Anda di halaman 1dari 9

EKSPEDISI SNELLIUS I (1929-1930):

PENELITIAN LUBUK LAUT-DALAM DI NUSANTARA

E
kspedisi penelitian laut yang dilaksanakan oleh Belanda dengan kapal Siboga
di perairan Nusantara pada tahun 1899-1900 telah mencapai sukses besar
yang diakui dunia. Tetapi ekspedisi ini lebih menitik-beratkan penelitiannya
pada aspek biologi laut. Aspek oseanografi fisika dan kimia, masih sedikit tersentuh, apalagi
aspek geologinya.
Setelah masa itu, kegiatan-kegiatan ekspedisi oseanografi berskala besar cenderung
meredup ketika berkecamuknya Perang Dunia I yang melanda Eropa sekitar tahun 1914-1918.
Tetapi tak lama kemudian Jerman segera bangkit kembali dengan meluncurkan Ekspedisi
Meteor tahun 1925 untuk melakukan kajian tentang oseanografi perairan Samudra Atlantik
bagian selatan. Penelitan dalam Ekspedisi Meteor ini merupakan salah satu kajian oseanografi
yang paling mendalam atas suatu kawasan perairan dunia.

Gambar 1. Kapal Willebrord Snellius. Gambar inset: Komandan kapal, Lieutenant


Commander F. Pinke.

Apa yang dilakukan oleh Ekspedisi Meteor dari Jerman ini ternyata memberikan
inspirasi bagi seorang hidrografer Belanda, Commander Luymes, untuk mengusulkan kepada

1
Society for Scientific Research in the Netherlands Colonies dan Royal Netherlands
Geographical Society pada tahun 1925, untuk melakukan ekspedisi oseanografi ke perairan
laut-dalam di bagian timur Hindia Belanda (Nusantara), tetapi dengan lebih menitik beratkan
pada aspek oseanografi fisika dan geologi yang dulu luput dari perhatian Ekspedisi Siboga
(1899-1900). Usulan ini ternyata mendapat sambutan
yang hangat, dan kemudian segeralah dibentuk Panitia
(Committee) untuk mempersiapkan rencananya yang
detail. Panitia ini ketuai oleh Dr. J.C. Koningsberger,
seorang tokoh yang sebelumnya pernah bertugas di
Batavia (Jakarta), sebagai pendiri Visscherij
Laboratorium te Batavia, lembaga yang merupakan
cikal bakal dan awal sejarah kelembagaan kelautan di
Nusantara. Selain itu, Prof. Max Weber, yang
sebelumnya adalah pemimpin Ekspedisi Siboga (1899-
1900), dan Frederick Tydeman, hidrografer sekaligus
mantan komandan kapal Siboga (yang kini telah
menjadi admiral/ laksamana), ikut pula duduk dalam
Panitia Persiapan ini. Pendekatan dan lobbying pun
Gambar 2. P.M. van Riel,
pemimpin Ekspedisi Snellius I dilakukan dengan berbagai pihak untuk penggalangan
dana (fund raising) yang dilakukan sampai tahun 1927.
Pemerintah Hindia Belanda tampaknya masih akan melanjutkan kebijakan politik
bermata ganda yang dikenal sebagai gunboat-science policy pada zaman Ekspedisi Siboga,
yakni dengan mengibarkan bendera Belanda (showing the flag) sebagai simbol kehadiran
Pemerintah Kolonial ke seluruh wilayah Nusantara, sementara itu melaksanakan ekspedisi yang
merintis kemajuan ilmu kelautan. Mengacu pada kebijakan itu maka Pemerintah Kolonial pun
bersedia untuk menyediakan satu kapal untuk keperluan ekspedisi, dan bersedia pula
menanggung biaya bagi anak buah kapal, logistik, dan kebutuhan lainnya yang terkait. Namun
kapal untuk keperluan itu belum ada, baru akan dibangun. Kondisi ini memberikan keuntungan,
karena merupakan saat yang tepat untuk melakukan modifikasi kapal dan perlengkapannya
disesuaikan dengan kebutuhan ekspedisi mendatang.
Pembangunan kapal itu dilaksanakan di galangan Feyenoord di Rotterdam, baru selesai
dan diluncurkan pada bulan November 1928. Kapal baru ini, yang masuk dalam jajaran kapal
hidrografi Angkatan Laut Hindia Belanda, diberi nama Willebrord Snellius (Gambar 1),
mengambil nama dari seorang ilmuwan Belanda yang hidup di tahun 1580-1626, yang tersohor

2
sebagai seorang ahli dalam bidang astronomi, fisika, dan matematika. Selanjutnya kapal baru
itu lebih populer dengan nama singkatnya “Snellius” saja. Kapal ini berukuran panjang 62
meter, bagian terlebar 9,7 meter, berbobot 1.055 ton, dan digerakkan dengan mesin berbahan
bakar minyak.

