sel CD4 dan CD8 dalam darah perifer pasien yang
terinfeksi SARS-CoV-2 juga berkurang secara signifikan (Li Zu dkk, 2020). Cytokine
Storm Pada COVID-19, ARDS merupakan penyebab utama kematian. Dari 41 pasien
yang terinfeksi SARS-CoV-2 yang dirawat di tahap awal wabah, enam meninggal
karena ARDS (Huang dkk, 2020).ARDS adalah kejadian imunopatologi umum untuk
SARS-CoV-2.Salah satu mekanisme utama untuk ARDS adalah badai sitokin, yang
merupakan respon inflamasi sistemik yang tidak terkontrol yang mematikan akibat
pelepasan sejumlah besar sitokin proinflamasi (IFN-a, IFN-g, IL-1b, IL-6, IL-12, IL-
18, IL-33, TNF-a, TGFb, dll.), kemokin (CCL2, CCL3, CCL5, CXCL8, dll.) dalam
serum (Li Zu dkk, 2020).Hal ini menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular
dan pengaktifan jalur koagulasi, sehingga saat inflamasi terjadi konsentrasi
antikoagulasi berkurang, terjadi perubahan fibrinogen menjadi fibrin. Ketidak

15
keseimbangan antara koagulasi dan antikoagulasi ini memicu terjadinya disseminated
intravascular coagulation (DIC) dan mikrotrombosis (Jose dkk, 2019). Cytokine
Storm hebat akan memicu serangan yang menyebabkan ARDS dan kegagalan banyak
organ dan akhirnya menyebabkan kematian pada kasus yang parah (Ye dkk, 2020).

Immune Evasion

Untuk dapat bertahan hidup di sel inang, SARS-CoV menggunakan berbagai


strategi untuk menghindari respon imun tubuh.Melalui Pathogen Associated
Molucular Patterns (PAMPs) SARS-CoV dapat berreplikasi untuk menghindari
deteksi inang.IFN-I (IFN-a dan IFN-b) juga memiliki efek perlindungan pada infeksi
SARS-CoV.Karena itu jalur IFN-1 perlu dihambat pada infeksi coronavirus.APC juga
dapat menjadi bagian dari strategi coronavirus. Misalnya dengan mengurangi ekspresi
gen sehingga mengurangi respon system imun tubuh. Oleh karena itu, immune
evasion dari SARSCoV-2 sangat penting dalam pengobatan dan pengembangan obat
spesifiknya23. Pada studi SARS-CoV Protein S berkaitan dengan reseptor di sel host
yaitu enzim ACE-2 (angiotensin-converting enzyme 2). ACE-2 dapat ditemukan pada
mukosa oral dan nasal, nasofaring, paru, lambung, usus halus, usus besar, kulit, timus,
sumsum tulang, limpa, hati, ginjal, otak, sel epitel alveolar paru, sel enterosit usus
halus, sel endotel arteri vena, dan sel otot polos. Setelah berhasil masuk selanjutnya
translasi replikasi gen dari RNA genom virus. Selanjutnya replikasi dan transkripsi
dimana sintesis virus RNA melalui translasi dan perakitan dari kompleks replikasi
virus (Fosbol dkk, 2020).Hasil residu pada SARS-CoV-2 berinteraksi dengan
mengikat ACE-2 pada manusia.Ini mendukung SARS-CoV2 untuk infeksi sel
manusia.Hal ini mengakibatkan transmisi manusia ke manusia (PDPI, 2020).

2.2.3 Faktor Resiko

Ditemukan adanya peningkatan risiko COVID-19 pada pasien dengan


penyakit komorbid seperti hipertensi dan diabetes melitus.Jenis kelamin laki-laki, dan

16
perokok aktif juga meningkatkan risiko COVID-19.Pada perokok, hipertensi, dan
diabetes melitus, diduga ada peningkatan ekspresi reseptor ACE2 (Fang dkk, 2020).

Beberapa faktor risiko lain yang ditetapkan oleh Centers for Disease Control
and Prevention (CDC) adalah kontak erat, termasuk tinggal satu rumah dengan pasien
COVID-19 dan riwayat perjalanan ke area terjangkit. Berada dalam satu lingkungan
namun tidak kontak dekat (dalam radius 2 meter) dianggap sebagai risiko
rendah.Kekurangan Vit D mungkin menjadi faktor penyebab COVID19 menjadi
parah. Respon imun yang lemah dari sistem kekebalan bawaan pada orang lanjut usia
dapat meningkatkan viral load. Kekurangan sel B memori menyebabkan aktivasi
berlebihan dari sistem kekebalan adaptif dengan menghasilkan sitokin inflamsi lebih
banyak atau yang dikenal dengan badai sitokin. Proses ini diperparah oleh rendahnya
tingkat Vit D. Vit D berperan dalam meningkatkan sistem kekebalan bawaan
sementara, pada saat yang sama, sebagian menekan imunitas adaptif (PDPI, 2020).

2.2.4 Gejala Klinis

1. Gejala klinis utama: demam, kelelahan, dan batuk kering.

2. Gejala yang lebih jarang: sakit kepala, hidung tersumbat, nyeri tenggorokan, batuk
berdahak, napas pendek, nyeri otot atau sendi, kedinginan, mual atau muntah, diare.

3. Gejala pada kasus parah: sesak napas atau hipoksemia, batuk berdarah, penurunan
sel darah putih [umumnya setelah 1 minggu].

4. Gejala pada kasus terburuk: acute respiratory distress syndrome, syok septik,
asidosis metabolik yang sulit dikoreksi, kelainan koagulasi dan pendarahan, gagal
ginjal dan organ vital lainnya.

2.2.5 Penatalaksanaan

Untuk gejala ringan:

17
1. Vitamin C dengan pilihan:

a. Tablet Vitamin C non acidic 500 mg/6-8 jam oral (untuk 14 hari)

b. Tablet isap vitamin C 500 mg/12 jam oral (selama 30 hari)

c. Multivitamin yang mengandung vitamin C 1-2 tablet /24 jam (selama 30


hari),

d. Dianjurkan vitamin yang komposisi mengandung vitamin C, B, E, zink

2. Vitamin D

a. Suplemen: 400 IU-1000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet, kapsul, tablet

effervescent, tablet kunyah, tablet hisap, kapsul lunak, serbuk, sirup)

b. Obat: 1000-5000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet 1000 IU dan tablet
kunyah 5000 IU)

3. Pengobatan simptomatis seperti parasetamol bila demam.


Obat-obatan suportif baik tradisional (Fitofarmaka) maupun Obat Modern Asli
Indonesia (OMAI) yang teregistrasi di BPOM dapat dipertimbangkan untuk diberikan
namun dengan tetap memperhatikan perkembangan kondisi klinis pasien.

Untuk gejala berat atau kritis :Terapi oksigen

Terapi oksigen diberikan pada pasien dengan SpO2 <93%. Ketentuan pemberian


oksigen pada penderita COVID-19 sebagai berikut:

 Gunakan nasal kanul atau non-rebreathing mask (NRM) dosis flow 15


L/menit, kemudian titrasi hingga dosis yang memberikan target SpO2 92–
96%
 Apabila pasien tidak mengalami perbaikan klinis dalam 1 jam atau terjadi
perburukan, berikan high flow nasal cannula (HFNC) dengan dosis inisiasi 30
L/menit dan FiO2 40% (fraction of inspired oxygen), target SpO2 92‒96%

18
 Apabila pasien masih memiliki frekuensi nafas cepat ≥ 35x/menit, saturasi
<92%, atau work of breathing masih meningkat (dispnea atau menggunakan
otot bantu nafas aktif), maka titrasi flow secara bertahap 5‒10 L/menit diikuti
dengan peningkatan fraksi oksigen
 Pasien pengguna HFNC dapat dikombinasi dengan awake prone
position selama 2 jam 2 kali sehari, untuk memperbaiki oksigenasi dan
mengurangi kemungkinan intubasi[5-7,34]

Pemantauan high flow nasal cannula (HFNC) dapat menggunakan indeks


ROX (respiratory rate – oxygenation) dengan penghitungan:

ROX index = (SpO2 / FiO2) / laju nafas

Apabila indeks ROX ≥4,88 pada jam ke-2, ke-6, dan ke-12, maka pasien
dikategorikan sebagai ventilasi aman dan tidak membutuhkan intubasi maupun
ventilasi invasif. Namun, apabila indeks ROX <3,85, maka pasien dikategorikan
risiko tinggi untuk dilakukan intubasi.

Noninvasive Ventilation (NIV)

Ventilasi noninvasive (noninvasive ventilation / NIV) merupakan terapi


oksigen alternatif dari HFNC.Umumnya HFNC lebih dipilih daripada NIV, karena
penggunaannya lebih nyaman dan lebih mudah ditoleransi. Ketentuan terapi oksigen
yang diinisiasi dengan NIV adalah:

 Gunakan mode BiPAP (bilevel positive airway pressure) yang terdiri dari


NIV dan PSV (pressure support ventilation), dengan tekanan inspirasi 12‒14
cmH2O, PEEP 6-12 cmH2O, dan FiO2 40-60%
 Tekanan inspirasi total yang dibutuhkan umumnya ≥20 cmH2O untuk
mencapai volume tidal 6‒8 mm/Kg
 Titrasi FiO2 dan PEEP (positive end-expiratory pressure) untuk
mempertahankan target SpO2 92‒96%.

19
 Kombinasi awake prone position dengan NIV dapat dilakukan selama 2 jam 2
kali sehari untuk memperbaiki oksigenasi dan mengurangi kemungkinan
intubasi.