Gambar 3. Titik-titik stasiun oseanografi yang dikerjakan dalam Ekspedisi


Snellius I (1929-1930). (van Kampen, 2005)

Uji berlayar (sea trial) dilakukan pada bulan Februari 1929 dalam cuaca musim dingin,
dan kapal Snellius sempat terperangkap dalam lautan es yang membeku. Tetapi pelayaran
perdana itu berjalan mulus dan beberapa minggu kemudian, tanggal 9 Maret 1929, Snellius
sudah dapat bertolak dari pelabuhan Den Helder menuju Surabaya. Setelah singgah di
pelabuhan Emma Haven (Teluk Bayur) Padang, akhirnya kapal itu tiba di Surabaya tanggal 30
Mei 1929. Selama dalam pelayaran dari Den Helder ke Surabaya, semua instrumen yang telah
terpasang di kapal, yang akan digunakan dalam ekspedisi, diuji-cobakan.
Tanggal 27 Juli 1929 Snellius bertolak dari Surabaya menuju daerah operasi di bagian
timur Nusantara, antara Paparan Sunda (Sunda Shelf) dan Paparan Sahul (Sahul Shelf). Hari itu

3
menandai dimulainya secara resmi Ekspedisi Snellius. Ekspedisi ini berjalan selama setahun
lebih, berakhir dengan resmi ketika Snellius kembali ke Surabaya pada tanggal 15 November
1930. Total jarak yang ditempuh selama Ekspedisi Snellius ini adalah sekitar 34.000 mil.
Ekspedisi Snellius ini yang berlangsung di tahun 1929-1930 sering pula dijuluki sebagai
Espedisi Snellius I, karena sekitar 50 tahun kemudian ekspedisi serupa diulangi lagi tahun 1984-
1985 dan diberi nama Ekspedisi Snellius II.

Gambar 4. Atas: Lubuk dan palung laut-dalam di perairan Nusantara. Nama-nama


untuk angka Rumawi dicantumkan dalam Tabel 1. Tanda panah menunjukkan arah
masuknya pasokan air ke dalam lubuk atau palung. Bawah: Arah pemasokan air,
suhu potensial dan salinitas pada lubuk dan palung yang tertera dalam gambar atas
(sumber: van Riel, 1934)

4
Tabel 1. Lubuk dan palung di perairan Nusantara (lokasi lihat Gambar 4).
(Sumber: van Riel, 1934)

Lubuk atau Palung Batas garis Kedalaman Luas


kedalaman (m) maksimum (m) (km2)

I Lubuk Sulu 4.800 5.350 46.600


II Palung Mindanao 6.000 10.830 -
III Palung Talaud 3.000 3.450 2.700
IV Palung Sangihe 3.000 3.850 10.000
V Lubuk Sulawesi 4.000 6.220 26.000
VI Lubuk Morotai 3.000 3.890 1.500
VII Palung Ternate 3.000 3.450 1.000
VIII Lubuk Bacan 3.000 4.810 6.800
IX Lubuk Mangole 3.000 3.510 1.900
X Lubuk Gorontalo 3.000 4.180 14.000
XI Palung Makassar 2.000 2.540 55.000
XII Lubuk Halmahera 1.000 2.039 15.000
XIII Lubuk Buru 3.000 5.319 16.000
XIV Lubuk Banda Utara 4.000 5.800 80.000
XV Lubuk Banda Selatan 4.000 5.400 120.000
XVI Palung Weber 4.000 7.440 50.000
XVII Lubuk Manipa 3.000 4.360 2.800
XVIII Lubuk Ambalau 4.000 5.330 7.000
XIX Lubuk Aru 3.000 3.650 11.000
XX Lubuk Buton 4.000 4.180 1.200
XXI Lubuk Selayar 2.000 3.370 4.000
XXII Lubuk Flores 3.000 5.130 30.000
XXIII Lubuk Bali 1.000 1.500 19.000
XXIV Lubuk Sawu 3.000 3.470 30.000
XXV Lubuk Wetar 3.000 3.460 6.000
XXVI Palung Timor 2.000 3.310 33.000
XXVII Palung Jawa 6.000 7.100 -