Evaluasi penggunaan NIV setelah 1‒2 jam, dengan target sebagai berikut:

 Subjektif: perbaikan keluhan dispnea dan pasien menjadi tidak gelisah


 Fisiologis: laju pernapasan <30 kali/menit, work of breathing menurun, dan
hemodinamik menjadi stabil.
 Objektif: SpO2 92‒96%, pH >7,25, PaCO2 30–55 mmHg, PaO2>60 mmHg,
rasio PF ≥200, tidal volume 6‒8 ml/kgBB

Apabila pasien mengalami perburukan, seperti acute respiratory distress


syndrome (ARDS) berat, gagal organ ganda, dan syok, maka disarankan untuk
melakukan intubasi dan ventilasi mekanik invasif.

Intubasi dan Ventilasi Mekanik Invasif (Ventilator)


Intubasi endotrakeal dilakukan pada keadaan gagal napas
hipoksemia.Tindakan ini harus dilakukan oleh petugas terlatih dengan
menggunakan alat pelindung diri lengkap karena prosedur menimbulkan
memperhatikan aerosolisasi.  APD termasuk masker N95 atau FFP3, kaca mata,
penutup wajah, baju dan sepatu pelindung, serta  sarung tangan.
Ketentuan intubasi dan ventilasi pada pasien COVID-19 sebagai berikut:

 Preoksigenasi dengan FiO2 100% selama 5 menit diberikan dengan bag-valve


mask, kantong udara, high flow nasal oxygen, atau non-invasive ventilation
 Ventilasi mekanik dilakukan dengan volume tidal yang lebih rendah (4–8
mL/kgBB), tekanan inspirasi rendah (tekanan plateau <30 cmH 2O), driving
pressure <15 cmH2O, dan laju pernapasan 18‒25 kali/menit
 Pada pasien ARDS sedang-berat, dilakukan protokol higher PEEP yaitu
PEEP >10 cmH2O dengan pemantauan terjadinya barotrauma

20
 Pada pasien hipoksia refrakter, dilakukan posisi prone 12‒16 jam/hari
 Pemberian pelumpuh otot dapat ditambahkan jika terjadi disinkronisasi antara
pasien dan ventilator persisten, plateau pressure tinggi secara persisten, dan
ventilasi pada posisi prone yang membutuhkan sedasi lebih dalam.

Extra Corporeal Membrane Oxygenation (ECMO)


ECMO merupakan terapi suportif yang digunakan pada ARDS berat, yang
hanya terdapat di rumah sakit tipe A yang memiliki layanan dan sumber daya
tersendiri. ECMO digunakan sebagai terapi penyelamatan nyawa untuk pasien
COVID-19 dengan kriteria salah satu di bawah ini:

 PaO2/FiO2 <80 mmHg selama >6 jam


 PaO2/FiO2 <50 mmHg selama >3 jam
 pH <7,25 dengan PaCO2 >60 mmHg selama >6 jam

Beberapa kontraindikasi absolut dan relatif perlu menjadi pertimbangan terapi


ECMO, seperti ventilasi mekanik >10 hari, clinical frailty scale kategori ≥3, gagal
organ multipel berat, dan kontraindikasi pemakaian antikoagulan.

Vitamin
Pemberian vitamin yang dapat diberikan pada derajat berat atau kritis adalah
vitamin C, B, dan D. Dosis yang disarankan adalah:

 Vitamin C: dosis drip IV 200‒400 mg/8 jam dalam 100 mL NaCl 0,9%, yang
dihabiskan dalam waktu 1 jam
 Vitamin B1: dosis 1 ampul IV, setiap 24 jam
 Vitamin D suplemen: dosis 400 –1.000 IU/hari (sediaan tablet, kapsul,
tablet effervescent, tablet kunyah, tablet hisap, kapsul lunak, serbuk sirup),
atau obat dosis 1.000–5.000 IU/hari (sediaan tablet 1000 IU dan tablet kunyah
5000 IU)[34,44-46]

Antivirus

21
Pilihan jenis antivirus pada derajat berat atau kritis umumnya sama dengan
derajat sedang, yaitu favipiravir atau remdesivir. Dosis antivirus yang dapat diberikan
adalah:

 Favipiravir (sediaan 200 mg): dosis loading 600 mg/12 jam peroral pada hari
ke-1, dan selanjutnya 2 x 600 mg peroral pada hari ke-2 hingga ke-5
 Remdesivir: dosis 200 mg IV drip pada hari ke-1, dilanjutkan 1 x 100 mg IV
drip pada hari ke-2 hingga ke-5 atau hari ke-2 hingga ke-10

Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid pada COVID-19 dipercaya dapat menurunkan
mortalitas pada pasien dengan ventilasi mekanik invasif, karena memodulasi
inflamasi yang menyebabkan kerusakan paru dan menurunkan progresifitas gagal
nafas.Oleh karena itu, kortikosteroid hanya diberikan pada pasien gejala berat yang
mendapat terapi oksigen atau kasus berat dengan ventilator.
Anti Interleukin
Deksametason dengan dosis 6 mg/24 jam selama 10 hari diberikan pada kasus
berat yang mendapat terapi oksigen atau kasus berat dengan ventilator. Atau dapat
digunakan kortikosteroid lain yang setara, seperti metilprednisolon 32 mg, atau
hidrokortison 160 mg.
Interleukin-6 (IL-6)
merupakan sitokin yang berperan dalam regulasi respon imun, hematopoiesis,
dan inflamasi. Saat infeksi dan kerusakan jaringan terjadi, IL-6 akan terbentuk dan
berefek protektif melawan stress maupun trauma pada tubuh. Namun, peningkatan
produksi IL-6 yang terlalu tinggi dapat menyebabkan komplikasi fatal
seperti systemic inflammatory response syndrome (SIRS) dam gangguan imun
kronik.
Obat anti IL-6 dapat digunakan sebagai terapi target sitokin untuk mencegah
komplikasi. Terdapat dua jenis obat anti IL-6, yaitu tocilizumab dan sarilumab, tetapi 
yang sudah tersedia di Indonesia hanya tocilizumab.FDA sudah mengeluarkan izin

22
penggunaan darurat tocilizumab untuk pasien COVID-19 dewasa dan anak yang
berusia 2 tahun ke atas pada kriteria tertentu, yaitu pasien yang mendapatkan terapi
kortikosteroid sistemik dan membutuhkan suplementasi oksigen, ventilasi mekanik
noninvasif, ECMO. Tocilizumab tidak diizinkan untuk diberikan pada pasien
COVID-19 yang berobat jalan.

Ketentuan pemberian tocilizumab adalah:

 Dosis tunggal 8 mg/kgBB, dan dapat diberikan 1 kali lagi dosis tambahan
apabila gejala memburuk atau belum ada perbaikan
 Jarak pemberian dosis pertama dan kedua minimal 12 jam, dengan maksimal
pemberian 800 mg per dosis

Antikoagulan
Pemberian tromboprofilaksis diperlukan pada pasien derajat berat atau kritis
untuk mencegah komplikasi tromboemboli. Pada pasien derajat berat atau kritis,
terapi antikoagulan standar yang disarankan adalah:

 Enoxaparin: dosis 2 x 40 mg/hari subkutan, atau


 Unfractionated heparin (UFH): dosis 3 x 7.500 unit/hari subkutan
 Pada pasien dengan klirens kreatinin <30 mL/menit, dapat diberikan terapi
standar 3 x 7.500 unit sehari subkutan. Pemberian antikoagulan sangat
bergantung pada berat badan dan klirens kreatinin.

Terapi Simptomatik
Terapi simptomatik seperti antipiretik, analgetik, mukolitik, antitusif, dan
ekspektoran, diberikan pada pasien sesuai dengan tanda dan gejala pasien.
Terapi Komplikasi dan Komorbid
Pada pasien dengan keadaan syok sepsis, diberikan tata laksana sesuai
pedoman.Demikian pula pada pasien dengan komorbid, seperti hipertensi dan

23
diabetes mellitus, dapat diberikan terapi dan pemantauan sesuai penyakitnya.
Pada pasien dengan kecurigaan sepsis karena koinfeksi bakteri dapat diberikan
antibiotik dengan pilihan sesuai kondisi klinis, fokus infeksi, dan faktor risiko.
Pemeriksaan kultur darah dan sputum diperlukan untuk menentukan pilihan
antibiotik.

Penatalaksanaan Lain
Berdasarkan studi, beberapa agen dinyatakan tidak bermanfaat pada pasien
COVID-19 sehingga penggunaannya dihentikan, di antaranya klorokuin,
hidroksiklorokuin, lopinavir, ritonavir, nitazoxanide, umifenovir, camostat mesylate,
dan interferon.

2.3 Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)


2.3.1 Pengertian ARDS
ARDS merupakan perlukaan inflamasi paru yang bersifat akut dan difus, yang
mengakibatkan peningkatan permeabilitas vaskular paru, peningkatan tahanan paru,
dan hilangnya jaringan paru yang berisi udara (Peter JV dkk, 2018)
2.3.2 Etilogi ARDS
Sepsis merupakan faktor risiko yang paling tinggi, mikroorganisme dan
produknya (terutama endotoksin) bersifat sangat toksik terhadap parenkim paru dan
merupakan faktor risiko terbesar kejadian ARDS, insiden sepsis menyebabkan ARDS
berkisar antara 30-50%.Aspirasi cairan lambung menduduki tempat kedua sebagai
faktor risiko ARDS (30%). Aspirasi cairan lambung dengan PH < 2,5 akan
menyebabakan penderita mengalami kerusakan berat pada epitel alveolar ((Peter JV
dkk, 2018).

24
Tabel 3. Faktor Resiko ADRS

2.3.3 Patofisiologi ADRS


Kerusakan karena inflamasi terjadi di alveoli dan endotel kapiler paru karena
produksi mediator proinflamasi lokal atau yang terdistribusi melalui arteri
pulmonal.Hal ini menyebabkan hilangnya integritas barier alveolar-kapiler sehingga
terjadi transudasi cairan edema yang kaya protein.Sel tipe I (menyusun 90% epitel
alveolar) merupakan jenis sel yang paling mudah rusak, menyebabkan masuknya
cairan ke dalam alveoli dan penurunan pembersihan cairan dari rongga
alveolus.Sedangkan sel tipe II tidak mudah rusak namun memiliki peran multipel
seperti produksi surfaktan, transpor ion, dan proliferasi dan diferensiasi menjadi sel
tipe I setelah trauma.Kerusakan pada kedua sel ini menyebabkan penurunan produksi
surfaktan dan penurunan komplians. Disfungsi selular dan kerusakan yang terjadi
berdampak pada terjadi Perburukan V/Q matching dengan shunting yang dapat dilihat
dari hipoksia arterial dan gradien A-a yang sangat besar, hipertensi pulmonal,

25
penurunan komplians paru (stiff lungs) dan hiperinflasi alveoli yang tersisa, serta
gangguan pada proses normal perbaikan paru yang berkembang menjadi fibrosis paru
pada stadium lanjut ((Peter JV dkk, 2018).

Gambar 2. Keadaan alveoli normal dan alveoli yang mengalami kerusakan saat
fase pada ARDS.

2.3.4 Gejala dan Tanda ARDS


Gejala yang dikeluhkan berupa sesak napas, membutuhkan usaha lebih untuk
menarik napas, dan hipoksemia.Infiltrat bilateral pada foto polos toraks
menggambarkan edema pulmonal. Multiple organ dysfunction syndrome(MODS)
dapat terjadi karena abnormalitas biokimia sistemik. Adult respiratory distress
syndrome terjadi dalam hitungan jam-hari setelah onset kondisi predisposisi.Batasan
waktu ARDS ini adalah satu minggu dari munculnya onset baru atau dari
memburuknya suatu gejala pernafasan ((Peter JV dkk, 2018).

26
2.3.5 Klasifikasi ARDS

Kriteria Berlin mengklasifikasikan ARDS menjadi tiga kelompok berdasarkan


nilai PaO2/FiO2.Tidak ada istilah Acute Lung Injury (ALI) dalam kriteriaini. Berikut
merupakan definisi ARDS berdasarkan kriteria Berlin:

a. Ringan (mild), yaitu PaO2/FiO2 lebih dari 200mmHg, tetapi kurang dari dan
sama dengan 300mmHg dengan positive-end expiratory pressure(PEEP) atau
continuous positive airway pressure(CPAP) ≥5 cmH2O.
b. Sedang, yaitu PaO2/FiO2 lebih dari 100 mmHg,tetapi kurang dari dan sama
dengan 200 mmHgdengan PEEP ≥5 cmH2O.
c. Berat, yaitu jika PaO2/FiO2 ≤100 mmHg dengan PEEP ≥5 cmH2O.
2.3.6 Terapi ADRS

Banyak uji klinis yang mengevaluasi terapi steroid pada ARDS, dan tidak
menunjukkan manfaat kelangsungan hidup yang konsisten.Bukti manfaat lainnya
yaitu pengurangan penanda peradangan (paru dan sistemik), peningkatan pertukaran
gas, kebutuhan ventilasi mekanik yang lebih pendek, Terapi steroid saat ini
direkomendasikan hanya dalam awal dari kasus ARDS berat dan ARDS yang tidak
terselesaikan. Pada awal ARDS berat (PaO2 /FiO2 brinoproliferasi) yang dimulai 7–14
hari setelah onset penyakit, akan menghasilkan fibrosis pulmonal ireversibel. Terapi
steroid dosis tinggi dapat dimulai pada fase fibrinoproliferasi yang sedang

27
berkembang dan dinilai dapat membantu menghentikan perkembangan ke fibrosis
pulmonal. Pada kasus di mana ARDS tidak mulai membaik setelah 7 hari, terapi
steroid dosis tinggi dianjurkan, tetapi harus dimulai tidak lebih dari 14 hari setelah
timbulnya penyakit. Rekomendasi dosis steroid yang diberikan adalah
metilprednisolon, dimulai dengan loading dose intravena 2 mg/kg (berat badan ideal)
selama 30 menit, kemudian dilanjutkan infus 2 mg/kg/ hari selama 14 hari, dan 1
mg/kg/hari selama 7 hari berikutnya. Dosis dikurangi bertahap dan dihentikan 2
minggu setelah ekstubasi.Lima hari setelah pasien mampu menelan obat oral, dosis
dapat diberikan peroral (sebagai prednison atau prednisolon) dengan dosis tunggal
(harian) (Marino Plea dkk, 2014).

2.4 Bronkopneumonia
2.4.1 Definisi
Pneumonia merupakan peradangan pada paru-paru yang disebabkan oleh
infeksi bakteri, virus, jamur, dan aspirasi benda asing.Pada umumnya, pneumonia
dikelompokkan berdasarkan anatomis dan etiologinya.Klasifikasi pneumonia menurut
anatominya yaitu pneumonia lobaris, pneumonia lobularis (bronkopneumonia),
pneumonia interstitialis (bronkiolitis).Sedangkan pneumonia menurut etiologinya
yaitu pneumonia karena bakteri, jamur, Mycoplasma pneumoniae, aspirasi benda
asing (kerosen amonium), pneumonia hipostatik, dan sindrom Loeffler.Pneumonia
adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus respiratorius,
dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran
gas setempat (Dahlan, 2014).
Bronchopneumonia merupakan jenis infeksi paru yang disebabkan oleh agen
infeksius dan terdapat di daerah bronkus dan sekitar alveoli (Amin, 2013).
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa bronchopneumonia adalah
suatu peradangan pada parenkim paru atau alveoli yang disebabkan oleh virus,bakteri,
jamur dan benda asing lainnya yang mengakibatkan tersumbatnya alveolus dan
bronkeolus oleh eksudat.

28
2.4.2. Etiologi
Penyebab terjadinya Bronkopneumonia disebabkan oleh bakteri seperti
diplococus pneumonia, pneumococcus, streptococcus, hemoliticus aureus,
haemophilus influenza, basilus friendlander (klebsial pneumoni), mycobacterium
tuberculosis, disebabkan oleh virus seperti respiratory syntical virus, virus influenza
dan virus sitomegalik, dan disebabkan oleh jamur seperti citoplasma capsulatum,
criptococcus nepromas, blastomices dermatides, aspergillus Sp, candinda albicans,
mycoplasma pneumonia dan aspirasi benda asing (Wijayaningsih, 2013)

Sebagian besar kasus pneumonia didapat di masyarakat disebabkan oleh S.


pneumoniae (pneumococcus) (hingga 75%) atau M. pneumonia (10-20%). Penyebab
lain: Legionella, dan C. pneumoniae dan gram negatif terutama yang tinggal di panti,
dan yang berkaitan dengan alkoholisme. Pneumonia yang diperoleh di RS: basil G
dan S. aureus. Aspirasi isi lambung atau orofaringeal: anaerob. Pediatri: virus
terutama virus sinsitial, parainfluesa, dan adenovirus serta bakteri pneumococcus
(Wijayaningsih, 2013).

2.4.3 Patofisiologi

Perjalanan penyakit bronchopneumonia dimulai dari terhisapnya bakteri,


virus, jamur, dan aspirasi benda asing kedalam paru perifer melalui saluran
pernapasan atas menyebabkan reaksi jaringan berupa edema, yang mempermudah
proliferasi dan penyebaran kuman.Bagian paru yang terkena mengalami konsolidasi,
yaitu terjadinya serbukan sel PMN (polimorfonuklear), fibrin, eritrosit, cairan edema,
dan kuman di alveoli Terjadi pada stadium kedua, yang berakhir setelah beberapa
hari.Ditemukan akumulasi yang masif dalam ruang alveolar, bersama-sama dengan
limfosit dan magkrofag.Banyak sel darah merah juga dikeluarkan dari kapiler yang
meregang. Pleura yang menutupi diselimuti eksudat fibrinosa, paru-paru tampak
berwarna kemerahan, padat tanpa mengandung udara, disertai konsistensi mirip hati
yang masih segar dan bergranula (Dahlan, 2014). Proses ini termasuk dalam stadium
hepatisasi merah. Sedangkan stadium hepatisasi kelabu adalah kelanjutan proses

29
infeksi berupa deposisi fibrin ke permukaan pleura. Ditemukan pula fibrin dan
leukosit PMN di alveoli dan proses fagositosis yang cepat. Dilanjutkan stadium
resolusi, dengan peningkatan jumlah sel makrofag di alveoli, degenerasi sel dan
menipisnya fibrin serta menghilangnya kuman dan debris (Mansjoer, 2018)

30
2.4.3 Manifestasi Klinik
Bronchopneumonia biasanya didahului oleh infeksi traktus respiratoris bagian
atas selama beberapa hari.Suhu tubuh dapat naik sangat mendadak sampai 39-40°C
dan kadang disertai kejang karena demam yang tinggi dan penurunan nafsu
makan.Bronchopneumonia biasanya didahului oleh suatu infeksi di saluran
pernapasanbagian atas selama beberapa hari.Pada tahap awal, penederita
bronchopneumonia mengalami tanda dan gejala yang khas seperti menggigil, demam,
nyeri dada, pleuritis, batuk produktif, hidung kemerahan, saat bernafas menggunakan
otot aksesoris dan bisa timbul sianosis. Terdengar adanya crackles diatas paru yang
sakit dan terdengar ketika konsolidasi (pengisian rongga udara oleh eksudat.)
(Amin ,2013)

Manifestasi Klinis Bronkopneumonia Menurut Ringel, 2012 tanda-gejala dari


Bronkopneumonia yaitu :
a. Gejala penyakit datang mendadak namun kadang-kadang didahului oleh
infeksi saluran pernapasan atas.
b. Pertukaran udara di paru-paru tidak lancar dimana pernapasan agak cepat dan
dangkal sampai terdapat pernapasan cuping hidung.
c. Adanya bunyi napas tambahan pernafasan seperti ronchi dan wheezing.
d. Dalam waktu singkat suhu naik dengan cepat sehingga kadang-kadang terjadi
kejang.
e. Anak merasa nyeri atau sakit di daerah dada sewaktu batuk dan bernapas.
f. Batuk disertai sputum yang kental.
g. Nafsu makan menurun.