Seperti telah dikemukakan di depan, fokus penelitian dalam Ekspedisi Snellius I ini
adalah dalam bidang oseanografi fisika, kimia dan geologi perairan laut-dalam Nusantara.
Perhatian utama diberikan untuk mendapatkan gambaran tentang struktur dan gerakan massa air
di kawasan Nusantara bagian timur. Namun beberapa kegiatan pelengkap juga dilaksanakan
yang meliputi biologi dan geologi terumbu karang.
Ekspedisi Snellius I ini dipimpin oleh P. M. van Riel, seorang purnawirawan Angkatan
Laut Belanda, yang menjadi kepala bagian oseanografi dan meteorologi maritim di KNMI
(Royal Netherlands Meteorological Institute/ Lembaga Meteorologi Kerajaan Belanda).
Sementara itu yang menjadi komandan kapal adalah Lieutenant Commander F. Pinke. Ternyata

5
untuk membentuk tim ekspedisi yang kuat dan lengkap tidaklah mudah. Sangat sulit mencari
tenaga akademisi yang berlatar belakang pendidikan kelautan. Untuk mengisi kekosongan itu
terpaksa beberapa tenaga dikontrak, tetapi hanya untuk untuk selama berlangsungnya pelayaran
ekspedisi saja, yakni seorang tenaga untuk bidang fisika (Dr. Hamaker) dan kimia (Dr. Boelman
dan Dr. Hardon). Tenaga inti untuk bidang biologi adalah Prof. Boschma dari University of
Utrecht, sedangkan untuk bidang geologi adalah Dr. Kuenen, dari University of Groningen.
Istri van Riel, yakni van Riel-Verloop, ikut serta pula sebagai sekretaris ekspedisi, tetapi
sekaligus juga merangkap sebagai analis kimia. Banyaknya sampel kimia yang harus dianalisis
di kapal memerlukan tambahan empat orang pelaut sebagai relawan, yang sebelumnya sudah
dilatih untuk pekerjaan kimia di University of Utrecht dan Zoologial Station di Den Helder.
Diantaranya terdapat dua orang sebagai teknisi spesialis asal Indonesia, masing-masing
Kartodihardjo di bidang geologi dan Erie untuk bidang biologi.

Gambar 5 . Sebaran sedimen laut-dalam di kawasan timur Nusantara. V, lumpur


volcanic; V-T, lumpur volcanic-terrigeneous; T, lumpur terrigenous; RC,
lumpur merah (red clay); GL, Globigerina. (Kuenen, 1950)

6
Kapal Snellius dilengkapi dengan berbagai peralatan dasar untuk penelitian oseanografi.
Untuk pengambilan sampel air laut dari berbagai kedalaman digunakan tabung Nansen (Nansen
bottles) yang dilengkapi dengan termometer bolak-balik (reversing thermometer). Di lunas
kapal dipasang pula electric thermograph yang dapat merekam suhu air permukaan laut secara
berterusan (continuous) selama kapal berlayar. Untuk mengukur kedalaman dasar laut
digunakan pemerum gema (echo-sounder), teknologi baru pada saat itu, yang dapat mengukur
kedalaman laut dengan prinsip perambatan dan pemantulan bunyi dalam air, teknologi yang
belum dikenal pada zaman Ekspedisi Siboga (1899-1900). Teknologi pemeruman gema ini
ternyata akan mengubah secara signifikan pembuatan peta-peta batimetri (topografi dasar laut)
di perairan Nusantara. Kapal Snellius juga dilengkapi dengan fasilitas untuk dapat membuang
sauh di perairan laut-dalam (deep-sea anchoring) sampai kedalaman 5.000 – 6.000 meter,
hingga dapat bertahan stasioner pada satu posisi tertentu untuk pengukuran arus. Untuk
pengambilan sampel biologi disiapkan berbagai jenis plankton, pukat (trawl) dan pengeruk
(dredge), sedangkan untuk geologi tersedia berbagai jenis corer.

Gambar 6. Sebaran vertikal oksigen (ml/l) dan kandungan hidrogen sulfida (H2S)
dalam penampang dari Teluk Kau (Halmahera ke Samudra Pasifik. (digambar
kembali dari van Riel, 1934)

Selama ekspedisi, kapal Snellius telah menduduki 374 stasiun hidrografi, yakni posisi di
laut dimana sampel air dan pengukuran hidrografi dilaksanakan (Gambar 3 ). Pengukuran suhu
telah dilaksanakan pada 7.300 titik dari berbagai kedalaman, salinitas dan kandungan oksigen