31
2.4.4 Penatalaksanaan
Menurut Mansjoer 2018, penatalaksanaan medis bronkopneumonia adalah:

1. Oksigen 1-2 liter

2. IVFD dextrose 10%; NaCl 0,9%=3:1, +KClL 10mEq/500ml cairan.

3. Jika sesak tidak terlalu hebat, dapat dimulai makanan enteral bertahap melalui
selang nasogastrik dengan feading drip.

4. Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan salin normal dan
beta agonis untuk memperbaiki transfor mukosilier. Koreksi gangguan
keseimbangan asam basa dan elektrolit.

5. Antibiotik sesuai dengan hasil biakan atau berikan:


a. Untuk kasus bronkopneumonia community base:
- Ampicilin 100mg/kgBB/hari dalam 4 hari pemberian.
- Chloramfenikol 75 mg/kgBB/hari dalam 4 kali pemberian.
b. Untuk kasus bronkopneumonia hospital base:
- Cefotaxim 100mg/kgBB/Hari dalam 2 kali pemberian.
- Amikasin 10-15mg/kgBB/Hari dalam 2 kali pemberian
Untuk pasien dengan DM, gagal ginjal, gagal jantung, diberikan Sefalosporin
Penilaian pasien pneumonia yaitu mengevaluasi kecukupan fungsi pernapasan dan
untuk menentukan adanya tanda-tanda penyakit sistemik, khususnya dehidrasi,
ataupun sepsis kolaps. Kemudian diberikan terapi suportif yaitu terapi oksigen untuk
hipoksemia, pemberian bronkodilator (albuterol) saat bronkospasme dan fisioterapi
dada.Tambahan terapi yang penting adalah hidrasi yang adekuat (melalui intravena
jika diperlukan), nutrisi optimal dan pengendalian demam.Rehidrasi harus disediakan
untuk hal yang kemungkinan terjadi akibat demam, asupan yang tidak optimal dan
muntah.Pemilihan antibiotik pada awalnya melibatkan penggunaan empiris antibiotik
spektrum luas (atau antibiotik) yang efektif terhadap kemungkinan patogen sebelum
diperoleh hasil evaluasi laboratorium. Kemudian terapi harus dipersempit untuk

32
patogen tertentu setelah hasil kultur diketahui (Dipiro, 2015).

Sumber : Dipiro Pharmacotherapy Handbook Edisi 9 tahun 2015

33
Sumber : Dipiro Pharmacotherapy Handbook Edisi 9 tahun 2015

34
Sumber : Dipiro Pharmacotherapy Handbook Edisi 9 tahun 2015

35
36
Sumber : Dipiro Pharmacotherapy Handbook Edisi 10 tahun 2017

37
BAB III. Tinjauan Kasus

3.1 Identitas Pasien

Data Umum
No. MR : 218 XXX
Nama Pasien : Ny. H
Agama : Islam
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 62 tahun
Ruangan : Interne wanita
Diagnosa : Covid 19 + Acute Respiratory Distress
(ARDS) + Hipertensi + Bronkopenumonia
Mulai Perawatan : 31 Agustus 2021
Dokter Yang Merawat : dr. Y, Sp. PD

3.2 Riwayat Penyakit

3.2.1 Keluhan Utama

 Sesak selama 2 hari sebelum masuk rumah sakit

3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang

 Batuk dan sasak nafas

3.2.3 Riwayat Penyakit Terdahulu

 Hipertensi

3.2.4 Riwayat pengobatan

 Tidak ada

3.2.4 Riwayat Alergi

38
 Tidak ada

3.2.5. Data Pemeriksaan Fisik dan laboratorium

Interne
Data Klinik Normal
31/8/21
TD (mmHg) 120/80 130/90

Suhu (°C) 36.5 – 37.5 37

Nadi (x/menit) <110/mnt 96

Nafas( x/menit) 12 – 16/mnt 29

SPO2 (%) 95-100 % 95%

- Mata : Konjugtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)


- Paru : Vesikuler, Ronchi (+/+), Wheezing (-/-)
- Jantung : 1 dan 2 normal, murmur tidak ada,, gallop tidak ada
- Abdomen : Supel (normal), Nodul (ada) , Bising usus terdengar,
Hepar teraba
- Extremitas : Akral hangat, CRT , 2 detik ( normal), Sianosis (+)

Tanggal

Isolasi
Data 23/8/21 24/8/21 25/8/21 29/8/21 30/8/21
Normal
Klinik 22/8/21

TD 120/80 190/78 190/91 - 170/78 190/11 190/100

39
(mmHg) 0

Suhu (°C) 36.5 – 37.5 37 36,5 37 36,5 37,5 37,5

Nadi 105
<110/mnt 96 99 - 93 105
(x/menit)

Nafas 12 – 30
29 32 31 32 30
( x/menit) 16/mnt

Tanggal

Data Klinik Normal Interne31/8/2 1/9/21 2/9/21

TD (mmHg) 120/80 95/57 98/49 213/84

Suhu (°C) 36.5 – 37.5 36 36,5 -

Nadi (x/menit) <110/mnt 109 120 -

Nafas( x/menit) 12 – 16/mnt 22 20 -

40
HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM TANGGAL 31-08-2021

PEMERIKSAAN HASIL SATUAN RUJUKAN

Hemoglobin 14,7 g/dL 12,0-16,0

Eritrosit 4,83 106/mm3 4,0-5,0

Hematocrit 43,4 % 36-48

MCV 89,9 fL 84-96

MCH 30,4 Pg/cell 28-34

MCCH 33,9 g/dL 32-36

42
RDW-CV 14,8 % 11,5-14,5

Leukosit 11,6 103/mm3 5,0-10,0

Trombosit 277 103/mm3 140-400

Pasien PT 11,90 Detik 10-12,7

Pasien APTT 19,10 Detik 23-34,7

HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM TANGGAL 01-09-2021

43
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN RUJUKAN

D-dimer 6,78 µg/mL <0,5

HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM TANGGAL 02-09-2021

PEMERIKSAAN HASIL SATUAN RUJUKAN

Hemoglobin 15,7 g/dL 12,0-16,0

Eritrosit 4,97 106/mm3 4,0-5,0

Hematocrit 45,2 % 36-48

44
MCV 90,9 fL 84-96

MCH 31,6 Pg/cell 28-34

MCCH 34,7 g/dL 32-36

RDW-CV 14,8 % 11,5-14,5

Leukosit 22,8 103/mm3 5,0-10,0

Trombosit 229 103/mm3 140-400

3.2.6 ANALISA FARMAKOLOGI

45
Terapi Farmakologi

NO NAMA OBAT DOSIS ATURAN PAKAI RUTE TANGGAL PEMBERIAN OBAT (AGUST-
PEMBERIAN SEPT 2021)

31 01 02 03 04

1 Infus RL 500 mL 12 Jam/kolf iv √ × × ×

2 Infus NaCl 0,9%/500 mL 12 Jam/kolf iv √ √ √ √

3 Ranitidine Inj 25 mg/mL (2 2x1 ampul iv √ √ √ √


mL)

4 Dexamethasone Inj 5 mg/mL 1x1 vial iv √ √ √ √

5 Omeprazole Inj 8 jam/kolf iv √ √ √ √

6 Ceftazidime Inj 1 gram/mL 1x1 vial iv √ √ √ √

7 Paracetamol 500 mg 3x1 tablet po √ √ √ √

8 N-Acetylcysteine 200 mg 3x1 kaps po √ √ √ √

9 Zinc po √ × × ×

10 Amlodipine 10 mg 1x1 tablet po √ √ × √

46
11 Candesartan 8 mg 1x1 tablet po √ √ × √

12 Nitrogliserin 2,5 mg 2x1 kapsul po × × √ √


(Nitrokaf)

NO NAMA OBAT DOSIS YANG DIBERIKAN DOSIS MENURUT KOMENTAR


LITERATUR
(MEDSCAPE)

1 Infus RL 500 mL (12 jam/kolf) 500 mL Sesuai

2 Infus NaCl 500 mL (12 jam/kolf) 500 mL Sesuai

3 Ranitidine Inj 25 mg/mL (2 mL) 25 mg/mL Sesuai

47
4 Dexamethasone Inj 5 mg/mL 5 mg/mL Sesuai

5 Omeprazole Inj 40 mg/10 mL 40 mg/mL Sesuai

6 Ceftazidime Inj 1 gram 500 mg – 1000 mg (8 Sesuai


jam/kolf)

7 Paracetamol 500 mg 500 mg – 4000 mg Sesuai

8 N-Acetylcysteine 200 mg 200 mg – 600 mg Sesuai

9 Zinc 15 mg 15 mg, 30 mg, 50 mg, 100 Sesuai


mg

10 Amlodipine 10 mg 2,5 mg, 5 mg, 10 mg Sesuai

11 Candesartan 8 mg 4 mg, 8 mg,16 mg, 32 mg Sesuai

12 Nitrogliserin (Nitrokaf) 2,5 mg 2,5 mg, 6,5 mg, 9 mg Sesuai

48
No Obat Indikasi Kontra indikasi Precaution Efek samping

1 Ringer laktat (RL) Terapi cairan Hipernatremia, kelainan - Sensasi panas, infeksi
elektrolit ginjal, kerusakan sel pada tempat
hati, laktat asidosis.
penyuntikan, trombosis
vena atau flebitis yang
meluas dari tempat
penyuntikan,
ekstravasasi, urtikaria
dan pruritus.

2 Ranitidine injeksi Tukak lambung, Penderita yang Gangguan ginjal, - Susunan saraf
tukak duodenum, hipersensitif terhadap gangguan hati, pusat : sakit
refluks esofagitis, ranitidine atau H2 kehamilan, menyusui kepala, jarang
hipersekresi reseptor antagonis terjadi :
malainase,
patologi. lainnya
pusing,
mengantuk,
insomnia,
vertigo, agitasi,
epresi, halusinasi
- Kardiovaskular,
jarang dilaporkan
: aritmia seperti

50
takikardia,bradik
ardia,dll
- Gastrointestinal :
konstipasi, diare,
mual, muntah,
nyeri perut.
Jarang dilaporkan
: pancreatitis
- Rekasi
hipersensitivitas

3 Dexametason Inflamasi dan alergi, KI relatife : diabetes Pada penggunaan Efek samping yang
injeksi syok, diagnosis mellitus , tukak glukokortikoid timbul karena
sindrom cushing, peptic/duodenum, kadang-kadang terjadi penggunaan terus
hyperplasia adrenal infeksi berat, hipertensi, masking effect, menerus dengan dosis
congenital, edema atau gangguan sistem sehingga dari luar besar dan penghentian
serebral. kardiovaskular lainnya. penyakit tampaknya obat secara mendadak
sembuh namun infeksi dapat menyebabkan
Intranasal : alergi didalam masih terus infusiensi adrenal akut
atau inflamasi nasal berlangsung dengan gejala demam,
dan polip. mialgia, atralgia, an
Inhalasi oral : malaise. Gangguan yang
pengontrol asma mungkin muncul karena
bronchial persisten penggunaan lama yaitu
gangguan cairan dan
Dapat digunakan elektrolit , hiperglikemia,

51
untuk menangani glikosuria, mudah
edema serebral & terinfeksi, miopati,
syok septic psikosis,
hiperkoagulabilitas darah
(memudahkan
thrombosis
intravascular).

4 Omeprazole injeksi Tukak lambung, Penderita yang Pasien dengan Urtikaria, mual dan
tukak duodenum, hipersensitiv terhadap penyakit hati, muntah. Konstipasi,
GERD, hipersekresi omeprazol kehamilan, menyusui. kembung, nyeri
patologis abdomen, lesu,
paraestasia, nyeri otot
dan sendi, panangan
kabur, edema perifer,
perubahan hematologic
dan mulut kering

5 Ceftazidime injeksi Infeksi yang Hipersensitife terhadap -pada penderita yang Efek samping local
disebabkan oleh cephalosporin hipersensitif terhadap (flebitis atau
pathogen yang penisilin kemungkinan tromboflebitis pada
sensitive terhadap terjadi reaksi alergi pemberian IV, nyeri atau
ceftazidime pada silang bila diberikan inflamsi setelah injeksi,
penyakit infeksi ceftazidime reaksi hipersensitifitas,
saluran pernafasan gangguan saluran cerna,
bawah, infeksi kulit - sebelum memulai gangguan saluran kemih,
dan jaringan lunak, pengobatan sebaiknya dan kelamin, kenaikan

52
ISK, infeksi organ dilakukan tes reaksi kadar urea dalam darah,
genitalia, infeksi hipersensitifitas kenaikan kadar kreatinin
saraf pusat termasuk serum, perpanjangan
meningitis -hati-hati pada waktu protrombin, SSJ,
penderita dengan nefropatik toksik,
riwayat colitis gangguan fungsi hati.
- hati-hati pemberian
pada ibu menyusui

- pada penderita
dengan gangguan
fungsi ginjal, dosis
harus dikurangi sesuai
dengan tingkat
keparahannya

6 Parasetamol Nyeri ringan sampai Hipersensitif, Gangguan fungsi hati, Reaksi alergi, ruam kulit
sedang, demam gangguan hati. ginjal, ketergantungan berupa eritema atau
Alkohol. urtikaria, kelainan
darah,hipotensi,
kerusakan hati.

7 Acetil sistein 1. Penggunaan Untuk kegunaan lain Ensefalopati Karena Pada penggunaan
mukolitik: (termasuk pemberian IV Gagal Hati: sistemik menimbulkan
sebagai penangkal), reaksi hipersensitivitas
Pengobatan hipersensitivitas Jika ensefalopati seperti urtikaria dan
terhadap asetilsistein bronkopasme (jarang

53
tambahan untuk atau bahan apa pun akibat gagal hati terjadi), psoriasis, mual,
pasien dengan dalam formulasi. terjadi selama terapi muntah, diare, stomatitis,
pusing, tinitus
sekresi lendir yang asetilsistein oral,
abnormal, kental, hentikan obat untuk
atau kental yang menghindari
terkait dengan pemberian zat
kondisi seperti nitrogen lebih lanjut.
gangguan
bronkopulmonalis
akut dan kronis
(misalnya,
pneumonia,
bronkitis, emfisema,
trakeobronkitis,
bronkitis asma
kronis, tuberkulosis

2. Mengobati
keracunan
paracetamol.

8 Zink Untuk mengatasi - Jangan menggunakan -

54
diare akut dan zinc melebihi dosis
meningkatkan atau durasi yang
sistem kekebalan disarankan dokter
tubuh

9 Amlodipine Hipertensi, Hipersensitif terhadap Gangguan fungsi hati, Edema pretibial,


profilaksis angina CCB dihidropiridin, hamil, laktasi gangguan tidur, sakit
syok kardiogenik, kepala, letih, hipotensi,
angina pectoris tidak tremor, aritmia,
stabil, stenosis aorta takikardia, mual, nyeri
yang signifikan perut, ruam kulit, wajah
memerah

10 Candesartan hipertensi Kehamilan, menyusui, - Hipotensi, hiperkalemia,


stenosis arteri renalis pusing, sakit kepala,
bilateral atau stenosis diare, penurunan Hb,
pada satu-satunya ginjal ruam
yang masih berfungsi

11 Nitrokaf Profilaksis dan Hipersensitivitas Gangguan fungsi hati Sakit kepala berdenyut,
pengobatan angina terhadap nitrat, atau ginjal berat, muka merah, pusing,
hipotensi/hipovolemia, hipotiroidisme, hipotensi postural,
kardiomipati obstruktif malnutrisis, takikardia, pasca injeksi
hipertrofik, stenosis hipotermia, infark (jika diberikan terlalu
aorta, tamponade miokard yang masih cepat) meliputi hipotensi
jantung, perikarditis baru, toleransi berat, mual dan muntah,
konstruktif, anemia keutan otot,palpitasi,

55
berat, trauma kepala, nyeri perut, dll.
perdarahan otak,
glaucoma sudut sempit,
pemberian bersama
sildenafil

56
2.2.7 KAJIAN KESESUAIAN INDIKASI

No Jenis Obat Indikasi Obat Komentar dan alasan


1 Parasetamol Bekerja pada pusat pengatur suhu Pemberian tepat, karena pasien mengalami
dihipotalamus untuk menurunkan suhu demam dan juga mengalami infeksi yang
tubuh. Bekerja menghambat sintesis juga menyebabkan peningkatan suhu
prostaglandin sehingga dapat mengurangi tubuh.
nyeri ringan-sedang dan demam
2 Acetyl sistein Sebagai antidote paracetamol dan sebagai Pemberian tepat, karena acetylcystein
mukolitik, terapi hipersekresi mucus diberikan untuk melindungi hati dari
kental dan tebal pada saluran pernafasan pemakaian paracetamol dan juga sebagai
mukolitik sehingga akan mengurangi
sesak nafas pada pasien

3 Zink Terapi penunjang/suplemen untuk diare Pemberian obat tepat, karena pasien
akut non spesifik. Zinc juga mengalami penurunan sistem kekebalan
meningkatkan sistem kekebalan tubuh tubuh yang diakibatkan oleh infeksi, dan
sehingga dapat mencegah resiko juga keadaan pasien baru negative covid-
terulangnya infeksi. 19 sehingga diperlukan zink untuk tetap
menjaga imunitas tubuh.
4 Amlodipine Hipertensi, profilaksis angina Pemberian obat tepat, karena pasien