7
diukur dari masing-masing sebanyak 7.100 dan 5.300 titik, sedangkan contoh dasar laut yang
diperoleh dengan corer dari sebanyak 500 titik. Kalau Ekspedisi Siboga sebelumnya mengukur
kedalaman laut dengan menggunakan sounding-machine (mesin untuk pendugaan kedalaman
dengan menggunakan kabel) pada 238 stasiun, maka Snellius dengan menggunakan
echosounder pada wilayah yang kurang lebih sama, dapat merekam kedalaman dasar laut pada
sebanyak kurang lebih 33.000 titik. Semua data dan sampel dikirim ke Holland untuk dikaji
lebih lanjut.
Hasil-hasil Ekspedisi Snellius I ini mulanya dipublikasikan secara resmi dalam format
serial sebanyak 21 buku, dengan judul The Snellius Expedition yang diterbitkan oleh E. J. Brill,
Leiden. Volume pertama terbit tahun 1937, tetapi tulisan tentang hasil-hasil ekspedisi kemudian
masih terus-menerus bermunculan sampai puluhan tahun kemudian. Tahun 1978 misalnya,
masih muncul publikasi baru tentang foraminifera yang didasarkan pada sampel yang dikoleksi
dalam Ekspedisi Snellius I, sekitar 48 tahun sebelumnya. Keseluruhan hasil ekspedisi ini telah
meletakkan dasar yang kokoh untuk pengetahuan oseanografi Nusantara.
Beberapa hal penting yang dapat dicatat, antara lain bahwa Ekspedisi Snellius I ini telah
membuktikan bahwa massa air laut yang ada di Nusantara ini sebagian besar berasal dari
Samudra Pasifik. Cekungan dasar-laut berupa lubuk (basin) yang penampangnya kurang lebih
berbentuk “U” dan palung (trench) dengan cekungan dasar-laut yang penampangnya kurang
lebih berbentuk “V” telah dapat dipetakan dengan baik (Gambar 4). Demikian pula jalur aliran
massa air yang memasok dan memberi ventilasi pada cekungan-cekungan laut-dalam di
kawasan ini. Ventilasi pada cekungan-cekungan laut-dalam ini sangat ditentukan oleh
kedalaman ambang (sill depth) yang membatasi cekungan tersebut. Meskipun lubuk atau palung
itu sangat dalam, tetapi bila ventilasi dapat berlangsung dengan baik, maka disitu masih
terdapat oksigen yang cukup untuk memunginkan terdapatnya kehidupan. Sebaliknya meskipun
cekungan itu dangkal, tetapi bila ventilasinya terhalang, maka akan dapat menyebabkan
terjadinya kondisi anoksik (ketiadaan oksigen) di lapisan dasar, seperti kasus yang terjadi di
Teluk Kau, Halmahera (Gambar 5). Demikian pula telah diteliti hal-hal yang menyangkut
terjadinya gelombang internal (internal waves) dan pasang-surut serta dampaknya terhadap
lingkungan perairan di kawasan ini. Selain itu, peta-peta batimetri telah banyak yang dapat
disajikan dengan sangat baik, demikian pula karakteristik sedimennya.
Dari apa yang telah dihasilkan, Ekspedisi Snellius I telah menorehkan sejarah yang
penting dalam perkembangan pengetahuan oseanografi, tidak saja bagi Nusantara tetapi juga
bagi dunia.

8
PUSTAKA

Kuenen, P. H. 1950. Marine Geology. John Wiley & Sons, Inc., New York: 601 pp.
Lek, L. 1945. The Snellius expedition. In Honig, P. & F. Andersen (Eds.). Science and
scientists in the Netherlands Indies. The Board for the Netherlands Indies, Suriname,
and Curacao. New York: 473-474.
Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Cetakan keempat (Edisi Revisi). Penerbit Djambatan,
Jakarta: 372 hlm.
Nontji, A. 2009. Penjelajahan dan Penelitian Laut Nusantara dari Masa ke Masa. Pusat
Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia: 433 hlm.
Pinke, F. 1938. The expedition ship and the naval personell’s share. The Snellius Expedition.
Vol. I. Voyage. Chapter II. E. J. Brill, Leiden: 1-71.
Sverdrup, H., U., M. W. Johnson & R. H. Fleming. 1942. The Oceans. Their physics, chemsitry
and general biology. Prentice-Hall., Inc. Englewood Cliffs, N. J.: 1087 pp.
van Aken, H. 2005. Dutch oceanographic research in colonial times. Oceanography 18 (4): 30-
41.
van Riel, P. M. 1934. The bottom configuration in relation to the flow of the bottom water.
Snellius Expedition. Vol.II. Part 2, Chapter II. E. J. Brill, Leiden.
van Riel, P. M. 1938. The Snellius Expedition. The voyage in the Netherlands East-Indies. E. J.
Brill, Leiden.

-----
Anugerah Nontji
04/05/2017

Anda mungkin juga menyukai