57
No Jenis Obat Indikasi Obat Komentar dan alasan
memiliki riwayat penyakit hipertensi. Obat
hipertensi golongan CCB (dihiropiridin)
sangat cocok untuk pasien usia lanjut.
5 Candesartan Hipertensi, sehingga menyebabkan Pemberian obat tepat, karena jika diberi
vasodilatasi, peningkatan eksresi Na dan obat antihipertensi golongan ACE-I akan
cairan . ARB memiliki efek yang mirip memperparah batuk pada pasiensehingga
dengan ACE-Inhibitor. Perbedaannya pasien akan mengalami sesak nafas,
adalah ARB tidak mempengaruhi karena efek samping dari ACE-I adalah
metabolism bradikinin sehingga ARB batuk kering.
dilaporkan tidak memiliki efek samping
batuk kering dan angiodema seperti yang
sering terjadi dengan ACE-I.
6 Injeksi ranitidin Antagonis reseptor H2 bekerja dengan Pemberian obat injeksi ranitidine belum
memblok reseptor histamine pada sel bisa dipastikan untuk mengatasi indikasi
parietal sehingga sel parietal tidak dapat apa, karena dari hasil anamnesa pasien
dirangsang untuk mengeluarkan asam tidak ada disebutkan pasien ada riwayat
lambung. penyakit lambung. Dan juga diduga pasien
diberikan injeksi ranitidine untuk
mengatasi efek samping dari penggunaan

58
No Jenis Obat Indikasi Obat Komentar dan alasan
injeksi dexametason yaitu yang mana
salah satu efek samping dari dexametason
yaitu menyebabkan iritasi lambung.
7 Injeksi deksametason Udema Pemberian obat tepat, karena pasien
mengalami infeksi/radang karena
bronkopneumonia. Tetapi dexametason
kontra indikasi terhadap obat hipertensi.
8 Injeksi omeprazole Untuk tukak lambung, tukak duodenum, Pemberian obat injeksi omeprazol belum
GERD dan untuk mengurangi aspirasi bisa dipastikan untuk mengatasi indikasi
cairan lambung apa, karena dari hasil anamnesa pasien
tidak ada disebutkan pasien ada riwayat
penyakit lambung. Dan juga diduga pasien
diberikan injeksi omeprazol untuk
mengatasi efek samping dari penggunaan
injeksi dexametason yaitu yang mana
salah satu efek samping dari dexametason
yaitu menyebabkan iritasi lambung.
9 Injeksi ceftazidime Infeksi yang disebabkan oleh pathogen Terapi tepat, karena pasien merasakan
yang sensitive terhadap ceftazidime pada nyeri ketika batuk hingga perlu diberikan

59
No Jenis Obat Indikasi Obat Komentar dan alasan
penyakit infeksi saluran pernafasan codein untuk menekan batuk.
bawah, infeksi kulit dan jaringan lunak,
infeksi saluran kemih dengan komplikasi
maupun tanpa komplikasi.
(Basic Pharmacology & Drug Notes,
2019)
10 RL Sumber asupan cairan untuk tubuh pasien Terapi tepat, karena pasein membutuhkan
yang kekurangan cairan cairan tambahan.

60
2.2.8 DRUG THERAPY PROBLEM (DRP)

Drug Therapy Check


No Penjelasan Rekomendasi
Problem List
1 Terapi obat yang tidak diperlukan
Pasien mendapatkan terapi sesuai dengan
kondisi medis.
Terdapat terapi tidak
Semua terapi yang diberikan menyesuaikan
tanpa indikasi
kondisi pasien :
medis
- RL :untuk mengganti cairan tubuh pasien
yang hilang karena pasien infeksi
pernafasan, jika pasien dengan infeksi
pernafasan mengalami kekurangan cairan
maka sputum akan semakin kental dan akan
semakin sulit untuk dikeluarkan sehingga
pasien membutuhkan penggantian cairan
tubuh dari luar.

- Ranitidin (injeksi) : mencegah terjadinya


stress ulcer
- Dexamethasone : untuk mengurangi
peradangan pada paru
- Omeprazole (injeksi) : mencegah

61
terjadinya stress ulcer
- Ceftazidime : antibiotik untuk mengobati
Bronkopneumonia.
- Paracetamol : untuk mengobati demam
pada pasien.
- N-Acetyl Systein : sebagai mukolitik
- Zinc : untuk meningkatkan system
kekebalan tubuh pasien.
- Amlodipin : untuk megontrol tekanan
darah pasien
- Candesartan : untuk mengontrol tekanan
darah pasien
- Nitrokaf : untuk pencegahan dan terapi
jangka panjang.
Pasien Obat yang didapatkan pasien telah sesuai
mendapatkan dengan kondisi pasien, sehingga pasien tidak
mendapatkan terapi tambahan yang tidak
terapi Tidak
diperlukan
tambahan yang
tidak di perlukan
Pasien masih Tidak Pasien hanya memerlukan terapi famakologi
memungkinkan

62
menjalani terapi
non farmakologi
Sebaiknya pasien
hanya mendapatkan
salah satu obat
untuk mencegah
Terdapat duplikasi Pasien mendapatkan obat ranitidine (injeksi)
Ya terjadinya stress
terapi dan omeprazole (injeksi)
ulcer dikarenakan
mekanisme
ranitidine dan
omeprazole sama.
Obat yang diberikan dapat menimbulkan
efek samping pada pasien, namun masih

Pasien mendapat dapat diatasi seperti :

penanganan
 Kombinasi obat anti hipertensi dapat
terhadap efek
Ya menyebabkan hipotensi pada pasien.
samping yang
seharusnya dapat  Pemberian steroid dapat menyebabkan
dicegah peningkatan tekanan darah dan juga
dapat menurunkan system kekebalan
tubuh pasien.
2 Kesalahan obat

63
Bentuk sediaan sudah tepat dengan kondisi
pasien, pasien dalam keadaan sadar dan masih
Bentuk sediaan
Tidak bisa menelan.
tidak tepat

Lakukan monitoring
Terdapat kontra Terdapat kontraindikasi antara obat anti untuk mengontrol
Iya
indikasi hipertensi dengan dexamethasone tekanan darah
pasien.
Kondisi pasien
tidak dapat Kondisi pasien dapat diatasi oleh obat untuk
Tidak
disembuhkan oleh mengurangi keluhan pasien.
obat
Obat tidak
diindikasikan semua obat yang diberikan diindikasikan
Tidak
untuk kondisi untuk keadaan pasien.
pasien
Terdapat obat lain Ya 1. Pasien mendapatkan antibiotic 1)Sebaiknya
yang lebih efektif ceftazidime ceftazidime di ganti
2. Pasien sebaiknya mendapatkan dengan ceftriaxone .
antikoagulan. Hal ini dikarenakan
Ceftriaxone
merupakan

64
antibiotik golongan
sefalosporin
generasi ketiga yang
digunakan sebagai
lini pertama untuk
mengobati sejumlah
besar infeksi parah
yang diakibatkan
oleh organisme-
organisme yang
resisten terhadap
obat lain.
Sedangkan menurut
Jayesh, 2010,
antibiotik ini
memiliki aktivitas
luas. (Novita,
2012).

2) Pasien sebaiknya
mendapatkan

65
antikoagulan
dikarenakan pada
hasil laboratorium
pasien didapatkan
nilai APTT
memendek dan nilai
D-Dimer tinggi,
dimana ini
menandakan bahwa
pasien mengalami
hiperkoagulasi dan
perlu mendapatkan
terapi tambahan
seperti heparin.
3 Dosis tidak tepat
Dosis sudah sesuai dengan keadaan pasien
Dosis terlalu
Tidak
rendah

66
Frekuensi
penggunaan tidak Tidak Frekuensi penggunaan sudah tepat
tepat

Durasi
penggunaan tidak Tidak Durasi penggunaan sudah tepat
tepat
4 Reaksi yang tidak diinginkan
Obat tidak aman Obat aman untuk pasien dan memberikan efek
Tidak
untuk pasien yang sesuai dengan yang diharapkan
terdapat masalah, pasien tidak mempunyai
Terjadi reaksi
Tidak riwayat alergi obat sehingga obat aman
alergi
digunakan
Terjadi interaksi Iya Interaksi antara obat antihipertensi dengan
obat dexamethasone, namun interaksi ini dapat
ditolerir karena penggunaan dexamethasone
pada pasien penyakit BP dan ARDS lebih
besar manfaatnya ketimbang
ketidakmanfaatannya.Karena pada kasus ini
infeksi sudah termasuk infeksi berat. Maka
membutuhkan dexamethasone untuk

67
mengobati radang.

Dosis obat
dinaikkan atau Dosis yang digunakan telah sesuai dengan
Tidak
diturunkan terlalu pasien sejak dilakukannya diagnose
cepat

Tidak ada muncul efek samping yang


Muncul efek yang merugikan pasien
Tidak
tidak diinginkan

5 Ketidak sesuaian kepatuhan pasien


Tidak ada masalah untuk penyediaan obat
Obat tidak tersedia Tidak pasien, semua obat yang dibutuhkan pasien
telah tersedia di apotek rumah sakit
Pasien tidak
mampu Tidak Pasien mampu menyediakan obat
menyediakan obat
Pasien tidak bisa
menelan atau
Tidak Pasien dapat menelan dengan baik
menggunakan
obat
Pasien tidak Tidak Pasien mengerti instruksi penggunaan obat

68
mengerti intruksi
penggunaan obat
Pasein tidak patuh
atau memilih
untuk tidak Tidak Pasien patuh dalam penggunaan obat
menggunakan
obat
6 Pasien membutuhkan terapi tambahan
Hasil laboratorium pasien didapatkan nilai
Terdapat kondisi APTT memendek dan nilai D-Dimer tinggi,
Iya
yang tidak diterapi dimana ini menandakan bahwa pasien
mengalami hiperkoagulasi.
Pasien Tidak Pasien telah mendapatkan obat yang bekerja
membutuhkan sinergis.
obat lain yang
sinergis
Pasien Tidak Pasien tidak membutuhkan terapi profilaksis,
membutuhkan
terapi profilaksis

69
Tangga Dokter Apoteker
S O
l A P A P
31/8/21 - Pasien TD : 95/57 Covid 19 + Acute Terapi : Terdapat terapi obat sebaiknya obat
mengatakan mmHg Respiratory - RL 12 jam/kolf anti hipertensi yang anti hipertensi
mengalami Nadi : 109 Distress (ARD) + - Ranitidin 2x1 ampul diberikan kepada tidak
batuk kering x/menit Hipertensi + (injeksi) pasien kombinasi. dikombinasi
- Sesak nafas. Pernafasan: Bronkopenumoni - Dexamethasone 2x1 karena tekanan
22 x/menit a ampul (injeksi). darah pasien
Suhu : 36oC - Omeprazole 1x1 95/57 mmHg.

(injeksi) kalau obat

- Ceftazidin 2x1 gram hipertensi

70
dikombinasi
(injeksi)
maka akan
- Paracetamol 3x500 mg
menyebabkan
- N-Acetyl Systein 3x200 Hipotensi.
mg
- Zinc 2x1
- Amlodipine 1x1 (10 mg)
- Candesartan 1x1 (8 mg)

01/9/21 - Batuk Kering TD : 98/49 Covid 19 + Acute Terapi : Terapi obat anti
- Sesak nafas mmHg Respiratory - RL 12 jam/kolf hipertensi yang
Nadi :120 Distress (ARD) + - Ranitidin 2x1 ampul diberikan kepada
x/menit Hipertensi + (injeksi) pasien kombinasi.
Pernafasan: Bronkopenumoni - Dexamethasone 2x1
20 x/menit a ampul (injeksi).
Suhu : 36,5 - Omeprazole 1x1
o
C (injeksi)
- Ceftazidin 2x1 gram
(injeksi)
- Paracetamol 3x500 mg
- N-Acetyl Systein 3x200

71
mg
- Amlodipine 1x1 (10 mg)
- Candesartan 1x1 (8 mg)

02/9/21 - Batuk kering TD : Hepatoma + Terapi : Terapi obat anti Sebaiknya


- sesak nafas. 213/110 Bronkopneumoni - RL 12 jam/kolf hipertensi tidak pemberian
mmHg a - Ranitidin 2x1 ampul diberikan kepada obat anti
(injeksi) pasien (dihentikan) hipertensi
- Dexamethasone 2x1 jangan
ampul (injeksi). dihentikan.

- Omeprazole 1x1 Obat anti

(injeksi) hipertensi

- Ceftazidim 2x1 gram diberikan

(injeksi) tidak

- Paracetamol 3x500 mg kombinasi.

- N-Acetyl Systein 3x200


mg
- Amlodipine 1x1 (10 mg)
- Candesartan 1x1 (8 mg)

72
- Nitrokaf 2x1

03/9/21 -

73
BAB IV. PEMBAHASAN
Pasien yang berinisial H adalah seorang pasien perempuan berusia 62 tahun.
Pasien datang ke IGD RSUD M. Natsir, Solok pada tanggal 22 Agustus 2021 dengan
keluhan sesak nafas 2 hari sebelum ke rumah sakit, akan tetapi pasien tidak
mengalami muntah. Pasien dilakukan swab PCR dan dinyatakan positive covid 19
sehingga pasien di haruskan menjalani isolasi di RSUD M. Natsir, Solok. Setelah
menjalani isolasi selama 8 hari, hasil swab PCR pasien dinyatakan negative dan
pasien di pindahkan ke bangsal interne karena pasien mengalami keluhan sesak dan
batuk yang memburuk.
Di bangsal interne, pasien menjalani pemeriksaan fisik laboratorium dan
rongent thorax. Hasil pemeriksaan rongent thorax menyatakan bahwa pasien
mengalami Typical Pneumonia dan pasien juga di nyatakan ARDS akibat dari
bronkopneumonia. Hal ini menyebabkan terjadinya inflamasi pada parenkim paru
yaitu alveoli sehingga neutrofil menumpuk di alveoli sehingga alveoli akan berisi
cairan yang akan menyebabkan pasien sesak nafas. Dan juga hasil pemeriksaan
laboratorium menunjukkan nilai APTT pada pasien memendek. APTT (Activated
Partial Tromboplastin Time) merupakan uji laboratorium untuk menilai aktifitas
factor koagulasi jalur intrinsic. Nilai APTT yang didapatkan memendek menandakan
bahwa darah dalam tubuh pasien lebih cepat mengalami penggumpalan
(hiperkoagulasi).
Selain dari hasil APTT yang memendek didapatkan juga hasil pemeriksaan D-
Dimer yang tinggi dari nilai rujukan. Uji D-Dimer merupakan suatu jenis uji sampel
darah yang bertujuan untuk membantu melakukan diagnosis penyakit dan kondisi
yang menyebabkan hiperkoagulabilitas. Dari hasil pemeriksaan labor tersebut, pasien
memerlukan terapi tambahan berupa antikoagulasi seperti heparin. Selain itu, pasien
juga memiliki riwayat penyakit hipertensi yang akan memperburuk keadaan pasien.
Terapi yang diberikan kepada pasien pada saat dirawat dibangsal interne
yakni pada hari pertama masuk bangsal interne pada tanggal 31 Agustus 2021 adalah
Pemberian RL dengan tujuan untuk mengganti cairan tubuh pasien yang hilang

74
karena pasien mengalami infeksi pernafasan, jika pasien dengan infeksi pernafasan
mengalami kekurangan cairan maka sputum akan semakin kental dan akan semakin
sulit untuk dikeluarkan sehingga pasien membutuhkan penggantian cairan tubuh dari
luar.
Pada tanggal 31 Agustus pasien juga diberikan terapi ranitidine 2x1 ampul
(injeksi), dexamethasone 5 mg (2x1 ampul, iv), omeprazole 1x1 (injeksi), ceftazidime
2x1 gram (injeksi) paracetamol 3x500 mg (per-oral), N-acetyl Systein 3x200 mg
(per-oral) , zinc 2x1 (per-oral), amlodipine 10 mg1x1 (per-oral), candesartan 8 mg
1x1 (per-oral).
Lalu, pada tanggal 02 September 2021 pasien mendapatkan perubahan terapi
seperti diberikan terapi tambahan berupa nitrogliserin (nitrokaf) 2,5 mg 2x1 (per-oral)
dan pemberian zink dihentikan sehari sebelumnya.
Pasien mendapatkan terapi obat anti hipertensi seperti amlodipine 10 mg dan
candesartan 8 mg. Alasan diberikan terapi kombinasi karena pasien memiliki riwayat
hipertensi dan pada saat pasien mendapatkan terapi obat anti hipertensi kombinasi,
menyebabkan pasien mengalami hipotensi. Maka dari itu, disarankan sebaiknya untuk
dosis obat anti hipertensi (amlodipine) dapat diturunkan menjadi 5 mg.
Pasien juga mendapatkan terapi antibiotik yaitu ceftazidime. Saran, sebaiknya
ceftazidime dapat di ganti dengan ceftriaxone. Menurut hasil penelitian yang
dilakukan Yeni pada tahun 2016, antibiotik tunggal yang sering digunakan pada
terapi empiris pneumonia adalah Ceftriaxone. Begitupula dengan penelitian dengan
yang dilakukan oleh Stevany pada tahun 2016, bahwa penggunaan antibiotik tunggal
yang sering digunakan pada pasien pneumonia adalah Ceftriaxone. Menurut jurnal
Pharmaceutical Science and Clinical Research tahun 2017 yang mengutip penelitian
Katzung pada tahun 2004, antibiotik tunggal yang banyak digunakan adalah
Ceftriaxone. Hal ini dikarenakan Ceftriaxone merupakan antibiotik golongan
sefalosporin generasi ketiga yang digunakan sebagai lini pertama untuk mengobati
sejumlah besar infeksi parah yang diakibatkan oleh organisme-organisme yang
resisten terhadap obat lain. Sedangkan menurut Jayesh, 2010, antibiotik ini memiliki
aktivitas yang sangat kuat untuk melawan bakteri gram negatif dan gram positif dan

75
beberapa bakteri anaerob lain termasuk Streptococcus pneumonia, Haemophilus
influenza, dan Pseudomonas. Pemberian terapi antibiotik spektrum luas harus
ditambahkan terapi kombinasi yang bisa melawan kuman penyebab MDR (Multi
Drug Resistance).Gabungan terapi kombinasi harus merupakan antibiotik dari
golongan yang berbeda untuk mencegah mekanisme terapeutik antagonis.Terapi
kombinasi kuman gram negatif biasanya dari golongan β-laktam, kuinolon atau
aminoglikosida. Meskipun kombinasi golongan kuinolon lebih bagus penetrasinya
dibandingkan aminoglikosida dan efek toksik ke ginjalnya lebih rendah akan tetapi
angka kesembuhan dengan kombinasi obat dengan aminoglikosida lebih banyak
terjadi (Novita, 2012).
Pasien juga mendapatkan terapi Dexamethasone bersamaan dengan obat
antihipertensi yang akan menyebabkan terjadinya interaksi obat dimana
dexamethasone dapat mengurangi efek dari amlodipin dan candesartan dalam
menurunkan tekanan darah. Tetapi, interaksi mungkin terjadi ketika dexamethasone
digunakan lebih dari 1 minggu, karena penggunaan jangka panjang dapat
menyebabkan retensi natrium. Tapi pada kasus ini, pemberian dexamethasone sangat
dibutuhkan karena pasien mengalami inflamasi berat pada paru, sehingga
kontraindikasi antara dexamethasone dan obat antihipertensi dapat ditolerir dan juga
perlu dilakukan penyesuaian dosis dan pemantauan lebih sering, sehingga kedua obat
ini dapat digunakan dengan aman.
Terapi selanjutnya yang didapatkan oleh pasien yaitu kombinasi ranitidine
injeksi dan omeprazol injeksi, dimana kedua obat tersebut memiliki mekanisme kerja
obat yang hampir sama. Ranitidine merupakan golongan obat antagonis reseptor H2
dengan mekanisme kerja memblok reseptor histamine pada sel parietal sehingga sel
parietal tidak dapat dirangsang untuk mengeluarkan asam lambung. Omeprazol
merupakan obat golongan proton pump inhibitor (PPI) dengan mekanisme
menghambat asam lambung dengan menghambat kerja enzim (K+H+ATPase) yang
akan memecah K+H+ATP menghasilkan energy yang digunakan untuk mengeluarkan
asam HCl dari kanalikuli sel parietal kedalam lumen lambung. Maka sebaiknya
pemberian obat untuk mencegah stress ulcer pada pasien tidak perlu dikombinasi,

76
cukup gunakan salah satu obat saja.
BAB V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan
1. Terdapat obat lain yang lebih efektif yaitu terapi antibiotic ceftazidime di
ganti dengan ceftriaxone karena ceftriaxone merupakan antibiotik golongan
sefalosporin generasi ketiga yang digunakan sebagai lini pertama untuk
mengobati sejumlah besar infeksi parah yang diakibatkan oleh organisme-
organisme yang resisten terhadap obat lain.
2. pasien menjalani pemeriksaan fisik laboratorium dan rongent thorax. Hasil
pemeriksaan rongent thorax menyatakan bahwa pasien mengalami Typical
Pneumonia. Dan juga hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan nilai
APTT pada pasien memendek. APTT yang didapatkan memendek
menandakan bahwa darah dalam tubuh pasien lebih cepat mengalami
penggumpalan (hiperkoagulasi). Selain dari hasil APTT yang memendek
didapatkan juga hasil pemeriksaan D-Dimer yang tinggi dari nilai rujukan.
Dari hasil pemeriksaan labor tersebut, pasien memerlukan terapi tambahan
berupa antikoagulasi seperti heparin.
3. Terdapat duplikasi terapi yaitu omeprazole (injeksi) dan ranitidine (injeksi),
sebaiknya pasien hanya mendapatkan salah satu obat untuk mencegah
terjadinya stess ulser.

4. Pasien juga mendapatkan terapi Dexamethasone bersamaan dengan obat


antihipertensi yang akan menyebabkan terjadinya interaksi obat dimana
dexamethasone dapat mengurangi efek dari amlodipin dan candesartan dalam
menurunkan tekanan darah. Tetapi, interaksi mungkin terjadi ketika
dexamethasone digunakan lebih dari 1 minggu, karena penggunaan jangka
panjang dapat menyebabkan retensi natrium. Tapi pada kasus ini, pemberian
dexamethasone sangat dibutuhkan karena pasien mengalami inflamasi berat
pada paru, sehingga kontraindikasi antara dexamethasone dan obat

77
antihipertensi dapat ditolerir dan juga perlu dilakukan penyesuaian dosis dan
pemantauan lebih sering, sehingga kedua obat ini dapat digunakan dengan
aman.
5.2 Saran
1. Monitoring pasien agar tepat waktu mengkonsumsi obat.
2. Monitoring tekanan darah pasien karena pasien mendapatkan kombinasi obat
anti hipertensi.

78
DAFTAR PUSTAKA

Amin, H.2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Medis & NANDA,NIC-


NOC Jilid 1. Jakarta: Media Action Publishing.
Chen, N., Zhou, M., Dong, X., Qu, J., Gong, F., Han, Y., Qiu, Y., Wang, J., Liu, Y.,
Wei, Y., Xia, J., Yu, T., Zhang, X., & Zhang, L. (2020). Epidemiological
and clinical characteristics of 99 cases of 2019 novel coronavirus
pneumonia in Wuhan, China: a descriptive study. The Lancet, 395(10223),
507–513.
Dahlan, S.2014. Statistik Untuk Kedokteran Dan Kesehatan Edisi 6. Jakarta: Salemba
Medika.
Dipiro C.V.,2015. Pharmacotherapy Handbook 9th edition, McGraw-Hill Companies,
USA.
Dipiro JT, Wells BG, Schwinghammer TL, Dipiro CV. 2015. Pharmacotherapy
Handbook Nineth Edition. London: Mc-GrawHill Education Commpanies.
Dipiro, J.T., Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., Dipiro, C.V. 2017,
Pharmacotherapy Handbook Tenth Editio.,The McGraw-Hill Companies,
Inc, United States.
Fang,L,Karakiulakis,G,Roth,M 2020, „Are patients with hypertension and diabetes
mellitus at increased risk for COVID-19 infection?‟, Lancet Respir Med, 8
(4) (2020)
Fosbøl, E. L., Butt, J. H., Østergaard, L., Andersson, C., Selmer, C., Kragholm, K.,
Schou, M., Phelps, M., Gislason, G. H., Gerds, T. A., TorpPedersen, C., &
Køber, L. (2020). Association of Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitor
or Angiotensin Receptor Blocker Use with COVID-19 Universitas
Sumatera Utara 71 Diagnosis and Mortality. JAMA - Journal of the
American Medical Association, 324(2), 168–177.
Harapan, H., Itoh, N., Yufika, A., Winardi, W., Keam, S., Te, H., Megawati, D.,
Hayati, Z., Wagner, A. L., & Mudatsir, M. (2020). Coronavirus disease
2019 (COVID-19): A literature review. Journal of Infection and Public
Health, 13(5), 667–673.
Huang, Y. hui, Meng, S. jun, Zhang, Y., Wu, S. sheng, Zhang, Y., Zhang, Y. wei, Ye,
Y. xiang, Wei, Q. feng, Zhao, N. gui, Jiang, J. ping, Ji, X. ying, Zhou, C.
xia, Zheng, C., Zhang, W., Xie, L. zhong, Hu, Y. chao, He, J. quan, Chen,
J., Wang, W. yue, … Cai, J. feng. (2020). The respiratory sound features of
COVID-19 patients fill gaps between clinical data and screening
methods.628.

79
Jose, R. J., & Manuel, A. (2019). COVID-19 cytokine storm: the interplay between
inflammation and coagulation. The Lancet Respiratory, 2019, 2019– 2020.
Li, X., Geng, M., Peng, Y., Meng, L., & Lu, S. (2020). Molecular immune
pathogenesis and diagnosis of COVID-19. Journal of Pharmaceutical
Analysis
Li Z, Wu M, Guo J, et al. Caution on Kidney Dysfunctions of COVID-19 Patients.
2020.
Mansjoer, A. 2018.Kapita Selekta Kedokteran, edisi 4. Jakarta : Media Aesculapius
Marino PLea, editor Marino’s. 2014. The ICU Book, 4th ed Chapter 23: Acute
Respiratory Distress Syndrome. Philadelphia: Wolters Kluwer Health /
PDPI. (2020). Panduan Praktik Klinik Pneumonia COVID-19 Ringan.
19,5–5.
Novita tunggal dewi . 2012. Kajian penggunaan antibiotic pasa pasien pneumonia
dengan metode gyssens di balai kesehatan X Surakarta tahun 2012-
2013.Naskah Publikasi.
Peter JV, John P, Graham PL, Moran JL, George IA, Bersten A. 2018.
Corticosteroids in the prevention and treatment of acute respiratory distress
syndrome (ARDS) in adults: metaanalysis
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2020). Paduan Praktik Klinis Pneumonia
COVID-19 berat tanpa komplikasi Prevalence of Pulmonary Embolism in
COVID-19: a Pooled AnalysisRupak Desai,corresponding author1 Zainab
Gandhi,2 Sandeep Singh,3 Sonali Sachdeva,4 Pritika Manaktala,5 Sejal
Savani,6 Virmitra Desai,7 Rajesh Sachdeva,1,8,9 and Gautam Kumar1,10
SN Compr Clin Med. 2020 Oct 28 : 1–4

Soenarta A, Erwinanto, Mumpuni a, Barack R, Lukito A, Hersunarti N, Pratikto R.


2015. Pedoman Tatalaksana Hipertensi pada Penyakit Kardiovaskular.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular : Indonesia
Tjay, T.H, dan Rahardja, K. 2007. Obat-Obat Penting. Edisi VI. Cetakan Pertama.
Jakarta : PT Elex Media Komputindo Gramedia.
Unhale, S. S., Ansar, Q. B., Sanap, S., Thakhre, S., & Wadatkar, S. (2020). a Review
on Corona Virus ( Covid-19 ). World Journal of Pharmaceutical and Life
Sciences, 6(4), 109–115.
Xu, Z., Shi, L., Wang, Y., Zhang, J., Huang, L., Zhang, C., Liu, S., Zhao, P., Liu, H.,
Zhu, L., Tai, Y., Bai, C., Gao, T., Song, J., Xia, P., Dong, J., Zhao, J., &
Wang, F. S. (2020). Pathological findings of COVID-19 associated with
acute respiratory distress syndrome. The Lancet Respiratory Medicine,

80
8(4), 420–422.
Zhang, L., Yan, X., Fan, Q., Liu, H., Liu, X., Liu, Z., & Zhang, Z. (2020). D-dimer
levels on admission to predict inhospital mortality in patients with Covid-
19. Journal of Thrombosis and Haemostasis, 0–3.

81

Anda mungkin juga menyukai